souljaehyunn

“Ze!” Lucy menepuk bahu kanan Zemira dari belakang.

Zemira yang berjalan sedikit terburu di koridor menoleh kaget. Temannya itu terkikik pelan.

“Lo ngapain sih? Santai aja lagi.” Sambil kembali menepuk dan kini merangkul Zemira. “Gue gak nyangka deh akhirnya lo sama Taeyong jadian—“

“Ssssttttt!!!!” Zemira menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. “Jangan teriak-teriak kenapa sih?!”

Ia melengos, melanjutkan berjalan menyusuri koridor dengan Lucy yang masih terus menempel pada Zemira. Banyaknya mahasiswa yang bergerombol, membuat gadis itu menundukkan kepalanya.

Usai kelas berakhir, dengan cepat ia keluar dari kelas untuk segera pulang. Zemira sedang menghindari seseorang. Bukan menghindar karena ia benci bertemu dengannya, tetapi karena ia malu dan tidak tau harus berbuat apa.

Ya. Seorang lelaki yang baru menyandang status sebagai kekasih Zemira.

Taeyong Fahlevi. Padahal kemaren mereka berdua sudah berjanji untuk bertemu setelah kelas berakhir. Tapi nyatanya, Zemira tak mempunyai keberanian untuk bertemu dengannya.

Beberapa kali ponselnya berdering, ia yakin bahwa Taeyong tengah menghubunginya.

“Ze! Ih lagak lo kayak maling aja sih anjir! Jalan biasa aja napa sih?” Protes Lucy, mendadak menghentikan langkah Zemira.

“Sumpah sumpah ayo cepet ke parkiran gue mau pulang.” Rengek Zemira dengan menarik lengan Lucy.

Temannya itu mengeluh karena seharusnya ia bisa bersantai di kantin dulu sebelum pulang. Lucy tau bahwa Zemira sedang gugup karena takut bertemu Taeyong. Sejak berada di kelas pun ia beberapa kali mendapati Zemira yang sedang menggigiti kuku jarinya, kakinya pun terhentak-hentak.

Mengulur waktu, Lucy merapikan rambut Zemira yang terurai sedikit berantakan. Kini temannya itu sedang celingukan, merotasikan netra hitamnya, juga menggigiti bibir bawahnya.

“Hahahahaha rileks Zemira!” Tawa Lucy, menepuk kedua bahu Zemira.

“Aaaaa gue harus apa?”

Zemira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia terus merengek, membuat Lucy semakin tertawa terbahak.

Lucy membulatkan netranya ketika menangkap seseorang yang berjalan dari lobby semakin mendekat. Saling melempar senyum, pelan-pelan teman Zemira itu berjalan mengendap-endap menjauh. Memberi ruang untuk mereka berdua.

“Cyyyyy demi Allah ih gue gak ngebayangin!”

Zemira terus bergumam tak jelas dengan wajah yang masih tertutup. Ia tak mengetahui bila temannya sudah menghilang.

Punggung tangan Zemira menghangat akibat sentuhan tangan, berusaha menyingkap tangan gadis itu dari wajahnya.

“Ze….”

Deg!

Degup jantung Zemira seketika berhenti mendengar suara seseorang memanggil namanya. Ia kenal betul bias suara itu. Ia semakin mengeratkan tangannya agar wajahnya tertutup.

Kedua kakinya melangkah mundur.

“Eh? Zemira kamu ini ngapain?” Pergelangan tangan Zemira diraih olehnya, dengan suara tawa lirihnya. “Kamu sesek nafas nanti Zemira, engap tuh tuh engap.”

“Gak mauuuu gue lagi jelek.” Rengek Zemira.

“Kata siapa? Orang cantik kok.”

Zemira menggeleng. “Gue mau pulang.”

“Iya ayo pulang, masa mau sambil ditutupin gini mukanya?”

Gadis itu akhirnya menurunkan kedua tangannya. Namun pandangannya masih kearah ujung sepatu. Kepalanya menunduk. Rambut-rambutnya pun terjatuh, sebagian menutupi wajahnya.

Seketika dirinya menahan suara jeritan hati ketika pipinya ditangkup oleh tangan yang hangat.

image

Oknum bernama Taeyong itu berhasil membuat Zemira menjerit histeris dalam hatinya. Ia menangkup pipi Zemira yang tengah merona, dengan senyumnya yang tak pudar.

“Orang cantik gini.” Kedua tangan Taeyong sedikit menekan pipi Zemira, gemas. Kemudian melepas tangkupannya.

“Gimana aku mau denger langsung.” Imbuhnya.

“Apaan langsung? Lo aja juga enggak.” Decak Zemira.

Taeyong menghela nafas, lantas meraih tangan kiri Zemira, menggenggamnya. Mereka berdua masih berdiri berhadapan, bertemu pandang.

“Will you be mine, Zemira?”

Rona hangat menyebar merata di pipi hingga hati Zemira. Ia tak dapat menahan tawa lagi. Sudut bibirnya melengkung. Ia merasakan ibu jari Taeyong mengusap lembut punggung tangannya.

Tersenyum, Zemira mengangguk. “Yes, i will.”

“Terima kasih—kadonya. Kado termahal ini mah.”

Zemira diam saja.

“HAH?! Sekarang tanggal berapa?” Tanya gadis itu tiba-tiba.”

“1 Juli….” Jawab Taeyong yang masih tersenyum menatap Zemira.

“Berarti kamu ulang tahun dong?! Aku gak sadar serius.” Tunjuk Zemira heboh.

“Haha kenapa mendadak aku kamu an sih?”

“Eh iya masa?”

Taeyong mengangguk.

“Reflek ieu.” Tersipu malu.

“Ze?”

“Ya?”

“Kita udah pacaran nih?” Goda Taeyong.

“Aku balik….”

Zemira mengerjap, kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Taeyong.

Lelaki itu mengejarnya, berjalan di samping Zemira. Mengikuti langkahnya.

“Pacaran?” Godanya lagi.

“Iya.” Jawab Zemira lirih.

“Apa aku gak denger.”

Zemira semakin mempercepat jalannya.

“Udah ahhh jangan ngegoda mulu, mau balik.”

“Ya balik bareng dong kan udah pacaran.”

“Yong diem gak.”

“Gak mau kan udah pacaran.”

“Gak ada hubungannya Yong!!! Udah sana kamu ke parkiran, aku mau ambil motor.”

“Balik bareng, Ze.”

Langkah Zemira terhenti. “Ya gak bisa, kan kamu bawa mobil, aku bawa motor.”

“Ya aku boncengin kamu pake motor.”

“Kan aku cuma ada helm satu.”

“Aku bawa helm sendiri kok, udah di motor kamu. Mobil biar disini aja, kalo enggak dibawa Jaehyun balik.”

Zemira mengernyit. “Terus kamu pulang dari rumahku gimana?”

“Nanti biar aku yang mikir, kamu gak usah ikut mikir. Udah yuk.”

Taeyong menggenggam tangan Zemira dan membawanya menuju parkiran, namun tertahan.

“Kenapa Ze?”

Zemira menggeleng.

“Taeyong—happy birthday! Terima kasih telah lahir ke dunia.”

Kalimat yang mampu membuat Taeyong tersenyum lebar. Ia mengusak pucuk kepala Zemira.

“Makasih sayang. Udah yuk balik, Renjun nungguin di rumah.”

Lengan Zemira tertarik, namun pandangannya masih membeku. Seperti kehilangan akal dan pikiran sesaat, ia sedang berusaha mencerna kalimat kekasihnya itu.

Jangan tanya bagaimana perasaan keduanya. Yang jelas, hati mereka terasa sejuk karena rasa bahagia menyergap membelit. Bahkan angin pun ikut meliuk menari mengusap keduanya lembut.

Kedekatan Zemira dengan Taeyong sudah bukan menjadi rahasia lagi. Bahkan mereka berdua sudah beberapa kali terlihat bersama saat pulang-pergi kampus, ataupun saat keduanya tidak memiliki jadwal kelas.

Tak jarang juga lelaki itu mengunjungi rumah Zemira. Baik itu sekedar bertamu dan bersantai, atau kadang menemani Renjun yang sudah akrab dengannya.

Namun hal itu masih membuat Zemira denial dengan perasaannya. Padahal sudah jelas ia nyaman dan memiliki rasa terhadap lelaki yang sudah dianggap Kakak sendiri oleh si bungsu.

Sebenarnya gadis itu masih sering terbayang oleh seseorang di masa lalunya. Entah masih adakah setitik perasaan yang sengaja ia simpan, atau memang ada sesuatu yang menurutnya belum selesai dan harus ia selesaikan. Mengingat Zemira memutuskan hubungan secara sepihak, menuruti emosinya yang menguap dan tak ingin mengetahui penjelasan dari Jaehyun.

Di hari kelima tanpa kabar dari Taeyong, gadis itu menuruti apa kata si bungsu.

Kini Zemira juga Renjun tengah berdiri di depan kos tempat Taeyong juga Jaehyun tinggal.

Pintunya terbuka, Renjun sudah berada tepat di ambang pintu.

“Kak! Ih sini atuh.” Lambai Renjun ketika menyadari bahwa Zemira masih berada di dekat motornya.

Dengan langkah yang berat, Zemira mendekati sang Adik.

“Kak Taeyong sama kak Jaehyun beneran satu kos?” Tanya Renjun.

“Iya Jun, gue sering kesini, tapi baru ketemu Taeyong waktu itu sekali doang.”

Renjun mengangguk, celingukan. Lantas memencet bel rumah. Baru beberapa detik, terlihat dua orang yang saling melempar tawa menuruni anak tangga.

Mendadak Zemira meremat rok yang ia pakai. Kedua netra hitamnya bertemu tatap dengan gadis yang turun bersama Jaehyun.

Begitu pula Jaehyun yang terkejut mendapati kedua kakak beradik sedang berdiri di ambang pintu.

“Kak punten itu—mm kak Taeyong ada?” Renjun yang tanpa basa basi menanyakan pada Jaehyun.

“Ada, dia lagi sakit. Di kamar.” Jawab Jaehyun dengan pandangannya mengarah pada Zemira. “Masuk dulu duduk.”

Zemira yang dari tadi terus merotasikan kedua bola mata, langsung masuk saat Jaehyun mempersilahkan.

“Ze—“

“Jae gue balik, thank you ya!” Suara lembut Ica masih terdengar di telinga Zemira.

Oh nganter balik ke depan.

Lelaki dengan baju dan celana yang serba hitam kembali masuk ke dalam, setelah mengantar temannya ke depan. Ia duduk di sofa, lebih tepatnya di samping Zemira, dengan Renjun yang duduk di sofa tunggal.

“Kak gue mau ketemu kak Taeyong dong, boleh ke kamarnya?”

Jaehyun mengangguk. “Naik aja, dua kamar pojok itu kamar gue sama Taeyong. Kamar Taeyong sebelah kiri. Masuk aja dah dia lagi ambruk.”

Renjun beranjak dari sofa dan pergi ke kamar Taeyong. Berniat mengikuti langkah si bungsu, Zemira pun ikut beranjak. Namun lengannya tertahan.

“Ze,” Jaehyun meraih pergelangan tangan Zemira. Ia mendongak dengan wajah penuh harap. “Gue mau ngomong.”

Zemira masih berdiri membelakangi Jaehyun.

“Ngomong apa? Gak ada yang perlu diomongin lagi.” Tukasnya.

“Ada. Lo belum dengerin penjelasan gue.”

“Udah, gue udah tau lagian. Bisa lepasin gak? Gue mau ketemu Taeyong.”

Jaehyun berdiri namun tak melepas tangan Zemira.

“Madep gue dulu.” Pinta Jaehyun seraya menarik tangan kiri Zemira, membuat tubuh gadis itu terhuyung.

“Waktu itu gue gak bohong, gue emang buru-buru—“

“Nemenin Ica?” Zemira menyela.

“Dengerin gue dulu Zemira.” Jaehyun menghela nafas. “Iya gue sama Ica, tapi karna gue harus ngajarin Adiknya. Gue dibayar buat ngajarin dia main piano.”

“Gue gak ada apa-apa sama Ica. Kita cuma temen, Ze.”

Gadis itu masih tak mau bicara. Seperti tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Namun ada perasaan lega ketika mendengar penjelasan singkat dari Jaehyun.

“Gak ada gunanya juga lo jelasin sekarang Jae, gue juga udah—“

“Gue masih sayang sama lo.” Sela Jaehyun yang mampu membuat Zemira mendongak dan menelisik netra hitamnya. “Gue harap kita bisa balik lagi.”

Zemira menggeleng. “Enggak, gak bisa.”

“Kenapa? Hati lo bukan buat gue lagi?”

Pertanyaan yang mudah namun gadis itu terlihat kebingungan untuk menjawab.

“Taeyong? Lo suka sama dia?”

“I-itu….”

. . . . . . .

“Kak sumpah lo kurusan, makan yang banyak gih! Masa ngangkat hp aja kagak bisa? Payah lo.” Suara Renjun yang sejak tadi membuat Taeyong terkekeh pelan.

Lelaki itu berada di atas tempat tidurnya, dengan selimut tebal yang sama sekali tidak ia singkap menutupi hingga dadanya. Posisi miring seperti ini memudahkan orang lain untuk melihat wajah pucat Taeyong.

Terlihat sangat jelas.

“Ish udah kak gue mau nyusulin kak Ze ke bawah!”

“Jangan Jun, kasih waktu mereka buat ngobrol.” Cegah Taeyong.

Renjun yang tengah beranjak dan berkacak pinggang menatap Taeyong sebal. Ia dudukkan kembali dirinya di kursi.

Suara langkah kaki mendekat membuat Renjun buru-buru keluar kamar dan benar saja itu suara Zemira, bersama Jaehyun di belakangnya.

Gadis itu mengintip pintu dengan kedua mata menyipit karena senyumnya—canggung.

“Sini!” Taeyong melambai, senyumnya mengembang akibat kedatangan Zemira.

“Lo sakit? Yah sorry gue gak bawa apa-apa gimana dong?” Bahu Zemira merosot.

“Ya udah orang gak papa aku.” Sahut Taeyong.

“Gak papa apaan lo nyusahin gue mulu! Kagak mau ke dokter, minum obat aja ogah-ogahan. Lah makan apalagi?!”

Itu Jaehyun yang ikut masuk membuntuti Zemira. Setelah berkata seperti itu, ia mendapatkan pandangan menusuk dari Renjun.

“Kak kak katanya lo pinter masak kan kak? Ayo masakin Injun. Lagi laper belum makan.” Ia menarik lengan Jaehyun menjauh hingga keluar kamar.

Hanya Zemira yang ada di kamar Taeyong saat ini. Ia tampak sangat gugup karena lelaki itu terus melihatnya dengan senyum yang masih mengembang. Dengan wajah yang pucat, senyumnya masih sangat indah bagi Zemira.

“Sini duduk Ze, gak capek berdiri mulu?”

Zemira mengangguk dan duduk di kursi yang dekat sekali dengan tempat tidur Taeyong. Itu membuatnya tidak nyaman, karena lebih baik ia duduk berlutut saja dari pada duduk sedikit lebih tinggi seperti ini.

“Gue duduk bawah aja deh.”

“Dingin, Ze.”

“Gak papa gini lebih nyaman guenya.”

Taeyong mengangguk. Tatapannya kembali membentur netra hitam Zemira.

“Udah denger penjelasan Jae—“

“Lo kenapa bisa sakit sih?” Tanya Zemira yang tak ingin pembahasannya dengan Jaehyun diungkit. “Lima hari ilang, gue pikir lo diculik.”

“Aku manusia, bisa sakit Zemira.”

“Udah makan?”

“Udah.”

“Bohong, mana buktinya?”

“Tanya Jae—“

“Minum obat?”

“Udah Zemira.”

“Kan bohong, mana gak ada bungkus obat.”

“Kalo gak percaya tanya Jae—“

“Terus yang belum apa?“

Taeyong kembali tertawa. Namun tidak dengan kekehannya, ia hanya tertawa.

“Yang belum?” Tanya Taeyong dengan anggukan Zemira sebagai jawaban. “Ketemu kamu.”

“Eh tapi ini udah.” Imbuhnya.

Blushhhh

Hatinya berdebar. Diam Zemira bukan berarti dalam dirinya pun diam. Sebaliknya, ia berusaha menata debaran hatinya.

“ISH APAAN!” Nada tinggi Zemira sembari mendorong bahu Taeyong.

“Haha. Tanya lagi dong.”

“Lo gak istirahat?”

“Iya ini mau.”

Tangan kiri Zemira terulur, mengarah pada kepala Taeyong. Ia usap beberapa kali pucuk kepala lelaki yang tengah mengerjapkan mata lemah.

“Gih istirahat, gue balik aja. Lo cepet sembuh, gue tunggu lo ngepes bareng Injun lagi di rumah.”

Usapan tangan, juga suara lembut yang dihasilkan Zemira mampu membuat Taeyong menutup matanya dengan semburat senyum di wajah pucatnya.

Zemira menjauhkan tangannya dari kepala Taeyong, namun telapak tangan hangat lelaki itu lebih dulu menangkap dan sontak tangan Zemira kembali menempel pada pucuk kepalanya.

“Sebentar, lima menit.”

Pinta Taeyong dengan mata tertutup. Punggung tangan Zemira terasa hangat. Ia merasakan suhu tubuh Taeyong dari telapak tangan yang melekat.

Cepet sembuh, jangan sakit lagi, gue yang susah kalo gue gak ketemu lo. Nyiksa tau gak.

Ada sesuatu yang berpendar dihatinya hingga menyulut senyum manis Zemira. Dirinya duduk di ruang tengah bersama si bungsu yang sedang mempersiapkan PlayStation juga snack dan minuman ringan lainnya.

“Kak, kalo hari minggu gini harusnya mbak masuk aja biar banyak makanan. Bosen Injun teh makan tahu tempe goreng mulu tiap minggu.”

Omelan Renjun tak ada jawaban. Lelaki itu menoleh pada sang Kakak yang rupanya tengah bermain ponsel dengan sudut bibir yang beberapa kali tertarik.

“KAK ZEMIRAAAAAAAAAAAAA!!!” Kali ini Renjun berteriak hingga membuat Zemira terjingkat di sofa.

“Naon sih Dek teriak-teriak lo pikir lagi di hutan apa?! Gue juga denger kali gak usah pake teriak!”

“Apa coba kalo denger apa gue barusan bilang apa?” Tanya Renjun.

Zemira mengendikkan bahunya. “Itu kan lo nanya Taeyong jadi kesini enggak?” Netra hitamnya berotasi ke kanan dan ke kiri.

“Jauh banget jadi kak Taeyong.”

“Ya…. Ya terus apa?”

Tanya Zemira gelagapan. Renjun yang mengetahui gelagat aneh Kakaknya itu malah mencoba untuk sedikit menggodanya.

“Kak Ze—“

tingg tongg

“Ehhh ada tamu.”

Dengan sergap Zemira beranjak dari sofa dan berjalan pincang untuk membukakan pintu.

Setelah membuka pintu dan mengetahui siapa yang datang, gadis itu mendadak salah tingkah.

Seorang lelaki dengan hoodie hitam melemparkan senyum pada Zemira. Gadis itu pun menelisik wajahnya hingga menangkap sebulir peluh mengalir dari keningnya, mungkin disebabkan karena helm full face yang ia pakai. Ia menatap ujung rambut hingga ujung kaki gadis yang ada di hadapannya.

“Kok rapi? Mau kemana?”

Perlahan Zemira menggeleng. “Eng-enggak mau kemana-mana.”

“Nungguin aku ya?” Taeyong tersenyum hangat lagi.

Zemira mencoba bersikap tenang, meski rasanya sesuatu menggelitik hati, hingga perutnya ketika seulas senyum Taeyong terpapar jelas di depan matanya.

“Itu Adek gue ada di dalem, masuk gih.” Ujar si empunya rumah sembari berjalan masuk ke dalam.

“Kakinya masih sakit Ze?”

“Gak sih udah biasa aja tapi kadang nyeri.”

Taeyong yang berjalan di belakang Zemira itu tak tega melihatnya harus berjalan tertatih-tatih dan harus berpegangan pada dinding rumahnya.

“E-eh gak usah orang deket.” Zemira dikejutkan oleh tangan seseorang yang menahannya dan menuntun tangannya agar melingkar pada lengan Taeyong.

“Siniin tangannya.”

Meski malu-malu, pada akhirnya Zemira menuruti kehendak Taeyong. Jadilah ia berjalan berdua dengan lengan mereka yang berkaitan.

“Abangggg!!!!” Seru Renjun ketika melihat Taeyong. “Ih ih modus Kak Ze ih.”

“Kakaknya tuh dibantu, Jun.”

“Lah tadi gue mau bukain pintu tapi Kak Ze nya yang tiba-tiba lari ngeduluin.”

“Zemira lari?” Tanya Taeyong terheran-heran.

“Kagak apaan lo jangan ngada-ngada!” Bela Zemira.

Layar tv sudah menyala, juga beberapa snack dan minuman berada di atas karpet sebagai pendukung kegiatan mereka.

Renjun sudah siap dengan stick di genggamannya. Taeyong pun ikut duduk dan meraih stick untuknya.

Mereka berdua asyik bermain FIFA yang biasa Renjun mainkan bersama teman-temannya juga. Gelak tawa hingga teriakan membuat rumah terasa hangat. Zemira yang hanya duduk di sofa sembari mengunyah snack pun beberapa kali ikut berteriak saat gawang mereka kebobolan.

Dua babak permainan telah mereka mainkan. Sejenak Renjun mengistirahatkan dirinya, membuka beberapa snack dan minuman untuk ia makan. Stick yang digunakan si bungsu tergeletak bebas, Taeyong meraihnya.

“Mau main gak?” Tawar Taeyong pada Zemira, mengerahkan stick pada gadis itu.

Renjun tertawa. “Kak Ze mah gak bisa atuh Kak kalo disuruh main FIFA. Yang ada jejeritan mulu, mukul-mukulin gue kalo gawangnya gue bobol.”

“Lo sehari aja gak ngumbar kejelekan gue gak bisa apa?!” Omel Zemira sembari melempar satu bungkus snack pada Renjun. “Gak ah gue gak mau main.” Imbuhnya.

“Main yang lain deh yuk.” Bujuk Taeyong.

“God of war aja, Kak Ze jago tuh berpetualang sekalian ngomelnya. Hahaha.” Ejek Renjun lagi. Seketika Zemira berdecak sebal.

“Renjun….”

“Bercanda Kak Taeyonggggg.”

Situasi ini seperti Taeyong sedang menjadi Kakak dari mereka berdua. Berada di tengah-tengah Zemira dan Renjun, tak memihak keduanya, namun menjadi penengah. Zemira saja heran mengapa Adiknya itu mudah sekali menuruti apa yang Taeyong katakan.

“Main ini mau gak Ze?”

Taeyong menggulirkan berbagai permainan yang ada di PS4 milik Renjun. Dragon balls fighterZ ia tawarkan untuk dimainkan bersama Zemira.

“Gampang mah itu Kak, toyor-toyor an kayak naruto kitu.” Sahut Renjun yang melihat si sulung hanya diam berkedip memandang layar tv.

Zemira mengangguk. “Ya udah ayo.” Ia beranjak menurunkan dirinya dari sofa dengan hati-hati. Memposisikan duduknya tepat berada di tengah Renjun dan Taeyong.

Renjun berpindah duduknya di samping kanan Taeyong membuat Zemira mengernyit.

“Ngapain pindah?”

“Gak papa gue ada dipihak Kak Taeyong wlee.” Ujar Renjun sembari menjulurkan lidah.

Zemira hanya mengembus napas kemudian fokus pada layar tv.

“Eh gue mau si botak dong.” Tunjuk Zemira ketika Taeyong akan memilih karakter yang dimaksudkannya.

“Krillin namanya, Ze.”

“Gue belum kenalan.”

Taeyong tertawa. “Ya udah aku pake goki aja.”

3

2

1

“KAKK PAUSE PAUSE!!” Seru Renjun mengagetkan keduanya. “Mau taruhan gak lo berdua? Tiga babak yang kalah traktir beli nugget pisang depan komplek. Gimana? Mau gak?”

“Untungnya dimana Jun? Semua untungnya di lo ieu mah!”

“Ya udah deh traktir apapun yang diminta si pemenang.” Tawar Renjun. “Mau gak? Biar seru tehhhhh.”

“Setuju deh setuju.” Tukas Taeyong.

“Iya udah terserah.”

Babak pertama, Taeyong berhasil mengeluarkan kombinasi serangan sampai lawan tak berkutik. Ia memenangkan babak pertama, membuat Zemira berdecak kesal karena dirinya tak bisa melawannya.

“Segitiga!! Bulet!! Kotak!! Segitiga!!”

Taeyong terus tertawa mendengar seruan Zemira.

“Aaaa Taeyong please please jangan keluarin jurus mematikan ntar si botak mati aaaaaaaaaaa.”

“Ih gimana sih yang kayak lo tadi, Yong?”

“Atas bawah R2.” Jawab Taeyong.

Diam-diam lelaki itu tak menekan tombol-tombol sticknya lagi. Membiarkan Zemira melakukan last hit nya dan memenangkan babak kedua.

“Lah lah Kak?!” Protes Renjun karena melihat Taeyong yang tak melakukan apapun ketika diserang.

“Ssttt….”

“Yesssssss gue menanggggg.” Seru Zemira hingga mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Yahhhh kalah.” Ujar Taeyong dengan segala kepura-puraannya. “Babak terakhir nih.”

Kedua tangan Zemira menggenggam erat stick PS. Pandangannya terfokus pada layar hingga kedua alisnya bertaut. Kedua bola mata seperti berapi-api, dengan pipi yang ia gelembung-gelembungkan membuat Taeyong tertawa gemas ketika meliriknya.

Karakter mereka berdua saling serang, nyawa mereka pun seri.

Lelaki itu meliriknya lagi. Zemira benar-benar berusaha dan itu sangat lucu bagi Taeyong. Jemarinya pun ia layangkan lagi. Seolah menekan tombol, padahal tak ia lakukan.

“Horeeee menangggggg!!!” Seru Zemira disertai tawa yang merekah.

“Aduh bentar deh gue mau ke kamar mandi dulu sebelum malakin lo.” Tunjuknya pada Taeyong.

“Haha udah sana buru.”

“Jangan kabur lo, awas.” Tukasnya lagi sembari beranjak pergi ke kamar mandi.

Taeyong membereskan beberapa bungkus makanan yang berserakan. Mendengar Renjun berdecak kesal membuatnya menoleh.

“Kenapa? Lo gak mau ganti baju dulu aja siap-siap?”

“Lah emang mau kemana Kak?”

“Cari makan lah di luar, udah sore begini.”

Renjun mengangguk paham disertai senyuman. “Ohhh jadi lo sengaja buat kalah ya Kak biar bisa pergi berdua sama Kak Ze?”

“Apaan orang bertiga sama lo.”

“Ya tapi lo sengaja kannnn?” Goda Renjun lagi.

“Iya sengaja.”

Tiba-tiba Renjun mendekatkan dirinya.

“Kak, lo suka kan sama Kakak gue?” Merendahkan suara.

“Enggak kok.” Jawab Taeyong tenang.

“Atuhlah Kak jujur sama Injun. Janji bakal diem deh.” Bisiknya lagi. “Kalo perlu Injun bantu mau gak mau gak?”

Renjun menaik turunkan kedua alisnya. Taeyong tertawa.

“Iya.”

Lantas Renjun tertawa pelan menimpali jawaban Taeyong itu.

Rasa perih itu kembali mendera kaki Zemira. Mungkin karena ia terlalu memaksakan diri untuk berjalan tanpa alat bantuan.

“Zemira!!”

Gadis yang dipanggil itu menoleh. Tampak seorang lelaki berlarian dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Aku cariin di lobby udah sampe sini aja.” Ujarnya dengan terengah-engah.

“Lagian chatnya cuma lo baca doang.”

“Belum aku bales?” Taeyong bertanya-tanya dan hanya dibalas gelengan kepala dari lawannya. “Ini kamu mau kemana? Ayo aku anter pulang.”

“Ke FKG.”

“Ngapain?”

“Udah ayo bantu gue.”

Jujur saja Taeyong tidak tau kemana arah dari kalimat Zemira. Jika ia harus membantu gadis itu berjalan, lantas bagaimanakah? Apakah ia harus membopongnya atau apa?

Melihat lelaki dengan setelan monokrom terdiam seperti orang kikuk, Zemira langsung melingkarkan tangannya pada lengan Taeyong. Ia berpegangan, kemudian menuntut lelaki itu untuk segera mengikuti langkahnya.

Tak ada penolakan juga persetujuan dari Taeyong. Ia hanya menyamakan langkak kaki Zemira yang semakin memaksa untuk berlari.

“Ze, pelan-pelan.”

“Yong gue gak bisa pelan keburu mereka ilang tau gak!”

Taeyong seperti tersadar dan mendadak mengetahui maksud dari Zemira pergi kesana. Ia tebak itu bersangkutan dengan Jaehyun.

Mahasiswa yang berada di halaman fakultas memandang tidak mengerti apa yang sedang dilakukan dua orang yang bersembunyi di balik tembok.

Taeyong dan Zemira yang tengah memperhatikan dua orang yang sedang duduk di bangku dan asyik tertawa. Jaehyun bohong ketika ia memberitahu bahwa ia sedang terburu. Atau mungkin memang benar ia terburu-buru untuk menemui temannya itu.

Zemira menggigit bagian bawah bibirnya, menahan kesal. Kedua alisnya sudah menyatu hingga dahinya mengernyit. Ia semakin mengerucutkan bibirnya. Taeyong mengusap punggung tangan Zemira yang masih bergelanyut di lengannya, berusaha meredamkan rasa kesal.

“Sebentar, tali sepatumu lepas.” Ujar Taeyong sembari melepas tangan Zemira, lantas berjongkok untuk menautkan tali sepatu gadis itu.

“Ih kok pegangan tangan?!” Keluh Zemira lirih dengan nada kesal. “Yah Yong mereka berdua pergi…”

Zemira menunjuk ke arah depan. Netra hitamnya terus mengikuti arah mereka pergi.

“Taeyong itu udah pergi….”

“Yong ih cepet.”

Gadis itu beberapa kali menepuk bahu Taeyong yang masih berjongkok dan fokus mengaitkan tali sepatu.

“Taeyong ihhhhh ayo dikejar!!” Seru Zemira lagi.

“Taeyong ayoooooo…” ulangnya.

Kini Zemira menggoyang-goyangkan kakinya. Ia sudah hampir menangis karena rasa sakit yang ia pendam dan terus ia kesampingkan.

Taeyong tetap berjongkok padahal dirinya telah usai menautkan tali sepatu Zemira. Bukan ia tak mau membantunya mengejar kekasihnya, namun ia lebih memilih diam dan tak menuruti Zemira agar ia tidak semakin terluka nantinya.

“Gue mau mutusin Jaehyun. Gue mau putus.” Kalimat Zemira keluar begitu saja, membuat Taeyong mendongak dan berdiri setelahnya.

“Gue capek.” Ada getar di dalam suaranya. Seperti ada sesuatu yang menghimpit dada.

Taeyong mengubah posisi Zemira menghadap tembok gedung. “Nangis aja, gak ada yang ngeliat.”

Wajah Zemira berubah, Taeyong dapat melihatnya. Ia yang bersandar di tembok itu memperhatikan bagaimana wajah Zemira berubah merah dengan sudut mata yang mulai membasah. Bagaimana ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dan bagaimana suara tangisnya berusaha ia redam agar tak ada yang mendengar.

“Dipikir dulu ya, Ze kalo mau putus. Aku takut kamu belum bisa ngendaliin emosi dan perasaan.”

“Aku takut kamu hanya mempercayai apa yang kamu lihat tanpa mau mendengar kebenaran.”

Zemira tidak menjawab kalimat penenang itu. Ia hanya diam, tidak bereaksi. Tidak mengiyakan ataupun menidakkan.

Lelaki itu mengembus napas. “Udah sore yuk balik, Renjun nungguin.”

“OH IYA TEMEN-TEMEN INJUN MAU KE RUMAH KUMAHA IEU GAK ADA MAKANAN KAK MBAK LIBUR?!” Seru Zemira tiba-tiba yang membuat Taeyong terkejut.

Mata yang masih basah dengan hidung mungilnya memerah, gadis itu teringat jika persediaan nugget pun habis. Seperti telah lupa dengan apa yang menyakiti hatinya, buru-buru ia meminta Taeyong untuk mengantarnya pulang.

Senyum Taeyong mengembang. Ia tak dapat menyembunyikan kegeliannya melihat Zemira yang seperti itu.

“Naha ketawa ih? Ayo buru balik, tapi anterin gue belanja dulu mau? Masakin buat makan ntar malem.”

Zemira tersentak kecil ketika hangatnya telapak tangan Taeyong menyentuh pori-pori kulit wajahnya. Lelaki itu menghapus sisa-sisa air yang masih membuat pipi Zemira basah. Ia tak tahan melihatnya.

“Aku mau bantu masak.” Ujar Taeyong.

“Emang bisa?!”

“Jangan mengejek. Bisa lah, malah sepertinya masakanku lebih enak.”

“PD GILA?!”

“Itu namanya mengapresiasi diri sendiri.”

“Enggak. Terlalu percaya diri gak baik, jatuhnya sombong.”

“Emang bermaksud seperti itu.”

“LAH?!”

Taeyong tertawa. “Enggak, aku bercanda.”

“Pakek gue-lo aja napa Yong.”

“Gak bisa.”

“Lo ngomong sama yang lain aja bisa, masa sama gue gak bisa?”

“Sama kamu beda. Bawaannya pengen ngelembutin.”

Skakmat! Perasaan hangat tiba-tiba menghangatkan hatinya. Zemira tersipu, ia kebingungan untuk menyembunyikan wajahnya yang merona itu. Andai saja kakinya tak sakit, mungkin ia sudah melepas genggaman pada lengan Taeyong, dan berlari meninggalkan lelaki itu.

Ia benar-benar malu dengan perkataan Taeyong. Namun entah mengapa Zemira merasa lebih tenang.

Pada akhirnya hanya saya yang ditakdirkan untuk menunggu, sedang kamu tidak.

image


Jeong Jaehyun.

Duduk diantara batang pohon akasia dengan perlahan dan hati-hati. Ia menengadah wajahnya ke atas. Gelap malam, cahaya bulan berpendar anggun dengan beberapa bintang bersinar berkilauan tersenyum menyejukkan. Ia melambai menyapa sang bulan. Kemudian netra hitamnya menatap lamat kulit putih pucat yang selalu menjadi penyesalan hidupnya.

“Jaehyun!”

Suara gadis dari jauh terdengar lantang terbawa angin malam. Sigapnya Jaehyun menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis dengan dress selutut berlarian menembus ilalang. Gadis yang memiliki wajah bulat dengan tahi lalat di dagu dan satu lesung pipi memperindah wajah ketika tersenyum itu adalah ciptaan Tuhan yang selalu Jaehyun tunggu kehadirannya.

“Sudah berapa kali Meissa bilang! Jangan naik pohon, Jeong Jaehyun!”

“Tidak dengar, Meissa.” Jaehyun menjawab dengan kedua telunjuk yang masing-masing menutupi lubang telinganya. Pura-pura tidak mendengar sembari melepas tawa yang membuat Meissa berkacak pinggang sebal.

Meissa Aquila namanya. Gadis yang esok hari akan genap berumur 25 tahun.

“Jaehyun, ayo menikah saja.” Ujarnya sembari duduk bersandar memunggungi pohon. “Meissa janji masakin Jaehyun makanan enak setiap hari. Makanan matang, yang bisa Jaehyun makan.”

Kalimat yang keluar dari bibir Meissa membuat lelaki itu turun kemudian berjongkok di depannya. Bertemu tatap dengan mata lentik milik gadis di hadapannya.

“Saya....” Jaehyun menggantung. “Mau ditemani?”

Lelaki itu mengelus rambut Meissa. Mengerti akan ungkapan kasih sayang Jaehyun padanya, gadis itu tidak menyurutkan kepala untuk menghindari usapan lembut.

“Ditemani apa? Meissa tidak minta ditemani kemana-mana.” Pura-pura kaget, Meissa menggelengkan kepala.

“Ditemani seumur hidup. Tadi minta?”

Meissa tertawa. “Menikah maksud kamu?”

Jaehyun menunduk malu. Telinganya berpendar merah. Cukup kontras karena kulit putihnya.

“Jaehyun malu?” Goda Meissa dengan kedua tangan menangkup wajah lelakinya yang berusaha menyembunyikannya. “Haha itu telinga Jaehyun merah.”

Meissa tertawa kecil. Masih berusaha melihat wajah Jaehyun yang disembunyikan. Tawanya semakin terasa dingin. Diam, kemudian tangisnya pecah. Pipinya membasah.

“Meissa?” Jaehyun mendongak terheran. Membantu gadisnya menyapu pipinya yang basah.

Air matanya tidak mampu untuk berhenti. Semakin ditiup-tiup malam.

“Nih iya deh lihat wajah saya ini. Iya saya malu. Jangan buang air mata disini, nanti ilalangnya tenggelam karena air mata kamu.” Masih mencoba menghibur dengan mengatakan sesuatu yang lucu.

Gadis itu mulai meneliti wajah lelaki yang kini duduk sangat dekat di depannya. Kulit putih dingin dan tak pernah hangat, bola mata yang selalu berubah warna seiring musim berganti, dan wajah yang tak pernah menua.

“Sebentar lagi saya berumur 25 tahun.” Ucapnya dengan bibir bergetar.

“Karena itu?”

Meissa mengangguk. Tatapannya beradu dengan mata Jaehyun.

“Kalau besok Jaehyun umur berapa?” Tanya Meissa yang matanya mulai dipenuhi beningan air. “Jaehyun bilang setiap Meissa bertambah umur, umur Jaehyun juga bertambah.”

Jaehyun tergeragap. Menghembus napas berat. Ia kembali menunduk, menoleh ke segala arah, menghindari tatapan mata Meissa. Matanya membasah. Semua kenangan serasa terputar jelas di dalam otaknya kini.

Tempat ini selalu sama. Pohon akasia, ilalang, dan berbagai macam gelak tawa. Rasa takut hingga bayang-bayang dirinya yang selalu menunggu seorang diri. Kesedihan yang ia nikmati sendiri tanpa ada tempat untuk berbagi. Ratusan juta bulir air mata terjatuh menjadi teman rasa kehilangannya.

“Jaehyun....”

“1050 tahun, Meissa.” Jawabnya dan satu butir bening lolos. “Saya-“

“Dua menit!! Dua menit lagi!” Seru Meissa ketika melirik layar ponsel yang menunjukkan alarm pengingat. Kemudian beranjak. Menarik pergelangan tangan Jaehyun untuk membuat lawannya ikut berdiri.

Meissa membawanya berjalan ke tengah ilalang. Mereka berdua tampak serasi dengan dress putih tulang yang dikenakan Meissa dan baju putih keabuan berlengan panjang yang dikenakan Jaehyun. Berdiri berdampingan dengan kedua tangan yang masing-masing mereka kaitkan untuk memanjat doa. Di bawah cahaya rembulan yang masih tersenyum mesra, mereka sudah bersiap memejamkan mata.

Tepat pukul 12 malam ponsel Meissa berdering mengalunkan lagu Already Gone milik Sleeping At Last. Mereka berdua saling memanjat doa. Menjadi doa terpanjang bagi Meissa diumur seperempat abadnya. Gadis itu masih memejamkan mata ketika Jaehyun selesai mengirim harapannya pada Tuhan.

Sembari menunggu gadisnya mengakhiri doanya, Jaehyun mengeluarkan flower crown dari balik kemejanya yang ia rangkai sendiri. Meletakkan benda cantik itu di atas kepala Meissa. Menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga yang berkeliaran tertiup angin. Lelaki itu masih menatap lamat sang pujaan hati.

Kedua mata Meissa terbuka perlahan. Hatinya cukup tenang melihat wajah lelaki yang tersenyum dengan kedua lesung pipi di hadapannya itu.

“Selamat bertambah umur, Meissa Aquila.”

“Selamat bertambah umur, Kakek Jeong Jaehyun.”

“Apa?!” Jaehyun melotot, namun Meissa tertawa terbahak hingga ia memegangi perutnya. “Kenapa bisa kamu panggil saya dengan sebutan Kakek?!”

“Iya lalu? Umur kamu 1050 tahun sekarang. Saya harus panggil kamu apa? Kakek moyang? Oke baiklah itu lebih baik kan?”

Setelah berucap demikian, Meissa berlari menerobos ilalang. Gadis itu terus tertawa, bahkan lesung pipinya tak pernah padam. Semakin tampak cantik di mata Jaehyun. Kemudian ia berjalan mundur sembari memperhatikan lelaki yang senyumnya merekah. Melambai-lambaikan tangan, mengatur nafas.

“Sampai bertemu esok hari! Saya tunggu kamu melamar saya!” Teriaknya di seberang sana dengan melambaikan tangan. “Terima kasih hadiahnya!”

“Iya! Hati-hati!” Jawab Jaehyun.

“Bu, Jaehyun hari ini ke rumah, Meissa pakai baju apa ya?!” Seru Meissa dari lantai dua. “Ibu?! Bantu pilihin baju, Bu!” Teriaknya lagi, namun tak ada suara di bawah sana.

Meissa berjalan menuruni anak tangga. Celingukan mencari sang Ibu yang rupanya berada di teras rumahnya. Tak sendiri, beliau bersama Ayahnya. Dahi Meissa berkerut heran. Keduanya telah memakai setelan yang rapi. Seperti tengah menunggu kedatangan seseorang atau sebaliknya? Mereka berdua telah bertemu seseorang, karena tatapannya masih mengarah pada pagar yang terbuka tak lebar.

“Ibu? Ayah?”

Keduanya tersentak dengan sapaan putrinya.

“Ayah Ibu sedang apa? Meissa panggil Ibu dari tadi. Ayo Ibu bantu pilih baju untuk Meissa pakai.”

Gadis itu menggenggam tangan Ibu, menariknya perlahan menuju ke dalam rumah. Kedua orang tuanya masih terdiam. Jika benar firasat Meissa, maka mereka sedang menyembunyikan sesuatu.

“Nak....” Tangan Meissa tertarik, menghentikan langkahnya tepat di bawah anak tangga.

“Iya, Bu?”

“Jaehyun,” bibir Ibu membisik.

“Jaehyun kenapa Bu? Iya jam 10 Jaehyun kesini.” Jawab Meissa mencoba tenang meski dirinya tidak tenang. Melihat Ibu hanya diam, ia menarik genggamannya lagi untuk berjalan menuju kamar. “Ayo Bu, takut Jaehyun kesini Meissa belum apa-apa.”

“Ayah menolak pertunangan kalian.”

Bak disayat belati, hati Meissa terluka seketika mendengar kalimat sang Ayah. Langkahnya terhenti, kemudian membalikkan tubuh menghadap lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Tatapan matanya menuntut penjelasan, namun Ayah menghindari tatapan Meissa.

“Ayah? Semalam Ayah semangat menunggu kehadiran Jaehyun. Kenapa tiba-tiba?” Meissa menuntut.

“Jaehyun bukan orang baik, dia tidak akan kemari.”

Meissa terdiam menggeleng halus. “Jaehyun sudah janji, Ayah.” Ia menoleh kearah jam dinding dengan jarum panjang menujuk angka 11 yang berarti 5 menit lagi Jaehyun akan datang.

“Meissa ganti baju dulu, Ibu, Ayah.”

Mata Ibu berair setelah putrinya memasuki kamar. Ayah pun masih terus menatap punggung sang putri meski sudah tak terlihat lagi.

Tak berdandan pun Meissa sudah tampak cantik dengan kulitnya yang bersih dan terawat. Ditambah hari ini adalah hari yang akan menjadi hari istimewa bagi gadis itu, ia ingin semakin mempercantik diri.

Dress berwarna merah muda dengan kombinasi bunga berwarna putih di bagian bawah, tampak sangat cocok dengan kepribadian Meissa. Tak lupa pula ia memakai flower crown hasil tangan kekasihnya.

Meissa, juga kedua orang tuanya menunggu di ruang tamu. Menunggu kedatangan seseorang yang akan menemani sisa hidupnya. Membayangkannya saja Meissa sangat bahagia. Sesekali ia melempar senyum kepada kedua orang tuanya bergantian.

Jarum jam terus berjalan cepat. Gadis itu mulai gugup karena tak ada tanda kedatangan. Berkali-kali ia keluar rumah untuk memastikan. Ia tampak cemas hingga berusaha menghubungi Jaehyun.

Sudah hampir dua jam ia menunggu. Puluhan pesan ia kirim namun tak terbalas. Puluhan hingga ratusan panggilan pun tak terjawab.

“Ayah, Ibu, sepertinya Jaehyun tersesat. Meissa cari Jae-“

“Jaehyun tidak akan datang, Meissa!” Tukas Ayah.

“Jaehyun sudah berjanji! Dia akan datang hari ini.” Tegasnya. “Meissa mau cari Jaehyun!” Imbuhnya sembari pergi meninggalkan rumah.

Kedua mata Meissa berkaca-kaca. Meyakinkan diri sendiri. Jaehyun akan selalu menepati janjinya. Itu yang membuatnya yakin. Ia pergi ke tempat dimana mereka berdua selalu memanjatkan doa bersama. Tempat dimana Meissa bisa menemukan lelaki itu meski tak harus pergi ke rumahnya.

Berlarian menerobos ilalang dengan kekesalan yang memuncak, ia terus meneriaki Jaehyun. Gadis itu tau pasti lelakinya tengah duduk diantara batang pohon akasia, seperti biasa. Namun ketika kedua kakinya telah sampai, ia tak menemukan Jaehyun disana.

“Jaehyun?!”

“Kamu bersembunyi dimana?”

“Jangan bercanda, Jeong Jaehyun!”

Hanya terdengar suara ilalang yang tertiup angin. Suara daun yang saling bergesekan. Meissa terus berusaha menghubungi Jaehyun. Ia beristirahat dengan duduk bersandar di pohon. Menunggu lelaki itu datang ke tempat ini atau setidaknya membalas pesan dan panggilan dari Meissa.

Cukup lama menunggu, tetapi Jaehyun tidak datang. Gadis itu tidak tau dimana tempat tinggal lelakinya karena ia sama sekali tak pernah menjamah.

Layar ponsel Meissa menyala. Satu pesan masuk dari seseorang yang ia tunggu. Dengan terburu ia membuka pesan itu, hatinya kembali hangat sesaat mengetahui bila Jaehyun tidak akan—

Sebulir bening yang sebelumnya mengembang di kelopak mata lentik Meissa, kini meliuk turun. Tangannya bergetar menggenggam ponsel yang akhirnya ia jatuhkan benda itu. Matanya berkejap sendu. Ada rasa kecewa dan rasa sakit bercampur jadi satu memenuhi ruang hatinya membaca satu pesan yang ia baca.

Jangan menunggu, saya tidak akan pernah datang. Maaf jika saya pernah hadir. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya mau kamu bahagia dengan manusia yang nantinya benar-benar akan menyelesaikan cintanya hingga akhir. Sedang saya tidak. Saya akan tetap disini, menunggu kamu. Tanpa tau kapan saya akan bisa mengakhiri cinta saya bersama kamu. Berbahagialah Meissa.

“Jeong Jaehyun, saya sudah pernah bilang kalau saya hanya bisa merasa bahagia bersama kamu.” Lirih Meissa terbata. Nada suaranya bergetar akibat isakan yang tak dapat ia bendung.

Air mata Meissa mengalir deras hingga pundaknya bergetar. Ia menunduk mencoba meredam suara tangisnya di perpotongan lengan tangan. Tangannya meraih ponsel yang terbuang tadi. Menekan angka, mencoba menghubungi Jaehyun namun terlambat, ponselnya telah dinonaktifkan.

“Jaehyun jahat!”

“Jaehyun jahat!”

. . . . . .

Tentang janjinya pada Meissa, Jaehyun tak mengingkarinya. Ia tak akan mengingkari janji yang telah ia buat sendiri, terlebih janjinya kepada orang terkasih. Lelaki itu datang. Menemui kedua orang tuanya, dan sengaja untuk tidak bertemu dengan gadisnya.

Jaehyun datang dengan setelan tuxedo yang sudah ratusan tahun ia pakai. Datang dengan senyum menawan yang akan membuat siapapun bisa jatuh hati padanya. Senyum yang sangat cerah, bahkan mentari pun kalah.

Pintu rumah yang terbuka menampakkan kedua orang tua Meissa tengah duduk menunggu kedatangan dirinya. Mereka bertemu tatap, kemudian sang Ibu menghampiri dan mempersilahkan masuk namun Jaehyun menolak sopan. Sang kepala keluarga pun ikut menemui lelaki itu di luar rumah, atau tepat di teras rumah.

“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu? Tampak sangat sehat, apakah benar begitu?” Prolognya.

“Sepertinya hari ini Ayah akan lebih sehat karena hari bahagia putri Ayah.” Senyumnya merekah. “Ada apa? Mengapa tidak berbincang di dalam saja?”

Jaehyun menggeleng.

“Saya hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang mungkin tidak dapat kalian percaya.”

“Apa itu?” Raut wajah Ibu tampak mulai cemas.

“Kalian mungkin menganggap saya adalah manusia pada umumnya. Sepertinya Meissa tidak akan pernah memberitahu ini pada kalian jika bukan saya yang mengungkapkan sendiri identitas saya.”

“Saya memang tampak seperti manusia, tapi sayangnya bukan. Saya bukanlah manusia yang bisa melahap semua makanan. Saya bukanlah manusia yang bisa mati dan ber-reinkarnasi menjadi orang lain. Saya hanyalah makhluk Tuhan yang memiliki masa hidup satu kali. Jika masa hidup saya telah berakhir, saya tidak akan reinkarnasi dan hidup kembali. Saya benar-benar mati dan menghilang.”

Kedua orang tua Meissa tampak bingung namun tetap memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan Jaehyun.

“Saya mencintai Meissa. Dari awal kehidupan saya hingga saat ini. Saya selalu melihat gadis yang saya cintai pergi meninggalkan dunia, sedang saya disini kembali sendiri dan menunggu dia memiliki kehidupan lagi. Saya selalu cemas, bagaimana jika tak ada lagi reinkarnasi dari orang yang saya cintai? Bagaimana jika saya akhirnya benar-benar sendiri hingga masa hidup saya berakhir?”

Menjelaskan hal yang cukup sulit seperti itu membuat air di pelupuk mata Jaehyun jatuh beraturan. Ia tak mencoba menghapusnya, ia hanya berusaha menuntaskan apa yang seharusnya ia sampaikan.

“Percayalah, saya telah melihat kepergiannya berkali-kali dan itu menghancurkan saya. Lantas izinkan saya kali ini untuk mencoba merindukannya dari jauh, merawatnya dari jauh, menemaninya dari jauh, dan mencintainya dari jauh.”

“Saya janji, ketika masa hidup saya akan berakhir, saya akan benar-benar membersamai Meissa hingga akhir. Saya akan mengakhiri cinta saya di kehidupan Meissa berikutnya.”

“Saya akan pastikan Meissa bahagia dan akan selalu seperti itu. Namun kali ini tolong izinkan saya menjaganya dari jauh.”

Seketika Ibu memeluk Jaehyun meski pelukannya tak terbalas. Menepuk punggungnya pelan. Menangis disana.

“Tidak apa, kamu telah melewati banyak hal. Pasti sangat berat hidup seperti ini.” Ucap Ibu dengan mengendurkan pelukan dan mengusap pipi yang basah.

“Saya hampir tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Saya izinkan kamu. Terima kasih telah mencintai putri saya hingga saat ini dan di kehidupan berikutnya, saya harap kamu tetap mencintai putri saya. Lega bisa mengetahui bahwa Meissa dicintai oleh lelaki seperti kamu, Jeong Jaehyun.” Ungkap sang kepala keluarga sembari menepuk lengan Jaehyun beberapa kali.

Jaehyun menunduk, kemudian melangkah pergi setelah mendapat izin dari kedua orang tua Meissa. Ia meloloskan butiran air matanya sebelum kedua kakinya melewati pagar rumah. Tak lama ia mendengar suara dari Meissa, lantas ia tersenyum pilu.

“Saya minta maaf.” Gumamnya.

Derit air keran dibuka. Jaehyun membasuh muka sesampainya di rumah. Ia kembali masuk ke kamar, melirik ponsel yang layarnya terus menyala. Gadisnya yang tanpa henti menghubungi. Pesan dan panggilan sama sekali tak diindahkan oleh Jaehyun.

Duduk di tepi ranjang dan menghadap jendela. Pandangannya menembus ke arah kendaraan yang berlalu lalang melewati depan rumahnya. Hatinya bertanya-tanya apakah keputusan yang ia ambil ini benar atau tidak.

Pada akhirnya Jaehyun mengirim satu pesan untuk Meissa. Permintaan maaf, juga permintaan agar gadisnya tak lagi menunggu kedatangannya. Mungkin pesan itu akan menyakiti hati Meissa, namun harus ia lakukan agar Meissa bisa kembali melanjutkan hidupnya. Berbahagia dengan sesama manusia. . . . . . . Satu tahun.... . . . . . . . Dua tahun.... . . . . . . . Tiga tahun.... . . . . . . . Empat tahun....

Setelah sekian lama Jaehyun melihat keterpurukan Meissa, akhirnya gadis itu telah bangkit di usianya yang beranjak 30 tahun. Ia menikah dengan seorang laki-laki baik. Jaehyun mengenal lelaki yang akan menjaga gadis—ah perempuannya itu.

Pada saat pernikahan digelar, Jaehyun berada disana, namun ia hanya hadir dari kejauhan. Melihat Meissa berdiri dengan sang suami, hati Jaehyun tersayat. Ada rasa sesak dan tak terima melihat itu terjadi. Namun lebih menyesakkan melihat Meissa selama tiga tahun lamanya tak pernah absen mengunjungi tempat dimana Jaehyun menghabiskan waktu santainya.

Di hari bahagia Meissa, Jaehyun mendatangi tempat itu lagi setelah tiga tahun lamanya ia tak berada disana. Dengan cekatan ia memanjat pohon akasia yang ia rindukan. Pohon yang menjadi saksi dimana ia merasa sesak, sedih dan kehilangan selama ratusan tahun lamanya. Langit tampak kebiruan dan lebih cerah dibanding biasanya. Mungkin itu karena Meissanya telah bahagia.

Melihat ilalang dari atas pohon membuat segala kenangan selama ratusan tahun mendadak menampakkan diri. Terkadang Jaehyun tak tahan dengan itu dan berakhir mengurung diri di dalam kamar untuk tak pergi kemana pun. Tapi kali ini ia mencoba melawan meski terasa sesak bila harus mengingat Meissa di setiap kehidupan sebelum-sebelumnya.

Meissa miliknya tidak pernah berubah. Perempuan itu selalu memiliki senyum dan tawa yang selalu ia rindukan. Kepribadian yang selalu membuat dirinya jatuh cinta dan tak akan pernah merubah rasa cinta itu sendiri. . . . . . Jaehyun memandang wajah letih itu. Ia mengangguk dan tersenyum pada dua anak kembar yang tengah diajaknya bermain berlarian di tengah ilalang. Meissa bersama kedua putrinya berada di tempat yang selalu menjadi saksi bisu kisah cintanya.

Rupanya Meissa masih mengingat tempat ini meski dirinya sudah memiliki kebahagiaan lain. Jaehyun tersenyum.

“Semoga Meissa selalu sehat dan bahagia seperti ini.” Lirihnya yang kemudian berbalik badan tak jadi menuju kesana.

“Om! Om!”

Suara anak kecil menghentikan langkahnya.

Putrinya Meissa?

“Om bisa tidak menggendongku untuk sampai di atas sana?” Tanya si kecil menunjuk arah pohon akasia. “Bunda tidak punya kekuatan. Om mau bantu Jihan?”

Jaehyun tersenyum dan berjongkok. Menelisik tiap sudut yang mirip dengan orang terkasihnya. “Maaf ya, Jihan, Om sedang sibuk. Besok-besok Om bantu ya?”

Namun anak kecil itu menggeleng kuat. “Kata Bunda, ini terakhir kalinya Jihan kesini.”

Lelaki dengan lesung pipi yang merekah itu hanya mengangguk kecil meski rasa sakit menghampiri hatinya. Mendengar kalimat Jihan membuat dirinya yakin bahwa Meissa akan segera melupakannya.

Susah payah membendung air mata, Jaehyun akhirnya beranjak pergi. Namun sebelumnya ia menyuruh Jihan untuk kembali pada Meissa, juga memastikan anak itu benar-benar sampai ke tangan sang Bunda.

. . . . . . .

Tidak akan pernah manusia tau bagaimana takdir dan jalan hidup mereka. Kapan dan dimana ia akan bertemu dengan seseorang tak lagi pernah ia sangka. Seperti saat ini dimana Meissa keluar dari toserba dan mendapati seorang lelaki yang masih tetap sama. Masih tetap memiliki hatinya, sepenuhnya.

“Jeong Jaehyun?!” Gumamnya.

Lelaki di seberang sana masih menunduk dan bersandar pada tembok gedung. Bermain dengan kerikil trotoar, kakinya berayun-ayun. Betapa bahagianya Meissa setelah hampir sepuluh tahun lelaki itu hilang kabar, tak pernah ia temui, juga tak pernah ia lupakan.

Kedua mata legamnya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang tengah bersatu disana namun Meissa menahannya. Membuat pandangan matanya buram. Meissa tengah memastikan di arah kanan dan kiri tak ada kendaraan yang lewat, lalu ia berjalan menyeberangi jalan raya itu. Ia sangat ingin memeluk tubuh lelaki yang selama ini ia rindukan. Kaki yang tak selincah dulu mempersulit jalannya. Ia hampir saja tersandung dan terjatuh.

“Jae—“

Si empunya nama menoleh, menyadari dirinya terpanggil.

Tiiiinnnn...

Bruakk....

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi menerobos tubuh ringkih seorang perempuan.

“MEISSA!!” Jaehyun terkejut setengah mati. Dengan cepat ia menghampiri dan meminta pertolongan.

Tangan Jaehyun bergetar, ia menangis tanpa air mata dan suara. Mencoba menarik napas panjang dan tetap tenang. Menolong seseorang yang sedang mengalami kecelakaan seperti ini tak boleh panik. Jaehyun langsung menelpon ambulance. Dan ketika mobil itu datang, ia juga membantu menggendong Meissa dan menemaninya di mobil.

“Meissa? Meissa? Ini saya. Meissa ini saya Jaehyun.” Ucap Jaehyun sembari menggenggam tangan kiri Meissa. “Meissa dengar suara saya?” Kini suaranya bergetar.

Wajahnya masih tetap cantik meski tertutup cairan merah.

“Oksigen di dalam tubuh menurun!!” Ujar perawat yang ada di dalam mobil.

“MEISSA! MEISSA!”

“Buka mata kamu, saya mohon.”

“Meissa tolong tetap hidup untuk saya.”

Jaehyun tidak melepas genggamannya meski kini Meissa telah dibaringkan di atas nakas yang di dorong menuju ruang UGD. Melewati lorong-lorong rumah sakit, lelaki itu tanpa malu meneteskan air mata dengan derasnya.

Ia merasa Meissa tengah mencoba membalas genggaman tangannya. Perempuan yang tak sadarkan diri itu pelan-pelan membuka matanya. Meski tak sepenuhnya terbuka, Meissa bisa menangkap jelas wajah Jaehyun yang tengah tersenyum di dalam tangisnya. Namun tubuhnya seakan mati rasa, untuk sekedar mengucap satu kata pun ia tak sanggup.

“Saya disini, Meissa.”

“Saya disini....”

“Saya tidak akan kemana-mana, saya disini menemani kamu.”

“Tolong bertahan untuk saya, Meissa.”

“Saya tidak akan pergi, saya disini.”

Kalimat yang sangat ingin didengar oleh Meissa. Kalimat-kalimat yang selalu ia rindukan akhirnya dapat ia dengar lagi. Tanpa sadar pucuk mata Meissa membasah.

Meissa tersenyum dengan manisnya untuk Jaehyun sebelum ia masuk ke dalam ruang UGD.

. . . . . . . .

Terasa menyakitkan, melihat kepergian seseorang. Terlebih orang yang selalu ia tunggu kehadirannya, seseorang yang selalu ia rindukan, seseorang yang akan selalu menjadi tuan rumah di hatinya. Jaehyun meletakkan hatinya yang lelah di atas pohon akasia. Menggantungnya agar angin membuat hatinya kembali sejuk. Agar cahaya mentari mengeringkan lukanya yang membasah dan akan terus membasah.

Lelaki itu mendekap tubuhnya dan bersandar di pohon. Duduk di bekas Meissa biasa melamun, berbagi tawa, hingga menangis tersedu. Jaehyun menggenggam secarik kertas berisikan tulisan tangan Meissa, yang entah sejak kapan tergantung di salah satu ranting pohon. Kertas berisikan doa yang ia kirim pada Tuhan saat ulang tahun ke-25 nya, juga beberapa kalimat indah lainnya.

Jeong Jaehyun, makhluk ciptaan Tuhan yang ditakdirkan untuk mencintai saya. Meissa tau jika kamu bertanya-tanya mengapa kala itu saya memanjatkan doa dengan lamanya. Ya, saya banyak memohon saat itu pada Tuhan. Bukan untuk saya sendiri, melainkan kamu. Saya meminta banyak untuk kamu, lelaki yang akan saya temui dikehidupan berikut-berikutnya.

Saya meminta agar kita dipertemukan kembali dikehidupan berikutnya dengan wujud sama-sama manusia. Jika Tuhan tak mengabulkan, maka saya meminta agar dipertemukan kembali dengan kamu dikehidupan berikutnya sebagai makhluk yang sama seperti kamu. Jika Tuhan tak juga mengabulkan, saya meminta ganti rugi atas tidak dikabulkannya doa saya.

Ganti ruginya adalah selama saya belum dilahirkan kembali, Tuhan harus mengeringkan semua luka yang masih membasah di hatimu. Tuhan harus membahagiakan kamu. Tuhan harus menghilangkan sebagian kenangan akan Meissa-Meissa terdahulu agar kamu hidup tanpa bayang-bayang orang yang kamu cintai, agar kamu hidup tanpa rasa takut kehilangan seseorang.

Jika Tuhan tak membayar ganti rugi, maka saya sendiri yang akan datang ke bumi. Saya tidak tahu, saya Meissa keberapa yang mencintai kamu. Saya tidak tahu saya Meissa keberapa yang akan meninggalkan kamu, tapi yang harus kamu tau bahwa Meissa yang menulis surat ini adalah Meissa yang akan selalu berada bersama kamu.

Meski nanti saya tidak diberi kehidupan kembali, saya harap kamu tidak menyalahkan Tuhan, juga saya harap kamu tidak sering memanjat pohon! Saya serius, Jeong Jaehyun.

Saya mencintai kamu. Itu selalu.

Jaehyun memejamkan matanya. Ia tak ingin melihat sekitar. Ia hanya ingin merasakan angin yang mempermainkan anak-anak rambutnya. Air matanya berlinang lagi.

Tentang harapan yang ia kirim pada Tuhan setiap bertambahnya usia, tetap sama. Ia berharap untuk dilahirkan kembali menjadi manusia biasa, karena ia lelah melihat kepergian orang-orang yang ia cintai.

Karena pada akhirnya ia yang harus tetap menunggu.


-tsabitx

Renjun tengah menyodorkan segelas air putih ketika suara motor masuk ke dalam halaman rumahnya.

“Ish pacar lo tuh kak.”

Zemira tersenyum. Setelah meletakkan gelas air putih di meja dekat ranjangnya, ia berusaha bangun.

“Ih ngapain kak Ze?!” Renjun buru-buru menurunkan kaki si sulung. “Kak demi Allah gue gak bisa bopong lo.”

“Mau nyamperin Jaehyun lah.”

“Udah diem aja sini diem! Gue yang nyusulin ke depan.”

Zemira mengangguk-angguk. “Gitu dong, sakit nih.” Sambil memanyunkan bibir cerinya.

“Najis!”

Adik dari Zemira itu kini berjalan menuju pintu depan yang sudah di ketuk beberapa kali. Kakinya ia hentak-hentakkan dengan penuh tekanan seperti anak kecil yang sedang marah ingin mainan.

Tok tok tok

“IH SABAR!” Teriak Renjun yang padahal tangannya saja sudah menggenggam knop pintu.

Pintu terbuka, muncullah lelaki tampan dengan wajah yang lelah berbalut jaket denim. Ia tersenyum tipis memamerkan kedua lesung pipi.

“Zemira ada Jun?”

“Masuk gih kak di kamar tuh udah masuk aja.” Jawab Renjun yang langsung menuruti apa kata Taeyong. “Kak gue tinggal tidur nanti minta tolong gembokin pager.”

Jaehyun tertawa sembari mengusak rambut si bungsu.

Berjalan dengan menatap layar ponsel. Melihat jam menunjukkan pukul 21.45. Masih ada waktu setidaknya 15 menit untuk bertemu dengan kekasihnya yang akhir-akhir ini jarang ia temui.

Pintu kamarnya terbuka. Sengaja tak ditutup agar si tamu bisa langsung masuk dan bertegur sapa.

Dahi Jaehyun mengernyit dan cukup terkejut melihat kondisi kekasihnya.

“Yang? Kenapa? Kok bisa gini?!”

Kaki kanan Zemira yang berbalut perban, luka di lengan tangan yang masih merah matang dan goresan halus di pipi. Kondisi yang membuat Jaehyun menatap khawatir dan masih larut dengan kosongnya.

image

“Hei! Kok ngelamun?” Melambaikan tangan di depan wajah Jaehyun.

“Kenapa?”

“Habis jatuh—ah itu ketabrak. Eh tapi enggak juga, salah gue ya lagi apes aja. Tapi tadi untung ada temen lo tuh Taeyong. Pas banget waktu gue jatuh, ada dia, langsung di tolong kok di bawa ke Rumah Sakit juga. Udah ini udah di jahit, udah diobatin.” Jelas Zemira.

Lelaki itu tersenyum mengusap rambut kekasihnya sembari menyelipkan rambut Zemira ke belakang telinga, agar tak menutupi pandangnya.

“Syukurlah gak kenapa-kenapa.”

“Maaf jadi ganggu waktu lo. Padahal gue udah bilang sama Taeyong biar gak ngasih tau lo… gitu…”

“Gak papa ini barusan balik les in langsung kesini. Gue gak bisa lama-lama Ze, sorry ya.”

Meski sedikit kecewa, Zemira tetap mengiyakan kekasihnya yang kini tengah duduk di samping ranjang dengan kelopak matanya yang tebal dan seperti terasa berat.

“Pulang aja Jae. Lo butuh istirahat.” Kata-kata itu menyadarkan Jaehyun yang pikirannya telah melayang entah kemana.

“Udah jam 10 malem, gue balik ya?” Pamit Jaehyun yang langsung beranjak.

Tanpa berucap panjang lebar, ia hanya melempar senyum dan kemudian keluar dari kamar Zemira.

Gadis itu menghela nafas, wajahnya berubah.

Renjun tengah menyodorkan segelas air putih ketika suara motor masuk ke dalam halaman rumahnya.

“Ish pacar lo tuh kak.”

Zemira tersenyum. Setelah meletakkan gelas air putih di meja dekat ranjangnya, ia berusaha bangun.

“Ih ngapain kak Ze?!” Renjun buru-buru menurunkan kaki si sulung. “Kak demi Allah gue gak bisa bopong lo.”

“Mau nyamperin Jaehyun lah.”

“Udah diem aja sini diem! Gue yang nyusulin ke depan.”

Zemira mengangguk-angguk. “Gitu dong, sakit nih.” Sambil memanyunkan bibir cerinya.

“Najis!”

Adik dari Zemira itu kini berjalan menuju pintu depan yang sudah di ketuk beberapa kali. Kakinya ia hentak-hentakkan dengan penuh tekanan seperti anak kecil yang sedang marah ingin mainan.

Tok tok tok

“IH SABAR!” Teriak Renjun yang padahal tangannya saja sudah menggenggam knop pintu.

Pintu terbuka, muncullah lelaki tampan dengan wajah yang lelah berbalut jaket denim. Ia tersenyum tipis memamerkan kedua lesung pipi.

“Zemira ada Jun?”

“Masuk gih kak di kamar tuh udah masuk aja.” Jawab Renjun yang langsung menuruti apa kata Taeyong. “Kak gue tinggal tidur nanti minta tolong gembokin pager.”

Jaehyun tertawa sembari mengusak rambut si bungsu.

Berjalan dengan menatap layar ponsel. Melihat jam menunjukkan pukul 21.45. Masih ada waktu setidaknya 15 menit untuk bertemu dengan kekasihnya yang akhir-akhir ini jarang ia temui.

Pintu kamarnya terbuka. Sengaja tak ditutup agar si tamu bisa langsung masuk dan bertegur sapa.

Dahi Jaehyun mengernyit dan cukup terkejut melihat kondisi kekasihnya.

“Yang? Kenapa? Kok bisa gini?!”

Kaki kanan Zemira yang berbalut perban, luka di lengan tangan yang masih merah matang dan goresan halus di pipi. Kondisi yang membuat Jaehyun menatap khawatir dan masih larut dengan kosongnya.

image

“Hei! Kok ngelamun?” Melambaikan tangan di depan wajah Jaehyun.

“Kenapa?”

“Habis jatuh—ah itu ketabrak. Eh tapi enggak juga, salah gue ya lagi apes aja. Tapi tadi untung ada temen lo tuh Taeyong. Pas banget waktu gue jatuh, ada dia, langsung di tolong kok di bawa ke Rumah Sakit juga. Udah ini udah di jahit, udah diobatin.” Jelas Zemira.

Lelaki itu tersenyum mengusap rambut kekasihnya sembari menyelipkan rambut Zemira ke belakang telinga, agar tak menutupi pandangnya.

“Syukurlah gak kenapa-kenapa.”

“Maaf jadi ganggu waktu lo. Padahal gue udah bilang sama Taeyong biar gak ngasih tau lo… gitu…”

“Gak papa ini barusan balik les in langsung kesini. Gue gak bisa lama-lama Ze, sorry ya.”

Meski sedikit kecewa, Zemira tetap mengiyakan kekasihnya yang kini tengah duduk di samping ranjang dengan kelopak matanya yang tebal dan seperti terasa berat.

“Pulang aja Jae. Lo butuh istirahat.” Kata-kata itu menyadarkan Jaehyun yang pikirannya telah melayang entah kemana.

“Udah jam 10 malem, gue balik ya?” Pamit Jaehyun yang langsung beranjak.

Tanpa berucap panjang lebar, ia hanya melempar senyum dan kemudian keluar dari kamar Zemira.

Gadis itu menghela nafas, wajahnya berubah.

Renjun tengah menyodorkan segelas air putih ketika suara motor masuk ke dalam halaman rumahnya.

“Ish pacar lo tuh kak.”

Zemira tersenyum. Setelah meletakkan gelas air putih di meja dekat ranjangnya, ia berusaha bangun.

“Ih ngapain kak Ze?!” Renjun buru-buru menurunkan kaki si sulung. “Kak demi Allah gue gak bisa bopong lo.”

“Mau nyamperin Jaehyun lah.”

“Udah diem aja sini diem! Gue yang nyusulin ke depan.”

Zemira mengangguk-angguk. “Gitu dong, sakit nih.” Sambil memanyunkan bibir cerinya.

“Najis!”

Adik dari Zemira itu kini berjalan menuju pintu depan yang sudah di ketuk beberapa kali. Kakinya ia hentak-hentakkan dengan penuh tekanan seperti anak kecil yang sedang marah ingin mainan.

Tok tok tok

“IH SABAR!” Teriak Renjun yang padahal tangannya saja sudah menggenggam knop pintu.

Pintu terbuka, muncullah lelaki tampan dengan wajah yang lelah berbalut jaket denim. Ia tersenyum tipis memamerkan kedua lesung pipi.

“Zemira ada Jun?”

“Masuk gih kak di kamar tuh udah masuk aja.” Jawab Renjun yang langsung menuruti apa kata Taeyong. “Kak gue tinggal tidur nanti minta tolong gembokin pager.”

Jaehyun tertawa sembari mengusak rambut si bungsu.

Berjalan dengan menatap layar ponsel. Melihat jam menunjukkan pukul 21.45. Masih ada waktu setidaknya 15 menit untuk bertemu dengan kekasihnya yang akhir-akhir ini jarang ia temui.

Pintu kamarnya terbuka. Sengaja tak ditutup agar si tamu bisa langsung masuk dan bertegur sapa.

Dahi Jaehyun mengernyit dan cukup terkejut melihat kondisi kekasihnya.

“Yang? Kenapa? Kok bisa gini?!”

Kaki kanan Zemira yang berbalut perban, luka di lengan tangan yang masih merah matang dan goresan halus di pipi. Kondisi yang membuat Jaehyun menatap khawatir dan masih larut dengan kosongnya.

image

“Hei! Kok ngelamun?” Melambaikan tangan di depan wajah Jaehyun.

“Kenapa?”

“Habis jatuh—ah itu ketabrak. Eh tapi enggak juga, salah gue ya lagi apes aja. Tapi tadi untung ada temen lo tuh Taeyong. Pas banget waktu gue jatuh, ada dia, langsung di tolong kok di bawa ke Rumah Sakit juga. Udah ini udah di jahit, udah diobatin.” Jelas Zemira.

Lelaki itu tersenyum mengusap rambut kekasihnya sembari menyelipkan rambut Zemira ke belakang telinga, agar tak menutupi pandangnya.

“Syukurlah gak kenapa-kenapa.”

“Maaf jadi ganggu waktu lo. Padahal gue udah bilang sama Taeyong biar gak ngasih tau lo… gitu…”

“Gak papa ini barusan balik les in langsung kesini. Gue gak bisa lama-lama Ze, sorry ya.”

Meski sedikit kecewa, Zemira tetap mengiyakan kekasihnya yang kini tengah duduk di samping ranjang dengan kelopak matanya yang tebal dan seperti terasa berat.

“Pulang aja Jae. Lo butuh istirahat.” Kata-kata itu menyadarkan Jaehyun yang pikirannya telah melayang entah kemana.

“Udah jam 10 malem, gue balik ya?” Pamit Jaehyun yang langsung beranjak.

Tanpa berucap panjang lebar, ia hanya melempar senyum dan kemudian keluar dari kamar Zemira.

Gadis itu menghela nafas, wajahnya berubah.

mari kita sebut cinta itu gaib juga basi

(….puisi Albatross)

Setiap chat bersama Adik dari Zemira itu, selalu saja ada hal unik yang membuat Taeyong harus melengkungkan senyumnya.

Kali ini ia tergelitik sendiri di kamar kosnya akibat membaca satu pesan dari Renjun.

“Gue masih gak paham emang beda yang polos sama yang berbentuk?” Gumam Taeyong yang tidak mengerti dan menuntut keterangan.

Hanya mengenakan hoodie nike abu favoritnya dengan celana selutut dan tak lupa beanie hat, ia keluar dari kamar untuk menuju rumah Renjun.

“Lah beneran belum balik?” Ujarnya ketika melihat kamar Jaehyun yang masih gelap.

Menuruni tangga sembari bersiul dan memainkan kunci mobil, kedua netranya bertemu tatap dengan gadis yang tengah duduk di ruang tamu.

Belum sampai Taeyong menuruni anak tangga terakhir, Jaehyun menoleh dan menyapanya.

“Bos mau kemana maghrib-maghrib?”

Lelaki itu berjalan santai menuju dua orang yang duduk berhadap-hadapan di sofa.

“Gue?”

“Lah iye ini lagi nanyain lo.”

“Mau pubg an. Ikut gak?” Tanya Taeyong.

“Gak, gue ada jadwal les in bocah abis ini.”

Taeyong mengangguk. “Tapi gue gak nanya lo Jae.” Ia melempar pandangannya. “Ze? Ikut gak? Mau nemenin Renjun di rumah.”

“H-hah?” Zemira terkesiap.

Gadis itu seketika meneguk ludah kasar. Bola matanya berotasi kesana kemari. Kemudian menatap Jaehyun yang tampak sedikit kesal.

“Sekalian yang gak papa.” Jaehyun menoleh dan tersenyum. “Gue gak bisa nganter balik keburu les in. Tuh bareng Taeyong aja.”

”yang?”

Zemira yang raut wajahnya kaku tadi kembali mengembangkan senyumnya, berdiri.

“Ya udah gue balik. Makasih, ya? Hari ini.”

Taeyong yang tengah memperhatikan mereka berdua sejenak tertegun ketika mendengar obrolan terakhir sebelum Zemira pergi bersamanya.

“I love you nya mana?” Ujar Jaehyun seolah tak mempedulikan Taeyong ada disana.

“Stttt diem.. malu ih.”

“Cepet yangggggg.” Rengek Jaehyun.

“Love you.”

Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan mengikuti Taeyong.

. . . .

“Balikan, Ze?” Sapaan itu mengawali perbincangan Taeyong pada gadis yang baru saja keluar dari mobilnya.

Selama berada di perjalanan, lelaki itu seolah tak memiliki topik untuk dibahas. Mereka berdua hanya diam, dengan Zemira yang asyik bermain ponsel.

Bahkan saat Taeyong berhenti untuk membeli titipan Renjun pun, Zemira tak peduli.

Mata Zemira membulat ceria ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Taeyong.

“Iya! Ih lo bener ternyata dia ngajak balikan.”

Taeyong berkejap melayangkan tepukan ringan pada bahu kiri Zemira.

“Selamat, akhirnya.”

Gadis itu mengangguk dan kembali berjalan menuju teras rumah.

Senyum Taeyong tak luntur ketika mengatakannya. Ia pun tersenyum dalam langkahnya melihat punggung Zemira yang menjauh.

“Lah Yong? Ngapain diem disana? Sini masuk!” Lambai Zemira di depan pintu utama.

Taeyong tertawa pelan. “Iya!”

Semerbak wangi air freshener terhirup lekat-lekat masuk ke rongga hidung Zemira. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya seakan tak percaya dirinya bisa berada di mobil lelaki asing yang belum ia kenal.

Lelaki yang bersamanya kini menawarkan bantuan padanya. Awalnya Zemira menolak. Taeyong pun tak memaksanya, ia hanya mengucap kalimat yang membuat diri Zemira mau tak mau menerima bantuannya.

”Sayang sama Adeknya kan?”

Ya, tentu saja. Jika menyangkut si bungsu, Zemira tak akan setega itu.

“Mm... gue harus bilang makasih lagi soalnya lo—”

Kalimatnya menggantung. Membuat lelaki yang sibuk menyetir itu terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu, tapi ia benar-benar tertawa.

“Kok lo ketawa sih?”

“Kamu mantannya Jaehyun? Lagi berusaha ngelupain ya?”

“K-kok tau— ah iya lo kenal sama Jaehyun? Atau deket sama dia?” Kelewat penasaran hingga ia sedikit memiringkan tubuh menghadap lawan bicaranya.

Taeyong menoleh dan tersenyum lagi. “Jaehyun temen deket aku. Toh kita juga sering ketemu kan? Cuma kamu aja yang gak pernah merhatiin.”

“HAAAAHHHHH.”

Zemira bersyukur karena jantungnya itu diciptakan Tuhan. Jika tidak, mungkin saja jantungnya telah rusak akibat ledakan sejak kejutan pertama.

“Aku udah ngerasa kalo kamu gak pernah ngenotice aku.”

“T-tunggu— your name?”

“Taeyong.”

“Gue Zemira.”

“Iya aku tau.” Ia tersenyum.

Perasaan itu muncul lagi. Perasaan hangat yang tiba-tiba datang ketika Taeyong tersenyum padanya.

“Jangan berusaha ngelupain, Ze. Kalo masih ada rasa pun juga biar aja. Biarin semua ngalir, sampai kamu bener-bener lupa.”

“Beda loh berusaha ngelupain sama ngebiarin perasaan ngalir gitu aja.”

Zemira mendengar sembari menganggukkan kepala pelan.

“Iya.” Jawabnya singkat.

Manik hitam mereka berdua bertemu tatap. Seperti tersihir oleh mata indah Taeyong, gadis itu sampai tak mengerjap.

Lelaki itu menarik ujung bibirnya, tersenyum simpul. Mengusap pucuk kepala Zemira— memecahkan atensinya.

“Udah nyampe Adeknya yang mana?”

“O-oh iya bentar gue keluar.”

Gadis itu terlalu tergesa hingga melupakan sesuatu.

“Zemira, seatbelt—” Lagi, Taeyong menarik lengan Zemira. Kemudian membantu melepaskan.

Tersipu malu. Ia menepuk dahinya sendiri sembari keluar dari mobil. Lawannya hanya terus terkekeh melihat tingkah lucu gadis itu.

Baru saja Zemira menampakkan diri, Renjun dengan kaki yang di hentak-hentakkan berjalan kearahnya. Ingin memarahi sang Kakak karena ia kesal kenapa Zemira ikut datang bersama Jae—

“Hai!” Suara lembut Taeyong menyapa si bungsu. Lelaki itu pun ikut menampakkan diri keluar dari mobilnya.

Raut wajah Renjun yang awalnya kusut dan masam lambat laun berubah.

“Oh hai kak!” Renjun menerima baik sapaan dari lelaki berparas tampan. Lantas melempar senyum jail kearah Kakaknya. “Pacar baru ya?” Bisiknya.

. . . . .

Selama perjalanan, lelaki yang duduk di bangku belakang sopir terus tersenyum disela obrolannya bersama Taeyong. Entahlah, mereka berdua sudah seperti teman dekat.

Zemira pun heran padahal ini adalah pertemuan pertama mereka.

Renjun mendengus kasar ketika mobil baru saja berhenti di depan rumah Jeno. Sepertinya ia ingin terus mengobrol dengan Taeyong.

“Ahhh gue berharap kak Ze punya pacar kayak lo kak!” Ujarnya sembari memakai tas punggungnya.

“Eh kalo enggak pacarin aja kakak gue.” Imbuh Renjun saat akan menutup pintu mobil. “Thank you kak!!” Kemudia ia melambai dari luar.

Zemira sudah menggerutu dalam hati. Memikirkan perang yang akan terjadi di rumah nanti. Renjun benar-benar mengibarkan bendera perang dengan mempermalukannya di depan—

“Mau langsung balik?” Tanya Taeyong memecahkan lamunannya.

“Iya kan udah kelar kelas juga masa mau balik ke kampus?”

“Gak lagi ada acara?”

“Enggak, kenapa sih?”

“Mau ngajak kamu makan diluar.”

“Ya ayo.” Jawab Zemira singkat yang membuat senyum Taeyong merekah lagi.

“Kamu—”

“Tunggu deh. Lo perasaan sama gue doang manggil aku-kamu?”

“Ya emang kenapa?”

“Aneh.”

“Aneh gimana?”

“Aneh karna disekitar gue gak ada yang pake aku-kamu. Bahkan jarang. Tapi lebih aneh lagi, lo! Padahal ngobrol sama Jaehyun pake gue-lo, ngobrol sama Adek gue pun— oh sama cewe doang lo pake—”

“Cuma sama kamu.”

Zemira tercengang seperkian detik kemudian berdehem.

“Gue-lo an aja gak papa.”

“Lebih nyaman aku-kamu.”

“O-oke….”

Taeyong tertawa mendengar jawaban Zemira dengan raut muka polos menurutnya.