Breathe
No no not again..
Rilekui yang Paman genggam di tangan kirinya adalah sebuah cermin.
“Zemira—” Dejun menggeleng. Pandangannya bukan kearah gadis yang tengah mengerang itu. Melainkan kesisi lain.
“Kak Ze, gak.... jangan....” Begitu pula Jeno.
“BUNDAA—ARGHHHH!!”
Taeyong meraih tangan gadis itu, menggenggamnya— setidaknya untuk menguatkan tubuh itu. Zemira mencengkeramnya, hingga kuku jarinya menggores kulit tangan Taeyong. Lelaki itu masih menitikkan air mata sembari meringis kesakitan.
“Tolong bertahan, tolong.” Lirih Taeyong.
Cermin itu melayang ke udara. Kemudian semua berteriak histeris ketika Zemira kembali duduk dengan erangan dan leher yang perlahan menekuk ke samping. Membuatnya hampir patah.
“NO NO ZEMIRA PLEASE..” Tangan Taeyong sontak menangkup wajah kekasihnya, meluruskan kembali. Menahannya agar ia tak membunuh dirinya sendiri.
Lepasin.
“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue.” Ucap Dejun yang hampir tak terdengar. “Percaya sama gue, ini semua bakal selesai lo cukup berta—”
KRAKKKK
“ZEMIRA!!!!”
“KAK ZEE?!!!”
“NOOOOO!!!”
Zemira-Semira menghilang dari dunia.
Brughhh
.
.
.
.
.
.
.
“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap bakal lo ijinin.”
“Apa?”
“Gue mau lihat lo ada di tubuh gue.”
Dimensi cermin ya.
Zemira mengerti. Ia merasa sedang terjebak di dimensi cermin saat ini atau bahkan sudah sangat lama namun iatak menyadarinya. Dimensi yang tak akan berpengaruh apapun dengan dunia nyata. Apapun yang terjadi di dimensi cermin, semua nyata namun hanya berisikan ketakutannya sendiri.
Mari kita ingat kembali. Kala terakhir Zemira merasakan tubuhnya hidup, dimana ia pergi bersama kekasihnya mengunjungi Hutan Pinus. Terakhir kali ia berkaca di malam hari sebelum tidur, dimana semuanya dimulai.
Benar apa yang Zemira pikirkan setelah Semira melontarkan 'dimensi cermin'. Kini iamelihat tubuhnya sendiri terbaring dengan banyak luka yang ia sendiri tak tau asalnya dari mana. Air mata Zemira tak bisa terbendung ketika satu per satu bola matanya merotasikan diri melihat mereka semua masih bernafas.
Hatinya terasa sesak saat Zemira tak bisa meraih tubuh mereka meski berkali-kali ia coba. Hanya tubuhnya sendiri yang dapat ia raih. Mereka tak bisa menyadari kehadiran gadis itu. Kecuali tiga orang yang berdiri bersebelahan. Menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
Zemira berjalan mendekati mereka. Menangis di hadapan mereka bertiga. Jeno pun meloloskan titik bening di sudut matanya.
Gue gak papa.
Seseorang yang sudah dianggap sebagai Adek kandungnya sendiri itu semakin terisak. Jeno menahannya agar tak mengeluarkan suara. Sakit rasanya.
“Lo gak boleh nyerah.” Lirih Dejun. “Lo harus hidup, janji sama gue.”
Zemira hanya bisa mengangguk tanpa tau apa yang akan terjadi. Melihat kearah saudara kembarnya yang kini tengah ada dalam tubuhnya, ada rasa iri dan cemburu karena saudarinya bisa bertemu dengan mereka yang selama ini Zemira rindukan.
Bahkan ia bisa memeluk Renjun—
NOOO!
Mata Zemira terbelalak saat dengan teganya Semira membelenggu Renjun dengan rantai. Juga ketika Bunda akan menghampirinya, Semira malah semakin mengeratkan lilitan itu.
Kalut. Zemira takut bila ia benar-benar harus kehilangan si bungsu. Gadis itu membalikkan badan lagi, kemudian meminta pertolongan Dejun, Doyoung, juga Jeno untuk menyelamatkan Renjun.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Dejun dan Doyoung memegang lengan Zemira, berusaha melawannya dan menyelamatkan nyawa Renjun. Dengan kekuatan yang Jeno miliki, ia berhasil membebaskan temannya itu dari rantai yang membelenggu lehernya.
Adek dari Zemira langsung di dekap oleh sang Bunda tercinta. Dadanya masih sesak, pun terdapat bekas merah yang hampir memutus lehernya.
Zemira mengarahkan tangannya ke udara untuk menepuk pucuk kepala si bungsu meski hal yang dilakukan itu sia-sia.
Kemudian hatinya terasa di remat saat Renjun melarang kekasihnya untuk mendekati tubuhnya. Kenyataan bahwa Renjun membenci Taeyong membuat Zemira semakin terisak. Ia yakin bahwa Renjun menyalahkan semua pada Taeyong.
Gadis itu berjalan menuju satu per satu orang yang ada di dalam ruangan. Menatapnya lamat seolah mencurahkan rasa rindunya. Namun atensinya teralih pada benda yang ada di tangan Paman.
Cermin.
Paman berusaha melumpuhkan Semira. Berusaha mengeluarkannya dari tubuh Zemira, namun itu akan sia-sia. Paman akan memusnahkan jiwanya dan mengurungnya ke dalam cermin. Tak akan berhasil bila suatu saat akan terjadi hal seperti ini lagi.
Zemira tak tinggal diam dengan itu. Ia mendekati tubuhnya.
“Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman sembari tangan kanannya berada di atas dada, tepat di jantungnya.
Paman mulai merapalkan bacaan yang penah Zemira lihat di dimensi cermin.
No no not again....
Dengan cepat Zemira meraih tubuhnya sendiri.
“Zemira—” Dejun menggeleng kearah Zemira.
“Kak Ze, gak.... jangan....” Begitu pula Jeno.
Mereka berdua tau apa yang akan dilakukan gadis itu. Ia akan membunuh tubuhnya sendiri, melenyapkan jiwa yang bersarang disana—juga dirinya.
Zemira mencoba mematahkan lehernya karena hanya dengan cara itu yang ia bisa. Namun usahanya terhenti ketika tangan Taeyong menangkup wajahnya. Sekian detik pertahanannya runtuh.
Ia teringat pada satu kalimat bahwa hanya dirinya yang bisa mengakhiri semuanya dan mungkin dengan cara ini. Dengan cara melenyapkan kedua jiwa dan satu tubuh untuk benar-benar pergi dari dunia.
Lepasin.
“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue.” Ucap Dejun yang hampir tak terdengar.
Zemira menangis sejadi-jadinya. Kemudian tersenyum pahit pada Dejun, Jeno, juga Doyoung.
Thank you udah jaga gue. Tolong bilang ke Renjun kalo Taeyong gak salah.
Bilang Adek gue kalo gue seneng bisa lihat dia lagi.
Dan....
Bilang sama Taeyong kalo gue mau dia ngelanjutin hidupnya.
“Percaya sama gue, ini semua bakal selesai lo cukup berta—”
KRAKKKK
Gadis itu mematahkan lehernya. Pilihan terbaik baginya. Ia tak ingin jiwa saudarinya terjebak di dimensi cermin. Hidup di dimensi cermin dengan semua rasa takut yang dimiliki adalah sebuah kutukan paling menyakitkan.
Zemira telah menyerah.
Selama kurang lebih dua tahun ia terjebak dalam dimensi yang berbeda, dengan segala kejadian yang nyata bercampur dengan ketakutannya.
Rasa takut kehilangan orang-orang yang ia sayang, rasa takut dalam menghadapi tragedi, juga memori singkat yang Semira ciptakan untuk saudara kembarnya itu.
Berkali-kali mencoba melukai dirinya dengan cairan merah yang berkali-kali pula mengucur deras—tapi mengapa Zemira tak juga kehilangan nyawanya? Ya, itu karena ia terjebak di dimensi cermin.
Tentang Rose dan segala ceritanya, ia sudah lenyap bertahun-tahun yang lalu. Rosie atau saudara kembar Zemira yang bernama Semira itulah yang meneruskan segala dendam yang masih belum terbalaskan.
Kejadian yang selama ini terjadi adalah bentuk dari rasa takut Zemira, juga beberapa kejadian rekayasa ulang milik Semira.
Luka yang bersarang di tubuh Zemira adalah hasil percobaan Semira untuk masuk dan menguasai tubuh itu. Namun tak pernah berhasil jika si empunya terus melakukan penolakan.
Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang. Ia meraih cermin pemberian Taeyong. Cukup lama ia bercermin sambil merekahkan senyumnya.
“Hey rose!” Sapanya.
she heard and saw
“Hey rose! Hehehe.” Sapanya lagi.
Jendela kamarnya terbuka, tertiup angin. Lantas Zemira beranjak dari kasur dengan cepat menutupnya. Dan kembali merebahkan dirinya sembari berkaca lagi.
“Hey rose!” Tersenyum senang. “Ih udah ah gue gila lama-lama nurutin Taeyong.”
i'm here, i'm under your bed
i'll take care of you tonight
Semburat cahaya mentari yang menyusup di celah jendela kamar tak membuat gadis itu mengerjapkan mata. Ia hanya terus menutup mata hingga Renjun dengan segala usahanya membangunkan Zemira.
Dengan cermin pemberian Taeyong yang berada di atas dada, Zemira tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Renjun panik setengah mati. Ia menghubungi siapapun yang bisa ia hubungi kala itu. Membawanya ke rumah sakit untuk memeriksa apakah si sulung baik-baik saja atau tidak. Namun dokter tak bisa mendeteksi apa penyakit yang di derita.
Dejun yang pada dasarnya mengetahui hal yang belum terjadi dan kejadian tumpang tindih, menyarankan Renjun untuk pergi menemui Doyoung dan Jungwoo.
Paman memberitahu semua kemungkinan yang sedang terjadi pada Zemira. Mencari sebab-akibat untuk menemukan solusi yang tepat.
Ketika semua sudah jelas barulah Taeyong membagi kisah pahitnya pada Renjun. Membuat Adek dari kekasihnya itu murka bahkan tak segan-segan untuk memaki.
Dari situ lah Paman kemudian membawa Zemira ke sebuah ruangan yang sampai detik terakhir hidupnya ia masih berada di sana.
.
.
.
.
.
.
.
.
“ZEMIRA!!!!”
“KAK ZEE?!!!”
“NOOOOO!!!”
Brughhh
“Kak....” Renjun menjatuhkan tubuhnya di samping ranjang si sulung. Meremat kayu pinggiran dengan tangan yang lain meraih tangan Zemira. “Kak.. KAK ZE BANGUN GAK!”
“GAK USAH BERCANDA ATUH KAK!”
“LO MAU LILIT GUE? IYA? NIH NIH SOK LILIT LAGI!” Teriaknya sembari rantai tangan Zemira ia lilitkan di lehernya.
“Jun, Renjun...” Taeyong menepuk bahunya yang langsung di tepis.
“KAK IH KALO MAU MATI MAH YANG KEREN DIKIT. KALO GINI GAK ADA KEREN-KERENNYA....”
“Kak Ze ih.”
“Kak, gue kan belum pamer ke lo kalo gue di terima di kampus yang gue pengen.”
“Bangun dulu ih Injun mau bilang kalo gue udah gak takut sama hantu tau kak.... Kak Dejun yang bantu gue.”
“Gue belum bilang kalo gue kangen banget sama Kak Ze....”
“Kak gue pengen ngerusuhin lo goreng nugget malem-malem.”
“Injun sayang Kak Ze....”
Tak sanggup mengatakan apapun lagi, Renjun kembali terisak. Tangisnya pecah. Bersamaan dengan itu Jeno mendekatinya. Ia mengatakan bahwa Zemira berada di ruangan ini tadi sebelum ia benar-benar menghilang. Jeno menyampaikan pesan yang disampaikan oleh si sulung.
Kalimat yang disampaikan Zemira membuat Renjun menabrakkan dirinya pada tubuh Taeyong. Merengkuh lelaki yang akan selalu ia anggap sebagai Abangnya sendiri. Lelaki yang selama dua tahun ini pun tersiksa dan menyalahkan dirinya sendiri.
Taeyong mengusap punggung hangat Renjun. Merapalkan kata maaf untuk yang kesekian kalinya. Mereka berdua sama-sama terluka. Semua orang di ruangan pun merasakan hal yang sama.
“Kak, kata Kak Ze, dia mau lo ngelanjutin hidup lo.” Ujar Jeno.
Lelaki itu tersenyum dengan Renjun yang masih ada di pelukannya. “Mana bisa gue ngelanjutin hidup gue?”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Cerminnya cantik, aku suka.”
@tsabitx