souljaehyunn

Sudah satu minggu Zemira sakit, dan selama itu pula Renjun; Adek Zemira, mengomel tak henti-hentinya.

Perihal putus dengan Jaehyun. Lelaki itu menyalahkan mantan kekasih Kakaknya karena telah membuat si sulung sering jatuh sakit.

“Dek, ini gue sakitnya bukan karna putus cinta Gusti.... emang jatahnya sakit—”

“Udah hampir setengah tahun kak Ze putus, dan sakit keberapa kalinya ini?! Kenapa sih lagian kak Jaehyun mutusin?” Omelnya.

“Sibuk Injun sibuk— Jaehyun sibuk.”

“Susah pacaran sama orang sibuk ditambah terlalu pinter. Tapi kak Ze kan fine fine aja kalo kak Jaehyun sibuk, alah paling juga punya cewe lain.” Protesnya lagi.

Terserah. Terserah apa kata Renjun kala itu, yang jelas saat ini Zemira tengah berdiri di depan ruang dosen untuk mengerjakan ujian yang ia lewatkan.

Dan lagi kenapa Kampus seluas ini bisa mempertemukan seorang Jaehyun dengan Zemira di dalam ruang dosen? Padahal selama enam bulan belakangan, gadis itu hampir lupa karena mereka berdua tak pernah bertemu disana.

Terakhir gadis itu bertemu adalah saat ia harus menahan malu karena melupakan statusnya sebagai mantan.

“Kenapa harus sekarang sih?” gumamnya.

Sepanjang ujian, tangan Zemira terus meraba-raba dahinya yang tidak gatal. Ia hanya menutupi sebagian penglihatannya agar tak kecolongan melirik lelaki yang ada di sampingnya.

Demi Tuhan jantungnya pun berdegup kencang. Gadis itu takut bila keteguhan hatinya runtuh.

“Zemira—”

“Gue duluan Je, dah....” Zemira melambaikan tangannya dengan raut muka datar, tak mengindahkan panggilan dari Jaehyun.

Sudah cukup. Meski ia belum bisa menganggap lelaki itu seperti teman pada umumnya. Zemira akan tetap berusaha sebisa mungkin melawan perasaannya yang masih terpusatkan pada satu orang; Jaehyun.

. . .

Zemira berdecak sebal di tengah kegiatannya menyalin catatan. Ponselnya terus berdering nyaring, tanda panggilan masuk.

Lantas ia menerima sambungan telfonnya.

“Naon sih?”

“Teh help me teh!!!”

“To the point Dek! Gue sibuk nih.”

“Gawat ieu mah Injun ditinggalin temen-temen pada kerumah Jeno!!”

Gadis itu mengusap wajahnya kasar.

“Ya terus?”

“Kak Ze bawa motor kan— AH IYA GAK BAWA KAN BANNYA BOCOR!!!”

Demi Tuhan suara Renjun memekik telinga Zemira hingga ia menjauhkan ponsel dari daun telinganya.

“Naik angkot aja Dek—”

“LAMA ATUH NYAMPENYA”

“Injun lo ngegas sekali lagi, pulang gak gue bukain pintu ye! Udah pikir aja sendiri orang lo mau main ke rumah Jeno nyusahin gue ah.”

“Besok ke rumah siapa lagi? Sekalian kagak usah pulang ke rumah. Main mulu!”

Tuutttt

Sambungan di putus sepihak oleh Zemira. Lantas melemaskan bahunya dan menenggelamkan wajah cantiknya di lengan tangan.

Kini lengan kanannya ia jadikan bantal untuk kepalanya. Pandangannya menyamping dan tak sengaja menangkap sosok lelaki yang duduk sendiri menunggu pesanannya datang.

image

Hanya memandangnya saja membuat degup jantung Zemira berdebar. Mengingat pertemuannya di Audit kala itu. Tatapan netra hitamnya, ketika berinteraksi dengan lawan bicaranya. Dan senyum simpul yang mendadak membuat dirinya hangat.

Aneh.

Bagaimana bisa perasaan seperti itu datang? Padahal baru satu kali Zemira berinteraksi dengannya.

Mendadak, lelaki itu merotasikan bola matanya. Pandangannya pun menemukan Zemira yang tengah sendiri, dengan kepala menempel meja.

Sadar karena mereka berdua bertemu tatap, Taeyong melambaikan tangan dan tersenyum manis.

Sontak Zemira menegakkan dirinya. Sedikit salah tingkah, namun akhirnya ia balas lambaian tangan lelaki itu.

Canggung.

“Ih bodoh Ze bodoh bisa-bisanya lu ah!” Gumamnya sembari merapikan beberapa buku di meja.

Ia seperti orang kikuk dan tak tau harus berbuat apa selain pergi dari sana.

“Zemira,”

Gadis yang tengah merapikan meja itu dikagetkan lagi dengan seorang lelaki yang tiba-tiba ada dihadapannya.

“Adek lo nelfon gue, minta tolong ngejemput—”

“Injun elah— sekali aja Dek lo gak nyusahin gini.” Lirihnya. Zemira kembali menundukkan kepalanya. “Malu gue malu....”

“Rumahnya—”

“Jaehyun. Sorry banget sorry hapus aja nomernya Injun. Ini gue mau ngejemput dia kok, jadi lo gak perlu repot-repot—”

“Kata Injun lo gak bawa motor karna ban lo bocor. Gak papa kalo lo butuh bantuan juga gue masih bisa—”

Hal yang membuat dirinya goyah adalah bertemu dengan mantan kekasih. Menatap bola matanya saja Zemira takut.

Jika dulu, ketika hubungan keduanya masih terjalin indah, gadis itu tak segan-segan untuk segera meraih lengan Jaehyun saat kekasihnya menghampiri dirinya.

Namun kini Zemira hanya bisa menatap nanar jemari Jaehyun yang bergerak kesana kemari.

“Zemira sama gue, Je.”

Suara lelaki datang dari arah belakang Zemira.

Entah sudah berapa kali dalam sehari gadis itu terkejut. Taeyong menghampiri mereka dengan dua gelas es coklat di tangannya.

“Si anak sibuk.” Ujarnya pada Jaehyun dengan tawa yang tak pernah surut.

“Udah gue balik dulu.” Taeyong memberikan segelas es pada Zemira. Kemudian menepuk bahu Jaehyun.

Dan tanpa basa-basi Taeyong menyambar lengan Zemira yang masih berdiri mematung. Membawanya pergi dari sana.

Di luar langit tampak biru berkilauan. Kicauan burung yang terdengar semakin nyaring menggantikan suara-suara mahasiswa yang mulai menghilang di Auditorium. Lampunya dibiarkan menyala padahal langit masih biru-birunya.

“Boros listrik!” Decak seorang gadis yang duduk di bangku paling atas. Ia sedang merapikan lembaran kertas yang hanya berisi coretan bentuk tak beraturan.

“Ze?! Gak keluar?” Gadis lain meneriaki namanya dari balik pintu.

“Jan galau mulu ah malu sama Jaehyun!” Suaranya menggema di seluruh ruangan, hingga lelaki yang duduk paling depan menoleh kearah Zemira.

Selepas seminar, seluruh mahasiswa berlomba-lomba untuk segera meninggalkan ruangan. Hanya tersisa Zemira dan satu lelaki yang rasanya tak pernah ia temui.

Ia tak tau harus menepuk jidatnya berapa kali saking malunya. Zemira buru-buru bangkit dari duduk dan bermaksud mengikuti temannya; Irene, yang sudah menghilang dari sana. Setelah berteriak mempermalukannya tentu saja.

Sial.

Sejak kapan kaki meja menghalangi langkah Zemira?

Ia tersandung dan hampir saja terjatuh jika lelaki itu tak menarik lengannya.

“Aa— sorry. Makasih.” Ujar Zemira merapikan beberapa anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

“Hati-hati, Ze.”

Gadis itu melotot kaget. “Kok? Lo tau nama gue?”

Tersenyum simpul. Ah tidak, lelaki itu tertawa. Tanpa merotasikan bola mata yang tetap fokus pada lawannya.

“Temen kamu tadi kan—”

“Ok stop!” Zemira menyela. Ia baru ingat jika Irene meneriaki namanya. “Temen gue emang rada gitu suka malu-maluin temen sendiri jadi ya.... gitu.”

“Kalo gitu gue cabut dulu— makasih.”

Dengan segera ia pergi dari sana. Tampaknya Zemira grogi karena lelaki yang tak sengaja bertemu sapa dengannya tadi tetap lurus menatapnya. Tak seperti orang lain yang jika diajak bicara menoleh ke belakang, atau ke kiri kanannya.

Jujur saja, tatapannya itu— melemahkan Zemira.

Taeyong tersenyum. “Zemira? Mantannya Jaehyun?” Lirihnya.

Zemira berjalan sendiri menuju kantin, mencoba mengikuti langkah kedua temannya yang lebih dulu sampai.

Matanya tak sengaja menangkap kejadian yang membuat hatinya berdenyut sakit.

Satu meja dekat jendela, Jaehyun duduk disana dengan seorang perempuan yang tak Zemira kenal.

Zemira mengerucutkan bibirnya. Menghampiri meja itu sebelum pergi ke meja temannya. Entah kedua kakinya tiba-tiba saja mengarah kesana.

“Jaehyun!” Sedikit menggebrak meja.

Sontak keduanya terjingkat kecil.

“Apa? Kenapa Ze?”

Kedua netra hitam mereka bertemu. Seperkian detik Zemira terdiam, bahunya merosot.

“Gak papa gue cuma transit aja.” Ujarnya yang kemudian pergi menjauh dari kantin.

“Ze? Lo kenapa?”

“Woy??”

Zemira tak mengindahkan teriakan Jaehyun. Ia buru-buru pergi dengan langkah cepat. Kepalanya menunduk membuat beberapa rambutnya yang tergurai jatuh menutupi wajahnya.

Bodoh lu bodoh!

Lo kan udah putus sama Jaehyun anjir ngapain sih?!

Batinnya dengan sesekali mengusak kepalanya, menahan malu.

Gadis itu benar-benar tak memperhatikan orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia pun tak tau, bila seorang lelaki yang baru saja ia lewati, merekahkan senyumnya, melihat Zemira yang tengah merutuki dirinya sendiri.

“Lucu.”

Zemira tersenyum simpul memerhatikan punggung Dosen yang menghilang di balik pintu. Kelas baru saja berakhir, gadis itu masih di mejanya membereskan diktat.

Dua orang gadis celingukan di dekat pintu. Mencari dua teman lainnya yang tak kunjung keluar dari ruangannya.

“Buru! Noh Irene sama Jisoo celingukan di depan.” Lucy menepuk bahu Zemira dan berlalu pergi.

Zemira tau bahwa ia akan diwawancarai oleh teman-temannya perkara telah berakhir hubungannya dengan Jaehyun.

“Jaehyun yang mutusin gue, alesannya karna dia gak mau gue nunggu. Dia jarang ada waktu buat gue, dan gue gak masalah—tapi ya udah lah.”

Ketiga temannya yang tengah meneguk minuman terperangah kaget dan tak percaya mendengar sedikit penjelasan Zemira.

“Is he kidding? Cih cowok gak jelas! Penting lo cepet move on aja deh.” Tukas Irene.

“Mm okey…. Gue tipe orang yang gak bisa move on kalo sering ketemu.” Jawab Zemira dengan bibir mengerucut.

“Kalo gitu cari cowok lagi—aduhhh!” Ujar Jisoo sembari menggebrak meja kantin dan langsung menerima pukulan dari Irene di lengannya. “Bar-bar lo!”

“Lo mending diem Jis sebelum gue nyubit pipi lo sampe copot.”

Zemira menarik nafas setengah tertawa memerhatikan kelakuan Irene dan Jisoo. Kedua maniknya tak sengaja merotasikan pandangan ke pintu masuk kantin.

Jaehyun dan teman-temannya berjalan masuk. Pandangan mereka berdua bertemu.

image

“Cy, cabut yuk bentar lagi ada kelas.” Ujar Zemira mengisyaratkan kedatangan seseorang.

“Hah? Sumpah bentar doang di kantin?” Protes Irene.

Untungnya Lucy sigap dan menangkap maksud dari Zemira. “Sst…. Peka dikit kek lo. Udah gue sama Ze cabut, bye.”

Zemira berjalan dengan pandangan menunduk, hendak berlalu. Namun tangan Jaehyun menahan lengannya ketika mereka berpapasan.

“Ze, gue di block?” Tanya Jaehyun pelan.

“Enough.”

“Kenapa di block? Unblock dulu.”

Zemira mengeluarkan ponselnya. Memencet logo whatsapp kemudian mencari nama kontak Jaehyun.

“Udah.” Sembari menunjukkan layar ponselnya. “Lepasin gue ada kelas.”

Gadis itu masih menunduk. Sebenarnya Jaehyun masih ingin mengutarakan sesuatu, namun salah satu temannya tiba-tiba merangkulnya dan membawanya kembali berjalan.

Lelaki yang membawa Jaehyun itu paham bila Zemira sedang berperang dengan perasaannya. Maka dari itu ia mencoba melepaskan genggaman Jaehyun dari lengan Zemira.

Jarak berapa langkah, Taeyong yang masih merangkul Jaehyun menolehkan kepalanya ke belakang. Menatap gadis yang tengah berjalan cepat sesekali mengusak rambutnya.

Breathe

No no not again..

Rilekui yang Paman genggam di tangan kirinya adalah sebuah cermin.

“Zemira—” Dejun menggeleng. Pandangannya bukan kearah gadis yang tengah mengerang itu. Melainkan kesisi lain.

“Kak Ze, gak.... jangan....” Begitu pula Jeno.

“BUNDAA—ARGHHHH!!”

Taeyong meraih tangan gadis itu, menggenggamnya— setidaknya untuk menguatkan tubuh itu. Zemira mencengkeramnya, hingga kuku jarinya menggores kulit tangan Taeyong. Lelaki itu masih menitikkan air mata sembari meringis kesakitan.

“Tolong bertahan, tolong.” Lirih Taeyong.

Cermin itu melayang ke udara. Kemudian semua berteriak histeris ketika Zemira kembali duduk dengan erangan dan leher yang perlahan menekuk ke samping. Membuatnya hampir patah.

“NO NO ZEMIRA PLEASE..” Tangan Taeyong sontak menangkup wajah kekasihnya, meluruskan kembali. Menahannya agar ia tak membunuh dirinya sendiri.

Lepasin.

“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue.” Ucap Dejun yang hampir tak terdengar. “Percaya sama gue, ini semua bakal selesai lo cukup berta—”

KRAKKKK

“ZEMIRA!!!!”

“KAK ZEE?!!!”

“NOOOOO!!!”

Zemira-Semira menghilang dari dunia.

Brughhh

. . . . . . .

“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap bakal lo ijinin.”

“Apa?”

“Gue mau lihat lo ada di tubuh gue.”

Dimensi cermin ya.

Zemira mengerti. Ia merasa sedang terjebak di dimensi cermin saat ini atau bahkan sudah sangat lama namun iatak menyadarinya. Dimensi yang tak akan berpengaruh apapun dengan dunia nyata. Apapun yang terjadi di dimensi cermin, semua nyata namun hanya berisikan ketakutannya sendiri.

Mari kita ingat kembali. Kala terakhir Zemira merasakan tubuhnya hidup, dimana ia pergi bersama kekasihnya mengunjungi Hutan Pinus. Terakhir kali ia berkaca di malam hari sebelum tidur, dimana semuanya dimulai.

Benar apa yang Zemira pikirkan setelah Semira melontarkan 'dimensi cermin'. Kini iamelihat tubuhnya sendiri terbaring dengan banyak luka yang ia sendiri tak tau asalnya dari mana. Air mata Zemira tak bisa terbendung ketika satu per satu bola matanya merotasikan diri melihat mereka semua masih bernafas.

Hatinya terasa sesak saat Zemira tak bisa meraih tubuh mereka meski berkali-kali ia coba. Hanya tubuhnya sendiri yang dapat ia raih. Mereka tak bisa menyadari kehadiran gadis itu. Kecuali tiga orang yang berdiri bersebelahan. Menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

Zemira berjalan mendekati mereka. Menangis di hadapan mereka bertiga. Jeno pun meloloskan titik bening di sudut matanya.

Gue gak papa.

Seseorang yang sudah dianggap sebagai Adek kandungnya sendiri itu semakin terisak. Jeno menahannya agar tak mengeluarkan suara. Sakit rasanya.

“Lo gak boleh nyerah.” Lirih Dejun. “Lo harus hidup, janji sama gue.”

Zemira hanya bisa mengangguk tanpa tau apa yang akan terjadi. Melihat kearah saudara kembarnya yang kini tengah ada dalam tubuhnya, ada rasa iri dan cemburu karena saudarinya bisa bertemu dengan mereka yang selama ini Zemira rindukan.

Bahkan ia bisa memeluk Renjun—

NOOO!

Mata Zemira terbelalak saat dengan teganya Semira membelenggu Renjun dengan rantai. Juga ketika Bunda akan menghampirinya, Semira malah semakin mengeratkan lilitan itu.

Kalut. Zemira takut bila ia benar-benar harus kehilangan si bungsu. Gadis itu membalikkan badan lagi, kemudian meminta pertolongan Dejun, Doyoung, juga Jeno untuk menyelamatkan Renjun.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Dejun dan Doyoung memegang lengan Zemira, berusaha melawannya dan menyelamatkan nyawa Renjun. Dengan kekuatan yang Jeno miliki, ia berhasil membebaskan temannya itu dari rantai yang membelenggu lehernya.

Adek dari Zemira langsung di dekap oleh sang Bunda tercinta. Dadanya masih sesak, pun terdapat bekas merah yang hampir memutus lehernya.

Zemira mengarahkan tangannya ke udara untuk menepuk pucuk kepala si bungsu meski hal yang dilakukan itu sia-sia.

Kemudian hatinya terasa di remat saat Renjun melarang kekasihnya untuk mendekati tubuhnya. Kenyataan bahwa Renjun membenci Taeyong membuat Zemira semakin terisak. Ia yakin bahwa Renjun menyalahkan semua pada Taeyong.

Gadis itu berjalan menuju satu per satu orang yang ada di dalam ruangan. Menatapnya lamat seolah mencurahkan rasa rindunya. Namun atensinya teralih pada benda yang ada di tangan Paman.

Cermin.

Paman berusaha melumpuhkan Semira. Berusaha mengeluarkannya dari tubuh Zemira, namun itu akan sia-sia. Paman akan memusnahkan jiwanya dan mengurungnya ke dalam cermin. Tak akan berhasil bila suatu saat akan terjadi hal seperti ini lagi.

Zemira tak tinggal diam dengan itu. Ia mendekati tubuhnya.

Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman sembari tangan kanannya berada di atas dada, tepat di jantungnya.

Paman mulai merapalkan bacaan yang penah Zemira lihat di dimensi cermin.

No no not again....

Dengan cepat Zemira meraih tubuhnya sendiri.

“Zemira—” Dejun menggeleng kearah Zemira.

“Kak Ze, gak.... jangan....” Begitu pula Jeno.

Mereka berdua tau apa yang akan dilakukan gadis itu. Ia akan membunuh tubuhnya sendiri, melenyapkan jiwa yang bersarang disana—juga dirinya.

Zemira mencoba mematahkan lehernya karena hanya dengan cara itu yang ia bisa. Namun usahanya terhenti ketika tangan Taeyong menangkup wajahnya. Sekian detik pertahanannya runtuh.

Ia teringat pada satu kalimat bahwa hanya dirinya yang bisa mengakhiri semuanya dan mungkin dengan cara ini. Dengan cara melenyapkan kedua jiwa dan satu tubuh untuk benar-benar pergi dari dunia.

Lepasin.

“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue.” Ucap Dejun yang hampir tak terdengar.

Zemira menangis sejadi-jadinya. Kemudian tersenyum pahit pada Dejun, Jeno, juga Doyoung.

Thank you udah jaga gue. Tolong bilang ke Renjun kalo Taeyong gak salah.

Bilang Adek gue kalo gue seneng bisa lihat dia lagi.

Dan....

Bilang sama Taeyong kalo gue mau dia ngelanjutin hidupnya.

“Percaya sama gue, ini semua bakal selesai lo cukup berta—”

KRAKKKK

Gadis itu mematahkan lehernya. Pilihan terbaik baginya. Ia tak ingin jiwa saudarinya terjebak di dimensi cermin. Hidup di dimensi cermin dengan semua rasa takut yang dimiliki adalah sebuah kutukan paling menyakitkan.

Zemira telah menyerah.

Selama kurang lebih dua tahun ia terjebak dalam dimensi yang berbeda, dengan segala kejadian yang nyata bercampur dengan ketakutannya.

Rasa takut kehilangan orang-orang yang ia sayang, rasa takut dalam menghadapi tragedi, juga memori singkat yang Semira ciptakan untuk saudara kembarnya itu.

Berkali-kali mencoba melukai dirinya dengan cairan merah yang berkali-kali pula mengucur deras—tapi mengapa Zemira tak juga kehilangan nyawanya? Ya, itu karena ia terjebak di dimensi cermin.

Tentang Rose dan segala ceritanya, ia sudah lenyap bertahun-tahun yang lalu. Rosie atau saudara kembar Zemira yang bernama Semira itulah yang meneruskan segala dendam yang masih belum terbalaskan.

Kejadian yang selama ini terjadi adalah bentuk dari rasa takut Zemira, juga beberapa kejadian rekayasa ulang milik Semira.

Luka yang bersarang di tubuh Zemira adalah hasil percobaan Semira untuk masuk dan menguasai tubuh itu. Namun tak pernah berhasil jika si empunya terus melakukan penolakan.

Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang. Ia meraih cermin pemberian Taeyong. Cukup lama ia bercermin sambil merekahkan senyumnya.

“Hey rose!” Sapanya.

she heard and saw

“Hey rose! Hehehe.” Sapanya lagi.

Jendela kamarnya terbuka, tertiup angin. Lantas Zemira beranjak dari kasur dengan cepat menutupnya. Dan kembali merebahkan dirinya sembari berkaca lagi.

“Hey rose!” Tersenyum senang. “Ih udah ah gue gila lama-lama nurutin Taeyong.”

i'm here, i'm under your bed

i'll take care of you tonight

Semburat cahaya mentari yang menyusup di celah jendela kamar tak membuat gadis itu mengerjapkan mata. Ia hanya terus menutup mata hingga Renjun dengan segala usahanya membangunkan Zemira.

Dengan cermin pemberian Taeyong yang berada di atas dada, Zemira tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Renjun panik setengah mati. Ia menghubungi siapapun yang bisa ia hubungi kala itu. Membawanya ke rumah sakit untuk memeriksa apakah si sulung baik-baik saja atau tidak. Namun dokter tak bisa mendeteksi apa penyakit yang di derita.

Dejun yang pada dasarnya mengetahui hal yang belum terjadi dan kejadian tumpang tindih, menyarankan Renjun untuk pergi menemui Doyoung dan Jungwoo.

Paman memberitahu semua kemungkinan yang sedang terjadi pada Zemira. Mencari sebab-akibat untuk menemukan solusi yang tepat.

Ketika semua sudah jelas barulah Taeyong membagi kisah pahitnya pada Renjun. Membuat Adek dari kekasihnya itu murka bahkan tak segan-segan untuk memaki.

Dari situ lah Paman kemudian membawa Zemira ke sebuah ruangan yang sampai detik terakhir hidupnya ia masih berada di sana.

. . . . . . . .

“ZEMIRA!!!!”

“KAK ZEE?!!!”

“NOOOOO!!!”

Brughhh

“Kak....” Renjun menjatuhkan tubuhnya di samping ranjang si sulung. Meremat kayu pinggiran dengan tangan yang lain meraih tangan Zemira. “Kak.. KAK ZE BANGUN GAK!”

“GAK USAH BERCANDA ATUH KAK!”

“LO MAU LILIT GUE? IYA? NIH NIH SOK LILIT LAGI!” Teriaknya sembari rantai tangan Zemira ia lilitkan di lehernya.

“Jun, Renjun...” Taeyong menepuk bahunya yang langsung di tepis.

“KAK IH KALO MAU MATI MAH YANG KEREN DIKIT. KALO GINI GAK ADA KEREN-KERENNYA....”

“Kak Ze ih.”

“Kak, gue kan belum pamer ke lo kalo gue di terima di kampus yang gue pengen.”

“Bangun dulu ih Injun mau bilang kalo gue udah gak takut sama hantu tau kak.... Kak Dejun yang bantu gue.”

“Gue belum bilang kalo gue kangen banget sama Kak Ze....”

“Kak gue pengen ngerusuhin lo goreng nugget malem-malem.”

“Injun sayang Kak Ze....”

Tak sanggup mengatakan apapun lagi, Renjun kembali terisak. Tangisnya pecah. Bersamaan dengan itu Jeno mendekatinya. Ia mengatakan bahwa Zemira berada di ruangan ini tadi sebelum ia benar-benar menghilang. Jeno menyampaikan pesan yang disampaikan oleh si sulung.

Kalimat yang disampaikan Zemira membuat Renjun menabrakkan dirinya pada tubuh Taeyong. Merengkuh lelaki yang akan selalu ia anggap sebagai Abangnya sendiri. Lelaki yang selama dua tahun ini pun tersiksa dan menyalahkan dirinya sendiri.

Taeyong mengusap punggung hangat Renjun. Merapalkan kata maaf untuk yang kesekian kalinya. Mereka berdua sama-sama terluka. Semua orang di ruangan pun merasakan hal yang sama.

“Kak, kata Kak Ze, dia mau lo ngelanjutin hidup lo.” Ujar Jeno.

Lelaki itu tersenyum dengan Renjun yang masih ada di pelukannya. “Mana bisa gue ngelanjutin hidup gue?”

. . . . . . . . .

“Cerminnya cantik, aku suka.”


@tsabitx

You're in my control

“Gue gak pernah minta dilahirin kayak gini, Ze.”

“Andai aja waktu itu lo gak diem aja dan ngebela gue, gue gak bakal jadi kayak gini.”

“Waktu itu gue ngeliat lo, ngeliat masa depan lo yang bakal ngehancurin gue dan gue cuma anak kecil yang gak suka kalo suatu saat lo ngerusak hidup gue, Ze.”

“Kematian gue bikin gue ngerti kalo gue emang harus dimusnahin. Tapi pilihan buat ngebunuh gue itu salah, harusnya gue disembuhin, harusnya gue masih bisa ngerasain hidup.”

Suaranya mulai menghilang dan hanya dengungan yang terdengar di telinga Zemira. Pandangannya mulai kabur lagi karena pasokan oksigen dalam tubuhnya menurun.

“Gue yang ngebantu lo hancurin Rose.”

“Gue yang ngebantu lo buat sampai di alam yang gak bisa lo raih.”

“Dan gue yang bakal gantiin jiwa lo.”

“Sampai kapan pun lo bakal terjebak disini. Di waktu ini, di dimensi cermin yang gak lo sadari ini.”

Zemira berusaha melepaskan tangan Semira yang semakin mengerat di lehernya. Tangan kanannya menepuk-nepuk cekikan itu.

“G-gue m-mau ng-omo-ng s-sama lo— uhuk uhuk.” Ujarnya dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Hahhhh.... uhuk.... uhuk....”

Lehernya telah terbebas, gadis itu terbatuk-batuk sembari mengelus dadanya. Menghirup dengan serakah seluruh oksigen, menetralkan nafasnya. Tubuhnya sampai terjatuh bersimpuh di depan saudara kembarnya. Ia menangis.

Tik tok tik tok

Suara jam dinding terdengar lirih di telinga Zemira. Bisikan-bisikan bahkan suara orang-orang yang tak asing itu selalu terdengar.

Tangannya yang gemetar terulur. Menggenggam lemah tangan putih pucat dan dingin saudarinya.

“Gue nyerah…”

Tukas gadis itu dengan tetesan bening berlinang. Ia memutuskan untuk menyerah. Ia sudah berusaha melakukan segala hal dalam perjalanan terakhir hidupnya. Bertahan dengan sisa tenaga yang ia punya.

Bukan hanya hati dan pikirannya yang perlahan hancur, fisiknya juga. Ia tak mampu merasakan apapun. Mati rasa.

“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap bakal lo ijinin.”

“Apa?”

image

“We are going to die…. There is someone in here with us….”

“….Ze, sebelum terlambat, please kill the curse.”

“The curse of the sect.”

“Pecahin kacanya…. Karna kaca itu dia masih terhubung.”

“….cuma lo yang bisa….”

“Hidup untuk mati atau mati untuk dilahirkan kembali?”

“Hidup untuk mati.”

. . . .

“Kakak!!”

Di sebuah ruangan dengan tembok putih bersih tengah terbaring sosok perempuan yang kurang lebih dua tahun tak sadarkan diri. Kondisi tubuhnya cukup mengenaskan.

Hampir setiap hari semua kerabat dekatnya menengok gadis cantik itu. Mengobati lukanya, atau membantu jalannya exorcism. Pun seseorang yang tak henti-henti nya merapalkan permintaan maaf dengan jutaan butiran bening jatuh.

Malam ini semua berkumpul dalam satu ruangan. Mereka akan melakukannya lagi. Sebuah usaha terakhir yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan lebih parah.

Namun sebelum itu berlangsung, tiba-tiba kedua mata gadis itu terbuka tanpa aba-aba. Membuat semua orang disana terlonjak kaget. Seketika ia mendudukkan dirinya tanpa merasakan rasa sakit akibat luka-luka di tubuhnya.

Dengan pandangan tajamnya, ia merotasikan bola mata memandangi satu per satu orang disana secara bergantian.

Kemudian tersenyum pada satu orang yang menyita lama atensinya. Seseorang yang masih ia kenali dan tak akan pernah terlupakan—Paman.

“Kak Ze….”

Seorang lelaki menghampirinya, meski lengannya berusaha di tahan oleh Paman, namun ia tetap melangkah mendekat. Butiran bening di sudut matanya berlinang turun semakin deras membuat pipinya membasah.

“Kak Ze….” Tak ada kalimat lain selain dirinya yang mengelukan nama si sulung.

Renjun memeluk pelan sang Kakak. Tak terlalu erat karena ia takut mengenai luka di tubuh gadis itu.

Pelukannya terbalaskan. Namun sontak Zemira memutar tubuh Renjun sembari melilitkan rantai di leher si bungsu.

“ZEMIRAA?!!!”

“Kak Ze?!”

Semua orang berteriak. Irene, Jeno, Mark, Jaehyun, Jungwoo, Doyoung, Taeyong, Dejun, dan kedua orang tuanya tanpa terkecuali meneriaki namanya.

“Dia bukan Zemira.” Ujar Paman sembari merapalkan sesuatu setelahnya.

Renjun menahan kuat-kuat rantai yang melilit di lehernya. Ia berusaha mengendurkan lilitan.

“Nak…. Tolong jangan lakuin itu.”

Tawa Zemira seketika merekah mendengar kalimat yang terlontar dari seorang wanita yang melahirkan dirinya. Ia semakin tertawa melihat Paman yang berusaha merapalkan sesuatu. Sama sekali tak berpengaruh pada dirinya. Terlebih rilekui yang berada di tangannya.

Pelan-pelan sang Ibu mendekati putrinya, namun semakin ia mendekat, sang putri semakin membelenggu leher si bungsu. Membuat teriakan mereka pecah.

“Bunda.... ini aku si jahat.”

“Terima kasih karena bunda percaya sama mitos si baik dan si jahat.”

Beberapa orang memandang dengan penuh tanda tanya. Kebingungan dengan maksud perkataan gadis itu, namun mereka tak mengindahkannya. Mengabaikannya karena sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan Renjun.

Dejun, Doyoung dan Jeno yang berdiri bersebelahan saling menoleh dan memberi isyarat satu sama lain. Mereka bertiga berjalan kesisi yang berbeda.

“Jangan ada yang mendekat!” Ucap Zemira sembari mengeratkan lilitan.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Dejun dan Doyoung memegang lengan Zemira, berusaha melawannya dan menyelamatkan nyawa Renjun. Dengan kekuatan yang Jeno miliki, ia berhasil membebaskan temannya itu dari rantai yang membelenggu lehernya.

Adek dari Zemira langsung di dekap oleh sang Bunda tercinta. Dadanya masih sesak, pun terdapat bekas merah yang hampir memutus lehernya.

“LEPASIN GUE LEPASIN!!!” Kini Zemira meronta-ronta karena kedua rantai di tangannya ditarik kuat oleh Dejun dan Doyoung.

Taeyong melangkah mendekati kekasihnya, namun lebih dulu tertahan oleh si bungsu. “Jangan deketin kakak gue.” Desisnya. “Lo mau nyelakain kak Ze gimana lagi sih?!”

Lelaki itu tercekat dengan penuturan Renjun. Kedua matanya berkaca-kaca teringat kesalahan yang rupanya tak akan bisa dimaafkan oleh siapapun. Ia mendudukkan dirinya. Tangis keduanya pecah.

“Gue tau gak akan ada kata maaf buat gue, tapi biarin gue nyamperin Kakak lo, untuk yang terakhir kalinya. Gue gak bakal lagi ada disini, gak bakal nampakin diri di depan lo lagi.”

“Ya, Jun? Biarin gue ngomong sama dia.” Pinta Taeyong dengan matanya yang sudah membasah.

Perlahan Renjun lepaskan genggamannya, membiarkan lelaki itu untuk mendekati sang Kakak. Mungkin jika Zemira tau bagaimana sikap Renjun terhadap kekasihnya selama ini, dapat dipastikan ia akan memarahi si bungsu tanpa ampun.

Ketika Taeyong berjalan mendekat, gadis itu hanya tersenyum tanpa berteriak dan meronta-ronta. Tubuhnya menjadi jinak seketika. Ia menatap lamat kekasihnya. Ia terus menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi pada Zemira.

Pertahanannya runtuh, tubuh Taeyong merosot sembari tangannya memegang sisi ranjang. Ia tak sanggup melihat luka-luka yang masih bersarang di tubuh Zemira.

“Lo— kenapa lo keluar dari tubuh gue?”

“Kenapa lo gak ambil gue?”

“Tolong, balikin Zemia....”

Gadis itu tertawa. “Lo cuma jadi perantara. Apa? Balikin? Ini gue—Zemira.”

“Lo bukan Zemira.”

“I'm.”

Keduanya saling melempar tatapan.

Bruakkk!

Paman menerobos tubuh Taeyong hingga terpental. Dengan kuat ia kembali tidurkan posisi Zemira. Merapalkan bacaan dengan mata tertutup. Gadis itu mengerang hingga tubuhnya mengejang. Pun ototnya terlihat jelas di permukaan kulit.

Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman sembari tangan kanannya berada di atas dada, tepat di jantungnya.

No no not again....

Rilekui yang Paman genggam di tangan kirinya adalah sebuah cermin.

“Zemira—” Dejun menggeleng. Pandangannya bukan kearah gadis yang tengah mengerang itu. Melainkan kesisi lain.

“Kak Ze, gak.... jangan....” Begitu pula Jeno.

“BUNDAA—ARGHHHH!!”

Taeyong meraih tangan gadis itu, menggenggamnya— setidaknya untuk menguatkan tubuh itu. Zemira mencengkeramnya, hingga kuku jarinya menggores kulit tangan Taeyong. Lelaki itu masih menitikkan air mata sembari meringis kesakitan.

“Tolong bertahan, tolong.” Lirih Taeyong.

Cermin itu melayang ke udara. Kemudian.... . . . . . . . . .

Next Part.

why should i? because you're in my control.

....ada seorang wanita duduk menghadap jendela, dengan cermin digenggamannya.

Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai dress bak tuan putri. Dress hitam dengan corak mawar.

“Hey rose.”

“Cerminnya aku kasih nama Rose, kalo kamu ngaca, coba sambil di sapa.”

....she heard and saw.

i'm here, i'm under your bed

i'll take care of you tonight

“You're here?”

“I'm here waiting for you”

“Get out of that mirror.”

“Come with me. Stay with me here. I'm on my own. Keep me company so i'm not alone.”

“Look, she's happy to be around you.”

....lantas ia putuskan untuk kembali ke kamarnya. Kepalanya mulai terasa pusing lagi. Dengan langkah menyeret, dan kepala yang sengaja ia pijit-pijit, Zemira mendengar suara Taeyong. Dari kamar tidurnya.

“Gue gak bisa.”

“Jangan...”

“Gue gak mau.”

“You're needed”

....turun dari tempat tidurnya lagi, mengambil cerminnya. Ia berkaca sebelum kembali mengistirahatkan dirinya. Bayangan wajah cantiknya memantul. Namun ada bayangan lain tepat dibelakangnya.

i'm afraid to opening my eyes, aku tau kau ada di langit-langit, menungguku untuk melihatmu. I won't look.. i won't look..

. . . . . . . . . .

Kedua tanganku bergetar hebat. Rasanya tubuhku sangat lemah dan mati rasa, namun seperti ada dorongan yang membuatku untuk terus melakukan segala hal. Aku kehilangan kendali. Otakku tak dapat bekerja lagi.

Satu...

Dua...

Tiga...

Tiga tubuh berada di ruangan ini bersimbah darah, dengan keadaan yang tidak bisa disebut baik-baik saja. Dan seingatku satu tubuh di ruangan yang lain telah kehilangan jiwanya.

Berjalan sendiri di koridor tanpa alas kaki, ku rasakan lantai yang dingin dan basah akibat cairan yang melekat di bawah sana. Cairan berwarna merah, aku membiarkannya tanpa berniat membasuh.

Terlihat cahaya menyembur dari arah depan. Pintu utama terbuka menampakkan sosok lelaki yang tak lama ini aku kenal. Paman, dengan satu buah cermin di tangannya.

Entah mengapa tubuhku menolak untuk mendekat, padahal aku ingin sekali menyapanya. Meminta tolong untuk segera membawa teman dan Adikku pergi dari sana.

Tolong selamatkan mereka....

Tolong selamatkan aku....

Kalimat yang tak dapat keluar dari mulutku.

Seseorang tengah berbicara padaku, telingaku dapat mendengar. Samar, aku mendengar isakan tangis banyak orang yang entah datangnya dari mana. Seketika suara itu menghilang. Ku dengar lagi suara bisikan yang menyuruhku untuk segera lari dari tempat ini. Aku setuju dengan itu.

Dari jarak 4 meter, Paman menatapku. Ku lihat bibirnya mulai bergerak merapalkan sesuatu yang membuat tubuhku—ARGHHHHHH.

Tubuhku terjatuh, kedua kakiku terasa sakit dan tak dapat di fungsikan lagi. Benar-benar kaku dengan ototku yang mulai mengejang.

Ketakutan dalam diriku bergejolak, perasaan yang sedang aku rasakan saat ini adalah takut, gelisah, tertahan sampai hampir mati rasanya. Pun rasa sakit luar biasa di area punggung. Seakan tulang rusukku patah satu per satu. Kedua tanganku yang melebam masih saja berusaha meraih meja di sebelahku.

Aku berhasil berdiri meski dengan susah payah.

“Zemira, jangan melawan. Saat kamu berhenti melawan, rasa sakitnya akan hilang.” Ujar Paman yang langkahnya mulai mendekat perlahan.

Kalimat Paman ada benarnya, mungkin ia akan menyembuhkanku dan menyelamatkanku. Aku hanya perlu diam dan—

Tidak, tubuhku menolaknya.

Kedua kakiku berlari dengan begitu kencangnya. Menabrakkan diri pada tubuh Paman kemudian berlari meski rasa sakit masih bersarang di sekujur tubuhku. Berkali-kali diri ini mencoba untuk berhenti, namun langkah kaki memiliki banyak energi.

Satu hal yang baru aku sadari adalah tubuhku telah dikendalikan.

Lantas apakah tanpa sadar pula aku telah merenggut nyawa Doyoung, Jeno, Jungwoo, juga Dejun....

Sungguh aku ingin kembali ke rumah Paman, melihat kondisi mereka. Memastikan bahwa mereka masih bernyawa dan dapat di selamatkan. Ternyata tak semudah itu melawan diriku sendiri.

Tubuhku terasa hancur ketika aku berusaha melawan. Kalimat-kalimat Dejun seketika muncul dalam memori kecilku. Aku harus benar-benar sadar, melawan, dan aku pasti bisa.

Kesadaranku melemah, aku kehilangan kendali lagi atas diriku sendiri.

. . . . .

Zemira membuka kedua mata perlahan. Meregangkan tubuh seperti yang biasa dilakukan ketika bangun tidur. Menghirup dalam-dalam udara segar, seperti tubuhnya terasa lebih baik.

Kedua tangan sibuk menyeka wajahnya berulang kali. Mengumpulkan kesadarannya. Ia masih terbaring menghadap langit-langit. Kemudian Zemira mendudukkan dirinya. Merotasikan bola matanya ke setiap sudut ruangan gelap.

Ada sesuatu yang tidak benar. Ia celingukan sembari memijat kedua bahunya bergantian. Meringis kesakitan ketika tangannya berusah bergerak sesuka hati.

Itu terasa salah....

Cahaya terang di suatu sudut menyita atensinya. Bola matanya membulat ketika menangkap satu lilin menyala.

Zemira tersadar, ia berada di sebuah bangunan yang masih tersimpan jelas segala kejadian yang pernah terjadi disana.

image

Pandangan matanya yang semula kabur, kembali jelas dan terfokus pada seseorang yang tengah berdiri di altar. Sosok itu memakai pakaian serba putih dengan rambut tergurai panjang.

“S-siapa?”

Tak ada jawaban, ia masih sibuk menyalakan beberapa lilin untuk menerangi ruangan.

“Gue mau hidup lagi.”

“Lo—”

“Semira.”

Sosoknya membalikkan tubuh. Zemira terkejut saat ia seperti berkaca melihat gadis yang berjalan mendekatinya itu. Hasil jiplakan wajah yang 100% sama dengannya.

“Lo beneran kembaran gue?”

“Lo gak inget?”

Zemira menggelengkan kepala.

“Lo gak inget gara-gara lo, nyawa gue direnggut.”

“Waktu itu gue cuma anak kecil yang gak tau apa-apa, yang ngelakuin hal yang gue sendiri gak tau kenapa bisa.”

“Itu diluar kendali gue, tapi gak ada yang percaya sama gue—”

“Gue percaya sama lo.”

Sosok yang mengaku sebagai saudara kembarnya itu semakin mendekat hingga berjarak tiga langkah saja dari Zemira. Sontak tangannya meraih leher Zemira membuat tubuhnya terangkat.

“Lihat mata gue.”

image

Mata menghitam dengan sorot yang tajam dengan air bening menggenang. Zemira tercekik. Tangan itu menusuk tajam lehernya.

“Gue gak pernah minta dilahirin kayak gini, Ze.”

“Andai aja waktu itu lo gak diem aja dan ngebela gue, gue gak bakal jadi kayak gini.”

“Waktu itu gue ngeliat lo, ngeliat masa depan lo yang bakal ngehancurin gue dan gue cuma anak kecil yang gak suka kalo suatu saat lo ngerusak hidup gue, Ze.”

“Kematian gue bikin gue ngerti kalo gue emang harus dimusnahin. Tapi pilihan buat ngebunuh gue itu salah, harusnya gue disembuhin, harusnya gue masih bisa ngerasain hidup.”

Suaranya mulai menghilang dan hanya dengungan yang terdengar di telinga Zemira. Pandangannya mulai kabur lagi karena pasokan oksigen dalam tubuhnya menurun.

“Gue yang ngebantu lo hancurin Rose.”

“Gue yang ngebantu lo buat sampai di alam yang gak bisa lo raih.”

“Dan gue yang bakal gantiin jiwa lo.”

“Sampai kapan pun lo bakal terjebak disini. Di waktu ini, di dimensi cermin yang gak lo sadari ini.”

. . . . .

Dimensi cermin yang tidak aku sadari....

Apa artinya....

Satanic – Angel cult two cults who are in the same game but different devils.

Informasi Paman dapatkan ketika ia datang ke Silent Hill untuk mengintai Rose. Perempuan itu sendiri yang mengatakan akan ada seorang gadis yang kelak berdiri bersamanya. Tak lain adalah Semira, saudara kembar Zemira.

Mengetahui itu, Paman mencoba utnuk melawan Semira lebih dulu, karena dianggap sebagai objek yang mudah. Namun naas, semakin agresif serangan yang Paman berikan, makin merusak tubuh gadis itu.

That girl has fused with the devil. Dua wujud yang menyatu takkan bisa diselamatkan.

Semira kehilangan nyawanya.

Tak ada yang tau apakah jiwa Semira benar-benar menghilang dari bumi atau ia tinggal bersama teman-temannya di dimensi lain.

Kehilangan seorang anak mengharuskan kedua orang tuanya untuk memiliki keturunan lagi. Selain untuk mengobati luka dan rasa kehilangan, juga untuk menyelamatkan Zemira.

Gadis kecil itu mengalami suatu kejadian traumatis. Akibatnya, ia tidak bisa mengingat apa pun dengan baik. Ia kehilangan memori tentang saudara kembarnya, ia tidak bisa mengingat apapun yang berhubungan dengan traumanya. Zemira hanya merasa sangat amat senang ketika si bungsu bernama Renjun itu lahir ke dunia.

. . . . .

“Lo tau Doyoung punya luka di sekujur badannya? Terlebih dada dan punggung. Lo pasti tau.” lempar Jungwoo setelah menceritakan kisah singkat.

“Gue bukan cenayang.”

“Gue kira anak indigo kayak lo udah tau.” Senyumnya remeh.

Dejun meremat ujung sofa.

“Luka yang dia dapet ya karena tubuhnya rentan dimasukin sosok lain. Dan lo tau? Sekarang Semira ada dalam diri Doyoung. Gue bahkan gak tau dia masih ada disana atau eng—”

“Doyoung udah mati.” Timpa Dejun. “Dia udah lama mati.”

Jungwoo mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras seketika mendengar ucapan dari Dejun. Kedua matanya memerah dan berair. Rasanya kalimat itu tidak bisa ia terima. Berkali-kali. Sudah berkali-kali Paman pun mengingatkan Jungwoo akan kematian Doyoung. Tapi sampai saat ini dirinya masih tidak percaya.

Di keseharian, aneh rasanya melihat Doyoung sering berubah sikap. Jungwoo tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa jiwa sepupunya masih ada disana.

“Lo gak bisa bawa Doyoung balik.”

“BISA! Upacara abu can bring back his soul.” Tegas Jungwoo sembari menegakkan dirinya. “Tiga tubuh ini bisa bawa dia.”

“Dia cuma mau Zemira. Lo tau? Dia gak bakal pernah istirahat dan berhenti hingga dia berhasil nguasain Zemira. Dia bakal terus datengin Ze sampai akhir waktu sekali pun.”

She's just a devil. While angels can fight them and even save anyone.”

“Save anyone kata lo? Then Semira? Kenapa Paman gak bisa selametin dia?”

“Ada beberapa jenis orang yang sia-sia sekalipun kita selametin. Semira? Why was she saved when in the end dia bakal jadi anaknya Rose?”

Buaghhh!!

Dejun geram. Tangan yang mengepal dari tadi telah mendarat mulus di wajah Jungwoo.

“DAN APA LO MIKIR IF IT WILL UNLEASH AN ANCIENT CRUELTY? APA LO MIKIR KALO BAKAL BANYAK DENDAM YANG GAK ADA AKHIRNYA?!”

“JUST STOP IT, LO GAK TAU KAN KEJADIAN APA YANG BAKAL TERJADI KALO LO TETEP NGELANJUTIN THIS RITUAL?!”

Jungwoo yang berada di bawah Dejun membalikkan posisi. Kini lelaki itu mendominasi, mendaratkan beberapa kali pukulan di wajah hingga perut Dejun.

Tanpa mereka sadari seseorang tengah memperhatikan mereka berdua di ambang pintu. Seorang perempuan yang dari tadi mereka bicarakan.

Semira yang berhasil masuk dalam tubuh Zemira. Bola mata menghitam dengan seringai tajam menghiasi wajahnya. Terdapat banyak bercak merah segar di baju yang ia kenakan.

Gadis itu berjalan masuk tanpa alas kaki. Jejak kakinya membekas di lantai akibat cairan merah yang entah apa.

Dejun mendorong tubuh Jungwoo ketika mendengar suara tawa lirih yang dihasilkan oleh Zemira.

“Ze?! N-no…. Jangan lagi.” Ujar Dejun sembari menggeleng pelan.

“K-k-kak Ze….” Suara lirih seseorang terdengar.

Baik Jungwoo atau Dejun berusah berdiri. Mereka sama-sama terkejutnya ketika melihat tubuh yang berusaha merangkak. Kedua pasang mata itu melotot kaget.

Jeno. Dengan tubuh yang berlumuran darah. Berusaha merangkak hanya untuk menghentikan langkah Zemira.

“K-kak Ze…. J-jangan.” Hanya itu yang mampu Jeno katakan sebelum Zemira kembali menikamnya—tanpa benda tajam, ia hanya menggunakan kuku jarinya yang panjang.

“JENO?!”

“K-kak….” Jeno menatap kearah Dejun, kemudian kehilangan kesadarannya.

Kedua lelaki itu melihat jelas bagaimana Jeno menghembuskan nafas terakhirnya dengan tangan Zemira berada di leher lelaki itu.

Jungwoo merogoh ponsel di sakunya. Mencoba menghubungi Doyoung untuk memastikan bahwa sepupunya itu baik-baik saja. Namun ketika terdengar nada tersambung, bunyi ringtone ponsel Doyoung berada di ruangan mereka.

Kemudian Zemira membalikkan tubuhnya. Berdiri menghadap mereka berdua dengan kurang lebih 3 meter jaraknya. Ia mengangkat tangannya. Menampakkan ponsel Doyoung berdering di genggaman gadis itu.

“Doyoung…. Dimana Doyoung?” Tanya Jungwoo dengan suara pasrah.

Zemira melempar tatapan tajam. “Di ruangan dimana lo ngurung gue.”

Mendengar jawaban seperti itu saja sudah bisa di pastikan bahwa Doyoung tak lagi bernyawa.

“Dimana Paman?” Tanya gadis itu. “Dimana!” Tekannya lagi.

Tak ada jawaban dari mereka berdua. Keduanya masih terkejut dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Zemira.

“Jun, dari awal gue cuma punya lo. Yang percaya sama gue, yang ngedukung gue apapun yang gue lakuin.” Ia berjalan mendekat dan berhenti tepat dua langkah di depan Dejun. “Do you support what i’m doing now? Lo masih percaya sama gue?”

Dejun menelan ludah kasar. “Gue percaya sama Zemira.”

“Gue Zemira.”

“YOU ARE NOT!”

Seketika gadis itu terdiam dengan raut wajah datar namun tatapannya masih menajam.

Di samping Dejun, diam-diam Jungwoo meraba sesuatu pada laci meja di belakangnya. Dejun mengerti apa yang akan lelaki itu lakukan. Dengan cepat ia menahan lengan Jungwoo.

“No.”

The devils must be exterminated.” Bisik Jungwoo yang rupanya masih terdengar di telinga Zemira.

“Gue gak ada bedanya sama lo, Jungwoo. Lo mau bunuh gue? Silahkan.”

If you can.” Zemira tersenyum miring.

CRASHHHHH!!

“ZEMIRA!!!!”

Crash!!!

. . . .

“Jaemin, Renjun, Taeyong—tubuh mereka yang harus lo selametin sekarang.”

“Please gue mohon....”

“P-pastiin Jeno juga gak kenapa-kenapa.”

“Ayo! Lo sama gue. Kita berdua—” Dejun menarik Zemira lagi, namun gadis itu seketika bersujud memegang kaki kanan Dejun. Menyembunyikan wajahnya dengan menahan tangisnya yang pecah.

“Please....”

Tak tahan dengan itu, ia hentakkan kakinya. Dejun pergi dengan tangan yang mengepal. “Tetap hidup. Sampe gue dateng lagi.” Lirihnya sembari menutup pintu.

Sepeninggalan Dejun, Zemira duduk kembali di ranjangnya. Harusnya kala itu ia bisa menahan saudara kembarnya untuk pergi. Ingatan demi ingatan mulai kembali.

“Gue…. Bakal tetep hidup kalo Renjun hidup. Gue gak bisa gini, cuma gue yang bisa.” Gumam Zemira.

Tak lama, seseorang datang masuk ke dalam ruangan.

Doyoung, dengan Jeno berada bersamanya. Kedua bola mata mereka bertemu. Dilihat dari sorot matanya, Zemira tau jika sorot mata itu bukan milik Doyoung, melainkan saudara kembarnya.

Zemira sudah mengenalinya.

“Lo udah bangun.” Ucap Doyoung datar.

“Iya.”

Doyoung mengangguk, kemudian ia duduk di atas ranjang. Jeno yang ingin ikut mendekat pun tertahan karena Zemira menatap sembari menggeleng kearahnya.

“Balikin tubuhnya.” Pinta Zemira. “Bawa gue sebagai gantinya.”

Jeno tertegun. “K-kak apa maksud lo?!”

Doyoung tersenyum hingga seketika dirinya mengerang kesakitan. Otot-ototnya keluar. Beberapa bagian tubuhnya melebam.

“NOOOO!!! DON’T HURT HIM!! YOU JUST NEED TO GO OUT—AAAAAARRGG!!”

“Kak Ze?!!” Jeno meraih tubuh Zemira ketika gadis itu jatuh ke lantai. “Kak kak? Kenapa? Kak Ze kenapa?!” Lelaki itu terus menggoyang-goyangkan bahu Zemira. Ia benar-benar panik melihat Doyoung yang sudah tak sadarkan diri juga Zemira yang tengah mengejang dan mengerang.

“Kakkk? Kak Ze lihat gue kak…. Lihat gue.”

Jeno adalah saksi bagaimana kedua bola mata Zemira berubah. Menghitam sepenuhnya. Ia teringat kejadian dimana Zemira menikamnya berkali-kali di rumah kala itu.

“K-kak Ze…. KAK SADAR!!!”

Zemira terus mengerang, dan Jeno masih menjadi pusat atensinya. Lelaki itu memundurkan dirinya. Namun sayang….

Grebbb!!

“K-kak Z-Ze….”

Leher Jeno sudah diapit sempurna dengan lengan Zemira.

“K-kak Zemira please lo harus s-sadar—aaagggggghh.” Sontak ia berteriak ketika kuku tajam mencabik bekas luka tikamannya.

Wanna know a secret?” Bisik Zemira tepat di telinga Jeno. “Gue bukan Zemira.”

Setelahnya ia menyeringai. “Hadiah dari Mama lo because you betrayed her.”

Crashh!!

“AAAAAAAGGGHHHHHG.”

to be continue

verum innumerabilis


“Ze?”

“Ze lo mau ngapain anjir?!”

“ZEMIRA LO HARUS SADAR!”

“ZEMIRA!”

Gadis itu sudah berdiri dihadapan lelaki yang tengah ketakutan hingga deru nafasnya tak beraturan. Zemira mengayunkan benda itu.

“ZEMIRA!!”

Crassshhh..

Hening. Suara teriakan Dejun tergantikan oleh ruangan yang mendadak sepi. Tak ada suara pergerakan atau suara benda yang bergesekan dengan benda lain.

“Jun, sorry....”

Sepatah kata dari Zemira menghancurkan keheningan. Kemudian diikuti banyak kalimat lainnya.

“Gue nyerah.”

“Gue harus ngelakuin ini because only i can break the curse.”

“Setelah dipikir—Mark dulu juga pernah bilang kalo cuma gue yang bisa.”

“Jun, gue takut....”

“Gue takut apa yang gue denger waktu itu bukan sekedar mimpi, kalo setelah gue mecahin cerminnya, gue denger samar-samar suara Doyoung.”

“Bawa gue sebagai gantinya— itu yang gue denger sebelum gue bener-bener gak sadar.”

“Selepas kejadian, gue sering mimpi Renjun, gue sering mimpi dimana gue ada di ruang tanpa jendela, terbaring terpaku di lantai, full of emptiness.”

“Gue terkadang gak bisa ngendaliin tubuh gue. Ada suara yang gue denger, suara itu terus minta gue buat ngedeket. Dan ya lo tau waktu gue ngedeket, hal buruk apa yang terjadi.”

Zemira berbicara tanpa jeda di depan Dejun yang diam tanpa suara. Gadis itu tak akan menyesali keputusannya setelah mengayunkan sebilah pisau di tangannya.

Pandangannya meredup. Tubuhnya lemas hingga genggamannya terbuka. Meloloskan benda itu jatuh terjun bebas ke lantai.

“Selama ini gue sendirian, coba hidup kayak yang Doyoung minta. Tapi disisi lain gue memberanikan diri buat cari tau kalo semuanya belum selesai.”

“Gak tau kenapa gue bisa yakin kalo semua belum selesai. Sekeras apapun gue nyoba ngeyakinin diri sendiri that it's all over, gue gak bisa. I'm still sure that it's not over yet.”

“Dan kayaknya cara gue salah, setiap gue ngelukain diri sendiri buat pergi ke alam lain, kembaran gue yang muncul, bahkan Renjun pun.”

“Mereka berdua bener-bener muncul di depan gue. Bukan di alam lain.”

“Lucu karena gue nyebut kembaran—gue juga baru tau. Lo mau tau gak bagian terlucunya lagi?”

“Kembaran gue meninggal karena exorcism. Orang tua gue gak jauh beda sama mereka, sama Mamanya Jeno. Dan bener kata Jeno dulu kalo semua pasti pernah dealing with devils. Sadar atau enggak.”

Dan saat itu Zemira menangis sejadi-jadinya meski ia harus menahan suaranya agar tak terdengar dari luar. Bertahan sendiri bukanlah hal yang mudah bagi dirinya.

“Gue juga tau kalo Paman, Jungwoo, Doyoung part of angel cult waktu gue nonton dvd yang Jisung kasih. Video dimana dia masuk ke satu per satu ruangan di rumah Paman dan banyak guci berisi abu disana. Too much.”

“Iya. Paman sama Jungwoo can do exorcism, but on the wrong path. Mengusir, untuk membunuh orang lain. Menyembuhkan, untuk menggantikan orang lain.”

“Dan gue—”

“GAK!” Seketika kedua tangan Dejun meraih bahu Zemira. Mengeratkan tangannya seakan tau apa yang ingin disampaikan. Ia tak menyetujui apa yang akan gadis itu lakukan tentu saja.

Lelaki itu menatap lawan bicaranya lamat-lamat. Menyusuri tiap jengkal tubuhnya yang kurus, penuh dengan memar, bahkan bekas darah yang mulai mengering masih berada di lengan tangannya.

“Lo cepet pergi dari sini!” ujar Zemira sembari menghempas tangan Dejun. “Gue gak akan nyesel sama keputusan gue.”

“Tolong.... makamin tiga tubuh yang udah lo selametin.”

“Terima kasih karena lo udah berusaha selamatin mereka, but please don't let their bodies turn to ashes.”

“Gue udah ikhlas sama kepergian Adek gue, kepergian Taeyong, gue udah ikhlas.”

Dejun terhenyak. Terkejut ketika gadis itu tau dengan apa yang ia sembunyikan. Dadanya terasa sakit mendengar kalimat yang Zemira lontarkan. Entah sejak kapan kedua matanya ikut berkaca-kaca.

“Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue punya tujuan. Ze! Ayo lo juga harus pergi dari sini anjir!”

Lelaki itu bangkit dan menarik satu lengan Zemira—namun tertahan. Dejun menoleh kearah Zemira yang masih lesu dengan kedua lututnya sebagai tumpuan. Ia menunduk dan menggelengkan kepalanya. Kemudian meraih tangan Dejun yang sedang menggenggam pergelangan tangannya.

Zemira menangkup genggamannya.

“Jaemin, Renjun, Taeyong—tubuh mereka yang harus lo selametin sekarang.”

“Please gue mohon....”

“P-pastiin Jeno juga gak kenapa-kenapa.”

“Ayo! Lo sama gue. Kita berdua—” Dejun menarik Zemira lagi, namun gadis itu seketika bersujud memegang kaki kanan Dejun. Menyembunyikan wajahnya dengan menahan tangisnya yang pecah.

“Please....”

Tak tahan dengan itu, ia hentakkan kakinya. Dejun pergi dengan tangan yang mengepal. “Tetap hidup. Sampe gue dateng lagi.” Lirihnya sembari menutup pintu.

Ruang gelap dengan puluhan guci abu dibiarkan tak terkunci karena ia tau seseorang akan datang kesana. Jungwoo duduk di sofa dengan santainya. Memainkan sebilah pisau lipat yang biasa ia gunakan sebagai alat bantu. Suara siulan yang ia hasilkan menghias seluruh sudut ruangan. Sadar dengan kehadiran seseorang, ia tersenyum miring.

“Dateng juga?” sapanya. “Mau mendengar sebuah kisah?”

Lelaki yang baru saja datang itu diam tanpa sepatah kata. Lantas duduk tanpa menunggu dipersilahkan. Kedua maniknya beradu tatap dengan manik milik Jungwoo.

. . .

Seorang anak perempuan terlahir kembar di tahun dimana gerhana bulan terjadi. Zemira dan Semira. Si baik dan si jahat. Ibu dari kedua anak itu mempercayai mitosnya.

Anak kecil berumur empat tahun itu tumbuh menjadi sosok introvert. Berbeda dengan saudaranya, ia tidak suka bergaul dengan teman-teman seusianya. Kecurigaannya pada banyak hal, membuat ia kesulitan beradaptasi dengan tempat ramai, di antara kerumunan wajah baru yang tidak dikenal.

Seperti yang orang tuanya duga, gadis itu memiliki keistimewaan dalam dirinya. Semira kecil hanya bermain dengan teman tak kasat matanya. Ia tak pernah sekali pun tersenyum atau bahkan tertawa. Cukup membuat ngeri jika diusianya yang akan beranjak lima tahun ia terus memandang saudaranya seperti seekor singa membidik mangsanya.

Hari dimana mereka berdua berada di rumah sendiri adalah hari terakhir Semira dan Zemira bersama. Kala Zemira kecil bermain di kamar dengan asyiknya, Semira tiba-tiba mendorongnya. Mendorong dengan sangat keras, dengan kekuatan yang tak seharusnya ia miliki hingga Zemira tersungkur.

Dahinya terbentur keras dengan lantai namun itu tak memberikan luka luar. Dengan memegang dahi yang berkedut, Zemira bangkit memandangi saudaranya yang masih berdiri disana. Tanpa ekspresi, tanpa rasa bersalah, dengan tatapan tajamnya ia berjalan mendekat.

Zemira yang tak tau apa-apa hanya diam, ia kembali duduk dengan wajahnya yang seperti ingin menangis. Tangan mungil Semira mengepal dan kembali membenturkan saudaranya itu. Tanpa alasan? Tentu saja ia memiliki alasan.

Kali ini benturannya sangat keras hingga suaranya terdengar jelas di telinga. Zemira hanya menangis setelahnya. Ia tak mempertanyakan mengapa saudaranya bersikap seperti itu padanya.

Semira akan melakukannya lagi hingga saudaranya itu memiliki luka luar yang dapat ia lihat. Ia terus mengulangi perbuatannya. Hingga akhirnya dahi Zemira menganga terbentur kaki ranjang.

Cairan merah segar keluar membasahi wajah Zemira. Dan untuk pertama kalinya ia melihat saudaranya itu tersenyum kepadanya.

Tak lama, suara deru mobil memasuki pekarangan rumah. Semira melihatnya dari jendela kamar. Dua mobil terparkir. Mobil kedua orang tuanya, dan satu lagi mobil seorang lelaki yang membuat deru nafas Semira menggebu. Mengepalkan tangan, kemudian pergi dari kamar Zemira. Meninggalkannya menangis sendiri dengan darah yang masih mengalir.

Seakan tau dengan apa yang sedang terjadi, Ibu dari kedua anak kembar itu berlari menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Baru akan pergi ke kamar Zemira, ia melihat Semira berdiri di dekat kamar seraya berkata “bukan aku.”

Sang Ibu tak mempedulikan. Ia langsung masuk ke dalam, sontak berteriak karena terkejut dengan Zemira yang terus menangis memegangi dahinya yang mengucur deras cairan merah. Di susul Ayah, juga seorang lelaki tak dikenal di belakangnya. Mereka sama-sama terkejutnya. Tanpa basa-basi sang Ayah menarik Semira menjauh dari sana, kemudian mendudukkannya di ruang tamu bawah bersama lelaki itu.

“Bukan aku.” ujarnya lagi.

Zemira turun dengan berada di gendongan sang Ibu, ia mulai tenang. Kedua orang tuanya akan membawa gadis itu ke Rumah Sakit. Berbeda dengan Semira yang harus ikut bersama seorang lelaki itu di mobil lain. Mengetahui itu Zemira menangis lagi, memanggil saudara kembarnya untuk ikut bersamanya. Semira hanya diam di dalam mobil sembari menatapnya dari kaca mobil yang dibuka.

Sebuah ritual pengusiran yang sering kali disebut exorcism itu di gelar. Dalam suatu ruang bawah tanah tanpa jendela, kesendirian Semira membawa petaka. Dalam kesendiriannya, ia semakin dikendalikan oleh sosok yang selalu mengikutinya.

Paman. Kedua orang tuanya memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Paman' meski usia mereka tak jauh berbeda.

Mereka masuk ke dalam ruangan itu. Tanpa membawa alkitab atau apapun yang berhubungan dengan Tuhan, Paman hanya merapalkan bacaan dengan mata tertutup.

Sontak Semira mengerang hingga tubuhnya mengejang. Pun ototnya terlihat jelas di permukaan kulit.

Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman sembari tangan kanannya berada di atas dada Semira. Tepat di jantungnya.

Gadis kecil itu terus berteriak. Sesekali meneriaki nama saudaranya. Kedua orang tuanya menitikkan air mata ketika melihat salah satu anaknya seperti ini. Gadis yang bisa mengendalikan sosok tak kasat mata. Gadis yang dipercayai akan menjadi part of the satanic cult.

Informasi Paman dapatkan ketika ia datang ke Silent Hill untuk mengintai Rose. Perempuan itu sendiri yang mengatakan akan ada seorang gadis yang kelak berdiri bersamanya. Tak lain adalah Semira, saudara kembar Zemira.

Mengetahui itu, Paman mencoba untuk melawan Semira lebih dulu, karena dianggap sebagai objek yang mudah. Namun naas, semakin agresif serangan yang Paman berikan, makin merusak tubuh gadis itu.

That girl has fused with the devil. Dua wujud yang menyatu takkan bisa diselamatkan.

Semira kehilangan nyawanya.

locus inter duo loca. —tempat di antara dua tempat.

Apakah dia mati?

Tidak. Dia sedang berada di antara dua tempat.

Dimana?

Entahlah. Hanya ada dia dan dirinya yang lain. Saat ia terbangun, matanya mungkin saja akan melihat dunia baru. Mata yang mungkin dapat melihat hal di luar permukaan seperti melihat arus sebuah kehidupan.

image

Buku, album foto, hingga dokumen penting lainnya masih berserakan di gudang. Dua hari, lelaki itu masih terjaga. Keinginan untuk tidur menurun, bahkan kuliahnya pun terbengkalai. Banyak hal yang terus memenuhi kepalanya.

Jeno memutuskan pergi ke rumahnya sendiri. Rumah yang bertahun-tahun Kakaknya tinggali sendiri itu seperti ladang emas bagi Jeno. Semua yang menyangkut Mamanya masih ada disana.

Bukan hanya tentang Mamanya, tapi juga Zemira. Bukan hanya tentang pemusnahan massal, tapi juga pelepasan sebuah kekejaman kuno ke dunia.

Jeno membaca lembaran demi lembaran tulisan yang mulai menguning.

“Penglihatan dua arah tidak bisa di dapat dengan cuma-cuma?” Jeno terhenyak.

“Angel cult?”

“Paman, Kak Doy, Kak Jungwoo? Part of angel cult?”

Penglihatan dua arah yang dimiliki oleh Doyoung bukanlah kelebihan yang ia dapat sejak lahir, melainkan sebuah kelebihan yang sudah bisa dipastikan di dapat dengan tidak cuma-cuma.

Kini lelaki itu mengerti kalimat yang pernah ia dengar.

We’re all in the same game just different levels, dealing with the same hell just different devils.

Tentu saja sesuatu yang bertolak belakang dan tak sejalan akan menimbulkan sebuah tragedi.

“Upacara abu digunakan untuk sebuah…” Bibir Jeno seketika kelu membaca sebuah kalimat ini. “…pemanggilan.”

Tubuhnya kaku beberapa saat. Dengan tangannya yang masih gemetar ia raih ponsel di sakunya. Membuka dan membaca kembali chat-chat lama yang tak pernah ia hapus. Kemudian ia tercengang.

image

“I've been fooled all this time?”

Rasanya tak menyangka dengan apa saja yang ia baca. Rose; Mamanya— dan Rosie? Jeno mengernyit ketika membaca nama lain disana. Otaknya bekerja keras untuk mengingat.

“Rosie?”

Ia teringat dengan gadis kecil yang tak jarang bersama Mamanya. Gadis kecil yang terkadang ada dan hilang begitu saja. Gadis kecil yang pernah berbicara dengannya sekali. Bukan berbicara, lebih tepatnya gadis itu mengancam dirinya.

Dari sorot matanya, Jeno ingat. Bagaimana kedua manik itu selalu menatap dengan tatapan memburu. Bagaimana kedua manik itu—bayangan wajah Zemira muncul tiba-tiba membuat Jeno bergidik ngeri.

Bayangan kala Zemira menghujaninya dengan tusukan. Bayangan kala kedua manik Zemira penuh dengan kebencian. Dan sorot mata itu adalah sorot mata yang Jeno lihat pada gadis kecil yang ia yakini sebagai Rosie.

”Zemira has a twin.”

”Kalo Doy berkali-kali bilang Zemira yang nusuk lo, gue bakal tetep percaya sama Zemira kalo itu bukan dia. But her twin.”

”Gue bisa ngerasain, gue gak bakal maksa lo buat percaya sama gue. But just believe in Zemira.”

”Only she can break the curse. Bukan soal mecahin cermin, but the curse i said.”

Kalimat-kalimat Dejun seketika memenuhi ruang pikir Jeno. Kepalanya benar-benar sakit. Dan satu kalimat terakhir yang harusnya ia dengarkan.

”Gue percaya sama Kakak gue, harusnya lo juga.”

Renjun yang mengatakannya di malam terakhir mereka bersama.

“Harusnya gue terus ada sama kak Ze..”

“Padahal gue udah ragu dan gak percaya sama kak Doy, tapi kenapa gue—“

Jeno mengusap wajahnya kasar. Tanpa berniat merapikan benda-benda yang berserakan, Jeno segera berlari keluar dari gudang. Mengaitkan kembali rantai di pintu kayu gudang dengan bahunya yang tengah mengapit ponsel. Menghubungi seseorang yang mungkin seharusnya ia percaya; Dejun.

“Kak angkat!”

“Please angkat anjir!” Decaknya.

Kini Jeno mengerti mengapa Zemira dan cermin itu saling terikat. Bukan hanya karena Rose, tapi juga sosok lain yang menginginkan tubuh Zemira.

Selesai menutup dan mengunci rapat pintu, ia terus sibuk dengan ponselnya. Ketika ia membalikkan badan, mengambil ancang-ancang untuk berlari sekencang mungkin pergi ke rumah Jisung, ia lebih dulu tercekat.

“I've been looking for you.”

Seakan tak bisa mengekspresikan sesuatunya lagi, Jeno hanya berdiri mematung disana. Jarak 5 meter, ia bisa melihat Doyoung dengan senyum yang tak pudar.

Namun Jeno,

mengenali sorot mata itu.

“Ze…”

“Zemira!”

“Ze… bangun!”

“WOY NYAIIII!!”

Kedua tangan yang diikat menggantung membuat Dejun tak bisa mendekat kearah Zemira yang tengah terbaring di kasur putih.

Dua bulan penuh ia mencari gadis itu. Pergi ke segala tempat di Inggris tapi tak kunjung bertemu. Dan ketika ia bisa melihat Zemira, ia malah tak bisa berbuat apa-apa dengan tangan terikat.

Beberapa kali Dejun meneriakinya, namun si empunya nama tak mengindahkan panggilan itu. Tak membuka mata, tak menunjukkan gerakan dari tubuhnya.

Suara langkah kaki mendekat. Dejun dapat mendengarnya. Satu orang.

Pintu ruangan terbuka. Menunjukkan Jaemin disana. Ia tak sendiri, ia bersama Jungwoo. Dejun terkejut setengah mati. Terlebih matanya sampai terbelalak ketika menyadari bahwa Jaemin tak sadarkan diri di kursi rodanya.

“Mau lo bawa mereka lagi juga gue bisa nemuin.” Sarkasnya. “Mari kita buat ini lebih mudah!” Imbuh Jungwoo.

“Sudah waktunya, memberikan apa yang orang-orang inginkan.”

Dejun merasa dejavu mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Jungwoo.

“Yang kalian inginkan maksudnya? Haha kenapa lo semua bersembunyi dibalik kalimat ‘untuk kebaikan semua orang’ , ‘untuk keinginan semua orang’? Basi! Gue tau lo! Gue tau cara lo manipulasi semua! Gue tau!” Teriak Dejun.

Jungwoo menatap datar Dejun. Ia masih di ambang pintu.

“GUE TAU LO SEMUA BAGIAN DARI ANGEL CULT!”

“GUE TAU ZEMIRA PUNYA SAUDARA KEMBAR YANG ADA SAMA MAMANYA JENO!”

“GUE TAU KALO TAEYONG LO GUNAIN CUMA JADI PERANTARA!”

“GUE TAU ORANG-ORANG LO YANG BIKIN TAEYONG NGEBUKA KOTAK ITU!”

“DAN GUE TAU APA MAKSUD LO BAWA ZEMIRA KESINI—KARNA DOY. KARNA DOY YANG JIWANYA UDAH DIRENGGUT!”

“GUE TAU SEMUA!”

Teriakan demi teriakan Dejun lontarkan. Bahkan mungkin saja suaranya itu bisa terdengar hingga luar ruangan.

“Ah. Ternyata ramalannya benar. Jadi lo si indigo itu?” Tanya Jungwoo santai. “Dari pada lo teriak-teriak apa gak mending lo mohon ke gue aja buat dilepasin?”

Dejun mendecih. Ia terus menatap Jungwoo tajam. Tak sedikit pun mengalihkan pandangan. Ia akan mencari cara untuk melepaskan dirinya. Ia tak akan mungkin memohon hanya untuk—

“JANGAN BERANI LO SENTUH ZEMIRA!!” Teriakan Dejun kembali ketika Jungwoo berjalan mendekati ranjang gadis itu.

Jungwoo tersenyum sarkas. Ibu jarinya sudah menggosok-gosok dahi Zemira.

“Tenang, dia lagi tidur nyenyak.” Ujarnya sembari berbalik badan. “Oh iya sampaikan terima kasih gue buat Jeno, kalo gak karena dia, gue gak bakal nemuin tiga tubuh yang lo sembunyiin.” Imbuhnya sembari menutup pintu.

Mendengar itu Dejun mengepalkan kedua tangannya.

“Jeno brengsek!”

“Lo bodoh Jen!”

Lelaki itu terus menggerutu. Berkali-kali mencoba melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Tanpa kenal lelah. Tapi percuma saja ikatan itu takkan pernah bisa ia lepaskan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Dejun mendudukkan dirinya dengan nyaman. Bersandar di dinding berdebu dengan kedua kaki bersila. Peluhnya menetes semakin banyak. Perasaannya mulai tak enak. Sebentar lagi, mungkin ia akan melihat suatu kejadian yang belum terjadi, atau bertemu dengan hal lain.

“Injun…”

Telinga lelaki itu mendengar jelas Zemira memanggil nama si bungsu. Sontak kedua bola matanya terfokus pada satu benda yang entah sejak kapan tergantung disana.

Sebuah cermin oval berukuran setengah meter dengan bingkai motif mawar berada tepat berhadapan dengan ranjang Zemira. Dejun terus memperhatikan cermin itu, kemudian beralih pada Zemira, kembali pada cermin itu, dan begitu seterusnya.

“Ze?”

“Zemira?”

Dejun mencoba memanggilnya. Tak ada jawaban, hanya erangan yang terdengar semakin jelas.

“Zemira! Bangun!!” Teriaknya lagi. “Lo bisa denger suara gue kan? Please bangun! Ini gue Dejun.”

Zemira hanya terus mengerang hingga beberapa saat terdiam. Dejun tak mengerti apa yang sedang terjadi tapi gadis itu tiba-tiba mendudukkan dirinya, kemudian matanya terbuka—begitu saja.

Demi Tuhan, jantungnya terasa berdetak lebih kencang ketika Zemira menoleh kearahnya. Tanpa ekspresi, hanya diam dan terus memandang.

“Z-Ze? L-lo udah sa-dar?” Dejun terbata. Memaksakan sebuah senyum untuk mematahkan kecanggungan.

Tak ada yang lebih menakutkan selain Zemira berjalan kearah Dejun dengan sebilah pisau di tangan kanannya. Tanpa beralas kaki, tanpa ada suara, hening.

“Ze?”

“Ze lo mau ngapain anjir?!”

“ZEMIRA LO HARUS SADAR!”

“ZEMIRA!”

Gadis itu sudah berdiri dihadapan lelaki yang tengah ketakutan hingga deru nafasnya tak beraturan. Zemira mengayunkan benda itu.

“ZEMIRA!!”

Crassshhh..

to be continue

“Sudah waktunya ya?”

Lelaki yang tengah duduk sembari menghirup aroma secangkir kopi melemparkan sebuah pertanyaan pada sosok dihadapannya. Masih hanyut dalam lamunan, seseorang itu memilih diam.

Entah apa yang ada dipikirannya hingga seketika tawanya menyeruak. Tertawa hingga beberapa kali tangannya menepuk-nepuk meja.

“Lo ngapain sih anjir?!”

Lelaki itu menjawab. “Gak papa lucu aja, Doy.”

Doyoung menghela nafas. Menyandarkan badannya di kursi kayu yang kokoh. Memasukkan kedua tangannya pada kantong hoodie yang ia pakai.

“Balik aja gak? Kayaknya mau hujan.” Ujar Doyoung ketika pandangannya menelisik langit keabuan.

“Duluan aja. Gue masih sebel ketemu Jungwoo—Paman juga. Hhhh.”

“Ck! Alesan lo Cas. Makanya mulut tuh di filter dikit jangan asal nyeplos aja lo!” Omel Doyoung yang hanya dilirik sekilas oleh Lucas. “Ah serah lo ah gue mau balik.”

Lelaki itu beranjak dan berniat untuk meninggalkan Lucas sendiri. Ia pakai tas punggungnya kemudian membalikkan dirinya. Doyoung sudah meraih pintu Cafe itu, tapi langkahnya terhenti ketika satu pertanyaan keluar dari bibir Lucas.

“Lo—bukan Doyoung kan?”

Tak ada jawaban, hanya tatapan sayu yang ia lempar. Tatapan yang tak menjelaskan benar atau tidaknya.

. . . .

Hujan deras mengguyur kota lagi. Perkiraan cuaca hari ini; hujan disertai badai. Ah cuaca seperti ini mengingatkan Jeno ketika ia harus pergi menemani temannya yang penakut sedang berjaga di rumahnya sendiri. Sudah cukup lama, tapi Jeno enggan melupakan setiap inchi kejadiannya, terlebih jika semua kejadian saling berhubungan.

Hari ini, ia rindu teman-temannya. Ghost Hunter Genk, mereka memang menyebalkan, tapi tetap saja Jeno ingin bertemu mereka. Berkumpul. Sekali saja.

Seseorang yang tengah duduk di teras rumah mengacak surai legam tanda frustasi. Selama dua bulan perempuan itu seperti menghilang begitu saja tanpa jejak.

Ia pun tak pernah lagi melihat kejadian tentang Zemira. Yang selalu ia lihat adalah sebuah ruang tanpa jendela, penuh dengan kehampaan.

“Kak.”

“Besok gue balik ke Indo, tugas kuliah gue—“

“Iya. Nanti gak perlu balik kesini lagi, Jen.” Tukas Dejun.

Jeno yang saat itu berdiri seketika duduk di sebelah Dejun dan menggeser kursinya. “Kak?!”

“Zemira biar gue sama Kun yang urus. Lo sama Jisung pulang, jangan balik lagi.”

“Gak! Zemira kakak gue. Pokoknya setelah tugas-tugas gue kelar, gue bakal balik.”

Dejun berdecak. Ia menundukkan kepalanya lagi. “Jangan coba ngebohongin gue, Jen. Gue tau lo pulang gak karna tugas kuliah.”

“Dan gue gak bisa ngebiarin lo balik kesini lagi.”

Jeno mengeratkan rahangnya.

“Lo pikir gue gak tau kalo lo diem-diem nanam tanaman mawar di belakang rumah Zemira? Lo pikir gue gak tau if one day you will go to another world?”

“Tolong ingetin gue kalo lo— still part of them.”

Dejun beranjak sembari menatap tajam Jeno. Lantas ia menerobos hujan yang sedang deras-derasnya. Meninggalkan Jeno yang terus menatap kepergian Dejun dengan tangan mengepal.

Lelaki itu selalu berusaha membedakan kebenaran dan kenyataan dari kebohongan dan tipuan. Ketika berada di sekitar orang lain, Dejun dapat langsung mengetahui kapan seseorang berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Jeno, Doyoung— menurutnya, mereka berdua sedang menyembunyikan sesuatu.

Langkah Dejun membawanya pada bukit yang pernah ia datangi sebelumnya. Tubuhnya basah kuyup akibat guyuran air hujan yang tak ada hentinya.

Sudah dua bulan, rumah Paman tak terjamah orang. Rumput di halaman rumahnya meninggi tak terawat.

“Paman pulang ke Indonesia, sudah lama.” Hanya itu kebohongan dari warga yang ia dapat. Karena nyatanya mereka tak kembali ke negara asal, mereka bersembunyi yang entah dimana.

Berkali-kali Dejun mendatangi untuk memastikan Zemira ada disana. Nihil. Ia tak menemukan siapapun di rumah Paman.

”Kak lo serius mau nolongin gue kan?”

”Kata Kak Ze gue gak boleh percaya sama siapa-siapa, termasuk Kak Ze.”

”Gue sering ngeliat Kak Ze ada dua. Tapi kayaknya minus gue nambah deh Kak hehe.”

”Lo kayaknya suka sama Kakak gue deh makanya mau bantuin gue sama—oh enggak ya? Ya kirain.”

”Semalem waktu diklat gue ketemu sama makhluk aneh, tapi lebih anehnya lagi gue nyamperin dia tanpa rasa takut.”

”Kak orang tua gue meninggal.”

”Gue mau ke Inggris. Temen Kak Ze nih tiba-tiba dateng terus ngajakin ke Inggris. Aneh.”

”Kak, Jeno ngasih bingkai foto sama jubah item ke gue. Lo tau gak foto ini tuh kenapa Kakak gue ada dua? Gue yakin sih ini Bunda sama Kak Ze, tapi satunya lagi siapa?”

”Gue juga harus berjuang kan? Gue terpaksa harus gini ngebantu Kak Ze. Tapi gue yakin sih lo sama Kak Ze bakal nolongin gue.”

”Kak Jun lo bakal nolongin gue kan?”

”Nanti kalo gue telfon angkat ya Kak. Gue udah di Gereja.”

”Kak lo dimana?”

Dejun menghela nafas panjang setelah ia sampai dan duduk di bawah pohon linton yew. Mengambil jubah hitam di dalam kotak yang sengaja ia sembunyikan di balik bebatuan, kemudian memakainya.

Firasat dan segala kejadian yang Dejun lihat tak pernah meleset sekali pun. Ia berjalan memasuki Gereja itu. Tudungnya menutupi sebagian pandangan, namun ia tau seseorang tengah berdiri di dekat keenam guci abu.

“Lo disini?” Tanya lelaki yang masih membelakangi Dejun.

“As you wish.”

“Balikin tubuh mereka bertiga.” Pintanya.

Dejun tertawa remeh. “Why should?”

“Mereka harus dikremasi.”

“Lo yakin?”

Tak ada jawaban. Dejun berjalan mendekatinya. Mendekati seorang lelaki yang masih berdiri membelakanginya. Dengan pakaian yang sama sepertinya.

“Penyatuan iblis dan yang dirasukinya, dua wujud akan menyatu…”

“Bergabung, sebuah penggabungan permanen…”

“Jiwanya hancur, sekalipun dilakukan exorcism, udah gak ada artinya.”

“Gak ada yang bisa diselamatkan.”

“Alih-alih enam tubuh dikremasi _ so that his body is not used by another soul_ bukan alasan utama. Tapi lo sengaja gunain itu untuk upacara abu, sebuah upacara pemanggilan—“

Jelas Dejun panjang lebar. Ia menyingkap tudungnya. Menghadap jelas kearah lelaki yang kini membalikkan badannya. Menyingkap tudungnya juga.

“Harusnya gue ngebunuh lo waktu itu, Doyoung— ah Rosie? ” Ucap Dejun.

flashback on

Krieett

Doyoung membuka pintu dengan susah payah. Zemira sudah tak sadarkan diri berada di punggungnya. Mereka berdua pun keadaannya tak jauh berbeda dengan Jeno. Bahkan gadis itu bisa saja kehilangan nyawanya karena ia lebih dulu tak sadarkan diri di alam sana.

Lelaki itu tersenyum kearah Jeno, sembari menyandarkan tubuh Zemira pelan.

Thank you for being an angel, Jeno....

Sudah lewat tengah malam. Doyoung menghubungi tim evakuasi agar dirinya dan juga yang lain dapat tertolong.

Terlambat bagi Dejun untuk menjawab semua panggilan dari Renjun. Adik dari Zemira terus menghubungi Dejun, namun tak ada satu pun terbalaskan. Lelaki itu bukan sengaja, hanya saja ia lebih memilih mengabaikan panggilan itu untuk menghargai waktunya yang sedikit.

Dejun berada disana tepat setelah Jeno tak sadarkan diri. Ia pergi berlari mendekati Renjun yang tubuhnya masih bergetar.

“Renjun? Lo denger gue? Jun?! Keep breathing please.

Renjun mengerjapkan matanya. Di setengah kesadarannya, ia mampu berucap meski dengan terbata-bata.

“K-kak… Kak Tae-yong, J-Jae-min, Kak D-doy… K-Kakak g-gue…”

“Kenapa?” Demi Tuhan saat ini Dejun menuntut Renjun agar ia bisa mengatakan segala sesuatunya dengan jelas.

“K-Kak Ze…”

Dejun menoleh kearah Zemira yang sudah kehilangan kesadarannya, namun kemudian pandangannya tak sengaja melihat Doyoung dengan setengah kesadarannya berucap sesuatu. Seperti berbicara dengan seseorang—namun di dunia yang berbeda.

“Bawa gue sebagai gantinya.”

Itu yang ditangkap Dejun sebelum Doyoung mengerang kesakitan. Sekelebat kejadian muncul, buru-buru ia membopong Renjun ke ruangan yang lain. Kemudian Taeyong, Jaemin. Menyembunyikan tubuh mereka bertiga dibalik ruangan lain. Terakhir, ia akan membawa tubuh Zemira bersama mereka, namun—ia beradu tatap dengan Doyoung.

Doyoung yang harusnya lemah dengan kondisi seperti itu, malah dengan kuatnya berdiri dan menatap Dejun tajam.

“Lo bukan Doyoung.”

Lelaki itu tersenyum. Sadar dengan itu, Dejun mencekik leher lawannya yang masih dengan seulas senyum.

“Doyoung sadar lo anjir! Jangan ngelakuin ini! SADAR!!!” Hingga Dejun melayangkan pukulan pun, Doyoung masih dengan senyumnya yang entah apa maksudnya. Senyum kemenangan atau apapun itu, Dejun hanya ingin membuat semuanya berakhir.

Pecahan kaca sudah ia layangkan, namun lengannya terhenti ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Tentu saja Doyoung memposisikan dirinya terbaring disana. Lantas Dejun dengan rasa kesalnya berlari menuju ruangan dimana Renjun dan kedua tubuh itu berada.

Jisung—baru saja masuk ke dalam Gereja. Dan tak lama tenaga medis hingga polisi datang mengevakuasi lokasi tersebut.

flashback off

“Sudah waktunya, memberikan apa yang orang-orang inginkan.” Ujar Doyoung tepat di telinga Dejun.

Dejun tak sadar bila Doyoung membawa pecahan kaca di genggamannya. Pergerakannya cukup cepat ketika benda tajam itu melukai tangan Dejun, tepat menembus pembuluh darahnya. . . . . . . . . . . . . . . . .

Doyoung merenggut nyawa Dejun.

. . . . . . . Tapi boong wkwk

to be continue