Senja sudah dari beberapa jam yang lalu telah dilahap oleh keremangan. Perwakilan sang penguasa langit telah berganti tugas, menampak dengan sabit beserta aksesorisnya yang ikut mendekorasi. Para kupu-kupu malam telah beraksi, si makhluk-makhluk nokturnal sudah berjamuran di sepanjang malam.
Berbeda dengan mereka, di malam penuh hingar-bingar ini, Mark, Dewa, dan Yudha justru terperangkap pada kamar dengan penerangan satu lampu di langit-langit sana. Baknya seorang anak programmer sekaligus menyambet sebagai atlet E-sport, benda-benda elektronik dengan harga bernilai tinggi terpasang di beberapa sudut.
Maklum, Yudha rupanya seorang anak teknik informatika. Jadi, apapun yang berhubungan dengan pengendalian software dan kinerja komputer sudah menjadi makanannya tiap hari.
Selagi sang pemilik adam menyiapkan minuman untuk mereka, Dewa di sana justru terpaku. Netra hitamnya tidak pernah lepas dari Mark yang terus-terusan menunduk tanpa mau membalas tatapannya.
Diam-diam, ia menghela napas. Memukul bahu pemuda tersebut berulang kali, seolah menyuruhnya untuk merileksan dari kekakuan.
“Gimana kabar lo?” tanya Dewa basa-basi.
Mark tersenyum kecut. “As you can see.”
“Kalau kuliah? Udah masa orientasi?”
“Gue niatnya kuliah di luar negeri, Kak,” jeda Mark sembari menghela napas.
“Bagus, tuh. Orang tipikal kayak lo emang cocok buat belajar di sana,” sahut Dewa menganggukan kepala. Namun, pujian yang dikeluarkan dari birai laki-laki tersebut, justru tidak mendatangkan kepuasan sendiri di rungunya.
Mark justru semakin menghembuskan napas dengan berat.
“Kak, gue kuliah di luar negeri bukan karena gue mau belajar, Kak,” jeda Mark sebentar, lalu menyorot laki-laki itu dalam. Napasnya terdengar kian berat, tangan laki-laki itu tiba-tiba bergetar seolah ketakutan lantaran ada begitu banyak dosa yang mengancam kehidupannya.
“Gue ke sana karena gue mau kabur, Kak. Jakarta is a nightmare.”
Jawaban dari Mark membuat Dewa tertegun. Bingung untuk harus menanggapinya bagaimana, apa lagi saat pria tersebut bilang,
“Kalau gue di sana, sedikit atau bahkan gak ada orang yang kenal gue siapa, kan? Tapi, kalau gue di sini, kehidupan gue bakalan terancam.”
“Maksud lo terancam gimana?”
“Lo udah liat hapenya Luna kan, Kak?”
Dewa mengangguk, bertepatan dengan Yudha yang kembali dengan membawa tiga gelas minuman.
“Kalau lo lihat, di situ ada faktur pembayaran yang gak sesuai dengan laporan yang tertera. Penjualan produk, pemasukan dan pengeluaran kas, banyak yang gak sesuai, ‘kan?” Mark mendengkus, lalu mengusap wajahnya penuh frustasi.
Guratan wajah yang dilukiskan dari Dewa dan Yudha seolah mereka sudah tahu dengan jawabannya, maka Mark langsung mengangguk singkat sembari menarik salah satu sudut birainya miris.
“Penggelapan dana,” jawab Mark dengan satu tarikan napas. “Gila, ‘kan?”
Keduanya terdiam, meski sudah tahu, tapi rasanya semua sulit untuk dicerna. Terlebih dengan pikiran Dewa yang berputar-putar lantaran semua bukti yang ada begitu kompleks untuk otaknya cerna.
“Makanya, gue mau kabur, Kak. Karena kemungkinan bisa aja ini semua keungkap kalau cewek sinting itu ngelaporin ketika gue di sini. Seenggaknya gue kabur, biar dia nggak bisa ngancem apa-apa lagi. Karena apa yang gue pertaruhkan itu tentang keselamatan Laura, masa depan gue, juga kesehatan ayah.”
Dewa mengernyit. “Maksud lo kesehatan ayah?”
Dan lagi-lagi, semuanya semakin begitu rumit kala Mark menjawab dengan suara rendahnya yang bilang, “Gue itu adik dari seorang bajingan yang melakukan penggelapan dana di perusahaan ayahnya sendiri.”