Write.as

Springbloomz_

Senja sudah dari beberapa jam yang lalu telah dilahap oleh keremangan. Perwakilan sang penguasa langit telah berganti tugas, menampak dengan sabit beserta aksesorisnya yang ikut mendekorasi. Para kupu-kupu malam telah beraksi, si makhluk-makhluk nokturnal sudah berjamuran di sepanjang malam.

Berbeda dengan mereka, di malam penuh hingar-bingar ini, Mark, Dewa, dan Yudha justru terperangkap pada kamar dengan penerangan satu lampu di langit-langit sana. Baknya seorang anak programmer sekaligus menyambet sebagai atlet E-sport, benda-benda elektronik dengan harga bernilai tinggi terpasang di beberapa sudut.

Maklum, Yudha rupanya seorang anak teknik informatika. Jadi, apapun yang berhubungan dengan pengendalian software dan kinerja komputer sudah menjadi makanannya tiap hari.

Selagi sang pemilik adam menyiapkan minuman untuk mereka, Dewa di sana justru terpaku. Netra hitamnya tidak pernah lepas dari Mark yang terus-terusan menunduk tanpa mau membalas tatapannya.

Diam-diam, ia menghela napas. Memukul bahu pemuda tersebut berulang kali, seolah menyuruhnya untuk merileksan dari kekakuan.

“Gimana kabar lo?” tanya Dewa basa-basi.

Mark tersenyum kecut. “As you can see.”

“Kalau kuliah? Udah masa orientasi?”

“Gue niatnya kuliah di luar negeri, Kak,” jeda Mark sembari menghela napas.

“Bagus, tuh. Orang tipikal kayak lo emang cocok buat belajar di sana,” sahut Dewa menganggukan kepala. Namun, pujian yang dikeluarkan dari birai laki-laki tersebut, justru tidak mendatangkan kepuasan sendiri di rungunya.

Mark justru semakin menghembuskan napas dengan berat.

“Kak, gue kuliah di luar negeri bukan karena gue mau belajar, Kak,” jeda Mark sebentar, lalu menyorot laki-laki itu dalam. Napasnya terdengar kian berat, tangan laki-laki itu tiba-tiba bergetar seolah ketakutan lantaran ada begitu banyak dosa yang mengancam kehidupannya.

“Gue ke sana karena gue mau kabur, Kak. Jakarta is a nightmare.”

Jawaban dari Mark membuat Dewa tertegun. Bingung untuk harus menanggapinya bagaimana, apa lagi saat pria tersebut bilang,

“Kalau gue di sana, sedikit atau bahkan gak ada orang yang kenal gue siapa, kan? Tapi, kalau gue di sini, kehidupan gue bakalan terancam.”

“Maksud lo terancam gimana?”

“Lo udah liat hapenya Luna kan, Kak?”

Dewa mengangguk, bertepatan dengan Yudha yang kembali dengan membawa tiga gelas minuman.

“Kalau lo lihat, di situ ada faktur pembayaran yang gak sesuai dengan laporan yang tertera. Penjualan produk, pemasukan dan pengeluaran kas, banyak yang gak sesuai, ‘kan?” Mark mendengkus, lalu mengusap wajahnya penuh frustasi.

Guratan wajah yang dilukiskan dari Dewa dan Yudha seolah mereka sudah tahu dengan jawabannya, maka Mark langsung mengangguk singkat sembari menarik salah satu sudut birainya miris.

“Penggelapan dana,” jawab Mark dengan satu tarikan napas. “Gila, ‘kan?”

Keduanya terdiam, meski sudah tahu, tapi rasanya semua sulit untuk dicerna. Terlebih dengan pikiran Dewa yang berputar-putar lantaran semua bukti yang ada begitu kompleks untuk otaknya cerna.

“Makanya, gue mau kabur, Kak. Karena kemungkinan bisa aja ini semua keungkap kalau cewek sinting itu ngelaporin ketika gue di sini. Seenggaknya gue kabur, biar dia nggak bisa ngancem apa-apa lagi. Karena apa yang gue pertaruhkan itu tentang keselamatan Laura, masa depan gue, juga kesehatan ayah.”

Dewa mengernyit. “Maksud lo kesehatan ayah?”

Dan lagi-lagi, semuanya semakin begitu rumit kala Mark menjawab dengan suara rendahnya yang bilang, “Gue itu adik dari seorang bajingan yang melakukan penggelapan dana di perusahaan ayahnya sendiri.”

Senja sudah dari beberapa jam yang lalu telah dilahap oleh keremangan. Perwakilan sang penguasa langit telah berganti tugas, menampak dengan sabit beserta aksesorisnya yang ikut mendekorasi. Para kupu-kupu malam telah beraksi, si makhluk-makhluk nokturnal sudah berjamuran di sepanjang malam.

Berbeda dengan mereka, di malam penuh hingar-bingar ini, Mark, Dewa, dan Yudha justru terperangkap pada kamar dengan penerangan satu lampu di langit-langit sana. Baknya seorang anak programmer sekaligus menyambet sebagai atlet E-sport, benda-benda elektronik dengan harga bernilai tinggi terpasang di beberapa sudut.

Maklum, Yudha rupanya seorang anak teknik informatika. Jadi, apapun yang berhubungan dengan pengendalian software dan kinerja komputer sudah menjadi makanannya tiap hari.

Selagi sang pemilik adam menyiapkan minuman untuk mereka, Dewa di sana justru terpaku. Netra hitamnya tidak pernah lepas dari Mark yang terus-terusan menunduk tanpa mau membalas tatapannya.

Diam-diam, ia menghela napas. Memukul bahu pemuda tersebut berulang kali, seolah menyuruhnya untuk merileksan dari kekakuan.

“Gimana kabar lo?” tanya Dewa basa-basi.

Mark tersenyum kecut. “As you can see.”

“Kalau kuliah? Udah masa orientasi?”

“Gue niatnya kuliah di luar negeri, Kak,” jeda Mark sembari menghela napas.

“Bagus, tuh. Orang tipikal kayak lo emang cocok buat belajar di sana,” sahut Dewa menganggukan kepala. Namun, pujian yang dikeluarkan dari birai laki-laki tersebut, justru tidak mendatangkan kepuasan sendiri di rungunya.

Mark justru semakin menghembuskan napas dengan berat.

“Kak, gue kuliah di luar negeri bukan karena gue mau belajar, Kak,” jeda Mark sebentar, lalu menyorot laki-laki itu dalam. Napasnya terdengar kian berat, tangan laki-laki itu tiba-tiba bergetar seolah ketakutan lantaran ada begitu banyak dosa yang mengancam kehidupannya.

“Gue ke sana karena gue mau kabur, Kak. Jakarta is a nightmare.”

Jawaban dari Mark membuat Dewa tertegun. Bingung untuk harus menanggapinya bagaimana, apa lagi saat pria tersebut bilang,

“Kalau gue di sana, sedikit atau bahkan gak ada orang yang kenal gue siapa, kan? Tapi, kalau gue di sini, kehidupan gue bakalan terancam.”

“Maksud lo terancam gimana?”

“Lo udah liat hapenya Luna kan, Kak?”

Dewa mengangguk, bertepatan dengan Yudha yang kembali dengan membawa tiga gelas minuman.

“Kalau lo lihat, di situ ada faktur pembayaran yang gak sesuai dengan laporan yang tertera. Penjualan produk, pemasukan dan pengeluaran kas, banyak yang gak sesuai, ‘kan?” Mark mendengkus, lalu mengusap wajahnya penuh frustasi.

Guratan wajah yang dilukiskan dari Dewa dan Yudha seolah mereka sudah tahu dengan jawabannya, maka Mark langsung mengangguk singkat sembari menarik salah satu sudut birainya miris.

“Penggelapan dana,” jawab Mark dengan satu tarikan napas. “Gila, ‘kan?”

Keduanya terdiam, meski sudah tahu, tapi rasanya semua sulit untuk dicerna. Terlebih dengan pikiran Dewa yang berputar-putar lantaran semua bukti yang ada begitu kompleks untuk otaknya cerna.

“Makanya, gue mau kabur, Kak. Karena kemungkinan bisa aja ini semua keungkap kalau cewek sinting itu ngelaporin. Kalau gue di sana, mereka gak akan kenal.”

“Mereka gak tahu kalau gue itu adik dari seorang bajingan yang melakukan penggelapan dana di perusahaan ayahnya sendiri.”

Sesak.

Dia menghirup udara dengan serakah, merasakan pernapasannya kian mencekik dengan peluh membanjiri kening. Tubuh ringkih nan tak berdaya itu bersimpuh di lantai gelap nan dingin.

Sama sekali tidak ada penerangan dengan ruangan sempit yang makin membuatnya dilanda ketakutan. Tangannya sudah gemetaran, lebih dari tiga jam dia berada di bilik terkutuk ini, sementara seseorang yang dipanggil sama sekali tidak menyahut.

“K-kak ....” Dadanya tak kunjung berhenti naik-turun sembari tangis menjadi satu dengan keringat.

“B-bukain ...,” rintihnya sekali lagi dengan tubuh meringkuk sembari menutup telinga. “K-kak, Luna takut ... bukain, Kak! BUKAIN!”

“Bukain, Kak! BUKAIN! LUNA TAKUT! TOLONG BUKA!” Dia menjerit meminta pertolongan, berbicara berulang kali tapi tak kunjung didengar.

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada pertolongan.

Namun yang ada, justru kegelapan dan dia yang mencoba untuk bertahan hidup dari tempat mengerikan seperti ini.

Teriakannya yang meminta pertolongan seolah-olah mengendap, bersatu dengan udara yang semakin membuat tubuhnya gemetar dan menolak untuk tetap tersadar.

Dan lagi-lagi, Luna tersadar. Bangun dari mimpi buruknya yang sama sekali tidak pernah berhenti untuk menghantuinya.

Seolah dia tidak diizinkan untuk bermimpi indah.

Perempuan itu buru-buru menyalakan lampu, mengambil kapsul dengan tangan tak kunjung berhenti bergetar yang berada di atas nakas dan meminumnya.

Nyatanya, meski sudah bertahun-tahun lewat, perempuan itu hingga sekarang tidak bisa berada di ruang gelap. Bahkan, Luna tak mampu untuk berlama-lama di kamar mandi saking sempitnya bilik itu yang justru makin menyengsarakannya.

Lantas, sembari menunggu pernapasannya yang mulai tenang, perempuan itu langsung berdiri di meja riasnya. Menangkap pantulannya di depan cermin dengan wajah berantakan.

Dengan tergesa-gesa, Luna memoleskan birai, memakai bedak, dan hal lainnya yang membuat gadis itu kembali nyaman.

Selepas berias dan keringat sudah berhenti membanjiri wajahnya. Perempuan itu lantas turun dari tangga, mengambil segelas air, kemudian balik menuju kamarnya.

Ia menyalakan laptop, membuka website streaming televisi dan menonton acara terbaru malam ini.

Diam-diam, gadis itu tersenyum dengan apa yang netra hitamnya tangkap, lalu bertepatan dengan itu semua, terdengar deringan ponsel di dalam laci mejanya.

Dia mengambil salah satu dari empat ponsel, kemudian tersenyum tipis sembari berbisik, ”Game over.”

Ini mungkin sudah lebih dari satu bulan Laura dan Lucas tinggal di Kosan Berpenghuni. Orang-orang di sini memperlakukan keduanya dengan baik, tanpa memandang status meski kedudukan mereka itu seorang kating di universitasnya.

Kata Bumi saat pertama kali bertemu, laki-laki itu bilang pada mereka begini, “Ya kita emang kedudukannya senior-junior di kampus. Tapi, kalau di rumah kan kita keluarga.”

Yang di mana sukses menghasilkan muntahan buat-buatan dari Aji dan Chris lantaran Bumi tidak cocok untuk mengatakan seperti itu.

Kayak bukan Bumi banget, gitu.

Laura diam-diam mengangguk, merasakan kehangatan di antara mereka. Meski sekadar ucapan, tapi perempuan itu benar-benar merasakan bagaimana keluarga itu melindungi pada semestinya.

Keenamnya sungguhan sebagai seorang kakak yang melindungi gadis itu. Tak segan menawarkan bantuan atau memulai pembicaraan lantaran tahu kalau Laura sedikit kesulitan untuk berkomunikasi. Bahkan, Bumi dan pacarnya Zia yang mempunyai relasi paling luas di antara mereka, mau repot-repot mencarikan grup kumpulan maba anak hukum dan bisnis untuk Lucas dan dirinya.

Keputusan Laura untuk pindah ke sini tampaknya sudah tepat.

Dia bersyukur karena hal itu.

Di tengah senyumannya itu, ia merasakan sebuah tepukan di bahunya.

“Ra,” panggilan dari Zia lantas menyadarkan perempuan itu yang sedari tadi melamun.

“Nanti bangunin Theo kalau mau berangkat, ya. Gue dapet shift pagi soalnya. Gantiin temen,” ucap perempuan itu.

“Bukannya Kak Theo baru pulang?”

“Dia ke sini cuman mau ngambil baju, palingan ketiduran. Hari ini dia jadi panitia, jadi bangunin, ya,” pesannya bikin Laura mengangguk.

Laura ingat, semingguan ini orang yang bernama Theo baru kembali ke kosan selepas satu bulan penuh dia menginap di rumah temannya.

Benar, Theo bilang kalau itu rumah Dewa. Sejatinya, perempuan itu tahu kalau Theo sempat menyindir di grup kalau Dewa down karena perempuan. Dan itu pasti dirinya.

Akan tetapi, meski di lubuk hatinya ia kelewat cemas, tetapi ia sudah menyakinkan diri bahwa dia tidak ingin berurusan lagi dengan yang namanya Randika Dewa.

Karena yang ada, justru keduanya akan saling melukai.

Saat Laura mengambil nasi dan menemukan Lucas tengah mengenakan dasi sekolahnya, tiba-tiba saja terdengar bunyi bel berdering.

“Biar gue aja. Lo nanti ambil lauk di bawah tudung saji, ya,” ucap Laura dan dibalas dengan anggukan oleh Lucas yang tangannya mulai jahil menyomot kulit ayam.

“Cuci tangan dulu, ih!”

“Iye-iye. Galak bener.”

Sahutan dari Lucas membuat gadis itu merotasikan netra hitamnya. Dilangkahkan kaki menuju pintu, Laura menemukan seorang laki-laki di sana.

“Hai,” ucapnya dengan cengiran yang lebar. Laura sedikit mengernyit ketika menemukan perawakan pemuda tinggi dengan mata tajam yang pipinya sedikit berisi itu tengah tersenyum.

Dia mengenali orang itu.

“Berarti bener, ya. Lo tinggal di sini?” katanya kemudian netranya memandang sekitar.

Laura tergagap, sedikit memundurkan langkahnya. “L-lo ... siapa?”

Ia tertegun sebentar, kemudian tertawa jenaka. “Ah, iya. Pantes, sih lo gak kenal gue karena ini pertama kali kita ngomong tatap muka, ‘kan?”

Laura masih bingung dengan perkataan laki-laki itu. Sejujurnya, ia ingat bila cowok yang di hadapannya ini merupakan teman satu SMA-nya. Tidak satu kelas, tapi ia tahu jika kelas keduanya berada pada jam pelajaran olahraga yang sama, jadi Laura sering melihatnya yang suka bermain basket, sementara ia berada di pinggir lapangan, jauh dari kerumunan orang-orang.

“Lo—“

“Sori, kalau kedatangan gue mendadak karena hari ini lo ospek kan, ya?”

Laura tidak menyahut, bikin pria itu jadi gemas sendiri.

“Kalau gak sekarang gue ketemu lo, kayaknya gue gak punya kesempatan lagi. Karena besok gue udah pergi ke Malaysia. Jadi, kapan lagi, ‘kan?” ucapnya sembari menggaruk telinganya yang ada tindikan di sana. “Btw, salam kenal. Gue orang yang pernah ngirimin lo pesan waktu lo lagi UTBK. Ingat?”

Lagi-lagi gadis itu menggeleng kecil, bikin dia tertawa.

“Hallo, Laura. Gue Cakra, orang yang suka merhatiin lo di pojok podium ketika gue lagi main basket di lapangan. Sekarang, tahu ‘kan gue yang mana?”

“Kak, mau pesen apa?” Luna mengeluarkan suara begitu sesampainya di Kedai Kekinian yang sudah lama tidak Dewa kunjungi.

Suasana kedai di pinggiran jalan ibukota masih sama. Masih berisik dengan kendaraan yang berklakson entah tiap berapa menit sekali. Musisi jalanan juga tetap berkeliaran ke sana-sini dengan membawa gitar atau ukulele ditambah dengan remang lampu yang dihasilkan makin kentara sekali bagaimana dinamika hiruk-pikuk para metropolis dan kota metropolitan.

Percikan euforia ini masih Dewa ingat, tetapi tetap. Ada yang berbeda dan banyak yang berubah. Entah mereka yang berlalu-lalang, orang yang diajak ke sini, atau dirinya yang berubah.

Terhanyut dalam pikiran, sampai Dewa sedikit tersadar kala Luna kini menjentikkan jari di depan wajahnya.

“Kak, mau pesen apaan?” Pertanyaan sama, dari duplikat wajah yang mirip, tetapi dengan karisma yang berbeda. Senyuman getir kembali terajut saat dibolak-balik buku menu dengan ia yang melihat netra hazel gadis itu mengamat dengan teliti.

“Ganti softlens lagi, Lun?” tanya Dewa basa-basi sembari memainkan kunci mobilnya. Yang dipanggil hanya mengangguk.

“Kan gue udah bilang jangan sering-sering. Mata lo tuh gak rabun soalnya.” Helaan napas lantas keluar dari mulut Dewa. “Ini juga kita keluar cuman cari makan—“

“Iya-iya tau. Karena make up, ‘kan?” potong Luna cepat. “Aku tadi keluar ketemu temen, ini juga baju yang sempet aku pake, kok.”

Jawaban Luna membuat Dewa tertegun sebentar dan gadis itu langsung mengambil tangan kanan Dewa yang masih diperban. “Ini yang Kakak bilang jatuhin piring? Kok bisa?”

Diam-diam, Dewa menarik sudut bibirnya. Merasakan ada hal konyol di sana.

Lantas, tidak berapa lama, seorang pria yang sebentar lagi memasuki kepala tiga itu menghampiri mereka dengan buku di tangannya. “Eh, Mas Dewa? Udah lama banget gak ke sini.”

Ditolehkan kepala lalu tersenyum sopan sembari menyengir. “Biasa, Bang. Ngurus kuliah.”

“Waduh, emang, sih. Kuliah bikin kepala mumet, makanya abang milih ginian,” ketawanya. “Omong-omong, ini Dek Laura ‘kan, ya? Ih, masih aja begini-begini terus. Kapan pacarannya?”

Tertegun sebentar, sementara Luna hanya tertawa hambar.

“Ah, saya adek kembarnya, Bang. Adrianne Luna,” katanya begitu kembali tersenyum kilat. Atmosfer canggung lantas merayap di antara mereka, khususnya Dewa yang pikirannya menerawang kala nama tersebut kembali disebutkan.

Selepas memesankan makanan dan minuman, Luna lalu menitipkan tasnya untuk izin ke kamar mandi.

Laki-laki itu sedikit melirik pada ponsel perempuan itu yang terus-terusan bergetar. Dari layar pop-up ia bisa melihat pesan yang dikirimkan dengan kontak berinisial.

Hanya J saja. Tanpa embel-embel lain.

Dewa tahu ini tidak sopan karena berhubungan dengan privasi, tetapi memang sejak awal laki-laki itu mempunyai firasat ada yang tidak beres dari perempuan itu.

Dan semua kunci dari segala jawaban yang ia dapati itu pasti dari ponsel gadis tersebut.

Bertepatan dengan makanan berkuah dan minuman datang, Luna saat itu juga sudah duduk di kursi.

“Kak?” panggilnya.

“Hape lo tadi bunyi, mau gue angkat, tapi udah keburu ditutup.” Dewa sedikit bingung dengan tingkah perempuan itu yang sama sekali tidak bertindak mencurigakan, justru raut gadis itu kelewat tenang. Maka, saat laki-laki itu hendak mengembalikan, ia dengan sengaja seolah tangannya tergelincir dan melihat ponsel tersebut masuk ke dalam makanannya yang berkuah.

Luna yang ada di hadapannya tersenyum segaris lalu diam-diam menganggukan kepala.

“Sori, Lun. Sori. Biar gue—“

“Kak, lain kali caranya jangan begini,” cetus Luna sembari melipatkan tangannya. “Gue bukan orang yang patut dicurigai, kok. Lo laporin juga bukan gue yang kejerat. Karena apa? Karena gue bukan orang jahat, Kak.”

Selepas semua kegilaan yang sudah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyendokkan makanan ke mulutnya karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Hallo

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.