Write.as

Springbloomz_

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.

Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.

Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih dan mereka sebisa mungkin untuk terus mengawasinya.

Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.

Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.

Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar meringkuk di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.

Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.

Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.

Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.

Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”

“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”

“K-kagak.”

“Terus?”

“Mau masak mie.”

Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”

Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.

Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.

Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.

Dia masih memiliki teman yang diam-diam berada di belakangnya, sementara dia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.

Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.

Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.

Kepada Jep, Theo, dan Johnny.

Dan juga kepada Laura.

“Lo—“

Dewa menepis, langsung menyembunyikan tangannya sembari menarik salah satu sudut bibir dengan tatapan yang sulit untuk ditafsirkan.

Kemarahan atas dirinya sendiri, sorotan sedu sedan yang digerogoti oleh luka-lara, serta penyesalan yang tak memumpuni itu berkecamuk menjadi satu hingga tidak bisa mengukur lagi seberapa prihatinnya Dewa.

“Pantes ‘kan, ya, gue begini?” Suara serak Dewa bergetar dengan senyum segaris, tetapi terlihat jelas ada rasa getirnya di sana.

“Ngelawak banget gak, sih, gue?Berasa lagi berlakon komedi aja, gitu,” dengusnya. “Gue yang berulah, gue juga yang terluka.”

“Dew ....”

“Lo tau gak, sih? Apa yang gue benci sekarang?” Dewa memandang skeptis pada mereka bertiga yang tidak kunjung menyahut, bikin laki-laki itu mendengus dan mengacak rambutnya frustasi.

“Diri gue, Yo,” ucapnya dengan suara yang kian serak dengan bahu yang mulai berguncang. Laki-laki itu kini memukul dadanya sembari beralih menatap Johnny. “Gue benci diri gue sendiri, John.”

“L—lo tau apa yang gue benci sekarang ‘kan, Jep? Iya bener, lo gak salah. Bukan cuman lo yang gondok, gue juga.” Dewa terbata-bata dengan napasnya yang kian mencekat.

Laki-laki itu sekali lagi mengancurkan vas bunga yang satu-satunya tersisa di sana, lalu berteriak frustasi.

“GUE BENCI SAMA DIRI GUE SENDIRI, ANJING!”

“Gue benci sama diri gue sendiri! Gue benci karena gue yang ngelakuin semua ini, gue benci sama diri gue yang goresin luka ke cewek itu. Gue benci sama diri gue yang bikin—“

Laura.

Nama perempuan itu rasanya tidak pantas untuk ia keluarkan dari birainya saking banyak perasaan bersalah hingga tak terbendung seberapa menyesalnya dia sekarang.

“ ... setrauma itu sama gue.” Dewa tersesak atas ucapannya sendiri dengan tangisan yang dibiarkan mengalir di sana.

“Ya, terus? Apa lo dengan menyakiti diri lo sendiri bisa nyelesain masalah?” Ucapan Jep langsung membuat Dewa terdiam untuk sesaat. “Enggak, ‘kan?”

“ .... Emang enggak,” ucap Dewa. “Tapi, kalau gue enggak begitu, gue lebih gak tahu diri lagi karena segitu aja gak ada apa-apanya dengan yang Laura—“

Belum sempat ucapannya dituntaskan, Theo langsung memukul wajah Dewa membuat Jep dan Johnny langsung terkejut bukan main. Bagaimana pun, selama mereka berteman, tidak pernah barang sehari saja melihat laki-laki itu main tangan.

Jangankan itu, rasanya sulit untuk membuat Theo marah karena saking santai kepribadiannya.

Dewa kehilangan keseimbangannya, bahkan saat Theo yang kini berada di atas tubuhnya sembari menarik kerah baju Dewa dengan wajah memerah yang menahan marah.

“SEMUA ORANG UDAH BILANGIN BERAPA KALI, SIH, SAMA LO, DEW? JANGAN JADI PENGECUT, ANJING!”

“Gue tahu. Gue tahu itu, tapi apa lo pernah berada di posisi gue, hah?” geramnya dengan sarat akan luapan emosi di sana. “LO SEMUA TERUS MENGHAKIMI GUE SAMPAI LUPA KALAU GUE JUGA MANUSIA YANG BISA NGERASA TAKUT?”

“Lo pada gak peduli seberapa takut dan jijiknya gue sekarang, anjing! Gue juga takut kalau nanti gue ketemu cewek itu yang ada dia makin ngorek luka yang pernah gue kasih ketika dia mencoba buat ngejalanin hidup yang baru. Meski gak sebanding, gue juga terluka ketika dia setrauma itu ketika gue berusaha untuk minta maaf, dan gue sekarang makin jijik sama tangan gue yang dia tepis! Bahkan sekarang gue gak mau punya tangan yang kayak gini, bangsat!

“GUE UDAH TERTEKAN DENGAN HAL ITU SEMUA, TAPI LO BERTIGA TERUS BILANG GUE PENGECUT DAN PECUNDANG SAMPAI KALIAN JUGA GAK PEDULI SEBERAPA FRUSTASINYA GUE SEKARANG!!”

Napas Dewa memburu, urat lehernya menonjol, ditambah dengan wajahnya yang memerah karena tangisan dan amarahnya yang menjadi satu.

Semua luapan Dewa buat atmosfer di antara mereka kian mencekam. Jep dan Johnny sudah kehilangan kata-kata dan mengacak rambutnya frustasi, bahkan kini Theo mengendurkan tarikannya pada kerah baju Dewa dan buat laki-laki itu menetralkan pernapasannya dengan menutup matanya dengan telapak tangan.

Dewa yang ada di hadapan mereka kini tampak seonggok manusia yang kehilangan cercahan cahayanya. Tersesat dalam lubangan kegelapan, jurang penyesalan, tanpa tidak ada yang menyadari seberapa bahunya memikul banyak tekanan dan perasaan takut serta benci pada dirinya sendiri.

Hening.

Sepi.

Gelap.

Dan perasaan was-was langsung membuncah di atmosfer mereka ketika mendapati jika rumah yang selama ini menjadi tempat paling nyaman untuk acara mengumpul, justru mendatangkan adrenali mengenai mereka yang seolah-olah masuk ke dalam rumah hantu lantaran dari depan saja seperti sudah lama ditinggal minggat nan tak berpenghuni itu.

Ketiganya saling memandang bingung, ikut merasa khawatir saat Theo menelpon sang pemilik rumah, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

Ingin menanyakan pada orang sebelah, tapi belum pernah sekali pun berhadapan dengan Luna.

“Ada di rumah gak, sih? Khawatir banget ini.” Theo mendesah, sembari menggigit ibu jarinya penuh perasaan was-was. Jep hanya terdiam sesaat sembari menyandarkan punggungnya pada badan mobil, lain halnya dengan Johnny yang celingak-celinguk hendak mencari orang lewat yang bisa ditanyai.

Hingga panggilan kedelapan, Jep menghela napas sembari menggaruk belakang lehernya. Ia lalu membuka gerbang dan nyatanya tidak dikunci, membuat dua kepala itu langsung menoleh.

“Serius gak dikunci? Tumben banget Dewa teledor,” jawab Theo yang disahut endikan bahu oleh Jep dan ketiganya langsung memasuki teras dan mengetuk pintu.

Lagi-lagi tidak ada jawaban saat Johnny mengetuk. Hingga dengan nekat laki-laki itu memutar knop pintu dan berakhir sama.

Tidak dikunci.

Ketiga kepala itu keburu was-was dan langsung menaiki tangga menuju kamar Dewa yang memang berada di lantai dua.

“Dew! Lo di dalem ‘kan?” seru Johnny sembari memukul pintu lebih keras dari tadi dan gigi Theo pun langsung gemeretak lantaran kenop yang ini dikunci.

Hingga butuh beberapa lama, kelegaan mereka langsung menguap begitu suara kunci yang dibuka dari dalam terdengar.

Akan tetapi, hal tersebut cuman kunjung sebentar. Melihat presensi laki-laki tersebut yang sungguh berbeda dari sebelumnya.

Wajahnya pucat.

Dengan garis struktur pipinya yang kian mengurus ditambah potongan rambut semakin gondrong dan berantakan.

Semua orang jelas tahu.

Jika laki-laki di hadapannya ini sungguhan berbeda dengan Randika Dewa yang mereka kenal.

Randika Dewa itu sosok yang rapih. Benar-benar pemuda telaten dengan bahu bidangnya yang lebar. Potongan rambutnya memang terlihat gondrong, tapi tidak seperti sekarang yang benar-benar tidak terurus.

“Lo ....” Ucapan Theo langsung tertahan begitu netra hitamnya langsung menelisik ke dalam. Tepatnya di ruangan Dewa yang justru tidak pantas untuk disebut “kamar” karena sungguhan berantakan.

Semuanya tidak tertata, pecahan kaca di mana-mana, bahkan tidak ada satu pun benda yang utuh seperti terakhir kali mereka ingat.

“Lo—“

“Gue mau sendirian,” ucapnya pelan, meski mampu bersuara dengan tegas. Ketiganya mengernyit bingung.

“Dew, lo bener-bener kelihatan kayak—“

“Kayak orang gila, ‘kan?” potongnya cepat. “Bener, kok. Gue udah kelewat sinting.”

Sahutan Dewa bikin mereka menelan ludah, terdiam seribu bahasa hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun meski banyak kalimat yang sudah berada di ujung lidah.

Sorotan tajam Dewa biasanya begitu mengintimidasi, tetapi berbeda dengan sekarang.

Terlihat banyak sesalan yang membendungi. Apalagi terlihat kosong dengan pikiran yang menerawang entah ke mana.

Johnny memandang eksistensi laki-laki di hadapannya ini dari atas hingga bawah. Sampai tatapannya jatuh tepat pada tangan Dewa.

Meski menggunakan baju berlengan panjang, Johnny dapat dengan jelas melihat apa yang tangan itu coba sembunyikan. Buru-buru laki-laki itu mengambil tangan Dewa dan menahannya dengan kuat saat ia berusaha menepis.

“Lo apa-apaan sih, Dew?” Rahang Johnny mengetat dengan pria itu yang tergesa-gesa menggulung lengan baju Dewa sampai siku.

Dan seketika tidak ada yang berani mengeluarkan kalimat ketika semuanya terfokus dari telapak hingga siku sana.

Sayatan penuh luka.

Ada yang berbekas meski tidak terlalu lama, juga ada yang masih baru dengan cairan segar di sana.

Ketiganya menahan napas dengan apa yang baru saja mereka lihat. Melihat sahabat karibnya yang kini sudah benar-benar hancur.