Selepas semua kegilaan yang telah terjadi, ketiganya memilih untuk menginap di rumah Dewa. Memastikan laki-laki itu untuk tidak terhanyut dalam kesendirian yang suatu saat akan bertindak lebih konyol dari ini.
Dewa juga sudah lebih baik, butuh sekitar lebih dari satu bulan untuk membuat pria itu kembali seperti Randika Dewa.
Wajahnya tidak sepucat dan sekurus sebelumnya. Rambutnya pula sudah lebih rapih, meski kerapkali mereka mendengar rintihan dan isakan Dewa yang meringkuk di atas kasur.
Di minggu pertama, Dewa masih memilih untuk mengurung diri, tanpa menyentuh makanan sama sekali. Terkadang, di setiap malam, ketika Theo mengobati luka dan membaluti perban padanya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu yang berada di balkon. Membiarkan angin malam menusuk kulit, meski sudah ditegur berulang kali.
Jep dan Johnny juga sebisa mungkin menjauhkan laki-laki itu dari benda-benda tajam agar ia tidak bisa menjangkaunya.
Di minggu kedua, Dewa baru mau keluar dari kamar, meski masih berada di sekitaran lantai dua. Rutinitasnya kini bertambah, dari yang sekadar mendekam di dalam kamar dan di balkon pada malam hari, paginya ia sudah berjemur sembari membaca buku, meskipun dia masih melewatkan makan.
Pada minggu ketiga, semua orang tersedak ketika melihat Dewa duduk di meja makan. Parahnya lagi, dia sudah mau menyahut, meski itu alakadarnya.
Di minggu keempat, lagi-lagi semua orang dibikin terkejut entah kesekian kalinya. Saat fajar belum menyapa, Dewa sudah turun dari lantai dua lalu menghampiri ketiga temannya di ruang tamu yang sudah dari awal selalu tertidur di sana.
Johnny dan Theo yang waktu itu terjaga karena masih mabar main PUBG, sedangkan Jep tertidur, tampak kaget saat melihat Dewa yang berdiri di sana.
Laki-laki itu mengelus tengkuk lehernya sembari tergagap. “Emm ... g-gunting di mana?”
“Buat apaan lagi? Jangan ngaco, deh.”
“K-kagak.”
“Terus?”
“Mau masak mie.”
Mendengar jawaban polos dari Dewa, Johnny langsung tertawa sembari mengangguk-anggukan kepala. “Yaudah, gue yang masakin.”
Terkadang, kalau dilihat-lihat, ketiganya seperti babysitter.
Selalu mengawasi laki-laki itu, mengobati luka, memotong rambutnya, bahkan suka menyuapi Dewa makan karena melihat dia yang kesulitan menggunakan tangannya yang diperban, meskipun sudah sering ditolak.
Entah kenapa, ia kembali teringat dengan apa yang ia lakukan ke Laura.
Dewa masih memiliki teman yang berada di belakangnya, sementara ia tidak bisa memikirkan seberapa kesepiannya Laura yang tidak punya siapa-siapa selama ini.
Di tengah keheningan, saat laki-laki itu menyendok makanan, Dewa kembali menangis dalam sepi.
Diam-diam merapalkan kata terima kasih dan maaf berulang kali.
Kepada Jep, Theo, dan Johnny.
Dan juga kepada Laura.