Jika arunika meninggalkan salamnya pada embun, hujan meninggalkan jejak kepada kubangan. Lalu, apa yang ditinggalkan seorang anak yang pergi pada orang tua?
Bukankah tentang perjanjian bahwa ia akan kembali?
Sejatinya, embun dan kubangan itu sebagai pengingat. Bahwa, arunika dan hujan pernah hadir di antara mereka. Mengisi kekosongan waktu dengan pentas keajaibannya bahwa bersama mentari dia pembawa energi, bersama rintik dia menyapa rindu.
Pun begitu dengan seorang anak yang pergi. Bahwa dia pernah hadir, untuk melengkapi ruang kamar dengan banyak ceritanya, meninggalkan salamnya bahwa dia akan kembali bersama kesuksesan yang berada di genggaman.
Akan tetapi, tidak dengan seorang pendosa satu ini. Kehampaan memang selalu ada di setiap anak yang merantau, tetapi berbeda dengannya.
Janji tentang kembali tidak ada.
Janji tentang kesuksesan tidak mengiringi.
Namun, ia pergi meninggalkan luka dan penyesalan tentang seorang anak yang tidak akan pernah kembali sampai kapan pun.
Meski dia memaksa untuk mengubah arah jarum jam untuk kembali ke dimensi sebelumnya, tetapi waktu tidak pernah mengabulkan. Tetap berjalan, menyisakan dia yang terjerumus pada jurang penderitaan.
Baknya seorang mayat hidup, dia bernapas dengan pikiran kosong, menerawang pergi entah ke mana. Kantung mata yang semakin lebar dan tubuh kurus yang kian menampak benjolan tulang di pipi.
Di hadapannya memang sudah ada makanan, tetapi makin ke sini selera nafsu makannya hilang, bersama dengan jiwa yang pergi.
Dentingan sendok dan garpu saling mengiringi, menyantap makanan sementara dia hanya menatap tanpa minat.
Bersama birai yang kian pucat dan bergetar, wanita paruh baya itu bilang, “G-gimana rasanya?”
Keheningan langsung menyeruak, membuat dua pasang mata menatapnya bingung.
Si gadis yang paling muda di sana hanya menyengir.
“Enak, kok, Ma,” kekehnya canggung. “Luna suka semua masakan Mama. Apalagi kalau—“
“Gimana rasanya kembali kehilangan?” potongnya cepat. “Kemarin kamu udah kehilangan seorang ibu, sekarang kamu juga kehilangan seorang anak, kan?”
Rahang pria paruh baya itu mengetat, kembali melanjutkan makan seolah menahan emosi. “Jangan mulai, Del!”
Adel—wanita paruh baya memasuki kepala empat itu—mengambil sendoknya. “Dia masih anakku dan anakmu, Mas! LAURA ITU DARAH DAGING KAMU SENDIRI!”
“ADELIA!”
Pria tersebut lantas bangkit dari duduknya. Menatap tajam penuh ancaman, sementara yang ditatap kini balik menantangnya.
“Apa?” Mata Adel sudah memerah, wajah yang menahan tangis selama ini kembali tercetak jelas di sana. “Kamu mau bilang kalau Laura itu sebagai penembus dosa atas kehilangan ibumu, HAH?”
Adelia menjerit dengan bendungan air mata yang tidak mampu ia kuasai lagi. Suara getarnya malah terdengar seperti racauan karena isakan terus menyela di sana. “Kamu jangan bodoh, Mas! Takdir gak bisa diapa-apain kalau emang ajalnya! Apa kamu maunya justru Laura yang meninggal di kecelakaan itu?”
“ADELIA!” Sekali lagi pria tersebut berteriak. “Saya udah pringatin berulang kali sama kamu—“
“Aku juga udah bilang berulang kali kalau emang kamu pengen Laura yang pergi, harusnya dari awal kamu gugurin aja anak kita, Mas! KAMU BAHKAN GAK MENGINGINKAN ANAK ITU HADIR, BRENGSEK!”
Kesenyapan kembali mengisi. Ketika satu layangan tangan berhasil mendarat di pipi kurus wanita paruh baya tersebut.
Dia menamparnya.
Dan lagi.
Dia melakukannya lagi.
“KAMU JANGAN NGOMONG GITU DI DEPAN ANAKMU, ADEL!”
“Terus kenapa, hah?!” jeritnya. “Kamu mau bilang kalau aku harus mikirin perasaan Luna? Terus gimana dengan Laura, Mas? GIMANA DENGAN ANAK MALANG ITU!”
Bahunya bergetar hebat dengan lengkingan suara yang keluar dari tubuh kurusnya. “Aku selalu nurutin tentang kamu yang maunya berlaku kayak gini ke anak-anak kita. Padahal, anak itu udah berulang kali minta maaf sama kamu dan Luna! Harusnya kamu sadar alasan dia ngurung Luna di dalam gudang, Mas!”
“Seperti apa yang Laura bilang dulu, dia dilahirkan bukan untuk dinomorduakan! Dia dilahirkan bukan buat dikesampingkan! GAK ADA SATU PUN ANAK YANG MAU DILAHIRKAN BEGITU! HARUSNYA KAMU SADAR ITU, MAS!” Sekali lagi, isakan tangis kembali mengiringi.
Adelia meninggalkan ruangan, membanting pintu dan masuk ke kamar dengan segala tumpahan air mata. Memukul dadanya yang begitu sesak dan bersimpuh sembari memegangi rambutnya yang kian berantakan.
Tubuhnya memang lemah, tetapi dia langsung melemparkan benda apapun yang ada di sekitarnya sembari menyebut nama gadis itu dan perminta maafan berulang kali.
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa setiap malam gelap, ada seorang ibu yang masuk ke dalam kamar anaknya. Mengontrol pendingin ruangan agar lebih hangat dan membenarkan posisi selimut seorang kakak.
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa setiap anaknya terlelap, ada seorang ibu yang selalu tersesak untuk meminta maaf, selalu mengelus surai hitam dan meninggalkan sebuah pelukan sebelum kembali ke kamar.
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa sejujurnya ada seorang ibu yang membanggakan prestasi anaknya ke teman-teman, menceritakan tentang apa yang mereka peroleh, meski tidak pernah bilang pada Laura sendiri.
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa saat anaknya kembali ketika tragedi seorang ayah yang melemparkan serapahan kasar, ada seorang ibu yang menangis dan bersyukur di dalam kamar karena gadis kecilnya itu kembali dengan selamat setelah mengatakan, “Istirahat Kak, jangan lupa. Kalau laper ada makanan di bawah tudung saji. Piringnya taruh aja di watafel. Biar mama yang cuci.”
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Pada hari itu, ketika anaknya yang berbicara akan keluar dari rumah sembari melemparkan botol minuman milik si adik, bahwa sejujurnya dia sudah menyeduhkan sebotol milo dingin dengan berlabel “Laura” dan bekal berisi nasi dan telur dadar, kesukaannya di bingkisan samping kursi.
Ada seorang ibu yang menempelkan sebuah note kecil di sana tentang, “Laura, sayang. Maafin mama yang gak pantas untuk dibilang seorang ibu. Mama selalu ngeliat kamu yang belajar sampai mimisan, selalu ngeliat kamu yang belajar tanpa henti untuk ngebuktiin kalau kamu bisa dibanggain. Mama rasanya pengen bilang ke kamu kalau kamu juga butuh istirahat, kamu jangan terlalu memfosir diri kamu, karena sejujurnya mama udah bangga sama diri kamu sendiri.
Laura, anak mama yang paling mama bangga. Maaf untuk kesekian kalinya. Mama sejujurnya bisa saja memasuki kamu ke bimbingan belajar dengan uang mama sendiri, tapi ayahmu tahu tentang ini, Laura.
Laura sayang. Semangat ujiannya, ya? Doa mama selalu mengiringi.
Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa sejujurnya, kasih ibu selalu ada, meski mereka tidak mengerti untuk bagaimana mengungkapkannya.