Write.as

Springbloomz_

Dari dulu Laura mempertanyakan, yang berubah di dunia itu apa?

Waktu atau manusia yang sebenarnya berubah?

Padahal, baru-baru ini ia merasakan hidup.

Merasakan bagaimana manusia menjalankan hidup pada semestinya. Berjalan dengan pundak ringan, napas yang tidak seberat sebelumnya, seolah-olah ia baru saja terbebas dari sebuah kalung yang mencekik leher.

Terlepas dari batu yang menopang pundak.

Padahal, ia baru bernapas lega. Namun, ketika membuka pintu, justru di seberang kamar sana ada sebuah koper.

Koper berwarna hitam yang amat dikenali. Mengernyit bingung, lantas ketika ia baru saja mengetuk pintu, penghuni di kamarnya keluar.

Seorang pemuda dengan baju rapih dan tas yang berada di pundak.

“Bukannya sekarang hari minggu?” tanya Laura dengan raut meminta penjelasan. Bingung dengan segalanya.

Tentang koper yang berada di depan kamar.

Tas di punggung.

Pakaian yang rapih.

Tatapan yang tidak lagi sama.

Juga,

“Ra.”

Panggilan yang berbeda dari sebelumnya.

Laura tidak mengerti, kenapa semuanya tidak lagi sama. Berubah secepat mengedipkan mata. Bahkan, saat tangan Laura berusaha untuk menjangkau jemari pemuda tersebut, ia buru-buru menepis.

Dejavu.

Seolah ada scene yang pernah terjadi sebelumnya.

“Maaf, Ra,” ucapnya rendah hampir tak didengar. Bahkan, Lucas tidak mau menatap matanya saat netra hitamnya meminta penjelasan dengan semua ini.

Menahan sesuatu yang mendesak minta dikeluarkan di pelupuk matanya. Dengan suara rendah akan sarat penuh sesak, gadis itu bilang, “L-lo ... juga?”

Bak dijahit, mulut pemuda itu membisu. Terdiam seribu bahasa.

“Lo juga mau ninggalin gue? Lo juga mau ngelakuin hal yang sama kayak orang gue yang gue kenal, Cas?” Laura tersesak dengan ucapannya sendiri. Tangan gadis itu terkepal, memukul dada laki-laki tersebut berulang kali dengan linangan air mata yang perlahan turun. “Katanya lo mau lindungin gue? Katanya lo gak bakal pergi dari gue? Katanya lo gak bakal biarin gue sendirian? Katanya lo mau jadi rumah gue, Cas?”

Dan laki-laki tersebut bilang, “Maaf, Ra.”

Bahkan sekarang, Laura muak dengan kata-kata itu.

“Gue salah, Cas.” Perempuan itu menghela napas. “Gue salah naruh kepercayaan sama lo.”

Dia membencinya. Lebih tepatnya membenci dirinya beserta semesta yang lagi-lagi tidak mau membiarkan perempuan itu bahagia.

Tampaknya, benar.

Ketika dunianya berhenti nanti, tidak ada yang menangisi kepergiannya.

Lagi-lagi ia hancur. Lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya.

Gadis itu selamanya sendirian.

Dari dulu Laura mempertanyakan, yang berubah di dunia itu apa?

Waktu atau manusia yang sebenarnya berubah?

Padahal, baru-baru ini ia merasakan hidup.

Merasakan bagaimana manusia menjalankan hidup pada semestinya. Berjalan dengan pundak ringan, napas yang tidak seberat sebelumnya, seolah-olah ia baru saja terbebas dari sebuah kalung yang mencekik leher.

Terlepas dari batu yang menopang pundak.

Padahal, ia baru bernapas lega. Namun, ketika membuka pintu, justru di seberang kamar sana ada sebuah koper.

Koper berwarna hitam yang amat dikenali. Mengernyit bingung, lantas ketika ia baru saja mengetuk pintu, penghuni di kamarnya keluar.

Seorang pemuda dengan baju rapih dan tas yang berada di pundak.

“Bukannya sekarang hari minggu?” tanya Laura dengan raut meminta penjelasan. Bingung dengan segalanya.

Tentang koper yang berada di depan kamar.

Tas di punggung.

Pakaian yang rapih.

Tatapan yang tidak lagi sama.

Juga,

“Ra.”

Panggilan yang berbeda dari sebelumnya.

Laura tidak mengerti, kenapa semuanya tidak lagi sama. Berubah secepat mengedipkan mata. Bahkan, saat tangan Laura berusaha untuk menjangkau jemari pemuda tersebut, ia buru-buru menepis.

Dejavu.

Seolah ada scene yang pernah terjadi sebelumnya.

“Maaf, Ra,” ucapnya rendah hampir tak didengar. Bahkan, Lucas tidak mau menatap matanya saat netra hitamnya meminta penjelasan dengan semua ini.

Menahan sesuatu yang mendesak minta dikeluarkan di pelupuk matanya. Dengan suara rendah akan sarat penuh sesak, gadis itu bilang, “L-lo ... juga?”

Bak dijahit, mulut pemuda itu membisu. Terdiam seribu bahasa.

“Lo juga mau ninggalin gue? Lo juga mau ngelakuin hal yang sama kayak orang gue yang gue kenal, Cas?” Laura tersesak dengan ucapannya sendiri. Tangan gadis itu terkepal, memukul dada laki-laki tersebut berulang kali dengan linangan air mata yang perlahan turun. “Katanya lo mau lindungin gue? Katanya lo gak bakal pergi dari gue? Katanya lo gak bakal biarin gue sendirian? Katanya lo mau jadi rumah gue, Cas?”

Dan laki-laki tersebut bilang, “Maaf, Ra.”

Bahkan sekarang, Laura muak dengan kata-kata itu.

Dia membencinya. Lebih tepatnya membenci dirinya beserta semesta yang lagi-lagi tidak mau membiarkan perempuan itu bahagia.

Tampaknya, benar.

Ketika dunianya berhenti nanti, tidak ada yang menangisi kepergiannya.

Lagi-lagi ia hancur. Lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya.

Gadis itu selamanya sendirian.

Dari dulu Laura mempertanyakan, yang berubah di dunia itu apa?

Waktu atau manusia yang sebenarnya berubah?

Padahal, baru-baru ini ia merasakan hidup.

Merasakan bagaimana manusia menjalankan hidup pada semestinya. Berjalan dengan pundak ringan, napas yang tidak seberat sebelumnya, seolah-olah ia baru saja terbebas dari sebuah kalung yang mencekik leher.

Terlepas dari batu yang menopang pundak.

Padahal, ia baru bernapas lega. Namun, ketika membuka pintu, justru di seberang kamar sana ada sebuah koper.

Koper berwarna hitam yang amat dikenali. Mengernyit bingung, lantas ketika ia baru saja mengetuk pintu, penghuni di kamarnya keluar.

Seorang pemuda dengan baju rapih dan tas yang berada di pundak.

“Bukannya sekarang hari minggu?” tanya Laura dengan raut meminta penjelasan. Bingung dengan segalanya.

Tentang koper yang berada di depan kamar.

Tas di punggung.

Pakaian yang rapih.

Tatapan yang tidak lagi sama.

Juga,

“Ra.”

Panggilan yang berbeda dari sebelumnya.

Laura tidak mengerti, kenapa semuanya tidak lagi sama. Berubah secepat mengedipkan mata. Bahkan, saat tangan Laura berusaha untuk menjangkau jemari pemuda tersebut, ia buru-buru menepis.

Dejavu

Seolah ada scene yang pernah terjadi sebelumnya.

“Maaf, Ra,” ucapnya rendah hampir tak didengar. Bahkan, Lucas tidak mau menatap matanya saat netra hitamnya meminta penjelasan dengan semua ini.

Menahan sesuatu yang mendesak minta dikeluarkan di pelupuk matanya, dengan suara rendah akan sarat penuh sesak, gadis itu bilang, “L-lo ... juga?”

Bak dijahit, mulut pemuda itu membisu. Terdiam seribu bahasa.

“Lo juga mau ninggalin gue? Lo juga mau ngelakuin hal yang sama kayak orang gue kenal, Cas?” Laura tersesak dengan ucapannya sendiri. Tangan gadis itu terkepal, memukul dada laki-laki tersebut berulang kali dengan linangan air mata yang perlahan turun. “Katanya lo mau lindungin gue? Katanya lo gak bakal pergi dari gue? Katanya lo gak bakal biarin gue sendirian? Katanya lo mau jadi rumah gue, Cas?”

Dan laki-laki tersebut bilang, “Maaf, Ra.”

Bahkan sekarang, Laura muak dengan kata-kata itu.

Dia membencinya. Lebih tepatnya membenci dirinya beserta semesta yang lagi-lagi tidak mau membiarkan perempuan itu bahagia.

Tampaknya, benar.

Ketika dunianya berhenti nanti, tidak ada yang menangisi kepergiannya.

Lagi-lagi ia hancur. Lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya.

Gadis itu selamanya sendirian.

Dari dulu Laura mempertanyakan, yang berubah di dunia itu apa?

Waktu atau manusia yang sebenarnya berubah?

Padahal, baru-baru ini ia merasakan hidup.

Merasakan bagaimana manusia menjalankan hidup pada semestinya. Berjalan dengan pundak ringan, napas yang tidak seberat sebelumnya, seolah-olah ia baru saja terbebas dari sebuah kalung yang mencekik leher.

Terlepas dari batu yang menopang pundak.

Padahal, ia baru bernapas lega. Namun, ketika membuka pintu, justru di seberang kamar sana ada sebuah koper.

Koper berwarna hitam yang amat dikenali. Mengernyit bingung, lantas ketika ia baru saja mengetuk pintu, penghuni di kamarnya keluar.

Seorang pemuda dengan baju rapih dan tas yang berada di pundak.

“Bukannya sekarang hari minggu?” tanya Laura dengan raut meminta penjelasan. Bingung dengan segalanya.

Tentang koper yang berada di depan kamar.

Tas di punggung.

Pakaian yang rapih.

Tatapan yang tidak lagi sama.

Juga,

“Ra.”

Panggilan yang berbeda dari sebelumnya.

Laura tidak mengerti, kenapa semuanya tidak lagi sama. Berubah secepat mengedipkan mata. Bahkan, saat tangan Laura berusaha untuk menjangkau jemari pemuda tersebut, ia buru-buru menepis.

Dejavu

Seolah ada scene yang pernah terjadi sebelumnya.

“Maaf, Ra,” ucapnya rendah hampir tak didengar. Bahkan, Lucas tidak mau menatap matanya saat netra hitamnya meminta penjelasan dengan semua ini.

Menahan sesuatu yang mendesak minta dikeluarkan di pelupuk matanya, dengan suara rendah akan sarat penuh sesak, gadis itu bilang, “L-lo ... juga?”

Bak dijahit, mulut pemuda itu membisu. Terdiam seribu bahasa.

“Lo juga mau ninggalin gue? Lo juga mau ngelakuin hal yang sama kayak orang gue kenal, Cas?” Laura tersesak dengan ucapannya sendiri. Tangan gadis itu terkepal, memukul dada laki-laki tersebut berulang kali dengan linangan air mata yang perlahan turun. “Katanya lo mau lindungin gue? Katanya lo gak bakal pergi dari gue? Katanya lo gak bakal biarin gue sendirian? Katanya lo mau jadi rumah gue, Cas?”

Dan laki-laki tersebut bilang, “Maaf, Ra.”

Bahkan sekarang, Laura muak dengan kata-kata itu.

Dia membencinya. Lebih tepatnya membenci dirinya beserta semesta yang lagi-lagi tidak mau membiarkan perempuan itu bahagia.

Tampaknya, benar.

Ketika dunianya berhenti nanti, tidak ada yang menangisi kepergiannya.

Gadis itu selamanya sendirian.

“Dari awal berita tentang tiga orang pelajar narkoba, gue udah curiga sebenarnya.” Di sela makan mereka, Jeffrey tiba-tiba saja memecahkan suara di keheningan. Ketiganya langsung terdiam, lebih memilih untuk mendengar penjelasan dari laki-laki tersebut yang selama ini menghilang tanpa kabar. “Setelah lo bilang kalau di kontak Luna ada anonymous M, H, J, C, R. Beberapa hari setelahnya, turun berita tentang pelajar inisial J, C, R. Detik itu juga, gue langsung nemuin Haikal ketimbang harus nelpon karena pasti tuh anak gak mau ngaku.”

“Dan bener,” jeda Jeffrey sembari menyugarkan rambut coklatnya ke belakang dengan frustasi, “waktu gue nyampe di kosan, Haikal awalnya gak mau bukain pintu sama siapa-siapa, bahkan hari itu juga dia gak pergi kuliah padahal hari pertama.”

“Gue marah banget sama dia karena dia emang ngelakuin itu dan Haikal cowok tertolol yang pernah gue temuin.” Jeffrey mengusap wajahnya lantaran sudah seletih itu dengan semuanya. “Gue kira dia seutuhnya dijebak sama cewek itu dengan bilang ke gue kalau bukti yang lebih berbicara, seolah-olah dia emang dijebak dan ternyata lihat?”

“Haikal mau-maunya disuruh.”

Dewa lantas mengernyit. “Disuruh? Disuruh ngapain?”

“Luna naruh nomor Haikal, nyuruh tiga pencandu itu buat hubungin dia kalau mau bertransaksi. Dengan ancaman kalau dia nggak mau ngelakuin itu, Laura bakal disentuh. Lo tahu sendiri ‘kan? Haikal suka Laura.”

“ANJING, BOCAH GILA!” Theo yang sedari tadi menyimak lantas melemparkan sendok makannya.

Johnny bahkan di sana menggaruk rambut, ikutan stress mendengarnya. “Ada aja anjing tingkahnya, mana masih muda ya, ‘kan?”

Sementara yang lain mengumpat, Dewa di sana menggigit jarinya bingung. “Bentar, Jep.”

Semua mata langsung tertuju padanya bingung.

“Lo bilang kalau Luna naruh nomor Haikal ke mereka, ‘kan?” tanya Dewa, dibalas dengan anggukan. “Oke, berarti Luna tahu sebelumnya kalau mereka it pecandu, tapi gimana caranya Haikal transaksi? Dia dapetin obat itu dari mana? Ditambah, lo bilang kalau Haikal disuruh Luna, ‘kan?”

Jeffrey, Theo, dan Johnny mengangguk menyetujui. Lantas, Dewa memukul meja, menyentak mereka bikin semuanya terkejut, bahkan Theo menahan diri untuk tidak latah.

“Oke, berarti kemungkinan ada dua. Luna punya kenalan orang yang ngimpor-ekspor atau bisa jadi orang yang ngeproduksi obat tersebut atau ....” Dewa menjeda sebentar, kemudian menarik salah satu sudut bibirnya tenang. “Atau bisa jadi dia juga pengedarnya cuman dialihkan tugas ke Haikal.”

“Oke, jadi gue ngerti alasan kenapa dia bilang ke gue kalau dia bukan orang jahat.”

“Kenapa?”

“Karena bukan dia yang terlibat. Bukan dia yang turun tangan, tapi dia dalangnya.”

Pemuda itu menghentikan kendaraan bermotor. Melepaskan helm sekaligus menormalkan pernapasan lantaran jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.

Ia tidak akan pernah menyangka jika kakinya akan menginjak Rumah Tahanan Negara di salah satu Kota Jakarta ini. Tempat di mana terdakwa ditahan selagi menjalankan proses penyidikan. Jangankan itu, sejujurnya Dewa masih sedikit terkejut karena ia kini terlibat dengan hal-hal yang berbau hukum.

Rasa-rasanya, apa yang ia lewati selama ini tampak seperti film mengusung kriminalitas. Berhubungan dengan banyak kasus entah dimulai dari pidana, perdata, dan semacamnya.

Ini begitu merumitkan. Bahkan otak Dewa berkali-kali pening.

“Sialan.” Dewa menghela napas berat, menggaruk surai hitamnya frustasi. Lantas, kaki jenjangnya memasuki tempat tersebut dan menemukan Jeffrey yang menengadahkan kepala sembari duduk.

Pemuda tersebut sedikit meringis melihat temannya itu. Kantung mata yang lebar dan menghitam, bahkan pipinya kian mengurus.

Terlihat bagaimana sorotan mata yang menatap langit-langit begitu kosong sambil memegangi ponsel.

Dewa menggaruk leher, kemudian berjalan mendekat ke Jeffrey yang kini baru menyadari kehadirannya setelah surai coklatnya diacak oleh laki-laki tersebut.

“Jangan ngelamun, kesamber nanti,” katanya. Jeffrey tersenyum hambar dan bertepatan dengan itu ponsel yang sedari tadi digenggam bergetar. Menampilkan nomor asing di sana.

“Bentar, gue angkat—“

Dewa buru-buru merampas ponselnya kemudian mematikan total. “Lo butuh istirahat, jangan dulu ngangkat telepon yang bikin lo terbebani.”

Biasanya, Jeffrey paling tidak suka disuruh, tetapi kali ini laki-laki itu menurut. Membiarkan Dewa menyimpannya.

“Sekarang lo nungguin apaan, Jep?” tanya Dewa.

“Jam besuk,” jawab Jeffrey sembari memejamkan mata. “Jam satu siang nanti baru dibuka. Yang pertama tadi udah kepake buat mereka nanya-nanya ke Haikal.”

Bertepatan dengan itu semua, ia melihat dua sosok pemuda dengan Theo yang membawa kantongan berwarna hitam.

“Makan bubur dulu, yuk. Yang tim bubur diaduk gue kasih gratis, deh,” jawab Theo sembari mengangkat kantungan tersebut. Sementara orang yang lebih tinggi di sebelahnya menatap sinis.

“Pala lo ngasih gratis, orang gue yang beli.”

Perkataan dari Johnny membuat Theo menyengir, bikin Jeffrey diam-diam ikut tertawa.

Gelakan pertama yang laki-laki itu ciptakan setelah sekian lama. Ia merasa bersyukur lantaran di keadaan seperti ini, di mana ia merasa malu dan takut untuk menghadapi betapa mengerikannya manusia, justru mereka masih tetap di sini.

Menemaninya ketika dunia tengah mempermalukannya.

Maka, saat Theo merangkul bahunya dengan Johnny yang mengusak surai coklat sementara Dewa di belakang tengah memukul punggungnya untuk membuat laki-laki itu berjalan tegap, membuat Jeffrey tersadar sesuatu.

Meski tiada hari tanpa pergulatan, pertengkaran, dan diisi dengan berbagai kekonyolan, tetapi tanpa sadar persahabatan mereka kini justru mengikat satu sama lain, membentuk tali persaudaraan yang begitu kuat.

Alam itu penuh kejutan. Baik takdir atau pun makhluknya sendiri.

Mungkin, Laura tidak akan pernah percaya kalau ini menjadi sambungan telepon pertama dengan seseorang yang melahirkannya.

Berulang kali ia menggigit bibir, barangkali jika wanita tersebut tidak akan menjawabnya.

Hingga sambungan kesepuluh, Laura sedikit bernapas lega karena ia akhirnya menjawab.

“Hallo?” Itu ucapan Laura yang membuka percakapan. Bersama dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

Tidak ada sahutan, bikinnya merasa takut. Maka, ia berbicara sekali lagi. “Hallo, Ma?”

“Hallo?”

Padahal, hanya mendengar suaranya saja, bisa membuat pertahanan Laura hancur detik itu juga. Vokal rendah nan intonasi lembut milik ibunya, seketika bikin Laura teringat dengan euforia kecil yang dulu masih hinggap di kepalanya.

Laura menggigit tangannya, berharap itu bisa meredakan isakan tangis, ketika suara itu kembali masuk ke rungunya.

“Laura?”

Cepat-cepat ia menghapus jejak di sana, kala lagi-lagi dia bertanya, “Kenapa?”

Laura menghembuskan napas, diam-diam tersenyum tipis. “Sebenarnya, Laura pengen nanya kabar Mama, tapi kayaknya semuanya baik-baik aja, ya? Gak ada sesuatu ‘kan ya, Ma?”

“Laura ....”

“Ah, enggak, deh. Maaf. Laura lupa kalau sekarang kita jadi orang asing, hehehe.” Terdengar seperti kekehan kecil, tetapi jauh di lubuk hati, ia sesak dengan kata “orang asing” itu keluar dari birainya.

Menyayangkan kata tersebut yang sudah mengudara.

“Ma?” panggil Laura sembari menggigit jari, meski mata sudah sembab dengan bahu yang berguncang. “Jaga diri baik-baik, ya? Jangan sampai sakit. Jangan sampai bikin Laura khawatir dan bikin Laura kembali ke sana.”

“Mama, tahu? Laura senang di sini. Punya temen dan orang-orang yang perhatian ke Laura,” ucap Laura sembari tersenyum.

“Kak,” panggil wanita tersebut, membuat Laura menahannya sebisa mungkin. “Mama seneng dengernya.”

Laura mendengkus. “Iya, Laura emang seneng di sini. Tapi, Laura gak bahagia, Ma.”

“Masih ada yang ngerasa janggal. Restu orang tua masih Laura dapetin makanya ini semua kerasa aneh. Mungkin, nanti kali, ya? Namanya juga belum terbiasa ya, kan?” Lagi-lagi Laura terkekeh dengan air mata yang mengalir di sana. “Padahal kalian gak ngasih satu pun memori berarti di sana.”

“Laura, Mama—“

“Ma,” potong Laura cepat. Napasnya tiba-tiba merasa sesak, ketika ada banyak penuturan kata yang mendesak untuk segera dikeluarkan. Hingga butuh beberapa sekon kemudian, perempuan itu bilang, “Ma, pernah sekali aja sayang Laura, gak?”

Laura sudah tidak bisa menahan semuanya lagi. Dia membiarkan suara isakannya terdengar dan tidak mempedulikan orang di seberang sana mendengarnya.

Gadis tersebut menangis. Merasakan sakit di dadanya dengan bahu yang berguncang.

“M-ma ....” Suaranya bergetar hebat, bahkan tangan yang memegang ponsel untuk ditempelkan ke telinga gemetaran, hingga kakinya lemas untuk berdiri.

Dia melipatkan lutut, sembari bilang, “Makasih udah besarin Laura selama ini. Makasih udah jadi orang yang ada di kehidupan Laura dan juga maaf untuk kelakuan Laura selama ini yang bikin Luna dan papa menderita. Seenggaknya, biarin Laura jadi anak yang berbakti untuk terakhir kalinya, ya?” katanya sambil berusaha tersenyum.

“Mama tahu? Kalau emang reinkarnasi itu ada dan Laura ditakdirkan untuk hidup kembali, Laura masih tetap memilih kalian yang jadi keluarga Laura.”

Dan Laura bisa mendengar sesakan suara ibunya yang menangis di sana, bikin gadis itu kembali terisak entah kesekian kalinya sambil bilang, “Sehat-sehat, ya? Laura juga sayang mama.”

Hingga akhirnya, perempuan itu memutuskan sambungan dan menangis sejadi-jadinya. Dia biarkan tangisannya mengisi seisi ruangan, terisak dengan kencang dengan kepala yang terendam ke dalam lipatan tangan.

Tidak memperdulikan jika suaranya ini terdengar oleh penghuni lain.

Sejujurnya, Laura sudah membaca pesannya sebelum ditarik. Sudah dari awal dia menangis bahkan dia bercerita pada Lucas bahwa akhirnya gadis itu mendengar pernyataan bahwa dia disayang oleh mamanya.

Setelahnya, Laura membuka ponselnya. Buru-buru mengetikkan sesuatu di group chat keluarga dengan tangan bergetar dan keluar dari sana. Bahkan, ia menghapus dan memblokir nomor papa, luna, bahkan mamanya sendiri.

Sementara, di lain sisi, di tempat lain, ada seorang ibu yang juga sama berantakannya dengan anaknya. Menangis di dalam kamar dengan suaranya yang terendam oleh mulut yang sengaja ia bekap.

Bahkan, meski sambungan telepon sudah terputus sejak sepuluh menit yang lalu, wanita tersebut masih menempelkan ponselnya di telinga.

Menangis dengan getaran suara yang bilang, “Mama juga sayang kamu dari dulu hingga nanti kehidupan mama berhenti, Sayang. Maafin mama untuk kesekian kalinya, Kak.”

Jika arunika meninggalkan salamnya pada embun, hujan meninggalkan jejak kepada kubangan. Lalu, apa yang ditinggalkan seorang anak yang pergi pada orang tua?

Bukankah tentang perjanjian bahwa ia akan kembali?

Sejatinya, embun dan kubangan itu sebagai pengingat. Bahwa, arunika dan hujan pernah hadir di antara mereka. Mengisi kekosongan waktu dengan pentas keajaibannya bahwa bersama mentari dia pembawa energi, bersama rintik dia menyapa rindu.

Pun begitu dengan seorang anak yang pergi. Bahwa dia pernah hadir, untuk melengkapi ruang kamar dengan banyak ceritanya, meninggalkan salamnya bahwa dia akan kembali bersama kesuksesan yang berada di genggaman.

Akan tetapi, tidak dengan seorang pendosa satu ini. Kehampaan memang selalu ada di setiap anak yang merantau, tetapi berbeda dengannya.

Janji tentang kembali tidak ada.

Janji tentang kesuksesan tidak mengiringi.

Namun, ia pergi meninggalkan luka dan penyesalan tentang seorang anak yang tidak akan pernah kembali sampai kapan pun.

Meski dia memaksa untuk mengubah arah jarum jam untuk kembali ke dimensi sebelumnya, tetapi waktu tidak pernah mengabulkan. Tetap berjalan, menyisakan dia yang terjerumus pada jurang penderitaan.

Baknya seorang mayat hidup, dia bernapas dengan pikiran kosong, menerawang pergi entah ke mana. Kantung mata yang semakin lebar dan tubuh kurus yang kian menampak benjolan tulang di pipi.

Di hadapannya memang sudah ada makanan, tetapi makin ke sini selera nafsu makannya hilang, bersama dengan jiwa yang pergi.

Dentingan sendok dan garpu saling mengiringi, menyantap makanan sementara dia hanya menatap tanpa minat.

Bersama birai yang kian pucat dan bergetar, wanita paruh baya itu bilang, “G-gimana rasanya?”

Keheningan langsung menyeruak, membuat dua pasang mata menatapnya bingung.

Si gadis yang paling muda di sana hanya menyengir.

“Enak, kok, Ma,” kekehnya canggung. “Luna suka semua masakan Mama. Apalagi kalau—“

“Gimana rasanya kembali kehilangan?” potongnya cepat. “Kemarin kamu udah kehilangan seorang ibu, sekarang kamu juga kehilangan seorang anak, kan?”

Rahang pria paruh baya itu mengetat, kembali melanjutkan makan seolah menahan emosi. “Jangan mulai, Del!”

Adel—wanita paruh baya memasuki kepala empat itu—mengambil sendoknya. “Dia masih anakku dan anakmu, Mas! LAURA ITU DARAH DAGING KAMU SENDIRI!”

“ADELIA!”

Pria tersebut lantas bangkit dari duduknya. Menatap tajam penuh ancaman, sementara yang ditatap kini balik menantangnya.

“Apa?” Mata Adel sudah memerah, wajah yang menahan tangis selama ini kembali tercetak jelas di sana. “Kamu mau bilang kalau Laura itu sebagai penembus dosa atas kehilangan ibumu, HAH?”

Adelia menjerit dengan bendungan air mata yang tidak mampu ia kuasai lagi. Suara getarnya malah terdengar seperti racauan karena isakan terus menyela di sana. “Kamu jangan bodoh, Mas! Takdir gak bisa diapa-apain kalau emang ajalnya! Apa kamu maunya justru Laura yang meninggal di kecelakaan itu?”

“ADELIA!” Sekali lagi pria tersebut berteriak. “Saya udah pringatin berulang kali sama kamu—“

“Aku juga udah bilang berulang kali kalau emang kamu pengen Laura yang pergi, harusnya dari awal kamu gugurin aja anak kita, Mas! KAMU BAHKAN GAK MENGINGINKAN ANAK ITU HADIR, BRENGSEK!”

Kesenyapan kembali mengisi. Ketika satu layangan tangan berhasil mendarat di pipi kurus wanita paruh baya tersebut.

Dia menamparnya.

Dan lagi.

Dia melakukannya lagi.

“KAMU JANGAN NGOMONG GITU DI DEPAN ANAKMU, ADEL!”

“Terus kenapa, hah?!” jeritnya. “Kamu mau bilang kalau aku harus mikirin perasaan Luna? Terus gimana dengan Laura, Mas? GIMANA DENGAN ANAK MALANG ITU!”

Bahunya bergetar hebat dengan lengkingan suara yang keluar dari tubuh kurusnya. “Aku selalu nurutin tentang kamu yang maunya berlaku kayak gini ke anak-anak kita. Padahal, anak itu udah berulang kali minta maaf sama kamu dan Luna! Harusnya kamu sadar alasan dia ngurung Luna di dalam gudang, Mas!”

“Seperti apa yang Laura bilang dulu, dia dilahirkan bukan untuk dinomorduakan! Dia dilahirkan bukan buat dikesampingkan! GAK ADA SATU PUN ANAK YANG MAU DILAHIRKAN BEGITU! HARUSNYA KAMU SADAR ITU, MAS!” Sekali lagi, isakan tangis kembali mengiringi.

Adelia meninggalkan ruangan, membanting pintu dan masuk ke kamar dengan segala tumpahan air mata. Memukul dadanya yang begitu sesak dan bersimpuh sembari memegangi rambutnya yang kian berantakan.

Tubuhnya memang lemah, tetapi dia langsung melemparkan benda apapun yang ada di sekitarnya sembari menyebut nama gadis itu dan perminta maafan berulang kali.

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa setiap malam gelap, ada seorang ibu yang masuk ke dalam kamar anaknya. Mengontrol pendingin ruangan agar lebih hangat dan membenarkan posisi selimut seorang kakak.

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa setiap anaknya terlelap, ada seorang ibu yang selalu tersesak untuk meminta maaf, selalu mengelus surai hitam dan meninggalkan sebuah pelukan sebelum kembali ke kamar.

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa sejujurnya ada seorang ibu yang membanggakan prestasi anaknya ke teman-teman, menceritakan tentang apa yang mereka peroleh, meski tidak pernah bilang pada Laura sendiri.

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa saat anaknya kembali ketika tragedi seorang ayah yang melemparkan serapahan kasar, ada seorang ibu yang menangis dan bersyukur di dalam kamar karena gadis kecilnya itu kembali dengan selamat setelah mengatakan, “Istirahat Kak, jangan lupa. Kalau laper ada makanan di bawah tudung saji. Piringnya taruh aja di watafel. Biar mama yang cuci.”

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Pada hari itu, ketika anaknya yang berbicara akan keluar dari rumah sembari melemparkan botol minuman milik si adik, bahwa sejujurnya dia sudah menyeduhkan sebotol milo dingin dengan berlabel “Laura” dan bekal berisi nasi dan telur dadar, kesukaannya di bingkisan samping kursi.

Ada seorang ibu yang menempelkan sebuah note kecil di sana tentang, “Laura, sayang. Maafin mama yang gak pantas untuk dibilang seorang ibu. Mama selalu ngeliat kamu yang belajar sampai mimisan, selalu ngeliat kamu yang belajar tanpa henti untuk ngebuktiin kalau kamu bisa dibanggain. Mama rasanya pengen bilang ke kamu kalau kamu juga butuh istirahat, kamu jangan terlalu memfosir diri kamu, karena sejujurnya mama udah bangga sama diri kamu sendiri.

Laura, anak mama yang paling mama bangga. Maaf untuk kesekian kalinya. Mama sejujurnya bisa saja memasuki kamu ke bimbingan belajar dengan uang mama sendiri, tapi ayahmu tahu tentang ini, Laura.

Laura sayang. Semangat ujiannya, ya? Doa mama selalu mengiringi.

Diam-diam, tidak ada yang menyadari. Bahwa sejujurnya, kasih ibu selalu ada, meski mereka tidak mengerti untuk bagaimana mengungkapkannya.

Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa peningnya Dewa untuk menerka-nerka semua yang Mark katakan.

Tentang kelakuan Luna selama ini, membuatnya merasa dibodohi dan tidak bisa mengungkapkan seberapa kecewa dan marahnya laki-laki tersebut.

Sejauh ini, Dewa hanyalah orang yang tidak tahu apa-apa. Kebingungan dan tidak mengerti apa yang selama ini terjadi. Apalagi tentang perempuan tersebut yang mengancam tentang nyawa Laura yang bahkan masih tidak ia ketahui alasannya.

Ucapan Mark membuat mereka berdua langsung bungkam. Hening lantas menyeruak, bahkan kebisingan dari suara klakson di luar sana mendadak rungunya tidak bisa tangkap dan membuat suara-suara yang ada menjadi senyap.

Yudha juga sama diamnya. Ia sejauh ini tidak terlalu mengerti dan memilih ikut menengadahkan kepala di samping Dewa.

“Cewek lo sinting,” omel Yudha sembari menjitak kepala laki-laki tersebut.

Dewa hanya merotasikan kelereng hitamnya sembari tertawa sarkas. “Gue juga sama sintingnya karena bisa-bisanya gue gak tahu tentang muka aslinya.”

Ditatap mereka berdua bingung, Mark kembali memijat kepala yang sama peningnya sembari menegak segelas es teh manis.

“Btw, Mark,” panggil Dewa. “Jam berapa sekarang?”

Merogoh ponsel, lalu ia pun menyalakannya. “Jam sebelas, Kak.”

“Lo mau pulang sekarang?”

“Entar, deh. Males.”

Sementara Dewa menganggukkan kepala, Yudha di sebelahnya justru mengernyit dengan benda pipih tersebut.

“Hape lo emang suka kedap-kedip gitu?” kata Yudha bingung lantaran lampu LED pria tersebut selalu menyala tiap sepuluh detik sekali. Yang ditanya justru mengernyit tidak mengerti.

Laki-laki pemilik darah Jepang itu lantas mengambil ponselnya cepat dan meneliti setiap jengkalnya.

“Lo mau ngapain?”

“Enggak, gue cuman ngerasa—“ ucapan Yudha terhenti dan ia langsung mengambil sebuah kabel dan mencolokkan kedua sisinya pada ponsel Mark dan dirinya. Buru-buru laki-laki tersebut menyalakan komputer dan segera meng-upload file yang berhasil dideteksi.

“Lo ngapain, sih?”

Tidak ada jawaban, bikin keduanya langsung was-was dan mengharapkan tidak ada kejadian yang buruk.

“Jangan bilang—“

Dan tepat saat itu juga, Yudha langsung membanting ponsel Mark dan membuat layarnya hancur bahkan rasanya sulit untuk mengharapkan jika benda tersebut masih bisa menyala.

“Sorry, tapi hape lo udah tercemar.”

Keduanya terkejut dengan pernyataan Yudha. “M-maksud lo? Ponsel Mark dilacak?”

“Gak cuman dilacak, semuanya dikendaliin. Seolah-olah apa yang lo lakuin di ponsel lo itu bakal dia tahu karena ada software yang ke-instal di hape lo,” terangnya. “Software yang kepasang di hape lo itu dibikin sama salah satu anak di group programmer gue. Gue juga pernah ngeliat ada yang nge-upload file zip-nya di website. Gue yakin itu dia, karena di detail-nya bilang kalau dia juga bisa ngerekam dan kebukti dari lampu LED lo yang terus-terusan nyala itu jadi sensor yang nangkap suara.”

Penjelasan dari Yudha, bikin Dewa tercengang. Lebih tepatnya, ia tidak tahu arah pembicaraannya yang begitu rumit, makanya laki-laki tersebut menggaruk lehernya yang tak gatal itu. “Bentar, deh, Yudh. Gue gak ngerti lo ngomong apaan asli!”

“Intinya, apa yang sebelumya lo omongin tadi didenger sama cewek itu, anjing!”

Barangkali, jika Mark bisa memilih, ia tidak ingin menceritakan hal apapun itu pada Luna, terutama soal perasaan.

Ia bisa-bisanya bertingkah konyol tanpa tahu apa akibatnya.

Bisa-bisanya berpikiran bahwa ikatan saudara Luna dan Laura itu dekat.

Bisa-bisanya, ia terbuai dengan perkataan Luna waktu itu yang bilang, “Mark, kakak gue pengen ketemu lo nanti.”

Entah kelewat buta atau bodoh, bisa-bisanya Mark tidak curiga dengan senyuman lebar Luna waktu itu dan berakhir dengan ia mengangguk menyetujui.

Barangkali, jika Mark boleh memilih, ia tidak ingin keluar ketika bangkai senja meninggalkan jejak rindunya pada langit. Jika saja laki-laki tersebut tidak terlena tentang pemilik ruang hatinya ingin bertemu, pemuda tersebut lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar ketimbang harus menghampiri seorang perempuan licik yang menggunakan masker hitam dengan riasan wajah tipisnya yang seolah perempuan itu memainkan peran sebagai kakaknya.

Benar, Luna menggantikan posisi Laura.

Ah, bukan mengganti.

Namun, ia seolah memanipulasi Mark dengan wajah mereka yang mirip. Bisa-bisanya ia tidak terkecoh lantaran Luna menggunakan make up tipis layaknya Laura.

Barangkali, jika Mark boleh memilih, laki-laki itu tidak akan mau untuk menerima ajakan ke suatu cafe.

Tidak akan pernah membiarkan perempuan tersebut yang mengambil minuman. Lantaran, siapa sangka? Jika Luna menaruh obat ke dalam minumannya dan membuat laki-laki itu terlelap.

Barangkali, jika Mark boleh memilih, laki-laki itu seharusnya dari jauh-jauh hari melenyapkan segala dosa di ponsel tentang apa yang Jason—seorang kakak yang memiliki distansi lima tahun dengannya—lakukan.

Seharusnya dari awal, hanya dia yang boleh tahu gelagat mencurigakan abangnya yang melakukan penggelapan dana yang di-cover oleh bawahannya.

Namun, saat membuka mata dengan kepala pening luar biasa baknya dipukul oleh berton-ton batu, netranya justru menangkap seorang gadis yang memainkan ponsel.

Riasan wajah tipis yang begitu lugu, kini sudah digantikan oleh dempulan tebal baknya seseorang yang amat ia kenal.

“L-lo?” Mark terbata-bata, sembari mengernyitkan alis, tidak mempercayai apa yang dia tangkap.

“Gimana tidur lo, ketos? Nyenyak, ‘kan?” jawabnya sembari tersenyum tipis. Lantas, kelereng hitamnya langsung menangkap pada segelas chocolate latte dan menyadari apa yang perempuan itu masukkan ke minumannya.

Matanya kini berubah memburu, emosi sudah berhasil menguasai diri. Lantas, hal yang semakin membuatnya dibodohi adalah ketika tangannya melemparkan gelas yang tadi diminum, langsung mendatangkan sorakan ricuh yang tidak ia sadari keberadaannya.

Dia memang masih ada di cafe, tetapi pemuda tersebut tidak menyadari bahwa kumpulan orang-orang yang kini melihat aksinya adalah sekawanan Luna selama ini.

Orang-orang yang dipenuhi dengan anak kelewat tajir melintir yang nyaris semuanya memiliki backing-an.

Mark tidak pernah tahu, bahwa seburuk itu pergaulan mereka sebenarnya. Maka, saat tahu dia dibodohi, tangannya langsung menarik kerah Luna, tidak peduli jika seorang perempuan di hadapannya itu.

Mark bisa saja menelannya hidup-hidup atau memotong tubuh perempuan itu, tetapi sayangnya Luna justru sudah memegang kelemahan laki-laki tersebut.

“Mark, lo mau main game sama gue, gak?” katanya sembari tersenyum tipis. “Lo tau permainan the sims?”

Mark lagi-lagi kehabisan kata-kata dengan perempuan tersebut yang masih bisa tertawa meski kerahnya ditarik.

“Lo jadi sims-nya sedangkan gue jadi orang yang mengendalikan lo,” bisiknya dengan suara rendah. “Tugas lo lebih mudah ketimbang anak satu itu, kok. Santai.”

“Maksud lo? Anak satu itu? Emang ada berapa anak?”

“Tenang, lo yang bakalan jadi terakhir, kok.” Luna terkekeh. “Tugas lo cukup jangan pernah deketin kakak gue dan kerjain tugas osis gue gimana?”

Rahang Mark mengetat, tatapannya sudah bengis begitu menyorot perempuan itu yang balik menantangnya. “Gimana? Kalau lo gak mau, kehidupan lo bakal hancur, Mark. Pikirin masa depan lo, kesehatan ayah lo, nama baik, bahkan tentang Adrianna Laura.”

“Adrianna Laura? Lo mau ngapain?”

“Ngelakuin hal yang sama kayak apa yang dia lakuin dulu ke gue.”

“ANJING!” Mark bisa saja menampar atau bahkan mencekik perempuan itu, tetapi ia lebih memilih meluapkan emosinya dengan membanting meja kasar. Ia menjambak rambutnya frustasi saking amarahnya begitu menggebu-gebu.

Lain halnya dengan Mark, Luna justru melipatkan tangan di depan dada sembari mengangkat dagu. “So, gimana?”

Tidak ada sahutan, sementara hanya aura mencekam dan tegang di atmosfer mereka berdua.

“Lo diem gue anggap sebagai jawaban.”

Dan lagi-lagi tidak ada suara, hingga akhirnya Luna tertawa sembari bilang,

“Game start.”