Write.as

Springbloomz_

Masih edisi Kosan Berpenghuni

“Kira-kira, cewek apa cowok?”

Suara Aji yang berbicara dadakan itu langsung membuat keheningan yang tadinya berpusat pada tontonan sinetron sembari rebahan karena tepar membersihkan rumah dan kamar masing-masing, lantas tertuju padanya.

Baru saja Bumi hendak menyahut, langsung dicegat duluan oleh Satria yang mendengus. “Gak usah menelin kalaupun yang datang nanti cewek.”

Pemuda itu memberengut. “Ya, abisan. Yang ini udah punya pawang duluan sebelum digas.”

Kezia, satu-satunya orang yang tiduran di sofa karena anak penghuni selalu memprioritaskannya, lantas melemparkan bantal pada Bumi.

Bumi tergelak. “Lo kalau putus nanti, kasih tau gue, ya. Biar langsung gue kabarin sama orang rumah.”

“Jangan gitu, Bang. Zia udah diajakin serius. Lagipula, gak tahu diri banget lo, tiap akhir bulan ‘kan si pawangnya Zia yang selalu traktir kita makan,” sahut Chris yang langsung dijawab anggukan, bikin anak-anak langsung menyoraki laki-laki tersebut.

Bumi merasa terpojokkan, bahkan Chris dengan kurang ajarnya langsung menindih badannya, disusul dengan Aji diatas.

“Gue, sih, siapa aja, deh. Asal jangan sebelas duabelas blangsatnya kayak Bumi. Istigfar mulu nanti gue,” jawab Theo.

Aji yang masih sibuk bergulat meski anak paling bawah meminta untuk bangkit dari tubuhnya langsung mendengus. “Ah, gak usah ngomongin masalah akhlak, Bang. Lo aja ngakunya bakal diusir dari kosan ke mbak mantan. Padahal, kalungnya digadain buat taruhan bola sama Bang Bumi.”

Anak-anak mendengarnya langsung melotot, bikin Theo saat itu langsung menyengir dengan wajah tanpa rasa berdosanya.

“ANJIR, DEMI APA SIH, YO?”

“AKHLAKLESS BAT LO.”

Sekarang, gantian Theo yang ditiban badannya ditambah dengan Bumi yang punya dendam kesumut lantaran kemarin Liverpool diledeki habis-habisan karena kalah di Liga Inggris kemarin.

Di tengah gelakan tawa dan jeritan kesakitan Theo yang meminta pertolongan, semuanya mendadak hening ketika mendengar deru mesin yang amat dikenali itu telah memarkiran mobilnya.

Semuanya langsung menelan ludah, tahu kalau sebentar lagi ajal mereka sudah dekat. Buru-buru karpet yang tadinya berantakan langsung kembali dirapihkan dan Zia juga langsung menaruh bantal yang sempat ia lempar.

Bu Elin sebenarnya memang baik, tapi kalau urusan kebersihan dia memang tegas. Anak-anak juga memaklumi ketegasannya yang mencabut Air Conditioner kalau sudah empat bulan menunggak uang sewaan seperti yang Theo lakukan.

Karena biasanya, di tempat lain sudah diusir duluan.

Satria yang memang sudah dekat dengan beliau karena dia yang paling lama di sini menjadi orang yang membukakan pintu.

Melihat Bu Elin beserta dua kepala yang mengekori.

“Gimana, Mas? Udah bersih?”

“Udah, nih. Tadi anak-anak juga sempat masak buat anak penghuni baru,” jelas Satria dengan senyuman sopannya.

Bu Elin langsung berbicara basa-basi, menanyakan hal-hal yang terjadi dan apakah ada kendala seperti listrik atau air yang tiba-tiba mati.

Padahal, semua anak sibuk mendengarkan ucapan beliau, tapi Theo di sini justru berpusat dan mengernyit pada anak perempuan yang bersembunyi pada seorang laki-laki berbadan tinggi di hadapannya itu.

Kayak kenal, tapi siapa?

“Jadi gak ada apa-apa, ‘kan, Mas?”

“Gak ada, sih. Soalnya kemarin juga Aji sempat pake cara alternatif buat nyaring air yang keruh. Terus juga—“

“WALAH ANJROTTT!”

Ucapan Satria terhenti ketika Theo tiba-tiba berteriak dengan mata melebar serta ekpresinya yang melongo hebat.

“LO PACARNYA DEWA ‘KAN, YA?”

Semuanya membeku, diam-diam merutuki Theo yang penyakit begonya kembali kambuh.

Satu yang pasti, mereka langsung menghela napas dan membatin,

Beneran punya nyawa banyak ini orang.

Edisi Kosan Berpenghuni

Orang-orang mungkin mengira kalau sekarang minggu pagi yang paling cerah.

Benar, sih, cerah.

Namun, saat fajar menyingsing hendak menyapa para penghuni jagat semesta itu, justru hari ini sebuah malapetaka.

Kesialan bagi seluruh anak yang tinggal di “Kosan Berpenghuni.”

Kalau ditanya kenapa disebut berpenghuni? Pasti sahutan sakral pemilik kosan berupa,

“Emang namanya ‘Kosan Berpenghuni’ karena ada penghuninya di dalem. Iya, toh?”

Iya bener, sih, gak salah.

Jadi, mari kita mengangguk saja dengan jawaban si Nyai yang selalu berubah jadi iblis penduduk neraka jahanam ketika akhir bulan.

Sebenarnya, alasan hari ini ditunjuk sebagai hari malapetaka lantaran anak nyai kosan dan temannya akan mengisi dua kamar kosong.

Katanya biar mandiri.

Mendengar mereka yang akan datang ke sini, dengan inisiatif, semuanya bangun pagi untuk membersihkan setiap sudut rumah yang memiliki dua lantai dengan delapan kamar tersebut, meski sekarang bukan akhir bulan.

Memang sebenarnya, setiap akhir bulan, Bu Elin akan mengecek kebersihan rumah selain menagih uang sewa.

Omong-omong, sekarang masih pukul enam pagi. Masih jadi sebuah alasan bagi mereka untuk kembali tertidur sehabis beribadah. Biasanya, jam segini cuman ada Mas Satria dan Aji yang langsung melanjutkan kegiatan rutin mereka atau Chris yang meskipun nonis ikut beraktifitas.

Mas Satria dan Chris menjadi dua orang pertama yang menghias di depan teras. Satria selalu bikin panggung dadakan ala musisi jalanan yang memetik gitar di depan teras sembari kolaborasi dengan ayam berkokok, sementara Chris menunggu abang-abang Sariroti lewat demi mendapatkan roti tawar kupas.

Kalau Aji, sih, ketimbang minum susu sebagai sarapan paginya, dia lebih memilih menegak lima botol kecil yakult sambil goleran menonton Ustad Maulana di acara Islam itu Indah.

Subhanallah memang.

Namun, hari ini semuanya terasa berbeda. Anak-anak langsung bergerak untuk membersihkan rumah sesuai dengan tugas masing-masing sehabis subuhan.

Terkecuali dengan pemuda satu ini yang bilang ingin tidur sebentar mengingat dia baru saja pulang magang sekitar pukul sepuluh malam.

Laki-laki itu menguap, menggaruk punggung polosnya dengan mata memberat yang melihat anak-anak sudah memiliki kesibukan.

Satu-satunya perempuan yang tinggal di situ, Kezia, melemparkan kantong sampah pada pemuda itu.

“Buruan pake baju, anjir, Yo,” sebalnya.

Theo, nama laki-laki itu mendengus, “Panas.”

“Makanya, jangan nunggak bayar kosan sampe empat bulan,” sahut Bumi yang sedang mengelap jendela. “Dicabut ‘kan AC-nya.”

Theo lagi-lagi merotasikan matanya malas. Lantas, dia memakai kaus hitam polosnya kemudian berjalan memutar hendak mencuci muka.

“Heh, mau ngapain lo?”

“Ngepet, kenapa? Mau ikut keliling?”

“Ngapain ngepet? ‘Kan lo tinggal mintain balik hadiah yang lo kasih ke mbak mantan.”

Gelakan tawa langsung mengudara ketika Theo kembali mengumpat sembari melemparkan sendal rumah pada Aji yang berbicara seenak dengkulnya.

Kagak sama Jep, kagak sama anak kosan, gue mulu yang dikerjain.

Miris memang.

Yang sabar, ya.

***

Kosan Berpenghuni

Orang-orang mungkin mengira kalau sekarang minggu pagi yang paling cerah.

Benar, sih, cerah.

Namun, saat fajar menyingsing hendak menyapa para penghuni jagat semesta itu, justru hari ini sebuah malapetaka.

Kesialan bagi seluruh anak yang tinggal di “Kosan Berpenghuni.”

Kalau ditanya kenapa disebut berpenghuni? Pasti sahutan sakral pemilik kosan berupa

“Emang namanya ‘Kosan Berpenghuni’ karena ada penghuninya di dalem. Iya, toh?”

Iya bener, sih, gak salah.

Jadi, mari kita mengangguk saja dengan jawaban si Nyai yang selalu berubah jadi iblis jahanam ketika akhir bulan.

Sebenarnya, alasan hari ini ditunjuk sebagai hari malapetaka karena anak Nyai Kosan dan temannya akan mengisi dua kamar kosong.

Katanya biar mandiri.

Maka dari itu, semuanya jadi bangun pagi untuk membersihkan setiap sudut rumah yang memiliki delapan kamar itu dengan dua lantai.

Sejujurnya, memang setiap sebulan sekali, Bu Elin akan mengecek kebersihan rumahnya selain menagih uang kosan.

Biasanya, jam segini cuman ada Mas Satria yang bikin panggung dadakan ala musisi jalanan yang memetik gitar di depan teras sembari kolaborasi dengan ayam berkokok.

Atau sudah ada Aji yang langsung minum yakult pagi-pagi.

Namun, hari ini semuanya berbeda. Anak-anak langsung bergerak untuk membersihkan rumah sesuai dengan tugas masing-masing sehabis subuhan.

Terkecuali dengan pemuda satu ini yang bilang ingin tidur sebentar mengingat dia baru saja pulang magang sekitar pukul sepuluh malam.

Laki-laki itu menguap, menggaruk punggung polosnya dengan mata memberat yang melihat anak-anak sudah memiliki kesibukan.

Satu-satunya perempuan yang tinggal di situ, Kezia, melemparkan kantong sampah pada pemuda itu.

“Buruan pake baju, anjir, Yo,” sebalnya.

Theo, nama laki-laki itu mendengus, “Panas.”

“Makanya jangan nunggak bayar kosan sampe empat bulan,” sahut Bumi yang sedang mengelap jendela. “Dicabut ‘kan AC-nya.”

Theo lagi-lagi merotasikan matanya. Lantas, dia memakai baju hitam polos dan berjalan memutar.

“Heh, mau ngapain lo?”

“Ngepet!”

“Ngapain ngepet? ‘Kan lo tinggal mintain balik hadiah yang lo kasih ke mbak mantan.”

“Si anjir.”

Dan lagi-lagi suara tawa kembali terdengar.

Kagak sama Jep, kagak sama anak kosan, gue mulu yang dikerjain.

***

“Kira-kira cewek apa cowok?” Aji tiba-tiba bersuara ketika semuanya sudah berbaring tepar setelah nyaris seharian ini membersihkan rumah dan kamar mereka masing-masing.

Bumi yang dari tadi geleyotan di punggung Krispi—sebenarnya, nama lengkap pria itu Christopher, tapi dengan seenak jidatnya Bumi memanggilnya Krispi—lantas menyengir.

“Kagak ada namanya menelin sesama penghuni. Entar khilaf lo,” sahut Mas Satria langsung.

Kezia tertawa paling keras, bikin Bumi melemparkan bantal padanya.

“Cewek atau cowok sabeb, deh. Yang penting gak sebelas duabelas blangsatnya kayak Bumi,” sahut Theo.

“Diem lo miskin.”

“KURANG AJAR.”

Dan semuanya kembali mengalir dengan candaan sampai terdengar suara deru mesin yang memarkirkan mobil ke depan rumah. Semuanya langsung bangun.

Berdiri tegak dengan kaku ketika Mas Satria membuka pintu.

Dan dari sana muncul tiga kepala dengan dua presensi asing yang mengekori Bu Elin.

“Udah diberesin, Mas?”

“Udah, Kanjeng.” Gak usah tanya siapa yang berani memanggilnya begitu.

Siapa lagi kalau bukan Bumi yang masih memamerkan cengirannya.

Ketika semua orang terfokus pada ucapan Bu Elin, hanya Theo di sana yang tidak pernah melepaskan pandangannya pada anak perempuan yang kini menyembunyikan badannya di belakang cowok berbadan tinggi tersebut.

Hingga akhirnya, Theo membelalak dengan mulutnya yang menganga lebar.

Ketika Bu Elin yang masih menjelaskan, Theo justru langsung berteriak heboh dengan suara kerasnya yang berceplas-ceplos.

“WANJIR, LO PACARNYA DEWA, YA?”

Dan keheningan langsung melanda di atmosfer mereka ketika penyakit begonya Theo kembali kambuh.

Kosan Berpenghuni

Orang-orang mungkin mengira kalau sekarang minggu pagi yang paling cerah.

Benar, sih, cerah.

Namun, saat fajar menyingsing hendak menyapa para penghuni jagat semesta itu, justru hari ini sebuah malapetaka.

Kesialan bagi seluruh anak yang tinggal di “Kosan Berpenghuni.”

Kalau ditanya kenapa disebut berpenghuni? Pasti sahutan sakral pemilik kosan berupa

“Emang namanya ‘Kosan Berpenghuni’ karena ada penghuninya di dalem. Iya, toh?”

Iya bener, sih, gak salah.

Jadi, mari kita mengangguk saja dengan jawaban si Nyai yang selalu berubah jadi iblis jahanam ketika akhir bulan.

Sebenarnya, alasan hari ini ditunjuk sebagai hari malapetaka karena anak Nyai Kosan dan temannya akan mengisi dua kamar kosong.

Katanya biar mandiri.

Maka dari itu, semuanya jadi bangun pagi untuk membersihkan setiap sudut rumah yang memiliki delapan kamar itu dengan dua lantai.

Sejujurnya, memang setiap sebulan sekali, Bu Elin akan mengecek kebersihan rumahnya selain menagih uang kosan.

Biasanya, jam segini cuman ada Mas Satria yang bikin panggung dadakan ala musisi jalanan yang memetik gitar di depan teras sembari kolaborasi dengan ayam berkokok.

Atau sudah ada Aji yang langsung minum yakult pagi-pagi.

Namun, hari ini semuanya berbeda. Anak-anak langsung bergerak untuk membersihkan rumah sesuai dengan tugas masing-masing sehabis subuhan.

Terkecuali dengan pemuda satu ini yang bilang ingin tidur sebentar mengingat dia baru saja pulang magang sekitar pukul sepuluh malam.

Laki-laki itu menguap, menggaruk punggung polosnya dengan mata memberat yang melihat anak-anak sudah memiliki kesibukan.

Satu-satunya perempuan yang tinggal di situ, Kezia, melemparkan kantong sampah pada pemuda itu.

“Buruan pake baju, anjir, Yo,” sebalnya.

Theo, nama laki-laki itu mendengus, “Panas.”

“Makanya jangan nunggak bayar kosan sampe empat bulan,” sahut Bumi yang sedang mengelap jendela. “Dicabut ‘kan AC-nya.”

Theo lagi-lagi merotasikan matanya. Lantas, dia memakai baju hitam polos dan berjalan memutar.

“Heh, mau ngapain lo?”

“Ngepet!”

“Ngapain ngepet? ‘Kan lo tinggal mintain balik hadiah yang lo kasih ke mbak mantan.”

“Si anjir.”

Dan lagi-lagi suara tawa kembali terdengar.

Kagak sama Jep, kagak sama anak kosan, gue mulu yang dikerjain.

***

“Kira-kira cewek apa cowok?” Aji tiba-tiba bersuara ketika semuanya sudah berbaring tepar setelah nyaris seharian ini membersihkan rumah dan kamar mereka masing-masing.

Bumi yang dari tadi geleyotan di punggung Krispi—sebenarnya, nama lengkap pria itu Christopher, tapi dengan seenak jidatnya Bumi memanggilnya Krispi—lantas menyengir.

“Kagak ada namanya menelin sesama penghuni. Entar khilaf lo,” sahut Mas Satria langsung.

Kezia tertawa paling keras, bikin Bumi melemparkan bantal padanya.

“Cewek atau cowok sabeb, deh. Yang penting gak sebelas duabelas blangsatnya kayak Bumi,” sahut Theo.

“Diem lo miskin.”

“KURANG AJAR.”

Dan semuanya kembali mengalir dengan candaan sampai terdengar suara deru mesin yang memarkirkan mobil ke depan rumah. Semuanya langsung bangun.

Berdiri tegak dengan kaku ketika Mas Satria membuka pintu.

Dan dari sana muncul tiga kepala dengan dua presensi asing yang mengekori Bu Elin.

“Udah diberesin, Mas?”

“Udah, Kanjeng.” Gak usah tanya siapa yang berani memanggilnya begitu.

Siapa lagi kalau bukan Bumi yang masih memamerkan cengirannya.

Ketika semua orang terfokus pada ucapan Bu Elin, hanya Theo di sana yang tidak pernah melepaskan pandangannya pada anak perempuan yang kini menyembunyikan badannya di belakang cowok berbadan tinggi tersebut.

Hingga akhirnya, Theo membelalak dengan mulutnya yang menganga lebar.

Ketika Bu Elin yang masih menjelaskan, Theo justru langsung berteriak heboh dengan suara kerasnya yang berceplas-ceplos.

“WANJIR, LO PACARNYA DEWA, YA?”

Dan keheningan langsung melanda di atmosfer mereka ketika penyakit begonya Theo kambuh.

Kosan Berpenghuni

Orang-orang mungkin mengira kalau sekarang minggu pagi yang paling cerah.

Benar, sih, cerah.

Namun, saat fajar menyingsing hendak menyapa para penghuni jagat semesta itu, justru hari ini sebuah malapetaka.

Kesialan bagi seluruh anak yang tinggal di “Kosan Berpenghuni.”

Kalau ditanya kenapa disebut berpenghuni? Pasti sahutan sakral pemilik kosan berupa

“Emang namanya ‘Kosan Berpenghuni’ karena ada penghuninya di dalem. Iya, toh?”

Iya bener, sih, gak salah.

Jadi, mari kita mengangguk saja dengan jawaban si Nyai yang selalu berubah jadi iblis jahanam ketika akhir bulan.

Sebenarnya, alasan hari ini ditunjuk sebagai hari malapetaka karena anak Nyai Kosan dan temannya akan mengisi dua kamar kosong.

Katanya biar mandiri.

Maka dari itu, semuanya jadi bangun pagi untuk membersihkan setiap sudut rumah yang memiliki delapan kamar itu dengan dua lantai.

Sejujurnya, memang setiap sebulan sekali, Bu Elin akan mengecek kebersihan rumahnya selain menagih uang kosan.

Biasanya, jam segini cuman ada Mas Satria yang bikin panggung dadakan ala musisi jalanan yang memetik gitar di depan teras sembari kolaborasi dengan ayam berkokok.

Atau sudah ada Aji yang langsung minum yakult pagi-pagi.

Namun, hari ini semuanya berbeda. Anak-anak langsung bergerak untuk membersihkan rumah sesuai dengan tugas masing-masing sehabis subuhan.

Terkecuali dengan pemuda satu ini yang bilang ingin tidur sebentar mengingat dia baru saja pulang magang sekitar pukul sepuluh malam.

Laki-laki itu menguap, menggaruk punggung polosnya dengan mata memberat yang melihat anak-anak sudah memiliki kesibukan.

Satu-satunya perempuan yang tinggal di situ, Kezia, melemparkan kantong sampah pada pemuda itu.

“Buruan pake baju, anjir, Yo,” sebalnya.

Theo, nama laki-laki itu mendengus, “Panas.”

“Makanya jangan nunggak bayar kosan sampe empat bulan,” sahut Bumi yang sedang mengelap jendela. “Dicabut ‘kan AC-nya.”

Theo lagi-lagi merotasikan matanya. Lantas, dia memakai baju hitam polos dan berjalan memutar.

“Heh, mau ngapain lo?”

“Ngepet!”

“Ngapain ngepet? ‘Kan lo tinggal mintain balik hadiah yang lo kasih ke mbak mantan.”

“Si anjir.”

Dan lagi-lagi suara tawa kembali terdengar.

Kagak sama Jep, kagak sama anak kosan, gue mulu yang dikerjain.

***

“Kira-kira cewek apa cowok?” Aji tiba-tiba bersuara ketika semuanya sudah berbaring tepar setelah nyaris seharian ini membersihkan rumah dan kamar mereka masing-masing.

Bumi yang dari tadi geleyotan di punggung Krispi—sebenarnya, nama lengkap pria itu Christopher, tapi dengan seenak jidatnya Bumi memanggilnya Krispi—lantas menyengir.

“Kagak ada namanya menelin sesama penghuni. Entar khilaf lo,” sahut Mas Satria langsung.

Kezia tertawa paling keras, bikin Bumi melemparkan bantal padanya.

“Cewek atau cowok sabeb, deh. Yang penting gak sebelas duabelas blangsatnya kayak Bumi,” sahut Theo.

“Diem lo miskin.”

“KURANG AJAR.”

Dan semuanya kembali mengalir dengan candaan sampai terdengar suara deru mesin yang memarkirkan mobil ke depan rumah. Semuanya langsung bangun.

Berdiri tegak dengan kaku ketika Mas Satria membuka pintu.

Dan dari sana muncul tiga kepala dengan dua presensi asing yang mengekori Bu Elin.

“Udah diberesin, Mas?”

“Udah, Kanjeng.” Gak usah tanya siapa yang berani memanggilnya begitu.

Siapa lagi kalau bukan Bumi yang masih memamerkan cengirannya.

Ketika semua orang terfokus pada ucapan Bu Elin, hanya Theo di sana yang tidak pernah melepaskan pandangannya pada anak perempuan yang kini menyembunyikan badannya di belakang cowok berbadan tinggi tersebut.

Hingga akhirnya, Theo membelalak dengan mulutnya yang menganga lebar.

Ketika Bu Elin yang masih menjelaskan, Theo justru langsung berteriak heboh dengan suara kerasnya yang berceplas-ceplos.

“WANJIR, LO PACARNYA DEWA, YA?”

Dan keheningan langsung melanda di atmosfer mereka ketika penyakit begonya Theo kambuh.

Kegaduhan yang dihasilkan dari resleting koper yang ditutup, menjadi pertanda bahwa aktifitas Laura telah selesai.

Ia menghela napas, sembari mengibaskan wajah peluhnya dengan tangan meski jelas-jelas Air Conditioner telah menyala dari beberapa jam yang lalu.

Gadis itu mengedarkan pandangannya. Menatap dengan seksama di mana kamarnya sebagai saksi bisu atas pelarian tempat di mana Laura merasa penat akan dunia.

Menjadi saksi bisu di mana banyak tumpahan air mata yang ia luapkan di sini.

Kini, kamarnya sudah benar-benar rapih. Hanya sebatas kasur, lemari, meja belajar, dan tanaman kaktus yang ia taruh di dekat jendela.

Jika kamarnya ini dapat berbicara, mungkin seisi dunia akan tahu siapa gadis itu sebenarnya.

Dia tidak sekuat ini karena nyatanya dia mudah rapuh.

Dia tidak setegar itu karena nyatanya dia mudah terluka.

Laura barangkali bukan anak yang paling menyedihkan di alam semesta ini, tetapi ia tetap bersyukur karena setidaknya dia bisa bebas dari banyak luka.

Sejatinya, Laura benar-benar menginginkan bila orang tuanya melarangnya untuk pergi.

Menginginkan bila mereka masih menginginkan gadis itu.

Namun, angan tetap angan.

Mereka bahkan tidak ada di rumah ketika kepindahan Laura hari ini tiba.

Dia tersenyum tipis, kemudian mengambil selembar kertas dan menulis kata-kata di sana.

Lun, Gue tahu kalau sebenarnya lo masih punya dendam sama gue.

Gue tahu kalau lo masih nyalahin gue.

Gue tahu kalau lo gak bakal maafin gue.

Tapi, pernah gak sih barang sehari aja lo beneran nganggep gue kakak lo?

Gue seneng ketika lo ngandelin gue. Ketika lo nitip dibeliin makanan. Mengira kalau gue udah dimaafkan, tapi ternyata enggak, ya?

Gue berasa dipermainkan sama lo tahu, gak?

Lun, gue sayang sama lo. Walaupun gue tahu lo benci sama gue karena gak nolongin lo waktu itu.

Jagain mama sama papa. Jangan buat aneh-aneh jadi anak.

Belajar yang bener, gue tunggu lo tahun depan.

Bersamaan dengan goresan akhir itu, Laura terdiam sebentar. Memandang kembali tulisannya.

Direcoki lagi tulisannya dengan sebuah corat-coret, sampai ia meremukan kertas itu lalu memasukannya ke dalam tong sampah.

Laura menghela napas, menggeret koper di mana Lucas sudah menunggunya di bawah.

Sebelum pergi sepenuhnya, ia sekali lagi menoleh. Menatap kamar tersebut.

Bersamaan dengan dentuman pintu yang ditutup, terdengar pula jika Laura membalikan lembaran kehidupannya dengan halaman kosong sebagai goresan cerita di mana ia akan berjanji.

Laura berjanji jika setelah ini perempuan itu akan bahagia.

Dari sekian banyak alasan mengapa setian insan dihidupkan dalam kesengsaraan, mungkin saya akan menjawab satu.

Tanpa bisa dibantah.

Tanpa bisa diganggu.

Tanpa bisa digugat.

Yaitu penyesalan.

Masih terbayang dengan jelas bagaimana jeritan Laura sewaktu tangan saya memegangnya.

Seolah seperti radio rusak, kehisterisannya benar-benar terngiang-ngiang di pikiran.

Mendominasi di sana hingga rasanya kau merasa jika otakmu dicuci dengan jeritan lukanya.

Setiap kali mengingat ia yang buru-buru menepis, langsung menjauh, bernapas dengan raupan serakah, dan menghindar ketika berjalan mendekat, sesakan itu kembali terasa.

Padahal, sudah lewat dua minggu, tapi itu semua masih menghantui, masih membelenggu di sana.

Maaf, Ra.

Maaf sejuta maaf.

Lagi-lagi gue memilih sebagai pengecut.

Lagi-lagi gue memilih sebagai pecundang.

Dan lagi-lagi gue kembali menyalahkan diri gue sendiri.

Ra, maaf, ya?

Randika Dewa minta maaf

Dipejamkan mata, lantas saya kembali meringkuk di lantai, memandang kamar yang kini benar-benar seperti kapal pecah, seolah-olah bekas dirampok.

Tidak ada yang utuh di sana. Segala vas, cermin, dan objek berkaca lainnya sudah tidak berbentuk dengan serpihan yang berserakan di mana-mana.

Didengus sesaat, lantas saya memandang langit-langit. Membiarkan mereka yang kini memata-matai umatnya.

Membiarkan mereka menghakimi dengan mendatangkan penyesalan akan segala luka yang saya beri pada Laura.

Saya mendengus. Mengalihkan pandangan pada tangan yang kini penuh dengan goresan luka di sana.

Telapak tangan di mana saya terakhir kali menyentuhnya.

Di mana rasa terkejut akan tepisannya di sana.

Di mana rasa kaget yang membuncah saat jeritannya mengudara.

Menolehkan kepala pada jendela yang berseberangan langsung dengan kamarnya, lagi-lagi air mata membendung di kelopak sana.

Membiarkan setitik itu mengalir dengan mata yang terpejam.

Ra, maaf.

Gue cuman bisa ngeliat lo dari radar sini.

Gue cuman bisa ngelindungin lo melalui perantara Jep.

Ra, jangan terluka lagi, ya?

Jangan nangis lagi di depan gue.

Jangan temuin gue lagi karena yang ada lo malah ke napa-napa.

Jangan ketemu gue lagi karena yang ada lo malah kebuka luka lama ketika lo udah menyiapkan lembaran baru.

Oh iya, Ra. Satu lagi.

Gue gak bisa bahagiain adek lo.

Gue bukan orang yang tepat untuk dititipin.

Ra, gue cuman bisa ngelindungin lo dengan cara ini.

Maaf sekali lagi.

Gue lagi-lagi mengikari kepercayaan lo.

Seperti apa kata lo, gue bukan orang yang bisa dipercayai.

Gue gak bisa jagain adek lo.

Karena yang gue mau itu lo.

Sejatinya, Jakarta di malam hari itu benar-benar penganggu ketenangan setiap insan.

Mendatangkan hiruk-pikuk tak ada batas. Kebisingan, kegaduhan, keributan, dan entah definisi apa lagi yang mampu menggambarkannya, menghasilkan nelangsa tanpa ukur bagi metropolis tak kenal semangat jua.

Namun, entah kenapa, definisi yang menggambarkan betapa ributnya Jakarta tersebut tidak ada yang merasakannya di antara atmosfer mereka berdua.

Kebisingan Jakarta memang ada, tetapi tidak dengan Laura dan Dewa yang kini duduk di ayunan.

Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara. Justru kecanggungan dan kekikukan badan yang mengambil suara.

Dewa tiba-tiba saja berpikir.

Kapan terakhir kali dia memiliki waktu berdua saja dengan Laura?

Kapan terakhir kali dia punya quality time dengan Laura?

Kapan terakhir kali mereka berbicara hal-hal random tak masuk akal sampai tidak mengenal waktu?

Juga, kecanggungan di antara mereka ini dimulai sejak kapan?

Memikirkannya saja membuat Dewa mendengus.

Ternyata memang benar.

Waktu sungguhan sebuah kunci hidup penuh misteri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Padahal, cuman bergulir satu tahun, tetapi semuanya berubah total.

Tidak ada candaan, ledekan, serta gelakan tawa, tetapi yang merayap justru kebisuan, keseganan, serta kekakuan.

Dan semua itu terjadi bukan cuman karena waktu. Namun, karena ulahnya.

Karena tangannya.

Serta tentang perasaannya.

Dewa yang mengubah semuanya hingga menjadi seperti ini.

Dewa yang merecoki hubungan mereka berdua.

Dan Dewa pula yang memang seharusnya untuk meminta maaf.

Namun, yang berbicara untuk mengatakan kata sakral itu justru dari birai gadis tersebut.

Laura yang sedari tadi hanya diam, kini berbicara dengan suara pelannya

“Maaf.”

Dewa membisu, tidak mengerti dengan ulah dadakan Laura. Saat perkataannya itu membuat ernyitan alis di raut Dewa, gadis itu tidak langsung menjawab.

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

Laura tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, ngeblokir semua social media itu tingkah kekanak-kanakan, ya? Gue sendiri yang membatasi semua hubungan. Padahal, kalau gue gak ngelakuin itu, kita gak bakal berada di suasana canggung kayak gini.”

Dewa membisu, terlarut dalam banyak pikiran yang menggentayanginya. Dia pribadi tidak mengerti, kenapa justru perempuan itu yang meminta maaf.

Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah di sini.

Maka, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Dewa buru-buru mengangkat suara.

“Ra—“

“Kak? Inget gak, sih? RPTRA jadi tempat bersejarah di mana kita mulai bicara. Di mana lo bantuin gue buat ngendarain sepeda dan sejak itu jadi ngalir,” jeda Laura sebentar tanpa mau menatap Dewa yang kini dirundung kegundahan. “Aneh gak, sih? Kalau ini jadi tempat kita buat mengakhiri sejarah juga?”

Ucapan Laura lantas membuat Dewa mati kutu. Membuat pemuda itu semakin dirundung penyesalan.

Dan semuanya itu semakin jelas saat Laura bilang,

“Gue pengen banget benci sama lo, Kak ... Tapi, gue gak bisa.”

Bersama suaranya yang terdengar bergetar.

“Gue benci jadi diri gue sendiri yang terlalu baik. Gue benci sama diri gue yang lahir jadi anak gak enakan. Gue benci sama diri gue sendiri yang gak bisa egois,” jeda Laura sebentar, “Pun gue benci sama diri gue yang gak bisa jahat.”

“Padahal, banyak luka yang lo kasih. Tapi, lo juga punya banyak kebaikan yang lo beri ke gue. Lo yang ngajarin gue naik sepeda, lo yang nemenin gue buat ngomong di balkon, lo jadi orang pertama buat gue minta jemput, lo yang gak peduli tentang waktu baik pagi atau malem asal gue udah makan.

“Lo juga satu-satunya orang yang nanggepin semua ocehan gue,” jeda Laura kini mampu menatap Dewa tepat di matanya. “Tapi itu dulu. Sampai akhirnya gue takut buat percaya sama orang. Takut buat terbuka ke orang lain.”

“Lo baik, Kak. Tapi di satu sisi lo juga jahat ke gue. Tiap kali gue yang nyumpahin lo karena bikin gue ketakutan buat percaya sama orang lain, di waktu itu pula gue juga mikirin betapa baiknya lo selama itu.”

Laura berdiri, menghapus air matanya, kemudian tersenyum samar.

“Bahagiain adek gue, ya? Gue masih merasa bersalah karena gak bisa ngelindungin dia, walaupun gue masih satu domisili sama dia,” ucapnya lalu melangkah untuk pergi.

Sebelum Laura seutuhnya meninggalkan laki-laki itu, Dewa buru-buru berdiri.

“Ra,” panggilnya. Menahan tangan perempuan itu. Sekaligus sebagai petanda bahwa Dewa selamanya tidak bisa terus-terusan berdiam diri.

Namun, sebelum sang adam mengangkat suara, Laura menjerit sembari menepis tangan Dewa.

Perempuan itu buru-buru menjauh, menghirup banyak oksigen dengan serakah serta memejamkan mata berniat untuk menetralkan pernapasan.

Dewa terlampau terkejut dan melihat telapak tangannya yang baru saja ditepis oleh Laura. Ia juga baru menyadari jika gadis itu bermandikan peluh dari wajah hingga lehernya.

Ada banyak asumsi yang tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia menatap tangan dan Laura gantian yang kini memandangnya sulit untuk diartikan.

Dewa sudah was-was. Pikirannya penuh dengan dugaan yang tidak-tidak. Membuat laki-laki itu tidak bisa lagi menafsirkan seberapa banyak luka yang ia beri pada gadis itu.

Astaga, Tuhan, jangan sampai ....

Rapalnya berulang kali.

Kembali berjalan mendekat dan ia melihat perempuan itu lagi-lagi memilih mundur.

Napas Dewa tersekat, rasanya begitu sesak saat Laura menggeleng sembari menahan tangis.

“Kak, please jangan mendekat.”

Seolah seperti ledakan hebat di otaknya, membuat Dewa terdiam bukan main.

Asumsinya benar.

Semua goresan yang ia beri, tentang kepercayaan yang membuatnya hancur, mengakibatkan Laura begini.

Mengakibatkan Laura takut padanya.

Dewa, bodoh. Lo rasanya gak pantas untuk dimaafin karena perempuan itu sekarang takut sama lo.

Sejatinya, Jakarta di malam hari itu benar-benar penganggu ketenangan setiap insan.

Mendatangkan hiruk-pikuk tak ada batas. Kebisingan, kegaduhan, keributan, dan entah definisi apa lagi yang mampu menggambarkannya, menghasilkan nelangsa tanpa ukur bagi metropolis tak kenal semangat jua.

Namun, entah kenapa, definisi yang menggambarkan betapa ributnya Jakarta tersebut tidak ada yang merasakannya di antara atmosfer mereka berdua.

Kebisingan Jakarta memang ada, tetapi tidak dengan Laura dan Dewa yang kini duduk di ayunan.

Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara. Justru kecanggungan dan kekikukan badan yang mengambil suara.

Dewa tiba-tiba saja berpikir.

Kapan terakhir kali dia memiliki waktu berdua saja dengan Laura?

Kapan terakhir kali dia punya quality time dengan Laura?

Kapan terakhir kali mereka berbicara hal-hal random tak masuk akal sampai tidak mengenal waktu?

Juga, kecanggungan di antara mereka ini dimulai sejak kapan?

Memikirkannya saja membuat Dewa mendengus.

Ternyata memang benar.

Waktu sungguhan sebuah kunci hidup penuh misteri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Padahal, cuman bergulir satu tahun, tetapi semuanya berubah total.

Tidak ada candaan, ledekan, serta gelakan tawa, tetapi yang merayap justru kebisuan, keseganan, serta kekakuan.

Dan semua itu terjadi bukan cuman karena waktu. Namun, karena ulahnya.

Karena tangannya.

Serta tentang perasaannya.

Dewa yang mengubah semuanya hingga menjadi seperti ini.

Dewa yang merecoki hubungan mereka berdua.

Dan Dewa pula yang memang seharusnya untuk meminta maaf.

Namun, yang berbicara untuk mengatakan kata sakral itu justru dari birai gadis tersebut.

Laura yang sedari tadi hanya diam, kini berbicara dengan suara pelannya

“Maaf.”

Dewa membisu, tidak mengerti dengan ulah dadakan Laura. Saat perkataannya itu membuat ernyitan alis di raut Dewa, gadis itu tidak langsung menjawab.

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

Laura tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, ngeblokir semua social media itu tingkah kekanak-kanakan, ya? Gue sendiri yang membatasi semua hubungan. Padahal, kalau gue gak ngelakuin itu, kita gak bakal berada di suasana canggung kayak gini.”

Dewa membisu, terlarut dalam banyak pikiran yang menggentayanginya. Dia pribadi tidak mengerti, kenapa justru perempuan itu yang meminta maaf.

Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah di sini.

Maka, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Dewa buru-buru mengangkat suara.

“Ra—“

“Kak? Inget gak, sih? RPTRA jadi tempat bersejarah di mana kita mulai bicara. Di mana lo bantuin gue buat ngendarain sepeda dan sejak itu jadi ngalir,” jeda Laura sebentar tanpa mau menatap Dewa yang kini dirundung kegundahan. “Aneh gak, sih? Kalau ini jadi tempat kita buat mengakhiri sejarah juga?”

Ucapan Laura lantas membuat Dewa mati kutu. Membuat pemuda itu semakin dirundung penyesalan.

Dan semuanya itu semakin jelas saat Laura bilang,

“Gue pengen banget benci sama lo, Kak ... Tapi, gue gak bisa.”

Bersama suaranya yang terdengar bergetar.

“Gue benci jadi diri gue sendiri yang terlalu baik. Gue benci sama diri gue yang lahir jadi anak gak enakan. Gue benci sama diri gue sendiri yang gak bisa egois,” jeda Laura sebentar, “Pun gue benci sama diri gue yang gak bisa jahat.”

“Padahal, banyak luka yang lo kasih. Tapi, lo juga punya banyak kebaikan yang lo beri ke gue. Lo yang ngajarin gue naik sepeda, lo yang nemenin gue buat ngomong di balkon, lo jadi orang pertama buat gue minta jemput, lo yang gak peduli tentang waktu baik pagi atau malem asal gue udah makan.

“Lo juga satu-satunya orang yang nanggepin semua ocehan gue,” jeda Laura kini mampu menatap Dewa tepat di matanya. “Tapi itu dulu. Sampai akhirnya gue takut buat percaya sama orang. Takut buat terbuka ke orang lain.”

“Lo baik, Kak. Tapi di satu sisi lo juga jahat ke gue. Tiap kali gue yang nyumpahin lo karena bikin gue ketakutan buat percaya sama orang lain, di waktu itu pula gue juga mikirin betapa baiknya lo selama itu.”

Laura berdiri, menghapus air matanya, kemudian tersenyum samar.

“Bahagiain adek gue, ya? Gue masih merasa bersalah karena gak bisa ngelindungin dia, walaupun gue masih satu domisili sama dia,” ucapnya lalu melangkah untuk pergi.

Sebelum Laura seutuhnya meninggalkan laki-laki itu, Dewa buru-buru berdiri.

“Ra,” panggilnya. Menahan tangan perempuan itu. Sekaligus sebagai petanda bahwa Dewa selamanya tidak bisa terus-terusan berdiam diri.

Namun, sebelum sang adam mengangkat suara, Laura menjerit sembari menepis tangan Dewa.

Perempuan itu buru-buru menjauh, menghirup banyak oksigen dengan serakah serta memejamkan mata berniat untuk menetralkan pernapasan.

Dewa terlampau terkejut dan melihat telapak tangannya yang baru saja ditepis oleh Laura. Ia juga baru menyadari jika gadis itu bermandikan peluh dari wajah hingga lehernya.

Ada banyak asumsi yang tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia menatap tangan dan Laura gantian yang kini menandangnya sulit untuk diartikan.

Dewa sudah was-was. Pikirannya penuh dengan dugaan yang tidak-tidak. Membuat laki-laki itu tidak bisa lagi menafsirkan seberapa banyak luka yang ia beri pada gadis itu.

Astaga, Tuhan, jangan sampai ....”

Rapalnya berulang kali.

Kembali berjalan mendekat dan ia melihat perempuan itu lagi-lagi memilih mundur.

Napas Dewa tersekat, rasanya begitu sesak saat ia menggeleng sembari menahan tangis.

“Kak, please jangan mendekat.”

Seolah seperti ledakan, membuat Dewa terdiam bukan main.

Asumsinya benar.

Semua goresan yang ia beri, tentang kepercayaan yang membuatnya hancur, mengakibatkan Laura begini.

Mengakibatkan Laura takut padanya.

Dewa, bodoh. Lo rasanya gak pantas untuk dimaafin karena perempuan itu sekarang takut sama lo.

Sejatinya, Jakarta di malam hari itu benar-benar penganggu ketenangan setiap insan.

Mendatangkan hiruk-pikuk tak ada batas. Kebisingan, kegaduhan, keributan, dan entah definisi apa lagi yang mampu menggambarkannya, menghasilkan nelangsa tanpa ukur bagi metropolis tak kenal semangat jua.

Namun, entah kenapa, definisi yang menggambarkan betapa ributnya Jakarta tersebut tidak ada yang merasakannya di antara atmosfer mereka berdua.

Kebisingan Jakarta memang ada, tetapi tidak dengan Laura dan Dewa yang kini duduk di ayunan.

Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara. Justru kecanggungan dan kekikukan badan yang mengambil suara.

Dewa tiba-tiba saja berpikir.

Kapan terakhir kali dia memiliki waktu berdua saja dengan Laura?

Kapan terakhir kali dia punya quality time dengan Laura?

Kapan terakhir kali mereka berbicara hal-hal random tak masuk akal sampai tidak mengenal waktu?

Juga, kecanggungan di antara mereka ini dimulai sejak kapan?

Memikirkannya saja membuat Dewa mendengus.

Ternyata memang benar.

Waktu sungguhan sebuah kunci hidup penuh misteri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Padahal, cuman bergulir satu tahun, tetapi semuanya berubah total.

Tidak ada candaan, ledekan, serta gelakan tawa, tetapi yang merayap justru kebisuan, keseganan, serta kekakuan.

Dan semua itu terjadi bukan cuman karena waktu. Namun, karena ulahnya.

Karena tangannya.

Serta tentang perasaannya.

Dewa yang mengubah semuanya hingga menjadi seperti ini.

Dewa yang merecoki hubungan mereka berdua.

Dan Dewa pula yang memang seharusnya untuk meminta maaf.

Namun, yang berbicara untuk mengatakan kata sakral itu justru dari birai gadis tersebut.

Laura yang sedari tadi hanya diam, kini berbicara dengan suara pelannya

“Maaf.”

Dewa membisu, tidak mengerti dengan ulah dadakan Laura. Saat perkataannya itu membuat ernyitan alis di raut Dewa, gadis itu tidak langsung menjawab.

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

Laura tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, ngeblokir semua social media itu tingkah kekanak-kanakan, ya? Gue sendiri yang membatasi semua hubungan. Padahal, kalau gue gak ngelakuin itu, kita gak bakal berada di suasana canggung kayak gini.”

Dewa membisu, terlarut dalam banyak pikiran yang menggentayanginya. Dia pribadi tidak mengerti, kenapa justru perempuan itu yang meminta maaf.

Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah di sini.

Maka, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Dewa buru-buru mengangkat suara.

“Ra—“

“Kak? Inget gak, sih? RPTRA jadi tempat bersejarah di mana kita mulai bicara. Di mana lo bantuin gue buat ngendarain sepeda dan sejak itu jadi ngalir,” jeda Laura sebentar tanpa mau menatap Dewa yang kini dirundung kegundahan. “Aneh gak, sih? Kalau ini jadi tempat kita buat mengakhiri sejarah juga?”

Ucapan Laura lantas membuat Dewa mati kutu. Membuat pemuda itu semakin dirundung penyesalan.

Dan semuanya itu semakin jelas saat Laura bilang,

“Gue pengen banget benci sama lo, Kak ... Tapi, gue gak bisa.”

Bersama suaranya yang terdengar bergetar.

“Gue benci jadi diri gue sendiri yang terlalu baik. Gue benci sama diri gue yang lahir jadi anak gak enakan. Gue benci sama diri gue sendiri yang gak bisa egois,” jeda Laura sebentar, “Pun gue benci sama diri gue yang gak bisa jahat.”

“Padahal, banyak luka yang lo kasih. Tapi, lo juga punya banyak kebaikan yang lo beri ke gue. Lo yang ngajarin gue naik sepeda, lo yang nemenin gue buat ngomong di balkon, lo jadi orang pertama buat gue minta jemput, lo yang gak peduli tentang waktu baik pagi atau malem asal gue udah makan.

“Lo juga satu-satunya orang yang nanggepin semua ocehan gue,” jeda Laura kini mampu menatap Dewa tepat di matanya. “Tapi itu dulu. Sampai akhirnya gue takut buat percaya sama orang. Takut buat terbuka ke orang lain.”

“Lo baik, Kak. Tapi di satu sisi lo juga jahat ke gue. Tiap kali gue yang nyumpahin lo karena bikin gue ketakutan buat percaya sama orang lain, di waktu itu pula gue juga mikirin betapa baiknya lo selama itu.”

Laura berdiri, menghapus air matanya, kemudian tersenyum samar.

“Bahagiain adek gue, ya? Gue masih merasa bersalah karena gak bisa ngelindungin dia, walaupun gue masih satu domisili sama dia,” ucapnya lalu melangkah untuk pergi.

Sebelum Laura seutuhnya meninggalkan laki-laki itu, Dewa buru-buru berdiri.

“Ra,” panggilnya. Menahan tangan perempuan itu. Sekaligus sebagai petanda bahwa Dewa selamanya tidak bisa terus-terusan berdiam diri.

Namun, sebelum sang adam mengangkat suara, Laura menjerit sembari menepis tangan Dewa.

Perempuan itu buru-buru menjauh, menghirup banyak oksigen dengan serakah serta memejamkan mata berniat untuk menetralkan pernapasan.

Dewa terlampau terkejut dan melihat telapak tangannya yang baru saja ditepis oleh Laura. Ia juga baru menyadari jika gadis itu bermandikan peluh dari wajah hingga lehernya.

Ada banyak asumsi yang tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia menatap tangan dan Laura gantian yang kini menandangnya sulit untuk diartikan.

Dewa sudah was-was. Pikirannya penuh dengan dugaan yang tidak-tidak. Membuat laki-laki itu tidak bisa lagi menafsirkan seberapa banyak luka yang ia beri pada gadis itu.

*Astaga, Tuhan, jangan sampai ....”

Rapalnya berulang kali.

Kembali berjalan mendekat dan ia melihat perempuan itu lagi-lagi memilih mundur.

Napas Dewa tersekat, rasanya begitu sesak saat ia menggeleng sembari menahan tangis.

“Kak, please jangan mendekat.”

Seolah seperti ledakan, membuat Dewa terdiam bukan main.

Asumsinya benar.

Semua goresan yang ia beri, tentang kepercayaan yang membuatnya hancur, mengakibatkan Laura begini.

Mengakibatkan Laura takut padanya.

Dewa, bodoh. Lo rasanya gak pantas untuk dimaafin karena perempuan itu sekarang takut sama lo.