Masih edisi Kosan Berpenghuni
“Kira-kira, cewek apa cowok?”
Suara Aji yang berbicara dadakan itu langsung membuat keheningan yang tadinya berpusat pada tontonan sinetron sembari rebahan karena tepar membersihkan rumah dan kamar masing-masing, lantas tertuju padanya.
Baru saja Bumi hendak menyahut, langsung dicegat duluan oleh Satria yang mendengus. “Gak usah menelin kalaupun yang datang nanti cewek.”
Pemuda itu memberengut. “Ya, abisan. Yang ini udah punya pawang duluan sebelum digas.”
Kezia, satu-satunya orang yang tiduran di sofa karena anak penghuni selalu memprioritaskannya, lantas melemparkan bantal pada Bumi.
Bumi tergelak. “Lo kalau putus nanti, kasih tau gue, ya. Biar langsung gue kabarin sama orang rumah.”
“Jangan gitu, Bang. Zia udah diajakin serius. Lagipula, gak tahu diri banget lo, tiap akhir bulan ‘kan si pawangnya Zia yang selalu traktir kita makan,” sahut Chris yang langsung dijawab anggukan, bikin anak-anak langsung menyoraki laki-laki tersebut.
Bumi merasa terpojokkan, bahkan Chris dengan kurang ajarnya langsung menindih badannya, disusul dengan Aji diatas.
“Gue, sih, siapa aja, deh. Asal jangan sebelas duabelas blangsatnya kayak Bumi. Istigfar mulu nanti gue,” jawab Theo.
Aji yang masih sibuk bergulat meski anak paling bawah meminta untuk bangkit dari tubuhnya langsung mendengus. “Ah, gak usah ngomongin masalah akhlak, Bang. Lo aja ngakunya bakal diusir dari kosan ke mbak mantan. Padahal, kalungnya digadain buat taruhan bola sama Bang Bumi.”
Anak-anak mendengarnya langsung melotot, bikin Theo saat itu langsung menyengir dengan wajah tanpa rasa berdosanya.
“ANJIR, DEMI APA SIH, YO?”
“AKHLAKLESS BAT LO.”
Sekarang, gantian Theo yang ditiban badannya ditambah dengan Bumi yang punya dendam kesumut lantaran kemarin Liverpool diledeki habis-habisan karena kalah di Liga Inggris kemarin.
Di tengah gelakan tawa dan jeritan kesakitan Theo yang meminta pertolongan, semuanya mendadak hening ketika mendengar deru mesin yang amat dikenali itu telah memarkiran mobilnya.
Semuanya langsung menelan ludah, tahu kalau sebentar lagi ajal mereka sudah dekat. Buru-buru karpet yang tadinya berantakan langsung kembali dirapihkan dan Zia juga langsung menaruh bantal yang sempat ia lempar.
Bu Elin sebenarnya memang baik, tapi kalau urusan kebersihan dia memang tegas. Anak-anak juga memaklumi ketegasannya yang mencabut Air Conditioner kalau sudah empat bulan menunggak uang sewaan seperti yang Theo lakukan.
Karena biasanya, di tempat lain sudah diusir duluan.
Satria yang memang sudah dekat dengan beliau karena dia yang paling lama di sini menjadi orang yang membukakan pintu.
Melihat Bu Elin beserta dua kepala yang mengekori.
“Gimana, Mas? Udah bersih?”
“Udah, nih. Tadi anak-anak juga sempat masak buat anak penghuni baru,” jelas Satria dengan senyuman sopannya.
Bu Elin langsung berbicara basa-basi, menanyakan hal-hal yang terjadi dan apakah ada kendala seperti listrik atau air yang tiba-tiba mati.
Padahal, semua anak sibuk mendengarkan ucapan beliau, tapi Theo di sini justru berpusat dan mengernyit pada anak perempuan yang bersembunyi pada seorang laki-laki berbadan tinggi di hadapannya itu.
Kayak kenal, tapi siapa?
“Jadi gak ada apa-apa, ‘kan, Mas?”
“Gak ada, sih. Soalnya kemarin juga Aji sempat pake cara alternatif buat nyaring air yang keruh. Terus juga—“
“WALAH ANJROTTT!”
Ucapan Satria terhenti ketika Theo tiba-tiba berteriak dengan mata melebar serta ekpresinya yang melongo hebat.
“LO PACARNYA DEWA ‘KAN, YA?”
Semuanya membeku, diam-diam merutuki Theo yang penyakit begonya kembali kambuh.
Satu yang pasti, mereka langsung menghela napas dan membatin,
Beneran punya nyawa banyak ini orang.