Write.as

Springbloomz_

Sejatinya, Jakarta di malam hari itu benar-benar penganggu ketenangan setiap insan.

Mendatangkan hiruk-pikuk tak ada batas. Kebisingan, kegaduhan, keributan, dan entah definisi apa lagi yang mampu menggambarkannya, menghasilkan nelangsa tanpa ukur bagi metropolis tak kenal semangat jua.

Namun, entah kenapa, definisi yang menggambarkan betapa ributnya Jakarta tersebut tidak ada yang merasakannya di antara atmosfer mereka berdua.

Kebisingan Jakarta memang ada, tetapi tidak dengan Laura dan Dewa yang kini duduk di ayunan.

Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara. Justru kecanggungan dan kekikukan badan yang mengambil suara.

Dewa tiba-tiba saja berpikir.

Kapan terakhir kali dia memiliki waktu berdua saja dengan Laura?

Kapan terakhir kali dia punya quality time dengan Laura?

Kapan terakhir kali mereka berbicara hal-hal random tak masuk akal sampai tidak mengenal waktu?

Juga, kecanggungan di antara mereka ini dimulai sejak kapan?

Memikirkannya saja membuat Dewa mendengus.

Ternyata memang benar.

Waktu sungguhan sebuah kunci hidup penuh misteri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Padahal, cuman bergulir satu tahun, tetapi semuanya berubah total.

Tidak ada candaan, ledekan, serta gelakan tawa, tetapi yang merayap justru kebisuan, keseganan, serta kekakuan.

Dan semua itu terjadi bukan cuman karena waktu. Namun, karena ulahnya.

Karena tangannya.

Serta tentang perasaannya.

Dewa yang mengubah semuanya hingga menjadi seperti ini.

Dewa yang merecoki hubungan mereka berdua.

Dan Dewa pula yang memang seharusnya untuk meminta maaf.

Namun, yang berbicara untuk mengatakan kata sakral itu justru dari birai gadis tersebut.

Laura yang sedari tadi hanya diam, kini berbicara dengan suara pelannya

“Maaf.”

Dewa membisu, tidak mengerti dengan ulah dadakan Laura. Saat perkataannya itu membuat ernyitan alis di raut Dewa, gadis itu tidak langsung menjawab.

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

Laura tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, ngeblokir semua social media itu tingkah kekanak-kanakan, ya? Gue sendiri yang membatasi semua hubungan. Padahal, kalau gue gak ngelakuin itu, kita gak bakal berada di suasana canggung kayak gini.”

Dewa membisu, terlarut dalam banyak pikiran yang menggentayanginya. Dia pribadi tidak mengerti, kenapa justru perempuan itu yang meminta maaf.

Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah di sini.

Maka, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Dewa buru-buru mengangkat suara.

“Ra—“

“Kak? Inget gak, sih? RPTRA jadi tempat bersejarah di mana kita mulai bicara. Di mana lo bantuin gue buat ngendarain sepeda dan sejak itu jadi ngalir,” jeda Laura sebentar tanpa mau menatap Dewa yang kini dirundung kegundahan. “Aneh gak, sih? Kalau ini jadi tempat kita buat mengakhiri sejarah juga?”

Ucapan Laura lantas membuat Dewa mati kutu. Membuat pemuda itu semakin dirundung penyesalan.

Dan semuanya itu semakin jelas saat Laura bilang,

“Gue pengen banget benci sama lo, Kak ... Tapi, gue gak bisa.”

Bersama suaranya yang terdengar bergetar.

“Gue benci jadi diri gue sendiri yang terlalu baik. Gue benci sama diri gue yang lahir jadi anak gak enakan. Gue benci sama diri gue sendiri yang gak bisa egois,” jeda Laura sebentar, “Pun gue benci sama diri gue yang gak bisa jahat.”

“Padahal, banyak luka yang lo kasih. Tapi, lo juga punya banyak kebaikan yang lo beri ke gue. Lo yang ngajarin gue naik sepeda, lo yang nemenin gue buat ngomong di balkon, lo jadi orang pertama buat gue minta jemput, lo yang gak peduli tentang waktu baik pagi atau malem asal gue udah makan.

“Lo juga satu-satunya orang yang nanggepin semua ocehan gue,” jeda Laura kini mampu menatap Dewa tepat di matanya. “Tapi itu dulu. Sampai akhirnya gue takut buat percaya sama orang. Takut buat terbuka ke orang lain.”

“Lo baik, Kak. Tapi di satu sisi lo juga jahat ke gue. Tiap kali gue yang nyumpahin lo karena bikin gue ketakutan buat percaya sama orang lain, di waktu itu pula gue juga mikirin betapa baiknya lo selama itu.”

Laura berdiri, menghapus air matanya, kemudian tersenyum samar.

“Bahagiain adek gue, ya? Gue masih merasa bersalah karena gak bisa ngelindungin dia, walaupun gue masih satu domisili sama dia,” ucapnya lalu melangkah untuk pergi.

Namun, sebelum Laura seutuhnya meninggalkan laki-laki itu, Dewa buru-buru berdiri.

“Ra,” panggilnya. Menahan tangan perempuan itu.

Sekaligus sebagai petanda bahwa Dewa selamanya tidak bisa terus-terusan berdiam diri.

Barangkali, Laura tidak bisa membayangkan betapa bahagianya ia hari ini.

Segala kecemasan yang selama ini membebani nyaris satu tahun belakangan, langsung menguak baknya kepulan udara di musim dingin.

Kerisauan yang membikinnya was-was langsung sirna digantikan kerutan wajah penuh ketenangan.

Sejujurnya, kantong mata yang disebabkan oleh luapan air yang beberapa jam lalu mengalir di pipinya masih menyembab di sana. Namun, itu semua setidaknya tergantikan oleh kelegaan.

Selepas Lucas yang berteriak heboh mengenai ia yang juga lolos, gadis itu juga mendapati dua keberuntungan baru.

Keberuntungan pertama, paling tidak ia dan Lucas masih satu kampus meski tidak sefakultas. Namun, itu sudah membuat Laura lega.

Dia setidaknya tidak terlalu mencemaskan mengenai pertemanan yang akan terjalin semasa gadis itu kuliah lantaran ada Lucas di sisinya.

Keberuntungan kedua, meski sudah berulang kali menolak, ibu Lucas yang selalu menyebarkan kehangatan padanya itu lagi-lagi membuat dada Laura tersentuh.

Wanita paruh baya itu menyuruh Laura dan Lucas untuk tinggal di kosan yang telah dibangun beberapa tahun sebelumnya dan memang sudah ada tiga penghuni di sana.

Pun, Laura tidak perlu mencemaskan urusan biaya lantaran beliau benar-benar ingin mengasuh seorang anak perempuan.

Sejatinya, Laura tidak bisa mendefinisikan lagi seberapa bahagianya ia.

Kebahagiaan yang selama ini seolah menjadi fatamorgana untuk dijangkau, kini bisa ia genggam.

Paling tidak, ia bisa menyecapi makna kebahagiaan sesungguhnya.

Pikirnya begitu.

Tidak sewaktu perempuan itu pulang ke rumah, terdapat seorang pemuda yang kebetulan juga keluar.

Netra hitamnya kini menatap Laura. Tersenyum canggung dengan leher yang ia garuk tak gatal itu.

Bibir Dewa kelu. Otaknya benar-benar kusut.

Banyak hal yang ia pikirkan.

Banyak kata yang ingin ia ucapkan.

Banyak cerita yang ingin ia kisahkan.

Namun, satu hal yang pasti, kala Dewa berjalan mengambil satu langkah mendekat ke arah Laura, gadis itu sama-sama mengambil satu langkah.

Bedanya, ia berjalan mundur.

Mengambil langkah untuk menjauh.

Dan sekarang, Dewa pun tahu, seberapa mimpi buruknya ia dalam cerita Laura.

Hingar-bingar.

Begitu keadaan sekarang.

Segala cemoohan, ejekan, hinaan, serapahan menjadi senjata yang paling ampuh untuk membuat gadis yang kini menjadi pusat perhatian itu menunduk.

Tidak ada pertolongan.

Tidak ada uluran tangan.

Namun, yang terdengar adalah gelakan tawa tertuju untuk menghakimi.

Dia bukannya diam.

Dia bukannya membeku.

Sejatinya, tangannya sudah mengepal kuat untuk menahan tangis dan berdiri kokoh saat semua penjuru mata mengarah padanya.

Gisa meruntuk. Mengatai dirinya sendiri.

Seharusnya, dia cepat melenyapkan suratnya yang entah bagaimana ceritanya kini berada pada tangan laki-laki yang tergelak sinis penuh ketidakpercayaan.

“Arjuna?” Begitu katanya sembari tertawa meremehkan. Pemuda yang disebutkan namanya itu hanya terdiam, begitu melihat kedua sohibnya—Angga dan Zidan—memandang Arjuna tak percaya.

“Sejak kapan lo dipanggil Ajun?” kata Angga, bikin Zidan di sebelahnya menekuk raut penuh jijik.

“Gue gak sangka. Ternyata lo pangeran berkuda putih yang diimpi-impikan sama bocil idiot satu ini.”

“Selamat, Bung. Lo jadi tokoh utama di kisah perdongengannya.”

Semua orang sekali lagi tertawa. Masih terekam jelas di benak mereka bagaimana Zidan membaca surat tersebut dengan lantang.

Gisaka mendongak sedikit, melihat Arjuna yang tidak berkata apa-apa.

Gadis itu menatap penuh permohonan. Seolah mengatakan untuk membuat bungkam temannya itu.

Namun, seolah tuli, Arjuna melengos. Merebut surat yang berada di tangan Angga dan merobeknya.

Bukan robekan yang sekadar membelah menjadi dua. Namun, dipotong berkali-kali.

Seolah sebuah pertunjukan sirkus yang mengundang komedi, mereka tertawa. Dan gelakan mereka makin menjadi saat Arjuna melemparkan potongan terakhir surat tersebut lalu menginjaknya

Semuanya menjadi hancur.

Kertas tersebut menjadi kotor.

Sama halnya dengan Gisaka yang semakin rapuh dengan apa yang sedang direncanakan Tuhan padanya.

Tuhan seolah menyadarkan Gisaka. Tentang ia yang salah menyukai seseorang.

Ia salah untuk menyukai laki-laki itu.

Arjuna Atma Bagaskara itu sebuah mimpi buruk bagi Gisaka.

“Satu.”

“Dua.”

“Tig—“

“SEBENTAR, SEBENTAR!”

Laura mencegah dengan cepat, membuat seorang pemuda berperawakan tinggi itu mengumpat entah kesekian kalinya karena lagi-lagi gadis tersebut menyela ucapannya.

Dia tidak habis pikir dengan pemikiran bentukan anak adam di hadapannya ini.

Hari ini pengumuman lolos tidaknya mereka UTBK. Pada mulanya, rencana mereka setelah meng-input nomor peserta ujian dan website akan membawa menuju hasil akhir, Lucas yang akan memberitahu hasil miliknya Laura, pun begitu sebaliknya.

Namun, lantaran perempuan itu terlalu takut dan sudah berulang kali mencegah, jadilah Laki-laki tersebut yang duluan terdeteksi hasilnya.

Ia lolos.

Benar, ia lolos setelah nyaris satu tahun ini dia muak dengan pembelajaran hitung-hitungan dan segala macam.

Lucas sudah dari tadi sujud syukur, bilang pada pemilik dunia bahwa dia akan jadi mahasiswa teladan meski semua orang tahu bahwa laki-laki itu cuman manis di mulut.

Anak yang kepalanya cuman muncul waktu pertama-tama dan berakhir dengan absen gaib, ada tanda tangan, tapi tidak ada orangnya.

“AH ILAH, RENG! Lama banget, sih, lo,” gemas Lucas tak sabaran sembari menyeruput teh jus gula batu yang dibeli ketika mampir jajan dulu depan SD.

“Ya lo, sih, enak. Udah lega, gue belum,” sungutnya sembari menyandarkan kepala pada sofa. Gadis itu mendongkak, menatap langit-langit ruang tamu dengan gantungan lampu mewah di atas sana.

Lucas yang berada di samping perempuan tersebut menoleh, mendengus sesaat lalu ikut menengadah.

“Lo kepikiran apaan lagi, Reng?”

“Gue cuman ....” Suara Laura memberat, terdengar bergetar penghujung kata, bikin sang adam menoleh dan mendapati tangan gadis tersebut tremor.

Tampak rapuh, bikin Lucas enggan menggenggamnya takut hancur jika dia mengisi sela kosong tersebut dengan kelima jemarinya yang besar itu.

Lagi-lagi Lucas menghela napas. Tahu jika perempuan di sampingnya setakut itu untuk percaya pada orang lain, meski ia sekalipun sudah berjanji.

“Gak usah cerita kalau—“

“Enggak, gue bakal cerita, kok.” Laura tersenyum tipis, benar-benar segurat tipis yang mengukir di birainya itu.

Ia menghela napas berat, merasakan reruntuhan beban di pundaknya dan menjadikan tubuhnya itu semakin luwes.

“Kadang, gue pernah mikir,” monotonnya. “Selama ini, gue udah jadi anak pembangkang. Selalu bantah omongan mereka, bahkan gue udah bertindak kurang ajar di mana kemarin gue bertindak tanpa diomongin sebab-akibatnya. Meski dari dulu gue punya pikiran untuk bebas dari mereka, tapi kalau ingat-ingat dengan omongan gue kemarin itu, bahkan gue gak pantas buat disebut anak.”

Laura menekuk lutut, menelusupkan kepalanya tersebut ke dalam lipatan tangan. Ia di sebelahnya tidak menyahut, sekedar melihat punggung gadis itu yang lama kelamaan bergetar.

“Gue—“ Suaranya sekali lagi tak mampu ia kuasai. Diiringi dengan isakan dan sesakan, dia bilang, “Gue takut.”

“Gue takut gagal. Gue takut karena gue ngebangkang, jadi mereka menghukum gue dengan bikin gue gagal. Walaupun nanti ada ujian mandiri ataupun bisa *gap year, * tapi gue bahkan gak bisa janji sama diri gue sendiri kalau gue bisa ngelewatin itu semua.

“Emang ada universitas swasta, tapi siapa yang bakal bayarin gue?”

“Kemarin kan—“

“Gak, Cas. Tetap aja gue gak bisa sepenuhnya nadahin tangan ke ibu lo.” Laura menggeleng di sana. Kemudian menjeda sebentar kembali melanjutkan ucapannya.

“Gue bukan anak pemimpi. Gue anak yang cuman berserah tangan dengan apa yang mereka bakal kasih ke gue. Cuman, kalau gue gak masuk di sana, gue bakal ngapain? Gue gak punya bakat. Kalau gue Luna, gue pasti bisa kerja sama orang tanpa jadi anak yang takut bersosialisasi.”

Lucas terdiam, membiarkan perempuan tersebut terhanyut pada pemikiran yang menggentayangi otaknya itu. Melihat gadis itu yang semakin tenang, membuat Lucas menepuk kepalanya berulang kali dengan lembut.

“Lo anak baik, Ra,” katanya. Laura mendongak, menatapnya. “Bukannya gue anak sok suci atau gimana, ya. Karena gue juga punya segepok dosa yang bahkan gak bisa dijelasin. Tau lha ya, privasi cowok. Ngapain aja,” kekehnya dengan senyuman narsis bikin Laura sedikit tergelak.

“Mesum.”

“Ya, bagus. Cowok normal, kok. Terdeteksi jantan ini namanya,” ketawanya, lagi-lagi bikin Laura menoyor kepala pemuda itu.

“Gue tahu lo anak baik, Ra. Justru yang anak baik pasti dikasih banyak cobaan. Lo udah ngelewatin semuanya seorang diri, bahkan sebelum ketemu dan sesudah ketemu gue pun lo lakuin itu.” Lucas menjeda, tanpa melepaskan netranya yang menyorot Laura dalam.

“Lo anak baik, Ra. Walaupun gue tahu lo pernah capek, tapi lo ambil istirahatnya buat sebentar. Lo lebih milih buat istirahat sebentar ketimbang yang jelas-jelas ada pilihan untuk istirahat selamanya. Itu aja lo udah ngebuktiin kalau lo itu anak yang tangguh.”

Laura menahan napas, kembali merasakan sesakan napas ketika mendengar ucapan Lucas yang buatnya mengorek luka serta belengguan memori di mana ia bertahan selama ini.

Gadis itu menangis.

Menangis untuk kesekian kalinya.

Menangisi untuk banyak luka yang dia biarkan menganga di sana.

Hingga saat bangkai senja membiarkan langit kelabu menguasai cakrawala dengan bentangan hitam tanpa hiasan yang menemani, barulah di sana Laura memberanikan diri untuk membuka hasil pengumumannya.

Yang ia ingat hari itu adalah Lucas berteriak heboh, membawanya dalam pelukan sekaligus menggoyangkannya pelan untuk membuat Laura yang berada di kukungannya itu tenang karena lagi-lagi gadis itu menangis.

Untuk pertama kalinya, air mata yang keluar dari sana bukanlah bentukan tangis pembawa luka.

Justru tangisan bahagia.

Sebab perempuan itu lolos.

Adrianna Laura dinyatakan lolos

“Satu.”

“Dua.”

“Tig—“

“SEBENTAR, SEBENTAR!”

Laura mencegah dengan cepat, membuat seorang pemuda berperawakan tinggi itu mengumpat entah kesekian kalinya karena lagi-lagi gadis tersebut menyela ucapannya.

Dia tidak habis pikir dengan pemikiran bentukan anak adam di hadapannya ini.

Hari ini pengumuman lolos tidaknya mereka UTBK. Pada mulanya, rencana mereka setelah meng-input nomor peserta ujian dan website akan membawa menuju hasil akhir, Lucas yang akan memberitahu hasil miliknya Laura, pun begitu sebaliknya.

Namun, lantaran perempuan itu terlalu takut dan sudah berulang kali mencegah, jadilah Laki-laki tersebut yang duluan terdeteksi hasilnya.

Ia lolos.

Benar, ia lolos setelah nyaris satu tahun ini dia muak dengan pembelajaran hitung-hitungan dan segala macam.

Lucas sudah dari tadi sujud syukur, bilang pada pemilik dunia bahwa dia akan jadi mahasiswa teladan meski semua orang tahu bahwa laki-laki itu cuman manis di mulut.

Anak yang kepalanya cuman muncul waktu pertama-tama dan berakhir dengan absen gaib, ada tanda tangan, tapi tidak ada orangnya.

“AH ILAH, RENG! Lama banget, sih, lo,” gemas Lucas tak sabaran sembari menyeruput teh jus gula batu yang dibeli ketika mampir jajan dulu depan SD.

“Ya lo, sih, enak. Udah lega, gue belum,” sungutnya sembari menyandarkan kepala pada sofa. Gadis itu mendongkak, menatap langit-langit ruang tamu dengan gantungan lampu mewah di atas sana.

Lucas yang berada di samping perempuan tersebut menoleh, mendengus sesaat lalu ikut menengadah.

“Lo kepikiran apaan lagi, Reng?”

“Gue cuman ....” Suara Laura memberat, terdengar di penghujung kata, bikin sang adam menoleh dan mendapati tangan gadis tersebut tremor.

Tampak rapuh, bikin Lucas enggan menggenggamnya takut hancur jika dia mengisi sela kosong tersebut dengan kelima jemarinya yang besar itu.

Lagi-lagi Lucas menghela napas. Tahu jika perempuan di sampingnya setakut itu untuk percaya pada orang lain, meski ia sekalipun sudah berjanji.

“Gak usah cerita kalau—“

“Enggak, gue bakal cerita, kok.” Laura tersenyum tipis, benar-benar segurat tipis yang mengukir di birainya itu.

Ia menghela napas berat, merasakan reruntuhan beban di pundaknya dan menjadikan tubuhnya itu semakin tak kaku.

“Kadang, gue pernah mikir,” monotonnya. “Selama ini, gue udah jadi anak pembangkang. Selalu bantah omongan mereka, bahkan gue udah bertindak kurang ajar di mana kemarin gue bertindak tanpa diomongin sebab-akibatnya. Meski dari dulu gue punya pikiran untuk bebas dari mereka, tapi kalau ingat-ingat dengan omongan gue kemarin itu, bahkan gue gak pantas buat disebut anak.”

Laura menekuk lutut, menelusupkan kepalanya tersebut ke dalam lipatan tangan. Ia di sebelahnya tidak menyahut, sekedar melihat punggung gadis itu yang lama kelamaan bergetar.

“Gue—“ Suaranya sekali lagi tak mampu ia kuasai. Diiringi dengan isakan dan sesakan, dia bilang, “Gue takut.”

“Gue takut gagal. Gue takut karena gue ngebangkang, jadi mereka menghukum gue dengan bikin gue gagal. Walaupun nanti ada ujian mandiri ataupun bisa gap year, tapi gue bahkan gak bisa janji sama diri gue sendiri kalau gue bisa ngelewatin itu semua.

“Emang ada universitas swasta, tapi siapa yang bakal bayarin gue?”

“Kemarin kan—“

“Gak, Cas. Tetap aja gue gak bisa sepenuhnya nadahin tangan ke ibu lo.” Laura menggeleng di sana. Kemudian menjeda sebentar kembali melanjutkan ucapannya.

“Gue bukan anak pemimpi. Gue anak yang cuman berserah tangan dengan apa yang mereka bakal kasih ke gue. Cuman, kalau gue gak masuk di sana, gue bakal ngapain? Gue gak punya bakat. Kalau gue Luna, gue pasti bisa kerja sama orang tanpa jadi anak yang takut bersosialisasi.”

Lucas terdiam, membiarkan perempuan tersebut terhanyut pada pemikiran yang menggentayangi otaknya itu. Melihat perempuan itu yang semakin tenang, membuat Lucas menepuk kepalanya berulang kali dengan lembut.

“Lo anak baik, Ra,” katanya. Laura mendongak, menatapnya. “Bukannya gue anak sok suci atau gimana, ya. Karena gue juga punya segepok dosa yang bahkan gak bisa dijelasin. Tau lha ya, privasi cowok. Ngapain aja,” kekehnya dengan senyuman narsis bikin Laura sedikit tergelak.

“Mesum.”

“Ya, bagus. Cowok normal, kok. Terdeteksi jantan ini namanya,” ketawanya lagi-lagi bikin Laura menoyor kepala pemuda itu.

“Gue tahu lo anak baik, Ra. Justru yang anak baik pasti dikasih banyak cobaan. Lo udah ngelewatin semuanya seorang diri, bahkan sebelum ketemu dan sesudah ketemu gue pun lo lakuin itu.” Lucas menjeda, tanpa melepaskan netranya yang menyorot Laura dalam.

“Lo anak baik, Ra. Walaupun gue tahu lo pernah capek, tapi lo ambil istirahatnya buat sebentar. Lo lebih milih buat istirahat sebentar ketimbang yang jelas-jelas ada pilihan untuk istirahat selamanya. Itu aja lo udah ngebuktiin kalau lo itu anak yang tangguh.”

Laura menahan napas, kembali merasakan sesakan napas ketika mendengar ucapan Lucas yang buatnya mengorek luka serta belengguan memori di mana ia bertahan selama ini.

Gadis itu menangis.

Menangis untuk kesekian kalinya.

Menangisi untuk banyak luka yang dia biarkan menganga di sana.

Hingga saat bangkai senja membiarkan langit kelabu menguasai cakrawala dengan bentangan hitam tanpa hiasan yang menemani, barulah di sana Laura memberanikan diri untuk membuka hasil pengumumannya.

Yang ia ingat hari itu adalah Lucas berteriak heboh, membawanya dalam pelukan sekaligus menggoyangkannya pelan untuk membuat Laura yang berada di kukungannya itu tenang karena lagis-lagi gadis itu menangis.

Untuk pertama kalinya, air mata yang keluar dari sana bukanlah bentukan tangis pembawa luka.

Justru tangisan bahagia.

Sebab perempuan itu lolos.

Adrianna Laura dinyatakan lolos

“Satu.”

“Dua.”

“Tig—“

“SEBENTAR, SEBENTAR!”

Laura mencegah dengan cepat, membuat seorang pemuda berperawakan tinggi itu mengumpat entah kesekian kalinya karena lagi-lagi gadis tersebut menyela ucapannya.

Dia tidak habis pikir dengan pemikiran bentukan anak adam di hadapannya ini.

Hari ini pengumuman lolos tidaknya mereka UTBK. Pada mulanya, rencana mereka setelah meng-input nomor peserta ujian dan website akan membawa menuju hasil akhir, Lucas yang akan memberitahu hasil miliknya Laura, pun begitu sebaliknya.

Namun, lantaran perempuan itu terlalu takut dan sudah berulang kali mencegah, jadilah Laki-laki tersebut yang duluan terdeteksi hasilnya.

Ia lolos.

Benar, ia lolos setelah nyaris satu tahun ini dia muak dengan pembelajaran hitung-hitungan dan segala macam.

Lucas sudah dari tadi sujud syukur, bilang pada pemilik dunia bahwa dia akan jadi mahasiswa teladan meski semua orang tahu bahwa laki-laki itu cuman manis di mulut.

Alias, anak yang kepalanya cuman muncul waktu pertama-tama dan berakhir dengan ada absen tapi tidak ada pelaku.

“AH ILAH, RENG! Lama banget, sih, lo,” gemas Lucas tak sabaran sembari menyeruput teh jus gula batu yang dibeli ketika mampir jajan dulu depan SD.

“Ya lo, sih, enak. Udah lega, gue belum,” sungutnya sembari menyandarkan kepala pada sofa. Gadis itu mendongkak, menatap langit-langit ruang tamu dengan gantungan lampu mewah di atas sana.

Lucas yang berada di samping perempuan tersebut menoleh, mendengus sesaat lalu ikut menengadah.

“Lo kepikiran apaan lagi, Reng?”

“Gue cuman ....” Suara Laura memberat, terdengar di penghujung kata, bikin sang adam menoleh dan mendapati tangan gadis tersebut tremor.

Tampak rapuh, bikin Lucas enggan menggenggamnya takut hancur jika dia mengisi sela kosong tersebut dengan kelima jemarinya yang besar itu.

Lagi-lagi Lucas menghela napas. Tahu jika perempuan di sampingnya setakut itu untuk percaya pada orang lain, meski ia sekalipun sudah berjanji.

“Gak usah cerita kalau—“

“Enggak, gue bakal cerita, kok.” Laura tersenyum tipis, benar-benar segurat tipis yang mengukir di birainya itu.

Ia menghela napas berat, merasakan reruntuhan beban di pundaknya dan menjadikan tubuhnya itu semakin tak kaku.

“Kadang, gue pernah mikir,” monotonnya. “Selama ini, gue udah jadi anak pembangkang. Selalu bantah omongan mereka, bahkan gue udah bertindak kurang ajar di mana kemarin gue bertindak tanpa diomongin sebab-akibatnya. Meski dari dulu gue punya pikiran untuk bebas dari mereka, tapi kalau ingat-ingat dengan omongan gue kemarin itu, bahkan gue gak pantas buat disebut anak.”

Laura menekuk lutut, menelusupkan kepalanya tersebut ke dalam lipatan tangan. Ia di sebelahnya tidak menyahut, sekedar melihat punggung gadis itu yang lama kelamaan bergetar.

“Gue—“ Suaranya sekali lagi tak mampu ia kuasai. Diiringi dengan isakan dan sesakan, dia bilang, “Gue takut.”

“Gue takut gagal. Gue takut karena gue ngebangkang, jadi mereka menghukum gue dengan bikin gue gagal. Walaupun nanti ada ujian mandiri ataupun bisa gap year, tapi gue bahkan gak bisa janji sama diri gue sendiri kalau gue bisa ngelewatin itu semua.

“Emang ada universitas swasta, tapi siapa yang bakal bayarin gue?”

“Kemarin kan—“

“Gak, Cas. Tetap aja gue gak bisa sepenuhnya nadahin tangan ke ibu lo.” Laura menggeleng di sana. Kemudian menjeda sebentar kembali melanjutkan ucapannya.

“Gue bukan anak pemimpi. Gue anak yang cuman berserah tangan dengan apa yang mereka bakal kasih ke gue. Cuman, kalau gue gak masuk di sana, gue bakal ngapain? Gue gak punya bakat. Kalau gue Luna, gue pasti bisa kerja sama orang tanpa jadi anak yang takut bersosialisasi.”

Lucas terdiam, membiarkan perempuan tersebut terhanyut pada pemikiran yang menggentayangi otaknya itu. Melihat perempuan itu yang semakin tenang, membuat Lucas menepuk kepalanya berulang kali dengan lembut.

“Lo anak baik, Ra,” katanya. Laura mendongak, menatap Lucas yang kini sedang terkekeh. “Walaupu

Terkadang, semesta suka diajak bercanda. Bermain-main dengan gulungan takdir yang membentang, baknya sebuah permainan lompatan tali di mana suara gelakan tawa menggema seisi alam.

Mereka yang berada di atas langit bilang bahwa lembar kehidupan para manusia itu sungguh konyol. Dianggap sebuah lelucon lantaran kau dibuat jatuh hingga kau tak mampu melongok ke sumber cahaya juga merasakan fase di mana diterbangkan hingga kau lupa bagaimana menapak pada pijakan bumi.

Kata mereka, untuk merasakan dua hal itu kau harus menunggu guliran waktu yang memang terasa begitu lambat.

Namun, jika Laura sendiri yang membuka rentetan alur pada skenario kisah kehidupannya, tampaknya ia lupa bagaimana merasakan tentang euforia tersebut.

Ia lupa mengenai kebahagiaan tanpa ada rasa kepura-puraan di dalamnya.

Ah, bukan.

Ketimbang dibilang lupa, dia belum merasakannya.

Laura belum mencicipinya.

Seolah lidahnya tak berselera untuk mencecapi apa itu kebahagiaan.

Namun, gadis tersebut tahu. Bahwa alasan kenapa dia ogah merasakannya karena dia mem bangunn tembok di mana semua orang kesulitan untuk memanjatnya.

Kesulitan untuk meraihnya.

Melihat pesan yang dikirimkan Lucas padanya, membuat gadis tersebut menimbang.

Haruskah ia memberi kesempatan untuk percaya pada seseorang sekali lagi?

Sebab, terakhir kali dia menaruh kepercayaan, justru orang tersebut meremukkannya.

Orang yang berada di seberang balkonnya itu mematahkan kepercayaannya hingga Laura sendiri pun takut.

Takut untuk terbuka pada seseorang hingga menjadikan insan tersebut memenjarakan diri pada lubangan kesendirian.

His voices. His smiles. And the tears i saw the last time. All of it, still fresh in my mind

Sewaktu SMA, barangkali aku merupakan gadis culun yang menghindari keramaian. Tidak mempedulikan orang-orang, bahkan sebisa mungkin aku hanya menjawab sekenanya saat mau tak mau harus berkonversasi dengan teman sekelas.

Aku memang tidak punya teman. Namun, itu tidak mengartikan bahwa aku sendirian. Sejak kecil, aku bisa berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Tenang, aku tidak gila sampai melakukan ritual penyembahan iblis sebagai kekuatan. Aku sekadar berbincang dan membantu mereka ala kadarnya.

Aku memang tidak punya teman. Namun, aku juga seperti gadis pada umumnya yang menyukai seseorang.

Kim Wonpil, namanya.

Dia teman satu kelasku, sekaligus anggota band bernama Enam Hari. Di antara semua anggota, bagiku karisma Wonpil justru yang membuatku terpana.

Suaranya sungguh menenangkan. Raut wajah yang ia ekspresikan penuh dengan berbagai macam emosi, sampai-sampai aku juga ikut terhipnotis. Tawanya begitu adiktif, hingga rasanya aku rela kalau gelakannya sebagai pengantar tidurku.

Akan tetapi, aku tahu, dunia kami berbeda.

Bahkan, untuk tersadar, aku perlu mendengar secara tidak sengaja pada hari ulang tahunku.

“Hei, kau dengar isu Kim Wonpil?”

“Tentang apa?”

“Kudengar, setelah upacara kelulusan hari ini, Wonpil akan bertunangan!”

Aku jelas terpaku. Membuat seorang perempuan berwajah pucat di sampingku, kini menatapku, berusaha untuk mengenggam tangan, walaupun berikutnya dia sadar, kalau ia tidak bisa meraihnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh. “Tidak apa-apa. Lagi pula, duniaku memang berbeda dengannya.”

Aku bersyukur berada di balik kacamata tebal yang kini kukenakan, setidaknya jika air mataku tiba-tiba mengalir tanpa henti, tidak ada yang menyadariku.

Eh tunggu, memangnya ada yang peduli?

***

Empat tahun silih berganti. Menjadikan aku mengubah diri, dari perempuan yang terperangkap dalam lensa kacamata super tebal, menjadi gadis yang julukan 'si culun' rasanya tidak pantas kusemat.

Namun rasanya, walaupun sudah lewat empat tahun, aku masih dihukum oleh langit untuk menyukainya hingga sekarang.

Benar, aku masih menyukai Wonpil.

Gila, ya? Memangnya aku pantas untuk menyukainya?

Dihela napas cukup berat, aku merapatkan kepalaku pada jendela bis dan meratapi jalanan dengan pandangan kosong. Tak lama, bis yang kunaiki, kini berhenti di terminal yang kutuju.

Pukul setengah sepuluh, memang sudah terlarut malam, pantas saja jalan yang kulalui begitu sepi. Menendang kerikil selama di perjalanan untuk menghindari kebosanan, kepalaku juga entah kenapa tiba-tiba memikirkan suatu hal.

Berpikiran, apa jadinya kalau semisalnya aku bertemu dengan Kim Wonpil sekali lagi?

Pada mulanya, aku mendengus. Beropini kalau itu tidak mungkin terjadi, karena kuyakin dia sudah berbahagia dengan perempuan yang bisa jadi telah menjadi istrinya. Ditambah Enam Hari semakin terkenal dan nama mereka tersohor di akun soundscloud serta podcast mereka.

Awalnya memang begitu, tapi sayangnya langit menunjukkan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sebab, tepat di atas ranting pohon, pemuda tersebut ada di sana.

Laki-laki yang menjadi tuan rumah hatiku hingga sekarang, kini tengah melambaikan tangannya padaku.

“Hei Jihan!” Dia memanggil, kemudian langsung loncat tepat di hadapanku. Ia kini tersenyum, persis hangatnya seperti terakhir kali aku melihatnya. Namun bedanya, dia kini sudah tidak lagi sama.

“Kau bisa melihatku, ya?”

Siapa yang sadar? Bila kini, Wonpil sudah menjadi arwah.

***

“Hei, Jihan!”

“Kau mendengarku, 'kan?”

“Jangan acuhkan aku, dong.”

“Aish, menyebalkan. Kau berusaha untuk menghindari kontak mata denganku, 'kan? Memang, ya, manusia zaman sekarang makin hari makin tak bertalenta. Manusia kayak kau tuh—“

“AH BERISIK!” teriakku kesal, kemudian menoleh pada seseorang—ah, lebih tepatnya makhluk menyebalkan yang kini bergelantung terbalik di ranting pohon.

Tipikal Wonpil sekali.

“Gotcha! Kena kau!” ucapnya, kemudian loncat dengan gaya kopral di hadapanku. Dia tersenyum miring, lalu menyugarkan surai coklatnya. “Ayo, main!”

Aku mendengus menatapnya sedikit kesal. “Daripada bermain, mending kau selesaikan misimu kenapa kau masih terperangkap dalam dunia ini!”

Ini sudah dua bulan arwah itu mengekoriku. Tidak ada tanda sama sekali bahwa dia serius untuk tenang di alam sana. Wonpil hanya bercerita kalau dia ditabrak mobil, lalu sewaktu bangun, dia sudah berada di pemakaman yang terdapat foto formalnya dengan rangkaian bunga pertanda turut berduka cita.

“Hari ini.”

Aku menaikkan alis dengan suaranya yang tiba-tiba. “Aku sudah tahu apa tujuanku. Jadi, ayo ikuti aku.”

Aku terpaku dalam sejenak, kemudian mendengus.

Ah, hari ini, ya?

Apa artinya, hari ini aku akan berpisah?

***

Wonpil bilang kalau empat tahun yang lalu, dia pernah menghilangkan gantungan ponsel di semak-semak belakang sekolah. Aku tidak tahu kenapa begitu, tapi aku juga tidak berniat untuk berbicara lebih lanjut karena dadaku makin sesak.

Ibuku bilang, kalau di dunia ini akhir pertemuan ada dua. Berpisah tanpa bisa berkontak lebih lanjut atau berpisah karena maut. Namun, perpisahanku dengan Kim Wonpil sudah kurasakan keduanya.

Sembari menahan air mata, aku membantunya mencari.

“Jihan ... Jihan! Gantungannya di sini!” ucapnya heboh. Aku menoleh lalu mengambil gantungan berbandul boneka tersebut.

Wonpil terkejut begitu melihatku yang menahan tangis. Ia lantas tidak meraih gantungannya dan justru bilang, “Itu buatmu.”

Aku mengernyit, membuatnya justru terkekeh dan mencoba untuk mengusap suraiku, walau berikutnya dia langsung mendengus. “Ah, candaan semesta memang lucu, ya? Bahkan, untuk terakhir kalinya, aku tidak bisa untuk memelukmu, Ji.”

“Maksudmu apa?” biraiku bergetar.

“Hm?”

“Kau kenapa bertingkah begini?”

Dia tersenyum. Netra hitamnya bahkan mencoba untuk tenggelam di dalamku yang entah kenapa terlihat rapuh. “Kau tahu ... pada hari kelulusan, aku berniat untuk memberikan gantungan itu padamu karena aku sadar, setelah itu aku tidak akan bisa menemuimu lagi. Namun, aku pengecut, Ji. Hari itu, aku tidak bisa memberikannya padamu. Aku tidak menemuimu. Aku tidak bisa mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan, meski tahu ini salah, aku tetap tidak bisa bilang kalau aku menyukaimu, Ji.”

Biraiku mengatup berulang kali, bahkan pelupuk sudah meluapkan air mata hingga membanjiri pipiku. “Kau—“

“Iya, Ji. Aku menyukaimu, dari dulu hingga nanti aku di atas sana,” ucapnya.

Bersamaan dengan angin yang berhembus, aku bisa melihat perawakan laki-laki tersebut semakin mengabur, semakin berbayang, dan semakin membuatku sadar kalau dia akan pergi.

“Selamat ulang tahun Jihan. Sampai jumpa lagi ketika kau sudah jadi nenek-nenek.”

Sebelum dia pergi sepenuhnya, aku langsung tersenyum lebar, meski tangisku masih mengalir. Dengan suara yang sarat akan sedu sedan, aku berucap, “Aku juga menyukaimu, Kim Wonpil.”

Untuk yang terakhir kalinya, aku mencoba merekam semuanya. Bersama langit biru, hembusan angin, dan suara rumput saling menggelitik. Wonpil tersenyum, bersama setetes air mata yang tertinggal.

Dalam sekejap, ia menghilang dengan gelakan tawanya yang bilang, “Lelucon semesta menghibur juga, ya? Ternyata, kita saling menyukai.”

***

A/n: pernah ditulis di platform lain untuk sebuah event

His voices.

His smiles.

And the tears i saw the last time

All of it,

It still fresh in my mind

Sewaktu SMA, barangkali aku merupakan gadis culun yang menghindari keramaian. Tidak mempedulikan orang-orang, bahkan sebisa mungkin aku hanya menjawab sekenanya saat mau tak mau harus berkonversasi dengan teman sekelas.

Aku memang tidak punya teman. Namun, itu tidak mengartikan bahwa aku sendirian. Sejak kecil, aku bisa berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Tenang, aku tidak gila sampai melakukan ritual penyembahan iblis sebagai kekuatan. Aku sekadar berbincang dan membantu mereka ala kadarnya.

Aku memang tidak punya teman. Namun, aku juga seperti gadis pada umumnya yang menyukai seseorang.

Kim Wonpil, namanya.

Dia teman satu kelasku, sekaligus anggota band bernama Enam Hari. Di antara semua anggota, bagiku karisma Wonpil justru yang membuatku terpana.

Suaranya sungguh menenangkan. Raut wajah yang ia ekspresikan penuh dengan berbagai macam emosi, sampai-sampai aku juga ikut terhipnotis. Tawanya begitu adiktif, hingga rasanya aku rela kalau gelakannya sebagai pengantar tidurku.

Akan tetapi, aku tahu, dunia kami berbeda.

Bahkan, untuk tersadar, aku perlu mendengar secara tidak sengaja pada hari ulang tahunku.

“Hei, kau dengar isu Kim Wonpil?”

“Tentang apa?”

“Kudengar, setelah upacara kelulusan hari ini, Wonpil akan bertunangan!”

Aku jelas terpaku. Membuat seorang perempuan berwajah pucat di sampingku, kini menatapku, berusaha untuk mengenggam tangan, walaupun berikutnya dia sadar, kalau ia tidak bisa meraihnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh. “Tidak apa-apa. Lagi pula, duniaku memang berbeda dengannya.”

Aku bersyukur berada di balik kacamata tebal yang kini kukenakan, setidaknya jika air mataku tiba-tiba mengalir tanpa henti, tidak ada yang menyadariku.

Eh tunggu, memangnya ada yang peduli?

***

Empat tahun silih berganti. Menjadikan aku mengubah diri, dari perempuan yang terperangkap dalam lensa kacamata super tebal, menjadi gadis yang julukan 'si culun' rasanya tidak pantas kusemat.

Namun rasanya, walaupun sudah lewat empat tahun, aku masih dihukum oleh langit untuk menyukainya hingga sekarang.

Benar, aku masih menyukai Wonpil.

Gila, ya? Memangnya aku pantas untuk menyukainya?

Dihela napas cukup berat, aku merapatkan kepalaku pada jendela bis dan meratapi jalanan dengan pandangan kosong. Tak lama, bis yang kunaiki, kini berhenti di terminal yang kutuju.

Pukul setengah sepuluh, memang sudah terlarut malam, pantas saja jalan yang kulalui begitu sepi. Menendang kerikil selama di perjalanan untuk menghindari kebosanan, kepalaku juga entah kenapa tiba-tiba memikirkan suatu hal.

Berpikiran, apa jadinya kalau semisalnya aku bertemu dengan Kim Wonpil sekali lagi?

Pada mulanya, aku mendengus. Beropini kalau itu tidak mungkin terjadi, karena kuyakin dia sudah berbahagia dengan perempuan yang bisa jadi telah menjadi istrinya. Ditambah Enam Hari semakin terkenal dan nama mereka tersohor di akun soundscloud serta podcast mereka.

Awalnya memang begitu, tapi sayangnya langit menunjukkan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sebab, tepat di atas ranting pohon, pemuda tersebut ada di sana.

Laki-laki yang menjadi tuan rumah hatiku hingga sekarang, kini tengah melambaikan tangannya padaku.

“Hei Jihan!” Dia memanggil, kemudian langsung loncat tepat di hadapanku. Ia kini tersenyum, persis hangatnya seperti terakhir kali aku melihatnya. Namun bedanya, dia kini sudah tidak lagi sama.

“Kau bisa melihatku, ya?”

Siapa yang sadar? Bila kini, Wonpil sudah menjadi arwah.

***

“Hei, Jihan!”

“Kau mendengarku, 'kan?”

“Jangan acuhkan aku, dong.”

“Aish, menyebalkan. Kau berusaha untuk menghindari kontak mata denganku, 'kan? Memang, ya, manusia zaman sekarang makin hari makin tak bertalenta. Manusia kayak kau tuh—“

“AH BERISIK!” teriakku kesal, kemudian menoleh pada seseorang—ah, lebih tepatnya makhluk menyebalkan yang kini bergelantung terbalik di ranting pohon.

Tipikal Wonpil sekali.

“Gotcha! Kena kau!” ucapnya, kemudian loncat dengan gaya kopral di hadapanku. Dia tersenyum miring, lalu menyugarkan surai coklatnya. “Ayo, main!”

Aku mendengus menatapnya sedikit kesal. “Daripada bermain, mending kau selesaikan misimu kenapa kau masih terperangkap dalam dunia ini!”

Ini sudah dua bulan arwah itu mengekoriku. Tidak ada tanda sama sekali bahwa dia serius untuk tenang di alam sana. Wonpil hanya bercerita kalau dia ditabrak mobil, lalu sewaktu bangun, dia sudah berada di pemakaman yang terdapat foto formalnya dengan rangkaian bunga pertanda turut berduka cita.

“Hari ini.”

Aku menaikkan alis dengan suaranya yang tiba-tiba. “Aku sudah tahu apa tujuanku. Jadi, ayo ikuti aku.”

Aku terpaku dalam sejenak, kemudian mendengus.

Ah, hari ini, ya?

Apa artinya, hari ini aku akan berpisah?

***

Wonpil bilang kalau empat tahun yang lalu, dia pernah menghilangkan gantungan ponsel di semak-semak belakang sekolah. Aku tidak tahu kenapa begitu, tapi aku juga tidak berniat untuk berbicara lebih lanjut karena dadaku makin sesak.

Ibuku bilang, kalau di dunia ini akhir pertemuan ada dua. Berpisah tanpa bisa berkontak lebih lanjut atau berpisah karena maut. Namun, perpisahanku dengan Kim Wonpil sudah kurasakan keduanya.

Sembari menahan air mata, aku membantunya mencari.

“Jihan ... Jihan! Gantungannya di sini!” ucapnya heboh. Aku menoleh lalu mengambil gantungan berbandul boneka tersebut.

Wonpil terkejut begitu melihatku yang menahan tangis. Ia lantas tidak meraih gantungannya dan justru bilang, “Itu buatmu.”

Aku mengernyit, membuatnya justru terkekeh dan mencoba untuk mengusap suraiku, walau berikutnya dia langsung mendengus. “Ah, candaan semesta memang lucu, ya? Bahkan, untuk terakhir kalinya, aku tidak bisa untuk memelukmu, Ji.”

“Maksudmu apa?” biraiku bergetar.

“Hm?”

“Kau kenapa bertingkah begini?”

Dia tersenyum. Netra hitamnya bahkan mencoba untuk tenggelam di dalamku yang entah kenapa terlihat rapuh. “Kau tahu ... pada hari kelulusan, aku berniat untuk memberikan gantungan itu padamu karena aku sadar, setelah itu aku tidak akan bisa menemuimu lagi. Namun, aku pengecut, Ji. Hari itu, aku tidak bisa memberikannya padamu. Aku tidak menemuimu. Aku tidak bisa mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan, meski tahu ini salah, aku tetap tidak bisa bilang kalau aku menyukaimu, Ji.”

Biraiku mengatup berulang kali, bahkan pelupuk sudah meluapkan air mata hingga membanjiri pipiku. “Kau—“

“Iya, Ji. Aku menyukaimu, dari dulu hingga nanti aku di atas sana,” ucapnya.

Bersamaan dengan angin yang berhembus, aku bisa melihat perawakan laki-laki tersebut semakin mengabur, semakin berbayang, dan semakin membuatku sadar kalau dia akan pergi.

“Selamat ulang tahun Jihan. Sampai jumpa lagi ketika kau sudah jadi nenek-nenek.”

Sebelum dia pergi sepenuhnya, aku langsung tersenyum lebar, meski tangisku masih mengalir. Dengan suara yang sarat akan sedu sedan, aku berucap, “Aku juga menyukaimu, Kim Wonpil.”

Untuk yang terakhir kalinya, aku mencoba merekam semuanya. Bersama langit biru, hembusan angin, dan suara rumput saling menggelitik. Wonpil tersenyum, bersama setetes air mata yang tertinggal.

Dalam sekejap, ia menghilang dengan gelakan tawanya yang bilang, “Lelucon semesta menghibur juga, ya? Ternyata, kita saling menyukai.”

***

A/n: pernah ditulis di platform lain untuk sebuah event

His voices.

His smiles. And the tears i saw the last time All of it, It still fresh in my mind

Sewaktu SMA, barangkali aku merupakan gadis culun yang menghindari keramaian. Tidak mempedulikan orang-orang, bahkan sebisa mungkin aku hanya menjawab sekenanya saat mau tak mau harus berkonversasi dengan teman sekelas.

Aku memang tidak punya teman. Namun, itu tidak mengartikan bahwa aku sendirian. Sejak kecil, aku bisa berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Tenang, aku tidak gila sampai melakukan ritual penyembahan iblis sebagai kekuatan. Aku sekadar berbincang dan membantu mereka ala kadarnya.

Aku memang tidak punya teman. Namun, aku juga seperti gadis pada umumnya yang menyukai seseorang.

Kim Wonpil, namanya.

Dia teman satu kelasku, sekaligus anggota band bernama Enam Hari. Di antara semua anggota, bagiku karisma Wonpil justru yang membuatku terpana.

Suaranya sungguh menenangkan. Raut wajah yang ia ekspresikan penuh dengan berbagai macam emosi, sampai-sampai aku juga ikut terhipnotis. Tawanya begitu adiktif, hingga rasanya aku rela kalau gelakannya sebagai pengantar tidurku.

Akan tetapi, aku tahu, dunia kami berbeda.

Bahkan, untuk tersadar, aku perlu mendengar secara tidak sengaja pada hari ulang tahunku.

“Hei, kau dengar isu Kim Wonpil?”

“Tentang apa?”

“Kudengar, setelah upacara kelulusan hari ini, Wonpil akan bertunangan!”

Aku jelas terpaku. Membuat seorang perempuan berwajah pucat di sampingku, kini menatapku, berusaha untuk mengenggam tangan, walaupun berikutnya dia sadar, kalau ia tidak bisa meraihnya.

“Kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh. “Tidak apa-apa. Lagi pula, duniaku memang berbeda dengannya.”

Aku bersyukur berada di balik kacamata tebal yang kini kukenakan, setidaknya jika air mataku tiba-tiba mengalir tanpa henti, tidak ada yang menyadariku.

Eh tunggu, memangnya ada yang peduli?

***

Empat tahun silih berganti. Menjadikan aku mengubah diri, dari perempuan yang terperangkap dalam lensa kacamata super tebal, menjadi gadis yang julukan 'si culun' rasanya tidak pantas kusemat.

Namun rasanya, walaupun sudah lewat empat tahun, aku masih dihukum oleh langit untuk menyukainya hingga sekarang.

Benar, aku masih menyukai Wonpil.

Gila, ya? Memangnya aku pantas untuk menyukainya?

Dihela napas cukup berat, aku merapatkan kepalaku pada jendela bis dan meratapi jalanan dengan pandangan kosong. Tak lama, bis yang kunaiki, kini berhenti di terminal yang kutuju.

Pukul setengah sepuluh, memang sudah terlarut malam, pantas saja jalan yang kulalui begitu sepi. Menendang kerikil selama di perjalanan untuk menghindari kebosanan, kepalaku juga entah kenapa tiba-tiba memikirkan suatu hal.

Berpikiran, apa jadinya kalau semisalnya aku bertemu dengan Kim Wonpil sekali lagi?

Pada mulanya, aku mendengus. Beropini kalau itu tidak mungkin terjadi, karena kuyakin dia sudah berbahagia dengan perempuan yang bisa jadi telah menjadi istrinya. Ditambah Enam Hari semakin terkenal dan nama mereka tersohor di akun soundscloud serta podcast mereka.

Awalnya memang begitu, tapi sayangnya langit menunjukkan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sebab, tepat di atas ranting pohon, pemuda tersebut ada di sana.

Laki-laki yang menjadi tuan rumah hatiku hingga sekarang, kini tengah melambaikan tangannya padaku.

“Hei Jihan!” Dia memanggil, kemudian langsung loncat tepat di hadapanku. Ia kini tersenyum, persis hangatnya seperti terakhir kali aku melihatnya. Namun bedanya, dia kini sudah tidak lagi sama.

“Kau bisa melihatku, ya?”

Siapa yang sadar? Bila kini, Wonpil sudah menjadi arwah.

***

“Hei, Jihan!”

“Kau mendengarku, 'kan?”

“Jangan acuhkan aku, dong.”

“Aish, menyebalkan. Kau berusaha untuk menghindari kontak mata denganku, 'kan? Memang, ya, manusia zaman sekarang makin hari makin tak bertalenta. Manusia kayak kau tuh—“

“AH BERISIK!” teriakku kesal, kemudian menoleh pada seseorang—ah, lebih tepatnya makhluk menyebalkan yang kini bergelantung terbalik di ranting pohon.

Tipikal Wonpil sekali.

“Gotcha! Kena kau!” ucapnya, kemudian loncat dengan gaya kopral di hadapanku. Dia tersenyum miring, lalu menyugarkan surai coklatnya. “Ayo, main!”

Aku mendengus menatapnya sedikit kesal. “Daripada bermain, mending kau selesaikan misimu kenapa kau masih terperangkap dalam dunia ini!”

Ini sudah dua bulan arwah itu mengekoriku. Tidak ada tanda sama sekali bahwa dia serius untuk tenang di alam sana. Wonpil hanya bercerita kalau dia ditabrak mobil, lalu sewaktu bangun, dia sudah berada di pemakaman yang terdapat foto formalnya dengan rangkaian bunga pertanda turut berduka cita.

“Hari ini.”

Aku menaikkan alis dengan suaranya yang tiba-tiba. “Aku sudah tahu apa tujuanku. Jadi, ayo ikuti aku.”

Aku terpaku dalam sejenak, kemudian mendengus.

Ah, hari ini, ya?

Apa artinya, hari ini aku akan berpisah?

***

Wonpil bilang kalau empat tahun yang lalu, dia pernah menghilangkan gantungan ponsel di semak-semak belakang sekolah. Aku tidak tahu kenapa begitu, tapi aku juga tidak berniat untuk berbicara lebih lanjut karena dadaku makin sesak.

Ibuku bilang, kalau di dunia ini akhir pertemuan ada dua. Berpisah tanpa bisa berkontak lebih lanjut atau berpisah karena maut. Namun, perpisahanku dengan Kim Wonpil sudah kurasakan keduanya.

Sembari menahan air mata, aku membantunya mencari.

“Jihan ... Jihan! Gantungannya di sini!” ucapnya heboh. Aku menoleh lalu mengambil gantungan berbandul boneka tersebut.

Wonpil terkejut begitu melihatku yang menahan tangis. Ia lantas tidak meraih gantungannya dan justru bilang, “Itu buatmu.”

Aku mengernyit, membuatnya justru terkekeh dan mencoba untuk mengusap suraiku, walau berikutnya dia langsung mendengus. “Ah, candaan semesta memang lucu, ya? Bahkan, untuk terakhir kalinya, aku tidak bisa untuk memelukmu, Ji.”

“Maksudmu apa?” biraiku bergetar.

“Hm?”

“Kau kenapa bertingkah begini?”

Dia tersenyum. Netra hitamnya bahkan mencoba untuk tenggelam di dalamku yang entah kenapa terlihat rapuh. “Kau tahu ... pada hari kelulusan, aku berniat untuk memberikan gantungan itu padamu karena aku sadar, setelah itu aku tidak akan bisa menemuimu lagi. Namun, aku pengecut, Ji. Hari itu, aku tidak bisa memberikannya padamu. Aku tidak menemuimu. Aku tidak bisa mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan, meski tahu ini salah, aku tetap tidak bisa bilang kalau aku menyukaimu, Ji.”

Biraiku mengatup berulang kali, bahkan pelupuk sudah meluapkan air mata hingga membanjiri pipiku. “Kau—“

“Iya, Ji. Aku menyukaimu, dari dulu hingga nanti aku di atas sana,” ucapnya.

Bersamaan dengan angin yang berhembus, aku bisa melihat perawakan laki-laki tersebut semakin mengabur, semakin berbayang, dan semakin membuatku sadar kalau dia akan pergi.

“Selamat ulang tahun Jihan. Sampai jumpa lagi ketika kau sudah jadi nenek-nenek.”

Sebelum dia pergi sepenuhnya, aku langsung tersenyum lebar, meski tangisku masih mengalir. Dengan suara yang sarat akan sedu sedan, aku berucap, “Aku juga menyukaimu, Kim Wonpil.”

Untuk yang terakhir kalinya, aku mencoba merekam semuanya. Bersama langit biru, hembusan angin, dan suara rumput saling menggelitik. Wonpil tersenyum, bersama setetes air mata yang tertinggal.

Dalam sekejap, ia menghilang dengan gelakan tawanya yang bilang, “Lelucon semesta menghibur juga, ya? Ternyata, kita saling menyukai.”

***

A/n: pernah ditulis di platform lain untuk sebuah event