Sejatinya, Jakarta di malam hari itu benar-benar penganggu ketenangan setiap insan.
Mendatangkan hiruk-pikuk tak ada batas. Kebisingan, kegaduhan, keributan, dan entah definisi apa lagi yang mampu menggambarkannya, menghasilkan nelangsa tanpa ukur bagi metropolis tak kenal semangat jua.
Namun, entah kenapa, definisi yang menggambarkan betapa ributnya Jakarta tersebut tidak ada yang merasakannya di antara atmosfer mereka berdua.
Kebisingan Jakarta memang ada, tetapi tidak dengan Laura dan Dewa yang kini duduk di ayunan.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara. Justru kecanggungan dan kekikukan badan yang mengambil suara.
Dewa tiba-tiba saja berpikir.
Kapan terakhir kali dia memiliki waktu berdua saja dengan Laura?
Kapan terakhir kali dia punya quality time dengan Laura?
Kapan terakhir kali mereka berbicara hal-hal random tak masuk akal sampai tidak mengenal waktu?
Juga, kecanggungan di antara mereka ini dimulai sejak kapan?
Memikirkannya saja membuat Dewa mendengus.
Ternyata memang benar.
Waktu sungguhan sebuah kunci hidup penuh misteri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Padahal, cuman bergulir satu tahun, tetapi semuanya berubah total.
Tidak ada candaan, ledekan, serta gelakan tawa, tetapi yang merayap justru kebisuan, keseganan, serta kekakuan.
Dan semua itu terjadi bukan cuman karena waktu. Namun, karena ulahnya.
Karena tangannya.
Serta tentang perasaannya.
Dewa yang mengubah semuanya hingga menjadi seperti ini.
Dewa yang merecoki hubungan mereka berdua.
Dan Dewa pula yang memang seharusnya untuk meminta maaf.
Namun, yang berbicara untuk mengatakan kata sakral itu justru dari birai gadis tersebut.
Laura yang sedari tadi hanya diam, kini berbicara dengan suara pelannya
“Maaf.”
Dewa membisu, tidak mengerti dengan ulah dadakan Laura. Saat perkataannya itu membuat ernyitan alis di raut Dewa, gadis itu tidak langsung menjawab.
“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”
Laura tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, ngeblokir semua social media itu tingkah kekanak-kanakan, ya? Gue sendiri yang membatasi semua hubungan. Padahal, kalau gue gak ngelakuin itu, kita gak bakal berada di suasana canggung kayak gini.”
Dewa membisu, terlarut dalam banyak pikiran yang menggentayanginya. Dia pribadi tidak mengerti, kenapa justru perempuan itu yang meminta maaf.
Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah di sini.
Maka, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Dewa buru-buru mengangkat suara.
“Ra—“
“Kak? Inget gak, sih? RPTRA jadi tempat bersejarah di mana kita mulai bicara. Di mana lo bantuin gue buat ngendarain sepeda dan sejak itu jadi ngalir,” jeda Laura sebentar tanpa mau menatap Dewa yang kini dirundung kegundahan. “Aneh gak, sih? Kalau ini jadi tempat kita buat mengakhiri sejarah juga?”
Ucapan Laura lantas membuat Dewa mati kutu. Membuat pemuda itu semakin dirundung penyesalan.
Dan semuanya itu semakin jelas saat Laura bilang,
“Gue pengen banget benci sama lo, Kak ... Tapi, gue gak bisa.”
Bersama suaranya yang terdengar bergetar.
“Gue benci jadi diri gue sendiri yang terlalu baik. Gue benci sama diri gue yang lahir jadi anak gak enakan. Gue benci sama diri gue sendiri yang gak bisa egois,” jeda Laura sebentar, “Pun gue benci sama diri gue yang gak bisa jahat.”
“Padahal, banyak luka yang lo kasih. Tapi, lo juga punya banyak kebaikan yang lo beri ke gue. Lo yang ngajarin gue naik sepeda, lo yang nemenin gue buat ngomong di balkon, lo jadi orang pertama buat gue minta jemput, lo yang gak peduli tentang waktu baik pagi atau malem asal gue udah makan.
“Lo juga satu-satunya orang yang nanggepin semua ocehan gue,” jeda Laura kini mampu menatap Dewa tepat di matanya. “Tapi itu dulu. Sampai akhirnya gue takut buat percaya sama orang. Takut buat terbuka ke orang lain.”
“Lo baik, Kak. Tapi di satu sisi lo juga jahat ke gue. Tiap kali gue yang nyumpahin lo karena bikin gue ketakutan buat percaya sama orang lain, di waktu itu pula gue juga mikirin betapa baiknya lo selama itu.”
Laura berdiri, menghapus air matanya, kemudian tersenyum samar.
“Bahagiain adek gue, ya? Gue masih merasa bersalah karena gak bisa ngelindungin dia, walaupun gue masih satu domisili sama dia,” ucapnya lalu melangkah untuk pergi.
Namun, sebelum Laura seutuhnya meninggalkan laki-laki itu, Dewa buru-buru berdiri.
“Ra,” panggilnya. Menahan tangan perempuan itu.
Sekaligus sebagai petanda bahwa Dewa selamanya tidak bisa terus-terusan berdiam diri.