Write.as

Springbloomz_

Gadis itu berulang kali menetralkan pernapasannya. Menenangkan segala pikiran dan tangisnya.

Sudah cukup ia menghamburkan air matanya dengan percuma. Lebih baik menjernihkan pikirannya untuk terfokus pada satu hal.

Ra, inget. Tunjukin kalau lo mampu.

Rapalnya demikian sembari menghela napas berulang kali. Perempuan itu berada di bilik kamar mandi kampus, menunggu sesinya tiba di mana ia akan bertempur dan mengerahkan segalanya.

Gadis itu lantas mencari sesuatu yang bisa menghapus jejak tangisnya. Merogoh hingga ke dalam dan menemukan sapu tangan kuning pemberian seseorang.

Menimbang berulang kali, haruskah ia memakainya, hingga akhirnya dia membulatkan pikiran.

Laura menggunakan sapu tangan itu lagi.

Begitu kakinya melangkah keluar dari kamar mandi, Laura justru mendapatkan presensi seorang pemuda yang juga keluar dari bilik sana.

Mungkin melihat Laura yang memaku, laki-laki itu juga terdiam.

“Lho? Ujiannya di sini?” tanya laki-laki itu dan Laura hanya berdiri kaku.

“Sapu tangannya—“

“Lo pake, ‘kan? Gak apa-apa, sih. Pake aja dulu, balikinnya kapan-kapan aja. Udah gue bilang sebelumnya ‘kan kalau bakal ada pertemuan selanjutnya?” ucapnya menenangkan dengan suara rendahnya yang terkesan berat.

Mau tak mau Laura mengangguk mendengarkan ucapan laki-laki itu. Laura baru sadar jika dia adalah orang yang sama ketika menemui teman-teman Dewa tempo hari.

Namanya Jeffrey.

Entah siapa lengkapnya, yang ia tahu hanya begitu.

Maka, saat Jeffrey berjalan mendekat dengan dahi mengkerut lantaran alisnya mengernyit di sana. Laura memilih menunduk.

Mau bagaimana pun, dia tidak terbiasa bertemu dengan orang lain, meskipun tahu laki-laki di hadapannya ini orang baik.

“Mata lo sembab, lo abis—“

“Permisi, Kak. Saya duluan dulu,” ucapnya buru-buru meninggalkan Jeffrey di sana.

Mata tajamnya lantas menyorot perempuan itu yang melangkah memunggungi. Sampai ia melihat, gadis tersebut menghentikan langkahnya dan memilih untuk jalan memutar kala melihat duplikat lain dari dirinya tengah berjalan dengan seseorang yang amat dikenali.

Satu yang dapat Jeffrey simpulkan,

Dewa brengsek.

Barangkali, Laura tidak pernah merasa jika sampai kapan pun ia bisa menang melawan adiknya.

Kepedulian orang tua, perhatian publik, bahkan kini ... orang yang dulu menjadi tempat di mana ia menyandar dari penatnya dunia, kini dia memfosir dirinya untuk ikut berpusat pada dunianya Luna.

Ah, sejujurnya tidak.

Laura lupa kalau dari dulu dia tidak pernah punya tempat untuk berlindung.

Sejatinya, dia tidak ingin untuk dianggap sebelah mata, bahkan jika ada orang yang memandangnya simpatik pun dia tidak biasa.

Tunggu, memangnya ada yang memandang Laura simpatik?

Tidak ada.

Bahkan kini, setelah kelumpuhan gadis itu untuk menyatukan kembali retakan hati yang sudah hancur seutuhnya, Dewa terdiam dan bilang,

“Luna ada di dalem?”

Laura hanya memaku dan tersenyum tipis dengan menghapus jejak air matanya kasar.

Semuanya sudah runyah dan Dewa entah untuk keberapa kalinya, menggores luka di tempat yang sama dengan sayatan yang bahkan lebih dalam hingga tak berbendung.

“Gak tau, udah tewas kali.” Perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh. Namun, langkahnya justru diblokir oleh Dewa yang tidak memberikan ruang.

“Ra ....” Dewa menatapnya. Sungguh dalam dan makin membuat Laura menciut karenanya. Pemuda itu menghela napas dengan jakunnya yang naik turun lantaran rahangnya mengetat.

“Sorry.”

Satu kata lolosan yang akhirnya mampu Dewa rapalkan ketika sebelumnya pemuda tersebut tidak bisa melontarkan kata apa yang sudah berada di ujung lidah.

Dewa bahkan menarik tangan Laura untuk pergi, tetapi gadis itu buru-buru menepis dengan mata yang kini tak lagi direndahkan, tetapi dagunya didongak.

“Lo ....” Suaranya terdengar parau, hingga Dewa sendiri tidak bisa menafsirkan seberapa brengseknya dia saat ini. “Lo minta maaf buat apa?”

“Buat segalanya.”

“Segalanya apa maksud lo, Kak? Coba jelasin ke gue salah satunya.”

Birai Dewa mengatup berulang kali, menghasilkan tarikan satu sudut bibir yang justru membuat Laura mendengus.

“Bahkan lo gak tau kesalahan lo apa, ‘kan?”

“Bukan, Ra.”

“Terus—“

“Kak, makan du—Eh, ternyata ada Kak Dewa?” Luna dengan presensinya itu datang menyela pembicaraan mereka.

“Kenapa gak ngomong—“

“Sori, Lun. Lo minta bokap lo aja yang nganterin, ya? Gue yang nganterin Laura.” Begitu katanya sembari mengambil genggaman Laura dan menjauhkan gadis itu untuk pergi.

Kalau menanyakan kenapa bisa saya menaruh perasaan pada Luna?

Entah lah. Mungkin karena masalah kepengurusan dan meminta saran untuk menangani pensi membuat saya merasakan ada euforia yang berbeda berbanding dengan Laura.

Luna punya caranya sendiri ketika bercerita apa saja. Seolah mempunyai kemampuan untuk membuatnya terpusat dan entah kenapa saya pun terlarut dalam obrolan ringannya itu.

Meski tidak sesatu frekuensi dengan Laura, Luna tahu bagaimana caranya untuk menarik saya terfokus padanya. Terlepas dari itu semua, saya tidak munafik untuk mengatakan bila paras Luna memang lebih cantik ketimbang Laura.

Jika gadis itu bisa mempoles sedikit, mungkin ia akan lebih rupawan dan bisa diketahui keberadaannya. Namun, bagi saya Laura sudah menarik dengan menunjukkan sisi apa adanya.

***

Sebelum semuanya terjadi, sejujurnya saya paling sering pergi dengan Laura ketimbang Luna. Perempuan itu memang bergantung terus pada saya dan sama sekali tidak keberatan untuk menemaninya keluar ketika mencari makanan.

Mungkin, jawaban yang selama ini dilontarkan untuk Laura terdengar ogah-ogahan, padahal itu sekadar candaan dan perempuan itu menanggapinya demikian. Kami berdua entah kenapa satu frekuensi. Dan Laura tidak habis-habisnya bilang kepada saya tentang, “thanks for everything.”

Perempuan itu memang pemalu, tetapi tidak pernah gengsi untuk mengungkapkan perasaannya. Kalau tidak suka ya tidak suka.

Sesederhana itu.

Maka, tidak sekali dua kali perempuan itu bilang pada saya tentang. “Seenggaknya gue punya lo, Kak, ketika dunia menghindar untuk berpusat pada gue.”

Padahal, perempuan itu sering mengucapkan begitu. Mengatakan demikian acapkali mengantarkannya pergi dan pulang.

Namun, sekali lagi.

Yang namanya Randika Dewa itu bodoh.

Benar, saya terlampau bodoh dan tolol.

Ketika seharusnya saya berdiri di sana untuk melindungi dari segala risakan takdir, justru saya berjalan berbalik dan membuat perempuan itu lumpuh dengan segala goresan.

Saya memang terlampau bodoh dan benar apa kata Jep.

Sulit untuk membuat perempuan itu kembali menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan saya berbatasan dengan railing balkon

Sulit untuk membuat perempuan itu kembali menghabiskan waktunya untuk pergi dengan saya.

Sulit untuk membuat perempuan itu untuk memanggil “Kak Doyi” lagi pada saya.

Sulit untuk membuat perempuan itu untuk berada pada radar jangkauan saya.

Dan yang paling penting dari itu semua, sulit untuk membuatnya percaya pada saya lagi.

Kini, perasaan menyesal dan sesakan itu sekali lagi menggerogoti relung terdalam yang melihat perempuan itu memancarkan penuh kebengisan.

Melihat gadis itu tidak lagi menatap berharap dan makin membuat belengguan memori lampau menyekik pernapasan.

“Ra—“ Saya memanggil namanya. Menyusun segala kata dengan apik dalam otak yang mendesak meminta untuk segera dikatakan.

*Ra, kalau gue bilang gue kangen lo manggil gue Kak Doyi lagi, apa lo percaya?

Ra, ketika Johnny nyuruh gue untuk berdamai dengan kesalahan gue yang dulu, justru ketika ngeliat lo hancur begini, gue makin menyesal.

Ra, bahkan kalau gue meminta restu langit dan segala isinya sekadar meminta izin untuk nyembuhin luka lo, gue bakal lakuin.*

Namun, yang justru keluar adalah kata yang berbanding terbalik dan menelannya bulat-bulat dengan kalimat lain yang bilang,

“Ra, Luna di dalem?”

Randika bodoh.

Suara Dewa podcast 0.1

Adrianna Laura.

Begitu katanya, sewaktu dia pindah ke sebelah rumah dengan ia yang bersembunyi di belakang Luna yang justru memberikan seulas senyuman.

Pada mulanya, dua kembar cilik yang memiliki distansi dua tahun dengan saya itu, justru menaruh presepsi bahwa Luna yang kakak sementara Laura si adek.

Mungkin saking pemalunya, apalagi dia yang bersembunyi di belakang saudaranya itu.

Adrianna Laura.

Perempuan yang entah sejak kapan menjadi dekat. Padahal, dia tidak memiliki gestur distraksi, tetapi netra hitam ini menyorotnya terus-terusan sewaktu dia yang duduk di podium RPTRA sembari menopang dagu. Saat mengikuti arah pandangnya, barulah sadar bila perempuan itu memandang adiknya yang diajari sepeda oleh kedua orang tuanya.

Saat mendekat dan bertanya, “Kenapa gak belajar?”

Dia bilang, “Papa cuman mampu beli sepeda satu. Dan itu untuk Luna. Laura nanti dibeliin, sih. Tapi gak sekarang.”

Bocah itu mengerucutkan bibirnya, membentuk bebek dan menghela napas. “Mungkin karena Laura kakak. Jadi, harus mengalah.”

Terkekeh sedikit, lantas menghadiahkan perempuan itu dengan kepala yang diusap.

Lantas, momen itu terjadi begitu saja ketika saya membantunya mengendarai sepeda.

Adrianna Laura.

Dia baik.

Gadis itu memang baik dari dulu hingga sekarang. Pada mulanya dia memang pemalu, menutup diri dari keramaian, bahkan ketika ia menghadiri forum sekolah, saya yang duduk di barisan paling depan bersama Luna karena perempuan itu sama-sama menyukai kegiatan aktifis sekolah bisa melihat bahwa dia lebih memilih di sudut ruangan.

Saat diajak untuk ke depan karena ada saya di sana, jadi perempuan itu sedikit kemungkinan untuk mendapatkan sasaran pertanyaan, Laura tetap menolak dan bilang ia tidak biasa.

Dia memang pemalu, tetapi kalau bersama saya dia bisa membicarakan banyak hal, bahkan hal-hal tidak penting seperti melihat kucing hilang dengan bulu lebat bisa diobrolkan bermenit-menit olehnya.

Adrianna Laura.

Saya mungkin memang dekat, tapi ada di satu sisi bahwa bagian dari diri saya tidak terlalu mengenalnya. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak terlalu menahu mengenai perempuan itu apakah memiliki teman atau tidak.

Ketika saya kelas tiga SMP dan menunggu Pendalaman Materi berlangsung, saya melihat perempuan itu keluar sendirian. Tidak mengobrol dengan siapa pun, ketika orang-orang pulang dengan rombongannya.

Tidak ada Luna, karena tahu perempuan itu ada kegiatan OSIS di dekat podium. Saya bahkan tidak pernah barang sekali saja melihat Laura pulang dengan kembarannya, bahkan ketika ada kesempatan pun, saya hanya melihat Laura pulang terlebih dahulu sementara Luna yang akan paling terlambat ketika massa sudah membubarkan diri untuk mengobrol dengan teman kumpulannya.

Adrianna Laura.

Bilamana perempuan itu memiliki nama pasaran seperti Putri, Sasa, atau Dwi mungkin yang disebutkan oleh publik justru “putri-putri” yang lain dan namanya tidak akan pernah disebutkan sebab perempuan itu lebih memilih untuk membatasi dirinya.

Pun jika membahas tentang si kembar, nama yang paling disebutkan khalayak adalah Luna, bukan Laura.

Karena sedikit orang yang tahu tentang presensinya. Bahkan, saya yakin, hanya saya seorang yang tahu tentangnya.

Dulu, dia percaya dengan saya. Dan kini, saya menghancurkannya.

Sebab, saat Luna mengirimkan pesan tentang untuk menjemputnya dan berniat menunggu di dalam, langkah yang tadinya ingin memasuki rumahnya, terhenti ketika perempuan itu bersuara dengan keras meski terdengar parau tentang hak asuh anak.

Perempuan itu berhenti melangkah begitu menangkap presensi saya di muka pintu.

Sorotannya yang penuh luka, begitu menembus betapa hancurnya ia. Pandangannya tidak lagi sama dengan yang dulu.

Dan itu membuktikan betapa menyesal dan ikut hancurnya harga diri saya ketika Laura sama sekali tidak menatap dengan harapan.

Meski hancur begini, kelereng hitamnya tidak menyorot untuk meminta diselematkan, melainkan tatapan yang makin menyendu membuat saya sadar.

Bahkan untuk menyembuhkan lukanya tak akan pernah berarti sebab ketika dia yang dulu hanya memiliki saya, justru tangan yang seharusnya mengulur untuk menolongnya, justru ditepis dan mengulur pada seseorang yang bahkan lukanya tak sedalam gadis itu.

Saya menyia-nyiakannya.

#Suara Dewa podcast 0.1

Adrianna Laura.

Begitu katanya, sewaktu dia pindah ke sebelah rumah dengan ia yang bersembunyi di belakang Luna yang justru memberikan seulas senyuman.

Pada mulanya, dua kembar cilik yang memiliki distansi dua tahun dengan saya itu, justru menaruh presepsi bahwa Luna yang kakak sementara Laura si adek.

Mungkin saking pemalunya, apalagi dia yang bersembunyi di belakang saudaranya itu.

Adrianna Laura.

Perempuan yang entah sejak kapan menjadi dekat. Padahal, dia tidak memiliki gestur distraksi, tetapi netra hitam ini menyorotnya terus-terusan sewaktu dia yang duduk di podium RPTRA sembari menopang dagu. Saat mengikuti arah pandangnya, barulah sadar bila perempuan itu memandang adiknya yang diajari sepeda oleh kedua orang tuanya.

Saat mendekat dan bertanya, “Kenapa gak belajar?”

Dia bilang, “Papa cuman mampu beli sepeda satu. Dan itu untuk Luna. Laura nanti dibeliin, sih. Tapi gak sekarang.”

Bocah itu mengerucutkan bibirnya, membentuk bebek dan menghela napas. “Mungkin karena Laura kakak. Jadi, harus mengalah.”

Terkekeh sedikit, lantas menghadiahkan perempuan itu dengan kepala yang diusap.

Lantas, momen itu terjadi begitu saja ketika saya membantunya mengendarai sepeda.

Adrianna Laura.

Dia baik.

Gadis itu memang baik dari dulu hingga sekarang. Pada mulanya dia memang pemalu, menutup diri dari keramaian, bahkan ketika ia menghadiri forum sekolah, saya yang duduk di barisan paling depan bersama Luna karena perempuan itu sama-sama menyukai kegiatan aktifis sekolah bisa melihat bahwa dia lebih memilih di sudut ruangan.

Saat diajak untuk ke depan karena ada saya di sana, jadi perempuan itu sedikit kemungkinan untuk mendapatkan sasaran pertanyaan, Laura tetap menolak dan bilang ia tidak biasa.

Dia memang pemalu, tetapi kalau bersama saya dia bisa membicarakan banyak hal, bahkan hal-hal tidak penting seperti melihat kucing hilang dengan bulu lebat bisa diobrolkan bermenit-menit olehnya.

Adrianna Laura.

Saya mungkin memang dekat, tapi ada di satu sisi bahwa bagian dari diri saya tidak terlalu mengenalnya. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak terlalu menahu mengenai perempuan itu apakah memiliki teman atau tidak.

Ketika saya kelas tiga SMP dan menunggu Pendalaman Materi berlangsung, saya melihat perempuan itu keluar sendirian. Tidak mengobrol dengan siapa pun, ketika orang-orang pulang dengan rombongannya.

Tidak ada Luna, karena tahu perempuan itu ada kegiatan OSIS di dekat podium. Saya bahkan tidak pernah barang sekali saja melihat Laura pulang dengan kembarannya, bahkan ketika ada kesempatan pun, saya hanya melihat Laura pulang terlebih dahulu sementara Luna yang akan paling terlambat ketika massa sudah membubarkan diri untuk mengobrol dengan teman kumpulannya.

Adrianna Laura.

Bilamana perempuan itu memiliki nama pasaran seperti Putri, Sasa, atau Dwi mungkin yang disebutkan oleh publik justru “putri-putri” yang lain dan namanya tidak akan pernah disebutkan sebab perempuan itu lebih memilih untuk membatasi dirinya.

Pun jika membahas tentang si kembar, nama yang paling disebutkan khalayak adalah Luna, bukan Laura.

Karena sedikit orang yang tahu tentang presensinya. Bahkan, saya yakin, hanya saya seorang yang tahu tentangnya.

Dulu, dia percaya dengan saya. Dan kini, saya menghancurkannya.

Sebab, saat Luna mengirimkan pesan tentang untuk menjemputnya dan berniat menunggu di dalam, langkah yang tadinya ingin memasuki rumahnya, terhenti ketika perempuan itu bersuara dengan keras meski terdengar parau tentang hak asuh anak.

Perempuan itu berhenti melangkah begitu menangkap presensi saya di muka pintu.

Sorotannya yang penuh luka, begitu menembus betapa hancurnya ia. Pandangannya tidak lagi sama dengan yang dulu.

Dan itu membuktikan betapa menyesal dan ikut hancurnya harga diri saya ketika Laura sama sekali tidak menatap dengan harapan.

Meski hancur begini, kelereng hitamnya tidak menyorot untuk meminta diselematkan, melainkan tatapan yang makin menyendu membuat saya sadar.

Bahkan untuk menyembuhkan lukanya tak akan pernah berarti sebab ketika dia yang dulu hanya memiliki saya, justru tangan yang seharusnya mengulur untuk menolongnya, justru ditepis dan mengulur pada seseorang yang bahkan lukanya tak sedalam gadis itu.

Saya menyia-nyiakannya.

Laura berulang kali menghela napas. Merapalkan banyak doa dan menetralkan pernapasan sekadar menenangkan jantungnya.

Hari ini tiba.

Hari pertempuran di mana ia akan menunjukkan tentang apa saja yang selama ini gadis tersebut pelajari. Dengan anggukan mantap begitu melihat perawakannya di pantulan cermin, Laura membuka pintu kamarnya.

Meski tubuh gadis tersebut kelewat lemas karena gugup, tapi sebisa mungkin ia berjalan dengan percaya diri.

Mana mungkin dia sudah menasehati Lucas, tetapi ia sendiri tidak bisa menerapkannya.

Menuruni tangga, meski gadis itu sempat melirik pada pemilik bilik saudaranya yang terbuka, tetapi tak menemukan eksistensinya di dalam. Sedikit penasaran, mengingat siapa tahu adiknya masih bergelung di kamar mandi, tetapi Luna bukan tipikal anak yang terlambat.

Maka, perempuan tersebut kembali melangkah dan menemukan kedua orang tuanya dan Luna tengah sarapan dan bercakap.

“Dek, nanti soalnya dibaca baik-baik. Baca basmallah dulu, doa yang bener. Dibaca berulang kali, jangan sampai terkecoh.” Suara berat papa mendominasi diiringi dengan denting sendok yang saling beradu.

Laura melihat momen itu hanya menghela napas. Meski perempuan tersebut sudah memasuki area ruang makan, tetapi tak ada saran yang Laura dapatkan.

Ah, tidak.

Jangankan saran, menyadari perempuan tersebut datang tampaknya tidak.

“Kak, makan dulu sini. Mama buatin Kakak telur dadar, lho. Kesukaan Kakak ‘kan?” Luna menyuruh perempuan itu untuk duduk di sebelahnya bertepatan ketika ia membuka kulkas.

Dilihat di dalamnya terdapat sebotol milo yang berlabel tulisan “Luna.”

Perempuan itu menelisik lebih jauh, mencari-cari apakah ada botol bentukan lain khusus dirinya. Akan tetapi, sedalam apa pun kepala Laura menyembul, jawabannya nihil.

Tidak ada botol khusus untuk Laura.

Gadis tersebut menarik salah satu sudut birainya, menggores senyuman sinis dan menengadah.

Lagipula, apa yang ia harapkan?

Sungguh, Laura tidak ingin mencari masalah. Tidak mau memperburuk keadaan, tetapi mau sampai kapan perempuan tersebut bergeming?

Maka dari itu, tatapannya mengarah pada tiga kepala tersebut yang masih sibuk dengan makanan, bahkan bercakap tentang segala hal yang harus Luna siapkan.

Iya, Luna.

Hanya Luna.

Dan selamanya tentang Luna.

“Cuman buat Luna?” Perempuan itu menggenggam botol minumannya.

Buku tangannya terkepal sempurna, membanting pintu kulkas dengan keras, membuat keheningan langsung mengambil alih di antara atmosfer mereka.

“Kak, lo bikin kag—“

“Berisik. Gue lagi gak ngomong sama lo.” Mata tajam Laura memandang sinis perempuan tersebut yang mengatup berulang kali.

Dilihat tenggorokan papanya yang mengetat, bahkan urat nadinya menonjol, makin membuat Laura tersenyum sinis.

Mungkin benar apa katanya dulu.

Luka yang menganga lebar.

Luka yang tergores dalam.

Luka yang disayat sempurna.

Tidak akan bisa diobati hingga kapan pun dan oleh siapa pun. Bahkan pada orang yang menaruh luka sendiri, pun tidak bisa disembuh.

“Kalau nanti Laura lolos, Mama sama Papa bisa lepasin hak asuh anak atau bahkan coret namaku di dalam kartu keluarga. Tujuh belas tahun hidup sama kalian, bahkan gak ada satu memori yang pantas untuk dikenang.” Tangisan gadis tersebut tumpah bersamaan dengan birainya yang bergetar hebat.

Kelewat hebat sampai bahu serta tangannya ikut gemetaran. Sampai-sampai ia merasakan napasnya tercekik, saking sesak nan sakit relung hatinya.

Disela isakan tangis, hingga Laura memegang dadanya sendiri saking sesaknya. Dia bilang, “Dengan begitu, kalau suatu hari Laura buka firma hukum. Megang kasus besar dan berhasil menang dengan muka yang terpampang di layar kaca, jangan sekali-kali kalian bilang, ‘itu anakku.’ Karena apa?”

“Karena Laura bukan lagi anak kalian ketika waktu itu tiba.”

Laura yakin, perempuan tersebut tidak lagi menyambet sebagai gadis terkuat. Namun yang tersisa hanyalah dia seorang anak yang malang.

Hancur sudah.

Baknya kaca yang dilemparkan bola, kepingan hati yang selama ini retak, telah berhasil hancur seutuhnya tanpa bisa lagi dibenarkan.

Laura melemparkan botol minuman yang sedari tadi dipegang dengan keras. Tak menggubris panggilan dari ketiganya begitu ia berjalan melewati.

Laura berantakan.

Dia sudah tak mengenali siapa dirinya lagi.

Di saat semua yang berangsur begitu cepat layaknya rentetan skenario, seorang pemuda berdiri di muka pintu.

Melihat gadis tersebut rapuh.

Namun sayangnya, dia tidak menganggapnya sebagai cahaya harapan yang bisa ia genggam. Justru dengan eksistensi laki-laki tersebut yang berada dalam pandangannya, makin membuat luka lainnya terbuka.

“Ra—“ lirihnya.

Tatapan Laura kelewat sendu begitu manik hitamnya menyorot laki-laki itu dalam. Saking dalamnya, ia bisa merasakan tembusan keputusasaan serta-merta kehancuran yang diperoleh.

Kalau saja bukan laki-laki itu di hadapannya.

Kalau saja Lucas yang berdiri di hadapannya seperti waktu itu.

Atau pemuda pemilik sapu tangan.

Atau bisa jadi Mark.

Laura sekali lagi meminta untuk diselematkan.

Akan tetapi, yang hadir justru dia.

Dewa yang ada di hadapannya.

Laura berulang kali menghela napas. Merapalkan banyak doa dan menetralkan pernapasan sekadar menenangkan jantungnya.

Hari ini tiba.

Hari pertempuran di mana ia akan menunjukkan tentang apa saja yang selama ini gadis tersebut pelajari. Dengan anggukan mantap begitu melihat perawakannya di pantulan cermin, Laura membuka pintu kamarnya.

Meski tubuh gadis tersebut kelewat lemas karena gugup, tapi sebisa mungkin ia berjalan dengan percaya diri.

Mana mungkin dia sudah menasehati Lucas, tetapi ia sendiri tidak bisa menerapkannya.

Menuruni tangga, meski gadis itu sempat melirik pada pemilik bilik saudaranya yang terbuka, tetapi tak menemukan eksistensinya di dalam. Sedikit penasaran, mengingat siapa tahu adiknya masih bergelung di kamar mandi, tetapi Luna bukan tipikal anak yang terlambat.

Maka, perempuan tersebut kembali melangkah dan menemukan kedua orang tuanya dan Luna tengah sarapan dan bercakap.

“Dek, nanti soalnya dibaca baik-baik. Baca basmallah dulu, doa yang bener. Dibaca berulang kali, jangan sampai terkecoh.” Suara berat papa mendominasi diiringi dengan denting sendok yang saling beradu.

Laura melihat momen itu hanya menghela napas. Meski perempuan tersebut sudah memasuki area ruang makan, tetapi tak ada saran yang Laura dapatkan.

Ah, tidak.

Jangankan saran, menyadari perempuan tersebut datang tampaknya tidak.

“Kak, makan dulu sini. Mama buatin Kakak telur dadar, lho. Kesukaan Kakak ‘kan?” Luna menyuruh perempuan itu untuk duduk di sebelahnya bertepatan ketika ia membuka kulkas.

Dilihat di dalamnya terdapat sebotol milo yang berlabel tulisan “Luna.”

Perempuan itu menelisik lebih jauh, mencari-cari apakah ada botol bentukan lain khusus dirinya. Akan tetapi, sedalam apa pun kepala Laura menyembul, jawabannya nihil.

Tidak ada botol khusus untuk Laura.

Gadis tersebut menarik salah satu sudut birainya, menggores senyuman sinis dan menengadah.

Lagipula, apa yang ia harapkan?

Sungguh, Laura tidak ingin mencari masalah. Tidak mau memperburuk keadaan, tetapi mau sampai kapan perempuan tersebut bergeming?

Maka dari itu, tatapannya mengarah pada tiga kepala tersebut yang masih sibuk dengan makanan, bahkan bercakap tentang segala hal yang harus Luna siapkan.

Iya, Luna.

Hanya Luna.

Dan selamanya tentang Luna.

“Cuman buat Luna?” Perempuan itu menggenggam botol minumannya.

Buku tangannya terkepal sempurna, membanting pintu kulkas dengan keras, membuat keheningan langsung mengambil alih di antara atmosfer mereka.

“Kak, lo bikin kag—“

“Berisik. Gue lagi gak ngomong sama lo.” Mata tajam Laura memandang sinis perempuan tersebut yang mengatup berulang kali.

Dilihat tenggorokan papanya yang mengetat, bahkan urat nadinya menonjol, makin membuat Laura tersenyum sinis.

Mungkin benar apa katanya dulu.

Luka yang menganga lebar.

Luka yang tergores dalam.

Luka yang disayat sempurna.

Tidak akan bisa diobati hingga kapan pun dan oleh siapa pun. Bahkan pada orang yang menaruh luka sendiri, pun tidak bisa disembuh.

“Kalau nanti Laura lolos, Mama sama Papa bisa lepasin hak asuh anak atau bahkan coret namaku di dalam kartu keluarga. Tujuh belas tahun hidup sama kalian, bahkan gak ada satu memori yang pantas untuk dikenang.” Tangisan gadis tersebut tumpah bersamaan dengan birainya yang bergetar hebat.

Kelewat hebat sampai bahu serta tangannya ikut gemetaran. Sampai-sampai ia merasakan napasnya tercekik, saking sesak nan sakit relung hatinya.

Disela isakan tangis, hingga Laura memegang dadanya sendiri saking sesaknya. Dia bilang, “Dengan begitu, kalau suatu hari Laura buka firma hukum. Megang kasus besar dan berhasil menang dengan muka yang terpampang di layar kaca, jangan sekali-kali kalian bilang, ‘itu anakku.’ Karena apa?”

“Karena Laura bukan lagi anak kalian ketika waktu itu tiba.”

Laura yakin, perempuan tersebut tidak lagi menyambet sebagai gadis terkuat. Namun yang tersisa hanyalah dia seorang anak yang malang.

Hancur sudah.

Baknya kaca yang dilemparkan bola, kepingan hati yang selama ini retak, telah berhasil hancur seutuhnya tanpa bisa lagi dibenarkan.

Laura melemparkan botol minuman yang sedari tadi dipegang dengan keras. Tak menggubris panggilan dari ketiganya begitu ia berjalan melewati.

Laura berantakan.

Dia sudah tak mengenali siapa dirinya lagi.

Di saat semua yang berangsur begitu cepat layaknya rentetan skenario, seorang pemuda berdiri di muka pintu.

Melihat gadis tersebut rapuh.

Namun sayangnya, dia tidak menganggapnya sebagai cahaya harapan yang bisa ia genggam. Justru dengan eksistensi laki-laki tersebut yang berada dalam pandangannya, makin membuat luka lainnya terbuka.

“Ra—“ lirihnya.

Tatapan Laura kelewat sendu begitu manik hitamnya menyorot laki-laki itu dalam. Saking dalamnya, ia bisa merasakan tembusan keputusasaan serta-merta kehancuran yang diperoleh.

Kalau saja bukan laki-laki itu di hadapannya.

Kalau saja Lucas yang berdiri di hadapannya seperti waktu itu.

Atau pemuda pemilik sapu tangan.

Laura sekali lagi meminta untuk diselematkan.

Akan tetapi, yang hadir justru dia.

Dewa yang ada di hadapannya.

Randika Dewa namanya.

Nyaris kepala dua, tetapi laki-laki tersebut masih merasa bahwa dia tidak ada bedanya dengan remaja labil pada umumnya.

Dia sering mengintip di balik gorden. Selalu memastikan bahwa pemilik kamar seberang baik-baik saja setelah dia yang melakukan ketololan besar selama hidupnya.

Kebodohan yang bahkan jika Dewa menjadi gadis itu, ia pasti tidak akan pernah memaafkannya.

Randika Dewa namanya.

Manusia sempurna yang bisa memakai semua panca inderanya. Namun, netra serta rungunya seolah cacat.

Dia buta dengan keadaan sekitar.

Dia juga tuli dengan fakta yang didapatkan.

Benar apa kata Jep, dia tidak waras.

Benar tentang penuturan Jep, Dewa bahkan gagal untuk menjadi seorang kakak.

Tidak.

Lebih dari itu.

Sekadar mendengar kata tentang dia yang mengaku sebagai kakak dari Laura, rasanya tidak pantas.

Tiga tahun yang lalu, dia mengambil langkah yang salah. Kesalahan fatal yang ia yakini bila langit menunggu waktu untuk menghukumnya.

Dan kini, bahkan sebelum dia mendapatkan balasan yang setimpal dari karma. Laki-laki tersebut sudah disesaki dengan kesalahannya.

Dirundungi dengan kebodohannya.

Dicekik dengan penyesalannya.

Kini, jika dia mendengar bunyi pintu pagar yang terbuka hingga menghasilkan decitan rusuh, Dewa diam-diam berlari kecil sekadar melihat perawakan perempuan itu yang keluar rumah.

Entah dengan cepolan surai berantakan yang pergi ke supermarket terdekat atau pakaian rapih dengan tas yang tersampir di salah satu bahu sempitnya.

Dewa bahkan dari dulu tidak pernah membayangkan bahwa hari-harinya yang dulu direcoki dengan ucapan selamat pagi dari kontak bernama “Laura”, kini berubah dengan ruang obrolan di mana hingga kapan pun ia tidak bisa mengirimkan pesan.

Sungguh konyol.

Tidak ada satu tahun, mereka seperti orang asing yang seolah tak pernah punya ikatan bahwa mereka dulu pernah sedekat tanpa harus malu untuk mengucapkan “selamat tidur.”

Seharusnya, Dewa tidak menutup telinga saat perempuan itu rapuh.

Seharusnya, Dewa tidak membuang muka saat perempuan itu membutuhkan uluran tangan.

Seharusnya, Dewa tidak menghela napas saat perempuan itu merepotinya.

Dan segala kata “seharusnya” itu akan tetap menjadi pengadaiannya yang hingga kapan pun tidak akan pernah terwujud.

Maka kini, biarkanlah Dewa dihukum dengan penyesalan.

Barangkali, meski Laura masih disebut dangkal pengetahuan untuk terjun ke dunia sastra, tetapi waktu itu dia pernah membaca artikel. Sebuah parafrase di mana menulis dengan gaya tulisan berbeda tentang puisi “Aku” dari Chairil Anwar tanpa mengubah makna sebenarnya.

Kalau tidak salah, kutipannya begini,

“Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi zamanku.”

Laura masih ingat dengan jelas tentang itu karena jika dia larut dalam lamunan, ia akan tiba-tiba memikirkan, “Bagaimana ya rasanya terkenang meski sudah pergi? Nama tetap hidup meski raga sudah mati? Dan diingat oleh setiap insan, meski kita sudah tak mampu lagi mengingat?”

Laura ingin menjadi seseorang yang dikenal layaknya sastrawan lainnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengerahkan segalanya agar tiba di titik ia bisa berdiri dengan kokoh.

Orang-orang pasti akan mengira jika Laura terlalu ambis, tetapi memang itu kenyataannya. Sebab, kalau dia tidak begitu, bagaimana dia bisa menampar semua orang yang meremehkannya?

Laura ingin membalas semua orang yang memberikannya luka, maka dari itu ia berusaha keras.

Contohnya sekarang, di sore yang sepi begini, Laura duduk di pojok perpustakan kota seorang diri. Biasanya Lucas yang menemani, tetapi tidak tahu kenapa Laura ingin sendirian.

Dia tidak mau diganggu.

Maka dari itu, dengan keheningan serta kesenyapan yang menguak di atmosfer, Laura mengerjakan soal.

Perempuan itu terlalu fokus, sampai-sampai tidak merasakan bukunya terkena noda merah. Ia lantas memegang hidungnya, baru menyadari jika darah tersebut dihasilkan olehnya.

Benar.

Laura mimisan.

Perempuan itu sedikit gelagapan dan bingung harus diapakan.

“Kepalanya jangan didangak,” ucap seseorang yang membuat Laura sedikit mengernyit. Ia melirik, melihat seorang laki-laki tengah menyodorkan sapu tangan kepadanya.

“Jangan didangak dan jangan nunduk. Biasa aja biar darahnya ngalir normal,” tambahnya lagi.

Laura sekali lagi melirik, seolah pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana, ya?

Barangkali, meski Laura masih disebut dangkal pengetahuan untuk terjun ke dunia sastra, tetapi waktu itu dia pernah membaca artikel. Sebuah parafrase di mana menulis dengan gaya tulisan berbeda tentang puisi “Aku” dari Chairil Anwar tanpa mengubah makna sebenarnya.

Kalau tidak salah, kutipannya begini,

“Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi zamanku.”

Laura masih ingat dengan jelas tentang itu karena jika dia larut dalam lamunan, ia akan tiba-tiba memikirkan, “Bagaimana ya rasanya terkenang meski sudah pergi? Nama tetap hidup meski raga sudah mati? Dan diingat oleh setiap insan, meski kita sudah tak mampu lagi mengingat?”

Laura ingin menjadi seseorang yang dikenal layaknya sastrawan lainnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengerahkan segalanya agar tiba di titik ia bisa berdiri dengan kokoh.

Orang-orang pasti akan mengira jika Laura terlalu ambis, tetapi memang itu kenyataannya. Sebab, kalau dia tidak begitu, bagaimana dia bisa menampar semua orang yang meremehkannya?

Laura ingin membalas semua orang yang memberikannya luka, maka dari itu ia berusaha keras.

Contohnya sekarang, di sore yang sepi begini, Laura duduk di pojok perpustakan kota seorang diri. Biasanya Lucas yang menemani, tetapi tidak tahu kenapa Laura ingin sendirian.

Dia tidak mau diganggu.

Maka dari itu, dengan keheningan serta kesenyapan yang menguak di atmosfer, Laura mengerjakan soal.

Perempuan itu terlalu fokus, sampai-sampai tidak merasakan bukunya terkena noda merah. Ia lantas memegang hidungnya, baru menyadari jika darah tersebut dihasilkan olehnya.

Benar.

Laura mimisan.

Perempuan itu sedikit gelagapan dan bingung harus diapakan.

“Kepalanya jangan didangak,” ucap seseorang yang membuat Laura sedikit mengernyit. Ia melirik, melihat seorang laki-laki tengah menyodorkan sapu tangan kepadanya.

“Jangan didangak dan jangan nunduk. Biasa aja biar darahnya ngalir normal,” tambahnya lagi.

Laura sekali lagi melirik, seolah pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana, ya?