Laura berulang kali menghela napas. Merapalkan banyak doa dan menetralkan pernapasan sekadar menenangkan jantungnya.
Hari ini tiba.
Hari pertempuran di mana ia akan menunjukkan tentang apa saja yang selama ini gadis tersebut pelajari. Dengan anggukan mantap begitu melihat perawakannya di pantulan cermin, Laura membuka pintu kamarnya.
Meski tubuh gadis tersebut kelewat lemas karena gugup, tapi sebisa mungkin ia berjalan dengan percaya diri.
Mana mungkin dia sudah menasehati Lucas, tetapi ia sendiri tidak bisa menerapkannya.
Menuruni tangga, meski gadis itu sempat melirik pada pemilik bilik saudaranya yang terbuka, tetapi tak menemukan eksistensinya di dalam. Sedikit penasaran, mengingat siapa tahu adiknya masih bergelung di kamar mandi, tetapi Luna bukan tipikal anak yang terlambat.
Maka, perempuan tersebut kembali melangkah dan menemukan kedua orang tuanya dan Luna tengah sarapan dan bercakap.
“Dek, nanti soalnya dibaca baik-baik. Baca basmallah dulu, doa yang bener. Dibaca berulang kali, jangan sampai terkecoh.” Suara berat papa mendominasi diiringi dengan denting sendok yang saling beradu.
Laura melihat momen itu hanya menghela napas. Meski perempuan tersebut sudah memasuki area ruang makan, tetapi tak ada saran yang Laura dapatkan.
Ah, tidak.
Jangankan saran, menyadari perempuan tersebut datang tampaknya tidak.
“Kak, makan dulu sini. Mama buatin Kakak telur dadar, lho. Kesukaan Kakak ‘kan?” Luna menyuruh perempuan itu untuk duduk di sebelahnya bertepatan ketika ia membuka kulkas.
Dilihat di dalamnya terdapat sebotol milo yang berlabel tulisan “Luna.”
Perempuan itu menelisik lebih jauh, mencari-cari apakah ada botol bentukan lain khusus dirinya. Akan tetapi, sedalam apa pun kepala Laura menyembul, jawabannya nihil.
Tidak ada botol khusus untuk Laura.
Gadis tersebut menarik salah satu sudut birainya, menggores senyuman sinis dan menengadah.
Lagipula, apa yang ia harapkan?
Sungguh, Laura tidak ingin mencari masalah. Tidak mau memperburuk keadaan, tetapi mau sampai kapan perempuan tersebut bergeming?
Maka dari itu, tatapannya mengarah pada tiga kepala tersebut yang masih sibuk dengan makanan, bahkan bercakap tentang segala hal yang harus Luna siapkan.
Iya, Luna.
Hanya Luna.
Dan selamanya tentang Luna.
“Cuman buat Luna?” Perempuan itu menggenggam botol minumannya.
Buku tangannya terkepal sempurna, membanting pintu kulkas dengan keras, membuat keheningan langsung mengambil alih di antara atmosfer mereka.
“Kak, lo bikin kag—“
“Berisik. Gue lagi gak ngomong sama lo.” Mata tajam Laura memandang sinis perempuan tersebut yang mengatup berulang kali.
Dilihat tenggorokan papanya yang mengetat, bahkan urat nadinya menonjol, makin membuat Laura tersenyum sinis.
Mungkin benar apa katanya dulu.
Luka yang menganga lebar.
Luka yang tergores dalam.
Luka yang disayat sempurna.
Tidak akan bisa diobati hingga kapan pun dan oleh siapa pun. Bahkan pada orang yang menaruh luka sendiri, pun tidak bisa disembuh.
“Kalau nanti Laura lolos, Mama sama Papa bisa lepasin hak asuh anak atau bahkan coret namaku di dalam kartu keluarga. Tujuh belas tahun hidup sama kalian, bahkan gak ada satu memori yang pantas untuk dikenang.” Tangisan gadis tersebut tumpah bersamaan dengan birainya yang bergetar hebat.
Kelewat hebat sampai bahu serta tangannya ikut gemetaran. Sampai-sampai ia merasakan napasnya tercekik, saking sesak nan sakit relung hatinya.
Disela isakan tangis, hingga Laura memegang dadanya sendiri saking sesaknya. Dia bilang, “Dengan begitu, kalau suatu hari Laura buka firma hukum. Megang kasus besar dan berhasil menang dengan muka yang terpampang di layar kaca, jangan sekali-kali kalian bilang, ‘itu anakku.’ Karena apa?”
“Karena Laura bukan lagi anak kalian ketika waktu itu tiba.”
Laura yakin, perempuan tersebut tidak lagi menyambet sebagai gadis terkuat. Namun yang tersisa hanyalah dia seorang anak yang malang.
Hancur sudah.
Baknya kaca yang dilemparkan bola, kepingan hati yang selama ini retak, telah berhasil hancur seutuhnya tanpa bisa lagi dibenarkan.
Laura melemparkan botol minuman yang sedari tadi dipegang dengan keras. Tak menggubris panggilan dari ketiganya begitu ia berjalan melewati.
Laura berantakan.
Dia sudah tak mengenali siapa dirinya lagi.
Di saat semua yang berangsur begitu cepat layaknya rentetan skenario, seorang pemuda berdiri di muka pintu.
Melihat gadis tersebut rapuh.
Namun sayangnya, dia tidak menganggapnya sebagai cahaya harapan yang bisa ia genggam. Justru dengan eksistensi laki-laki tersebut yang berada dalam pandangannya, makin membuat luka lainnya terbuka.
“Ra—“ lirihnya.
Tatapan Laura kelewat sendu begitu manik hitamnya menyorot laki-laki itu dalam. Saking dalamnya, ia bisa merasakan tembusan keputusasaan serta-merta kehancuran yang diperoleh.
Kalau saja bukan laki-laki itu di hadapannya.
Kalau saja Lucas yang berdiri di hadapannya seperti waktu itu.
Atau pemuda pemilik sapu tangan.
Atau bisa jadi Mark.
Laura sekali lagi meminta untuk diselematkan.
Akan tetapi, yang hadir justru dia.
Dewa yang ada di hadapannya.