Write.as

Springbloomz_

Barangkali, meski Laura masih disebut dangkal pengetahuan untuk terjun ke dunia sastra, tetapi waktu itu dia pernah membaca artikel. Sebuah parafrase di mana menulis dengan gaya tulisan berbeda tentang puisi “Aku” dari Chairil Anwar tanpa mengubah makna sebenarnya.

Kalau tidak salah, kutipannya begini,

“Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi zamanku.”

Laura masih ingat dengan jelas tentang itu karena jika dia larut dalam lamunan, ia akan tiba-tiba memikirkan, “Bagaimana ya rasanya terkenang meski sudah pergi? Nama tetap hidup meski raga sudah mati? Dan diingat oleh setiap insan, meski kita sudah tak mampu lagi mengingat?”

Laura ingin menjadi seseorang yang dikenal layaknya sastrawan lainnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengerahkan segalanya agar tiba di titik ia bisa berdiri dengan kokoh.

Orang-orang pasti akan mengira jika Laura terlalu ambis, tetapi memang itu kenyataannya. Sebab, kalau dia tidak begitu, bagaimana dia bisa menampar semua orang yang meremehkannya?

Laura ingin membalas semua orang yang memberikannya luka, maka dari itu ia berusaha keras.

Contohnya sekarang, di sore yang sepi begini, Laura duduk di pojok perpustakan kota seorang diri. Biasanya Lucas yang menemani, tetapi tidak tahu kenapa Laura ingin sendirian.

Dia tidak mau diganggu.

Maka dari itu, dengan keheningan serta kesenyapan yang menguak di atmosfer, Laura mengerjakan soal.

Perempuan itu terlalu fokus, sampai-sampai tidak merasakan bukunya terkena noda merah. Ia lantas memegang hidungnya, baru menyadari jika darah tersebut dihasilkan olehnya.

Benar.

Laura mimisan.

Perempuan itu sedikit gelagapan dan bingung harus diapakan.

“Kepalanya jangan didangak,” ucap seseorang yang membuat Laura sedikit mengernyit. Ia melirik, melihat seorang laki-laki tengah menyodorkan sapu tangan kepadanya.

“Jangan didangak dan jangan nunduk. Biasa aja biar darahnya ngalir normal,” tambahnya lagi.

Laura sekali lagi melirik, seolah pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana, ya?

Barangkali, meski Laura masih disebut dangkal pengetahuan untuk terjun ke dunia sastra, tetapi waktu itu dia pernah membaca artikel. Sebuah parafrase di mana menulis dengan gaya tulisan berbeda tentang puisi “Aku” dari Chairil Anwar tanpa mengubah makna sebenarnya.

Kalau tidak salah, kutipannya begini,

“Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi zamanku.”

Laura masih ingat dengan jelas tentang itu karena jika dia larut dalam lamunan, ia akan tiba-tiba memikirkan, “Bagaimana ya rasanya terkenang meski sudah pergi? Nama tetap hidup meski raga sudah mati? Dan diingat oleh setiap insan, meski kita sudah tak mampu lagi mengingat?”

Laura ingin menjadi seseorang yang dikenal layaknya sastrawan lainnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengerahkan segalanya agar tiba di titik ia bisa berdiri dengan kokoh.

Orang-orang pasti akan mengira jika Laura terlalu ambis, tetapi memang itu kenyataannya. Sebab, kalau dia tidak begitu, bagaimana dia bisa menampar semua orang yang meremehkannya?

Laura ingin membalas semua orang yang memberikannya luka, maka dari itu ia berusaha keras.

Contohnya sekarang, di sore yang sepi begini, Laura duduk di pojok perpustakan kota seorang diri. Biasanya Lucas yang menemani, tetapi tidak tahu kenapa Laura ingin sendirian.

Dia tidak mau diganggu.

Maka dari itu, dengan keheningan serta kesenyapan yang menguak di atmosfer, Laura mengerjakan soal.

Perempuan itu terlalu fokus, sampai-sampai tidak merasakan bukunya terkena noda merah. Ia lantas memegang hidungnya, baru menyadari jika darah tersebut dihasilkan olehnya.

Benar.

Laura mimisan.

Perempuan itu sedikit gelagapan dan bingung harus diapakan.

“Kepalanya jangan didangak,” ucap seseorang yang membuat Laura sedikit mengernyit. Ia melirik, melihat seorang laki-laki tengah menyodorkan sapu tangan kepadanya.

“Jangan didangak dan jangan nunduk. Biasa aja biar darahnya ngalir normal,” tambahnya lagi.

Laura sekali lagi melirik, seolah pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana, ya?

Barangkali, meski Laura masih disebut dangkal pengetahuan untuk terjun ke dunia sastra, tetapi waktu itu dia pernah membaca artikel. Sebuah parafrase di mana menulis dengan gaya tulisan berbeda tentang puisi “Aku” dari Chairil Anwar tanpa mengubah makna sebenarnya.

Kalau tidak salah, kutipannya begini,

“Aku tidak peduli dengan semua yang sedang terjadi, tidak peduli dengan bagaimana orang lain memandang dan menilaiku. Meski tubuhku sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi namaku akan tetap hidup hingga seribu tahun lagi. Karyaku akan terus dikenang dan dikenal melebihi zamanku.”

Laura masih ingat dengan jelas tentang itu karena jika dia larut dalam lamunan, ia akan tiba-tiba memikirkan, *“Bagaimana ya rasanya terkenang meski sudah pergi? Nama tetap hidup meski raga sudah mati? Dan diingat oleh setiap insan, meski kita sudah tak mampu lagi mengingat?”

Laura ingin menjadi seseorang yang dikenal layaknya sastrawan lainnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengerahkan segalanya agar tiba di titik ia bisa berdiri dengan kokoh.

Orang-orang pasti akan mengira jika Laura terlalu ambis, tetapi memang itu kenyataannya. Sebab, kalau dia tidak begitu, bagaimana dia bisa menampar semua orang yang meremehkannya?

Laura ingin membalas semua orang yang memberikannya luka, maka dari itu ia berusaha keras.

Contohnya sekarang, di sore yang sepi begini, Laura duduk di pojok perpustakan kota seorang diri. Biasanya Lucas yang menemani, tetapi tidak tahu kenapa Laura ingin sendirian.

Dia tidak mau diganggu.

Maka dari itu, dengan keheningan serta kesenyapan yang menguak di atmosfer, Laura mengerjakan soal.

Perempuan itu terlalu fokus, sampai-sampai tidak merasakan bukunya terkena noda merah. Ia lantas memegang hidungnya, baru menyadari jika darah tersebut dihasilkan olehnya.

Benar.

Laura mimisan.

Perempuan itu sedikit gelagapan dan bingung harus diapakan.

“Kepalanya jangan didangak,” ucap seseorang yang membuat Laura sedikit mengernyit. Ia melirik, melihat seorang laki-laki tengah menyodorkan sapu tangan kepadanya.

“Jangan didangak dan jangan nunduk. Biasa aja biar darahnya ngalir normal,” tambahnya lagi.

Laura sekali lagi melirik, seolah pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana, ya?

Sebelum menginjak umur tujuh belas tahun, tampaknya Laura tidak pernah percaya ada namanya konsep eternal di dunia ini.

Tidak ada kehidupan yang abadi, sebab kematian akan terus menanti. Tidak akan ada tangisan langit yang kekal membasahi tanah, sebab pelangi tak pernah berbohong. Termasuk singgasana matahari yang terus membentang di ufuk barat, sebab senja jelas akan terbiaskan oleh keremangan malam.

Dia ingat, nenek yang dia panggil mbah itu pernah mengatakan begitu padanya.

Namun kini, yang namanya konsep “keabadian” di dunia itu sebetulnya ada.

Yaitu luka.

Bahkan, dinamika yang mengatasnamakan cinta saja belum tentu abadi, sebab banyak dari mereka yang terus berkhianat.

Satu-satunya yang abadi di dunia itu hanya luka. Lantaran mau seberapa sering mereka mengobatinya, luka akan terus membekas. Baik luka fisik maupun luka batin.

Setiap insan akan terus mengingat dari mana luka tersebut didapatkan, sejak kapan luka tersebut digoreskan, dan siapa pelaku yang menaruh luka tersebut.

Karena yang namanya luka itu membuat kepribadian seseorang berubah. Menjadi rapuh, kuat, bahkan buruknya menjadi seorang pendendam.

Laura mungkin sampai kapan pun tidak akan pernah lupa. Bagaimana luka-lara tersebut membentuk garis takdir kehidupannya.

Ia mungkin terlihat kuat, tapi sejujurnya dia masih seorang manusia yang adakalanya akan rapuh.

Dia sejauh ini tidak memiliki tempat untuk mengadu, maka dari itu ia memilih untuk melangkahkan kakinya pada gundukan tak bernyawa.

Di mana batu nisan tersebut menuliskan nama seseorang.

Mungkin alasan kenapa Laura masih bertahan untuk hidup lantaran mbah sudah mengorbakan nyawanya sendiri untuk membuat Laura tetap hidup. Laura selama ini sudah sering bersyukur, tapi sekali lagi ....

Dia merasa ia sudah tak pantas lagi untuk tetap hidup.

Dengan suara bergetar, hingga tak mampu untuk menghirup oksigen lantaran sirkulasi pernapasannya tercekik, Laura menumpahkan air matanya.

Ini mungkin bukan untuk pertama kalinya Laura menangis, tetapi semua orang jelas tahu bahwa dia makin terlihat seperti seorang gadis malang yang telah dipermainkan takdir.

Seorang insan yang hanya menunggu hingga kapan semesta melihatnya menderita dan mengambil anak tersebut kembali ke pangkuannya.

Maka dari itu, Laura bilang, “Kalau gue beneran pergi, apa langit akan menangis? Karena rasanya mustahil buat percaya kalau ada seseorang yang merasa kehilangan kalau gue udah gak ada.”

Kalau diterka ulang, dinamika yang mengatasnamakan kehidupan itu ada dua hal yang tidak bisa dihindar, tetapi harus dipertanggungjawabkan. Tentang dua kata sederhana yang nyaris setiap insan pernah mendengarnya.

Kematian dan cinta.

Tidak bisa dipaksa, meski sejuta kali ingin menghindar. Tidak bisa ditolak, meski kaki sudah tak kuasa menahan beban.

Namun, jikakalau dua kata tersebut dibentuk jadi frasa utuh, membentuk satu kesatuan penuh magis. Bukankah luka yang digores, begitu perih?

Dua kata yang mulanya sederhana, tapi jika bersua dengan rasa, membentuk nestapa hingga relung kian sesak yang rasanya tak mampu untuk bersimpuh.

Mengenai kematian untuk cinta.

Tragis? Mungkin, iya.

Bilamana setiap insan pernah merasakannya, maka jagat semesta beserta seisinya hanya dipenuhi dengan kelabu. Pelangi yang disebut sebagai wujud yang paling dianugerahi, rasanya akan menjadi sebuah konsonan kosong tak berati, jika nyaris setiap anak adam yang tersesat mengalaminya.

Barangkali, mungkin itu alasan kenapa swastamita tidak pernah menyapanya hangat. Kenapa rayuan fajar tidak pernah berhembus secara lembut, justru simphoni nada rintik hujan membentuk panggung orkesta Zeus yang berselimut di balik punggung Laura.

Semesta bahkan membencinya, apalagi dengan kedua orang tuanya?

Kalau dipikir lagi, alasan kenapa Laura bertelanjang kaki tanpa satu orang pun yang menunggunya di zona nyaman karena dia itu sebuah musibah.

Saat Laura lancar menghitung angka menggunakan Bahasa Inggris, ada salah satu orang terdekatnya yang pergi karena dia.

Seorang wanita tangguh berkulit keriput dengan rona wajah masih bercahaya layaknya anak muda menjadi alasan kenapa Laura hidup dengan karma.

Dahulu sekali, Laura pernah memaksa neneknya untuk mengantarkan pergi ke supermarket lantaran ada ice cream yang baru-baru ini dirilis. Padahal sudah diberitahu bahwa di luar hujan, tetapi ia justru bebal.

Begitu di perjalanan, semesta baru mengambil peran. Menuliskan takdir, bahwa kehidupan neneknya berakhir sampai situ.

Berakhir di mana ia mengorbankan diri untuk membanting stir ke arah dirinya.

Berakhir di mana ia membiarkan truk yang datang hanya menghantam pada pengemudinya, meski Laura sempat pingsan, tak sadarkan diri.

Mungkin itu alasan kenapa semesta membencinya, alasan kenapa pula orang tua menganggapnya sebagai makhluk tak kasat mata. Maka dari itu, bayangan rentetan alur yang membentuk suatu cerita selalu menghantuinya. Tentang di mana ia merasa bersalah sekaligus sesak ketika mengingat suara benturan keras dan serpihan kaca yang menusuk kulit.

Memang sejak awal, Laura dihukum.

Ia dihukum oleh penguasa alam.

Entah keberapa kali Laura melirik arlojinya, menunggu Lucas yang berniat menjemput di pertigaan gang.

Keheningan sudah sedari awal dirasakan di sekitar atmosfer. Sama sekali tidak ada suara yang masuk ke rungunya, bahkan saking tenang keadaan rumah, ia hanya bisa menangkap detak jarum arlojinya yang bergerak.

Perempuan itu sendirian di rumah. Sedari pagi, ia sudah ditinggalkan.

Ah, bukan dari pagi, sih.

Sejujurnya, Laura sudah sering ditinggalkan. Jadi, ini bukan apa-apa. Papa, Mama, dan Luna bahkan sudah biasa pergi tanpa mengajaknya.

Sudahlah, dia terlalu capek untuk membahas betapa malang nan miris kehidupannya. Tidak dihiraukan oleh seorang pacar rasanya tidak sebanding dengan apa yang Laura rasakan.

Bukankah begitu perih kalau kau tidak dipedulikan oleh orang-orang yang pada dasarnya memiliki ikatan darah padamu?

Lagipula, kekasih itu kan pilihan kita. Kita sendiri yang menentukan untuk memulai hubungan padanya, meski jatuh cinta tidak bisa dipilih.

Kalau keluarga? Ya, mana bisa? Mana bisa Laura memilih untuk lahir di keluarga mana yang dipenuhi dengan kasih sayang serta perlakuan yang adil?

Memikirkannya saja sudah membuat Laura keburu lelah dan hanya bisa menunggu tanggal mainnya. Menunggu ia akan bebas dari belenggu keadaan rumah yang justru meninggalkan duri sampai-sampai Laura tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menutupi lukanya.

Sesak.

Tiap kali Laura berada di rumah, ia hanya bisa merasakan itu. Walaupun tragedi di mana ia kabur terjadi, nyatanya sama sekali tidak dianggap sebagai pembelajaran. Bahkan rasa kesadaran yang hadir di antara mereka pun tidak ada.

Menghela napas sesaat, lantas Laura keluar.

Berlama-lama di rumah membuat Laura tidak betah, maka dari itu ia memilih menunggu Lucas di depan gerbang setelah sempat melihat note di kulkas bahwa mama memasaki ikan di bawah tudung saji.

Sebelum keluar, perempuan itu mengambil wadah yang bisa menaruh makanan tersebut sebagai bekal. Setidaknya, ia menghargai mama yang masih sempat memasak untuknya.

Baru saja perempuan itu membuka pagar, ia bisa mendengar ‘ngeongan’ kucing dekat kakinya. Terus mengeong membuat Laura menaikkan sebelah alisnya.

“Sa ae lo kalau ada makanan di sini,” monotonnya. Ia berjongkok dekat kucing berbulu hitam. Memberikan potongan kecil, sampai-sampai Laura memisahkan antara daging dengan durinya.

Di sela Laura yang menatap betapa menggemaskannya kucing tersebut, seseorang berseru,

“Eh!”

Laura mendongak, melihat tiga orang laki-laki yang mendekat padanya. Pakaian casual dengan sebatas kaos dan wajah mereka yang terlampau hangat, membuat Laura langsung berdiri.

Meskipun terlihat anak baik-baik, tetap saja Laura harus waspada.

“Sendirian aja?” kata laki-laki yang memiliki rahang tegas dengan tatapan yang tajam. Laura sempat salting lantaran dihampiri oleh pemuda baknya tokoh anime yang disulap untuk diberikan kesempatan hidup sebagai manusia normal.

“Lo gak mau ke rumah Dewa?”

Ah, ternyata temannya Dewa.

Laura tersenyum tipis lalu menggeleng sesaat. “Enggak, Kak. Gue mau pergi.”

“Lho? Lo mau pergi? Kok gak sama Dewa?” Salah satu pria berkaki jenjang di belakangnya itu mengernyit. “Lo Luna ‘kan? Pacarnya Dewa?”

Laura tersenyum canggung kemudian menggaruk tengkuk lehernya. “Gue—“

“Dia Laura.”

Kedua laki-laki yang sedari tadi menyerobotinya pertanyaan langsung tergagap. “Kok lo gak ngasih tau sih, Jep?”

Pemuda tersebut mengangkat bahunya tak acuh. Wajahnya seolah mengatakan ‘bukan urusannya.’

Maka dari itu, Laura tersenyum canggung kemudian pergi tanpa permisi.

Satu hal yang pasti, dua laki-laki yang diketahui bernama Johnny dan Theo tersebut langsung membasahi bibir bawahnya dan sama-sama membatin,

Mampus, salah ngomong.

Entah keberapa kali Laura melirik arlojinya, menunggu Lucas yang berniat menjemput di pertigaan gang.

Keheningan sudah sedari awal dirasakan di sekitar atmosfer. Sama sekali tidak ada suara yang masuk ke rungunya, bahkan saking tenang keadaan rumah, ia hanya bisa menangkap detak jarum arlojinya yang bergerak.

Perempuan itu sendirian di rumah. Sedari pagi, ia sudah ditinggalkan.

Ah, bukan dari pagi, sih.

Sejujurnya, Laura sudah sering ditinggalkan. Jadi, ini bukan apa-apa. Papa, Mama, dan Luna bahkan sudah biasa pergi tanpa mengajaknya.

Sudahlah, dia terlalu capek untuk membahas betapa malang nan miris kehidupannya. Tidak dihiraukan oleh seorang pacar rasanya tidak sebanding dengan apa yang Laura rasakan.

Bukankah begitu perih kalau kau tidak dipedulikan oleh orang-orang yang pada dasarnya memiliki ikatan darah padamu?

Lagipula, kekasih itu kan pilihan kita. Kita sendiri yang menentukan untuk memulai hubungan padanya, meski jatuh cinta tidak bisa dipilih.

Kalau keluarga? Ya, mana bisa? Mana bisa Laura memilih untuk lahir di keluarga mana yang dipenuhi dengan kasih sayang serta perlakuan yang adil?

Memikirkannya saja sudah membuat Laura keburu lelah dan hanya bisa menunggu tanggal mainnya. Menunggu ia akan bebas dari belenggu keadaan rumah yang justru meninggalkan duri sampai-sampai Laura tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menutupi lukanya.

Sesak.

Tiap kali Laura berada di rumah, ia hanya bisa merasakan itu. Walaupun tragedi di mana ia kabur, nyatanya tidak ada rasa kesadaran yang hadir di antara mereka.

Berlama-lama di rumah membuat Laura tidak betah, maka dari itu ia memilih keluar setelah sempat melihat note di kulkas bahwa mama memasaki ikan di bawah tudung saji.

Sebelum keluar, perempuan itu mengambil wadah yang bisa menaruh makanan tersebut sebagai bekal. Setidaknya, ia menghargai mama yang masih sempat memasak untuknya.

Baru saja perempuan itu membuka pagar, ia bisa mendengar ‘ngeongan’ kucing dekat kakinya. Terus mengeong membuat Laura menaikkan sebelah alisnya.

“Sa ae lo kalau ada makanan di sini,” monotonnya. Ia berjongkok dekat kucing berbulu hitam. Memberikan potongan kecil, sampai-sampai Laura memisahkan antara daging dengan durinya.

Di sela Laura yang menatap betapa menggemaskannya kucing tersebut, seseorang berseru,

“Eh!”

Laura mendongak, melihat tiga orang laki-laki yang mendekat padanya. Pakaian casual dengan sebatas memakai kaos dan wajah mereka yang terlampau hangat, membuat Laura langsung berdiri.

Meskipun terlihat anak baik-baik, tetap saja Laura harus waspada.

“Sendirian aja?” kata laki-laki yang memiliki rahang tegas dengan tatapan yang tajam. Laura sempat salting lantaran dihampiri oleh pemuda baknya tokoh anime yang disulap lantarakan diberikan kesempatan untuk hidup.

“Lo gak mau ke rumah Dewa?”

Ah, ternyata temannya Dewa.

Laura tersenyum tipis lalu menggeleng sesaat. “Enggak, Kak. Gue mau pergi.”

“Lho? Lo mau pergi? Kok gak sama Dewa?” Salah satu pria berkaki jenjang di belakangnya itu mengernyit. “Lo Luna ‘kan? Pacarnya Dewa?”

Laura tersenyum canggung kemudian menggaruk tengkuk lehernya. “Gue—“

“Dia Laura.”

Kedua laki-laki yang sedari tadi menyerobotinya pertanyaan langsung tergagap. “Kok lo gak ngasih tau sih, Jep?”

Pemuda tersebut mengangkat bahunya tak acuh. Wajahnya seolah mengatakan ‘bukan urusannya.’

Maka dari itu, Laura tersenyum canggung kemudian pergi tanpa permisi.

Satu hal yang pasti, dua laki-laki yang diketahui bernama Johnny dan Theo tersebut langsung membasahi bibir bawahnya dan sama-sama membatin

Mampus, salah ngomong.

Entah keberapa kali Laura melirik arlojinya, menunggu Lucas yang berniat menjemput di pertigaan gang.

Keheningan sudah sedari awal dirasakan di sekitar atmosfer. Sama sekali tidak ada suara yang masuk ke rungunya, bahkan saking tenang keadaan rumah, ia hanya bisa menangkap detak jarum arlojinya yang bergerak.

Perempuan itu sendirian di rumah. Sedari pagi, ia sudah ditinggalkan.

Ah, bukan dari pagi, sih.

Sejujurnya, Laura sudah sering ditinggalkan. Jadi, ini bukan apa-apa. Papa, Mama, dan Luna bahkan sudah biasa pergi tanpa mengajaknya.

Sudahlah, dia terlalu capek untuk membahas betapa malang nan miris kehidupannya. Tidak dihiraukan oleh seorang pacar rasanya tidak sebanding dengan apa yang Laura rasakan.

Bukankah begitu perih kalau kau tidak dipedulikan oleh orang-orang yang pada dasarnya memiliki ikatan darah padanya?

Lagipula, kekasih itu kan pilihan kita. Kita sendiri yang menentukan untuk memulai hubungan padanya, meski jatuh cinta tidak bisa dipilih.

Kalau keluarga? Ya, mana bisa? Mana bisa Laura memilih untuk lahir di keluarga mana yang dipenuhi dengan kasih sayang serta perlakuan yang adil?

Memikirkannya saja sudah membuat Laura keburu lelah dan hanya bisa menunggu tanggal mainnya. Menunggu ia akan bebas dari belenggu keadaan rumah yang justru meninggalkan duri sampai-sampai Laura tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menutupi lukanya.

Sesak.

Tiap kali Laura berada di rumah, ia hanya bisa merasakan itu. Walaupun tragedi di mana ia kabur, nyatanya tidak ada rasa kesadaran yang hadir di antara mereka.

Berlama-lama di rumah membuat Laura tidak betah, maka dari itu ia memilih keluar setelah sempat melihat note di kulkas bahwa mama memasaki ikan di bawah tudung saji.

Sebelum keluar, perempuan itu mengambil wadah yang bisa menaruh makanan tersebut sebagai bekal. Setidaknya, ia menghargai mama yang masih sempat memasak untuknya.

Baru saja perempuan itu membuka pagar, ia bisa mendengar ‘ngeongan’ kucing dekat kakinya. Terus mengeong membuat Laura menaikkan sebelah alisnya.

“Sa ae lo kalau ada makanan di sini,” monotonnya. Ia berjongkok dekat kucing berbulu hitam. Memberikan potongan kecil, sampai-sampai Laura memisahkan antara daging dengan durinya.

Di sela Laura yang menatap betapa menggemaskannya kucing tersebut, seseorang berseru,

“Eh!”

Laura mendongak, melihat tiga orang laki-laki yang mendekat padanya. Pakaian casual dengan sebatas memakai kaos dan wajah mereka yang terlampau hangat, membuat Laura langsung berdiri.

Meskipun terlihat anak baik-baik, tetap saja Laura harus waspada.

“Sendirian aja?” kata laki-laki yang memiliki rahang tegas dengan tatapan yang tajam. Laura sempat salting lantaran dihampiri oleh pemuda baknya tokoh anime yang disulap lantarakan diberikan kesempatan untuk hidup.

“Lo gak mau ke rumah Dewa?”

Ah, ternyata temannya Dewa.

Laura tersenyum tipis lalu menggeleng sesaat. “Enggak, Kak. Gue mau pergi.”

“Lho? Lo mau pergi? Kok gak sama Dewa?” Salah satu pria berkaki jenjang di belakangnya itu mengernyit. “Lo Luna ‘kan? Pacarnya Dewa?”

Laura tersenyum canggung kemudian menggaruk tengkuk lehernya. “Gue—“

“Dia Laura.”

Kedua laki-laki yang sedari tadi menyerobotinya pertanyaan langsung tergagap. “Kok lo gak ngasih tau sih, Jep?”

Pemuda tersebut mengangkat bahunya tak acuh. Wajahnya seolah mengatakan ‘bukan urusannya.’

Maka dari itu, Laura tersenyum canggung kemudian pergi tanpa permisi.

Satu hal yang pasti, dua laki-laki yang diketahui bernama Johnny dan Theo tersebut langsung membasahi bibir bawahnya dan sama-sama membatin

Mampus, salah ngomong.

Dahulu sekali, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di atas panggung drama kehidupan semesta, mimpinya yang semula ingin memerdekakan negara dari marabahaya monster-monster jahat, berubah menjadi bagaimana memusnahkan makhluk bernama Sabrina ini dari dunia.

Lucas sudah mencoba menjadi anak sholeh dengan selalu istigfar kalau adiknya suka menjambak, mencubit, bahkan menendang perutnya. Meski sekali-kali dia balik mencubit adiknya yang berakhir keduanya sama-sama menangis, tetapi ini untuk pertama kalinya laki-laki sembilan tahun tersebut tidak bisa selalu sabar.

Sabrina yang berbeda empat tahun, masih sempat-sempatnya menggoreskan raut sok polos ketika ketahuan memenggal figur mainan kepala power rangers-nya. Padahal, dia sudah menaruhnya tinggi-tinggi untuk menghindari aksi mutilasi seperti ini, tetapi yang namanya penyembelihan dari tangan-tangan nakal, tetap saja masih merajalela.

Padahal superman belum pensiun, tapi aksi kejahatan makin tidak bisa dihitung.

Makanya, Lucas tidak bisa memendung kekecewaannya pada Sabrina yang menunduk.

Lucas ingin marah, ingin berteriak, bahkan ingin memukul. Akan tetapi, dia tidak bisa.

Yang hanya bisa Lucas katakan cuman satu,

“Abang benci sama Bribri.”

Mungkin sejak itu, Lucas tidak pernah mau peduli dengan apa yang Sabrina lakukan. Walaupun, ini sudah lewat enam tahun lamanya.

Dahulu sekali, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di atas panggung drama kehidupan semesta, mimpinya yang semula ingin memerdekakan negara dari marabahaya monster-monster jahat, berubah menjadi bagaimana memusnahkan makhluk bernama Sabrina ini dari dunia.

Lucas sudah mencoba menjadi alim dengan selalu istigfar kalau adiknya suka menjabak, mencubit,bahkan menendang perutnya. Meski sekali-kali dia balik mencubit adiknya yang berakhir keduanya sama-sama menangis, tetapi ini untuk pertama kalinya laki-laki kelas tiga sd tersebut tidak bisa selalu sabar.

Sabrina yang berbeda empat tahun, masih sempat-sempatnya menggoreskan raut sok polos ketika ketahuan memenggal figur mainan kepala power rangers-nya. Padahal, dia sudah menaruhnya tinggi-tinggi untuk menghindari aksi mutilasi seperti ini, tetapi yang namanya penyembelihan dari tangan-tangan nakal masih merajalela.

Padahal superman belum pensiun, tapi aksi kejahatan makin tidak bisa dihitung.

Makanya, Lucas tidak bisa memendung kekecewaannya pada Sabrina yang menunduk.

Lucas ingin marah, ingin berteriak, bahkan ingin memukul. Akan tetapi, dia tidak bisa.

Yang hanya bisa Lucas katakan cuman satu,

“Abang benci sama Bribri.”

Mungkin sejak itu, Lucas tidak pernah mau peduli dengan apa yang Sabrina lakukan. Walaupun, ini sudah lewat enam tahun lamanya.