“lonely is not being alone, it’s the feeling no one cares.” -anonymous
Pada hakikatnya, kebahagiaan itu bersifat universal. Tidak ada hal spesifik yang bisa menggambarkan apa makna kebahagiaan sebenarnya, lantaran semua orang berhak bahagia dengan caranya sendiri.
Sedikit naif, tapi memang hal kecil pun bisa menjadi serpihan berarti dan memiliki makna yang kuat untuk mengatakan bahwa, ‘Aku bahagia.’
Aku bahagia karena memiliki banyak uang.
Aku bahagia karena musik yang kudengar, diterima baik oleh mereka.
Aku bahagia karena menjalani pekerjaan yang sesuai denganku.
Aku bahagia karena memiliki prestasi yang bagus.
Aku bahagia karena memiliki banyak teman.
Bahkan, aku bahagia karena aku memiliki seseorang di sampingku.
Ada banyak perkataan bahagia yang sering dicakapkan oleh orang-orang, sebab bahagia memang memiliki arti yang luas.
Sebab, bahagia itu sederhana.
Benar, sesederhana itu.
Lantaran, saat Laura merasa sendirian, berada di titik terendah kehidupan, ada seseorang yang repot-repot datang dengan wajah frustasinya yang bikin Laura tidak bisa mengekspresikan betapa bahagianya dia.
Laura tidak tersenyum, pun tidak tertawa. Namun, dia merasa bahagia sekaligus takut karena apa pantas manusia sepertinya ini dihargai setelah tujuh belas tahun ia hidup, ada seseorang yang menyadari eksistensinya di jagat raya ini.
“Apa gue pantes bahagia?” ucap Laura sementara Lucas hanya terpaku dan membantunya berdiri.
Mengabaikan perkataan Laura, justru pemuda itu bilang, “Ra, kabur, yuk.”
Apa mungkin saking naifnya Laura, perempuan itu langsung dengan enteng menganggukan kepalanya.
Apa mungkin saking letihnya Laura, perempuan itu tanpa banyak babibu langsung meng-iya-kan ajakan Lucas.
Dia hanya capek.
Entah sudah berapa kali dia bilang, sampai ia pun benar-benar mual betapa tak bersemangatnya Laura menjalani hidup.
Makanya, Lucas langsung menepuk kedua pipi Laura saat lihat gadis itu langsung mengangguk, membuat mata sayu Laura yang selama ini tidak kuasa menahan tangis, sedikit tersadar.
“Ngaco lo, ya. Kalau ada yang ngajakin kabur jangan mau, Reng. Secapek apapun itu, jangan mau. Apalagi laki-laki yang ngajakin,” ucap Lucas lalu menghela napas sembari menggenggam Laura. “Ayo, pulang. Gue anter. Ini udah jauh dari rumah lo dan orang tua lo bakal—“
“Mereka gak peduli gue, Cas. Dan gue gak pernah punya rumah.”
“Ra—“
“Please, bawa gue pergi. Udah berapa kali gue bilang kalau gue gak dianggap sama mereka?”
“Oke.” Lucas menghela napas, kemudian tersenyum tipis. “Ikut ke rumah gue, tapi besok pulang.”
Pada akhirnya, Laura pun mengangguk.
***
Ternyata, bahagia memang sesederhana itu, ya?
Laura tidak pernah menyangka, padahal baru pertama kali ia menginjak ke tempat asing, dia merasakan sesuatu dari lubuk hatinya berhasil berdesis hebat.
Baru pertama kali merasakan, betapa ditunggu kehadirannya oleh orang rumah.
Betapa hangatnya ketika seseorang menanyakan keadaannya.
Betapa bahagianya ketika seseorang menyodorkannya segelas milo hangat dan sebuah handuk.
Padahal, Laura tidak pernah sekali pun kenal dengan ibunya Lucas, tetapi beliau seolah sudah sedekat itu dengannya.
“Kak, kenapa gak bilang ibu sih, kalau kamu bawa perempuan ke sini?” Wanita paruh baya tersebut lantas mencubit, buat Lucas langsung meringis kesakitan.
“Maaf ya, Ra. Tante cuman bisa bikin milo sama telur dadar, gak apa-apa, ‘kan?”
Padahal, Laura tidak pernah sekali pun kenal dengan orang tua Lucas, tetapi ia seolah merasa hangat, lantaran dia baru pertama kali dibuat seperhatian ini layaknya seorang ibu memberikan kasih sayang padanya.
Padahal, Laura tidak kenal dengan ibunya Lucas, tetapi ini baru pertama kalinya ia merasakan apa itu rumah sebenarnya, hingga menjadi tempat untuk pulang.
Diam-diam Laura menangis.
Dalam keheningan saat memasukkan satu suapan sendok makan beserta nasi dan potongan kecil telur dadar ditemani seteguk milo hangat, Laura menangis.
Ia menangis entah keberapa kalinya karena merasa sebahagia itu.
Apa dia pantas mendapatkan ini semua meski hanya untuk sementara?