Write.as

Springbloomz_

Dahulu sekali, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di atas panggung drama kehidupan semesta, mimpinya yang semula ingin memerdekakan negara dari marabahaya monster-monster jahat, berubah menjadi bagaimana memusnahkan makhluk bernama Sabrina ini dari dunia.

Lucas sudah mencoba menjadi alim dengan selalu istigfar kalau adiknya suka menjabak, mencubit,bahkan menendang perutnya. Meski sekali-kali dia balik mencubit adiknya yang berakhir keduanya sama-sama menangis, tetapi ini untuk pertama kalinya laki-laki kelas tiga sd tersebut tidak bisa selalu sabar.

Sabrina yang berbeda empat tahun, masih sempat-sempatnya menggoreskan raut sok polos ketika ketahuan memenggal figur mainan kepala power rangers-nya. Padahal, dia sudah menaruhnya tinggi-tinggi untuk menghindari aksi mutilasi seperti ini, tetapi yang namanya penyembelihan dari tangan-tangan nakal masih merajalela.

Padahal superman belum pensiun, tapi aksi kejahatan makin tidak bisa dihitung.

Makanya, Lucas tidak bisa memendung kekecewaannya pada Sabrina yang menunduk.

Lucas ingin marah, ingin berteriak, bahkan ingin memukul. Akan tetapi, dia tidak bisa.

Yang hanya bisa Lucas katakan cuman satu,

“Abang benci sama Bribri.”

Mungkin sejak itu, Lucas tidak pernah mau peduli dengan apa yang Sabrina lakukan. Walaupun, ini sudah terlampau enam tahun lamanya.

Dahulu, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di panggung drama kehidupan manusia, ia kira memiliki seorang adik merupakan salah satu perwujudannya untuk menggapai impian sebagai versi mungil dari ultraman

Akan tetapi, saat dia gencar-gencarnya melindungi adiknya. Justru Sabrina berkhianat. Mana bisa Lucas biarkan begitu saja, saat orang tuanya justru lebih memperhatikan adiknya ketimbang Lucas sendiri.

Padahal, Lucas kurang apa lagi? Dia sudah wangi tanpa bau minyak telon, tingkahnya lucu abis, dengan matanya yang membulat penuh kegemasan.

Ah, jangan lewatkan poin penting!

Yaitu kegantengannya!

Sebab Lucas sudah tampan tanpa harus didempuli dengan bedak bayi.

Lihat, Lucas kurang apa lagi? Dia sudah nyaris sempurna, meski masih suka kabur kalau disuruh mandi. Namun, coba lihat? Bisa-bisanya orang tuanya mengabaikan makhluk imut macam dia.

Sabrina yang ia kira merupakan makhluk suci yang sudah dilapisi banyak pahala tersebut, justru bertransformasi menjadi iblis cilik penuh lumuran dosa.

Benar, ini namanya dosa!

Dosa berlandaskan pengkhianatan yang tidak disukai malaikat!

Lucas sungguhan percaya, bila malaikat di atas langit sudah murka. Makanya, bocah itu mengganti kemurkaan mereka dengan balas dendam.

Oleh karena itu, saat Sabrina duduk sendirian di depan telivisi sembari menggigit jarinya, Lucas ikutan mengambil posisi di sana.

Lihat? Iblis cilik tersebut benar-benar sok polos dengan menepuk-nepuk pala Lucas sambil tertawa.

Tentu, Lucas mendengus, dikira dia lucu kali, ya?

Makanya, laki-laki itu mendorong—pelan, kok—tubuh Sabrina, sampai bocah tersebut terlentang ke atas tikar berbulu dan tak lama setelahnya ia menangis.

Malaikat seharusnya menembus kemurahan hati Lucas dengan mendatangkan sebuah kecupan di pipi oleh ibunya. Akan tetapi, yang ia dapatkan justru geplakan centong nasi yang bikin dia ikutan menangis.

Lho, kok dia malah dipukul? Apa Lucas kurang kencang mendorongnya?

Dahulu sekali, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di atas panggung drama kehidupan manusia, bocah cilik yang suka melakukan aksi porno lantaran sering berlari setengah telanjang dengan mengenakan celana dalam merah motif power rangers, tiba-tiba kedatangan sebuah makhluk di gendongan ibu.

Lucas kira, kedua orang tuanya berhasil menangkap penjahat cilik yang dibungkus dengan selimut. Melaporkan tentang mereka yang sukses memecahkan kasus pencurian biskuit bayi di toples. Akan tetapi, kehebohan Lucas langsung sirna dalam sekejap, kala ayahnya bilang,

“Ayah bawa adik perempuan buat Lucas, lho. Biar Lucas gak bosen buat main.” Lucas mengerjap gemas dengan kedua bola matanya yang tidak mengerti. Melihat kepolosan anak laki-lakinya, lantas sang ayah mengusap kepalanya pelan sembari tersenyum tipis. “Lucas sekarang ayah panggil kakak, ya? Karena tugas seorang kakak itu melindungi adiknya, lho. Lucas punya mimpi jadi ultraman yang melindungi negara dari monster, ‘kan?”

Tentu saja, waktu itu ia langsung mengangguk semangat begitu tokoh pendekar yang tanpa letih membasmi monster kesukaannya disebutkan dari birai sang ayah.

“Nah, kalau begitu Lucas sekarang tugasnya jagain Adek Sabrina biar gak diusilin, ya?Lindungi Sabrina layaknya seorang abang yang melindungi adik pada umumnya, meski kalian gak sedarah.”

Lucas tidak mengerti maksud sedarah pada waktu itu, padahal dia bukan drakula yang suka menghisap darah. Akan tetapi, dia buru-buru mengangguk dan menerima bahwa balita mungil yang disangka seorang penjahat cilik, kini menjadi salah satu bagian yang harus ia lindungi.

Dahulu sekali, Lucas ingat.

Sebelum aksi semesta berlakon di atas panggung drama kehidupan manusia, bocah cilik yang suka melakukan aksi porno lantaran sering berlari setengah telanjang dengan mengenakan celana dalam merah motif power rangers, tiba-tiba kedatangan sebuah makhluk di gendongan ibu.

Lucas kira, kedua orang tuanya berhasil menangkap penjahat cilik yang dibungkus dengan selimut. Melaporkan tentang mereka yang sukses memecahkan kasus pencurian biskuit bayi di toples. Akan tetapi, kehebohan Lucas langsung sirna dalam sekejap, kala ayahnya bilang,

“Ayah bawa adik perempuan buat Lucas, lho. Biar Lucas gak bosen buat main.” Lucas mengerjap gemas dengan kedua bola matanya yang tidak mengerti. Melihat kepolosan anak laki-lakinya, lantas sang ayah mengusap kepalanya pelan sembari tersenyum tipis. “Lucas sekarang ayah panggil kakak, ya? Karena tugas seorang kakak itu melindungi adiknya, lho. Lucas punya mimpi jadi ultraman yang melindungi negara dari monster, ‘kan?”

Tentu saja, waktu itu ia langsung mengangguk semangat begitu tokoh pendekar yang tanpa letih membasmi monster kesukaannya disebutkan dari birai sang ayah.

“Nah, kalau begitu Lucas sekarang tugasnya jagain Adek Sabrina biar gak diusilin, ya?Lindungi Sabrina layaknya seorang abang yang melindungi adik pada umumnya, meski kalian gak sedarah.”

Lucas tidak mengerti maksud sedarah pada waktu itu, padahal dia bukan drakula yang suka menghisap darah. Akan tetapi, dia buru-buru mengangguk dan menerima bahwa balita mungil yang disangka seorang penjahat cilik, kini menjadi salah satu bagian yang harus dilindungi.

“Lo gak sendirian di dunia ini.”

Padahal, kalimat yang beberapa jam lalu dilontarkan oleh Lucas itu bukan sebuah kata kiasan yang mampu membekas.

Padahal, kalimat tersebut terlampau sederhana dan kelewat sering dikatakan oleh orang-orang.

Tapi, kenapa, ya? Sebatas kalimat tersebut membuat gejolak pada diri Laura berdesis hebat.

Kenapa pula, kalimat yang sering diucapkan orang-orang, justru terus terputar pada pikiran Laura seperti kaset rusak.

Hanya kalimat sederhana, tetapi dampaknya sebesar itu. Sampai rasanya, dia tidak mau menua, jika suatu saat dia melupakan kalimat yang penuh makna.

Sekedar enam kata, tetapi Laura seolah tersihir. Dengan magis, apa yang Laura takut-takutkan selama ini, pun membuat bahunya menjadi ringan.

Langkah kaki yang tadinya memberat, kini menjadi ringan begitu ia tiba di rumah—Ralat, tempat tinggalnya, sebab selama ini dia hanya menumpang makan dan tidur—

Tidak ada ketakutan yang menyeruak pada bahunya. Segala kecemasannya menguap, layaknya udara yang mengepul ketika berbicara di musim dingin.

Kala ia telah memasuki teras, di mana Lucas mengekorinya di belakang, ia melihat seorang laki-laki duduk menunduk dengan kedua tangan yang mengepal, sementara duplikat lain dari dirinya hanya memainkan phonsel.

Tampaknya, suara deheman dari Lucas sengaja memecahkan suara, membuat dua kepala tersebut langsung mendongak dan menemukan presensinya.

“Astaga, Kak! Akhirnya pulang juga lo!” Luna langsung berdiri, merengkuh tubuh perempuan itu pelan, bikin Laura terlonjak kaget. Namun, mampu merasakan desiran di hatinya yang menghangat.

“Kemarin gue sama Kak Dewa nyariin elo, tahu.” Begitu katanya selepas menguraikan pelukan dan menghela napas.

“Kenapa gak bilang, sih? Kalau selama ini lo belajar di luar?” decak Luna terdengar kesal. “Elo lagi, Cas. Bukannya ngasih tau, malah diem-diem bae.”

“Lha? Salah gue?” tunjuk Lucas tidak mau merasa bersalah. “Elonya aja kenapa kagak nanya-nanya. Di mana-mana tuh, orang bakal ngejawab dan ngasih informasi kalau dikasih pertanyaan, bego.”

Luna mendengus, “Anj—“

“Lagian lo ngapain aja sih selama ini? Masa gak penasaran sama sekali kembaran lo ke mana.”

Luna terdiam, membuat Lucas rasanya gondok melihat dia yang hanya terpaku.

Pemuda berbeda dua tahun yang sedari tadi hanya terdiam di belakang Luna, lantas tersenyum tipis. “Ra—“

“Mama di dalem, Lun?”

“Hah? Oh, iya.” Luna mengangguk, membuat Laura langsung masuk tanpa memberikan satu lirikan pada Dewa.

Gadis tersebut melengos.

Sama sekali tidak mau bertatap muka, membuat adiknya memandang mereka penuh curiga.

Tidak ada teguran pada semestinya.

Bahkan, sekedar sapaan ‘hai’ saja tidak ada.

Membuat Dewa menghela napas, mengikuti Lucas yang juga mengekori Laura masuk ke rumah.

Laura tadinya sudah menyiapkan hatinya untuk mendapatkan segala omelan yang akan tertuju padanya. Mempersiapkan diri untuk tetap tegar, meskipun harus berlawanan dengan papanya yang kemarin mengeluarkan serapahan yang sama sekali tidak ada satu pun anak yang kuat mendengarnya.

Lagipula, kabur juga bukan sesuatu yang bisa dianggap jalan keluar. Yang ada malah membuat perempuan itu semakin tenggelam pada jurang masalah.

Akan tetapi ... coba lihat? Apa yang Laura harapkan sekarang?

Sebuah omelan?

Kata-kata dengan nada penuh marah?

Atau kekhawatiran?

Sekali lagi, sebenarnya siapa Laura di sini? Sebab, saat Laura menemui mamanya, wanita paruh baya tersebut menghela napas, kemudian menepuk bahunya pelan.

“Istirahat Kak, jangan lupa. Kalau laper ada makanan di bawah tudung saji. Piringnya taruh aja di watafel. Biar mama yang cuci,” katanya, kemudian masuk ke kamar. Membuat Lucas pun yang tadinya ingin menjelaskan, mendadak terpaku.

Hanya itu.

Cuman kata itu

Sekedar kalimat itu.

Tidak ada basa-basi dan hanya menyuruh Laura ini-itu. Entah, haruskah dia lega atau bagaimana, tetapi dia merasa ada yang salah.

Ada yang salah entah di dirinya, orang tuanya, keberadannya, atau takdirnya.

Sebenarnya untuk apa Laura hidup?

Untuk tidak dihargai, kah?

“lonely is not being alone, it’s the feeling no one cares.” -anonymous

Pada hakikatnya, kebahagiaan itu bersifat universal. Tidak ada hal spesifik yang bisa menggambarkan apa makna kebahagiaan sebenarnya, lantaran semua orang berhak bahagia dengan caranya sendiri.

Sedikit naif, tapi memang hal kecil pun bisa menjadi serpihan berarti dan memiliki makna yang kuat untuk mengatakan bahwa, ‘Aku bahagia.’

Aku bahagia karena memiliki banyak uang.

Aku bahagia karena musik yang kudengar, diterima baik oleh mereka.

Aku bahagia karena menjalani pekerjaan yang sesuai denganku.

Aku bahagia karena memiliki prestasi yang bagus.

Aku bahagia karena memiliki banyak teman.

Bahkan, aku bahagia karena aku memiliki seseorang di sampingku.

Ada banyak perkataan bahagia yang sering dicakapkan oleh orang-orang, sebab bahagia memang memiliki arti yang luas.

Sebab, bahagia itu sederhana.

Benar, sesederhana itu.

Lantaran, saat Laura merasa sendirian, berada di titik terendah kehidupan, ada seseorang yang repot-repot datang dengan wajah frustasinya yang bikin Laura tidak bisa mengekspresikan betapa bahagianya dia.

Laura tidak tersenyum, pun tidak tertawa. Namun, dia merasa bahagia sekaligus takut karena apa pantas manusia sepertinya ini dihargai setelah tujuh belas tahun ia hidup, ada seseorang yang menyadari eksistensinya di jagat raya ini.

“Apa gue pantes bahagia?” ucap Laura sementara Lucas hanya terpaku dan membantunya berdiri.

Mengabaikan perkataan Laura, justru pemuda itu bilang, “Ra, kabur, yuk.”

Apa mungkin saking naifnya Laura, perempuan itu langsung dengan enteng menganggukan kepalanya.

Apa mungkin saking letihnya Laura, perempuan itu tanpa banyak babibu langsung meng-iya-kan ajakan Lucas.

Dia hanya capek.

Entah sudah berapa kali dia bilang, sampai ia pun benar-benar mual betapa tak bersemangatnya Laura menjalani hidup.

Makanya, Lucas langsung menepuk kedua pipi Laura saat lihat gadis itu langsung mengangguk, membuat mata sayu Laura yang selama ini tidak kuasa menahan tangis, sedikit tersadar.

“Ngaco lo, ya. Kalau ada yang ngajakin kabur jangan mau, Reng. Secapek apapun itu, jangan mau. Apalagi laki-laki yang ngajakin,” ucap Lucas lalu menghela napas sembari menggenggam Laura. “Ayo, pulang. Gue anter. Ini udah jauh dari rumah lo dan orang tua lo bakal—“

“Mereka gak peduli gue, Cas. Dan gue gak pernah punya rumah.”

“Ra—“

“Please, bawa gue pergi. Udah berapa kali gue bilang kalau gue gak dianggap sama mereka?”

“Oke.” Lucas menghela napas, kemudian tersenyum tipis. “Ikut ke rumah gue, tapi besok pulang.”

Pada akhirnya, Laura pun mengangguk.

***

Ternyata, bahagia memang sesederhana itu, ya?

Laura tidak pernah menyangka, padahal baru pertama kali ia menginjak ke tempat asing, dia merasakan sesuatu dari lubuk hatinya berhasil berdesis hebat.

Baru pertama kali merasakan, betapa ditunggu kehadirannya oleh orang rumah.

Betapa hangatnya ketika seseorang menanyakan keadaannya.

Betapa bahagianya ketika seseorang menyodorkannya segelas milo hangat dan sebuah handuk.

Padahal, Laura tidak pernah sekali pun kenal dengan ibunya Lucas, tetapi beliau seolah sudah sedekat itu dengannya.

“Kak, kenapa gak bilang ibu sih, kalau kamu bawa perempuan ke sini?” Wanita paruh baya tersebut lantas mencubit, buat Lucas langsung meringis kesakitan.

“Maaf ya, Ra. Tante cuman bisa bikin milo sama telur dadar, gak apa-apa, ‘kan?”

Padahal, Laura tidak pernah sekali pun kenal dengan orang tua Lucas, tetapi ia seolah merasa hangat, lantaran dia baru pertama kali dibuat seperhatian ini layaknya seorang ibu memberikan kasih sayang padanya.

Padahal, Laura tidak kenal dengan ibunya Lucas, tetapi ini baru pertama kalinya ia merasakan apa itu rumah sebenarnya, hingga menjadi tempat untuk pulang.

Diam-diam Laura menangis.

Dalam keheningan saat memasukkan satu suapan sendok makan beserta nasi dan potongan kecil telur dadar ditemani seteguk milo hangat, Laura menangis.

Ia menangis entah keberapa kalinya karena merasa sebahagia itu.

Apa dia pantas mendapatkan ini semua meski hanya untuk sementara?

“I've never been good enough to have anyone stay.” – via gxmikeyx

Kata orang, berada di umur tujuh belas tahun menjadi masa yang paling didambakan oleh nyaris setiap umur.

Ketika kau berada di usia di mana menjadi detektif cilik yang kelewat rajin untuk menutup pintu kulkas pelan-pelan demi melihat lampu di dalamnya tutup, umur tujuh belas tahun menjadi umur yang paling kau cita-citakan.

Melihat mereka memakai baju putih abu-abu, menghabiskan banyak waktu dengan teman, hangout demi menelusuri tiap jengkal sudut kota, bahkan ingin merasakan bagaimana kisah klasik romansa terajut. Kau ingin bebas dari ikatan mama yang selalu melarangmu ini-itu.

Umur tujuh belas itu menjadi umur cita-citamu yang paling didambakan.

Sementara, ketika kau beranjak dewasa, rasanya kau ingin memutar balik di mana masa keemasanmu berada. Di mana kau masih bisa puas tertawa, melakukan banyak kebodohan, bahkan tidak peduli jika kau lupa mengerjakan tugas sekolah, asal kau bisa terus bersama dengan teman-temanmu.

Umur tujuh belas tahun adalah umur di mana kau terus mengenang dalam rengkuhan memori.

Nyaris semua orang ingin merasakan di mana berumur tujuh belas tahun.

Sayangnya, berbeda dengan Laura. Segala angan yang selalu mereka katakan tentang betapa serunya umur tujuh belas tahun, tidak pernah Laura cicipi.

Jika dia boleh memilih, rasanya ia ingin kembali di mana dia tidak peduli apa itu kesendirian dan kehampaan. Kalau boleh memilih, dia tidak ingin dilahirkan.

Tidak merasakan pahitnya dunia.

Ingin kembali berada pada pangkuan semesta.

Laura lelah.

Laura capek.

Untuk apa dia terus hidup, kalau tidak ada satu pun manusia yang menghargai eksistensinya.

Bahkan, kala kaki telanjangnya terus melangkah tanpa menoleh ke belakang, mereka tidak mencarinya.

Sekali saja, Laura ingin dibuat telur dadar kesukaannya, tetapi saat sarapan tiba, mamanya justru selalu membuat telur mata sapi kecap yang disukai Luna.

Sekali saja, Laura ingin dibuat milo hangat ketika awan terisak, tetapi justru dia melihat papanya diam-diam membuatkannya untuk Luna.

Sekali saja.

Laura mohon sekali saja, dia direngkuh oleh pelukan mama yang kata orang menjadi tempat paling hangat. Merasakan papa yang menjadi tempat berlindung ketika dijahili.

Sekali saja.

Laura mohon, dia ingin merasakan pulang ke mana pun kakinya melangkah.

Dia ingin memiliki tempat di mana semua orang mengatakan rumah.

Akan tetapi, sampai kapan pun dia tidak merasakan itu.

Pada akhirnya, ketika tangisan langit merengkuh tubuh ringkihnya yang berjalan dengan kaki yang tidak mampu melangkah, Laura tetap sendirian.

Dia menelusupkan kepalanya ke dalam lipatan tangan, merasakan derasnya hujan membasahi dirinya.

Sampai ia bisa merasakan, sebuah benda menghalaukan rintikan air pada tubuhnya.

Laura menengadah, melihat seseorang berada di hadapannya dengan napas terengah-engah.

Pria itu basah kuyup, dengan kelereng hitamnya yang menyorotnya dalam, membuat Laura ikut terpaku atas kontak matanya.

Ralat.

Laura tarik kembali omongannya kalau tidak ada satu pun orang yang menyadari eksistensinya. Sebab, melihat laki-laki itu dengan rambut hitamnya yang teracak frustasi. Mengenakan piyama biru norak, serta sendal jepit yang terbalik, membuat Laura membendungkan air mata.

“Selama tujuh belas tahun gue hidup, gue gak pernah merasa sebahagia ini karena ada seseorang yang cariin gue.” Birai Laura bergetar hebat, membuat pria di hadapannya hanya terdiam.

Membuat Lucas terpaku karenanya.

“Cas ... kalau gue bilang gue bahagia karena ada lo, apa gue pantas dapetinnya?” Laura menjeda, menatapnya dalam. “Gue ngerasa gak pantes buat dipeduliin, gue ngerasa gak pantes dihargai. Bahkan, gue gak pantes buat lahir di dunia ini.”

“Ra—“

“Ngeliat ada yang peduli ke gue, bikin gue takut. Gue takut kalau ada seseorang di sisi gue.”

Lucas tidak mengatakan apa-apa, pemuda tersebut hanya membantu Laura untuk berdiri, kemudian membuat perempuan tersebut mendekat ke arahnya.

“Ra,” jeda Lucas, kemudian tersenyum tipis. “Kabur, yuk.”

“I've never been good enough to have anyone stay.” – via gxmikeyx

Kata orang, berada di umur tujuh belas tahun menjadi masa yang paling didambakan oleh nyaris setiap umur.

Ketika kau berada di usia di mana menjadi detektif cilik yang kelewat rajin untuk menutup pintu kulkas pelan-pelan demi melihat lampu di dalamnya tutup, umur tujuh belas tahun menjadi umur yang paling kau cita-citakan.

Melihat mereka memakai baju putih abu-abu, menghabiskan banyak waktu dengan teman, hangout demi menelusuri tiap jengkal sudut kota, bahkan ingin merasakan bagaimana kisah klasik romansa terajut. Kau ingin bebas dari ikatan mama yang selalu melarangmu ini-itu.

Umur tujuh belas itu menjadi umur cita-citamu yang paling didambakan.

Sementara, ketika kau beranjak dewasa, rasanya kau ingin memutar balik di mana masa keemasanmu berada. Di mana kau masih bisa puas tertawa, melakukan banyak kebodohan, bahkan tidak peduli jika kau lupa mengerjakan tugas sekolah, asal kau bisa terus bersama dengan teman-temanmu.

Umur tujuh belas tahun adalah umur di mana kau terus mengenang dalam rengkuhan memori.

Nyaris semua orang ingin merasakan di mana berumur tujuh belas tahun.

Sayangnya, berbeda dengan Laura. Segala angan yang selalu mereka katakan tentang betapa serunya umur tujuh belas tahun, tidak pernah Laura cicipi.

Jika dia boleh memilih, rasanya ia ingin kembali di mana dia tidak peduli apa itu kesendirian dan kehampaan. Kalau boleh memilih, dia tidak ingin dilahirkan.

Tidak merasakan pahitnya dunia.

Ingin kembali berada pada pangkuan semesta.

Laura lelah.

Laura capek.

Untuk apa dia terus hidup, kalau tidak ada satu pun manusia yang menghargai eksistensinya.

Bahkan, kala kaki telanjangnya terus melangkah tanpa menoleh ke belakang, mereka tidak mencarinya.

Sekali saja, Laura ingin dibuat telur dadar kesukaannya, tetapi saat sarapan tiba, mamanya justru selalu membuat telur mata sapi kecap yang disukai Luna.

Sekali saja, Laura ingin dibuat milo hangat ketika awan terisak, tetapi justru dia melihat papanya diam-diam membuatkannya untuk Luna.

Sekali saja.

Laura mohon sekali saja, dia direngkuh oleh pelukan mama yang kata orang menjadi tempat paling hangat. Merasakan papa yang menjadi tempat berlindung ketika dijahili.

Sekali saja.

Laura mohon, dia ingin merasakan pulang ke mana pun kakinya melangkah.

Dia ingin memiliki tempat di mana semua orang mengatakan rumah.

Akan tetapi, sampai kapan pun dia tidak merasakan itu.

Pada akhirnya, ketika tangisan langit merengkuh tubuh ringkihnya yang berjalan dengan kaki yang tidak mampu melangkah, Laura tetap sendirian.

Dia menelusupkan kepalanya ke dalam lipatan tangan, merasakan derasnya hujan membasahi dirinya.

Sampai ia bisa merasakan, sebuah benda menghalaukan rintikan air pada tubuhnya.

Laura menengadah, melihat seseorang berada di hadapannya dengan napas terengah-engah.

Pria itu basah kuyup, dengan kelereng hitamnya yang menyorotnya dalam, membuat Laura ikut terpaku atas kontak matanya.

Ralat.

Laura tarik kembali omongannya kalau tidak ada satu pun orang yang menyadari eksistensinya. Sebab, melihat laki-laki itu dengan rambut hitamnya yang teracak frustasi. Mengenakan piyama biru norak, serta sendal jepit yang terbalik, membuat Laura membendungkan air mata.

“Selama tujuh belas tahun gue hidup, gue gak pernah merasa sebahagia ini karena ada seseorang yang cariin gue.” Birai Laura bergetar hebat, membuat pria di hadapannya hanya terdiam.

Membuat Lucas terpaku karenanya.

“Cas ... kalau gue bilang gue bahagia karena ada lo, apa gue pantas dapetinnya?” Laura menjeda, menatapnya dalam. “Gue ngerasa gak pantes buat dipeduliin, gue ngerasa gak pantes dihargai. Bahkan, gue gak pantes buat lahir di dunia ini.”

“Ra—“

“Ngeliat ada yang peduli ke gue, bikin gue takut. Gue takut kalau ada seseorang di sisi gue.”

Lucas tidak mengatakan apa-apa, pemuda tersebut hanya membantu Laura untuk berdiri, kemudian membuat perempuan tersebut mendekat ke arahnya.

“Ra,” jeda Lucas, kemudian tersenyum tipis. “Kalau bilang gue mau kabur, lo bakal ikut, gak?”

“When you feeling upset and take a moment for looking around. You realize, there’s no shoulder for you.” – anonymous

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue ke atas dulu, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.

“When you feeling upset and take a moment for looking around. You realize, there’s no shoulder for you.” – laura

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue ke atas dulu, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.