Write.as

Springbloomz_

when you feeling upset and take a moment for looking around. You realize, there’s no shoulder for you

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue ke atas dulu, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.

pada hakikatnya, kita semua sendirian di dunia ini.

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue ke atas dulu ya, Lun. Gue udah makan.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue mau langsung ke atas, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue mau langsung ke atas, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue mau langsung ke atas, ya. Duluan Kak Dewa.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini

Melirik arloji di pergelangan tangan, Laura menghela napas begitu menginjakkan kaki di rumah.

Jarum pendek belum menunjukkan pukul delapan malam, membuat gadis itu merasa takikardia. Seharusnya, pukul segini, Dewa beserta guru private-nya Luna sudah pulang mengingat pembelajaran dimulai sejak pukul sepuluh pagi. Akan tetapi, melihat sepatu kets berwarna hitam yang amat ia kenali berada di teras, membuat perempuan itu mengurungkan niatnya untuk masuk.

Sudah lewat dari dua bulan, perempuan itu tidak sanggup untuk bertatap muka dengan tetangga. Laki-laki yang dikira satu-satunya ia miliki, justru entah sudah keberapa kalinya mereka hanya memusatkan perhatian pada adiknya.

Semesta tampaknya kelewat menyukai Luna. Membuat presensi Laura sendiri redup dan menjadi orang kesekian untuk bisa dihargai eksistensinya.

Perempuan itu sering mendengus dengan garis takdir yang terajut pada jalan kehidupannya. Jika Laura menoleh ke belakang, jalan setapak yang ia lewati selama ini berupa kedua kakinya yang melangkah penuh kesunyian.

Tanpa dukungan.

Tanpa apresiasi.

Tanpa dihargai.

Seakan perempuan itu sejak awal dilahirkan dibaluti dengan rasa ketidakpedulian dan kehampaan dari orang-orang.

Laura yang masih sedikit terpaku dengan sepatu kets tersebut, lantas memutar badan berniat untuk ke supermarket terdekat. Sayangnya, dia harus bertemu dengan papanya yang membawa sekantong belanjaan.

Dari sini, Laura hanya bisa tersenyum tipis. Melihat makanan yang beliau beli, kebanyakan dari snack favoritnya Luna.

Pria paruh baya itu tidak mengatakan apa-apa, justru melengos kembali masuk ke rumah.

Menghela napas, mau tak mau ia mengekor di belakang pria tersebut, membuang angan tentang sapaan hangat yang biasa ia dengar ketika Luna pulang.

Lagipula, apa yang dia harapkan?

Kepedulian?

Siapa dia?

Digeleng kepala sesaat, Laura membuka pintu, melihat sosok pemuda yang amat ia kenali berada di ruang depan. Ia sedikit menahan napas akibat sesak. Mau seberapa kali pun ia disakiti oleh orang-orang, mana mungkin ia seutuhnya untuk balik tidak peduli pada pemilik hatinya.

Berpura-pura itu tidak enak. Akan tetapi, bagaimana bisa Dewa juga berpura-pura tidak tahu dengan apa yang selama ini gadis itu rasakan.

“Kak, udah pulang?” tanya Luna. Laura mengangguk lalu menyodorkan makanan yang adiknya pesan.

“Ini.”

“Ah, itu kasih ke Kak Dewa aja. Kak Dewa udah beliin aku shihlin.”

Lihat, apa yang laki-laki itu perlakukan?

Cuman Luna.

Luna saja yang dibelikan.

Makanya, perempuan itu langsung menaruh sebungkus plastik dan langsung meniti tangga, mengabaikan panggilan Dewa yang berkata dengan suara beratnya.

“Ra—“

“Gue ke atas dulu ya, Lun. Gue udah makan.”

Sekali lagi, tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan perempuan itu bahwa Laura juga hidup di semesta ini.

Juni menghela napas.

Setelah mendengar suara deru motor milik abangnya telah masuk ke pekarangan rumah, dia langsung berdiri, begitu abangnya membuka pintu.

Sepertinya, belum sempat Bima menghirup napas dengan benar di rumah, Juni sudah menarik abangnya untuk duduk di sofa.

“Sumpah, Dek. Lo apa-apaan sih?!”

“Masnya yang apa-apaan!”

Bima langsung mingkem, tidak bisa menyahut lantaran Juni tampaknya sudah marah besar padanya. Buktinya, adiknya itu bahkan meninggikan suaranya, bikin Bima nyaris latah akibat kaget.

“Astaga, Mas. Mas tuh bener-bener ya. Pura-pura bego apa tolol beneran, sih?”

Bima nyaris marah begitu adiknya tanpa adab langsung mengatainya bego, tapi setelah Juni menyerahkan phonselnya, dia pun kembali bungkam.

“Gue gak ngerti, kenapa lo bisa jadi seterkenal ini sampe masuk berita.” Juni memijat pangkal hidungnya, terlampau menyerah karena kelakuan abangnya yang tidak berhati-hati. “Hari ini Arimbi baru aktif lagi di twitter, tapi gue gak tahu komentar sebelumnya dia baca apa enggak. Tapi, dia sekarang bikin akun twitternya jadi publik dan gue yakin makin banyak yang nyerang dia secara personal.”

“Sumpah, Mas. Arimbi tuh sekarang dikatain murahan gara-gara lo tau, gak? Kasus yang kemarin udah lumayan reda, ke-up lagi. Timeline gue sampe ngasih desas-desus ke Arimbi. Bilang perempuan itu lebih gak bener dari Lara, ngatain kalo dia yang ngerebutin Dewa dari Lara, lha. Meletin lo, lha. Dikatain sok suci, bahkan—“

“Bahkan apa?”

“Bahkan ada yang nyuruh dia mati.”

“ANJING.”

Penjelasan dari Juni, makin membuat mata rubah Bima menajam. Rahang abangnya sudah mengetat, sampai-sampai uratnya menonjol di sana.

Bima bangkit, mengambil kunci motornya dengan tergesa, membuat Juni langsung menahan tangan laki-laki itu.

“Mau ngapain lo, Mas?”

“Gue mau ketemu Arimbi.”

“Gila! Mas mau ditampar sama ibunya?!” Juni mencubit perut Bima, ingin membuat laki-laki itu sadar. “Mas bikin anak orang bermasalah, sekarang mau ketemu? Ini juga udah malam, apa gak makin banyak orang mikir lo emang ada apa-apa sama dia?”

“Tapi ‘kan gue cuman temennya?”

“Emangnya lo udah klarifikasi, hah?”

Bima menghela napas, lalu menjerit kesal, “BRENGSEK!”

Laki-laki itu kembali menjatuhkan badannya ke sofa di sebelah Juni yang kini sama pusingnya.

“Gue sekarang kudu ngapain?”

“Klarifikasi.”

“Ke?”

“Ya mana gue, tahu? Emangnya gue public figure apa?” jawab Juni, lagi-lagi membuat Bima menghela napas.

Bima memejamkan mata, berharap waktu bisa menemukan jawaban.

Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, hanya mengharapkan jika Arimbi baik-baik saja di sana.

Arimbi pernah digunjing, dirisak, bahkan dunianya pernah diinjak-injak oleh orang sekitar. Mengatai perempuan itu aneh dan gila, lantaran dia ‘berbeda’

Bi, lo baik-baik aja, ‘kan? Maaf, gue gak bisa ngelindungin lo.

Aku pelan-pelan menghela napas.

Beban yang selama ini menopang di bahuku, lama-lama melorot dan menemukan kelegaan di sana.

Tanpa sadar, pesan Bara yang mengirimkanku seperti itu, membuatku merasakan ada sebagian dari tubuh ini yang kembali ringan karena ucapannya.

Bara benar-benar bisa diandalkan dan entah sudah keberapa kalinya aku jatuh pada pria tersebut. Dia memang punya pesonanya sendiri untuk membuatku selalu tenggelam dan merindukan berada dalam kukungannya yang hangat.

Meski satu bulan itu tidak sebentar, tetapi rasanya ini akan membuatku menjadi bebas. Aku seakan tengah mencari jati diriku tanpa takut diawasi oleh siapapun.

Aku seolah-olah akan hidup.

Karena ucapan Bara, aku entah sudah keberapa kalinya tersenyum, bersenandung dengan riang, hingga manager yang diberikan dari agensi untuk mengurusiku semenjak menandatangani kontrak mengernyit.

“Kak, lagi seneng?” tegur perempuan itu. Aku mengangkat kedua alisku sebagai sahutan, hingga di detik berikutnya aku terkekeh.

“Gak, kok. Btw, ini ruang gantinya di mana?” tanyaku. Perempuan itu, Sabrina namanya, kini langsung menunjuk pada fitting room yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.

Sesuai jadwal, pada pukul lima sore, aku mendatangi agensi untuk melakukan sebuah pemotretan yang mempublikasikan kepada media bahwa aku baru saja menandatangi kontrak dan sebagai bukti bahwa aku kini menjadi keluarga dari Selaksa Asa Ent.

Mungkin, namanya memang mendayu sekali sebab Selaksa Asa mengartikan tentang harapan tak terhingga. Terlepas dari benefits yang aku peroleh dari agensi ini, definisi dari Selaksa Asa tanpa sadar memberiku secercah harapan untuk hidup.

Aku lagi-lagi tersenyum, merasakan jika aku kembali percaya diri untuk menjalani hari. Lantas, begitu pemotretanku telah berjalan lancar, aku juga mendapatkan pesan dari Bara bahwa dia sudah berbicara dengan Arimbi.

Mendengus tertahan, aku kini membalas pesan sekenanya.

Bara memang tahu bagaimana untuk menbuatku tersenyum.

Cuman Bara yang bisa membuatku bahagia.

Cuman dia yang bisa membuatku tertawa.

Dia pula yang bisa membuatku menangis.

Bara itu yang membuatku merasa hidup, pun dia yang membuatku merasa dicintai.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya jika aku tidak mempunyai Bara.

Mungkin, saking aku larutnya untuk memikirkan tentang Bara, seseorang menabrakku. Nyaris membuatku terhuyung kalau saja orang yang membentur bahuku itu tidak memegang tanganku.

“Sori-sori.” Suaranya terdengar maskulin dan ternyata saat aku melirik, aku baru menyadari bahwa ternyata seorang laki-laki.

Aku sempat terdiam, mungkin sedikit terkejut sebab pemuda di hadapanku ini memiliki konstruksi wajahnya yang tegas. Matanya pun tajam dengan alis yang tergambar sempurna.

Pahatannya ... wah, dia luar biasa tampannya.

Eh, enggak, deng. Bara lebih ganteng. . . . . . . Sedikit, hehehe.

“Ah, terima kasih,” jawabku canggung lalu kembali menarik tanganku yang digenggam olehnya. Aku tersenyum singkat, kemudian balik untuk menemui staff-staff untuk membicarakan foto-foto mana yang aku publikasikan.

Akan tetapi, belum ada dua langkah aku berjalan, lelaki itu kini balik meraih tanganku.

Aku mengernyit. “Maaf, ada urusan apa denganku?”

Laki-laki itu tidak menjawab, justru bola matanya memindai struktur wajahku, membuatku risih karena tatapannya.

Lagipula, walaupun dia tampan, bukankah aneh kalau kau terus-terusan ditatap begitu.

“Ah, ternyata emang cewek yang kemarin.” Aku mengernyit, tidak mengerti dengan ucapannya.

Sebab raut wajah yang kutekukan itu, lagi-lagi membuat dia bertanya-tanya. “Lo gak inget gue?”

“Excuse, me?”

Bukannya menjawab laki-laki itu justru menarik salah satu sudut birainya yang merah plum

“It’s my pleasure to meet you again, Miss,” katanya dengan senyumannya yang jenaka.

Alisku tertaut sempurna, membuat dahiku mengkerut lantaran mempertanyakan eksistensinya dalam hidupku.

Sebentar, dia itu siapa, sih?

Aku pelan-pelan menghela napas.

Beban yang selama ini menopang di bahuku, lama-lama melorot dan menemukan kelegaan di sana.

Tanpa sadar, pesan Bara yang mengirimkanku seperti itu, membuatku merasakan ada sebagian dari tubuhku yang kembali ringan karena ucapannya.

Bara benar-benar bisa diandalkan dan entah sudah keberapa kalinya aku jatuh pada pria tersebut. Dia memang punya pesonanya sendiri untuk membuatku selalu tenggelam dan merindukan berada dalam kukungannya yang hangat.

Meski satu bulan itu tidak sebentar, tetapi rasanya ini akan membuatku menjadi bebas. Aku seolah akan mencari jati diriku tanpa takut diawasi oleh siapapun.

Aku seolah-olah akan hidup, benar, bukan?

Karena ucapan Bara, aku entah sudah keberapa kalinya tersenyum, bersenandung dengan riang, hingga manager yang diberikan dari agensi untuk mengurusiku semenjak menandatangani kontrak mengernyit.

“Kak, lagi seneng?” tegur perempuan itu. Aku mengangkat kedua alisku sebagai sahutan, hingga di detik berikutnya aku terkekeh.

“Gak, kok. Btw, ini ruang gantinya di mana?” tanyaku. Perempuan itu, Sabrina namanya kini langsung menunjuk pada fitting room yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.

Sesuai jadwal, pada pukul lima sore, aku mendatangi agensi untuk melakukan sebuah pemotretan yang mempublikasikan kepada media bahwa aku baru saja menandatangi kontrak dan sebagai bukti bahwa aku kini menjadi keluarga dari Selaksa Asa Ent.

Mungkin namanya memang mendayu sekali, Selaksa Asa yang berarti harapan tak terhingga. Namun, terlepas dari benefits yang aku peroleh dari agensi ini, definisi dari Selaksa Asa tanpa sadar memberiku secercah harapan untuk hidup.

Aku lagi-lagi tersenyum, merasakan jika aku kembali percaya diri untuk menjalani hari. Lantas, begitu pemotretanku telah berjalan lancar, aku juga mendapatkan pesan dari Bara bahwa dia sudah berbicara dengan Arimbi.

Mendengus tertahan, aku kini membalas pesan sekenanya.

Bara memang tahu bagaimana untuk menbuatku tersenyum.

Cuman Bara yang bisa membuatku bahagia.

Cuman dia yang bisa membuatku tertawa.

Dia pula yang bisa membuatku menangis.

Bara itu yang membuatku merasa hidup, pun dia yang membuatku merasa dicintai.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya jika aku tidak mempunyai Bara.

Mungkin, saking aku larutnya untuk memikirkan tentang Bara, seseorang menabrakku. Nyaris membuatku terhuyung kalau saja orang yang membentur bahuku itu tidak memegang tanganku.

“Sori-sori.” Suaranya terdengar maskulin dan ternyata saat aku melirik, aku baru menyadari bahwa ternyata seorang laki-laki.

Aku sempat terdiam, mungkin sedikit terkejut sebab pemuda di hadapanku ini memiliki konstruksi wajahnya yang tegas. Matanya pun tajam dengan alis yang tergambar sempurna.

Pahatannya ... wah, dia luar biasa tampannya.

Eh, enggak, deng. Bara lebih ganteng.

Sedikit, hehehe.

“Ah, terima kasih,” jawabku canggung lalu kembali menarik tanganku yang digenggam olehnya. Aku tersenyum singkat, kemudian balik untuk menemui staff-staff untuk membicarakan foto-foto mana yang aku publikasikan.

Akan tetapi, belum ada dua langkah aku berjalan, lelaki itu kini balik meraih tanganku.

Aku mengernyit. “Maaf, ada urusan apa denganku?”

Laki-laki itu tidak menjawab, justru bola matanya memindai struktur wajahku, membuatku risih karena tatapannya.

Lagipula, walaupun dia tampan, bukankah aneh kalau kau terus-terusan ditatap begitu.

“Ah, ternyata emang cewek yang kemarin.” Aku mengernyit, tidak mengerti dengan ucapannya.

Sebab raut wajah yang kutekukan itu, lagi-lagi membuat dia bertanya-tanya. “Lo gak inget gue?”

“Excuse, me?”

“It’s my pleasure to meet you again, Miss,” ucapnya dengan serangaiannya yang playful.

Sebentar, dia itu siapa, sih?

Arimbi melihat banyak pegawai yang berada di dalam kafe, mungkin karena letaknya strategis diapit oleh gedung-gedung pencakar langit, makanya membuat kafe ini dipadati oleh orang-orang berpakaian kantor.

Dewa baru saja melepaskan tangan Arimbi, kemudian duduk sembari melipatkan tangan di depan dada. Arimbi lantas duduk canggung di hadapan laki-laki itu.

“Bisa minum kopi?”

“Bisa, kenapa?”

“Lo mau pesen apaan?”

“Gue dibeliin nih ceritanya?”

“Kagak lah, bayar sendiri.”

Arimbi mengerucutkan birainya, mendorong buku menu yang sempat Dewa sodorkan lalu menggeleng. “Gak, deh. Uangnya gue pake buat pulang aja.”

Dewa menghela napas, kemudian memutar bola matanya, lalu berdiri mengambil buku menu.

Arimbi kira laki-laki itu akan mengembalikan buku menunya, tetapi nyatanya tidak. Ia bisa melihat Dewa berdiri untuk mengantri.

Gak usah geer, palingan juga buat ceweknya.

Tidak sampai sepuluh menit, Dewa kemudian datang kembali, membawa lunch paper bag dan strawberry smoothies.

Laki-laki itu lantas menyodorkan padanya, kemudian kembali duduk.

“Buat gue?”

“Enggak, buat cewek gue.”

Tuh, kan. Bener.

Arimbi menganggukan kepalanya, membuat Dewa mendengus. “Ya buat lo, lha. Pake nanya segala. Ngapain juga gue kasih lo, emang lo kenal?”

Satu karakter lagi yang Arimbi pahami tentang Dewa, laki-laki itu ternyata memang tsundere.

Arimbi diam-diam mendengus. “Lo sebelumnya nanyain gue bisa minum kopi apa enggak? Tapi kenapa jadi strawberry smoothies?”

“Minum aja, sih. Ribet banget.”

Arimbi menghela napas, benar-benar capek dengan omongan pedas Dewa, sebelum ia sempat mendengar. “Lo tuh masih bocil, jangan dulu dah ngopi-ngopi segala.”

“Gue bocil? Umur gue udah 20 tahun keleus.”

“Tetep aja. Lo tuh lebih muda enam tahun dari gue, jadi lo tetep bocah di mata gue,” jelas Dewa. “By the way, gue lebih tua dari lo, enam tahun malah. Tapi lo ngomong ‘gue-lo’, terus tanpa embel-embel?”

Arimbi mengernyit. “Lo sekarang gila hormat?”

“Enggak, gue bukan gila hormat. Sadar posisi, lo bakal bersanding sama siapa? Walaupun susah, seenggaknya coba sedikit buat bikin lo pantes bareng gue.”

Arimbi mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Dewa, sekarang laki-laki itu memberikan map kuning yang berisikan proposalnya. Oke, sepertinya kebingungan Arimbi makin menjadi ketika cowok di hadapannya itu bilang, “Sorry.”

Hah?

Dewa menggaruk tengkuk lehernya, kemudian menghela napas. “Iya bener. Gue—i mean, kata-kata yang kemarin di chat emang keterlaluan, apalagi main nuduh-nuduh aja tanpa bukti. So, i’m sorry, Bi. Aku minta maaf.”

HAH?!

APA-APA GIMANA?

Arimbi gak salah denger, nih?

He said, ‘aku minta maaf’

Sekali lagi diperjelas, AKU

Sengaja capslock sama bold karena Arimbi bener-bener tak percaya.

Sumpah, rasanya Arimbi mau cosplay jadi keong.

Arimbi tidak tahu harus bereaksi apa, ditambah dengan Dewa yang kembali menyahut.

“Bi, mau kerja sama, gak?” tanya Dewa tiba-tiba, membuat Arimbi semakin membeku. “Aku tahu antara kita berdua sama-sama terpaksa, tapi kita juga gak bisa buat nentang itu semua. Mungkin kedengeran lawak aja karena kemarin aku bilang jangan jadi istri yang baik, tapi sekarang i want to try my best untuk ngehidupin pernikahan kita yang berjangka sebentar.”

“Hanya dua tahun kita berlagak sebagai pasutri untuk ngeyakinin orang tua kita. Aku juga bakal ngejalanin kewajiban aku sebagai suami yang nyari nafkah seperti seharusnya. But, tetap jangan urusin privasi kita masing-masing. Aku ngebebasin kamu ngapain aja dan kamu juga begitu ke kehidupanku, ok?”

Arimbi tidak menyahut, hanya mencoba untuk mencerna ucapan Dewa dengan kata-katanya yang sulit dipahami.

“Meski aku bilang bakal ngehidupin pernikahan seperti seharusnya, but ....” Dewa menjeda sebentar, membasahi birai bawahnya kemudian tersenyum tipis.

“Jangan jatuh cinta sama saya, Bi. Ada hati yang harus aku jaga.”