Dia Haechan.
Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.
Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”
Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”
Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”
Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.
Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.
Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.
Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”
Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”
“Teroooossss?”
“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.
“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.
“Minggir, ah. Jan deket-deket.”
“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”
Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.
***
Dia Haechan.
Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.
Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.
Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”
Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskib kepada adik kelas.
Sungguh melelahkan.
Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.
“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”
Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.
Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”
Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.
“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”
Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.
Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”
Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”
Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.
“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”
Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.
Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”
Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.
***
Dia Haechan.
Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.
Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.
Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.
“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.
“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.
Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”
Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”
“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”
“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”
Ibu.
Mendengar namanya, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.
Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.
“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”
Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”
Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.
***
Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.
Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.
Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.
Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.
“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”
Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.
“Mas kangen ibu?”
“Kangen.”
“Pengen ketemu ibu?”
“Pengen.”
“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”
Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.
“Satu.”
Ibu ... Taeil kangen kalian.
“Dua.”
Nyusul ibu, boleh ‘kan?
“Tiga.”
Taeil lelah, Bu.
“LOMPAT!”
Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.
Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.
Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”
“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”
Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.
“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.
Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO! ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA! MEREKA MENINGGAL KARENA KECELAKAAN, BANG!”
Aku terdiam, mencerna ucapannya.
“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”
Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.
Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,
“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”
***
A/N : Taeil pengidap skizofrenia, di mana jika ia merasa lelah, sendirian, dan terlalu larut dalam dunia gelap, ia akan membuat Haechan, teman ilusinya.
Haechan itu nyata.
Tapi, dulu.
Sebelum semesta merampas kebahagiannya yang bersumber dari ibu dan Haechan.