Write.as

Springbloomz_

Arimbi melihat banyak pegawai yang berada di dalam kafe, mungkin karena letaknya strategis diapit oleh gedung-gedung pencakar langit, makanya membuat kafe ini dipadati oleh orang-orang berpakaian kantor.

Dewa baru saja melepaskan tangan Arimbi, kemudian duduk sembari melipatkan tangan di depan dada. Arimbi lantas duduk canggung di hadapan laki-laki itu.

“Bisa minum kopi?”

“Bisa, kenapa?”

“Lo mau pesen apaan?”

“Gue dibeliin nih ceritanya?”

“Kagak lah, bayar sendiri.”

Arimbi mengerucutkan birainya, mendorong buku menu yang sempat Dewa sodorkan lalu menggeleng. “Gak, deh. Uangnya gue pake buat pulang aja.”

Dewa menghela napas, kemudian memutar bola matanya, lalu berdiri mengambil buku menu.

Arimbi kira laki-laki itu akan mengembalikan buku menunya, tetapi nyatanya tidak. Ia bisa melihat Dewa berdiri untuk mengantri.

Gak usah geer, palingan juga buat ceweknya.

Tidak sampai sepuluh menit, Dewa kemudian datang kembali, membawa lunch paper bag dan strawberry smoothies.

Laki-laki itu lantas menyodorkan padanya, kemudian kembali duduk.

“Buat gue?”

“Enggak, buat cewek gue.”

Tuh, kan. Bener.

Arimbi menganggukan kepalanya, membuat Dewa mendengus. “Ya buat lo, lha. Pake nanya segala. Ngapain juga gue kasih lo, emang lo kenal?”

Satu karakter lagi yang Arimbi pahami tentang Dewa, laki-laki itu ternyata memang tsundere.

Arimbi diam-diam mendengus. “Lo sebelumnya nanyain gue bisa minum kopi apa enggak? Tapi kenapa jadi strawberry smoothies?”

“Minum aja, sih. Ribet banget.”

Arimbi menghela napas, benar-benar capek dengan omongan pedas Dewa, sebelum ia sempat mendengar. “Lo tuh masih bocil, jangan dulu dah ngopi-ngopi segala.”

“Gue bocil? Umur gue udah 20 tahun keleus.”

“Tetep aja. Lo tuh lebih muda enam tahun dari gue, jadi lo tetep bocah di mata gue,” jelas Dewa. “By the way, gue lebih tua dari lo, enam tahun malah. Tapi lo ngomong ‘gue-lo’, terus tanpa embel-embel?”

Arimbi mengernyit. “Lo sekarang gila hormat?”

“Enggak, gue bukan gila hormat. Sadar posisi, lo bakal bersanding sama siapa? Walaupun susah, seenggaknya coba sedikit buat bikin lo pantes bareng gue.”

Arimbi mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Dewa, sekarang laki-laki itu memberikan map kuning yang berisikan proposalnya. Oke, sepertinya kebingungan Arimbi makin menjadi ketika cowok di hadapannya itu bilang, “Sorry.”

Hah?

Dewa menggaruk tengkuk lehernya, kemudian menghela napas. “Iya bener. Gue—i mean, kata-kata yang kemarin di chat emang keterlaluan, apalagi main nuduh-nuduh aja tanpa bukti. So, i’m sorry, Bi. Aku minta maaf.”

HAH?!

APA-APA GIMANA?

Arimbi gak salah denger, nih?

He said, ‘aku minta maaf’

Sekali lagi diperjelas, AKU

Sengaja capslock sama bold karena Arimbi bener-bener tak percaya.

Sumpah, rasanya Arimbi mau cosplay jadi keong.

Arimbi tidak tahu harus bereaksi apa, ditambah dengan Dewa yang kembali menyahut.

“Bi, mau kerja sama, gak?” tanya Dewa tiba-tiba, membuat Arimbi semakin membeku. “Aku tahu antara kita berdua sama-sama terpaksa, tapi kita juga gak bisa buat nentang itu semua. Mungkin kedengeran lawak aja karena kemarin aku bilang jangan jadi istri yang baik, tapi sekarang i want to try my best untuk ngehidupin pernikahan kita yang berjangka sebentar.”

“Hanya dua tahun kita berlagak sebagai pasutri untuk ngeyakinin orang tua kita. Aku juga bakal ngejalanin kewajiban aku sebagai suami yang nyari nafkah seperti seharusnya. But, tetap jangan urusin privasi kita masing-masing. Aku ngebebasin kamu ngapain aja dan kamu juga begitu ke kehidupanku, ok?”

Arimbi tidak menyahut, hanya mencoba untuk mencerna ucapan Dewa dengan kata-katanya yang sulit dipahami.

“Meski aku bilang bakal ngehidupin pernikahan seperti seharusnya, *but ....” Dewa menjeda sebentar, membasahi birai bawahnya kemudian tersenyum tipis.

“Jangan jatuh cinta sama saya, Bi. Ada hati yang harus aku jaga.”

Arimbi menggigit jarinya.

Giginya sudah gemeretak lantaran takut untuk menghadapi apa yang akan dia lakukan sekarang. Tak jarang orang melihatnya dengan tatapan aneh sebab buat apa orang mondar-mandir tanpa alasan di depan cafe?

Bagaimana, ya?

Arimbi benar-benar takut untuk menemui Dewa sekarang. Dewa itu seriusan menyeramkan.

Apalagi setelah mendengar kata Echan kalau laki-laki itu persis seperti harimau pms kalau sedang marah.

Bayangin?

Udah harimau, pms pula.

Kan Arimbi makin takut untuk menemuinya, apalagi dia masih merasa sakit dengan kata-kata Dewa kemarin malam yang buat perempuan itu tidur dengan mata sembab.

Diperiksa phonselnya sekali lagi, melihat sekarang sudah setengah tiga.

Dewa bilang istirahat kantor habis pukul tiga sore, menandakan tinggal tiga puluh menit lagi kesempatannya berbicara dengan dia.

“Pulang aja kali, ya? Gila takut banget gue ketemu Dewa,” ucap Arimbi cemas-cemas.

Dia menatap sekali lagi phonselnya, kemudian mengangguk mantap. “Iya, mending gue pulang aja. Masih sempet pulang ke rumah ngambil flashdisk abis itu print di depan kampus.”

Perempuan itu membalikkan badannya, melangkah menjauh meninggalkan tempat janjiannya dengan Dewa. Namun, belum sempat dia pergi seutuhnya, ia bisa merasakan kemeja belakangnya ditarik membuat perempuan itu meronta.

“Eh, apaan sih? Gak ada sopan-sopannya bang—“

Arimbi mengunci mulutnya, begitu menoleh siapa pelakunya.

Itu Dewa.

Dengan baju kantornya, sembari menaikkan alisnya.

Mampus.

Mati aja lah gue.

“Ngapain lo?” ucap Dewa sembari melipatkan dadanya, Arimbi hanya meringis begitu menangkap nada Dewa yang berbicara begitu dengan suara rendahnya yang begitu mengintimidasi.

“Gue udah liatin lo mondar-mandir gak jelas di dalem sana. Gedek tau, gak?”

Seperti dugaan, Dewa sepertinya memang titisan titan yang suka makan bon cabe.

Omongannya pedas bat, brou. Tapi, kenapa harus titan? Gak tahu, Arimbi asal milih karena ya memang badan Dewa lebih kurus dari Bima, jauh banget lagi. Kebetulan aja Arimbi takut dengan makhluk satu itu sehabis Bima mencecokinya anime Attack of Titan

Jadi bisa dikatakan Arimbi takut dengan Dewa apalagi kalau sudah berbicara pedas.

“Ikut gue buru, lo ngabisin waktu gue tiga puluh menit, tahu gak?” ucap laki-laki itu sembari menarik tangan Arimbi, membiarkan perempuan di belakangnya berjalan terseok-seok.

Arimbi menggigit jarinya.

Giginya sudah gemeretak lantaran takut untuk menghadapi apa yang akan dia lakukan sekarang. Tak jarang orang melihatnya dengan tatapan aneh sebab buat apa orang mondar-mandir tanpa alasan di depan cafe?

Bagaimana, ya?

Arimbi benar-benar takut untuk menemui Dewa sekarang. Dewa itu seriusan menyeramkan.

Apalagi setelah mendengar kata Echan kalau laki-laki itu persis seperti harimau pms kalau sedang marah.

Bayangin?

Udah harimau, pms pula.

Kan Arimbi makin takut untuk menemuinya, apalagi dia masih merasa sakit dengan kata-kata Dewa kemarin malam yang buat perempuan itu tidur dengan mata sembab.

Diperiksa phonselnya sekali lagi, melihat sekarang sudah setengah tiga.

Dewa bilang istirahat kantor habis pukul tiga sore, menandakan tinggal tiga puluh menit lagi kesempatannya berbicara dengan dia.

“Pulang aja kali, ya? Gila takut banget gue ketemu Dewa,” ucap Arimbi cemas-cemas.

Dia menatap sekali lagi phonselnya, kemudian mengangguk mantap. “Iya, mending gue pulang aja. Masih sempet pulang ke rumah ngambil flashdisk abis itu print di depan kampus.”

Perempuan itu membalikkan badannya, melangkah menjauh meninggalkan tempat janjiannya dengan Dewa. Namun, belum sempat dia pergi seutuhnya, ia bisa merasakan kemeja belakangnya ditarik membuat perempuan itu meronta.

“Eh, apaan sih? Gak ada sopan-sopannya bang—“

Arimbi mengunci mulutnya, begitu menoleh siapa pelakunya.

Itu Dewa.

Dengan baju kantornya, sembari menaikkan alisnya.

Mampus.

Mati aja lah gue.

“Ngapain lo?” ucap Dewa sembari melipatkan dadanya, Arimbi hanya meringis begitu menangkap nada Dewa yang berbicara begitu dengan suara rendahnya yang begitu mengintimidasi.

“Gue udah liatin lo mondar-mandir gak jelas di dalem sana. Gedek tau, gak?”

Seperti dugaan, Dewa sepertinya memang titisan titan yang suka makan bon cabe.

Omongannya pedas bat, brou. Tapi, kenapa harus titan? Gak tahu, Arimbi asal milih karena ya memang badan Dewa lebih kurus dari Bima, jauh banget lagi. Kebetulan aja Arimbi takut dengan makhluk satu itu sehabis Bima mencecokinya anime Attack of Titan

Jadi bisa dikatakan Arimbi takut dengan Dewa apalagi kalau sudah berbicara pedas.

“Ikut gue buru, lo ngabisin waktu gue tiga puluh menit, tahu gak?” ucap laki-laki itu sembari menarik tangan Arimbi, membiarkan perempuan di belakangnya berjalan terseok-seok.

Aku terbangun.

Entah sudah jam berapa sekarang, aku membukakan mata lantaran mendengar suara bising yang tidak menahu asal suaranya dari mana.

Sungguh, kepalaku benar-benar pening. Seolah baru saja ditabrak oleh sesuatu, kala aku berniat mengumpulkan nyawa menjadi satu.

Tetapi, tunggu sebentar.

Kasur yang kutempati sekarang benar-benar tidak familiar.

Aku membelalakan mata, kemudian langsung mengedip mengetahui ada sesuatu yang janggal. Sampai pada akhirnya, aku berteriak. “INI KAMAR SIAPA ANJIR?”

Aku menjabak surai yang kata mereka sebagai mahkota perempuan kala menemukan ada sesuatu yang tidak beres.

“Sebentar ... sebentar,” gumamku. Mencoba mengingat kilasan balik yang aku lakukan semalam sebelum hangover sepenuhnya. Selagi coba mengingat, aku menemukan bingkai foto di atas nakas sebelah kasur.

Terdapat dua insan, di mana seorang laki-laki dan perempuan. Sang hawa cemberut, sementara satunya lagi tertawa seolah meledek dengan gaya tengilnya, di tambah pierching dikenakan di telinganya.

Diernyitkan alisku hingga menyatu, akhirnya aku menyadari jika laki-laki kemarin yang membawaku ke sini.

“Gue turut apresiasi rasa tanggung jawabnya yang kagak ninggalin gue sendirian,” anggukku. Lalu, meneliti kamar yang ternyata bernuansa lembut, membuatku langsung mengklaim bahwa ini kamar milik perempuan.

Aku langsung beramsumsi bahwa mereka yang berada di dalam foto adalah adik-kakak, membuatku lantas bernapas lega sebab pakaianku sudah terganti dengan lebih tertutup.

Aku lantas membuka pintu kamar, menghirup bau jamu-jamuan dan menuruni tangga untuk menemukan asal baunya.

Lantunan lagu yang kutebak berjudul What Am I kini semakin terdengar jelas kala aku menemukan laki-laki ber-hoodie hitam itu berada di dapur.

Panggulnya bergerak, seolah membuat ritme joget mengikuti lantunan lagu, sedikit membuatku menahan tawa. Tampaknya, dia menyadari eksistensiku, membuat laki-laki itu menoleh, kemudian mengangguk kaku.

Ia kini mengecilkan volume speaker-nya, lalu lagi-lagi menyengir canggung. “Kebangun, ya? Sori-sori.”

Aku hanya tersenyum sekilas, lalu duduk dekat meja pantry yang berhadapan langsung dengan dapurnya.

“Baju gue—“ Belum sempat aku menuntaskan ucapanku, laki-laki tersebut langsung menoleh.

Tampak begitu panik lalu buru-buru menyangkal. “Ba-baju lo... Baju lo yang ganti adek gue, bukan gue, kok. Serius, dah! Adek gue cewek.”

Aku mengernyit. “Sumpah demi?”

“Demi Allah. A el el a ha.”

Aku menahan tawa, kemudian tersenyum. Membuat laki-laki itu bernapas lega.

“Gue ....” Laki-laki itu menjeda sembari menggaruk tengkuk lehernya, “Gue buatin lo teh jahe sama sup. Katanya sih bagus buat ngeredain mabuk.”

Aku terkesima mendengarnya. Jarang sekali ada laki-laki yang seperhatian ini, padahal belum bertukar nama. Rasanya, ini mengingatkanku tentang Bara.

Bedanya, cara mereka yang menunjukkan kekhawatirannya sungguh berlawanan. Bara justru dengan omongan pedas, sementara laki-laki ini langsung dengan aksinya.

Tipe gentleman.

Aku lantas tersenyum. “Thanks, sebenarnya gue biasa minum pake air kelapa doang, sih. But, it’s okay, i’ll try it.”

Laki-laki itu tersenyum sekilas, kemudian membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk sup dan segelas teh jahe. Dia yang masih belum aku ketahui namanya itu memberikan sendok.

“Oh iya, temen lo nanti bakal jemput ke sini.”

Sembari aku meniup sup panas yang ternyata rasanya lumayan, aku menaikkan alisku. “Siapa?”

“Selen? Selena? Pokoknya mbak-mbak galak itu dah. Yang punya nama mirip artis.”

“Ah, Seren maksud lo?”

“Iya kayaknya. Gak tahu, dah.”

Lagi-lagi aku menganggukkan kepala, menelan sup yang begitu hangat di kerongkonanku, membuat lama-lama pusing yang menghampiri, semakin mereda.

“Oh, iya. By the way, lo Lara Venya, ‘kan?”

Aku mengernyit pada awalnya, kemudian mengangguk pelan. “Tau gue dari mana?”

Laki-laki di hadapanku tersenyum jenaka. Entah kenapa, aku menemukan ada sesuatu di balik mata tajamnya yang seperti rubah itu kala balik menatapku.

“Kayaknya nyaris semua orang kenal lo, deh. Lo selebgram, seorang influencer sekaligus merambat sebagai model. Siapa sih yang gak kenal sama pacarnya Rajananda?”

Aku tersentak dengan ucapannya. Menatapnya bingung, kemudian laki-laki itu melipatkan tangannya di atas meja pantry lalu menaikkan alisnya.

“Eh, apa sekarang lo udah jadi mantan? Gue denger katanya lo putus,” ucapnya, sengaja menekan kata ‘mantan’ pada ucapannya tersebut.

Aku kehilangan kata-kata, melihat dia yang kini menyeringai. “Tapi ... berita publik gak bisa dipercaya, ya? Kayaknya kalian masih berhubungan.”

“Lo—lo buka privasi gue?”

Laki-laki di hadapanku sekali lagi menarik sebelah sudutnya, lalu menopang dagu. “Enggak, tuh. Emangnya ada sesuatu di sana? Ada sesuatu yang lo sembunyiin?”

Aku membatu.

“Oh, sebentar. Ngeliat lo diem begini, ngerasa emang ada sesuatu yang disembunyiin, lho.” Pemuda tersebut lantas tertawa. Membuatku langsung kebakaran jenggot lalu meraih gelas yang di hadapanku.

Akan tetapi, refleksnya terlalu bagus, hingga ia sempat memegang tanganku, kemudian tertawa jenaka. “Calm down, sneaky. Lo kayak gini bikin gue ngerasa omongan gue sebelumnya bener tahu, gak? Padahal gue cuman bilang ‘kayaknya kalian masih berhubungan’, deh. kayaknya.”

Pria itu kini mengambil gelas yang kupegang, kemudian meneguknya hingga setengah.

Aku kembali terduduk.

Ritme jantungku sudah memompa tidak beraturan dan menatap mangkuk di depanku dengan napsu makan yang sudah hilang entah ke mana.

“Lanjutin makan lo. Gue gak sejahat itu bikin lo mati keracunan, kok.” Aku menangkap birainya berbicara. Ia membuktikannya dengan mengambil sendok yang masih bersih dan memakan sup yang ia buat. “Aman.”

Aku menatapnya sengit, lalu mengepalkan tanganku kuat-kuat.

“Lo sebenarnya siapa?”

“Gue?” tanyanya, lalu kembali tersenyum. “Dari awal juga lo salah minta bantuan ke gue, Nyonya.”

“Gue cuman Bima Mahardika, si bassist enam hari,” katanya.

“Ah, sama gue temannya Arimbi Anindiya. Kenal. ‘kan?”

Aku terbangun.

Entah sudah jam berapa sekarang, aku membukakan mata lantaran mendengar suara bising yang tidak menahu asal suaranya dari mana.

Sungguh, kepalaku benar-benar pening. Seolah baru saja ditabrak oleh sesuatu, kala aku berniat mengumpulkan nyawa menjadi satu.

Tetapi, tunggu sebentar.

Kasur yang kutempati sekarang benar-benar tidak familiar.

Aku membelalakan mata, kemudian langsung mengedip mengetahui ada sesuatu yang janggal. Sampai pada akhirnya, aku berteriak. “INI KAMAR SIAPA ANJIR?”

Aku menjabak surai yang kata mereka sebagai mahkota perempuan kala menemukan ada sesuatu yang tidak beres.

“Sebentar ... sebentar,” gumamku. Mencoba mengingat kilasan balik yang aku lakukan semalam sebelum hangover sepenuhnya. Selagi coba mengingat, aku menemukan bingkai foto di atas nakas sebelah kasur.

Terdapat dua insan, di mana seorang laki-laki dan perempuan. Sang hawa cemberut, sementara satunya lagi tertawa seolah meledek dengan gaya tengilnya, di tambah pierching dikenakan di telinganya.

Diernyitkan alisku hingga menyatu, akhirnya aku menyadari jika laki-laki kemarin yang membawaku ke sini.

“Gue turut apresiasi rasa tanggung jawabnya yang kagak ninggalin gue sendirian,” anggukku. Lalu, meneliti kamar yang ternyata bernuansa lembut, membuatku langsung mengklaim bahwa ini kamar milik perempuan.

Aku langsung beramsumsi bahwa mereka yang berada di dalam foto adalah adik-kakak, membuatku lantas bernapas lega sebab pakaianku sudah terganti dengan lebih tertutup.

Aku lantas membuka pintu kamar, menghirup bau jamu-jamuan dan menuruni tangga untuk menemukan asal baunya.

Lantunan lagu yang kutebak berjudul What Am I kini semakin terdengar jelas kala aku menemukan laki-laki ber-hoodie hitam itu berada di dapur.

Panggulnya bergerak, seolah membuat ritme joget mengikuti lantunan lagu, sedikit membuatku menahan tawa. Tampaknya, dia menyadari eksistensiku, membuat laki-laki itu menoleh, kemudian mengangguk kaku.

Ia kini mengecilkan volume speaker-nya, lalu lagi-lagi menyengir canggung. “Kebangun, ya? Sori-sori.”

Aku hanya tersenyum sekilas, lalu duduk dekat meja pantry yang berhadapan langsung dengan dapurnya.

“Baju gue—“ Belum sempat aku menuntaskan ucapanku, laki-laki tersebut langsung menoleh.

Tampak begitu panik lalu buru-buru menyangkal. “Ba-baju lo... Baju lo yang ganti adek gue, bukan gue, kok. Serius, dah! Adek gue cewek.”

Aku mengernyit. “Sumpah demi?”

“Demi Allah. A el el a ha.”

Aku menahan tawa, kemudian tersenyum. Membuat laki-laki itu bernapas lega.

“Gue ....” Laki-laki itu menjeda sembari menggaruk tengkuk lehernya, “Gue buatin lo teh jahe sama sup. Katanya sih bagus buat ngeredain mabuk.”

Aku terkesima mendengarnya. Jarang sekali ada laki-laki yang seperhatian ini, padahal belum bertukar nama. Rasanya, ini mengingatkanku tentang Bara.

Bedanya, cara mereka yang menunjukkan kekhawatirannya sungguh berlawanan. Bara justru dengan omongan pedas, sementara laki-laki ini langsung dengan aksinya.

Tipe gentleman.

Aku lantas tersenyum. “Thanks, sebenarnya gue biasa minum pake air kelapa doang, sih. But, it’s okay, i’ll try it.”

Laki-laki itu tersenyum sekilas, kemudian membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk sup dan segelas teh jahe. Dia yang masih belum aku ketahui namanya itu memberikan sendok.

“Oh iya, temen lo nanti bakal jemput ke sini.”

Sembari aku meniup sup panas yang ternyata rasanya lumayan, aku menaikkan alisku. “Siapa?”

“Selen? Selena? Pokoknya mbak-mbak galak itu dah. Yang punya nama mirip artis.”

“Ah, Seren maksud lo?”

“Iya kayaknya. Gak tahu, dah.”

Lagi-lagi aku menganggukkan kepala, menelan sup yang begitu hangat di kerongkonanku, membuat lama-lama pusing yang menghampiri, semakin mereda.

“Oh, iya. By the way, lo Lara Venya, ‘kan?”

Aku mengernyit pada awalnya, kemudian mengangguk pelan. “Tau gue dari mana?”

Laki-laki di hadapanku tersenyum jenaka. Entah kenapa, aku menemukan ada sesuatu di balik mata tajamnya yang seperti rubah itu kala balik menatapku.

“Kayaknya nyaris semua orang kenal lo, deh. Lo selebgram, seorang influencer sekaligus merambat sebagai model. Siapa sih yang gak kenal sama pacarnya Rajananda?”

Aku tersentak dengan ucapannya. Menatapnya bingung, kemudian laki-laki itu melipatkan tangannya di atas meja pantry lalu menaikkan alisnya.

“Eh, apa sekarang lo udah jadi mantan? Gue denger katanya lo putus,” ucapnya, sengaja menekan kata ‘mantan’ pada ucapannya tersebut.

Aku kehilangan kata-kata, melihat dia yang kini menyeringai. “Tapi ... berita publik gak bisa dipercaya, ya? Kayaknya kalian masih berhubungan.”

“Lo—lo buka privasi gue?”

Laki-laki di hadapanku sekali lagi menarik sebelah sudutnya, lalu menopang dagu. “Enggak, tuh. Emangnya ada sesuatu di sana? Ada sesuatu yang lo sembunyiin?”

Aku membatu.

“Oh, sebentar. Ngeliat lo diem begini, ngerasa emang ada sesuatu yang disembunyiin, lho.” Pemuda tersebut lantas tertawa. Membuatku langsung kebakaran jenggot lalu meraih gelas yang di hadapanku.

Akan tetapi, refleksnya terlalu bagus, hingga ia sempat memegang tanganku, kemudian tertawa jenaka. “Calm down, sneaky. Lo kayak gini bikin gue ngerasa omongan gue sebelumnya bener tahu, gak? Padahal gue cuman bilang ‘kayaknya kalian masih berhubungan’, deh. kayaknya.”

Pria itu kini mengambil gelas yang kupegang, kemudian meneguknya hingga setengah.

Aku kembali terduduk.

Ritme jantungku sudah memompa tidak beraturan dan menatap mangkuk di depanku dengan napsu yang sudah hilang entah ke mana.

“Lanjutin makan lo. Gue gak sejahat itu bikin lo mati keracunan, kok.” Aku menangkap birainya berbicara. Ia membuktikannya dengan mengambil sendok yang masih bersih dan memakan sup yang ia buat. “Aman.”

Aku menatapnya sengit, lalu mengepalkan tanganku kuat-kuat.

“Lo sebenarnya siapa?”

“Gue?” tanyanya, lalu kembali tersenyum. “Dari awal juga lo salah minta bantuan ke gue, Nyonya.”

“Gue? Gue cuman Bima Mahardika, si bassist enam hari,” katanya.

“Ah, sama gue temannya Arimbi Anindiya.”

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersusun rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskib kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar namanya, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO! ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA! MEREKA MENINGGAL KARENA KECELAKAAN, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

***

A/N : Taeil pengidap skizofrenia, di mana jika ia merasa lelah, sendirian, dan terlalu larut dalam dunia gelap, ia akan membuat Haechan, teman ilusinya.

Haechan itu nyata.

Tapi, dulu.

Sebelum semesta merampas kebahagiannya yang bersumber dari ibu dan Haechan.

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskib kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar namanya, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO! ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA! MEREKA MENINGGAL KARENA KECELAKAAN, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

***

A/N : Taeil pengidap skizofrenia, di mana jika ia merasa lelah, sendirian, dan terlalu larut dalam dunia gelap, ia akan membuat Haechan, teman ilusinya.

Haechan itu nyata.

Tapi, dulu.

Sebelum semesta merampas kebahagiannya yang bersumber dari ibu dan Haechan.

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersusun rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar kata tersebut, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersusun rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar kata tersebut, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”

Dia Haechan.

Anak laki-laki menyebalkan dengan surai coklat keriting membelai wajahnya. Memiliki mata coklat terang yang berkilau, kerapkali membuatku iri lantaran dia mewariskannya dari ibu.

Pernah sekali, dalam keheningan kala angin bertiup dengan damai, sewaktu aku menatap bulan di malam sepi, laki-laki itu membuka kamarku, kemudian bertanya. “Ngapain, Mas?”

Aku tidak menimpali ucapannya, justru kembali melanjutkan fokusku pada satelit dan para aksesorisnya yang mendekorasi dan membentang sepanjang langit malam. Bocah itu kemudian menggeret kursi, duduk di sebelahku lalu kembali menyahut. “Mas Taeil udah nentuin mau kuliah di mana?”

Aku menggeleng. “Belum, Dek. Masih bingung.”

Dia mengangguk, kemudian ikut memusatkan matanya pada bulan. Diam-diam aku meliriknya. Cahaya rembulan yang dipantulkan di netranya begitu jernih, semakin terlihat berkilau.

Terkadang, dalam kelereng coklatnya yang berbinar itu, aku kerap menafsirkan bahwa bocah itu menaruh segudang impian. Banyak asa yang dia gantungkan pada pohon harapan, menunggu siapa pun yang berada di atas langit, mendengarkan permohonannya.

Bocah itu pemimpi, berbeda denganku.

Tampaknya, saking dalam aku menatapnya, yang ditatap kini mengernyitkan alis, ikut membikin dahinya mengkerut. “Ngapain Mas lihat-lihat? Demen lo, ye?”

Ditabok kepalanya penuh gemas, berikutnya aku langsung mencibir, “Wong edan. Ya kali.”

“Teroooossss?”

“Mas cuman iri. Mata lo ngewarisin ibu soalnya,” jawabku jujur. Mendengarnya, membuat ia menarik birainya hingga setengah lingkar lalu makin mendekat padaku.

“Ya 'kan? Ya 'kan? Ya 'kan?” Haechan tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tersenyum rapih. Cara dia yang berkata begitu benar-benar annoying, makanya aku langsung mendorong wajahnya untuk menjauh.

“Minggir, ah. Jan deket-deket.”

“Aku juga ngerasa mataku mirip ibu. Cakep 'kan, ya? Temen-temen sekelas bilang kalo mataku bagus. Berkilau gitu, anjay.”

Aku hanya menggeleng dengan kelakuan narsisnya tersebut. Dia itu memang ajaib.

***

Dia Haechan.

Dia punya tawa yang adiktif. Kelewat candu, hingga seringkali rasa letihku terbayarkan akibat guyonan recehnya yang suka menyahut macam-macam.

Dulu, aku masih ingat. Sebelum semuanya berubah, sebelum semesta menggunjingku. Aku memiliki sejuta kesan yang kuhabiskan dengan adikku. Terlalu banyaknya kenangan yang digoreskan, sampai-sampai telah terlarut dengan manifestasi rasa dan campuran memori yang terukir dengan apik dalam benakku.

Pernah sekali, sewaktu aku baru pulang les, Haechan menawarkan sirup jeruknya padaku. Dengan gaya tengil yang sudah tertanam dalam jati dirinya, dia bilang, “Mau, gak? Kalau gak mau yaudah.”

Aku langsung meraihnya. Meneguk hingga tak bersisa, lantaran benar-benar capek. Selain seharian ini belajar untuk keperluan masuk PTN dan les begitu pulang sekolahnya. aku juga harus mengikuti sertijab untuk ekskul paskibraka kepada adik kelas.

Sungguh melelahkan.

Sebenarnya, niat awal begitu pulang, aku ingin mandi terlebih dahulu, lalu masuk ke alam mimpi. Akan tetapi, bocah menyebalkan itu justru mencegatku.

“Mas tahu gak? Kenapa matahari tenggelam?”

Mulai lagi kan pemikiran abstraknya.

Aku menatapnya malas, kemudian beralih untuk menjawab sekenanya. “Kenapa?”

Namun, laki-laki itu tidak menyukai tanggapanku, membuatnya mencebikkan bibirnya.

“Ah malesin banget langsung nyerah. Tebak dulu, dong.”

Terkadang, aku suka sebal dengan sifat menyebalkannya itu.

Dihela napasku pasrah lalu aku menjawab, “Karena ya emang takdirnya begitu?”

Haechan mengangguk. “Iya, sih. Bener lo, Mas. Tapi bukan itu!!”

Lagi-lagi aku mengernyit, sebagai bentuk jawaban. Bocah itu kemudian menggerakkan tangannya, seolah menyuruhku untuk mendekat. Bodohnya, aku mau-mau saja menuruti dan membuat Haechan membisik di telingaku.

“Matahari tenggelam ....” Dia menjeda sebentar, seolah membuat suasana menjadi tegang, “karena dia gak bisa berenang lha, GOBLOOOKKKKKK.”

Dia tertawa dengan riang, tampak begitu senang membodoh-bodohiku. Ketawanya memang adiktif, tapi di saat bersamaan, aku ingin menggunting pita suaranya yang begitu terdengar menyebalkan.

Tanpa aba-aba, aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Persetanan dengan ia yang mengaduh kesakitan, aku bangkit, membiarkan dia yang kini mengelus bokongnya sambil berteriak, “MAS TAEIL NGESELIN, IH!”

Aku mendengus mendengar teriakannya. Dia itu sebenarnya lebih menyebalkan dari pada ini.

***

Dia Haechan.

Punya seribu satu jurus untuk mencuri perhatianku. Entah dia yang memang ingin dipedulikan atau bagaimana, tapi laki-laki itu tahu bagaimana bereaksi sewaktu aku kelelahan sehabis pulang kuliah.

Mungkin, karena dia merupakan anak bungsu dan sering dimanja oleh ibu. Dia ahlinya untuk membuat semua orang terpusat pada ocehannya.

Contohnya sekarang, saat tiba di kostan dan membuka pintu kamar, laki-laki itu ada di sana. Tengah membuka album foto saat kami sama-sama kecil.

“Kenapa gak bilang kalo bakalan ke sini?” tanyaku sedikit terkejut lalu langsung mengeluarkan laptop. Berniat untuk melanjutkan proposal yang akan aku ajukan ke perusahaan demi mencari sponsorship.

“Lha, gimana? Mas Taeil sendiri yang manggil aku ke sini,” ucapnya. Aku mengernyit, tetapi kuabaikan bocah itu berbicara. Saat tahu aku mengacuhkannya, laki-laki itu kini ikut merangkak naik ke kasur.

Sepertinya, Haechan benar-benar sudah kehilangan adab sebab kini tanpa rasa bersalahnya dan lupa diri dengan bobot tubuhnya, dia naik ke atas tubuhku yang sedang tengkurap. “Kampret, minggir lo.”

Dia tampak masih sebal, buktinya mulutnya sudah merungut, lalu ikutan mengabaikanku dengan memberikan pesan. “Kalau orang baru pulang tuh mandi dulu, kek. Makan dulu, kek. Ini langsung nugas. Sok sibuk lo.”

“Emang sibuk sih, yeeuuuu.”

“Nyebelin bat, asli! Gue aduin ibu lo.”

Ibu.

Mendengar namanya, aku terdiam kemudian langsung memiringkan tubuh agar laki-laki itu jatuh dari sana. Sudah lama sekali, aku tidak ketemu dengan orang yang membawaku ke dunia.

Lantas, kutatap matanya yang coklat berkilau. Mengingatkanku dengan sosok ibu dan terputar dengan apik, kilasan-kilasan memori yang aku habiskan dengan beliau.

“Mas,” panggilnya, “kangen ibu, gak?”

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk mengangguk. Haechan, laki-laki itu, lantas tersenyum. “Pulang yuk, Mas. Ketemu ibu. Ibu juga pasti kangen.”

Mendengar ucapannya, aku kembali mengangguk dan mengekor di belakangnya.

***

Hingar-bingar malam sudah menyeruak dari beberapa jam yang lalu, kala perlahan mereka melahap senja dengan pekatnya gelap yang melukis di langit. Biasanya, di jam segini, aku mengurung di dalam kamar, merindukan keluargaku yang jauh di sana.

Aku jarang keluar kamar saat malam-malam. Namun, saat Haechan tiba, aku tidak tahu kenapa akhirnya ikut mengekorinya dari belakang.

Memang sudah lama juga aku tidak menghirup udara malam.

Aku terus berjalan, melangkah di belakang bocah itu, sampai pada akhirnya dia menghentikan kakinya di sebuah jembatan. Haechan menoleh, menatapku sambil tersenyum.

“Gue sama ibu sebenarnya gak tega ngelepasin Mas di dunia ini,” kata Haechan, mengukir senyumnya yang seperti sabit bulan. “Tapi kalau ngeliat Mas yang uring-uringan kayak gini, malah makin pengen lo bareng kita, Mas.”

Perkataan Haechan lantas membuatku terdiam seribu bahasa. Tanpa permisi, aku bisa merasakan bulir air mata mengakses di pipiku, membuat lautan di sana.

“Mas kangen ibu?”

“Kangen.”

“Pengen ketemu ibu?”

“Pengen.”

“Yakin, 'kan?” ucapnya. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk. Membuatnya lantas memegang tanganku. “Dalam hitungan ketiga, Mas harus ngikutin gue.”

Aku mengangguk, kemudian mengarah ke depan. Sembari mengatur napas dan memejamkan mata, aku mendengar Haechan yang mulai menghitung.

“Satu.”

Ibu ... Taeil kangen kalian.

“Dua.”

Nyusul ibu, boleh ‘kan?

“Tiga.”

Taeil lelah, Bu.

“LOMPAT!”

Aku menurut, mengikuti ucapan Haechan.

Akan tetapi, sebelum semuanya terjadi, aku justru didorong oleh seseorang, membuatku terjatuh dan bisa mendengar suara air yang telah dirisak akibat seseorang melompat di sana.

Aku terbelalak. Menemukan Johnny yang memasang raut cemas. “LO APA-APAAN SIH? UDAH GILA LO, YA?”

“LO KALAU NGERASA USELESS TUH JANGAN GINI!”

Napasku tercekat, bahuku sudah naik turun dengan pompaan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku menyadari apa yang baru saja terjadi, lantas mataku memindai sekitar, tidak menemukan adikku di mana pun.

“Haechan .... Haechan,” panggilku terbata-bata.

Johnny langsung menamparku. Menyadarkanku akan sesuatu saat bilang, “SADAR BEGO. ADEK SAMA IBU LO TUH UDAH GAK ADA. MEREKA UDAH PERGI, BANG!”

Aku terdiam, mencerna ucapannya.

“Pantes, gue ngerasa aneh sama kelakuan lo yang ngomong sendiri di dalam kamar,” ucap Johnny yang terdengar frustasi. “Sadar, Bang! Haechan itu cuman ilusi yang lo bikin doang! Kalau lo ngerasa sendiri, ada gue di sini. Please, jangan ngelakuin hal gila kayak gini lagi. Gue takut asli.”

Ucapan Johnny kini membuatku tersadar akan sesuatu. Aku menyeringai, menyeka tangis yang berada di sudut mata, lantaran lagi-lagi semesta tengah bercanda.

Tersenyum tipis, aku lantas menatap Johnny penuh luka, lalu berbisik,

“Ah ... ternyata penyakit gue kambuh lagi, ya?”