Write.as

Springbloomz_

Sekitar pukul lima sore, Ocha datang dengan wajah sumringahnya dengan tas terlampir di pundak. Muka cantiknya terlihat berseri, tidak terlihat bete, kesal, sebal, seperti yang gadis itu paparkan pada Gisa beberapa jam yang lalu.

Dari awal, Gisa tak pernah mengerti kenapa Ocha terlihat nyaman untuk bermain di rumahnya. Petak tanah Gisa tak sebesar punyanya Ocha, bahkan ruang tamunya saja selebar dengan kamarnya Ocha yang penuh akan kemewahan.

Kata Ocha, “Rumah lo enak. Gak ngerasa sesak dan hangat, Gis. Gue justru selalu bosan di rumah gede karena sendirian. Walaupun ada pelayan, tapi mami sama papi jarang pulang. Gue selalu ngerasa sunyi.”

Gisa pada akhirnya mengerti dengan pikiran Ocha, lagi pula cewek itu tak pernah tahan dengan keheningan. Ia tak suka kalau suasana terlalu sepi, terdengar menyedihkan dan perempuan yang bernama lengkap Osaka Bella Hazelina tidak suka dengan kondisi muram tersebut.

Belum lagi, Ocha tampaknya akan merasa senang kalau 24/7 harinya ditemani oleh perempuan seperti Gisa—Ah, tidak. Bukan seperti, tapi memang harus Gisaka Caecillia yang menemaninya.

Osaka tampak betah saja kalau terus menempel dengan Gisa karena Gisa satu-satunya sahabat perempuannya, ia merasa nyaman berada di sekitar gadis itu. Walau awalnya ia sempat merasa takut karena Ocha selalu berisik dan heboh, berbanding terbalik dengan sifat Gisaka yang selalu memancarkan aura menenangkan.

Ocha bisa merasakan mana temannya yang bermuka dua, entah yang suka morotin uangnya atau mendekatinya demi ketenaran, dan hal itu tidak ia rasakan pada diri Gisa. Justru, Ocha yang merasa takut Gisa risih karena tidak sekali dua kali orang-orang menggunjing pertemanannya.

Namun, kalaupun orang-orang mencoba untuk meretakkan hubungannya, Ocha tak akan pernah membiarkannya. Ia tidak mau lepas dari Gisa, bahkan kalau mami sama papinya tiba-tiba kesurupan untuk memintanya menjauh dari gadis itu. Beruntung saja, kedua orang tuanya tidak seperti di sinetron.

Selepas Gisa mempersilahkan Ochq masuk ke kamarnya dan gadis itu membanting rubuh ke kasurnya, Gisa langsung terkekeh. “Mau jajan apa, Cha?”

Ocha yang tengah menelusupkan kepalanya di bantal itu menggeleng. “Gue ada snack di tas.”

“Oh iya, Gis.” Ocha bangun, kemudian mengambil tasnya yang sempat ia taruh di atas nakas samping kasur Gisa. “Nih, masukin Netflix lo di macbook.”

Gisa kontan mengambil macbook yang sempat disodorkan oleh Ocha. Namun, ketika menulis alamat gmail, tangan cewek itu terhenti ketika ucapan Ocha mengintrupsinya. “Lho, lo make emailnya Argan?”

Sial.

Gisa melupakannya.

Cewek itu jadi gelagapan dan bingung harus menjelaskannya bagaimana. “Euh ... itu, Argan pernah nawarin gue.”

Dahi Ocha mengkerut, membuat Gisa menggigit bibir bawahnya. “Emang lo gak ditawarin?”

“Enggak tuh,” kata Ocha.

Good.

Gisa tampaknya sudah tertangkap basah. Kini, gadis itu jadi kebingungan harus bereaksi apa.

“Ocha—“

“Argan kurang ajar, dah.” Tiba-tiba saja Ocha menyela cepat. “Giliran gue kagak diajak patungan, mentang-mentang gue punya duit.”

“Profile Netflix ada lima ‘kan, ya? Pasti dia ngajakin Opal, Ical, Ojan, sama lo. IIH! ARGAN NYEBELIN!” Ocha memberungut bibirnya, sementara Ocha yang melihatnya hanya terdiam.

Dihela napas sesaat, kontan Ocha menopang dagunya. “Andai ya, Gis. Calon gue Argan, pasti gue bakal seneng banget.”

Gisa membeku. Cewek itu tak berkutik sesaat ketika Ocha mengatakannya demikian. Hatinya seolah mencelos dan tanpa sadar ia menekuk ekspresi masam. Ia tidak bisa menyahut apa-apa lagi selain. “Hah?” Dengan wajahnya yang terlihat terkejut.

“Bukan apa-apa,” kekeh Ocha langsung mengambil macbooknya dan mencari film yang bisa mereka tonton.

Gisa berharap ia tidak salah dengar dengan ucapan cewek itu, tetapi rungunya tak bermasalah, meski sejatinya ia menginginkan kalau Ocha tak serius mengatakannya demikian.

Namun, jauh di lubuk pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang pernah didebatkan.

Bukankah ini yang lo mau, Gis? Orang yang seperti Ocha harusnya bersama dengan Aga?

Jangan Seperti Kucing

Lo cantik.

Mungkin, kalau Baskara bisa menarik pesannya tadi atau kembali ke beberapa jam sebelumnya, Baskara pasti akan memikirkan ulang apa yang cowok itu ungkapkan pada Anggi. Sekarang, lihat. Gadis itu tidak henti-hentinya melunturkan senyuman, tampak beratus kali lebih menyebalkan dan cengirannya terlihat seperti orang bego. Beberapa kali bisa ia dapati, Anggi yang sekejap menarik kedua sudut bibirnya dengan rona merah di pipi dan beberapa detik berikutnya ia akan terdiam, terus begitu sampai cowok itu yang melihatnya bergidik ngeri.

Bukannya apa-apa, kalau di tempat hening sih tidak masalah, tetapi Anggi melakukannya di depan umum! Sampai bocah ingusan yang memakai baju karakter Upin-Ipin, tetapi tulisannya Boboiboy itu melongo penuh keheranan, sama seperti Baskara yang bingung dengan kaos yang anak laki-laki itu kenakan.

Ditempelkan punggung tangannya pada dahi, takut-takut Baskara justru mengajak arwah lain yang meminjamkan tubuh cewek itu, Anggi yang mendapatkan sentuhan tersebut langsung menekuk mukanya penuh protes. “Kenapa sih, Bas?”

“Harusnya lo yang kenapa. Jangan nyengir gitu, bahkan bukan gue doang yang takut, anak kucing juga bingung sama kelakuan lo!” tunjuk Baskara dengan dagu pada kucing oren bermata sipit yang menatap Anggi dengan tatapan Wondering Why This Stupid Hooman can Be My Slave.

Sudut bibir Anggi tertarik turun, meski berikutnya ia langsung mengusir anabul tersebut. Kucing dan Anggi tak boleh disatukan. Waktu kecil, ia mempunyai memori mengenai dirinya yang memiliki musuh bebuyutan, pada kucingnya Arya yang terus menarik perhatiannya, sampai cewek itu bisa-bisanya diabaikan. Meski sekarang entah harus gadis itu syukuri apa bagaimana karena kucingnya Arya sudah mati—Walau harus berantem lagi dengan Arya karena laki-laki itu bersikukuh untuk menyebutnya meninggal.

“Omong-omong tentang kucing, lo punya gak, Bas?” tanya Anggi selepas mie kuah yang dipesannya tadi tiba. Keduanya saat ini tengah berada di Gunung Tangkuban Perahu. Sebenarnya, mereka juga tidak mengerti ingin pergi ke mana lagi, jadi Baskara mengemudikan kendaraannya asal sampai cowok itu memilih untuk menghentikan destinasi mereka ke sini. Sama seperti Anggi, tidak tahu kenapa menu mie kuah seolah jadi makanan paling enak di tempat sejuk, Baskara sampai meminta pedagangnya untuk menaruh cabe rawit di mangkuknya tersebut.

“Gak, gue gak suka.”

“Sama!” teriak Anggi berikutnya. “Nyusahin gak sih, Bas. Apalagi gue mageran buat ngurusinnya.”

“Gue bukan karena itu,” terang Baskara. “Gue gak suka kalau gue udah terlanjur sayang sama sesuatu, mereka harus pergi ninggalin gue. Lo tahu, ‘kan? Kalau mendekati ajal, kucing bakalan tiba-tiba hilang dan itu yang paling gak gue suka. Gue benci ngerasain kehilangan, Gi.”

Anggi sekejap terdiam, menelan ludahnya susah payah semenjak mendengar perkataan Baskara. Anggi jelas ingat, mungkin karena Baskara yang sudah ditinggalkan oleh mamanya, sehingga laki-laki itu terus menarik diri pada seseorang. Tama bilang, bisa memakan banyak waktu hingga Baskara bisa terbuka pda mereka karena cowok itu tidak mau lagi melihat satu persatu orang pergi dari hidupnya.

Anggi mengira kalau Baskara pasti membenci tentang kematian, tetapi cowok tersebut justru menatap netra Anggi dengan pandangan yang sulit diartikan sembari bilang, “Seandainya kalau misi lo gak berjalan dengan lancar, gimana, Gi?”

Anggi tidak langsung menjawab, bahkan ia melepaskan kontak matanya pada Baskara dan memilih pada makanan kari ayamnya yang sudah setengah dengan perasaan campur aduk. “Jangan ngomong gitu, Bas.”

“Kan gue bilang seandainya,” jelas Baskara sembari tersenyum tipis. “Lagipula, gue emang gak tahu tentang kehidupan lo di masa depan kayak gimana dan udah secanggih apa, tetapi setelah gue baca artikel banyak yang bilang kalau kembali ke masa lalu itu menyalahkan hukum fisika, Gi.”

“Waktu itu harusnya bergerak maju, bukan mundur. Jadi, walaupun sulit memahami tentang kondisi lo yang datang dari masa depan, bisa jadi ada kemungkinan lo gak berhasil melakukannya,” sebut Baskara sembari tersenyum tipis, membuat Anggi tidak berkutik.

Pernapasan Anggi menjadi tercekik, sulit rasanya untuk sekadar meraup napas lantaran ia tidak bisa membayangkan apa yang Baskara sebutkan itu bisa jadi menapar realitanya nanti. Benar kata Arya, cewek itu terlalu memikirkan apa yang ia inginkan, tanpa peduli tentang konsekuensinya.

“Kalau gitu ...,” tangisan Anggi tiba-tiba saja mendarat di pipinya. Cewek itu sudah siap untuk menyalahkan kerikil batu gunung yang memasuki matanya atau ibu-ibu tadi yang bisa jadi diam-diam memasukkan cabe rawit ke makanannya, kalau Baskara meledeknya cengeng. Namun, laki-laki itu bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun padanya, selain kini mengenggam tangannya erat. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Anggi, membuat Anggi harus merekam setiap perlakuan manis yang perlahan mulai Baskara tunjukkan padanya.

“Kalau gitu, lo jangan kayak kucing, Bas!” Baskara sedikit terdiam dengan perkataan Anggi yang kini masih tersedu tanpa tahu tempat.

“Cara lo pergi ke mereka yang di atas langit bener-bener nyiksa gue. Lo pergi diam-diam, ketika gue bahkan belum pernah digenggam lo kayak sekarang,” terang Anggi sembari terisak. “Gue mau pegangin tangan lo terus kayak gini, boleh?”

Baskara yang mendengar penuturan tersebut tidak berkutik, meski perlahan cowok tersebut mengangguk sembari tersenyum tipis. Tampaknya, bukan hanya Baskara saja yang membenci tentang kematian, tetapi Anggi juga begitu dan semua orang barangkali merasakan demikian.

Kalau saja tidak terdengar klakson mobil yang mengejutkan dua perempuan mengenakan seragam putih abu-abu tersebut, barangkali Ocha dan Gisa akan terus terhanyut dalam berbagai cerita. Ocha sedikit menelengkan kepala, menemukan Mini Cooper berwarna merah telah berhenti di depan lobby salah satu pusat perbelanjaan.

Ocha merasa familiar dengan mobil tersebut. “Bukannya ini punya Ical, ya?” gumamnya demikian dengan dahi mengkerut. Namun, beberapa sekon selanjutnya, laki-laki yang duduk di kursi setir lantas keluar dari mobil.

“Lho, lo minjem mobil Ical, Gan?” tanya Ocha begitu menemukan Argan dengan penampilannya yang sudah tak rapih. Ia mengenakan kaos hitam yang dibaluti seragam putih. Tak dikancing juga dikeluarkan dari celana.

Argan hanya mengangguk, tanpa niat untuk menjelaskan. Mata laki-laki itu sedikit melirik ke belakang, melihat perempuannya yang terdiam dan sedikit tersenyum tipis.

‘Kenapa?’ tanya Argan tanpa mengeluarkan suara, takut-takut Ocha mendengarnya.

Gisa menggelengkan kepala sembari bergumam pelan, ‘capek bangett’

Argan sontak terkekeh, membuat Ocha menengok ke cowok itu dan menaikkan alis. “Kesurupan lo?”

Digelengkan kepala sekali lagi, sontak cowok itu menunjuk mobil merah tersebut dengan dagu. “Buru masuk, nanti makin deres.”

Barangkali, jika Ocha tidak mendahului untuk membuka pintu di samping pengemudi, bisa jadi Gisa melupakan fakta untuk menyembunyikan hubungannya. Gisa nyaris saja melakukan kebiasaannya, duduk di samping Argan yang tengah mengendarai.

“Kenapa, Gis? Lo mau duduk di depan?” tanya Ocha ketika tangan gadis di sampingnya itu hendak memegang pintu yang sama.

Gisa gelagapan, membasahi bibir bawahnya sembari melihat Argan yang diam-diam tersenyum. Raut mukanya menatap jahil, seolah tatapannya berbicara, ‘Cie, keciduk.’

“Ah, itu ... hm, gue juga bingung,” kekehnya canggung sembari mengelus lehernya yang tak gatal itu. Buru-buru Gisa duduk di belakang, meninggalkan Ocha yang sempat dibuat bingung, meski pada akhirnya ia mengendikkan bahu tak peduli.

Biasanya, kalau sedang berdua, Gisa akan meminjam ponsel Argan untuk menyalakan bluetooth yang tersambung di mobil. Ia menyukai Argan yang bersenandung sembari tangannya mengetuk setir seolah mengikuti irama lagu. Suara Argan benar-benar husky apalagi jika bernyanyi ala kadarnya, malah Gisa dibuat gila karena nyanyian Argan yang terdengar sexy di rungunya.

Namun kini, hanya harmoni rintik hujan sebagai iringan perjalanan mereka. Dari gerak-geriknya, Ocha beberapa kali mencuri pandang Argan yang fokus menyetir, sampai hembusan napas berat keluar dari mulutnya.

“Kenapa, Cha?” tanya Argan sementara Ocha menggelengkan kepala.

“Oh iya, Gan. Mall yang tadi tuh juga punya nyokap lo, ‘kan?”

Argan berdeham pelan.

“Pantes ya, waktu mau bayar tas, pemilik tokonya langsung ngebalikin kartu gue,” ujar Ocha.

“Dia kayaknya ngeliat nametag gue terus abis itu buka buku gitu, sekalian nanyain nama orang tua gue siapa.” Ocha menghela napas. “Tahu gitu gue beliin buat lo, Gis.”

Gisa yang sedari tadi terdiam, langsung menaikkan alis begitu namanya disebutkan. “Mall yang tadi punya mamanya Argan, lho.”

“Ah, gitu, ya?” Gisa menarik satu sudut bibirnya. Terlihat sedikit terpaksa.

“Pinjem hape lo dong, Gan. Mau telepon tante.” Ocha langsung mengambil ponsel Argan. Menekan sesuatu sampai terdengar nada sambung, tak menghabiskan banyak waktu, suara wanita ramah di seberang sana terdengar.

“Tantee,“ panggil Ocha riang.

“Lho, siapa ini? Ocha, ya?”

“Ih, jahat banget Ocha dilupain,” keluh Ocha bercanda, membuat wanita itu terkekeh.

“Tante, hari ini Ocha sama temen Ocha main ke mall Tante, lho. Aku awalnya gak tahu kalau itu punyanya Tante.”

“Masa, sih?”

“Iya! Argan juga gak ngomong,” adu Ocha.

“Kok jadi gue, anjir?”

“Argan, kok ngomong kasar?”

“Omelin aja, Tan,” kekeh Ocha sontak membuat Argan menghela napas.

“Argan lagi, Argan lagi.”

Gisa yang menyaksikan kehangatan mereka hanya menahan napas. Lehernya seolah tercekik. Jujur, Gisa tidak bisa tertawa sebebas Ocha pada mamanya Argan, seolah ada jarak yang menyekat mereka, seolah ada batas yang membuat perempuan itu tidak akan bisa melampaui atau bahkan menginjak di pijakan tempat yang sama dengan Ocha.

Gisa harusnya tahu, jarak antara dirinya dan Argan itu terlampau jauh. Meskipun mamanya Argan tak pernah bertingkah kelewatan batas seperti yang dilihatmya di film-film, tetapi Gisa jelas tahu, mereka menginginkan yang terbaik pada putra kesayangannya.

Pada laki-laki yang akan menjadi pewaris tunggal pada setiap perusahaan yang orang tuanya kembangkan.

Gisa dan Argan itu jauh.

Amat jauh.

Tak seperti hubungan Ocha dan Argan.

Tangan yang sedari tadi saling menggenggam sela-sela jari itu, bergerak gelisah. Ingin sekali ia menulikan telinga, agar tidak mendengar konversasi hangat yang saling mereka lemparkan.

Gisa hanya berharap waktu berjalan cepat, meruntuki rumahnya yang terlalu jauh, serta menyumpahi kilatan langit yang seolah tengah menertawakan eksistensinya.

Aga, sejak awal harusnya lo sadar, gue itu bukan sesuatu yang bisa lo genggam.

Kalau saja tidak terdengar klakson mobil yang mengejutkan dua perempuan mengenakan seragam putih abu-abu tersebut, barangkali Ocha dan Gisa akan terus terhanyut dalam berbagai cerita. Ocha sedikit menelengkan kepala, menemukan Mini Cooper berwarna merah telah berhenti di depan lobby salah satu pusat perbelanjaan.

Ocha merasa familiar dengan mobil tersebut. “Bukannya ini punya Ical, ya?” gumamnya demikian dengan dahi mengkerut. Namun, beberapa sekon selanjutnya, laki-laki yang duduk di kursi setir lantas keluar dari mobil.

“Lho, lo minjem mobil Ical, Gan?” tanya Ocha begitu menemukan Argan dengan penampilannya yang sudah tak rapih. Ia mengenakan kaos hitam yang dibaluti seragam putih. Tak dikancing juga dikeluarkan dari celana.

Argan hanya mengangguk, tanpa niat untuk menjelaskan. Mata laki-laki itu sedikit melirik ke belakang, melihat perempuannya yang terdiam dan sedikit tersenyum tipis.

‘Kenapa?’ tanya Argan tanpa mengeluarkan suara, takut-takut Ocha mendengarnya.

Gisa menggelengkan kepala sembari bergumam pelan, ‘capek bangett’

Argan sontak terkekeh, membuat Ocha menengok ke cowok itu dan menaikkan alis. “Kesurupan lo?”

Digelengkan kepala sekali lagi, sontak cowok itu menunjuk mobil merah tersebut dengan dagu. “Buru masuk, nanti makin deres.”

Barangkali, jika Ocha tidak mendahului untuk membuka pintu di samping pengemudi, bisa jadi Gisa melupakan fakta untuk menyembunyikan hubungannya. Gisa nyaris saja melakukan kebiasaannya, duduk di samping Argan yang tengah mengendarai.

“Kenapa, Gis? Lo mau duduk di depan?” tanya Ocha ketika tangan gadis di sampingnya itu hendak memegang pintu yang sama.

Gisa gelagapan, membasahi bibir bawahnya sembari melihat Argan yang diam-diam tersenyum. Raut mukanya menatap jahil, seolah tatapannya berbicara, ‘Cie, keciduk.’

“Ah, itu ... hm, gue juga bingung,” kekehnya canggung sembari mengelus lehernya yang tak gatal itu. Buru-buru Gisa duduk di belakang, meninggalkan Ocha yang sempat dibuat bingung, meski pada akhirnya ia mengendikkan bahu tak peduli.

Biasanya, kalau sedang berdua, Gisa akan meminjam ponsel Argan untuk menyalakan bluetooth yang tersambung di mobil. Ia menyukai Argan yang bersenandung sembari tangannya mengetuk setir seolah mengikuti irama lagu. Suara Argan benar-benar husky apalagi jika bernyanyi ala kadarnya, malah Gisa dibuat gila karena nyanyian Argan yang terdengar sexy di rungunya.

Namun kini, hanya harmoni rintik hujan sebagai iringan perjalanan mereka. Dari gerak-geriknya, Ocha beberapa kali mencuri pandang Argan yang fokus menyetir, sampai hembusan napas berat keluar dari mulutnya.

“Kenapa, Cha?” tanya Argan sementara Ocha menggelengkan kepala.

“Oh iya, Gan. Mall yang tadi tuh juga punya nyokap lo, ‘kan?”

Argan berdeham pelan.

“Pantes ya, waktu mau bayar tas, pemilik tokonya langsung ngebalikin kartu gue,” ujar Ocha.

“Dia kayaknya ngeliat nametag gue terus abis itu buka buku gitu, sekalian nanyain nama orang tua gue siapa.” Ocha menghela napas. “Tahu gitu gue beliin buat lo, Gis.”

Gisa yang sedari tadi terdiam, langsung menaikkan alis begitu namanya disebutkan. “Mall yang tadi punya mamanya Argan, lho.”

“Ah, gitu, ya?” Gisa menarik satu sudut bibirnya. Terlihat sedikit terpaksa.

“Pinjem hape lo dong, Gan. Mau telepon tante.” Ocha langsung mengambil ponsel Argan. Menekan sesuatu sampai terdengar nada sambung, tak menghabiskan banyak waktu, suara wanita ramah di seberang sana terdengar.

“Tantee,“ panggil Ocha riang.

“Lho, siapa ini? Ocha, ya?”

“Ih, jahat banget Ocha dilupain,” keluh Ocha bercanda, membuat wanita itu terkekeh.

“Tante, hari ini Ocha sama temen Ocha main ke mall Tante, lho. Aku awalnya gak tahu kalau itu punyanya Tante.”

“Masa, sih?”

“Iya! Argan juga gak ngomong,” adu Ocha.

“Kok jadi gue, anjir?”

“Argan, kok ngomong kasar?”

“Omelin aja, Tan,” kekeh Ocha sontak membuat Argan menghela napas.

“Argan lagi, Argan lagi.”

Gisa yang menyaksikan kehangatan mereka hanya menahan napas. Lehernya seolah tercekik. Jujur, Gisa tidak bisa tertawa sebebas Ocha pada mamanya Argan, seolah ada jarak yang menyekat mereka, seolah ada batas yang membuat perempuan itu tidak akan bisa melampaui atau bahkan menginjak di pijakan tempat yang sama dengan Ocha.

Gisa harusnya tahu, jarak antara dirinya dan Argan itu terlampau jauh. Meskipun mamanya Argan tak pernah bertingkah kelewatan batas seperti yang dilihatmya di film-film, tetapi Gisa jelas tahu, mereka menginginkan yang terbaik pada putra kesayangannya.

Pada laki-laki yang akan menjadi pewaris tunggal pada setiap perusahaan yang orang tuanya kembangkan.

Gisa dan Argan itu jauh.

Amat jauh.

Tak seperti hubungan Ocha dan Argan.

Tangan yang sedari tadi saling menggenggam sela-sela jari itu, bergerak gelisah. Ingin sekali ia menulikan telinga, agar tidak mendengar konversasi hangat yang saling mereka lemparkan.

Gisa hanya berharap waktu berjalan cepat, meruntuki rumahnya yang terlalu jauh, serta menyumpahi kilatan langit yang seolah tengah menertawakan eksistensinya.

Pukul tujuh malam.

Mungkin, Anggi sudah menunggu mereka di meja makan.

Pikirnya begitu, tetapi sesaat ketika mereka tiba di sana, Baskara tidak menemukan sosok punggung sempitnya. Hanya berbagai jenis lauk pauk terhidang di atas meja.

Dengan raut yang luar biasa panik, takut-takut Anggi menghilang seperti waktu itu yang buatnya kelimpungan sendiri, Baskara buru-buru mencarinya. Tidak ada sahutan saat ia memanggil, bahkan kamar gadis itu dengan Shenna—kekasih Wisnu yang berbagi kamar—tak ia jumpai perangaiannya.

Jantungnya berdebar lebih cepat. Benar-benar frustasi kalau lagi-lagi Anggi menghilang. Peluh telah membanjiri pelipis kala ia berjalan mengitari villa.

“Pak, liat cewek rambut panjang warna hitam, gak?” tanya Baskara, menghentikan salah satu petugas kebersihan.

“Oh, mbak yang rambutnya dikuncir, ya? Tadi lagi duduk dekat taman.” Setelah menjawab begitu, ia langsung memutar arah.

Dan sesuai dugaannya, Baskara bisa melihatnya. Sosok gadis itu yang tengah tertidur, bikinnya menghela napas lega.

“Lo ngapain, sih?” tanya Baskara pelan di hadapan Anggi yang tampaknya belum menyadari keberadaannya. Cowok itu melepaskan jaket, kemudian menyampirkannya pada badan Anggi dan berlutut tepat di depan mukanya.

Mengamati setiap inchi permukaan wajah gadis itu dan tangannya perlahan menyelipkan anak rambut di belakang telinga.

Baskara benar-benar tidak mengerti tentang kemauannya sekarang, ia tidak bisa secepat itu untuk terbuka pada orang asing yang tiba-tiba memberantaki kehidupan monontonnya.

Hidupnya yang hanya diisi dengan berbagai luka tanpa ada keinginan untuk melanjuti hidup, tanpa ada harapan untuk sekadar bernapas, tanpa ada cercahan cahaya sebatas mengintip masa depan, tiba-tiba saja terporak-porandakan oleh cengiran Anggi. Wajah kesalnya ketika diabaikan, tapi tak membuatnya jera sekadar mendapat deheman pelan darinya dan bagaimana ia menjerit senang saat Baskara mau menuruti permintaannya.

Anggi tidak tahu saja, ketika gadis itu mencubit pipinya pelan dan bilang, “Emang gak salah gue suka sama lo, Bas. Sayang banget, banget, bangeett.”

Dan kini. laki-laki itu tidak lagi risih dengan tingkah enerjiknya. Justru ikut menarik senyum dengan aura positifnya yang merubah semua kelabu dalam hidup dengan sapuan angin sore menyapanya hangat.

“Lo itu alien ya, Gi? Tahu-tahu datang dan ngaku jadi tunangan gue, gak nyerah walaupun gue nolak lo beberapa kali, tapi masih nempel sama gue,” ucap Baskara pelan, memainkan jemari lentik Anggi dan mendengkus geli saat ia bergerak risih.

“Lo mau selametin gue ‘kan, Gi?” tanya Baskara, menuntun kedua tangan gadis itu pada leher. “Kalau gitu, jangan ke mana-mana lagi, Gi. Jangan pergi kayak mama gue. Gue gak mau sendirian lagi.”

Baskara mengucapkannya pelan, tepat pada rungu Anggi. Mencuri satu kecupan kecil pada puncak surai kepalanya, lalu menyelipkan tangan di leher dan perpotongan bahunya. Dengan pelan, tetapi pasti, Baskara menggendongnya. Sedikit terkekeh kala merasakan Anggi yang kini merangsek. Membenamkan kepala pada ceruk leher Baskara dan mengeratkan tangannya.

Cowok itu tidak tahu, kalau sejatinya Anggi sudah tersadar ketika Baskara sudah bermonoton. Berpura-pura tidur, demi mendapatkan kejujuran yang ingin ia curahkan padanya.

“Bas, semoga semesta merengkuh kita dalam hangat, ya? Dua bulan lagi, ayo sama-sama kita ubah takdir. Takdir tragis yang harus kita sulap dengan kebahagiaan.”

Pukul tujuh malam.

Mungkin, Anggi sudah menunggu mereka di meja makan.

Pikirnya begitu, tetapi sesaat ketika mereka tiba di sana, Baskara tidak menemukan sosok punggung sempitnya. Hanya berbagai jenis lauk pauk terhidang di atas meja.

Dengan raut yang luar biasa panik, takut-takut Anggi menghilang seperti waktu itu yang buatnya kelimpungan sendiri, Baskara buru-buru mencarinya. Tidak ada sahutan saat ia memanggil, bahkan kamarnya dengan Shenna, tak ia jumpai perangaiannya.

Jantungnya berdebar lebih cepat. Benar-benar frustasi kalau lagi-lagi Anggi menghilang. Peluh telah membanjiri pelipis kala ia berjalan mengitari villa.

“Pak, liat cewek rambut panjang warna hitam, gak?” tanya Baskara, menghentikan salah satu petugas kebersihan.

“Oh, mbak yang rambutnya dikuncir, ya? Tadi lagi duduk dekat taman.” Setelah menjawab begitu, ia langsung memutar arah.

Dan sesuai dugaannya, Baskara bisa melihatnya. Sosok gadis itu yang tengah tertidur, bikinnya menghela napas lega.

“Lo ngapain, sih?” tanya Baskara pelan di hadapan Anggi yang tampaknya belum menyadari keberadaannya. Cowok itu melepaskan jaket, kemudian menyampirkannya pada badan Anggi dan berlutut tepat di depan mukanya.

Mengamati setiap inchi permukaan wajah gadis itu dan tangannya perlahan menyelipkan anak rambut di belakang telinga.

Baskara benar-benar tidak mengerti tentang kemauannya sekarang, ia tidak bisa secepat itu untuk terbuka pada orang asing yang tiba-tiba memberantaki kehidupan monontonnya.

Hidupnya yang hanya diisi dengan berbagai luka tanpa ada keinginan untuk melanjuti hidup, tanpa ada harapan untuk sekadar bernapas, tanpa ada cercahan cahaya sebatas mengintip masa depan, tiba-tiba saja terporak-porandakan oleh cengiran Anggi. Wajah kesalnya ketika diabaikan, tapi tak membuatnya jera sekadar mendapat deheman pelan darinya dan bagaimana ia menjerit senang saat Baskara mau menuruti permintaannya.

Anggi tidak tahu saja, ketika gadis itu mencubit pipinya pelan dan bilang, “Emang gak salah gue suka sama lo, Bas. Sayang banget, banget, bangeett.”

Dan kini. laki-laki itu tidak lagi risih dengan tingkah enerjiknya. Justru ikut menarik senyum dengan aura positifnya yang merubah semua kelabu dalam hidup dengan sapuan angin sore menyapanya hangat.

“Lo itu alien ya, Gi? Tahu-tahu datang dan ngaku jadi tunangan gue, gak nyerah walaupun gue nolak lo beberapa kali, tapi masih nempel sama gue,” ucap Baskara pelan, memainkan jemari lentik Anggi dan mendengkus geli saat ia bergerak risih.

“Lo mau selametin gue ‘kan, Gi?” tanya Baskara, menuntun kedua tangan gadis itu pada leher. “Kalau gitu, jangan ke mana-mana lagi, Gi. Jangan pergi kayak mama gue. Gue gak mau sendirian lagi.”

Baskara mengucapkannya pelan, tepat pada rungu Anggi. Mencuri satu kecupan kecil pada puncak surai kepalanya, lalu menyelipkan tangan di leher dan perpotongan bahunya. Dengan pelan, tetapi pasti, Baskara menggendongnya. Sedikit terkekeh kala merasakan Anggi yang kini merangsek. Membenamkan kepala pada ceruk leher Baskara dan mengeratkan tangannya.

Cowok itu tidak tahu, kalau sejatinya Anggi sudah tersadar ketika Baskara sudah bermonoton. Berpura-pura tidur, demi mendapatkan kejujuran yang ingin ia curahkan padanya.

“Bas, semoga semesta merengkuh kita dalam hangat, ya? Dua bulan lagi, ayo sama-sama kita ubah takdir. Takdir tragis yang harus kita sulap dengan kebahagiaan.”

Walaupun sudah diberi tahu, rasanya masih aneh melihat perawakan Jeffrey yang berada di hadapannya. Tengah menenteng jas yang tersampir di lengan sementara dasinya mengendur. Tatanan surai hitamnya telah berantakan, terlihat raut wajahnya ditekuk letih meski sebisa mungkin ia memberikan senyum terbaiknya. Lesung pipi tampak membolong di sana dan ia terkekeh.

“Ayam yang kamu masak masih bisa dimakan kok,” terangnya sembari menyodorkan kotak bekal pada Laura, “tapi emang sayurnya aja sih, yang udah agak basi.”

Jeffrey menepuk puncak kepala Laura sementara gadis di hadapannya menghela napas. Pasrah karena sudah terbiasa dengan gelagat cowok itu yang selalu melupakan makan, meski sesibuk apapun itu.

“Gimana kamu mau ke Singapura coba, kalau makan aja suka lupa.”

“Enggak, elah.” Jeffrey tertawa kemudian melenggang masuk. Melemparkan badan ke sofa sembari menghembuskan napas berat.

“Mandi dulu.”

“Masih capek.”

“Lagian aneh, udah tahu cutinya besok, tapi malah ke sini.”

“Nanti ditinggal, nangis,” kekeh Jeffrey sementara Laura mendengkus sebal. Keduanya lantas terdiam. Tiba-tiba saja tidak ada yang bersuara. Hening seolah mengambil alih. Laura yang sibuk mencuci piring dan Jeffrey yang dilanda oleh pikiran berkecamuk.

“Ra.” Dengan suara beratnya, Jeffrey memanggil. Menegakkan tubuh dengan netra agak coklatnya yang memantri punggung mungil yang masih bisa ditangkap oleh radarnya.

“Beneran gak marah?”

Laura tak langsung menyahut. Keheningan hanya diisi dengan keran air yang mengalir, berdecitan dengan piring-piring beradu yang telah disusun. “Jeff, aku cuman gak mau bertingkah kekanak-kanakan. Umur kita udah harusnya dewasa, ‘kan?”

“Itu cuman perayaan kecil doang, ok?” tambah Laura sembari tersenyum. Mengelap tangannya kemudian duduk berhadapan dengan cowok itu. “Aku juga udah punya rencana kalau kita video call aja gimana? Itu pula kalau kamu gak sibuk. Kita masing-masing beli kue, deh.”

Jeffrey tersenyum. Menatap gadis di hadapannya lekat kemudian mengambil tangannya. Menautkan jemari besarnya di sela sana dan menggenggamnya erat.

“Kamu jangan salah beli angka lho, ya. Nomor enam. Jangan kayak tahun kemarin, malah beli nomor tiga.”

Jeffrey terbahak. Mengingat jelas bagaimana Laura yang mencak-mencak padanya karena salah membeli lilin tepat perayaan mereka yang kelima.

“Ra.”

“Hm?”

“I’m blessed to have you in my life,” ungkap Jeffrey. Menatap kelereng hitam Laura lekat. Pandangannya terus terarah pada wajah gadis di hadapannya. Menarik tubuh itu untuk berada di rengkuhannya. Memberikan rasa hangat juga menyakinkan Laura bahwa ia ada.

Akan terus berada di sana.

Memeluknya dalam nyaman.

Meninggalkan rasa aman untuk gadis di hadapannya.

Mengingatkannya akan satu hal. Di remang malam gelap, bahwa Jeffrey membisik satu kalimat.

Mengatakannya bila, “I love you more than ocean hold the sea, more than sky give the star, more than dictionary write the words.”

Memberikan afeksi tersendiri yang bikin Laura tanpa henti-hentinya tersenyum lega.

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Ini bukan tempat yang bisa lo tinggal lama.”

“Gue seminggu sekali juga balik ke sana, Bas. Demi ngehindari kecacatan.”

“Cacat?” Baskara mendengkus. “Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Kenapa lo selalu bertindak sembrono tanpa paham resikonya. Kenapa lo bisa di sini, sih? Kenapa lo bisa suka sama gue, Gi? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Kenapa lo sejauh ini masih sanggup buat menyandang predikat itu, Bas?”

Tak ada sahutan, bikin Anggi lagi-lagi menarik kedua sudut birainya. “Karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang pelan. Sampai perlahan ia bisa merasakan jemari besar pemuda itu tertaut di sela jarinya.

Menggenggamnya erat.

Gadis di hadapannya itu tersenyum merekah, ibu jari satunya kini mengelus pipi Baskara. “Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue juga mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Itu semua karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang kini menunduk. Perlahan merasa jemari besar pemuda itu menautkan di sela jarinya. Menggenggamnya erat sampai Anggi tersenyum tipis.

“Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”

#Malam 23.00

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue juga mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Itu semua karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang kini menunduk. Perlahan merasa jemari besar pemuda itu menautkan di sela jarinya. Menggenggamnya erat sampai Anggi tersenyum tipis.

“Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”