Sekitar pukul lima sore, Ocha datang dengan wajah sumringahnya dengan tas terlampir di pundak. Muka cantiknya terlihat berseri, tidak terlihat bete, kesal, sebal, seperti yang gadis itu paparkan pada Gisa beberapa jam yang lalu.
Dari awal, Gisa tak pernah mengerti kenapa Ocha terlihat nyaman untuk bermain di rumahnya. Petak tanah Gisa tak sebesar punyanya Ocha, bahkan ruang tamunya saja selebar dengan kamarnya Ocha yang penuh akan kemewahan.
Kata Ocha, “Rumah lo enak. Gak ngerasa sesak dan hangat, Gis. Gue justru selalu bosan di rumah gede karena sendirian. Walaupun ada pelayan, tapi mami sama papi jarang pulang. Gue selalu ngerasa sunyi.”
Gisa pada akhirnya mengerti dengan pikiran Ocha, lagi pula cewek itu tak pernah tahan dengan keheningan. Ia tak suka kalau suasana terlalu sepi, terdengar menyedihkan dan perempuan yang bernama lengkap Osaka Bella Hazelina tidak suka dengan kondisi muram tersebut.
Belum lagi, Ocha tampaknya akan merasa senang kalau 24/7 harinya ditemani oleh perempuan seperti Gisa—Ah, tidak. Bukan seperti, tapi memang harus Gisaka Caecillia yang menemaninya.
Osaka tampak betah saja kalau terus menempel dengan Gisa karena Gisa satu-satunya sahabat perempuannya, ia merasa nyaman berada di sekitar gadis itu. Walau awalnya ia sempat merasa takut karena Ocha selalu berisik dan heboh, berbanding terbalik dengan sifat Gisaka yang selalu memancarkan aura menenangkan.
Ocha bisa merasakan mana temannya yang bermuka dua, entah yang suka morotin uangnya atau mendekatinya demi ketenaran, dan hal itu tidak ia rasakan pada diri Gisa. Justru, Ocha yang merasa takut Gisa risih karena tidak sekali dua kali orang-orang menggunjing pertemanannya.
Namun, kalaupun orang-orang mencoba untuk meretakkan hubungannya, Ocha tak akan pernah membiarkannya. Ia tidak mau lepas dari Gisa, bahkan kalau mami sama papinya tiba-tiba kesurupan untuk memintanya menjauh dari gadis itu. Beruntung saja, kedua orang tuanya tidak seperti di sinetron.
Selepas Gisa mempersilahkan Ochq masuk ke kamarnya dan gadis itu membanting rubuh ke kasurnya, Gisa langsung terkekeh. “Mau jajan apa, Cha?”
Ocha yang tengah menelusupkan kepalanya di bantal itu menggeleng. “Gue ada snack di tas.”
“Oh iya, Gis.” Ocha bangun, kemudian mengambil tasnya yang sempat ia taruh di atas nakas samping kasur Gisa. “Nih, masukin Netflix lo di macbook.”
Gisa kontan mengambil macbook yang sempat disodorkan oleh Ocha. Namun, ketika menulis alamat gmail, tangan cewek itu terhenti ketika ucapan Ocha mengintrupsinya. “Lho, lo make emailnya Argan?”
Sial.
Gisa melupakannya.
Cewek itu jadi gelagapan dan bingung harus menjelaskannya bagaimana. “Euh ... itu, Argan pernah nawarin gue.”
Dahi Ocha mengkerut, membuat Gisa menggigit bibir bawahnya. “Emang lo gak ditawarin?”
“Enggak tuh,” kata Ocha.
Good.
Gisa tampaknya sudah tertangkap basah. Kini, gadis itu jadi kebingungan harus bereaksi apa.
“Ocha—“
“Argan kurang ajar, dah.” Tiba-tiba saja Ocha menyela cepat. “Giliran gue kagak diajak patungan, mentang-mentang gue punya duit.”
“Profile Netflix ada lima ‘kan, ya? Pasti dia ngajakin Opal, Ical, Ojan, sama lo. IIH! ARGAN NYEBELIN!” Ocha memberungut bibirnya, sementara Ocha yang melihatnya hanya terdiam.
Dihela napas sesaat, kontan Ocha menopang dagunya. “Andai ya, Gis. Calon gue Argan, pasti gue bakal seneng banget.”
Gisa membeku. Cewek itu tak berkutik sesaat ketika Ocha mengatakannya demikian. Hatinya seolah mencelos dan tanpa sadar ia menekuk ekspresi masam. Ia tidak bisa menyahut apa-apa lagi selain. “Hah?” Dengan wajahnya yang terlihat terkejut.
“Bukan apa-apa,” kekeh Ocha langsung mengambil macbooknya dan mencari film yang bisa mereka tonton.
Gisa berharap ia tidak salah dengar dengan ucapan cewek itu, tetapi rungunya tak bermasalah, meski sejatinya ia menginginkan kalau Ocha tak serius mengatakannya demikian.
Namun, jauh di lubuk pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang pernah didebatkan.
Bukankah ini yang lo mau, Gis? Orang yang seperti Ocha harusnya bersama dengan Aga?