Write.as

Springbloomz_

Entah sudah keberapa kali Arya menghembuskan napas. Bukan semata-mata perasaan lega, justru kebalikannya. Ia merasa lagi-lagi memikul banyak beban di bahu ketika melihat Anggi datang dengan senyum lebar tampak beratus kali lebih bodoh.

Ketahuilah, Anggi kalau sudah kelewat senang akan menyengir seperti orang idiot bikin orang-orang menatap ngeri, takut kering giginya.

“Pagi!” katanya lagi sembari mengerutkan hidungnya lucu.

Sungguh berbahaya sekali bagi kesehatan jantung Arya. Maka, laki-laki itu lebih memilih duduk menjauh dan sekadar melihat ketika orang-orang bergerombolan mendatangi wanita tersebut untuk mengambil sarapan.

Sejatinya, markas Arya bukan berada di sebuah gedung tinggi dengan fasilitas robot berjalan mondar-mandir di sekitaran lorong layaknya science film pada umumnya. Melainkan, masih tempat sederhana.

Berupa garasi besar layaknya Steve Jobs merintis pembuatan Apple. Garasi ini dahulunya tempat bengkel milik kawanan Arya sebelumnya, tetapi pemuda itu sulap menjadi laboraturium.

Sesaat, kala Anggi berhasil menemukan perawakannya, Arya menggeleng pasrah, kemudian mengambil jas lab dan safety goggles-nya.

Sang hawa mengekor di belakang pemuda itu, hanya terdiam meski banyak sekali pertanyaan ini-itu yang seolah-olah akan meledak di otak.

Arya berbalik sementara Anggi menaikkan alisnya ikut bertanya-tanya.

“Kenapa?”

“Muka lo pengen banget gue sentil, Gi. Bisa gak sih, sehari aja lo gak bikin gue frustasi karena mikirin lo? Karena khawatirin lo?” Arya berkacak pinggang, memijat hidung kemudian menatap Anggi.

“Gue cuman mau bantu.”

“Di mana-mana, kalau bantu tuh ringanin pekerjaan, sementara lo makin bebanin gue.” Arya menghela napas sementara Anggi mencebikkan birai. Berteman lama dengan Arya, membuat perempuan itu sudah tahan banting dengan segala kata tajamnya.

Ia tahu, dari segala komentaran pedasnya itu, semata-mata cara si adam melindunginya. Pasti terselip seberapa khawatirnya Arya pada Anggi.

“Mana tangan lo?” tanya Arya kemudian mengeluarkan jarum suntik di dalam laci meja. Anggi menaikkan alis, ikut mengernyit.

“Buat?”

“Darah lo dijadiin sample buat ngelacak lo di sana nanti,” terang Arya kemudian Anggi mengangguk. Lagi pula, perempuan itu sudah biasa disuntik sejak kecil.

Begitu jarum berhasil menembus kulit dan Arya menyedotnya perlahan, Anggi tiba-tiba saja tersenyum tipis. “Euforianya tetap sama, ya?”

“Apanya?” tanya Arya skeptis, bikin Anggi menggeleng pelan sembari pemuda itu mengusap bekasannya dengan kapas.

Selagi ia menyiapkan segala prosedur, dimulai dari kelengkapan data di multi monitor dan menekan ini-itu hingga hologram display muncul tepat di wajahnya, Anggi lagi-lagi dibuat takjub, masih belum bisa percaya kalau teknologi bisa bergerak sepesat ini.

“Ada berapa banyak data manusia di komputer lo, Ya?” tanya Anggi penasaran. Masalahnya, sekadar satu sample darah, anatomi tubuh, kelengkapan riwayat kehidupan, beserta fotonya, terpampang jelas di display sana dengan akurat.

“Sembilan puluh persen?” ucapnya dengan nada seolah balik bertanya. “Ini legal kok, Gi. Gue udah dapatin lisensinya dari kepolisian. Lagipula, data-data ini udah gue dapetin langsung dari tim forensik. Lo tahu sendiri, tim gue ini udah resmi diakui dan setiap langkahnya udah langsung didukung dan dibiayai langsung dari negara.”

Arya memainkan kedua alis dengan dagu diangkat. Raut wajahnya kentara sekali kalau tengah sombong bikin Anggi mendengus sesaat.

Lama menunggu Arya bersama rekannya, hingga laki-laki itu memberikan jam tangan pada Anggi.

Gadis itu tertawa sebentar begitu melihat tiga tombol di sana. “Hijau, kuning, sama merah banget nih, Ya? Mau cosplay jadi rambu lalu lintas?”

“Gak gitu anjir.”

Anggi terkekeh kemudian pasrah begitu Arya mengangkat tangan tepat di depan wajahnya.

“Seperti yang lo lihat, ini ada tiga tombol dengan beda-beda fungsi. Kalau udah sampai, pencet tombol hijau buat kita gampang mendeteksi keberadaan lo. Lo bakalan dikasih waktu tiga jam buat menjelajah tahun segitu. Setiap sepuluh menit sekali, lampunya bakal nyala untuk mendeteksi sensor di tubuh lo, semisalnya ada bagian dari pernapasan yang bekerja gak normal.

“Jamnya bakalan bergetar lima menit sebelum waktunya habis dan di saat itu, lo harus pencet tombol kuning untuk balik. Sekiranya sensornya gak berfungsi dengan baik dan ada pergerakan yang gak normal, seperti barang-barang yang lo bawa di masa ini tiba-tiba mengabur, tolong pencet merah buat kita narik lo secara paksa ke sini.”

Penjelasan panjang lebar Arya bikin Anggi mengangguk-anggukan kepala kelewat tenang, padahal tidak tahu saja Arya di sana sudah kepalang khawatir dengan segala kekonyolan ini.

Jantungnya benar-benar berdegup dengan cepat. Padahal, tiap kali melakukan tes percobaan, ia tidak pernah setakut ini. Namun, karena ini Anggi, semuanya berbeda.

Ia tidak mau kehilangan gadis itu lagi seperti terakhir kalinya. Euforia kala tubuh ringkih itu berbaring, ketika tangan lemahnya nyaris melepaskan genggaman, ketika Arya merasa bahwa Anggi akan pergi selamanya.

Maka, yang semula mengenggam tangan, Arya langsung menariknya, membawa perempuan itu pada rengkuhan diiringi dengan tangan melingkar di tengkuk leher gadis itu.

“Bilang ke gue kalau lo bakal baik-baik aja,” bisiknya dengan suara rendah nan berat terdengar memabukannya itu.

Anggi tersenyum tipis kemudian menepuk punggung yang lebih lebar dari tubuhnya itu berulang kali.

“Janji ke gue, kalau lo bakal kembali. Balik ke sini, ke tempat lo yang berada di radar dekat gue, Gi. Ke tempat lo berada di sekitar gue.”

“Iya, Arya. Iyaa.”

Entah sudah keberapa kali Arya menghembuskan napas. Bukan semata-mata perasaan lega, justru kebalikannya. Ia merasa lagi-lagi memikul banyak beban di bahu ketika melihat Anggi datang dengan senyum lebar tampak beratus kali lebih bodoh.

Ketahuilah, Anggi kalau sudah kelewat senang akan menyengir seperti orang idiot bikin orang-orang menatap ngeri, takut kering giginya.

“Pagi!” katanya lagi sembari mengerutkan hidungnya lucu.

Sungguh berbahaya sekali bagi kesehatan jantung Arya. Maka, laki-laki itu lebih memilih duduk menjauh dan sekadar melihat ketika orang-orang bergerombolan mendatangi wanita tersebut untuk mengambil sarapan.

Sejatinya, markas Arya bukan berada di sebuah gedung tinggi dengan fasilitas robot berjalan mondar-mandir di sekitaran lorong layaknya science film pada umumnya. Melainkan, masih tempat sederhana.

Berupa garasi besar layaknya Steve Jobs merintis pembuatan Apple. Garasi ini dahulunya tempat bengkel milik kawanan Arya sebelumnya, tetapi pemuda itu sulap menjadi laboraturium.

Sesaat, kala Anggi berhasil menemukan perawakannya, Arya menggeleng pasrah, kemudian mengambil jas lab dan safety goggles-nya.

Sang hawa mengekor di belakang pemuda itu, hanya terdiam meski banyak sekali pertanyaan ini-itu yang seolah-olah akan meledak di otak.

Arya berbalik sementara Anggi menaikkan alisnya ikut bertanya-tanya.

“Kenapa?”

“Muka lo pengen banget gue sentil, Gi. Bisa gak sih, sehari aja lo gak bikin gue frustasi karena mikirin lo? Karena khawatirin lo?” Arya berkacak pinggang, memijat hidung kemudian menatap Anggi.

“Gue cuman mau bantu.”

“Di mana-mana, kalau bantu tuh ringanin pekerjaan, sementara lo makin bebanin gue.” Arya menghela napas sementara Anggi mencebikkan birai. Berteman lama dengan Arya, membuat perempuan itu sudah tahan banting dengan segala kata tajamnya.

Ia tahu, dari segala komentaran pedasnya itu, semata-mata cara si adam melindunginya. Pasti terselip seberapa khawatirnya Arya pada Anggi.

“Mana tangan lo?” tanya Arya kemudian mengeluarkan jarum suntik di dalam laci meja. Anggi menaikkan alis, ikut mengernyit.

“Buat?”

“Darah lo dijadiin sample buat ngelacak lo di sana nanti,” terang Arya kemudian Anggi mengangguk. Lagi pula, perempuan itu sudah biasa disuntik sejak kecil.

Begitu jarum berhasil menembus kulit dan Arya menyedotnya perlahan, Anggi tiba-tiba saja tersenyum tipis. “Euforianya tetap sama, ya?”

“Apanya?” tanya Arya skeptis, bikin Anggi menggeleng pelan sembari pemuda itu mengusap bekasannya dengan kapas.

Selagi ia menyiapkan segala prosedur, dimulai dari kelengkapan data di multi monitor dan menekan ini-itu hingga hologram display muncul tepat di wajahnya, Anggi lagi-lagi dibuat takjub, masih belum bisa percaya kalau teknologi bisa bergerak sepesat ini.

“Ada berapa banyak data manusia di komputer lo, Ya?” tanya Anggi penasaran. Masalahnya, sekadar satu sample darah, anatomi tubuh, kelengkapan riwayat kehidupan, beserta fotonya, terpampang jelas di display sana dengan akurat.

“90%?” ucapnya dengan nada seolah balik bertanya. “Ini legal kok, Gi. Gue udah dapatin lisensinya dari kepolisian. Lagipula, data-data ini udah gue dapetin langsung dari tim forensik. Lo tahu sendiri, tim gue ini udah resmi diakui dan setiap langkahnya udah langsung didukung dan dibiayai langsung dari negara.”

Arya memainkan kedua alis dengan dagu diangkat. Raut wajahnya kentara sekali kalau tengah sombong bikin Anggi mendengus sesaat.

Lama menunggu Arya bersama rekannya, hingga laki-laki itu memberikan jam tangan pada Anggi.

Gadis itu tertawa sebentar begitu melihat tiga tombol di sana. “Hijau, kuning, sama merah banget nih, Ya? Mau cosplay jadi rambu lalu lintas?”

“Gak gitu anjir.”

Anggi terkekeh kemudian pasrah begitu Arya mengangkat tangan tepat di depan wajahnya.

“Seperti yang lo lihat, ini ada tiga tombol dengan beda-beda fungsi. Kalau udah sampai, pencet tombol hijau buat kita gampang mendeteksi keberadaan lo. Lo bakalan dikasih waktu tiga jam buat menjelajah tahun segitu. Setiap sepuluh menit sekali, lampunya bakal nyala untuk mendeteksi sensor di tubuh lo, semisalnya ada bagian dari pernapasan yang bekerja gak normal.

“Jamnya bakalan bergetar lima menit sebelum waktunya habis dan di saat itu, lo harus pencet tombol kuning untuk balik. Sekiranya sensornya gak berfungsi dengan baik dan ada pergerakan yang gak normal, seperti barang-barang yang lo bawa di masa ini tiba-tiba mengabur, tolong pencet merah buat kita narik lo secara paksa ke sini.”

Penjelasan panjang lebar Arya bikin Anggi mengangguk-anggukan kepala kelewat tenang, padahal tidak tahu saja Arya di sana sudah kepalang khawatir dengan segala kekonyolan ini.

Jantungnya benar-benar berdegup dengan cepat. Padahal, tiap kali melakukan tes percobaan, ia tidak pernah setakut ini. Namun, karena ini Anggi, semuanya berbeda.

Ia tidak mau kehilangan gadis itu lagi seperti terakhir kalinya. Euforia kala tubuh ringkih itu berbaring, ketika tangan lemahnya nyaris melepaskan genggaman, ketika Arya merasa bahwa Anggi akan pergi selamanya.

Maka, yang semula mengenggam tangan, Arya langsung menariknya, membawa perempuan itu pada rengkuhan diiringi dengan tangan melingkar di tengkuk leher gadis itu.

“Bilang ke gue kalau lo bakal baik-baik aja,” bisiknya dengan suara rendah nan berat terdengar memabukannya itu.

Anggi tersenyum tipis kemudian menepuk punggung yang lebih lebar dari tubuhnya itu berulang kali.

“Janji ke gue, kalau lo bakal kembali. Balik ke sini, ke tempat lo yang berada di radar dekat gue, Gi. Ke tempat lo berada di sekitar gue.”

“Iya, Arya. Iyaa.”

Ia tersenyum kilat, setidaknya mengurangi serpihan kecil beban, lalu mengusap surai hitamnya pelan. “Good, girl.”

Laura mendesah cukup panjang kala adiknya—Luna—mengenakan baju penahanan dengan pergelangan tangan diborgol di hadapannya.

Perempuan itu menatap kaca di mana hanya ada pantulannya, meski ia tahu dibalik sana Kak Jevrian tengah menyaksikan dengan cemas jaksa muda yang baru tahun kemarin dilantik tersebut.

Jevrian sudah tahu semuanya, jadi ia datang ke sini lantaran khawatir dengan kemungkinan yang akan dihadapi. Meski perlindungan untuk jaksa sendiri tetap ada, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Namun herannya, bukan hanya Jevrian yang ada di sana, tetapi Anggara, Maura, Yeri, bahkan Wildan juga ikut nonton.

Biasanya, alasan seseorang berlaku kriminal itu ada dua. Dendam terselubung atau memiliki keuntungan jika orang tersebut tidak ada. Dan dari sorot mata Luna, kentara sekali bila banyak dendam yang ada di sana.

Selain karena khawatir, takut-takut bila kasus yang tengah ditangani ini justru melibatkan perasaan yang membuat banyak keraguan.

Selama Laura membacakan prosedur introgasi, gadis di hadapannya itu lantas terkekeh. Bikin orang-orang di sana menatap cemas.

“Gimana, Ra?” tanya Luna tak melunturkan senyumannya. “Gimana kabar lo?”

“Seperti yang anda lihat, saya jauh lebih baik.”

“Gak perlu formal gitu, Ra. Ke kembaran sendiri kok.” Luna menyenderkan punggung pada badan kursi kemudian menaikkan alis. “Gimana rasanya ketika dunia malah kembali berpihak sama lo? Ketika dunia kembali berada di genggaman lo?”

Laura menghela napas kemudian menaikkan alisnya. “Dari dulu dunia gak berpihak ke gue atau pun ke lo. Mereka berpihak ke bokap lo, asal lo tau, Lun.”

“Bullshit, lagi-lagi lo nyari pembelaan,” jeda Luna sembari tersenyum miring. “Playing victim.”

“Kerjaan lo emang kayak gitu, Ra. Lo seolah-olah jadi korban di sini, padahal lo yang mau ngebunuh gue, BRENGSEK!” Luna berteriak, melemparkan bukti perkara dan mengacak rambut frustasi. “Lo selalu ngurung gue, bilang ke bokap-nyokap kalau lo pengen gue mati, lo selalu pengen gue mati, tapi giliran gue mau ngelakuin itu, Tuhan malah nyuruh gue buat membusuk di dunia, BRENGSEK! KENAPA MEREKA MALAH NYELAMATIN GUE, SIH!”

Laura mengangkat dagu kemudian melipatkan tangan di depan dada. “Sadar gak, Lun? Omongan lo itu justru mendeskripsiin lo banget sekarang?”

“Maksud lo?”

“Playing victim, bullshit, manipulative,” jeda Laura sembari memegangi pulpen. “Itu lo, Lun.”

“Memori lo ada yang salah asal lo tau. Dari dulu gue gak pernah bilang begitu ke lo karena yang sebenarnya pengen menyerah itu gue, bukan lo.” Laura lantas mengambil sapu tangan lalu merogoh sebuah ponsel agar tidak meninggalkan jejak di sana.

Beberapa hari sebelumnya, Theo menyerahkan ponsel lama kepada para penyidik lantaran di dalamnya laki-laki itu sengaja merekam pembicaraannya dengan mama beberapa tahun silam.

Selepas suara mamanya mengudara, keduanya terdiam, dengan pikiran berkecamuk, meski tidak ada yang tahu apa yang tengah melintas di kedua otak mereka. Namun yang jelas, napas Laura berhembus dengan berat dan merasakan sesak lantaran suara lembut seorang ibunya membuat perempuan itu mengingat hari terakhir di mana rengkuhan mama berada dalam bayangnya.

Laura menghentikan rekaman tersebut kemudian tersenyum tipis. “Seperti yang lo denger sendiri, bukan gue yang pengen lo mati, Lun, tapi gue sendiri!”

Luna menggeleng kemudian mengacak rambutnya frustasi. “Enggak ... enggak, mana mungkin,” gumam Luna lalu berteriak frustasi. “GAK MUNGKIN ANJIR!”

“Ini pasti akal-akalan lo aja, kan? Jawab brengsek! JAWAB!” Luna menjerit, melemparkan banyak bukti perkara di dalam kantongan plastik sana. Perempuan itu meraih kerah kemeja Laura, menatap dengan sorot mata tajamnya.

“Memori lo ada yang hilang, Lun. Dan waktu itu lo masih kecil, jadi pemikiran lo sama sekali gak bisa dibantah ketika orang dewasa—“

“GAK MUNGKIN, BANGSAT!” Maka, sesuai praduganya, sebelum kemungkinan buruk terjadi, petugas penahanan yang di luar sana buru-buru menarik Luna. Menunda intoregasi dan memasukkan perempuan itu ke dalam sel tahanan.

Laura menghela napas, menatap nanar pintu yang kini sudah ditutup kemudian menyugarkan surai hitam panjangnya. Ia berulang kali membasahi birai bawah lantaran merasa banyak beban yang lagi-lagi memikul bahunya.

Satu yang ia pikirkan, bagaimana bisa ia mendakwa kembarannya sendiri.

***

Hari ini tiba, sidang pertama di mana baru memeriksa perkara dan pembacaan surat dakwaan yang dilayangkan oleh penuntut umum.

Fokus Laura buyar dan kepalanya sungguh pening, bahkan ketika hakim datang memasuki ruang pengadilan, ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Jevrian tidak menahannya.

“Sidang Perkara Pidana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 3456/Pid.Sus/2029/PT DKI atas nama Terdakwa Adrianne Luna dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” samar-samar ucapan tegas penuh wibawa sang hakim yang mengetuk palu tiga kali, lantas memecahkan kebuyaran Laura.

Sampai-sampai dadanya semakin bergemuruh begitu adiknya dibawa ke ruang sidang.

Jevrian, sebagai rekan Jaksa Penuntut Umum, menatap Laura penuh cemas, begitu melihat peluh tengah membanjiri pelipisnya. Tahu sekali bahwa wanita itu berada dalam kondisi yang jauh dari sekadar kata baik.

“Ra, kalau lo gak kuat, pembacaan surat dakwaan bisa gue aja,” bisik Jevrian. Laura menggeleng, kemudian tersenyum tipis.

“Gue bisa, Kak.”

Konversasi mereka kembali hening. Mendengar dengan khidmat begitu hakim bertanya-tanya dengan informasi pribadi Luna. Lantas, hakim menoleh padanya kemudian bilang, “kepada saudara Jaksa penuntut umum, apakah sudah siap membacakan dakwaannya?”

Laura mengangguk kemudian mengambil surat dakwaannya dan berdiri. Dengan microphone yang ada digenggamannya, ia menatap Jevrian yang balik memandangnya penuh yakin setelah mengangguk.

Menghela napas dengan hembusan yang begitu berat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, perempuan itu bilang, “Bahwa ia terdakwa, Adrianne Luna, pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober, tahun 2020 ....”

Laura ingat, tanggal segitu merupakan seminggu setelah mamanya dikebumikan. Di mana ia merasa letih dengan dunia dan tidak sanggup lagi untuk bertahan dari bagaimana cara semesta yang kelewat bengis untuk merengut satu-satunya alasan ia untuk hidup.

Dengan satu tarikan napas, perempuan itu lantas bilang, “Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika.”

Dengan suara lantangnya yang menggema seisi ruang pengadilan.

Laura mendesah panjang, begitu melihat adiknya—Luna— mengenakan baju penahanan dengan pergelangan tangan diborgol di hadapannya.

Perempuan itu menatap kaca di mana hanya ada pantulannya, meski ia tahu dibalik sana Kak Jevrian tengah menyaksikan dengan cemas jaksa muda yang baru tahun kemarin dilantik tersebut.

Jevrian sudah tahu semuanya, jadi ia datang ke sini lantaran khawatir dengan kemungkinan yang akan dihadapi. Meski perlindungan untuk jaksa sendiri tetap ada, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Namun herannya, bukan hanya Jevrian yang ada di sana, tetapi Anggara, Maura, Yeri, bahkan Wildan juga ikut nonton.

Biasanya, alasan seseorang berlaku kriminal itu ada dua. Dendam terselubung atau memiliki keuntungan jika orang tersebut tidak ada. Dan dari sorot mata Luna, kentara sekali bila banyak dendam yang ada di sana.

Selain karena khawatir, takut-takut bila kasus yang tengah ditangani ini justru melibatkan perasaan yang membuat banyak keraguan.

Selama Laura membacakan prosedur introgasi, gadis di hadapannya itu lantas terkekeh. Bikin orang-orang di sana menatap cemas.

“Gimana, Ra?” tanya Luna tak melunturkan senyumannya. “Gimana kabar lo?”

“Seperti yang anda lihat, saya jauh lebih baik.”

“Gak perlu formal gitu, Ra. Ke kembaran sendiri kok.” Luna menyenderkan punggung pada badan kursi kemudian menaikkan alis. “Gimana rasanya ketika dunia malah kembali berpihak sama lo? Ketika dunia kembali berada di genggaman lo?”

Laura menghela napas kemudian menaikkan alisnya. “Dari dulu dunia gak berpihak ke gue atau pun ke lo. Mereka berpihak ke bokap lo, asal lo tau, Lun.”

“Bullshit, lagi-lagi lo nyari pembelaan,” jeda Luna sembari tersenyum miring. “Playing victim.”

“Kerjaan lo emang kayak gitu, Ra. Lo seolah-olah jadi korban di sini, padahal lo yang mau ngebunuh gue, BRENGSEK!” Luna berteriak, melemparkan bukti perkara dan mengacak rambut frustasi. “Lo selalu ngurung gue, bilang ke bokap-nyokap kalau lo pengen gue mati, lo selalu pengen gue mati, tapi giliran gue mau ngelakuin itu, Tuhan malah nyuruh gue buat membusuk di dunia, BRENGSEK! KENAPA MEREKA MALAH NYELAMATIN GUE, SIH!”

Laura mengangkat dagu kemudian melipatkan tangan di depan dada. “Sadar gak, Lun? Omongan lo itu justru mendeskripsiin lo banget sekarang?”

“Maksud lo?”

“Playing victim, bullshit, manipulative,” jeda Laura sembari memegangi pulpen. “Itu lo, Lun.”

“Memori lo ada yang salah asal lo tau. Dari dulu gue gak pernah bilang begitu ke lo karena yang sebenarnya pengen menyerah itu gue, bukan lo.” Laura lantas mengambil sapu tangan lalu merogoh sebuah ponsel agar tidak meninggalkan jejak di sana.

Beberapa hari sebelumnya, Theo menyerahkan ponsel lama kepada para penyidik lantaran di dalamnya laki-laki itu sengaja merekam pembicaraannya dengan mama beberapa tahun silam.

Selepas suara mamanya mengudara, keduanya terdiam, dengan pikiran berkecamuk, meski tidak ada yang tahu apa yang tengah melintas di kedua otak mereka. Namun yang jelas, napas Laura berhembus dengan berat dan merasakan sesak lantaran suara lembut seorang ibunya membuat perempuan itu mengingat hari terakhir di mana rengkuhan mama berada dalam bayangnya.

Laura menghentikan rekaman tersebut kemudian tersenyum tipis. “Seperti yang lo denger sendiri, bukan gue yang pengen lo mati, Lun, tapi gue sendiri!”

Luna menggeleng kemudian mengacak rambutnya frustasi. “Enggak ... enggak, mana mungkin,” gumam Luna lalu berteriak frustasi. “GAK MUNGKIN ANJIR!”

“Ini pasti akal-akalan lo aja, kan? Jawab brengsek! JAWAB!” Luna menjerit, melemparkan banyak bukti perkara di dalam kantongan plastik sana. Perempuan itu meraih kerah kemeja Laura, menatap dengan sorot mata tajamnya.

“Memori lo ada yang hilang, Lun. Dan waktu itu lo masih kecil, jadi pemikiran lo sama sekali gak bisa dibantah ketika orang dewasa—“

“GAK MUNGKIN, BANGSAT!” Maka, sesuai praduganya, sebelum kemungkinan buruk terjadi, petugas penahanan yang di luar sana buru-buru menarik Luna. Menunda intoregasi dan memasukkan perempuan itu ke dalam sel tahanan.

Laura menghela napas, menatap nanar pintu yang kini sudah ditutup kemudian menyugarkan surai hitam panjangnya. Ia berulang kali membasahi birai bawah lantaran merasa banyak beban yang lagi-lagi memikul bahunya.

Satu yang ia pikirkan, bagaimana bisa ia mendakwa kembarannya sendiri.

***

Hari ini tiba, sidang pertama di mana baru memeriksa perkara dan pembacaan surat dakwaan yang dilayangkan oleh penuntut umum.

Fokus Laura buyar dan kepalanya sungguh pening, bahkan ketika hakim datang memasuki ruang pengadilan, ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Jevrian tidak menahannya.

“Sidang Perkara Pidana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 3456/Pid.Sus/2029/PT DKI atas nama Terdakwa Adrianne Luna dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” samar-samar ucapan tegas penuh wibawa sang hakim yang mengetuk palu tiga kali, lantas memecahkan kebuyaran Laura.

Sampai-sampai dadanya semakin bergemuruh begitu adiknya dibawa ke ruang sidang.

Jevrian, sebagai rekan Jaksa Penuntut Umum, menatap Laura penuh cemas, begitu melihat peluh tengah membanjiri pelipisnya. Tahu sekali bahwa wanita itu berada dalam kondisi yang jauh dari sekadar kata baik.

“Ra, kalau lo gak kuat, pembacaan surat dakwaan bisa gue aja,” bisik Jevrian. Laura menggeleng, kemudian tersenyum tipis.

“Gue bisa, Kak.”

Konversasi mereka kembali hening. Mendengar dengan khidmat begitu hakim bertanya-tanya dengan informasi pribadi Luna. Lantas, hakim menoleh padanya kemudian bilang, “kepada saudara Jaksa penuntut umum, apakah sudah siap membacakan dakwaannya?”

Laura mengangguk kemudian mengambil surat dakwaannya dan berdiri. Dengan microphone yang ada digenggamannya, ia menatap Jevrian yang balik memandangnya penuh yakin setelah mengangguk.

Menghela napas dengan hembusan yang begitu berat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, perempuan itu bilang, “Bahwa ia terdakwa, Adrianne Luna, pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober, tahun 2020 ....”

Laura ingat, tanggal segitu merupakan seminggu setelah mamanya dikebumikan. Di mana ia merasa letih dengan dunia dan tidak sanggup lagi untuk bertahan dari bagaimana cara semesta yang kelewat bengis untuk merengut satu-satunya alasan ia untuk hidup.

Dengan satu tarikan napas, perempuan itu lantas bilang, “Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika.”

Dengan suara lantangnya yang menggema seisi ruang pengadilan.

Laura mendesah panjang, begitu melihat adiknya—Luna— mengenakan baju penahanan dengan pergelangan tangan diborgol di hadapannya.

Perempuan itu menatap kaca di mana hanya ada pantulannya, meski ia tahu dibalik sana Kak Jevrian tengah menyaksikan dengan cemas jaksa muda yang baru tahun kemarin dilantik tersebut.

Jevrian sudah tahu semuanya, jadi ia datang ke sini lantaran khawatir dengan kemungkinan yang akan dihadapi. Meski perlindungan untuk jaksa sendiri tetap ada, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Namun herannya, bukan hanya Jevrian yang ada di sana, tetapi Anggara, Maura, Yeri, bahkan Wildan juga ikut nonton.

Biasanya, alasan seseorang berlaku kriminal itu ada dua. Dendam terselubung atau memiliki keuntungan jika orang tersebut tidak ada. Dan dari sorot mata Luna, kentara sekali bila banyak dendam yang ada di sana.

Selain karena khawatir, takut-takut bila kasus yang tengah ditangani ini justru melibatkan perasaan yang membuat banyak keraguan.

Selama Laura membacakan prosedur introgasi, gadis di hadapannya itu lantas terkekeh. Bikin orang-orang di sana menatap cemas.

“Gimana, Ra?” tanya Luna tak melunturkan senyumannya. “Gimana kabar lo?”

“Seperti yang anda lihat, saya jauh lebih baik.”

“Gak perlu formal gitu, Ra. Ke kembaran sendiri kok.” Luna menyenderkan punggung pada badan kursi kemudian menaikkan alis. “Gimana rasanya ketika dunia malah kembali berpihak sama lo? Ketika dunia kembali berada di genggaman lo?”

Laura menghela napas kemudian menaikkan alisnya. “Dari dulu dunia gak berpihak ke gue atau pun ke lo. Mereka berpihak ke bokap lo, asal lo tau, Lun.”

“Bullshit, lagi-lagi lo nyari pembelaan,” jeda Luna sembari tersenyum miring. “Playing victim.”

“Kerjaan lo emang kayak gitu, Ra. Lo seolah-olah jadi korban di sini, padahal lo yang mau ngebunuh gue, BRENGSEK!” Luna berteriak, melemparkan bukti perkara dan mengacak rambut frustasi. “Lo selalu ngurung gue, bilang ke bokap-nyokap kalau lo pengen gue mati, lo selalu pengen gue mati, tapi giliran gue mau ngelakuin itu, Tuhan malah nyuruh gue buat membusuk di dunia, BRENGSEK! KENAPA MEREKA MALAH NYELAMATIN GUE, SIH!”

Laura mengangkat dagu kemudian melipatkan tangan di depan dada. “Sadar gak, Lun? Omongan lo itu justru mendeskripsiin lo banget sekarang?”

“Maksud lo?”

“Playing victim, bullshit, manipulative,” jeda Laura sembari memegangi pulpen. “Itu lo, Lun.”

“Memori lo ada yang salah asal lo tau. Dari dulu gue gak pernah bilang begitu ke lo karena yang sebenarnya pengen menyerah itu gue, bukan lo.” Laura lantas mengambil sapu tangan lalu merogoh sebuah ponsel agar tidak meninggalkan jejak di sana.

Beberapa hari sebelumnya, Theo menyerahkan ponsel lama kepada para penyidik lantaran di dalamnya laki-laki itu sengaja merekam pembicaraannya dengan mama beberapa tahun silam.

Selepas suara mamanya mengudara, keduanya terdiam, dengan pikiran berkecamuk, meski tidak ada yang tahu apa yang tengah melintas di kedua otak mereka. Namun yang jelas, napas Laura berhembus dengan berat dan merasakan sesak lantaran suara lembut seorang ibunya membuat perempuan itu mengingat hari terakhir di mana rengkuhan mama berada dalam bayangnya.

Laura menghentikan rekaman tersebut kemudian tersenyum tipis. “Seperti yang lo denger sendiri, bukan gue yang pengen lo mati, Lun, tapi gue sendiri!”

Luna menggeleng kemudian mengacak rambutnya frustasi. “Enggak ... enggak, mana mungkin,” gumam Luna lalu berteriak frustasi. “GAK MUNGKIN ANJIR!”

“Ini pasti akal-akalan lo aja, kan? Jawab brengsek! JAWAB!” Luna menjerit, melemparkan banyak bukti perkara di dalam kantongan plastik sana. Perempuan itu meraih kerah kemeja Laura, menatap dengan sorot mata tajamnya.

“Memori lo ada yang hilang, Lun. Dan waktu itu lo masih kecil, jadi pemikiran lo sama sekali gak bisa dibantah ketika orang dewasa—“

“GAK MUNGKIN, BANGSAT!” Maka, sesuai praduganya, sebelum kemungkinan buruk terjadi, petugas penahanan yang di luar sana buru-buru menarik Luna. Menunda intoregasi dan memasukkan perempuan itu ke dalam sel tahanan.

Laura menghela napas, menatap nanar pintu yang kini sudah ditutup kemudian menyugarkan surai hitam panjangnya. Ia berulang kali membasahi birai bawah lantaran merasa banyak beban yang lagi-lagi memikul bahunya.

Satu yang ia pikirkan, bagaimana bisa ia mendakwa kembarannya sendiri.

***

Hari ini tiba, sidang pertama di mana baru memeriksa perkara dan pembacaan surat dakwaan yang dilayangkan oleh penuntut umum.

Fokus Laura buyar dan kepalanya sungguh pening, bahkan ketika hakim datang memasuki ruang pengadilan, ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Jevrian tidak menahannya.

“Sidang Perkara Pidana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 3456/Pid.Sus/2029/PT DKI atas nama Terdakwa Adrianne Luna dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” samar-samar ucapan tegas nan wibawa hakim yang mengetuk palu tiga kali, memecahkan buyarnya.

Dan dadanya semakin bergemuruh begitu adiknya dibawa ke ruang sidang.

Jevrian, sebagai rekan Jaksa Penuntut Umum, menatap Laura penuh cemas, begitu melihat peluh tengah membanjiri pelipisnya. Tahu sekali bahwa wanita itu berada dalam kondisi yang jauh dari sekadar kata baik.

“Ra, kalau lo gak kuat, pembacaan surat dakwaan bisa gue aja,” bisik Jevrian. Laura menggeleng, kemudian tersenyum tipis.

“Gue bisa, Kak.”

Konversasi mereka kembali hening. Mendengar dengan khidmat begitu hakim bertanya-tanya dengan informasi pribadi Luna. Lantas, hakim menoleh padanya kemudian bilang, “kepada saudara Jaksa penuntut umum, apakah sudah siap membacakan dakwaannya?”

Laura mengangguk kemudian mengambil surat dakwaannya dan berdiri. Dengan microphone yang ada digenggamannya, ia menatap Jevrian yang balik memandangnya penuh yakin setelah mengangguk.

Menghela napas dengan hembusan yang begitu berat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, perempuan itu bilang, “Bahwa ia terdakwa, Adrianne Luna, pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober, tahun 2020 ....”

Laura ingat, tanggal segitu merupakan seminggu setelah mamanya dikebumikan. Di mana ia merasa letih dengan dunia dan tidak sanggup lagi untuk bertahan dari bagaimana cara semesta yang kelewat bengis untuk merengut satu-satunya alasan ia untuk hidup.

Dengan satu tarikan napas, perempuan itu lantas bilang, “Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika.”

Dengan suara lantangnya yang menggema seisi ruang pengadilan.

Laura mendesah panjang, begitu melihat adiknya—Luna— mengenakan baju penahanan dengan pergelangan tangan diborgol di hadapannya.

Perempuan itu menatap kaca di mana hanya ada pantulannya, meski ia tahu dibalik sana Kak Jevrian tengah menyaksikan dengan cemas jaksa muda yang baru tahun kemarin dilantik tersebut.

Jevrian sudah tahu semuanya, jadi ia datang ke sini lantaran khawatir dengan kemungkinan yang akan dihadapi. Meski perlindungan untuk jaksa sendiri tetap ada, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Namun herannya, bukan hanya Jevrian yang ada di sana, tetapi Anggara, Maura, Yeri, bahkan Wildan juga ikut nonton.

Biasanya, alasan seseorang berlaku kriminal itu ada dua. Dendam terselubung atau memiliki keuntungan jika orang tersebut tidak ada. Dan dari sorot mata Luna, kentara sekali bila banyak dendam yang ada di sana.

Selain karena khawatir, takut-takut bila kasus yang tengah ditangani ini justru melibatkan perasaan yang membuat banyak keraguan.

Selama Laura membacakan prosedur introgasi, gadis di hadapannya itu lantas terkekeh. Bikin orang-orang di sana menatap cemas.

“Gimana, Ra?” tanya Luna tak melunturkan senyumannya. “Gimana kabar lo?”

“Seperti yang anda lihat, saya jauh lebih baik.”

“Gak perlu formal gitu, Ra. Ke kembaran sendiri kok.” Luna menyenderkan punggung pada badan kursi kemudian menaikkan alis. “Gimana rasanya ketika dunia malah kembali berpihak sama lo? Ketika dunia kembali berada di genggaman lo?”

Laura menghela napas kemudian menaikkan alisnya. “Dari dulu dunia gak berpihak ke gue atau pun ke lo. Mereka berpihak ke bokap lo, asal lo tau, Lun.”

“Bullshit, lagi-lagi lo nyari pembelaan,” jeda Luna sembari tersenyum miring. “Playing victim.”

“Kerjaan lo emang kayak gitu, Ra. Lo seolah-olah jadi korban di sini, padahal lo yang mau ngebunuh gue, BRENGSEK!” Luna berteriak, melemparkan bukti perkara dan mengacak rambut frustasi. “Lo selalu ngurung gue, bilang ke bokap-nyokap kalau lo pengen gue mati, lo selalu pengen gue mati, tapi giliran gue mau ngelakuin itu, Tuhan malah nyuruh gue buat membusuk di dunia, BRENGSEK! KENAPA MEREKA MALAH NYELAMATIN GUE, SIH!”

Laura mengangkat dagu kemudian melipatkan tangan di depan dada. “Sadar gak, Lun? Omongan lo itu justru mendeskripsiin lo banget sekarang?”

“Maksud lo?”

“Playing victim, bullshit, manipulative,” jeda Laura sembari memegangi pulpen. “Itu lo, Lun.”

“Memori lo ada yang salah asal lo tau. Dari dulu gue gak pernah bilang begitu ke lo karena yang sebenarnya pengen menyerah itu gue, bukan lo.” Laura lantas mengambil sapu tangan lalu merogoh sebuah ponsel agar tidak meninggalkan jejak di sana.

Beberapa hari sebelumnya, Theo menyerahkan ponsel lama kepada para penyidik lantaran di dalamnya laki-laki itu sengaja merekam pembicaraannya dengan mama beberapa tahun silam.

Selepas suara mamanya mengudara, keduanya terdiam, dengan pikiran berkecamuk, meski tidak ada yang tahu apa yang tengah melintas di kedua otak mereka. Namun yang jelas, napas Laura berhembus dengan berat dan merasakan sesak lantaran suara lembut seorang ibunya membuat perempuan itu mengingat hari terakhir di mana rengkuhan mama berada dalam bayangnya.

Laura menghentikan rekaman tersebut kemudian tersenyum tipis. “Seperti yang lo denger sendiri, bukan gue yang pengen lo mati, Lun, tapi gue sendiri!”

Luna menggeleng kemudian mengacak rambutnya frustasi. “Enggak ... enggak, mana mungkin,” gumam Luna lalu berteriak frustasi. “GAK MUNGKIN ANJIR!”

“Ini pasti akal-akalan lo aja, kan? Jawab brengsek! JAWAB!” Luna menjerit, melemparkan banyak bukti perkara di dalam kantongan plastik sana. Perempuan itu meraih kerah kemeja Laura, menatap dengan sorot mata tajamnya.

“Memori lo ada yang hilang, Lun. Dan waktu itu lo masih kecil, jadi pemikiran lo sama sekali gak bisa dibantah ketika orang dewasa—“

“GAK MUNGKIN, BANGSAT!” Maka, sesuai praduganya, sebelum kemungkinan buruk terjadi, petugas penahanan yang di luar sana buru-buru menarik Luna. Menunda intoregasi dan memasukkan perempuan itu ke dalam sel tahanan.

Laura menghela napas, menatap nanar pintu yang kini sudah ditutup kemudian menyugarkan surai hitam panjangnya. Ia berulang kali membasahi birai bawah lantaran merasa banyak beban yang lagi-lagi memikul bahunya.

Satu yang ia pikirkan, bagaimana bisa ia mendakwa kembarannya sendiri.

***

Hari ini tiba.

Sidang pertama di mana baru memeriksa perkara dan pembacaan surat dakwaan yang dilayangkan oleh penuntut umum.

Fokus Laura buyar dan kepalanya sungguh pening, bahkan ketika hakim datang memasuki ruang pengadilan, ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Jevrian tidak menahannya.

“Sidang Perkara Pidana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 3456/Pid.Sus/2029/PT DKI atas nama Terdakwa Adrianne Luna dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” samar-samar ucapan tegas nan wibawa hakim yang mengetuk palu tiga kali, memecahkan buyarnya.

Dan dadanya semakin bergemuruh begitu adiknya dibawa ke ruang sidang.

Jevrian, sebagai rekan Jaksa Penuntut Umum, menatap Laura penuh cemas, begitu melihat peluh tengah membanjiri pelipisnya. Tahu sekali bahwa wanita itu berada dalam kondisi yang jauh dari sekadar kata baik.

“Ra, kalau lo gak kuat, pembacaan surat dakwaan bisa gue aja,” bisik Jevrian. Laura menggeleng, kemudian tersenyum tipis.

“Gue bisa, Kak.”

Konversasi mereka kembali hening. Mendengar dengan khidmat begitu hakim bertanya-tanya dengan informasi pribadi Luna. Lantas, hakim menoleh padanya kemudian bilang, “kepada saudara Jaksa penuntut umum, apakah sudah siap membacakan dakwaannya?”

Laura mengangguk kemudian mengambil surat dakwaannya dan berdiri. Dengan microphone yang ada digenggamannya, ia menatap Jevrian yang balik memandangnya penuh yakin setelah mengangguk.

Menghela napas dengan hembusan yang begitu berat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, perempuan itu bilang, “Bahwa ia terdakwa, Adrianne Luna, pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober, tahun 2020 ....”

Laura ingat, tanggal segitu merupakan seminggu setelah mamanya dikebumikan. Di mana ia merasa letih dengan dunia dan tidak sanggup lagi untuk bertahan dari bagaimana cara semesta yang kelewat bengis untuk merengut satu-satunya alasan ia untuk hidup.

Dengan satu tarikan napas, perempuan itu lantas bilang, “Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika.”

Dengan suara lantangnya yang menggema seisi ruang pengadilan.

Laura mendesah panjang, begitu melihat adiknya—Luna— mengenakan baju penahanan dengan pergelangan tangan diborgol di hadapannya.

Perempuan itu menatap kaca di mana hanya ada pantulannya, meski ia tahu dibalik sana Kak Jevrian tengah menyaksikan dengan cemas jaksa muda yang baru tahun kemarin dilantik tersebut.

Jevrian sudah tahu semuanya, jadi ia datang ke sini lantaran khawatir dengan kemungkinan yang akan dihadapi. Meski perlindungan untuk jaksa sendiri tetap ada, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Namun herannya, bukan hanya Jevrian yang ada di sana, tetapi Anggara, Maura, Yeri, bahkan Wildan juga ikut nonton.

Biasanya, alasan seseorang berlaku kriminal itu ada dua. Dendam terselubung atau memiliki keuntungan jika orang tersebut tidak ada. Dan dari sorot mata Luna, kentara sekali bila banyak dendam yang ada di sana.

Selain karena khawatir, takut-takut bila kasus yang tengah ditangani ini justru melibatkan perasaan yang membuat banyak keraguan.

Selama Laura membacakan prosedur introgasi, gadis di hadapannya itu lantas terkekeh. Bikin orang-orang di sana menatap cemas.

“Gimana, Ra?” tanya Luna tak melunturkan senyumannya. “Gimana kabar lo?”

“Seperti yang anda lihat, saya jauh lebih baik.”

“Gak perlu formal gitu, Ra. Ke kembaran sendiri kok.” Luna menyenderkan punggung pada badan kursi kemudian menaikkan alis. “Gimana rasanya ketika dunia malah kembali berpihak sama lo? Ketika dunia kembali berada di genggaman lo?”

Laura menghela napas kemudian menaikkan alisnya. “Dari dulu dunia gak berpihak ke gue atau pun ke lo. Mereka berpihak ke bokap lo, asal lo tau, Lun.”

“Bullshit, lagi-lagi lo nyari pembelaan,” jeda Luna sembari tersenyum miring. “Playing victim.”

“Kerjaan lo emang kayak gitu, Ra. Lo seolah-olah jadi korban di sini, padahal lo yang mau ngebunuh gue, BRENGSEK!” Luna berteriak, melemparkan bukti perkara dan mengacak rambut frustasi. “Lo selalu ngurung gue, bilang ke bokap-nyokap kalau lo pengen gue mati, lo selalu pengen gue mati, tapi giliran gue mau ngelakuin itu, Tuhan malah nyuruh gue buat membusuk di dunia, BRENGSEK! KENAPA MEREKA MALAH NYELAMATIN GUE, SIH!”

Laura mengangkat dagu kemudian melipatkan tangan di depan dada. “Sadar gak, Lun? Omongan lo itu justru mendeskripsiin lo banget sekarang?”

“Maksud lo?”

“Playing victim, bullshit, manipulative,” jeda Laura sembari memegangi pulpen. “Itu lo, Lun.”

“Memori lo ada yang salah asal lo tau. Dari dulu gue gak pernah bilang begitu ke lo karena yang sebenarnya pengen menyerah itu gue, bukan lo.” Laura lantas mengambil sapu tangan lalu merogoh sebuah ponsel agar tidak meninggalkan jejak di sana.

Beberapa hari sebelumnya, Theo menyerahkan ponsel lama kepada para penyidik lantaran di dalamnya laki-laki itu sengaja merekam pembicaraannya dengan mama beberapa tahun silam.

Selepas suara mamanya mengudara, keduanya terdiam, dengan pikiran berkecamuk, meski tidak ada yang tahu apa yang tengah melintas di kedua otak mereka. Namun yang jelas, napas Laura berhembus dengan berat dan merasakan sesak lantaran suara lembut seorang ibunya membuat perempuan itu mengingat hari terakhir di mana rengkuhan mama berada dalam bayangnya.

Laura menghentikan rekaman tersebut kemudian tersenyum tipis. “Seperti yang lo denger sendiri, bukan gue yang pengen lo mati, Lun, tapi gue sendiri!”

Luna menggeleng kemudian mengacak rambutnya frustasi. “Enggak ... enggak, mana mungkin,” gumam Luna lalu berteriak frustasi. “GAK MUNGKIN ANJIR!”

“Ini pasti akal-akalan lo aja, kan? Jawab brengsek! JAWAB!” Luna menjerit, melemparkan banyak bukti perkara di dalam kantongan plastik sana. Perempuan itu meraih kerah kemeja Laura, menatap dengan sorot mata tajamnya.

“Memori lo ada yang hilang, Lun. Dan waktu itu lo masih kecil, jadi pemikiran lo sama sekali gak bisa dibantah ketika orang dewasa—“

“GAK MUNGKIN, BANGSAT!” Maka, sesuai praduganya, sebelum kemungkinan buruk terjadi, petugas penahanan yang di luar sana buru-buru menarik Luna. Menunda intoregasi dan memasukkan perempuan itu ke dalam sel tahanan.

Laura menghela napas, menatap nanar pintu yang kini sudah ditutup kemudian menyugarkan surai hitam panjangnya. Ia berulang kali membasahi birai bawah lantaran merasa banyak beban yang lagi-lagi memikul bahunya.

Satu yang ia pikirkan, bagaimana bisa ia mendakwa kembarannya sendiri.

***

Hari ini tiba.

Sidang pertama di mana baru memeriksa perkara dan pembacaan surat dakwaan yang dilayangkan oleh penuntut umum.

Fokus Laura buyar dan kepalanya sungguh pening, bahkan ketika hakim datang memasuki ruang pengadilan, ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau saja Jevrian tidak menahannya.

“Sidang Perkara Pidana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 3456/Pid.Sus/2029/PT DKI atas nama Terdakwa Adrianne Luna dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” samar-samar ucapan tegas nan wibawa hakim yang mengetuk palu tiga kali, memecahkan buyarnya.

Dan dadanya semakin bergemuruh begitu adiknya dibawa ke ruang sidang.

Jevrian, sebagai rekan Jaksa Penuntut Umum, menatap Laura penuh cemas, begitu melihat peluh tengah membanjiri pelipisnya. Tahu sekali bahwa wanita itu berada dalam kondisi yang jauh dari sekadar kata baik.

“Ra, kalau lo gak kuat, pembacaan surat dakwaan bisa gue aja,” bisik Jevrian. Laura menggeleng, kemudian tersenyum tipis.

“Gue bisa, Kak.”

Konversasi mereka kembali hening. Mendengar dengan khidmat begitu hakim bertanya-tanya dengan informasi pribadi Luna. Lantas, hakim menoleh padanya kemudian bilang, “kepada saudara Jaksa penuntut umum, apakah sudah siap membacakan dakwaannya?”

Laura mengangguk kemudian mengambil surat dakwaannya dan berdiri. Dengan microphone yang ada digenggamannya, ia menatap Jevrian yang balik memandangnya penuh yakin setelah mengangguk.

Menghela napas dengan hembusan yang begitu berat. Dengan tangan yang sedikit bergetar, perempuan itu bilang, “Bahwa ia terdakwa, Adrianne Luna, pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2020 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober, tahun 2020 ....”

Laura ingat, tanggal segitu merupakan seminggu setelah mamanya dikebumikan. Di mana ia merasa letih dengan dunia dan tidak sanggup lagi untuk bertahan dari bagaimana cara semesta yang kelewat bengis untuk merengut satu-satunya alasan ia untuk hidup.

Dengan satu tarikan napas, perempuan itu lantas bilang, “Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (2) Undang-undang tentang narkotika.”

Dengan suara lantangnya yang menggema seisi ruang pengadilan.

Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.

Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.

Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.

Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.

Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Corp kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.

Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Corp di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.

Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.

Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.

Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.

Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.

Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.

Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.

Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.

Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.

Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.

“Kerja bagus, Ra.”

Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah datang. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”

Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”

“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.

Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.

“Lho, lo dateng, Dew?”

“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”

“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”

Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”

“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”

“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.

Kumat lagi, kan.

“Samperin sana, nanti ngambek.”

“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.

Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.

“Makasih karena lo orangnya.”

Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”

“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”

Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”

“Gue pegang omongan lo.”

“Silahkan.”

Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.

“Duluan, Dew.”

“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.

“Pegang nih, bunganya.”

“Tapi aku gak suka.”

“Siapa yang minta?”

“Aku.”

“Yaudah pegang.”

“Ish.”

Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin kehidupan lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya tahu,” monotonnya dengan perasaan sesak di dada.

“Selamat berbahagia Adrianna Laura,

my beautiful scars.”

Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.

Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.

Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.

Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.

Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Corp kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.

Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Corp di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.

Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.

Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.

Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.

Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.

Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.

Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.

Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.

Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.

Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.

“Kerja bagus, Ra.”

Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah bersaksi. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”

Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”

“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.

Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.

“Lho, lo dateng, Dew?”

“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”

“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”

Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”

“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”

“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.

Kumat lagi, kan.

“Samperin sana, nanti ngambek.”

“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.

Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.

“Makasih karena lo orangnya.”

Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”

“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”

Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”

“Gue pegang omongan lo.”

“Silahkan.”

Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.

“Duluan, Dew.”

“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.

“Pegang nih, bunganya.”

“Tapi aku gak suka.”

“Siapa yang minta?”

“Aku.”

“Yaudah pegang.”

“Ish.”

Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin kehidupan lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya tahu,” monotonnya dengan perasaan sesak di dada.

“Selamat berbahagia Adrianna Laura,

my beautiful scars.”

Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.

Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.

Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.

Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.

Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Corp kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.

Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Corp di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.

Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.

Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.

Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.

Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.

Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.

Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.

Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.

Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.

Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.

“Kerja bagus, Ra.”

Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah bersaksi. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”

Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”

“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.

Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.

“Lho, lo dateng, Dew?”

“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”

“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”

Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”

“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”

“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.

Kumat lagi, kan.

“Samperin sana, nanti ngambek.”

“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.

Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.

“Makasih karena lo orangnya.”

Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”

“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”

Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”

“Gue pegang omongan lo.”

“Silahkan.”

Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.

“Duluan, Dew.”

“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.

“Pegang nih, bunganya.”

“Tapi aku gak suka.”

“Siapa yang minta?”

“Aku.”

“Yaudah pegang.”

“Ish.”

Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin kehidupan lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya tahu,” monotonnya dengan perasaan sesak di dada.

“Selamat berbahagia Adrianna Laura,

my beautiful scars.