Entah sudah keberapa kali Arya menghembuskan napas. Bukan semata-mata perasaan lega, justru kebalikannya. Ia merasa lagi-lagi memikul banyak beban di bahu ketika melihat Anggi datang dengan senyum lebar tampak beratus kali lebih bodoh.
Ketahuilah, Anggi kalau sudah kelewat senang akan menyengir seperti orang idiot bikin orang-orang menatap ngeri, takut kering giginya.
“Pagi!” katanya lagi sembari mengerutkan hidungnya lucu.
Sungguh berbahaya sekali bagi kesehatan jantung Arya. Maka, laki-laki itu lebih memilih duduk menjauh dan sekadar melihat ketika orang-orang bergerombolan mendatangi wanita tersebut untuk mengambil sarapan.
Sejatinya, markas Arya bukan berada di sebuah gedung tinggi dengan fasilitas robot berjalan mondar-mandir di sekitaran lorong layaknya science film pada umumnya. Melainkan, masih tempat sederhana.
Berupa garasi besar layaknya Steve Jobs merintis pembuatan Apple. Garasi ini dahulunya tempat bengkel milik kawanan Arya sebelumnya, tetapi pemuda itu sulap menjadi laboraturium.
Sesaat, kala Anggi berhasil menemukan perawakannya, Arya menggeleng pasrah, kemudian mengambil jas lab dan safety goggles-nya.
Sang hawa mengekor di belakang pemuda itu, hanya terdiam meski banyak sekali pertanyaan ini-itu yang seolah-olah akan meledak di otak.
Arya berbalik sementara Anggi menaikkan alisnya ikut bertanya-tanya.
“Kenapa?”
“Muka lo pengen banget gue sentil, Gi. Bisa gak sih, sehari aja lo gak bikin gue frustasi karena mikirin lo? Karena khawatirin lo?” Arya berkacak pinggang, memijat hidung kemudian menatap Anggi.
“Gue cuman mau bantu.”
“Di mana-mana, kalau bantu tuh ringanin pekerjaan, sementara lo makin bebanin gue.” Arya menghela napas sementara Anggi mencebikkan birai. Berteman lama dengan Arya, membuat perempuan itu sudah tahan banting dengan segala kata tajamnya.
Ia tahu, dari segala komentaran pedasnya itu, semata-mata cara si adam melindunginya. Pasti terselip seberapa khawatirnya Arya pada Anggi.
“Mana tangan lo?” tanya Arya kemudian mengeluarkan jarum suntik di dalam laci meja. Anggi menaikkan alis, ikut mengernyit.
“Buat?”
“Darah lo dijadiin sample buat ngelacak lo di sana nanti,” terang Arya kemudian Anggi mengangguk. Lagi pula, perempuan itu sudah biasa disuntik sejak kecil.
Begitu jarum berhasil menembus kulit dan Arya menyedotnya perlahan, Anggi tiba-tiba saja tersenyum tipis. “Euforianya tetap sama, ya?”
“Apanya?” tanya Arya skeptis, bikin Anggi menggeleng pelan sembari pemuda itu mengusap bekasannya dengan kapas.
Selagi ia menyiapkan segala prosedur, dimulai dari kelengkapan data di multi monitor dan menekan ini-itu hingga hologram display muncul tepat di wajahnya, Anggi lagi-lagi dibuat takjub, masih belum bisa percaya kalau teknologi bisa bergerak sepesat ini.
“Ada berapa banyak data manusia di komputer lo, Ya?” tanya Anggi penasaran. Masalahnya, sekadar satu sample darah, anatomi tubuh, kelengkapan riwayat kehidupan, beserta fotonya, terpampang jelas di display sana dengan akurat.
“Sembilan puluh persen?” ucapnya dengan nada seolah balik bertanya. “Ini legal kok, Gi. Gue udah dapatin lisensinya dari kepolisian. Lagipula, data-data ini udah gue dapetin langsung dari tim forensik. Lo tahu sendiri, tim gue ini udah resmi diakui dan setiap langkahnya udah langsung didukung dan dibiayai langsung dari negara.”
Arya memainkan kedua alis dengan dagu diangkat. Raut wajahnya kentara sekali kalau tengah sombong bikin Anggi mendengus sesaat.
Lama menunggu Arya bersama rekannya, hingga laki-laki itu memberikan jam tangan pada Anggi.
Gadis itu tertawa sebentar begitu melihat tiga tombol di sana. “Hijau, kuning, sama merah banget nih, Ya? Mau cosplay jadi rambu lalu lintas?”
“Gak gitu anjir.”
Anggi terkekeh kemudian pasrah begitu Arya mengangkat tangan tepat di depan wajahnya.
“Seperti yang lo lihat, ini ada tiga tombol dengan beda-beda fungsi. Kalau udah sampai, pencet tombol hijau buat kita gampang mendeteksi keberadaan lo. Lo bakalan dikasih waktu tiga jam buat menjelajah tahun segitu. Setiap sepuluh menit sekali, lampunya bakal nyala untuk mendeteksi sensor di tubuh lo, semisalnya ada bagian dari pernapasan yang bekerja gak normal.
“Jamnya bakalan bergetar lima menit sebelum waktunya habis dan di saat itu, lo harus pencet tombol kuning untuk balik. Sekiranya sensornya gak berfungsi dengan baik dan ada pergerakan yang gak normal, seperti barang-barang yang lo bawa di masa ini tiba-tiba mengabur, tolong pencet merah buat kita narik lo secara paksa ke sini.”
Penjelasan panjang lebar Arya bikin Anggi mengangguk-anggukan kepala kelewat tenang, padahal tidak tahu saja Arya di sana sudah kepalang khawatir dengan segala kekonyolan ini.
Jantungnya benar-benar berdegup dengan cepat. Padahal, tiap kali melakukan tes percobaan, ia tidak pernah setakut ini. Namun, karena ini Anggi, semuanya berbeda.
Ia tidak mau kehilangan gadis itu lagi seperti terakhir kalinya. Euforia kala tubuh ringkih itu berbaring, ketika tangan lemahnya nyaris melepaskan genggaman, ketika Arya merasa bahwa Anggi akan pergi selamanya.
Maka, yang semula mengenggam tangan, Arya langsung menariknya, membawa perempuan itu pada rengkuhan diiringi dengan tangan melingkar di tengkuk leher gadis itu.
“Bilang ke gue kalau lo bakal baik-baik aja,” bisiknya dengan suara rendah nan berat terdengar memabukannya itu.
Anggi tersenyum tipis kemudian menepuk punggung yang lebih lebar dari tubuhnya itu berulang kali.
“Janji ke gue, kalau lo bakal kembali. Balik ke sini, ke tempat lo yang berada di radar dekat gue, Gi. Ke tempat lo berada di sekitar gue.”
“Iya, Arya. Iyaa.”