Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.
Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.
Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.
Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.
Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.
Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Corp kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.
Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Corp di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.
Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.
Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.
Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.
Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.
Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.
Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.
Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.
Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.
Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.
“Kerja bagus, Ra.”
Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah bersaksi. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”
Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”
“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.
Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.
“Lho, lo dateng, Dew?”
“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”
“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”
Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”
“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”
“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.
Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.
Kumat lagi, kan.
“Samperin sana, nanti ngambek.”
“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.
Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.
“Makasih karena lo orangnya.”
Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”
“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”
Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”
“Gue pegang omongan lo.”
“Silahkan.”
Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.
“Duluan, Dew.”
“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.
“Pegang nih, bunganya.”
“Tapi aku gak suka.”
“Siapa yang minta?”
“Aku.”
“Yaudah pegang.”
“Ish.”
Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.
“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin kehidupan lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya tahu,” monotonnya dengan perasaan sesak di dada.
“Selamat berbahagia Adrianna Laura,
my beautiful scars”