Write.as

Springbloomz_

Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.

Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.

Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.

Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.

Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Corp kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.

Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Corp di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.

Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.

Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.

Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.

Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.

Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.

Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.

Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.

Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.

Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.

“Kerja bagus, Ra.”

Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah bersaksi. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”

Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”

“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.

Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.

“Lho, lo dateng, Dew?”

“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”

“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”

Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”

“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”

“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.

Kumat lagi, kan.

“Samperin sana, nanti ngambek.”

“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.

Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.

“Makasih karena lo orangnya.”

Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”

“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”

Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”

“Gue pegang omongan lo.”

“Silahkan.”

Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.

“Duluan, Dew.”

“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.

“Pegang nih, bunganya.”

“Tapi aku gak suka.”

“Siapa yang minta?”

“Aku.”

“Yaudah pegang.”

“Ish.”

Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin kehidupan lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya tahu,” monotonnya dengan perasaan sesak di dada.

“Selamat berbahagia Adrianna Laura,

my beautiful scars

Selama sembilan tahun, banyak yang berubah. Termasuk dinamika kehidupan seseorang.

Jakarta masih tetap jadi kota tersibuk, mungkin semakin sibuk dan berisik dari pada tahun sebelumnya, banyak bangunan yang berlomba-lomba untuk mencakar langit.

Melintasi awan yang mampu menyaksikan secara langsung pemandangan matahari terbit maupun tenggelam.

Bukan hanya kota, manusia-manusia di dalamnya sudah berubah. Lebih baik dan bisa jadi lebih buruk dari dugaannya, tetapi syukur Laura bisa menyaksikan orang-orang di sekitarnya memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Lucas, tidak berubah seutuhnya, tetapi laki-laki itu sudah lebih dewasa selepas mendapatkan tawaran menjadi model majalah dan merintis karir sebagai influencer, tetapi sekali-kali menengok untuk membantu pekerjaan ayahnya.

Selepas masa keterpurukan, perusahaan J.Crop kembali menduduki sebagai perusahaan nomor satu se-Jakarta dan menduduki lima besar di Indonesia sesudah dikendalikan oleh si sulung, Jeffrey. Bersama Theo dan Johnny, ketiganya semakin melebarkan sayap ke kancah Asia Tenggara.

Dewa juga begitu, dia menjadi kepala cabang perusahaan J.Crop di bidang asuransi, meski diletakkan di Jakarta pula.

Aji baru-baru ini membuka kafe di mana band Satria sering diundang untuk manggung di sana. Meski belum memakan dua tahun, tetapi karena Satria sering mempromosikan dengan mereka yang sering mampir, profit yang didapatkan semakin melambung tinggi.

Bumi juga begitu, setiap ada peluncuran novel terbaru atau sekadar meet and greet dia memilih untuk melakukannya di kafe Aji. Tidak sekali pula, Bumi dan Satria bekerja sama untuk membahas ost di novel buatan Bumi yang akan difilmkan di sana.

Sementara Chris dan Yudha baru-baru ini merintis video game setelah dari lama sekali mempersiapkannya.

Zia tidak bekerja, tetapi menjadi ibu rumah tangga dari anak satu. Omong-omong, dia tetap langgeng dengan orang yang selama ini membawakan makanan setiap akhir bulan.

Semuanya berjalan dengan baik sampai Laura percaya mungkin dibalik semua kisah, ada banyak keajaiban yang akan terjadi.

Menghela napas, gadis itu menatap langit-langit dengan baju toga khusus jaksa.

Ini hari terakhir persidangan. Dengan keakuratan bukti dan saksi yang ada, adiknya—Luna—ditetapkan sebagai terpidana sesuai dengan hukum.

Melelahkan sungguh, apalagi ia harus mengesampingkan perasaannya sebagai seorang kakak untuk menuntut dan mendakwanya seadil mungkin. Melihat adiknya memakai baju orange sementara ia mengenakan baju jubah hitam.

Di tengah segala tekanan dan beban di bahu, perempuan itu merasakan sensasi dingin di pipinya. Mendongak, ia terkekeh melihat perawakan seorang pemuda datang menghampirinya.

“Kerja bagus, Ra.”

Laura menerimanya kemudian tersenyum. “Lo juga, Kak. Makasih udah bersaksi. Padahal lo bisa aja ngadirin sidang pembuktian doang, tapi lo terus dateng sampe hari pembacaan putusan hakim.”

Laki-laki itu Dewa, lantas menepuk puncak kepala Laura berulang kali kemudian membentuk lekungan tipis di birainya. “Malah gue justru minta maaf karena gak datang di hari pertama.”

“Santai elah, gue tahu kok, lo ada meeting bareng klien lo, Kak.” Dewa mendengarnya lantas tersenyum tipis, menunduk sebentar kemudian mengangguk-anggukan kepala.

Larut dalam pembicaraan, kedua netra hitam mereka lantas fokus pada seorang pemuda yang berjalan mendekati. Pemuda jakung dengan garis rahang sempurna rada chubby-nya lantas menghampiri dengan sebuket bunga.

“Lho, lo dateng, Dew?”

“Masa persidangan adik sendiri gak dateng sih, lagian lo juga ke mana, Jep?”

“Gue?” Jeffrey mengangkat alis kemudian menunjuk dirinya sendiri. “Gue beli bunga anjir, nih orang ngelunjak minta bunga, padahal gak suka.”

Laura memukul pundak laki-laki itu sebal. “Kan buat datengin makam mama! Siapa juga yang minta bunga buat diri sendiri.”

“Ya kali gitu bunga karena menangin kasus.”

“Serah,” sebalnya kemudian menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Jeffrey merotasikan netra hitamnya jenuh.

Kumat lagi, kan.

“Samperin sana, nanti ngambek.”

“Udah ngambek anaknya,” jawab Jeffrey kemudian berkacak pinggang melihat Dewa yang terkekeh sembari menatap sosok punggung sempit yang masuk ke gedung.

Lantas, begitu perawakan gadis kecil itu menghilang, Dewa memegang bahu Jeffrey.

“Makasih karena lo orangnya.”

Jeffrey terkekeh. “Justru gue yang makasih karena lo juga yang ngejagain dia selama ini.”

“Gue gak segan nerima dan bilang sama-sama, asal lo gak pernah bikin dia sendirian lagi. Asal lo gak bikin dia takut buat naruh kepercayaan sama seseorang. Kalau lo begitu, bogeman rasanya gak cukup, Jep.”

Jeffrey tertawa dengan ancaman Dewa, meski dia sepenuhnya menerima itu. “Gak bakal, Dew. Gue gak sebrengsek itu.”

“Gue pegang omongan lo.”

“Silahkan.”

Tidak lama dari itu, dengan cepolan rambut asal, Laura kembali datang dengan baju PDH coklat khasnya milik jaksa.

“Duluan, Dew.”

“Duluan, Kak,” pamit keduanya disahut oleh Dewa yang mengangguk sopan kemudian melambaikan tangan.

“Pegang nih, bunganya.”

“Tapi aku gak suka.”

“Siapa yang minta?”

“Aku.”

“Yaudah pegang.”

“Ish.”

Samar-samar, laki-laki itu terkekeh dengan perdebatan kecil mereka. Menatap tautan mereka nanar hingga tanpa disadari matanya memerah dengan bendungan air mata yang mendesak minta dikeluarkan.

“Sebenarnya lo hidup, Ra. Lo hanya mencari kebahagiaan terus, tanpa sadar kalau kesedihan juga masuk dalam takarannya. Padahal, emang dasarnya porsi lo begitu. Melihat lo yang sekarang udah bahagia, berarti Semesta tengah bikin lo seadil mungkin. Mereka dari dulu sayang sama lo biar kebahagiaan terus datang ke lo ke depannya.”

“Selamat berbahagia Adrianna Laura, my beautiful scars” Monoton Dewa sembari membalikkan badan dengan perasaan sesak di dadanya.

Sebenarnya, Dewa tidak tahu apakah yang sekarang ia hadapi itu merupakan diberinya kesempatan kedua atau bagaimana.

Sebab, ketika mendapatkan secercah harapan yang berada di genggamannya, laki-laki itu langsung bergegas pergi.

Bahkan, ia sudah tiba dua jam terlebih dahulu dari waktu temu. Dadanya kelewat gugup, ini lebih menyusahkan dari sekadar debat pemilihan Presma atau berdiri di depan banyak audience.

Ia berulang kali menegak sebotol minuman mineral demi menetralkan kegugupan, hingga laki-laki itu menemukan eksistensi seorang gadis dengan pakaian casual-nya tengah membuka pintu.

Sama seperti Dewa, tanpa disadari ada seorang perempuan yang sama gugupnya. Bahkan, dia sejatinya sudah mondar-mandir di depan pintu sana, takut untuk menemui.

Tangan perempuan itu tremor, menghela napas berulang kali ketika pelipis sudah berhamburan mengeluarkan benih keringat. Merasakan dadanya berdegup dua kali lebih cepat.

Dewa sekadar tersenyum tipis ketika perempuan di hadapannya itu menunduk selepas menggeser kursi untuk duduk.

“Ra,” panggil laki-laki itu ketika kecanggungan yang bersuara. Dia bisa melihat Laura menghela napas panjang, kemudian perlahan mengangkat kepala. “Mau pesan apa?”

“Ah, samain aja, Kak,” ucapnya dan lagi-lagi hening. Untuk kesekian kalinya, perempuan itu menghembuskan napas. “Gimana kabar lo, Kak?”

“Seperti biasa, gak ada yang beda, Ra. Lo juga gimana? Jadi anak baru dan tinggal di kosan?”

“Lebih dari kata luar binasa,” kekeh Laura mencairkan suasana. Dewa tersenyum tipis, menautkan jemarinya di bawah sana. Mengingat-ingat bahwa mereka bisa menghabiskan begitu banyak topik sampai tiba di mana mereka sulit untuk sebatas menyapa.

“Tentang masalah lo dan anak kosan,” jeda Dewa sebentar. Laura terdiam sesaat lalu menaikkan alisnya. “Gue udah denger semuanya, Ra. Tentang lo yang nyalahin diri lo sendiri, mereka, dan gimana lo yang udah gak sanggup dengan semuanya.”

Dewa kembali menegak sebotol air minum, mengembalikan rasa percaya diri, hingga ketika birainya terbuka, berkeinginan untuk mengucapkan banyak kalimat di sana, tetapi yang keluar justru kata sakral yang akhirnya bisa laki-laki itu ucapkan.

“Maaf,” bilangnya begitu, tepat ke netra hitam Laura, mengatakan dengan setulus mungkin tanpa banyak alasan karena ini semua murni dari kesalahannya.

“Maaf, Ra. Karena gue, lo jadi merasakan itu. Karena gue, lo jadi gak sanggup buat bertahan dari semuanya. Gue buat lo sendirian, gue yang bikin lo kesulitan untuk percaya sama seseorang, gue juga yang bikin lo gak pantes buat ditolongin ketika banyak orang mengulurkan tangan buat lo. Gue bikin lo semenderita itu, hingga rasanya lo gak sanggup buat hidup. Maaf, Ra. Gue minta maaf.”

Laura bergetar, gadis itu tidak tahu harus bagaimana lagi, ketika merasakan sorotan sendu penuh penyesalan.

“Gue tahu, Ra. Gue tahu pasti kalau lo gak mau maafin gue karena emang gue pantes dapetin itu, tapi apa bisa lo maafin diri lo sendiri dan mereka?” Dewa menekan kata mereka di sana kemudian tersenyum tipis. “Itu bukan salah lo dan bukan pula salah mereka karena mama lo emang punya tiket dengan jadwal keberangkatan di jam segitu. Mama lo sejak awal emang punya sesuatu yang harus diurusin di rumah ketika selesai berbicara dengan lo. Jadi, meskipun mereka nahan mama lo untuk pergi, dia tetap bakal berangkat di jam sembilan malam, Ra.”

Laura memendungkan air mata, merasa bersalah dengan apa yang dia katakan tempo hari. Dewa rasanya ingin mengulurkan tangan untuk mengusap surai hitam panjangnya, tetapi diurung lantaran tahu Laura belum memaafkannya.

“Kak,” panggilnya. “Makasih. Makasih atas semuanya.”

“Gue tahu kalau waktu ospek lo nyuruh seseorang buat naruh gue di barisan paling belakang karena gak kuat panas. Gue tahu kalau sesekali lo mampir ke kantin fakultas buat sekadar ngeliat keadaan gue. Gue tahu kalau bareng sama Kak Theo, Kak Chris, dan lainnya, lo mau ngelindungin gue. Gue juga berterima kasih karena lo seenggaknya bikin gue baikan sama mama sebelum dia pergi.”

Gadis itu mengeluarkan setitik air mata, tetapi menarik birainya membentuk lekungan tipis.

“Dari dulu, gue selalu maafin lo, Kak.”

Dewa menghela napas lega, merasakan beban di bahunya perlahan menguak. Sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Sore itu, bersama dengan senja yang membentang di langit, ada dua insan yang perlahan kembali menyambungkan benang lain yang semula putus. Kembali mengukir harapan ketika sepupus itu untuk meraihnya.

Sejak dulu, swastamita memang begitu. Meski cuman sebentar datang, tetapi mereka membendung banyak harapan agar keesokan harinya ada banyak orang berharap ingin sekali lagi hidup untuk sekadar melihat banyaknya keajaiban dunia.

Waktu itu layaknya pegangan hidup mengenai konsep dualisme.

Disangka abadi, tapi ternyata fana.

Disangka berjalan begitu lambat, tapi sebagian orang menyangkal bahwa mereka lebih cepat dari dugaan.

Saling bertentangan, hingga semuanya tiba-tiba berhenti dengan sendirinya. Ketika orang-orang sudah dibinasakan dengan dosa-dosanya.

Waktu itu sungguh misteri.

Tidak bisa diterka, juga tidak bisa diperkirakan. Berjalan semaunya, bersamaan dengan kejutan yang dilakukan oleh semesta.

Membentuk panggungnya, membentuk komedinya, untuk mereka tertawakan, untuk mereka pertontonkan, meski boneka yang dimainkan itu sudah sengsara dengan segala kekonyolan yang dibuat.

Bahkan sekarang Laura percaya, mereka yang ada di atas sana tengah tertawa konyol dengan kemenangan lantaran mengambil seseorang dari sisinya.

Tengah menonton bahwa anak adam yang satu ini sudah berada di batas akhir.

Berada di kondisi ia menyerah dengan segalanya.

Begitu kembali dari proses ibunya yang dikebumikan, Laura sama sekali tidak mau keluar dari kamar. Mengunci rapat-rapat, sengaja mempertontonkan bahwa di sini dia sudah kehilangan asa.

Tersesat dengan banyak jiwa yang pergi entah ke mana.

Dia membatasi dirinya sendiri, bahkan tidak keluar dari bilik itu lebih dari seminggu.

Orang-orang yang berada di kosan hanya bisa menatap pintu kamarnya nanar.

Laura sudah tidak memiliki rumah. Rumah dalam artian khusus, bahkan bentuk nyatanya.

Semuanya dibabat habis, hingga orang-orang tidak tahu sebenarnya apa yang ingin mereka ambil dari gadis kelewat rapuh nan lemah.

Kelewat bengis cara mereka.

Hingga Zia menyuruh Satria untuk mengambil kunci cadangan sebab khawatir kondisi gadis itu lebih terpuruk dari perkiraan karena sama sekali tidak menyentuh makanan yang berada di depan pintu.

Begitu berhasil mendobrak, semuanya langsung menatap nanar pada punggung ringkih yang meringkuk di atas kasur.

Bunyi gaduh itu tidak mengusik pergerakaan si gadis. Sama sekali tidak merespon apa-apa dan bikin Zia langsung mengangkat tubuh perempuan itu untuk terduduk.

Tatapan Laura memancarkan kekosongan. Sorot matanya sudah kehilangan banyak harapan tentang dunia.

Manusia bisa hidup tanpa makan, tanpa minum, bahkan bisa tidak bernapas dengan waktu tiga puluh detik atau mungkin lebih. Namun, tidak ada seonggok manusia pun yang mampu bertahan jika mereka kehilangan asanya.

Dan Zia jelas tahu bagaimana perasaan Laura sekarang karena dia juga dulu begitu sebelum seseorang datang untuk mengubah dunianya.

“Ra,” panggil wanita yang berbeda dua tahun itu. Dengan pipi kian kurus dan birai pucatnya, Laura menarik senyum tipis.

“Kak ....” Suara Laura serak. Terdengar parau dengan birainya yang bergetar. “Gue—gue udah gak sanggup.”

Air mata kembali berbendung di sana. Berkaca-kaca meski tatapannya sudah kelewat kosong.

“Gue udah gak sanggup, Kak. Gue udah nggak sanggup buat hidup.” Tangis Laura pecah untuk kesekian kalinya. Terisak atas semua luka yang membuatnya tertekan.

“Orang-orang terus mendesak gue buat bahagia, tapi sekalinya gue coba buat ngeraih, mereka ngambil semuanya ... gue takut.” Laura menggeleng dengan isakan yang penuh pilu di sana. “Gue takut. Gue takut bahagia.”

“Kalau aja hari itu mama langsung pulang. Kalau aja hari itu mama nggak masak, kalau aja hari itu mama nggak bikinin gue milo, kalau aja hari itu nggak hujan, gue masih punya harapan, Kak. Gue gak bakal punya keinginan buat istirahat selamanya—“

“LAURA!” Satria berteriak di sana ketika mendengar seluruh penuturan dan tumpahan hati yang gadis itu bicarakan. Bikin Aji yang juga ikut mendengarnya, langsung menahan pria itu. “Bukannya gue udah bilang sama lo kalau jangan menyalahkan diri lo sendiri?”

“Kata siapa kalau gue cuman nyalahin diri gue, Kak? GUE JUGA NYALAHIN KALIAN!” Laura menjerit, melempar bantalnya ke Satria dan Zia bikin semuanya langsung tertegun.

“Gue benci kalian! Gue benci sama kalian! Balikin mama gue tolong! BALIKIN MAMA GUE, BRENGSEK! BALIKIN!” Zia terus menenangkan perempuan itu yang benar-benar kehilangan akal sehatnya sembari ia juga menahan tangis. Terus mengantarkannya pada pelukan, tetapi Laura langsung menggeleng dan menjerit. Seluruh tubuhnya bergetar, merasa takut untuk mempercayai seseorang lagi.

Merasa takut jika mereka ikut pergi meninggalkannya.

Gadis itu terus merapalkan untuk mengembalikan sang ibu kembali ke sampingnya.

Kembali ke sisi ketika ia bisa semudah itu untuk memeluk.

Tanpa Laura sadari, bahwa semuanya berada di sana. Berdiri dengan kepala menengadah atau sekadar berjongkok lantaran ikut merasa bersalah.

Mendengar rintihan gadis itu yang mengulangi kata-kata yang sama.

Bumi mendengus dengan matanya yang memerah. “Apa ini karena ulah gue? Apa ini salah gue?”

Tidak ada yang berani menyahut selain mengacak rambut mereka frustasi, bahkan Lucas di sana ikut terdiam.

Kalau berbicara tentang takdir, rasanya mereka yang berada di atas langit itu mempunyai banyak kejutan. Tidak ada yang tahu, apa yang mereka rencanakan untuk mempermainkan kehidupan para manusia yang hidup dirundung penyesalan dan dosa.

Tidak ada yang tahu, bahwa dalam satu jentikan jari saja, semuanya sudah berubah.

Tidak ada yang tahu, bahwa dalam hitungan beberapa hari saja, dari yang semula sebuah mimpi indah menjadi malam terburuk menyerupai neraka.

Air mata terus membasahi pipinya, mengalir deras mengikuti irama rintikan hujan. Menenggelamkan isakan tangis yang terlampau pilu atas kepergian seorang ibu yang baru saja ingin memperbaiki perannya.

Padahal, baru kemarin ia merasakan usapan sang mama.

Baru kemarin ia berbelanja dengan mama.

Baru kemarin ia merasakan bagaimana hangatnya pelukan sang mama, bahkan aroma tubuh wanita tersebut masih Laura ingat.

Semuanya terasa seperti fatamorgana. Angan-angan tentang rencana mereka untuk memulai kehidupan baru langsung luntur.

Semesta tampaknya suka untuk membuat Laura sendirian, tidak pernah mengizinkan dia bahagia untuk selamanya.

Sekeras apapun Laura menjerit, merasakan tenggorokannya sakit, mereka tidak pernah membuat ibunya bangun untuk mengabulkan janji-janji mereka selama ini.

“M-ma, bangun ....” Laura terisak, mengusap gundukan di mana sosok ibu dipeluk oleh Bumi, dibawa ke pangkuan Semesta, dan dinyanyikan oleh hening berselimut keabadian.

“M-ma, tolong bangun ... tolong hidup kembali, tolong penuhi janji untuk kembali ke Jakarta, Ma ... tolong, Laura mohon. Kembali ke sisi Laura sekarang, Ma.”

Napas Laura rasanya tercekik, tidak bisa menghembus dengan teratur lantaran isakan terus menyela di sana.

Selirih apapun isakan Laura yang terdengar pilu, selantang apapun dia yang menjerit, bersujud dalam tangis kepada Sang Semesta, mereka tidak pernah mendengarnya.

Tidak akan mau untuk membuatnya bangun.

Adelia terus tertidur, dalam damai lantaran sudah berhasil mengungkapkan semua penyesalannya.

Dan dalam keheningan, ketika orang-orang sudah kembali setelah ibunya dikebumikan, bahkan sang ayah sudah dibawa kembali pulang ke tempatnya, Laura masih tinggal di sana.

Dengan suara yang beradu oleh derasnya kelam hujan, Laura berbisik, “Mama gak pernah gagal melakukan perannya. Terima kasih udah lindungin Laura selama ini.”

Hallo

image

Hallo

image

Hallo

image

Hallo

Cosmic radiation