Write.as

Springbloomz_

##Malam 23.00

Suara bising, remang malam, serta-merta gemericik gerimis di luar sana, menampik hal itu berlaku serupa pada suasana di mobil saat ini.

Hening.

Benar-benar senyap. Bahkan Anggi rasa, detak jantungnya yang berdebar lebih cepat menjadi satu-satunya dentuman yang mengaku bila mereka masih hidup, meski keadaan mati layaknya pemakaman.

Harmoni langit di luar sana dengan nada rintik, sebatas iringan tak berguna. Tidak ada yang bersuara, tetapi Anggi tak tahu kenapa justru merasa nyaman.

Kediaman tanpa konversasi, akan dia sampaikan suatu saat pada dirinya di tahun 2013 untuk mengenangnya lekat. Bahwa bayangan akan punggung lebar yang selalu menjadi pandangan favoritnya, kini terealisasikan dengan pemuda itu yang akhirnya bisa di sampingnya.

Entah Anggi harus katakan butuh empat tahun atau justru sepuluh untuk bisa di titik ini, tetapi nominal tersebut tak ada apa-apanya.

Anggi bahagia.

Benar-benar bahagia sebatas dekat dengan Baskara yang kini radarnya menjadi lebih dekat dari terakhir kali ia ingat. Manifestasi rasa yang tak bisa Anggi ungkap lagi.

Ia menyukainya. Bau petrikor yang terlarut bersama wangi tubuh Baskara, jalan tol di daerah Sudirman, dinginnya malam bersatu oleh AC mobil, semuanya. Akan selamanya ia kenang.

“Bas.” Akhirnya, keheningan yang sedari tadi mengambil alih, lantas pecah pada Anggi yang menoleh.

“Capek, gak? Seharian ini lo kan ke luar? Gue aja yang nyetir, ya?” terang Anggi menatapnya khawatir. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Anggi memanyunkan bibirnya. Menghela napas kemudian menempelkan kepalanya pada jendela mobil.

“Bas.”

“Apaan?”

“Lo pernah gak ngerasain hari di mana lo bahagianya pake banget?”

Baskara mendengkus pelan. “Lo sendiri?”

“Pernah! Waktu gue akhirnya ngeliat muka papa, mama, dan Arya yang nyambut kehadiran gue di Madrid,” jelas Anggi pelan. “Tetapi itu gak berlangsung lama.”

“Kenapa?”

“Karena gue denger ....” Napas Anggi tercekat, merasa sesak karena begitu berat sekadar mengatakannya.

Baskara yang seolah paham, langsung tersenyum tipis. “Karena gue meninggal, ya?”

Anggi tertegun, meski perlahan mengangguk dengan matanya yang memerah. Mati-matian menahan tangis, meski pada akhirnya ia kalah. Buliran itu mengalir tanpa permisi. Buat Baskara yang melihatnya langsung terkekeh.

“Secinta mati itu ya lo sama gue?”

“YA IYALAH! Segala make nanya,” hardik Anggi ganas, meski Baskara lagi-lagi mengulum senyum tipis. “Bahkan, gue juga mau bilang kalau hari ini juga jadi rekor sejarah gue, Bas. Akhirnya gue bisa night drive sama lo seperti apa yang gue cita-citakan.”

Baskara tak kunjung menyahut, kedua tangannya memegang setir. Mencengkram erat sampai dengkusan remeh keluar dari mulutnya. Pemuda itu lantas menepikan mobil.

Tanpa harus laki-laki itu menoleh, tetapi Anggi bisa melihat raut pemuda itu yang sulit diartikan. Rahangnya tiba-tiba saja menegas. “Kalau lo tahu kehidupan asli gue yang jauh dari kata baik-baik aja, pasti lo bakal bilang gue menyedihkan.”

“Bas.”

“Gue udah bilang berulang kali sama lo, ‘kan? Gue gak suka lo, Gi. Keberadaan lo gak masuk akal. Di luar nalar. Tempat ini juga bukan tempat lo, Gi.”

“Baskara ....”

“Anggi, gue mohon.” Baskara menoleh. Menatapnya lekat dengan kedua netranya mematri tepat di kelereng hitam Anggi. “Tempat ini bahaya, Gi. Bukan berarti lo balik ke sini bakal aman-aman aja. Kenapa sih, lo ngelakuin hal nekat demi nyelametin gue? Gue gak pantes disukain sama—“

Anggi tiba-tiba saja menaruh tangannya di puncak surai Baskara. Mengelusnya pelan dan berulang kali melakukannya, sampai Baskara pun membisu.

“Lo hebat banget ya, Bas? Di tengah pusingnya kehidupan lo, masih sanggup buat ikutin organisasi. Ngeliat lo pulang malem demi rapat dan masih bisa bertahan sebagai mahasiswa kesayangan dosen karena pinter. Kalau bukan karena Januar, gue baru tahu kalau lo punya band kecil-kecilan bareng temen lo dan dapetin duit dari sana. Bahkan ketika dunia jahat sama lo, lo sebisa mungkin buat makan teratur, walaupun ngunyah aja kadang ogah-ogahan.”

Anggi tersenyum. Menepuk puncak Baskara lagi sembari terkekeh pelan. “Baskara anak baik. Bener-bener anak baik, anak pinter, juga ganteng. Itu semua karena mama lo, ‘kan?”

Baskara mengernyitkan alis. Raut wajahnya kini memerah. Menatap gadis di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

“Mama lo pasti bangga. Baskara kecil yang masih keliaran buat main bola di lapangan pasti bakal bangga karena kehidupan lo yang sekeren ini.”

“Jangan ngerasa lo gak pantes disukain, Bas. Mau kehidupan lo semenyedihkan apapun, itu gak nyangkal tentang fakta kalau gue beneran suka sama lo. Gue beneran sayang sama lo, Bas. Dari situ aja udah kelihatan kalau lo pantes buat bahagia dan disuka.”

Anggi mengelus punggung tangan Baskara yang kini menunduk. Perlahan merasa jemari besar pemuda itu menautkan di sela jarinya. Menggenggamnya erat sampai Anggi tersenyum tipis.

“Bahagia selalu ya, Bas? Apapun yang terjadi.”

“Ini fakultas gue sama si Babas. Gedungnya mah keliatan aja bagus, padahal AC alam yang lebih dingin ketimbang AC di kelas.” Saat ini, Januar seolah menjadi pemandu Anggi. Mengenalkan beberapa tempat pada gadis itu kalau suatu saat ia datang ke kampus dengan sendirinya. Bilangnya sih, “buat calon bininya Baskara wajib banget hapal,” meski berikutnya, terdengar rintihan kesakitan lantaran perut Januar jadi sasaran cubitan akibat Anggi yang tersipu malu.

“Di sini juga kantinnya mahal,” bisik Januar berikutnya, “tapi tenang, gue hari ini ngajakin lo makan di fakultasnya Tama. Hemat buat anak kosan.”

Anggi tergelak saat cowok itu kini menyengir bangga.

“Ini kanopi, pewe buat kerja kelompok karena adem. Itu bangku. Tahu bangku gak lo?”

“Tahu, lha!”

“Kali gak nemu di masa depan, siapa tau bangku di sana 2 in 1 bareng kulkas,” ledeknya sembari tertawa hambar. “Yang di sana taman. Tahu, gak? Itu tempat selalu jadi ajang putus.”

“Putus?” Anggi menaikkan alis bingung. Pasalnya, kalau dilihat sekilas, tempat itu seperti taman pada umumnya. Dengan pancuran air menenangkan di antara kebun-kebun bunga terawat. Malah bagi Anggi, ketimbang jadi tempat sakral dengan bilang ‘ajang putus’ justru terlihat tempat yang cocok untuk kasmara. Dengan keremangan lampu jalan di sana, akan terlihat romantis kalau di malam hari.

“Iya, gak tahu kenapa suka banget jadi ajang putus. Wisnu juga pernah putus sama mantannya di sini,” jelas Januar. “Noh, baru gue bilang. Udah ada yang putus aja.”

Anggi kontan mengikuti arah pandang Januar. Menemukan seorang pemuda yang kini memasukkan tangan di saku celana sementara gadis di hadapannya menunduk. Perawakan cowok itu terlihat familiar, bahkan Januar di sebelahnya menggumam pelan, “Mirip Baskara, dah.”

Dan sepertinya, dugaan gadis itu benar. Tepat beberapa sekon berikutnya, cowok itu melirik. Tampaknya, ia menyadari keberadaan Januar dan Anggi sekarang.

“Woi, Bas!” Januar hendak menghampiri, tetapi baru beberapa langkah, Anggi di sebelahnya langsung menahan lengan cowok itu.

“Lo mau ngapain?”

“Nyamperin?” jawab Januar yang terkesan malah balik nanya. Berikutnya, Januar mengerutkan dahinya pelan. “Tenang sih, Gi. Lo tau, ‘kan? Baskara gak percaya sama cewek.”

“Hah?”

“Lho? Lo gak tau?” tanya Januar. Untuk beberapa saat, Anggi menggeleng pelan, bikin Januar menghela napas.

“Gue mau ngasih tahu, tapi lebih baik Baskara cerita ke lo dengan sendirinya,” ujar Januar pelan, “intinya itu semua bermula karena mamanya.”

Mamanya ....

Anggi tertegun setelah mendengar penuturan Januar. Otaknya kosong. Pandangannya menerawang karena sulit beramsumsi apa yang sebenarnya terjadi pada Baskara.

Mengekori Januar di belakangnya, sampai Anggi tak sadar kalau sedari tadi Baskara memerhatikannya. Merasa aneh lantaran gadis di hadapannya itu menjadi diam. Tak ada reaksi heboh seperti biasanya yang bikin rungu laki-laki itu pengang karena ocehan Anggi tak ada henti.

Menjentikkan jari berulang kali tepat di mukanya, hingga netra hitam pekat gadis itu menatapnya lekat.

“Kesamber setan tahu rasa. Mikirin apa, sih?” protes Baskara sembari mengernyitkan alis.

“Enggak ....” Anggi menggeleng pelan, “Gue mikirin, acara pertunangan kita mending indoor apa outdoor.

Satu sudut birainya tertarik. Tersenyum jahil bikin Baskara bergidik geli. “Sarap.”

Terkekeh pelan, lantas Anggi merasakan ada tatapan intimidasi dari seseorang. Baskara yang sepertinya sadar akan hal itu kembali menoleh. Mendapati gadis tadi yang menatapnya lamat.

“Lo masih di sini?” Rahang Baskara tegas dengan intonasi nadanya yang terdengar ketus.

“Dia siapa?”

“Budek lo?” tanya Baskara.

“Dia cewek gue. Tunangan gue.”

“Ini fakultas gue sama si Babas. Gedungnya mah keliatan aja bagus, padahal AC alam yang lebih dingin ketimbang AC di kelas.” Saat ini, Januar seolah menjadi pemandu Anggi. Mengenalkan beberapa tempat pada gadis itu kalau suatu saat ia datang ke kampus dengan sendirinya. Bilangnya sih, “buat calon bininya Baskara wajib banget hapal,” meski berikutnya, terdengar rintihan kesakitan lantaran perut Januar jadi sasaran cubitan akibat Anggi yang tersipu malu.

“Di sini juga kantinnya mahal,” bisik Januar berikutnya, “tapi tenang, gue hari ini ngajakin lo makan di fakultasnya Tama. Hemat buat anak kosan.”

Anggi tergelak saat cowok itu kini menyengir bangga.

“Ini kanopi, pewe buat kerja kelompok karena adem. Itu bangku. Tahu bangku gak lo?”

“Tahu, lha!”

“Kali gak nemu di masa depan, siapa tau bangku di sana 2 in 1 bareng kulkas,” ledeknya sembari tertawa hambar. “Yang di sana taman. Tahu, gak? Itu tempat selalu jadi ajang putus.”

“Putus?” Anggi menaikkan alis bingung. Pasalnya, kalau dilihat sekilas, tempat itu seperti taman pada umumnya. Dengan pancuran air menenangkan di antara kebun-kebun bunga terawat. Malah bagi Anggi, ketimbang jadi tempat sakral dengan bilang ‘ajang putus’ justru terlihat tempat yang cocok untuk kasmara. Dengan keremangan lampu jalan di sana, akan terlihat romantis kalau di malam hari.

“Iya, gak tahu kenapa suka banget jadi ajang putus. Wisnu juga pernah putus sama mantannya di sini,” jelas Januar. “Noh, baru gue bilang. Udah ada yang putus aja.”

Anggi kontan mengikuti arah pandang Januar. Menemukan seorang pemuda yang kini memasukkan tangan di saku celana sementara gadis di hadapannya menunduk. Perawakan cowok itu terlihat familiar, bahkan Januar di sebelahnya menggumam pelan, “Mirip Baskara, dah.”

Dan sepertinya, dugaan gadis itu benar. Tepat beberapa sekon berikutnya, cowok itu melirik. Tampaknya, ia menyadari keberadaan Januar dan Anggi sekarang.

“Woi, Bas!” Januar menghampiri, sementara Anggi menahannya.

“Lo mau ngapain?”

“Nyamperin?” jawab Januar yang terkesan malah balik nanya. Berikutnya, Januar mengerutkan dahinya pelan. “Tenang sih, Gi. Lo tau, ‘kan? Baskara gak demen cewek.”

“Hah?”

“Lho? Lo gak tau?” tanya Januar. “Baskara sempet trauma karena mamanya.”

Satu yang Anggi sadari kalau hidupnya sebentar lagi akan berujung kiamat adalah ditatap Baskara dengan raut sulit dimengerti.

Anggi sebisa mungkin untuk bersikap normal, ketika Wisnu dan Tama menghampirinya sembari mengambil koper dan sebungkus makanan di tangan gadis itu. Sang puan lantas mengekor di belakang Wisnu untuk menyiapkan piring, sementara Tama di sebelahnya tersenyum tipis, ”Serem ya, Gi?”

Dianggukan kepala perlahan, sekali lagi bikin Tama tertawa renyah.

“Santai aja sih, sama Baskara. Awalnya emang dia bodo amatan, tapi sebenarnya juga khawatir sama lo. Nyaris tiap hari nanya orang di rumah mulu. ‘Anggi udah pulang belum’ atau ‘kalau Anggi udah pulang, kabarin’ gitu-gitu, deh,” jelas Tama sambil berbisik.

“Udah gih, sono lo ketemu Baskara. Anaknya frustasi noh, karena marah mulu.” Wisnu menyenggolnya yang terdiam selama beberapa saat, sempat ragu meski pada akhirnya dia menghampiri Baskara yang kini sibuk mengerjakan tugas di ruang tengah.

“Bas?” Tak ada sahutan pada mulanya, buat Anggi menghela napas lalu duduk di sofa dekat cowok itu.

Anggi menantikan untuk sekadar lirikan Baskara sebagai jawaban dari panggilannya, tetapi ia tak kunjung menjawab. Memainkan tangan dengan menautkan di sela-sela, sampai akhirnya Baskara menghela napas gusar.

“Lo ke mana?”

“Ke masa depan.”

Baskara mengernyit, netranya menatap tajam seolah menuntut jawaban.

“G-gue ... gak sengaja mencet tombol merah ini. Di sana juga, ada keperluan yang mendadak harus diselesain. Jadi maaf.” Anggi menunduk pelan, walau dia berbohong pada akhirnya.

Tak mungkin kan, dia mengaku pada Baskara kalau alasan ia memencet tombol merah karena takut?

Lamat dirundung kecangguan, Anggi pada akhirnya mendongak perlahan. Sejenak memperhatikan Baskara yang kini menghela napas ... lega?

“Maaf.”

Membelalakan mata, gadis itu menatap Baskara tak percaya. Satu kata sakral yang tak disangka bisa diloloskan dari birai pemuda itu. Anggi terkekeh bikin cowok itu memandangnya sinis. “Kenapa? Aneh emangnya?”

“Enggak.” Mengulum senyum, kini gadis itu mendekat pada Baskara. “Kenapa minta maaf, Bas?”

“Minta maaf karena ninggalin gue, ya? Apa gue harus ngilang dulu biar bisa dicariin?” Kedip Anggi bermaksud menggoda Baskara yang kini menatap tak suka.

“Gak lo, gak Januar. Sama-sama gila.”

“Gila karena lo sih, gapapa ‘kan?”

“Sinting.” Baskara mendorong wajah gadis itu dengan bukunya, kabur dari Anggi ke kamar, sementara ia terbahak-bahak.

Selepasnya, bermaksud untuk membantu Wisnu dan Tama di dapur, langkah Anggi sempat terhenti karena pesan masuk dari seseorang.

Baskara |sorry bikin lo takut. 18.40

Gadis itu menatap ponselnya dalam beberapa saat. Takut-takut karena salah baca. Namun, berulang kali keluar-masuk dari aplikasi itu, pesan yang dikirimkan Baskara tak berubah.

Senyum tercetak jelas dari raut gadis itu. Perlahan, dadanya menghangat.

Baru saja ia mengetikkan sesuatu di sana, tahu-tahu saja pesan tadi kembali berubah.

Baskara |This message was deleted

“KOK DI-UNSENT SIH?”

Satu yang Anggi sadari kalau hidupnya sebentar lagi akan berujung kiamat adalah ditatap Baskara dengan raut sulit dimengerti.

Anggi sebisa mungkin untuk bersikap normal, ketika Wisnu dan Tama menghampirinya sembari mengambil koper dan sebungkus makanan di tangan gadis itu. Sang puan lantas mengekor di belakang Wisnu untuk menyiapkan piring, sementara Tama di sebelahnya tersenyum tipis, *”Serem ya, Gi?”

Dianggukan kepala perlahan, sekali lagi bikin Tama tertawa renyah.

“Santai aja sih, sama Baskara. Awalnya emang dia bodo amatan, tapi sebenarnya juga khawatir sama lo. Nyaris tiap hari nanya orang di rumah mulu. ‘Anggi udah pulang belum’ atau ‘kalau Anggi udah pulang, kabarin’ gitu-gitu, deh,” jelas Tama sambil berbisik.

“Udah gih, sono lo ketemu Baskara. Anaknya frustasi noh, karena marah mulu.” Wisnu menyenggolnya yang terdiam selama beberapa saat, sempat ragu meski pada akhirnya dia menghampiri Baskara yang kini sibuk mengerjakan tugas di ruang tengah.

“Bas?” Tak ada sahutan pada mulanya, buat Anggi menghela napas lalu duduk di sofa dekat cowok itu.

Anggi menantikan untuk sekadar lirikan Baskara sebagai jawaban dari panggilannya, tetapi ia tak kunjung menjawab. Memainkan tangan dengan menautkan di sela-sela, sampai akhirnya Baskara menghela napas gusar.

“Lo ke mana?”

“Ke masa depan.”

Baskara mengernyit, netranya menatap tajam seolah menuntut jawaban.

“G-gue ... gak sengaja mencet tombol merah ini. Di sana juga, ada keperluan yang mendadak harus diselesain. Jadi maaf.” Anggi menunduk pelan, walau dia berbohong pada akhirnya.

Tak mungkin kan, dia mengaku pada Baskara kalau alasan ia memencet tombol merah karena takut?

Lamat dirundung kecangguan, Anggi pada akhirnya mendongak perlahan. Sejenak memperhatikan Baskara yang kini menghela napas ... lega?

“Maaf.”

Membelalakan mata, gadis itu menatap Baskara tak percaya. Satu kata sakral yang tak disangka bisa diloloskan dari birai pemuda itu. Anggi terkekeh bikin cowok itu memandangnya sinis. “Kenapa? Aneh emangnya?”

“Enggak.” Mengulum senyum, kini gadis itu mendekat pada Baskara. “Kenapa minta maaf, Bas?”

“Minta maaf karena ninggalin gue, ya? Apa gue harus ngilang dulu biar bisa dicariin?” Kedip Anggi bermaksud menggoda Baskara yang kini menatap tak suka.

“Gak lo, gak Januar. Sama-sama gila.”

“Gila karena lo sih, gapapa ‘kan?”

“Sinting.” Baskara mendorong wajah gadis itu dengan bukunya, kabur dari Anggi ke kamar, sementara ia terbahak-bahak.

Selepasnya, bermaksud untuk membantu Wisnu dan Tama di dapur, langkah Anggi sempat terhenti karena pesan masuk dari seseorang.

Baskara |sorry bikin lo takut. 18.40

Gadis itu menatap ponselnya dalam beberapa saat. Takut-takut karena salah baca. Namun, berulang kali keluar-masuk dari aplikasi itu, pesan yang dikirimkan Baskara tak berubah.

Senyum tercetak jelas dari raut gadis itu. Perlahan, dadanya menghangat.

Baru saja ia mengetikkan sesuatu di sana, tahu-tahu saja pesan tadi kembali berubah.

Baskara |This message was deleted

“KOK DI-UNSENT SIH?”

Barangkali, ini terdengar konyol dan tak masuk akal. Baknya sebuah mimpi, satu insan yang bisa membuat Arya seperti orang gila itu tiba-tiba saja hadir.

Kalau bukan karena Anggi, Arya mana pernah berlarian seperti seorang atlet yang menembus keramaian.

Kalau bukan karena Anggi, jantung Arya tak pernah seakan mencelos pada tempatnya, ketika menemukan seorang gadis memberikan cengiran tanpa dosa. Dengan entengnya, Anggi langsung melambaikan tangan sembari memakan satu suapan sandwich kemudian bilang, “Dih, Arya? Masih jelek aja lo.”

Arya berjalan dengan tergesa-gesa. Langkah yang diambilnya lebar dengan raut penuh tanya. “Lo ngapain di sini?”

“Makan. Gue laper.”

“Serius, Anggi!”

“Ih, kok gak percaya, sih? Gue beneran laper, Aryaaa.” Anggi sengaja memanjangkan nadanya karena kesal. “Gue laper, terus gak sengaja pencet tombol merah, deh,” jelas Anggi sambil menunjuk gelang dengan dagunya.

Agaknya, Arya merasa kurang yakin, tetapi begitu melihat Mahesa meminta penjelasan, cowok lebih muda darinya itu mengangguk. “Gue tadi dapet sinyal dari Anggi karena dia pencet tombol merah, Bang. Makanya gue langsung tarik dia ke sini.”

Arya menghela napas, kemudian menatap Anggi dari atas sampai bawah. “Lo lagi gak berantem sama Baskara, ‘kan?”

Anggi untuk beberapa saat terdiam. Sikapnya itu memunculkan kecurigaan bikin Arya ikutan menelengkan kepala, menelisik lebih jauh tentang apa yang Anggi pikirkan.

Namun, ditatap seperti itu tidak menumbuhkan keharusan Anggi untuk menjawab. Gadis itu justru merebut semangka di tangan Esa bikinnya sebal.

“Gak kok.”

“Bohong.”

“Serius.”

“Kalau bohong?”

“Mall atas nama gue yang di Kalimantan buat lo.”

“OKAY! DEAL

Mahesa melongo, menggaruk kepalanya sembari mengecek sisa uang di dompetnya.

“Nemu duit gocap di kantong aja, gue berasa dapet harta karun, anjir,” gumamnya pelan sembari menjauh. Sungguh menguji kementalannya kalau mendengar dua anak ini adu harta lebih lanjut.

Arya kembali melipatkan tangan di depan dada sembari bergumam, “Harusnya gue gak buat mesin waktu pas itu.”

“Emang mau bikin apaan?”

“Bikin mesin yang bisa pahamin pikiran dan perasaan cewek aja. Pikiran dan hati lo tuh rumit, lebih susah dari soal kalkulus.”

Anggi mendengkus. “Ya udah, lo pake nih mesin waktu, bilang ke arya masa lalu, buat ubah konsep ke mesin yang bisa baca pikiran.”

“Terus, lo gak bisa selametin Baskara, deh.”

“Omongan lo.” Anggi menoyor pipi Arya, bikin keduanya terkekeh.

“Lo belum makan, ‘kan? Mau ke resto favorit kita, gak?” tawar Arya bikin Anggi berseru.

“Mau! Di sana belum buka restorannya, ih.”

“Yaudah, ayo. Sekalian lo tes tekanan darah.”

“Buat?”

“Ngecek efek sampingnya aja.”

“Okay!”

Anggi tersenyum menatap bahu lebar Arya yang berjalan mendahuluinya. Laki-laki itu memang tahu bagaimana caranya membuat dirinya nyaman. Merasakan gadis itu untuk selalu aman.

Padahal, alasan sebenarnya ia menekan tombol merah bukan sebatas lapar. Ia menekannya karena takut.

Takut sendirian sehabis ditinggal Baskara.

Takut berada di dunia yang masih terasa asing baginya.

Kalau saja Arya tahu, mungkin cowok itu akan bersikeras melupakan soal dirinya yang menyelamati Baskara atau buruknya melaporkan kepada ayah.

Andai gue bisa, Ya. Andai gue egois lalu mengesampingkan diri lo, mungkin perasaan itu sampai sekarang masih ada.

Barangkali, ini terdengar konyol dan tak masuk akal. Baknya sebuah mimpi, satu insan yang bisa membuat Arya seperti orang gila itu tiba-tiba saja hadir.

Kalau bukan karena Anggi, Arya mana pernah berlarian seperti seorang atlet yang menembus keramaian.

Kalau bukan karena Anggi, jantung Arya tak pernah seakan mencelos pada tempatnya, ketika menemukan seorang gadis memberikan cengiran tanpa dosa. Dengan entengnya, Anggi langsung melambaikan tangan sembari menyuap satu suapan sandwich kemudian bilang, “Dih, Arya? Masih jelek aja lo.”

Arya berjalan dengan tergesa-gesa. Langkah yang diambilnya lebar dengan raut penuh tanya. “Lo ngapain di sini?”

“Makan. Gue laper.”

“Serius, Anggi!”

“Ih, kok gak percaya, sih? Gue beneran laper, Aryaaa.” Anggi sengaja memanjangkan nadanya karena kesal. “Gue laper, terus gak sengaja pencet tombol merah, deh,” jelas Anggi sambil menunjuk gelang dengan dagunya.

Agaknya, Arya merasa kurang yakin, tetapi begitu melihat Mahesa meminta penjelasan, cowok lebih muda darinya itu mengangguk. “Gue tadi dapet sinyal dari Anggi karena dia pencet tombol merah, makanya gue langsung tarik dia ke sini.”

Arya menghela napas, kemudian menatap Anggi dari atas sampai bawah. “Lo lagi gak berantem sama Baskara, ‘kan?”

Anggi untuk beberapa saat terdiam. Sikapnya itu memunculkan kecurigaan bikin Arya ikutan menelengkan kepala, menelisik lebih jauh tentang apa yang Anggi pikirkan.

“Harusnya gue gak buat mesin waktu,” gumam Arya sembari melipatkan tangan di depan dada.

“Terus?”

“Harusnya gue bikin mesin yang bisa pahamin pikiran dan perasaan cewek aja. Pikiran dan hati lo tuh rumit, lebih susah dari soal kalkulus.”

Anggi mendengkus. “Ya udah, lo pake nih mesin waktu, bilang ke arya masa lalu, buat ubah konsep ke mesin yang bisa baca pikiran.”

“Terus, lo gak bisa selametin Baskara, deh.”

“Omongan lo.” Anggi menoyor pipi Arya, bikin keduanya terkekeh.

“Lo belum makan, ‘kan? Mau ke resto favorit kita?” tawar Arya bikin Anggi berseru.

“Mau! Di sana belum buka restorannya.”

“Yaudah, ayo. Sekalian lo tes tekanan darah.”

“Okay!”

Anggi tersenyum menatap bahu lebar Arya yang berjalan mendahuluinya. Laki-laki itu memang tahu bagaimana caranya membuat dirinya nyaman. Merasakan gadis itu untuk selalu aman.

Padahal, alasan sebenarnya ia menekan tombol merah bukan sebatas lapar. Ia menekannya karena takut.

Takut sendirian sehabis ditinggal Baskara.

Takut berada di dunia yang masih terasa asing

Kalau saja Arya tahu, mungkin cowok itu akan bersikeras melupakan soal dirinya yang menyelamati Baskara atau buruknya melaporkan kepada ayah.

Andai gue bisa, Ya. Andai gue egois lalu mengesampingkan diri lo, mungkin perasaan itu sampai sekarang masih ada.

Laura menaikkan alis ketika mendengar suara ketukan pintu dari arah luar apartemen kamar. Ia tertawa samar, menyiapkan segala godaan yang diluncurkan pada pria yang sudah menyambet lima tahun sebagai kekasihnya itu.

Dengan cengiran, sang puan membuka pintu. Melihat Jeffrey mengenakan baju hoodie hitam dan surai yang sedikit basah.

“Lho? Sempet pulang dulu?” tanya Laura begitu Jeffrey sepenuhnya masuk ke ruangan yang tidak bisa dibilang besar maupun kecil itu.

“Badan sempet lengket tadi, mau mandi di kantor, tapi lupa bawa baju,” katanya lalu menaruh bungkusan plastik di atas kitchen bar counter.

“Jadinya beli apa?” tanyanya.

“Gak tahu,” jawab laki-laki itu cuek lalu duduk di sofa kemudian menyalakan televisi.

“Hah? Gimana ceritanya? Kamu mesennya gimana emang?”

“Ya, gitu.”

“Gitu gimana?”

“Aku nanya ke abangnya, ‘Bang, lagi laper, gak?’ dia awalnya bingung kali ya, terus langsung kusahut, ‘Saya pesen makanan yang Abang lagi kepengen dimakan, ya.’ Terus udah, deh. Aku tinggal ke luar mau beli minum.”

Laura yang mendengarnya lantas menganga. Bingung dengan pikiran ajaib sang kekasih. Walaupun ini bukan sekali ia dikejutkan oleh sifat luar biasanya Jeffrey, tapi tetap saja, pemikiran konyolnya itu kadang tidak bisa ditoleransi sama sekali.

Maka, gadis itu menghela napas sembari merotasikan netra hitam. Sedikit menelisik pada bungkusan yang ternyata cah sapi cabai ijo.

“Kamu tuh bisa-bisanya ngerjain abangnya, ya. Ada gitu pikirannya ngomong gitu ke penjual.” Laura mendecak kemudian menggeleng kepala berulang kali.

“Ya semua itu kan, mulainya dari kamu yang bilang ‘terserah’. Coba kalau langsung ngasih tau apa jawabannya, pasti gak bakal begini,” sahut pemuda itu tidak mau mengalah.

Laura berkacak pinggang, menghentakkan kakinya gemas. “Nyebelin, ih.”

“Nyibilin, ih,” sahut Jeffrey mengikuti cara bicaranya dengan wajah tengil.

“Gak usah ikut-ikut.”

“Gik isih ikit-ikit.”

“Kak!”

“Kik!”

“Jeffrey!”

“Jiffriy!”

“Mas!”

“M—“

Pemuda itu terdiam. Bikin Laura langsung tergelak dalam seketika, bahkan ketika telinga sang adam kelewat jujur lantaran lama kelamaan memerah, meski Jeffrey sebisa mungkin menahan malu, tawa masih berderai di birai gadis itu.

Tidak bisa dipungkiri lagi, walau Jeffrey seolah bertingkah tidak peduli dengan menekuk wajah kelewat cuek, diam-diam ia akan memperhatikan sekitar.

Dan itu alasan kenapa Laura merasa selalu aman di sekitar pemuda itu.

Suara senandungan lagu yang entah berjudul apa begitu memenuhi rumah tersebut. Sebenarnya, dibilang senandung juga bukan karena itu lebih mirip dendangan.

Pemuda tersebut yang memiliki jadwal kelas pagi sedikit merinding. Namun, cepat-cepat ia menyadari bahwa kemarin kosan khusus cowok ini malah kedatangan seorang cewek.

Baskara dengan surai hitam berantakan baknya rambut megar singa dan handuk yang disampirkan di bahu sedikit mengernyitkan alis. Melihat punggung kecil tersebut yang berada di dalam dapur.

Sadar akan dilihat, Anggi langsung menoleh. Bikin Baskara langsung melengos.

“Selamat pagi, Baskara.”

Dan Baskara hanya merotasikan netra hitamnya.

“Ada jadwal pagi, Bas? Mau buatin bekel, gak?”

“Bukan urusan lo dan lo gak usah sok peduli,” decih Baskara kemudian menghela napas, berkacak pinggang dan menatap gadis itu tidak suka.“Mau sampai kapan lo di sini?”

“Sampai Semesta mengizinkan kamu hidup, Bas.”

Dan untuk kesekian kalinya Baskara mendengus. Tersenyum tipis dan tiba-tiba matanya memerah. “Lo gak perlu ngelawan mereka, Gi. Buang-buang tenaga tahu, gak? Ada enggaknya lo itu gak bakal ngubah apa-apa karena dari dulu gue emang mau pergi.

“Asal lo tahu, takdir gak sebercanda itu dan Semesta gak bisa lo anggap remeh, Gi. Mereka dari dulu emang kejam.”

Anggi sedikit terperangah, begitu menatap sekitar. Kala kakinya menapak pada tanah penuh kerikil, semerbak bau petrikor memenuhi ruang indera penciumannya, kentara sekali bahwa beberapa jam lalu langit telah berbondong-bondong menunjukkan panggung kuasanya.

Netra hitam rada kecoklatan itu mulai jelalatan memindai. Tampak familiar, ditambah dinding coretan penuh dengan mural yang dilukiskan di sana, semakin gadis itu yakin.

Bahwa kini, kakinya berpijak pada jalan tikus menuju sekolahnya sewaktu duduk di bangku menengah atas dulu.

Tiba-tiba saja dadanya bergemuruh. Sedikit tersenyum tipis lantaran ia ditenggelamkan dalam manifestasi rasa tentang memori yang membuatnya mengenang akan masa lalu.

Momen di mana ia belum sepenuhnya menghabiskan masa remaja yang sering dihebohkan orang-orang.

Lantas, kakinya perlahan memasuki pekarangan sekolah.

Melewati tiap lorong, tangga, ruang, hingga ia memasuki kelas. Gadis itu menghirup napas dalam-dalam, mencium bau yang sekiranya bisa membuatnya semakin tenggelam.

Dengan pelan, ia berjalan menuju bangkunya dahulu. Selalu berada di pojok dekat jendela karena gadis itu menyukai bagaimana angin selalu menggelitiknya.

Anggi ingat, betapa ia memekik kegirangan lantaran ia akhirnya bisa sekelas pada laki-laki itu. Seseorang yang sudah ada di hatinya ketika menginjak kelas sepuluh.

Masih terekam jelas dalam benaknya, bagaimana di pertengahan tahun 2015, gadis itu jadi sulit melunturkan senyuman ketika melihat punggung tersebut akhirnya selangkah lebih dekat untuk berada dalam radarnya.

Meskipun sebatas bagian belakangnya, tapi gadis itu selalu menyukainya.

Dan si pemilik punggung tersebut selalu mengisi tempat hatinya hingga kapan pun.

Baskara tetap di sana.

Mengunci di hati.

Juga bersemayam di pikiran.

Memikirkan eksistensi laki-laki tersebut, bikin Anggi merasa sesak. Matanya kini membendung linangan, mendesak untuk segera dikeluarkan sampai tenggorokannya sulit bernapas dengan normal.

“Baskara ...,” lirih Anggi kemudian duduk di tempatnya. Menatap meja nomor dua dari depan, membayangkan punggung lebar laki-laki tersebut juga ada di sana. “Kita belum ngabisin satu pun kepingan bahagia, Bas. Aku bahkan belum pernah bicara tentang perasaanku ke kamu, belum pernah ngeliat kamu ketawa, bahkan belum pernah ngerasain ditatap tulus sama kamu, Bas.

“Baskara, bisa kamu kembali?” Di tengah bisikannya itu, seseorang tiba-tiba saja membuka pintu.

Anggi buru-buru menghapus air matanya. Malu karena ketahuan oleh orang asing di saat ia berada di kondisi kacau seperti ini.

“Eh, sorry-sorry. Gue gak tahu kalau ada orang juga di sini,” katanya.

Sesaat, Anggi tertegun. Merasa familiar dengan vokal rendahnya yang selalu terekam jelas dalam benaknya. Buru-buru, gadis itu menoleh. Melihat laki-laki tersebut yang kini memberikan punggung, hendak menutup pintu.

Baknya sebuah kembang api, harapan tiba-tiba saja meletup di jantungnya. Merasakan sensasi berdesis di darahnya, lantaran ia tiba-tiba saja membuat sebuah asa di sana.

Gadis itu langsung berdiri. Mengambil setiap langkah dengan cemas, meski birainya sudah kaku untuk bicara.

“Bas?” panggil Anggi. Laki-laki itu tersebut langsung menoleh, menaikkan alisnya bertanya-tanya.

“Ya?” tanyanya. Anggi tidak mampu lagi berpikiran logis, sebab apa yang selanjutnya terjadi adalah bahwa gadis itu kini menangis sembari berlari untuk memeluknya.

Sedikit berjinjit untuk bisa meraih tengkuk lehernya. Menangis sejadi-jadinya lantaran ia begitu merindukan sosoknya.

Mengeluarkan segala perih di relung terdalam, lantaran di tahunnya, di masa-masa itu, Baskara sudah lama dikembalikan pada pangkuan Semesta.

Ia telah dipeluk oleh bumi.

Baskara yang tak pernah menjadi miliknya, sudah pergi sejak lama.