Write.as

Springbloomz_

Pasca mendengar cerita sang ibu dan membuat gadis tersebut ikut tenggelam dalam memori yang kini kembali hadir setelah sekian lama berdebu dan bersarang, pikirannya lantas langsung kosong.

Terlalu blank dengan semua takdir yang rasanya begitu konyol ia terima. Nyatanya memang benar, bahwa papa tidak pernah suka dengan gadis itu.

Adelia terus memegang tangan Laura, membuat gadis itu untuk segera tenang tentang korekan luka yang kembali terbuka.

Wanita tersebut sesekali menanyakan ini-itu. Bertanya mengenai kehidupan kuliahnya, pertemanannya, dan tentang ia yang tinggal dengan kosan yang mayoritasnya laki-laki.

“Gak ada yang jahilin kamu kan, Kak?” tanya Adelia.

Laura langsung tersenyum tipis kemudian menggeleng. “Gak ada, kok. Mereka baik ke Laura, walaupun berisik, sih. Ya tapi kalau setiap pulang, pasti pada nanyain udah makan apa belum. Lagipula, setiap akhir bulan ada pacarnya Kak Zia yang selalu bawain makanan.”

Laura terkekeh saat Adelia mengelus kepalanya. Membuat gadis itu bisa saja menangis, sebab ini untuk pertama kalinya dia mendapatkan perlakuan sehangat ini.

“Masalah finansialmu?”

“Mamanya Lucas yang bayarin selama ini, termasuk uang kuliahnya,” terangnya. “Oh iya, dia juga pemilik kosan ini, makanya Laura digratisin.”

Adelia kembali mengukir senyuman tipis. “Maafin mama ya, Kak.”

“Gak apa-apa, Ma! Astaga, Laura udah bilang berapa kali, sih?”

Kemudian obrolan kembali larut, Adelia sebisa mungkin untuk membuat Laura melupakan dengan cerita kelam waktu silam. Lantas, di tengah konversasi singkat mereka, netra hitamnya melirik arloji. “Ah, mama pulang dulu, ya.”

“Hah? Pulang?”

“Mama pulang sebentar ke rumah orangtua mama, nanti balik lagi ke sini buat ngangkut barang sebelum rumah disita,” terangnya. Lantas, meski sedikit tidak rela, Laura mengangguk.

Keduanya lalu menuruni tangga, melihat sekumpulan remaja yang berada di ruang tengah dengan posisi santai mereka. Laura sedikit melirik, melihat Dewa yang langsung berdiri dengan kaku diikuti pula dengan yang lain begitu menyadari presensi ibu dan anak itu.

“Eh? Udah mau pulang nih, Tan?” Aji menyahut dan dibalas dengan senyuman tipis oleh Adelia.

“Kirain lebih lama nangis-nangisnya.” Candaan dari Theo itu langsung membuat semuanya mendesis, bikin Adeli maupun Laura langsung tersenyum canggung.

“Jangan pulang dulu lha, Tan. Masa ninggalin kita begini doang. Bikinin kita makanan dulu lha, Tan. Anak kosan lagi laper ini. Apalagi udah sekarat dompetnya.” Dan lagi-lagi desisan itu kembali bersuara ketika mendengar timpalan Bumi.

“Eh, iya juga, sih.”

“Eh, Tan! Jangan gitu, Bumi cuman bercanda doang, kok!” Satria bersuara, sementara Bumi langsung menyengir bangga.

“Nah, kalau Tante gak keberatan sih, gak masalah, hehehe.”

“BUMI!”

“Apaan, sih? Awas aja lo ye, kalau ikutan makan.”

Adelia hanya tertawa-tawa dengan keributan sekumpulan remaja tersebut, sementara Dewa di sana hanya terkekeh kecil, sesekali mencuri untuk melirik Laura dan tak jarang tatapan mereka beradu. Bikin Dewa langsung berdeham dan mengalihkan pandangan.

“Yaudah, tante bikinin dulu. Di sini ada pasar, kan?” tanya Adelia, dijawab dengan anggukan. “Kak, anterin mama ayo.”

“Hah? Eh iya, ayo.” Laura tergagap kemudian tersenyum.

Satu dari impiannya selama ini adalah pergi berbelanja dengan ibunya.

Melihat kedua perawakan tersebut yang pergi, Bumi langsung menghela napas kemudian tersenyum.

“Nah, ini maksud gue, Bro. Biarin mereka ngabisin banyak waktu dulu berdua. Kapan lagi ya, kan?”

Seketika semuanya jadi ikut mengangguk dengan ide gemerlang Bumi.

Tumben.

Pikir mereka begitu.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ketika Laura masih tinggal di rumah nenek sebelum pindah ke samping rumah Dewa, Laura merasa jika dari dulu ia tidak pernah diperhatikan dari kedua orang tuanya.

Sejak awal, papa tidak pernah bersikap adil pada Laura. Memiliki presepsi bahwa kakak selalu mengalah.

Mengalah ini-itu, hingga ia tidak tahu kapan Laura bisa menang dari Luna.

Namun, cuman satu orang yang pernah memperlakukannya demikian. Hanya neneknya yang memperlakukan begitu. Memberikan permen lebih banyak dari Luna dan selalu memeluknya setiap ia yang pergi atau pun pulang untuk menemui sekawanannya di panti jompo.

Ia kira, kebahagiannya akan berlangsung lama, tidak sebelum tragedi mengerikan tersebut muncul. Merengut waktu kehidupan neneknya dan mereka membawa presensi neneknya dikebumikan dan dikembalikan dalam pangkuan semesta.

Tatapan yang biasa tajam dari sorot mata ayahnya, kini semakin memancarkan kebengisan waktu melihat Laura kecil muncul di sana. Pria tersebut menghancurkan benda berkaca di hadapan Laura, membuat sosok itu semakin takut.

Bulu kudung Laura langsung berdiri, kilasan memori mengerikan kala itu pun langsung berhamburan seolah-olah zombie tengah menggerogoti dan menghantui pikirannya tanpa ampun.

Sampai ia tahu bahwa setiap kepulangan ayahnya dari kantor, laki-laki itu akan melakukan demikian pada Laura, maka gadis cilik itu memanggil Luna. Membawa adiknya masuk ke dalam gudang tanpa menjelaskan apa pun. Menguncinya di dalam, padahal ia tidak ingin kembarannya merasakan demikian. Tidak ingin melihat bahwa ayahnya cerminan nyata dari sosok iblis yang sebenarnya.

Hingga tiba di suatu hari, ketika mesin kendaraan ayahnya mulai terdengar, Laura buru-buru memasukkan Luna ke dalam gudang. Tidak sadar jika adiknya mulai takut dengan ruang sempit nan gelap tersebut.

“Kak,” cicit Luna dengan peluh yang sudah membanjiri. Tanpa sempat menjelaskan, Laura langsung menutup pintu dan mulai terdengar pukulan tangan yang minta dikeluarkan, tetapi perempuan itu sudah keburu turun dan melihat ayahnya berdiri di sana dengan sepeda kecil.

Padahal, Laura pernah meminta neneknya untuk membelikan sepeda tersebut, tetapi papa bilang, “Mana Luna? Papa beliin sepeda buat dia.”

Anak kecil itu lantas merasa cemburu. Iri dan tidak bisa menyembunyikan betapa kecewanya ia atas perlakuan pria yang merupakan ayah kandungnya sendiri.

“Kenapa Luna yang dibeliin? Mana buat kakak?” tanya Laura dengan pandangan bingung.

“Kak, ngalah sebentar, ya? Laura kan kakak, nanti mama beliin yang lebih—“

“ADELIA!”

Adel terhenyak. Langsung mengurung di belakangnya. Dan di keadaan hening tersebut, masih terdengar suara Luna di sana yang minta dikeluarkan dari tempat terkutuk tersebut.

“Luna di mana, Ra?” tanya Haris, nama pria tersebut. Namun, Laura tidak langsung menjawab dan hanya menunduk, semakin membuatnya naik pitam.

“ADRIANNA LAURA!”

“D-di gudang,” cicitnya dan dengan langkah lebar, pria tersebut langsung berlari ke arah gudang. Menemukan Luna di sana yang nyaris sekarat dengan tubuh meringkuk kedinginan.

Haris lantas memeluk tubuh ringkih Luna, membawanya dalam dekapan sekaligus berusaha untuk membangunkan Luna. Adelia jelas langsung kaget, membawa selimut dan membungkus anak kecil itu yang berada diambang kematian.

Jelas, Laura tidak tahu kalau Luna bisa sekarat. Benar-benar berada di luar praduganya, hingga matanya membendung karena merasa bersalah.

“Pa—“

Seolah adegan yang begitu cepat, Haris nyaris melayangkan tamparan di pipi Laura kalau saja Adelia tidak langsung menghentikannya.

“MAS!” Adelia berteriak dengan mata ikutan memanas. “Jangan pernah mukul anak kamu, Mas! Itu darah daging kamu—“

“MANA SUDI SAYA!” Urat lehernya menonjol dengan rahang menegas. Haris benar-benar menatap marah gadis tersebut yang masih shock dengan apa yang baru saja terjadi.

Laura keburu kecewa kemudian menangis. “KENAPA LUNA YANG DILAHIRKAN? KENAPA LAURA JUGA DILAHIRIN SAMA KALIAN?”

Jeritan gadis itu terdengar pilu, tidak kuasa untuk tidak menahan tangis. “Kenapa Luna yang harus jadi adik? Kenapa Laura yang harus jadi kakaknya? PADAHAL LAURA HIDUP BUKAN UNTUK DINOMORDUAKAN? KENAPA GAK LAURA AJA YANG MATI WAKTU ITU!”

Dan seketika, sebelum Haris menyentuh Laura kecil, Adelia langsung mengantarkan gadis itu ke dalam pelukannya. Membiarkan rungunya pengang lantaran jeritan Laura semakin menjadi.

Haris terus memaksa Adelia, tetapi wanita tersebut tidak membiarkan Laura disentuh sama sekali.

“Aku mohon, jangan pernah sentuh Laura sedikit pun, Mas! Jangan sakitin anakmu sendiri! Jangan pernah pecahin kaca di depan Laura! Jangan pernah sama sekali!” Adelia menangis, merintih untuk meminta permohonan sembari terus mengeratkan pelukannya pada Laura yang sudah tidak sehisteris tadi.

“Kalau kamu kabulkan, aku siap kalau kamu nyuruh aku buat gak pernah peduliin Laura kayak apa yang kamu lakukan.”

“Mama udah denger dari Dewa tentang Luna, Kak.”

Laura tertegun sebentar ketika dua nama tersebut diucapkan dari birainya. Tangan gadis itu yang hendak meraih gelas langsung terhenti. Terdiam seribu bahasa tanpa berniat untuk menyela sedikit pun.

Mata sembab yang memerah kentara sekali di keduanya, bahkan hidung sang puan masih mampet atas apa yang baru saja terjadi. Tentang dua insan yang tertekan dan memendam semuanya seorang diri akhirnya berhasil mengutarakan isi hati.

Sejak awal, gadis itu tahu jika papa terlalu membenci dirinya lantaran pria tersebut masih belum menerima atas Laura yang selamat ketimbang sang ibu dari kecelakaan menimpa beberapa tahun silam. Laura juga tahu bahwa ayahnya tidak pernah memaafkan barang sedikit pun, bahkan semua itu semakin bengis ketika Laura mengunci Luna di dalam gudang.

Namun, Laura tidak tahu bahwa mamanya tetap di sana untuk memberikan kasih. Ia tidak tahu bahwa selama ini dia juga diperlakukan yang sama seperti saudara kembarnya, meski tidak dipertunjukkan secara langsung lantaran ada seseorang yang memborgol untuk melakukan demikian.

Dan orang itu adalah ayahnya.

Pun begitu dengan Adelia. Ia masih bersalah dan gagal sebagai seorang ibu karena membiarkan sang anak merasa kurang untuk mendapatkan perhatian. Baru pula menyadari bahwa Luna senekat dan sesinting itu untuk membuat Laura sendirian.

“Dari awal, Luna salah paham tentang kamu, Kak.” Adelia menatap Laura kemudian tersenyum tipis.

“Maksudnya? Bukannya begitu karena aku ngunciin dia di gudang?” tanya Laura dengan mengernyitkan alis.

“Mama kira juga gitu, padahal mama tahu niat kamu baik. Cuman ternyata lebih dari itu, Kak.” Lantas, tangan wanita itu merogoh benda pipih di tas, membuka ruang obrolan lalu memperdengarkan suara rekaman.

“Siapa?” tanya Laura dengan suara rendahnya.

“Sebentar, mama skip dulu karena ada bagian di mana suara kaca pecah.” Mengulas senyuman tipis, Laura menjadi menghangat karena wanita itu tahu kalau sejatinya Laura memang sedikit trauma dengan suara pecahan. Mengingatkan ia tentang kecelakaan dan sesuatu yang rasanya ia ingin hapus dari memori.

Hingga akhirnya rungu Laura menangkap suara Luna dan Dewa meski terdengar samar-samar.

“Kenapa di dunia ini Luna harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Luna harus jadi adik? Kenapa di dunia ini Laura harus punya kembaran? Kenapa Tuhan harus bikin Laura satu keluarga sama Luna? Kenapa gak Luna mati aja?”

Laura seketika membeku, merasakan ada kejanggalan dengan ingatannya lantas wanita tersebut menghela napas.

“Ada yang hilang sama memori Luna karena bukan itu yang kamu omongin waktu itu, Kak. Mama masih inget jelas,” terang Adelia kembali mengulang rekaman tersebut.

“Sebenarnya masih ada ucapan kamu setelahnya. ’Kenapa di dunia ini Luna harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Laura harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Luna harus jadi adik? Kenapa Laura yang jadi kakaknya?’ dan kalimat ’Kenapa di dunia ini Laura harus punya kembaran? Kenapa Tuhan harus bikin Laura satu keluarga sama Luna?’ Gak pernah kamu omongin sebelumnya,” jeda Adelia kemudian menghela napas. “Yang terakhir juga sama, bukan Luna, tapi kamu waktu itu bilang,

‘Kenapa gak Laura aja yang mati’”

“Mama udah denger dari Dewa tentang Luna, Kak.”

Laura tertegun sebentar ketika dua nama tersebut diucapkan dari birainya. Tangan gadis itu yang hendak meraih gelas langsung terdiam. Terdiam seribu bahasa tanpa berniat untuk menyela sedikit pun.

Mata sembab yang memerah kentara sekali di keduanya, bahkan hidung Laura masih mampet atas apa yang baru saja terjadi. Tentang dua insan yang tertekan dan memendam semuanya seorang diri akhirnya berhasil mengutarakan semuanya.

Sejak awal, Laura tahu jika ayahnya terlalu membenci dirinya lantaran pria itu masih belum menerima atas dia yang selamat ketimbang ibunya dari kecelakaan yang menimpa beberapa tahun silam. Laura juga tahu bahwa ayahnya tidak pernah memaafkan barang sedikit pun, bahkan semua itu makin membuatnya bengis ketika Laura mengunci Luna di dalam gudang.

Namun, Laura tidak tahu bahwa mamanya tetap di sana untuk memberikan kasih. Ia tidak tahu bahwa selama ini dia juga diperlakukan yang sama seperti saudara kembarnya, meski tidak dipertunjukkan secara langsung lantaran ada seseorang yang memborgolnya untuk melakukan demikian.

Dan orang itu adalah ayahnya.

Pun begitu dengan Adelia. Ia masih merasa bersalah dan gagal sebagai seorang ibu karena membiarkan anaknya merasa kurang untuk mendapatkan perhatiannya. Baru pula menyadari bahwa Luna senekat dan sesinting itu untuk membuat Laura sendirian.

“Dari awal, Luna salah paham tentang kamu, Kak.” Adelia menatap Laura kemudian tersenyum tipis.

“Maksudnya? Bukannya Luna benci aku karena aku ngunciin dia di gudang?” tanya Laura dengan mengernyitkan alis.

“Mama kira juga itu, padahal mama tahu niat kamu baik. Cuman ternyata lebih dari itu, Kak.” Lantas, tangan wanita itu mengambil benda pipih di dalam tasnya, membuka ruang obrolan lalu memperdengarkan suara rekaman.

“Siapa?” tanya Laura dengan suara rendahnya.

“Sebentar, mama skip dulu karena ada bagian di mana suara kaca pecah.” Mengulas senyuman tipis, Laura menjadi menghangat karena wanita itu tahu kalau sejatinya Laura memang sedikit tradengan suara pecahan. Mengingatkan ia tentang kecelakaan dan sesuatu yang rasanya ia ingin hapus dari memori.

Hingga akhirnya rungu Laura menangkap suara Luna dan seorang pemuda yang jelas ia mengenalinya meski terdengar samar-samar.

“Kenapa di dunia ini Luna harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Luna harus jadi adik? Kenapa di dunia ini Laura harus punya kembaran? Kenapa Tuhan harus bikin Laura satu keluarga sama Luna? Kenapa gak Luna mati aja?”

Laura seketika membeku, merasakan ada kejanggalan dengan ingatannya lantas wanita tersebut menghela napas.

“Ada yang hilang sama memori Luna karena bukan itu yang kamu omongin waktu itu, Kak. Mama masih inget jelas,” terang Adelia kembali mengulang rekaman tersebut.

“Sebenarnya masih ada ucapan kamu setelahnya. ’Kenapa di dunia ini Luna harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Laura harus dilahirkan? Kenapa di dunia ini Luna harus jadi adik? Kenapa Laura yang jadi kakaknya?’ dan kalimat ’Kenapa di dunia ini Laura harus punya kembaran? Kenapa Tuhan harus bikin Laura satu keluarga sama Luna?’ Gak pernah kamu omongin sebelumnya,” jeda Adelia kemudian menghela napas. “Yang terakhir juga sama, bukan Luna, tapi kamu waktu itu bilang,

‘Kenapa gak Laura aja yang mati’”

Kala itu 0.2

“Gue salah, Cas. Gue salah naruh kepercayaan sama lo.”

Laura menghela napas, kemudian menuruni tangga membawanya menuju lantai satu.

Sementara Lucas di sana langsung mematikan ponsel karena tahu bahwa lampu LED-nya terus berkedip berulang kali, menandakan bahwa ia sedang merekam semuanya. Buru-buru laki-laki itu ikut turun, menemukan Laura yang berada di pelukan Zia sementara Theo mengernyit bingung.

“Kok lo beneran nangis, sih, Ra?” tanya Theo sembari mengelus pundaknya. Laki-laki itu juga menatap Lucas. “Lo apain nih, anak orang?”

“Gue juga gak tahu, Bang. Kaget anjir dia aktingnya mendalami banget sampe tadi gue juga ikutan merasa bersalah,” jelas Lucas kemudian bikin Zia terkekeh.

“Udah lo berdua cocok main sinetron,” terang Bumi. “Remake-an Rachel-Farel, terus ceweknya Luna beneran, beuh. Sedap.”

Aji tertawa mendengarnya, kemudian mengangguk-anggukan kepala. Sementara Satria di sana menyerahkan segelas air pada Laura. “Kenapa bisa sampe nangis, Ra?”

“Ya abisan gue mikirin kalau gue beneran sendirian lagi gimana? Gue takut banget. Lo tadi denger ‘kan, Kak?” tanya Laura kemudian lagi-lagip seulas tipis bibir Satria tercetak di sana.

“Lo udah gak sendirian lagi, Ra. Kalau emang Lucas waktu itu langsung nemuin Luna tanpa diomongin ke kita, gue sama anak-anak bakal di sini buat lo kalau lo lupa,” tukas Satria. “Sekali lo masuk di sini, nginjekin kaki dan ngisi kamar, berarti kita keluarga, Ra.”

“AAAKKH MAS SATRIA!” teriak Theo tiba-tiba. “NGAJAKIN LAURA BERKELUARGA DONG, KENAPA GUE YANG BAPER?”

“Ah, harusnya gue voice record terus kirim ke grup, mayan langsung bikin tiga anak sekaligus ketar-ketir.” Zia yang mendengarnya seketika menendang bokong laki-laki itu yang kehebohan sendiri dengan tingkah alaynya.

“Hah?” Laura yang mendengarnya menaikkan alis, bikin Theo cuman tersenyum sekilas.

“Bukan apa-apa, kok.”

Chris kemudian datang dari arah kamar, menyerahkan satu ponselnya ke Lucas. “Ini hape sementara buat lo. Pake buat hubungin kita-kita di sini, kalau masalah kuliah mending di ponsel lo sendiri biar gak ketahuan karena cewek itu bakal ngeliatin lo.”

“Thanks, Bang.”

“Btw, lo udah matiin hape lo ‘kan?” tanya Chris membuat Lucas mengangguk. “Bagus, karna bisa berabe kalau dia juga denger percakapan kita sekarang.”

Semua orang yang mendengarnya lantas menghela napas lega, kembali beraktivitas dengan membantu Lucas yang mengurusi kepindahan ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu.

Menyusun misi sedemikian rupa agar semuanya tidak ada celah sedikit pun.

***

Siang itu barangkali tidak terlalu panas sebab fajar tadi, hujan sempat menyapa dengan panggung kekuasaannya yang bisa membuat orang-orang berhenti aktivitas di jalan meski banyak yang keras kepala untuk menerobos.

Selepas kelasnya usai, seorang pemuda bertumbuh tinggi itu berjalan menuju kantin fakultasnya yang tidak terlalu jauh. Memiliki jadwal temu dengan seseorang yang sempat mereka bicarakan tadi.

Begitu melihat perawakannya, Lucas langsung menghampirinya kemudian tersenyum sekilas. “Sorry, Bang, lama. Dosen molor waktu lagi.”

“Wajar, lah. Pak Agus ‘kan? Dia emang kayak gitu orangnya, tunggu kita yang ngingetin dulu. Kok ada, ya, orang semangat ngajar terus tiap hari,” keluhnya kemudian tertawa. Bikin Lucas juga ikut tergelak mendengarnya.

Cowok itu Randika Dewa, kakak tingkat yang Lucas selalu mendengar namanya di antara kalangan maba sepertinya. Lucas sebenarnya tidak menduga jika ia akan terlibat dengannya. Memiliki waktu obrolan berdua ketika semua orang mempertanyakan hubungan apa yang ia punya dengan kanidat ketua BEM itu.

“Omong-omong ini, Bang.” Lucas mengeluarkan sebuah pulpen dan menyerahkannya pada Dewa. Mungkin, tampak terlihat seperti alat tulis pada umumnya, padahal benda tersebut adalah perekam suara.

Waktu itu, Chris pernah menyuruh Lucas untuk membawanya ketika menemui Luna. Berpesan untuk merekam suara mereka dan memberikannya pada Dewa.

“Sebenernya lo butuh ini buat apaan, Bang?”

Dewa menarik salah satu sudut bibirnya kemudian melipatkan tangan. “Bukti tentang pengancaman dan bisa dipake buat mendukung kasus-kasus dia yang lain. Thanks, Cas.”

“Noprob.”

“Btw, gue mohon sama lo, buat tetap begini, ya?”

“Maksud lo, Bang?”

“Tetep jadi orang yang di samping Laura ketika gue gak becus ngelakuin itu.”

Kala itu 0.2

“Gue salah, Cas. Gue salah naruh kepercayaan sama lo.”

Laura menghela napas, kemudian menuruni tangga membawanya menuju lantai satu.

Sementara Lucas di sana langsung mematikan ponsel karena tahu bahwa lampu LED-nya terus berkedip berulang kali, menandakan bahwa ia sedang merekam semuanya. Buru-buru laki-laki itu ikut turun menemukan Laura yang berada di pelukan Zia sementara Theo mengernyit bingung.

“Kok lo beneran nangis, sih, Ra?” tanya Theo sembari mengelus pundaknya. Laki-laki itu juga menatap Lucas. “Lo apain nih, anak orang?”

“Gue juga gak tahu, Bang. Kaget anjir dia aktingnya mendalami banget sampe tadi gue juga ikutan merasa bersalah,” jelas Lucas kemudian bikin Zia terkekeh.

“Udah lo berdua cocok main sinetron,” terang Bumi. “Remake-an Rachel-Farel, terus ceweknya Luna beneran, beuh. Sedap.”

Aji tertawa mendengarnya, kemudian mengangguk-anggukan kepala. Sementara Satria di sana menyerahkan segelas pada Laura. “Kenapa bisa sampe nangis, Ra?”

“Ya abisan gue mikirin kalau gue beneran sendirian lagi gimana? Gue takut banget. Lo tadi denger ‘kan, Mas?” tanya Laura dkemudian lagi-lagi seulas tipis bibir Satria tercetak di sana.

“Lo udah gak sendirian lagi, Ra. Kalau emang Lucas waktu itu langsung nemuin Luna tanpa diomongin ke kita, gue sama anak-anak bakal di sini buat lo kalau lo lupa,” tukas Satria. “Sekali lo masuk di sini, nginjekin kakidan ngisi kamar, berarti kita keluarga, Ra.”

“AAAKKHMAS SATRIA!” teriak Theo tiba-tiba. “NGAJAKIN LAURA BERKELUARGA DONG, KENAPA GUE YANG BAPER?”

“Ah, harusnya gue voice record terus kirim ke grup, mayan langsung bikin tiga anak sekaligus ketar-ketir.” Zia yang mendengarnya seketika menendang bokong laki-laki itu yang kehebohan sendiri dengan tingkah alaynya.

“Hah?” Laura yang mendengarnya menaikkan alis, bikin Theo cuman tersenyum sekilas.

“Bukan apa-apa, kok.”

Chris kemudian datang menyerahkan satu ponselnya ke Lucas. “Ini hape sementara buat lo. Pake buat hubungin kita-kita di sini, kalau masalah kuliah mending di ponsel lo sendiri biar gak ketahuan karena cewek itu bakal ngeliatin lo.”

“Thanks, Bang.”

“Btw, lo udah matiin hape lo ‘kan?” tanya Chris membuat Lucas mengangguk. “Bagus, karna bisa berabe kalau dia juga denger percakapan kita sekarang.”

***

Siang itu barangkali tidak terlalu panas sebab fajar tadi, hujan sempat menyapa dengan panggung kekuasaannya yang bisa membuat orang-orang berhenti aktivitas di jalan meski banyak yang keras kepala untuk menerobos.

Selepas kelasnya usai, seorang pemuda bertumbuh tinggi itu berjalan menuju kantin fakultasnya yang tidak terlalu jauh. Memiliki jadwal temu dengan seseorang yang sempat mereka bicarakan tadi.

Begitu melihat perawakannya, Lucas langsung menghampirinya kemudian tersenyum sekilas. “Sorry, Bang lama. Dosen molor waktu lagi.”

“Wajar, lah. Pak Agus ‘kan? Dia emang kayak gitu orangnya, tunggu kita yang ngingetin dulu. Kok ada, ya, orang semangat ngajar terus tiap hari,” keluhnya kemudian tertawa. Bikin Lucas juga ikut tergelak mendengarnya.

Cowok itu Randika Dewa, kakak tingkat yang Lucas selalu mendengar namanya di antara kalangan maba sepertinya. Lucas sebenarnya tidak menduga jika ia akan terlibat dengannya. Memiliki waktu obrolan berdua ketika semua orang mempertanyakan hubungan apa yang ia punya dengan kanidat ketua BEM itu.

“Omong-omong ini, Bang.” Lucas mengeluarkan sebuah pulpen dan menyerahkannya pada Dewa. Mungkin, tampak terlihat seperti alat tulis pada umumnya, padahal benda tersebut adalah perekam suara.

Waktu itu, Chris pernah menyuruh Lucas untuk membawanya ketika menemui Luna. Berpesan untuk merekam suara mereka dan memberikannya pada Dewa.

“Sebenernya lo butuh ini buat apaan, Bang?”

Dewa menarik salah satu sudut bibirnya kemudian melipatkan tangan. “Bukti tentang pengancaman dan bisa dipake buat mendukung kasus-kasus dia yang lain. Thanks, Cas.”

“Noprob.”

“Btw, gue mohon sama lo, buat tetap begini, ya?”

“Maksud lo, Bang?”

“Tetep jadi orang yang di samping Laura ketika gue gak becus ngelakuin itu.”

Kala itu 0.1

Barangkali, ini terlalu dini bagi seorang Aji yang melihat perawakan seorang laki-laki berjalan mondar-mandir dengan tangan memegang ponsel penuh cemas.

Laki-laki itu mengernyit sembari meminum yakult yang sudah menjadi kebiasaanya tiap pagi. Atensinya terus terusik lantaran terlalu pusing melihat Lucas yang sudah sebelas duabelas rupanya dengan setrika, bikin Aji mengeluh, “Ngapain, sih, lo?”

Lucas, pemuda tersebut yang dari tadi berjalan penuh khawatir lantas menghela napas berat. Dengan garukan kepala yang sedikit tidak yakin, ketahuan sekali kalau laki-laki itu tengah menimbang tentang banyak hal.

Melihat Lucas tak kunjung menjawab, Aji lantas berjalan menuju papan tulis yang tertera jadwal piket mereka. “Hari ini jadwalnya Mas Satria sama Kak Zia yang ngebersihin kok, Cas. Jalan aja sono.”

“Bukan gitu, Bang.” Lucas menghela napas. Bikin Aji kembali mengernyit dan melemparkan sebotol Yakult ke pemuda itu.

“Tenangin dulu pikiran lo sama itu sana.”

“Yaelah, satu mana cukup. Mana botol semungil Yakult lagi.”

“Ngelunjak lo kalau gue lihat-lihat.”

Lucas terkekeh, duduk di sebelah Aji dan melihat Satria dengan gitar dan Chris datang membawa roti dari arah teras.

“Lha, Cas? Tumben bangun jam segini,” ucap Satria, menaruh gitar kesayangannya dan duduk di karpet. Chris membawa roti dan selai coklat ke tengah yang sudah menjadi santapan mereka setiap pagi.

“Lo mau pergi? Ke rumah? Kalau iya titipin salam ke ibu lo.” Chris menyengir, bikin Aji seketika menyipitkan mata.

“Ucapan lo kayak orang yang mau PDKT ke ibu mertua tau, gak? Homo lo?”

“Anjing, gue bilang gitu karna bakal telat bayar semingguan.” Chris merotasikan matanya malas kemudian menyantap sepotong roti.

Lucas yang sedari tadi terdiam lantaran masih kebingungan kemudian mengangkat suara dengan penuh cemas. “Bang.”

Seketika ketiganya menoleh lalu menaikkan alis.

“Ada nomor gak dikenal yang ngirim pesan ke gue dan ngajakin ketemuan.”

“Siapa?” tanya Aji.

“Ya namanya juga nomor gak dikenal. Mana tahu dia. Mahasiswa kok pertanyaannya gini.”

Baru saja melemparkan bantal, Satria menatap mereka tajam, bikin membisu.

“Gue gak tahu dia siapa, tapi dia ngomongin adek gue yang udah pergi. Ngungkit-ngungkit masalah yang udah lama gue coba tutupin.”

“Adek? Lo punya adek?”

“Angkat—Eh? apa tiri gitu, pokoknya dia anak dari selingkuhan bokap gue dulu.” Entah bagaimana, tetapi Lucas berbicara begitu terlampau santai seolah tidak ada beban, bikin ketiganya menegak saliva susah payah.

“Kenapa? Kaget, ya?” Lucas tertawa hambar kemudian menegak sebotol Yakult yang Aji beri tadi. “Itu udah masalah lama, kok. Adek gue juga udah pergi dengan tenang.”

“Sorry, for hear that.”

“Santai, tapi masalahnya ....” Lucas menjeda sebentar kemudian menengadahkan kepala. “Seseorang ngungkit ini lagi di mana gue udah ikhlas dengan kepergian Sabrina. Makanya gue bingung, gue harus ngapain? Kenapa seseorang ngungkit ini lagi di mana gue udah berdamai dengan kesalahan gue dulu? Apa yang mau dia dapetin sampe ngungkit ini lagi ketika semua orang udah lupa?”

Satria menepuk pundak Lucas berulang kali, seolah menenangkan pria itu dari kegundahannya. Sementara Chris yang terdiam sebentar untuk menelan, ia lalu bilang, “Boleh minjem hape lo? Sini gue lacak siapa dia karena sekarang ‘kan tiap registrasi kartu disertai NIK sama nama lengkap. Bisa jadi itu orang yang punya dendam sama bokap lo.”

“Bener, tuh.” Aji mengangguk, memberikan roti yang baru saja dioles ke Lucas. “Lo tahu? Chris anak programmer, Cas. Katingnya ada sih yang lebih pinter, tapi ukuran buat anak semester tiga kayak dia udah oke, lha, ya.”

“Tumben, lo muji gue,” decihnya kemudian mengambil benda pipih tersebut dan mengeluarkan miliknya.

Tidak sampai sepuluh menit, Chris tertegun, bikin semuanya menatap pemuda itu bingung.

“Adrianne Luna?” ucapnya. “Luna? Luna yang kemarin diomongin Theo, ‘kan?”

“Hah? Masa?”

“Nama lengkapnya Laura siapa, Cas?”

“A-adrianna Lau—“

“Kenapa?” Seseorang tiba-tiba menyahut, bikin semuanya langsung mengelus dada lantaran sedari tadi atmosfer begitu mencekam yang sedari tadi bersuara. “Nama gue kenapa disebut, Kak?”

Laura mengambil tempat di antara mereka. Mengedipkan mata berulang kali dengan pandangan raut penuh tanya.

Keempatnya tiba-tiba menunduk, seolah bocah yang tertangkap basah lantaran ketahuan tengah mencolek krim kue yang baru dibikin mama.

“Kenapa, sih, Kak?”

Keempatnya melemparkan pandangan kemudian menghela napas. “Sorry to say, Ra. But, your sister is crazy than you thought.”

***

“Ra? Gue tahu dia adek lo, kembaran lo, tapi apa yang dia lakuin ke lo udah jahat banget, Ra. Dia sakit dengan ngancem semua orang, bahkan sekarang ke Lucas di mana dia jadi orang satu-satunya yang deket sama lo.”

Satria menghela napas selepas menjelaskan panjang lebar ke perempuan itu yang masih shock mendengar semuanya.

Kepalanya tiba-tiba saja menjadi pening, menyambungkan segala clue yang selama ini begitu merumitkan. Ditambah dengan kata-kata Mark tempo itu, menjadikan semuanya begitu jelas.

Luna jelas setega itu membuatnya menderita.

“Ra?” Lucas yang duduk di sebelah perempuan itu menepuk puncak kepalanya berulang kali. “Lo baik-baik aja, ‘kan?”

Laura menggeleng. “Enggak, Cas. Gue marah. Gue marah banget sampe gue gak bisa ngomong gimana lagi. Gue kecewa sampe gak tahu apa yang harus gue ucapin.

“Gue selama ini ngerasa dia masih punya dendam ke gue, tapi gue gak tahu kalau ini yang dia lakuin ke gue.” Laura menghela napas, menengadahkan kepalanya sembari melihat ke langit-langit.

Satria menghela napas, memberikan sebotol minuman kemudian tersenyum sekilas. “Tenangin pikiran lo dulu.”

Menegak minuman tersebut, Chris yang menatap mereka kembali mengernyitkan alis. Tetiba kepikiran sesuatu lalu menarik salah satu sudut bibirnya. “Main, yuk.”

“Hah?”

“Ini bukan waktunya buat main bego.” Satria langsung memukul kepala pria tersebut seketika terdengar geraman kesakitan.

“Enggak gitu, astaga Tuhan! Maksud gue main tuh kita bikin Luna juga terkecoh. Seolah-olah Lucas emang dikendaliin sama dia padahal mah enggak,” jelasnya membuat Aji menaikkan alis. “Jadi, kemungkinan besar Luna buat Lucas dikendaliin itu pake cara yang sama. Tentang obat, minuman, software, dan kafe.”

“Terus?” tanya Aji. “Mau lo apain?”

“Cas, dengerin gue. Lo duduk di kafe nanti jangan cari titik buta di cctv. Ambil yang secara jelas kalau lo bakal disorot di sana. Kalau nanti lo dikasih minuman, minum aja. Dia bakal bikin lo pingsan, tapi gak bikin buruk di tubuh lo, itu aman. Jangan panik, tapi bikin seolah-olah lo gak tahu apa-apa. Seolah-olah lo emang jatuh di tangan dia. Ketika lo pingsan, dia bakal ngunduh di software di ponsel lo dan semua yang lo lakuin di sana bakal dia tahu, jadi di sini lo juga berperan, Ra.”

“Gue?” tunjuknya, bikin Chris mengangguk.

“Iya, lo juga bikin seolah-olah lo desperate sama keadaan. Biar gak ketahuan, mending lo pindah sekitar sebulanan dari rumah, Cas. Gimana?” terang Chris.

“T-tapi, Bang ....”

“Santai, Cas. Laura sama kita.” Chris terkekeh melemparkan bantal kepadanya. “Jadi lo pada ngerti, ‘kan?”

“Can we start?”

Kala itu 0.1

Barangkali, ini terlalu dini bagi seorang Aji yang melihat perawakan seorang laki-laki berjalan mondar-mandir dengan tangan memegang ponsel penuh cemas.

Laki-laki itu mengernyit sembari meminum yakult yang sudah menjadi kebiasaanya tiap pagi. Atensinya terus terusik lantaran terlalu pusing melihat Lucas yang sudah sebelas duabelas rupanya dengan setrika, bikin Aji mengeluh, “Ngapain, sih, lo?”

Lucas, pemuda tersebut yang dari tadi berjalan penuh khawatir lantas menghela napas berat. Dengan garukan kepala yang sedikit tidak yakin, ketahuan sekali kalau laki-laki itu tengah menimbang tentang banyak hal.

Melihat Lucas tak kunjung menjawab, Aji lantas berjalan menuju papan tulis yang tertera jadwal piket mereka. “Hari ini jadwalnya Mas Satria sama Kak Zia yang ngebersihin kok, Cas. Jalan aja sono.”

“Bukan gitu, Bang.” Lucas menghela napas. Bikin Aji kembali mengernyit dan melemparkan sebotol Yakult ke pemuda itu.

“Tenangin dulu pikiran lo sama itu sana.”

“Yaelah, satu mana cukup. Mana botol semungil Yakult lagi.”

“Ngelunjak lo kalau gue lihat-lihat.”

Lucas terkekeh, duduk di sebelah Aji dan melihat Satria dengan gitar dan Chris datang membawa roti dari arah teras.

“Lha, Cas? Tumben bangun jam segini,” ucap Satria, menaruh gitar kesayangannya dan duduk di karpet. Chris membawa roti dan selai coklat ke tengah yang sudah menjadi santapan mereka setiap pagi.

“Lo mau pergi? Ke rumah? Kalau iya titipin salam ke ibu lo.” Chris menyengir, bikin Aji seketika menyipitkan mata.

“Ucapan lo kayak orang yang mau PDKT ke ibu mertua tau, gak? Homo lo?”

“Anjing, gue bilang gitu karna bakal telat bayar semingguan.” Chris merotasikan matanya malas kemudian menyantap sepotong roti.

Lucas yang sedari tadi terdiam lantaran masih kebingungan kemudian mengangkat suara dengan penuh cemas. “Bang.”

Seketika ketiganya menoleh lalu menaikkan alis.

“Ada nomor gak dikenal yang ngirim pesan ke gue dan ngajakin ketemuan.”

“Siapa?” tanya Aji.

“Ya namanya juga nomor gak dikenal. Mana tahu dia. Mahasiswa kok pertanyaannya gini.”

Baru saja melemparkan bantal, Satria menatap mereka tajam, bikin membisu.

“Gue gak tahu dia siapa, tapi dia ngomongin adek gue yang udah pergi. Ngungkit-ngungkit masalah yang udah lama gue coba tutupin.”

“Adek? Lo punya adek?”

“Angkat—Eh? apa tiri gitu, pokoknya dia anak dari selingkuhan bokap gue dulu.” Entah bagaimana, tetapi Lucas berbicara begitu terlampau santai seolah tidak ada beban, bikin ketiganya menegak saliva susah payah.

“Kenapa? Kaget, ya?” Lucas tertawa hambar kemudian menegak sebotol Yakult yang Aji beri tadi. “Itu udah masalah lama, kok. Adek gue juga udah pergi dengan tenang.”

“Sorry, for hear that.”

“Santai, tapi masalahnya ....” Lucas menjeda sebentar kemudian menengadahkan kepala. “Seseorang ngungkit ini lagi di mana gue udah ikhlas dengan kepergian Sabrina. Makanya gue bingung, gue harus ngapain? Kenapa seseorang ngungkit ini lagi di mana gue udah berdamai dengan kesalahan gue dulu? Apa yang mau dia dapetin sampe ngungkit ini lagi ketika semua orang udah lupa?”

Satria menepuk pundak Lucas berulang kali, seolah menenangkan pria itu dari kegundahannya. Sementara Chris yang terdiam sebentar untuk menelan, ia lalu bilang, “Boleh minjem hape lo? Sini gue lacak siapa dia karena sekarang ‘kan tiap registrasi kartu disertai NIK sama nama lengkap. Bisa jadi itu orang yang punya dendam sama bokap lo.”

“Bener, tuh.” Aji mengangguk, memberikan roti yang baru saja dioles ke Lucas. “Lo tahu? Chris anak programmer, Cas. Katingnya ada sih yang lebih pinter, tapi ukuran buat anak semester tiga kayak dia udah oke, lha, ya.”

“Tumben, lo muji gue,” decihnya kemudian mengambil benda pipih tersebut dan mengeluarkan miliknya.

Tidak sampai sepuluh menit, Chris tertegun, bikin semuanya menatap pemuda itu bingung.

“Adrianne Luna?” ucapnya. “Luna? Luna yang kemarin diomongin Theo, ‘kan?”

“Hah? Masa?”

“Nama lengkapnya Laura siapa, Cas?”

“A-adrianna Lau—“

“Kenapa?” Seseorang tiba-tiba menyahut, bikin semuanya langsung mengelus dada lantaran sedari tadi atmosfer begitu mencekam yang sedari tadi bersuara. “Nama gue kenapa disebut, Kak?”

Laura mengambil tempat di antara mereka. Mengedipkan mata berulang kali dengan pandangan raut penuh tanya.

Keempatnya tiba-tiba menunduk, seolah bocah yang tertangkap basah lantaran ketahuan tengah mencolek krim kue yang baru dibikin mama.

“Kenapa, sih, Kak?”

Keempatnya melemparkan pandangan kemudian menghela napas. “Sorry to say, Ra. But, your sister is crazy than you thought.”

Helmi melambaikan tangannya di depan wajah Luna. Memastikan gadis itu yang sudah mabuk selepas racauan tidak jelasnya yang mengudara.

“Luna?” panggil laki-laki tersebut sekali lagi sembari menjentikkan jari.

Gadis itu menyahut sekenanya, bikin Helmi membasahi birai bawahnya. “Lun?”

“Hm?”

“Omong-omong, lo bilang kalau lo ngancem mereka dengan megang kelemahan mereka, ‘kan? Emang Haikal kelemahannya apaan, deh?” Helmi menaikkan sebelah alis, melipatkan tangan, sembari menunggu perempuan tersebut untuk menyahut.

Butuh waktu sekitar lima belas menit bagi gadis itu menjawab dengan kepalanya yang menunduk. “Haikal gak punya kelemahan.”

“Hah?”

“Cowok itu gak punya kelemahan. Makanya gue waktu itu pernah bilang ke Mark kalau ada satu anak yang lebih parah disandera ketimbang dia, ‘kan? Nah, itu. Dia orangnya,” racau perempuan tersebut sembari menghela napas. “Dia gak punya kelemahan, makanya gue memperalat dia, Hel. Lo tau Tian? Anak geng sini juga. Waktu itu, Tian ngasih tau gue kalau Cakra mau beli benda tersebut, makanya gue taruh nomor Haikal di sana dan maksa dia buat yang bertransaksi kalau dia gak mau Laura dalam posisi berbahaya. Kenapa, ya? Cowok setolol itu, mau-maunya aja disuruh.”

Luna mendengus, kembali menegak sloki alkohol untuk terakhir kalinya sebelum gadis itu kembali tertidur lelap akibat mabuk dan pening yang menguasai kepalanya. Sementara Helmi di sana tersenyum tipis, melipatkan tangannya kembali di depan dada sembari menghela napas.

“Sorry, Lun. Kali ini lo lengah.”

“Lun?”

Luna menaikkan alis, menoleh pada seseorang yang kini duduk di sebelahnya. Laki-laki tersebut sedikit mengernyit, menatap bingung ketika melihat sosok itu tiba sewaktu kafe miliknya tutup.

“Lo boleh keluar malem? Bukannya lo harus ada di rumah sekitaran magrib?” Nama pemuda tersebut Helmi, tengah menegak satu sloki alkohol kemudian tersenyum samar.

Laki-laki pemilik kafe ini seseorang yang membantu Luna untuk meng-install software di perangkat ‘tawanannya’. Bersama dengan Kania yang merupakan anak apoteker di mana ia memberikan obat tidur itu ke dalam minuman Mark, ketiganya merupakan otak yang menggerakkan semua kegilaan ini.

Berharap jika ia membantu Luna, maka kenakalan anak bersebelas lainnya ini akan tertutupi oleh dewan sekolah.

Helmi sebenarnya cuman ikut-ikutan. Laki-laki itu masuk ke lingkar pertemanan ini karena ia dibiayai yang bisa membuatnya membuka usaha sendiri tanpa campur tangan orang tua.

Laki-laki tersebut lantas menghela napas ketika perempuan di sebelahnya kini menopang dagu.

“Bonyok berantem masalah kakak gue yang gak jelas itu. Nyokap pulang ke rumah nenek sementara bokap lembur,” ucapnya. Merebut sloki dari tangan Helmi dan meminumnya. Sekon kemudian, pemuda tersebut mengernyit bingung, tumbenan sekali ia menyentuh minuman seperti ini, biasanya untuk diajak ia selalu menolak.

Yang bikinnya semakin terkejut adalah Luna bahkan sudah menegaknya hingga nyaris sebotol penuh, bikin Helmi langsung panik dan merebutnya cepat.

Racauan tak jelas perempuan tersebut kini berubah dengan kekehan dan menopang dagunya. “Gue makin susah tidur, Hel. Dari dulu, sebelum gue mulai kegilaan ini, gue gak diizinin mimpi indah. Tiap hari gue merasa dicekik tahu, gak? Padahal udah lewat bertahun-tahun, tapi gue masih sengsara.”

Senyum perempuan itu sirna, tergantikan dengan tatapan matanya yang sayu.

“Seharusnya waktu itu gue gak ditolongin, jadi gue gak bakal hidup sehina ini. Gue gak hidup sebagai pendosa yang suka balas dendam,” ucapnya sembari terkekeh. “Kenapa, ya? Gue setega ini? Sejahat ini sama kembaran gue? Kenapa gue ditakdirkan sebagai seorang pendendam yang gak bisa menahan diri?”

Luna menengadah, menatap langit-langit kafe kemudian tergelak sendiri dengan ucapannya.

“Tapi gue gak nyesel, Hel,” ucap perempuan tersebut. “Bener kata orang-orang, gue udah sinting yang ngancem dengan megang kelemahan dan manipulasi semua orang. Gue seneng ngelihat Lucas yang sekarang ngejauhin Laura dengan ancaman adiknya yang gue dapetin dari lo. Ngancem Mark, Cakra, dan Haikal. Gue puas ngeliat dia sendirian. Dengan begitu kita impas.”

Luna tersenyum, kemudian sekali lagi menegak minumannya.

“Setelah itu, gue baru bisa pergi jauh. Karena dari awal, setelah gue ngeliat kakak gue kuliah, gue mau menghilang diri. Karena manusia kayak gue udah gak pantes dipanggil manusia lagi.”