Pasca mendengar cerita sang ibu dan membuat gadis tersebut ikut tenggelam dalam memori yang kini kembali hadir setelah sekian lama berdebu dan bersarang, pikirannya lantas langsung kosong.
Terlalu blank dengan semua takdir yang rasanya begitu konyol ia terima. Nyatanya memang benar, bahwa papa tidak pernah suka dengan gadis itu.
Adelia terus memegang tangan Laura, membuat gadis itu untuk segera tenang tentang korekan luka yang kembali terbuka.
Wanita tersebut sesekali menanyakan ini-itu. Bertanya mengenai kehidupan kuliahnya, pertemanannya, dan tentang ia yang tinggal dengan kosan yang mayoritasnya laki-laki.
“Gak ada yang jahilin kamu kan, Kak?” tanya Adelia.
Laura langsung tersenyum tipis kemudian menggeleng. “Gak ada, kok. Mereka baik ke Laura, walaupun berisik, sih. Ya tapi kalau setiap pulang, pasti pada nanyain udah makan apa belum. Lagipula, setiap akhir bulan ada pacarnya Kak Zia yang selalu bawain makanan.”
Laura terkekeh saat Adelia mengelus kepalanya. Membuat gadis itu bisa saja menangis, sebab ini untuk pertama kalinya dia mendapatkan perlakuan sehangat ini.
“Masalah finansialmu?”
“Mamanya Lucas yang bayarin selama ini, termasuk uang kuliahnya,” terangnya. “Oh iya, dia juga pemilik kosan ini, makanya Laura digratisin.”
Adelia kembali mengukir senyuman tipis. “Maafin mama ya, Kak.”
“Gak apa-apa, Ma! Astaga, Laura udah bilang berapa kali, sih?”
Kemudian obrolan kembali larut, Adelia sebisa mungkin untuk membuat Laura melupakan dengan cerita kelam waktu silam. Lantas, di tengah konversasi singkat mereka, netra hitamnya melirik arloji. “Ah, mama pulang dulu, ya.”
“Hah? Pulang?”
“Mama pulang sebentar ke rumah orangtua mama, nanti balik lagi ke sini buat ngangkut barang sebelum rumah disita,” terangnya. Lantas, meski sedikit tidak rela, Laura mengangguk.
Keduanya lalu menuruni tangga, melihat sekumpulan remaja yang berada di ruang tengah dengan posisi santai mereka. Laura sedikit melirik, melihat Dewa yang langsung berdiri dengan kaku diikuti pula dengan yang lain begitu menyadari presensi ibu dan anak itu.
“Eh? Udah mau pulang nih, Tan?” Aji menyahut dan dibalas dengan senyuman tipis oleh Adelia.
“Kirain lebih lama nangis-nangisnya.” Candaan dari Theo itu langsung membuat semuanya mendesis, bikin Adeli maupun Laura langsung tersenyum canggung.
“Jangan pulang dulu lha, Tan. Masa ninggalin kita begini doang. Bikinin kita makanan dulu lha, Tan. Anak kosan lagi laper ini. Apalagi udah sekarat dompetnya.” Dan lagi-lagi desisan itu kembali bersuara ketika mendengar timpalan Bumi.
“Eh, iya juga, sih.”
“Eh, Tan! Jangan gitu, Bumi cuman bercanda doang, kok!” Satria bersuara, sementara Bumi langsung menyengir bangga.
“Nah, kalau Tante gak keberatan sih, gak masalah, hehehe.”
“BUMI!”
“Apaan, sih? Awas aja lo ye, kalau ikutan makan.”
Adelia hanya tertawa-tawa dengan keributan sekumpulan remaja tersebut, sementara Dewa di sana hanya terkekeh kecil, sesekali mencuri untuk melirik Laura dan tak jarang tatapan mereka beradu. Bikin Dewa langsung berdeham dan mengalihkan pandangan.
“Yaudah, tante bikinin dulu. Di sini ada pasar, kan?” tanya Adelia, dijawab dengan anggukan. “Kak, anterin mama ayo.”
“Hah? Eh iya, ayo.” Laura tergagap kemudian tersenyum.
Satu dari impiannya selama ini adalah pergi berbelanja dengan ibunya.
Melihat kedua perawakan tersebut yang pergi, Bumi langsung menghela napas kemudian tersenyum.
“Nah, ini maksud gue, Bro. Biarin mereka ngabisin banyak waktu dulu berdua. Kapan lagi ya, kan?”
Seketika semuanya jadi ikut mengangguk dengan ide gemerlang Bumi.
Tumben.
Pikir mereka begitu.