Continuation
NSFW, rough sex, dirty talks, deep throat, 🔞
“Udah ke toiletnya?” tanya Mark saat Haechan kembali ke ruang tengah.
Haechan duduk di sofa, bukan di karpet seperti tadi.
“Udah” jawab Haechan. “Udah lu pesen kan makanannya?”
Mark mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya sehingga posisinya menghadap Haechan dari bawah.
“Kok ganti sih?” tanyanya.
“Apanya?”
“Kan tadi ngomongnya pake aku-kamu”
Haechan membuang pandangannya malas. “Yaa, suka-suka gue aja mau ngomong pake apa”
“Ada yang mau ditanyain gak? Daripada disimpen sendiri”
“Nggak” kelewat ketus. Haechan menyadari perubahan suaranya, “gak ada yang mau ditanyain”
“Yaudah”
“Kerjain tuh, notulennya” Haechan berucap, risih dipandangi dari bawah begitu.
Mark tertawa geli. “Selena kakak aku, kok. Jangan marah-marah, Echan”
Haechan mendengus, berusaha terdengar tidak terpengaruh sama sekali. “Oh, terus kenapa?”
“Kakak kandung, Chan. Lain kali kalau nggak tahu, nanya aja” Mark pindah ke sofa, mencubit pipi Haechan gemas.
“Sana” ditepisnya tangan Mark, lalu membuang pandangan ke arah berlawanan dengan Mark.
Pipinya memanas, merah seperti kepiting rebus. Malu karena sudah merasa kesal, tapi lebih malu karena Mark menebak dengan tepat.
“Echaaaan” Mark mengelus kepalanya dari belakang.
Tangan Mark melingkari pinggangnya erat. Nafasnya jatuh tepat di leher Haechan, membuat yang dipeluk diam-diam menahan nafas.
“Maaf ya, ada aja yang bikin salah paham. Gak yang kemarin, gak yang sekarang. Tapi kalau ada yang ganjel, tanya ya?” suara Mark lembut, perlahan menarik Haechan menghadapnya.
“Hngg” Haechan menggumam bingung. “Yang kemarin apaan?”
“Nggak tau. Bingung kenapa kamu minta berenti, tapi mungkin aku yang salah nangkep. Kalo diinget-inget kan, emang kamu nggak ngasih ijin” Mark menjelaskan. Pelan, takut salah kata yang berujung fatal.
“Oh, emang aku nggak ngasih ijin?” Haechan merespon dengan nada menggantung, lebih seperti bermonolog.
’Hah? Maksudnya?’
“Jadi, diijinin?” tanya Mark. “Terus kenapa.. disuruh berhenti?”
Haechan menunduk, bingung dengan pikirannya sendiri.
“Nggak tahu” jawabnya polos. “Kelepasan gitu aja”
“Jadi boleh?”
Haechan mengangkat wajahnya, ragu. Perutnya geli, seperti ada jutaan kupu-kupu di dalamnya. Sekian detik, lalu “boleh”
Mark menarik tengkuk Haechan, lalu menempelkan bibirnya. Ciuman itu dengan cepat memanas. Keduanya bertukar saliva, mengeluarkan rasa yang tertahan di dalam dada. Melampiaskan pada perang lidah dengan tangan yang tidak tinggal diam.
Mark meremas pinggul Haechan, perlahan menyenderkannya pada bantal yang diletakkan di ujung sofa.
Tangan Haechan bergerak, kali ini agresif melepas satu per satu kancing kemeja Mark.
“Eunghh” Haechan melenguh saat Mark meremas pantatnya. “Geli-hhh” desahannya tertahan. Mark mencumbunya lagi.
Kemejanya dilempar asal ke lantai, lalu dengan cepat melucuti seragam Haechan balik.
Area selatan keduanya yang masih terbungkus celana bertemu, membuat ruangan terasa panas padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu terendah yang bisa dioperasikan.
Nafas Haechan terengah-engah waktu tautan bibir mereka terlepas. Bibir Mark pindah ke telinganya, lalu menciumi rahangnya turun ke leher. Desahannya beradu dengan deru nafasnya yang berantakan.
“Ahh, Markhh” Haechan menjambak rambut Mark. Tangan Mark tidak bisa diam. Satu menggerayangi dadanya, satu lagi menurunkan resleting celananya, lalu menggoda penisnya yang masih tertahan kain.
“B-besok sekolah, Mar-eunghh” Mark menyedot perpotongan lehernya kuat.
Mark tersenyum miring “Dikit aja, biar ada tanda” lalu menjilat telinga Haechan, membuat yang dibawah merinding merasakan sensasi aneh yang menjalari tubuhnya.
Ciuman Mark turun ke dadanya. Lidahnya membelai nipple Haechan, menggodanya.
Haechan mati-matian menghentikan kegiatan Mark, mendorong bahunya hingga Mark terduduk. “Gantian”
Ia naik ke pangkuan Mark, mendudukkan pantatnya di paha Mark. Menggesekkan penisnya ke penis Mark, membuat Mark menggeram rendah.
Keduanya kembali saling mencumbu, tidak bosan-bosan bertukar saliva. Tangan Mark tidak tinggal diam, meremas pantat sintal Haechan yang bergerak-gerak menggoda selangkangannya. Satu tangannya masuk ke dalam celana Haechan.
“Hnghhh” Haechan mendesah keras saat Mark mengelus pintu lubang hangatnya.
Tubuhnya turun ke karpet, melepas celana Mark dengan terburu-buru. Penis Mark mencuat di depan wajahnya. Panjang, tegang menunjukkan urat-uratnya.
“Aakhh, Chanhh” mulut Haechan hangat, memberikan sensasi seperti tersengat listrik pada tubuh Mark.
Penisnya keluar masuk mulut Haechan. Lidah Haechan membelai kepala penisnya, menyedot precumnya. Bagian penisnya yang tidak muat dimainkan tangan Haechan. Bola kembarnya diremas pelan, membuat Mark menggeram nikmat oleh sensasi double di area sensitifnya.
“Uhuk” Haechan terbatuk, tersedak saliva yang bercampur precum Mark. Tangan Mark tanpa sadar menekan kepalanya, membuat penis Mark menabrak tenggorokannya. Sakit, tapi Haechan menyukainya.
Mark baru saja akan menyuarakan penyesalannya saat Haechan mengulum penisnya lagi, kali ini menyedotnya kuat. Mark berjengit kaget, mulai menerka-nerka fetish Haechan yang sepertinya tidak keberatan dengan rangsangan yang diberikannya.
“Hm-nghh” Mark mendorong wajah Haechan saat dirasakan ereksinya mulai naik. Tidak ingin keluar duluan.
Haechan melepas celananya sendiri, lalu duduk di pangkuan Mark dengan pandangan binal. Tersenyum miring, tahu Mark menahan diri.
“Kenapa?” ledek Haechan, puas dengan dirinya sendiri.
Nafas Mark memberat. Diraupnya bibir Haechan rakus, tangannya menampar pantat Haechan yang tidak berhenti menggoda penisnya.
“Nungging” Mark memerintah sambil meremas bongkahan pantat Haechan dengan keras.
Haechan merangkak, menuruti permintaan Mark. Setengah takut karena Mark tidak memakai lubricant, menerka-nerka seberapa sakit lubangnya kalau digempur tiba-tiba.
Tangan Mark meremas rambut Haechan, membuat tubuhnya meliuk dengan kepala terdongak. Lidah Mark menghujani leher belakang dan punggungnya dengan ciuman, satu tangan Mark memeluk pinggangnya, menahan tubuhnya.
Jantungnya berdebar, dua jari Mark menyapa pintu lubang analnya. “Kamu mmhh, nggak ada lube?” akhirnya Haechan berani bertanya.
Entah kenapa, Haechan bisa merasakan Mark tersenyum di balik punggungnya. Terasa.. berbahaya. Penisnya menegak, ereksinya naik tiba-tiba, tidak kuat dengan godaan bertubi-tubi yang diberikan.
“Akhh, Mark-nghh” kaki Haechan melemas. Pahanya tidak kuat menopang posisinya. Mark mengocok penisnya tiba-tiba dengan tempo sangat cepat.
“Nggak butuh lube” Mark berucap rendah, disusul dengan desahan panjang Haechan menyambut puncaknya.
Cairan Haechan mengotori tangan Mark, dioles ke lubang analnya. Pinggangnya diangkat.
“Aku bilang nungging, Haechan” Mark menampar pantatnya keras, meninggalkan bekas kemerahan samar.
Rasa nikmat orgasme pertamanya belum selesai, Mark tidak memberinya waktu untuk menikmati.
Satu jari Mark memasuki lubang hangatnya, membawanya pada pekikan bercampur desahan yang tidak putus-putus.
“Nghh, enakkh” Mark menambah jarinya, mempersiapkan lubangnya.
“Masukin” Haechan memohon. Lubangnya sudah berkedut minta diisi, tapi Mark masih betah memainkan jarinya di sana. Sesekali, Mark meludahi lubangnya. Membuat pintu lubangnya licin oleh spermanya yang bercampur saliva Mark.
“Minta yang bener. Kasih tau, kamu pengennya apa” Mark masih mengocok lubangnya dengan jari.
Haechan mendesah, frustasi. Tapi libidonya naik, suka diperlakukan demikian kasar oleh Mark yang tidak berhenti membuatnya mendesah nikmat.
“Mau dimasukin, mau disodok. Jangan pake nghh, hh-jari” Haechan menggigit bibirnya, menurunkan gengsi semampunya.
Sekujur tubuh Mark merinding, tidak menyangka kata-kata kotor Haechan sehebat itu efeknya.
“Aarghhh akhh Mark” Haechan memekik. Tangannya meremas bantalan sofa, bibirnya digigit keras. Mark memasukkan penisnya tanpa aba-aba. Tidak seberapa perih karena sudah dipersiapkan sebelumnya, tapi tetap sakit dan mengejutkan.
“Sakit?” Mark mengelus kepala Haechan lembut, tahu sang submissive sedang beradaptasi.
“Nghh- gerakin” pinta Haechan. Posisi ini menyiksanya.
“As you wish” Mark menggerakkan pinggulnya. Awalnya pelan, lama-lama semakin keras.
Suara decitan sofa beradu dengan desahan dan erangan keduanya. Tamparan pada pantat Haechan yang seringkali dilayangkan menambah kombinasi suara dalam ruangan.
Beberapa tusukan terakhir Mark menghantam titik manisnya tepat, membuat Haechan mendongakkan kepala setinggi-tingginya. Gerakan pinggul keduanya bertahap, temponya naik seiring berjalannya waktu. Membuat ereksi keduanya terpancing naik dengan sensasi memabukkan.
“M-markkhh” “Eunghh, akhh” desahan keduanya bertabrakan. Tubuh keduanya ambruk ke sofa, menikmati puncaknya masing-masing yang datang hampir bersamaan.
Cairan keduanya berceceran, mengotori sofa. Mark meringis dalam hati, merasa beruntung karena tinggal sendiri.
Mark memandangi Haechan yang sedang mengatur nafasnya. Tampan, terlalu rupawan di mata Mark. Tangannya mengelus punggung Haechan yang naik turun, bibirnya mengecup pelipis Haechan.
“Berat” Haechan terlebih dahulu membuka suara. Setengah tubuhnya masih ditindih Mark yang tadi tumbang diatasnya.
Mark tertawa kecil, berusaha bangkit dari sofa. “Yuk, mandi”
“Bareng?”
“Ya, iya?” Mark membalas bingung.
“Nggak ah” Haechan menolak.
“Kenapa? Takut pengen lanjut?”
Haechan membuang pandangannya, salah tingkah dengan pertanyaan Mark.
Mark tersenyum miring, lalu berlutut di karpet, di bawah Haechan yang masih duduk di sofa.
“Yuk” tangannya melingkar di pinggang Haechan, mengangkatnya seperti karung beras.
Yang diangkat cuma teriak-teriak nggak jelas, malu sekaligus deg-degan merasakan hawa-hawa permainan selanjutnya karena sepertinya Mark belum lelah sama sekali.
Disclaimer; safe sex itu penting ya. Terutama untuk anal sex, harus menggunakan yang namanya kondom dan lubricant.