straighttfacts

NSFW, rough sex, dirty talks, deep throat, 🔞

“Udah ke toiletnya?” tanya Mark saat Haechan kembali ke ruang tengah.

Haechan duduk di sofa, bukan di karpet seperti tadi.

“Udah” jawab Haechan. “Udah lu pesen kan makanannya?”

Mark mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya sehingga posisinya menghadap Haechan dari bawah.

“Kok ganti sih?” tanyanya.

“Apanya?”

“Kan tadi ngomongnya pake aku-kamu”

Haechan membuang pandangannya malas. “Yaa, suka-suka gue aja mau ngomong pake apa”

“Ada yang mau ditanyain gak? Daripada disimpen sendiri”

“Nggak” kelewat ketus. Haechan menyadari perubahan suaranya, “gak ada yang mau ditanyain”

“Yaudah”

“Kerjain tuh, notulennya” Haechan berucap, risih dipandangi dari bawah begitu.

Mark tertawa geli. “Selena kakak aku, kok. Jangan marah-marah, Echan”

Haechan mendengus, berusaha terdengar tidak terpengaruh sama sekali. “Oh, terus kenapa?”

“Kakak kandung, Chan. Lain kali kalau nggak tahu, nanya aja” Mark pindah ke sofa, mencubit pipi Haechan gemas.

“Sana” ditepisnya tangan Mark, lalu membuang pandangan ke arah berlawanan dengan Mark.

Pipinya memanas, merah seperti kepiting rebus. Malu karena sudah merasa kesal, tapi lebih malu karena Mark menebak dengan tepat.

“Echaaaan” Mark mengelus kepalanya dari belakang.

Tangan Mark melingkari pinggangnya erat. Nafasnya jatuh tepat di leher Haechan, membuat yang dipeluk diam-diam menahan nafas.

“Maaf ya, ada aja yang bikin salah paham. Gak yang kemarin, gak yang sekarang. Tapi kalau ada yang ganjel, tanya ya?” suara Mark lembut, perlahan menarik Haechan menghadapnya.

“Hngg” Haechan menggumam bingung. “Yang kemarin apaan?”

“Nggak tau. Bingung kenapa kamu minta berenti, tapi mungkin aku yang salah nangkep. Kalo diinget-inget kan, emang kamu nggak ngasih ijin” Mark menjelaskan. Pelan, takut salah kata yang berujung fatal.

“Oh, emang aku nggak ngasih ijin?” Haechan merespon dengan nada menggantung, lebih seperti bermonolog.

’Hah? Maksudnya?’

“Jadi, diijinin?” tanya Mark. “Terus kenapa.. disuruh berhenti?”

Haechan menunduk, bingung dengan pikirannya sendiri.

“Nggak tahu” jawabnya polos. “Kelepasan gitu aja”

“Jadi boleh?”

Haechan mengangkat wajahnya, ragu. Perutnya geli, seperti ada jutaan kupu-kupu di dalamnya. Sekian detik, lalu “boleh”

Mark menarik tengkuk Haechan, lalu menempelkan bibirnya. Ciuman itu dengan cepat memanas. Keduanya bertukar saliva, mengeluarkan rasa yang tertahan di dalam dada. Melampiaskan pada perang lidah dengan tangan yang tidak tinggal diam.

Mark meremas pinggul Haechan, perlahan menyenderkannya pada bantal yang diletakkan di ujung sofa.

Tangan Haechan bergerak, kali ini agresif melepas satu per satu kancing kemeja Mark.

“Eunghh” Haechan melenguh saat Mark meremas pantatnya. “Geli-hhh” desahannya tertahan. Mark mencumbunya lagi.

Kemejanya dilempar asal ke lantai, lalu dengan cepat melucuti seragam Haechan balik.

Area selatan keduanya yang masih terbungkus celana bertemu, membuat ruangan terasa panas padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu terendah yang bisa dioperasikan.

Nafas Haechan terengah-engah waktu tautan bibir mereka terlepas. Bibir Mark pindah ke telinganya, lalu menciumi rahangnya turun ke leher. Desahannya beradu dengan deru nafasnya yang berantakan.

“Ahh, Markhh” Haechan menjambak rambut Mark. Tangan Mark tidak bisa diam. Satu menggerayangi dadanya, satu lagi menurunkan resleting celananya, lalu menggoda penisnya yang masih tertahan kain.

“B-besok sekolah, Mar-eunghh” Mark menyedot perpotongan lehernya kuat.

Mark tersenyum miring “Dikit aja, biar ada tanda” lalu menjilat telinga Haechan, membuat yang dibawah merinding merasakan sensasi aneh yang menjalari tubuhnya.

Ciuman Mark turun ke dadanya. Lidahnya membelai nipple Haechan, menggodanya.

Haechan mati-matian menghentikan kegiatan Mark, mendorong bahunya hingga Mark terduduk. “Gantian”

Ia naik ke pangkuan Mark, mendudukkan pantatnya di paha Mark. Menggesekkan penisnya ke penis Mark, membuat Mark menggeram rendah.

Keduanya kembali saling mencumbu, tidak bosan-bosan bertukar saliva. Tangan Mark tidak tinggal diam, meremas pantat sintal Haechan yang bergerak-gerak menggoda selangkangannya. Satu tangannya masuk ke dalam celana Haechan.

“Hnghhh” Haechan mendesah keras saat Mark mengelus pintu lubang hangatnya.

Tubuhnya turun ke karpet, melepas celana Mark dengan terburu-buru. Penis Mark mencuat di depan wajahnya. Panjang, tegang menunjukkan urat-uratnya.

“Aakhh, Chanhh” mulut Haechan hangat, memberikan sensasi seperti tersengat listrik pada tubuh Mark.

Penisnya keluar masuk mulut Haechan. Lidah Haechan membelai kepala penisnya, menyedot precumnya. Bagian penisnya yang tidak muat dimainkan tangan Haechan. Bola kembarnya diremas pelan, membuat Mark menggeram nikmat oleh sensasi double di area sensitifnya.

“Uhuk” Haechan terbatuk, tersedak saliva yang bercampur precum Mark. Tangan Mark tanpa sadar menekan kepalanya, membuat penis Mark menabrak tenggorokannya. Sakit, tapi Haechan menyukainya.

Mark baru saja akan menyuarakan penyesalannya saat Haechan mengulum penisnya lagi, kali ini menyedotnya kuat. Mark berjengit kaget, mulai menerka-nerka fetish Haechan yang sepertinya tidak keberatan dengan rangsangan yang diberikannya.

“Hm-nghh” Mark mendorong wajah Haechan saat dirasakan ereksinya mulai naik. Tidak ingin keluar duluan.

Haechan melepas celananya sendiri, lalu duduk di pangkuan Mark dengan pandangan binal. Tersenyum miring, tahu Mark menahan diri.

“Kenapa?” ledek Haechan, puas dengan dirinya sendiri.

Nafas Mark memberat. Diraupnya bibir Haechan rakus, tangannya menampar pantat Haechan yang tidak berhenti menggoda penisnya.

“Nungging” Mark memerintah sambil meremas bongkahan pantat Haechan dengan keras.

Haechan merangkak, menuruti permintaan Mark. Setengah takut karena Mark tidak memakai lubricant, menerka-nerka seberapa sakit lubangnya kalau digempur tiba-tiba.

Tangan Mark meremas rambut Haechan, membuat tubuhnya meliuk dengan kepala terdongak. Lidah Mark menghujani leher belakang dan punggungnya dengan ciuman, satu tangan Mark memeluk pinggangnya, menahan tubuhnya.

Jantungnya berdebar, dua jari Mark menyapa pintu lubang analnya. “Kamu mmhh, nggak ada lube?” akhirnya Haechan berani bertanya.

Entah kenapa, Haechan bisa merasakan Mark tersenyum di balik punggungnya. Terasa.. berbahaya. Penisnya menegak, ereksinya naik tiba-tiba, tidak kuat dengan godaan bertubi-tubi yang diberikan.

“Akhh, Mark-nghh” kaki Haechan melemas. Pahanya tidak kuat menopang posisinya. Mark mengocok penisnya tiba-tiba dengan tempo sangat cepat.

“Nggak butuh lube” Mark berucap rendah, disusul dengan desahan panjang Haechan menyambut puncaknya.

Cairan Haechan mengotori tangan Mark, dioles ke lubang analnya. Pinggangnya diangkat.

“Aku bilang nungging, Haechan” Mark menampar pantatnya keras, meninggalkan bekas kemerahan samar.

Rasa nikmat orgasme pertamanya belum selesai, Mark tidak memberinya waktu untuk menikmati.

Satu jari Mark memasuki lubang hangatnya, membawanya pada pekikan bercampur desahan yang tidak putus-putus.

“Nghh, enakkh” Mark menambah jarinya, mempersiapkan lubangnya.

“Masukin” Haechan memohon. Lubangnya sudah berkedut minta diisi, tapi Mark masih betah memainkan jarinya di sana. Sesekali, Mark meludahi lubangnya. Membuat pintu lubangnya licin oleh spermanya yang bercampur saliva Mark.

“Minta yang bener. Kasih tau, kamu pengennya apa” Mark masih mengocok lubangnya dengan jari.

Haechan mendesah, frustasi. Tapi libidonya naik, suka diperlakukan demikian kasar oleh Mark yang tidak berhenti membuatnya mendesah nikmat.

“Mau dimasukin, mau disodok. Jangan pake nghh, hh-jari” Haechan menggigit bibirnya, menurunkan gengsi semampunya.

Sekujur tubuh Mark merinding, tidak menyangka kata-kata kotor Haechan sehebat itu efeknya.

“Aarghhh akhh Mark” Haechan memekik. Tangannya meremas bantalan sofa, bibirnya digigit keras. Mark memasukkan penisnya tanpa aba-aba. Tidak seberapa perih karena sudah dipersiapkan sebelumnya, tapi tetap sakit dan mengejutkan.

“Sakit?” Mark mengelus kepala Haechan lembut, tahu sang submissive sedang beradaptasi.

“Nghh- gerakin” pinta Haechan. Posisi ini menyiksanya.

“As you wish” Mark menggerakkan pinggulnya. Awalnya pelan, lama-lama semakin keras.

Suara decitan sofa beradu dengan desahan dan erangan keduanya. Tamparan pada pantat Haechan yang seringkali dilayangkan menambah kombinasi suara dalam ruangan.

Beberapa tusukan terakhir Mark menghantam titik manisnya tepat, membuat Haechan mendongakkan kepala setinggi-tingginya. Gerakan pinggul keduanya bertahap, temponya naik seiring berjalannya waktu. Membuat ereksi keduanya terpancing naik dengan sensasi memabukkan.

“M-markkhh” “Eunghh, akhh” desahan keduanya bertabrakan. Tubuh keduanya ambruk ke sofa, menikmati puncaknya masing-masing yang datang hampir bersamaan.

Cairan keduanya berceceran, mengotori sofa. Mark meringis dalam hati, merasa beruntung karena tinggal sendiri.

Mark memandangi Haechan yang sedang mengatur nafasnya. Tampan, terlalu rupawan di mata Mark. Tangannya mengelus punggung Haechan yang naik turun, bibirnya mengecup pelipis Haechan.

“Berat” Haechan terlebih dahulu membuka suara. Setengah tubuhnya masih ditindih Mark yang tadi tumbang diatasnya.

Mark tertawa kecil, berusaha bangkit dari sofa. “Yuk, mandi”

“Bareng?”

“Ya, iya?” Mark membalas bingung.

“Nggak ah” Haechan menolak.

“Kenapa? Takut pengen lanjut?”

Haechan membuang pandangannya, salah tingkah dengan pertanyaan Mark.

Mark tersenyum miring, lalu berlutut di karpet, di bawah Haechan yang masih duduk di sofa.

“Yuk” tangannya melingkar di pinggang Haechan, mengangkatnya seperti karung beras.

Yang diangkat cuma teriak-teriak nggak jelas, malu sekaligus deg-degan merasakan hawa-hawa permainan selanjutnya karena sepertinya Mark belum lelah sama sekali.


Disclaimer; safe sex itu penting ya. Terutama untuk anal sex, harus menggunakan yang namanya kondom dan lubricant.

CW // mentioning kenakalan remaja , 🔞

Semua yang tertulis disini adalah untuk kepentingan cerita, tidak untuk ditiru. Batas umur minimal untuk mengonsumsi minuman beralkohol di Indonesia adalah 21 tahun.

Haechan meletakkan kepalanya di atas meja tempat botol-botol minuman kosong berjejer. Kepalanya mulai pusing, padahal dia sudah mewanti-wanti dirinya sendiri untuk tidak minum melampaui batasnya. Tapi sepertinya mereka terlalu terbawa suasana. Menenggak berkali-kali di awal, lalu efek minumannya datang belakangan.

Satu jam yang lalu, keenam anak remaja dalam apartemen itu masih tertawa-tawa riang. Menertawakan tantangan dan hukuman satu sama lain, bertukar cerita-cerita, pokoknya random deh. Tapi satu per satu mulai terkapar. Entah di kasur yang disiapkan di ruang tengah, menumpu kepala di atas meja, bahkan Lucas dengan tubuh tinggi semampainya tiduran di lantai.

“Chan” Mark menepuk pelan pipi Haechan yang tidak menempel di meja.

“Ngg?” Haechan berusaha fokus.

Mark tahu, Haechan sudah mulai pusing. Tapi belum mabuk seperti yang lain.

'Kuat juga' batin Mark, padahal kalau dihitung-hitung Haechan sudah minum lumayan banyak.

“Pindah ke sofa, yuk? Nanti pegel”

Haechan menggeleng. Entah dorongan dari mana, tangannya meraih kepala Mark. Ditidurkan di atas meja, menghadap dirinya.

Mark meringis saat kepalanya membentur meja kayu. Tidak terlalu keras, tapi tetap saja mengagetkannya.

“Mau tidur di sini aja?” tanya Mark lagi, kali ini matanya memandang lurus Haechan.

“Nggak” Haechan membalas tatapan Mark. Sayu sekali, kalau Mark tidak menahan diri entah apa yang akan terjadi.

“Mau ke kamar” Haechan berucap.

'Hah? Kamar?' Mark terkejut. 'Kamar mana yang dia maksud? Kamar gue?'

Memang cuma ada satu kamar di apartemen itu. Karena teman-temannya mau menginap, Mark sengaja menyiapkan satu kasur di ruang tengah di depan sofa. Lalu, kamar yang dimaksud Haechan?

Tadi semuanya memang sudah sempat masuk ke kamar Mark untuk melihat-lihat. Mark dengan sukarela menunjukkan kamarnya, tapi Ia tidak yakin yang Haechan maksud adalah kamarnya.

Baiklah, sepertinya memang kamarnya.

“Yaudah, yuk” Mark berdiri dan membopong Haechan ke kamarnya. Ditidurkannya dengan hati-hati di atas kasur, lalu diselimuti hingga ke leher.

Mark duduk di sisi kasur dengan bingung. Haruskah Ia tidur di kamar menemani Haechan? Atau Ia tidur di sofa? Tapi sebagai tamu, Haechan pasti merasa sangat tidak enak kalau besok pagi saat Ia terbangun, Ia mendapati si tuan rumah malah tidur di sofa.

Mark bangun dari kasur, berniat kembali ke ruang tengah dan membereskan gelas-gelas dan botol-botol kosong. Namun, tangan Haechan menahan pergelangan tangannya.

“Jangan ditinggal” ucap Haechan parau.

'Ini ngigo apa beneran sih' lagi-lagi Mark terkejut.

“Bentar ya, aku beresin meja dulu” bisik Mark sambil membelai surai Haechan yang jatuh di dahinya.

Jantungnya berdebar keras, seperti mau lompat dari tubuhnya saat menyadari mulutnya mengucap aku, bukan gue seperti biasanya. Mark menyalahkan alkohol malam ini yang membuatnya lebih berani dari biasanya, walaupun tidak sampai membuatnya mabuk.

Haechan beringsut, menggeser dirinya memberi ruang untuk Mark. Pergelangan tangan Mark masih ditahannya.

Haechan menarik Mark keras, membuat yang ditarik kehilangan keseimbangan dan jatuh ke kasur dalam posisi setengah tertidur. Beruntung, tangan satunya masih sanggup menumpu tubuhnya.

Selanjutnya tidak ada kata-kata yang terucap. Mark menyadari Haechan memandang belahan bibirnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Tatapannya pindah dari bibir Mark, ke matanya, lalu ke bibirnya lagi, selanjutnya Haechan mempersempit jarak mereka dan menempelkan bibirnya ke bibir Mark.

Mark terkejut, tapi dengan cepat menguasai diri. Bibir keduanya berpagutan. Ciuman yang awalnya hanya sekedar menempel, berubah memanas. Haechan mendorong Mark pelan, mengubah posisinya menjadi sepenuhnya tengkurap di atas Mark dengan lidah yang masih berperang.

Tangan Mark masuk ke dalam sweatshirt yang dikenakan Haechan, mengelus punggung dan pinggangnya. Mark bisa merasakan Haechan merinding di sekujur tubuhnya, lenguhannya tertahan bibir keduanya yang masih bertaut.

“Boleh?” Mark meminta ijin saat ciuman keduanya terlepas, mendapati Haechan menatapnya dengan pandangan.. lapar?

Haechan menjatuhkan kepalanya di perpotongan leher Mark, menggeram pelan. Tidak ada jawaban, tapi ciuman Haechan di lehernya diartikan Mark sebagai lampu hijau.

Mark mengangkat sweatshirt Haechan melewati kepalanya, lalu gantian membuka bajunya sendiri. Haechan terduduk di pinggangnya, disusul Mark yang mendudukkan dirinya dan menyusun bantal untuk bersandar pada headboard tempat tidur.

Haechan menarik tengkuk Mark, mengajaknya kembali pada ciuman panas mereka. Satu tangan Mark menyusuri dada Haechan, kemudian mengelus pelan nipple nya, membuat Haechan menggelinjang pelan.

Perlahan, Mark mengangkat tubuh Haechan dari pahanya. Menukar posisi supaya Haechan berada di bawahnya. Ciumannya turun ke leher Haechan, membuat sang pemilik tubuh melenguhkan desahan pertamanya.

'Shit' Mark mengumpat dalam hati. Hanya satu desahan, Mark bisa berasakan seluruh darah dalam tubuhnya berdesir.

Ini bukan pertama kalinya Mark melakukan hubungan seperti ini. Di Kanada, Ia pernah melakukannya dengan mantan kekasihnya. Namun, mantan kekasihnya adalah perempuan dan Ia tidak pernah menyimpan rasa apapun pada perempuan itu. Perempuan itu hanya kakak kelas baik hati yang seringkali merangkap sebagai tutor pribadi Mark, yang kemudian menyatakan perasaannya pada Mark di hari Valentine, lalu Mark yang tidak ingin mengecewakan akhirnya menerima pernyataan cintanya.

Hatinya menyimpan sebuah rasa penasaran yang kemudian berubah menjadi rasa tertarik pada adik teman baiknya yang Mark tahu, selalu menunggunya di discord untuk bermain dengan kakaknya. Hari ketika Mark mengakhiri hubungannya dengan kakak kelasnya juga menjadi hari dimana Ia menyadari bahwa Ia tidak menyimpan ketertarikan pada perempuan, melainkan pada laki-laki. Namun, Mark tidak pernah tahu bahwa melakukan hal ini dengan orang yang mengisi ruang hatinya akan memberikan efek seperti yang Ia rasakan sekarang.

“Aakhh, Mark” desahan Haechan memasuki indera pendengaran Mark saat bibir Mark menghisap lehernya perlahan, bersamaan dengan satu tangannya yang meremas pelan selangkangan Haechan yang masih terbalut celana.

“J-jangan, hhh”

Mark mengangkat kepalanya dari perpotongan leher Haechan, lalu tersenyum tipis. “Aku tahu”

Lalu ciumannya turun ke dada, ke perut, ke pinggang, lalu ke pinggul Haechan. Tangannya melepas celana sekaligus celana dalam Haechan, melemparnya sembarangan ke lantai.

Nafas Mark menerpa penis Haechan yang mulai berdiri tegak. Ujungnya mengkilap, basah oleh precum.

Mark memandang Haechan dari bawah, mendapati Haechan menunggunya dengan tatapan memohon. Tangannya memijat pelan penis Haechan yang sudah sepenuhnya tegak, lalu menghisapnya naik turun.

“M-markk, aahh” Haechan menggigit bibir, menahan desahan yang terlalu keras. Takut terdengar teman-temannya di luar.

Tangannya menjambak rambut Mark, menahan kenikmatan yang tidak pernah dirasakannya. Mulut Mark begitu hangat, gerakan lidahnya begitu memanjakan penisnya.

“Emhh, akhh, Maarkhh” kepala Haechan terangkat keatas, pandangannya mengarah ke langit-langit yang terlihat begitu putih. Mark menelan semua cairannya, bahkan menyedot penisnya kuat hingga kaki Haechan benar-benar terasa seperti berubah menjadi agar-agar.

Mark merangkak ke atas tubuh Haechan, menarik dagunya, dan membawanya kembali ke dalam ciuman panas.

Nafas Haechan masih terputus-putus. Refleks, tangannya mendorong bahu Mark pelan.

“Aku..” Haechan terdiam, tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Mark yang berada diatasnya begitu menawan, dengan beberapa anak rambut yang menempel di pelipisnya. Lidah Haechan kelu, terpesona dengan apa yang bisa ditangkap netranya.

Mark menatapnya, memberi waktu untuk Haechan melanjutkan kalimatnya.

“Boleh berhenti sampai di sini?” pertanyaan Haechan membuat sekujur tubuh Mark kaku, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Beberapa detik, keduanya mematung. Haechan yang tidak percaya dengan apa yang diucapkannya, Mark yang masih sibuk mencerna ucapan Haechan.

Selanjutnya Mark bangun dari kasur, memakai bajunya yang tadi dilemparnya ke lantai, lalu keluar kamar dan tidak kembali ke kamarnya malam itu.

warnings: mature content, mentioning sex toys, 18+

Mark mengetuk pintu kayu besar dengan gagang besi kokoh berwarna emas. Dari pintunya saja, semua orang akan tahu bahwa ini bukanlah ruangan karyawan biasa.

Sensor tanda pintu dibuka dari dalam berbunyi. Mark melangkah masuk dan membungkukkan tubuhnya sebanyak 30 derajat. “Ada yang bisa dibantu, Sir?

Yang dipanggil 'Sir' sedang duduk membelakangi Mark, lalu tidak lama kursi itu berputar 180 derajat.

“Apakah aku masih ada jadwal setelah ini?” tanyanya.

“Tidak ada jadwal resmi Perusahaan, Sir. Namun, aku akan mengantarmu kembali ke mansion Nyonya Lee” jawab Mark. Sepertinya ia sudah memberitahu tentang hal ini kepada bosnya. Tidak seperti biasanya, bosnya itu bertanya hal yang sudah diberitahunya. Apa mungkin dia lupa?

Bosnya berdehem. “Batalkan. Aku harus menghadiri pembukaan tempat usaha baru temanku. Terserah apa alasan yang kau buat kepada Ibuku”

“Tapi, Sir, hari ini adalah acara pertunangan Nona Lee Chaeyoung dan Nyonya Lee menghendaki semua anaknya hadir di sana”

“Lee Chaeyoung bukan kakakku. Aku tidak perlu hadir dalam acara orang yang bahkan bukan keluargaku” jawabnya.

Mark mengangguk, “Kemana aku harus mengantarmu, Sir?

Octagon” jawabnya. “Aku tidak akan lama, hanya berbasa-basi dengan temanku. Setelah itu kau boleh mengantarku ke penthouse. Kau tidur di tempatku malam ini karena besok aku harus berangkat ke Osaka”

Mark membungkukkan tubuh, lalu bersiap untuk turun ke basement dan menyiapkan mobil. Namun suara bosnya menahannya beranjak ke luar. “Selama aku berada disana, panggil aku dengan namaku tanpa embel-embel 'sir'”

Mark membelalakkan matanya terkejut. Tubuhnya memutar dan menatap bosnya yang ternyata sudah menatapnya tajam.

“Lee Donghyuck.” bosnya menekankan sekali lagi.

Nadanya final, dan Mark tahu ia tidak punya pilihan lain selain menaati perintah bosnya. Jadi Mark membungkukkan badan dan meninggalkan ruangan bosnya.


Mark menutup pintu mobil setelah Donghyuck memasuki mobil, lalu ia sendiri memutari sisi depan mobil dan masuk ke bagian kemudi.

“Dimana tempatnya?” Donghyuck tiba-tiba bertanya, memecahkan keheningan di dalam mobil.

“Gangnam, Sir” jawabnya refleks, yang dihadiahi tatapan tajam dari Donghyuck di layar rear view.

Mark berdehem gugup, tidak terbiasa dengan situasi ini. Namun akhirnya ia berusaha membiasakan dirinya, “Maksudku Gangnam, Donghyuck”

Donghyuck membuang pandangan ke arah jalanan, memutus kontak mata dengan sekretarisnya. Pandangannya menyapu kelap-kelip jalanan kota Seoul yang tidak pernah padam meskipun pada dini hari. Restoran-restoran, bar, club, dan berbagai tempat yang masih dipenuhi oleh lautan manusia

Mobil memasuki area Gangnam. Kemudian tanpa memakan waktu terlalu lama, mereka memasuki area parkiran yang sudah cukup ramai.

Mark baru saja akan menghentikan mobilnya di lobby untuk membiarkan Donghyuck turun sementara dirinya mencari parkir, saat didengarnya suara Donghyuck dari kursi belakang, “Tidak perlu berhenti di lobby

Keduanya turun setelah Mark memarkir mobil dan menguncinya. Lalu seperti club pada umumnya, keduanya diperiksa dengan alat-alat pendeteksi metal dan pemeriksaan kartu tanda pengenal.


Musik berdentum kencang memenuhi indra pendengaran Mark dan Donghyuck. Manusia-manusia berkumpul di dance floor. Pandangan orang-orang yang menari, suara tawa, dentingan gelas, semuanya jadi satu.

Mark membuang pandangannya ke arah lain saat netranya menangkap Donghyuck yang sedang memejamkan mata.

Setahu Mark, bosnya ini bukan tipe orang yang akan minum hingga mencapai batasnya. Namun sepertinya, malam ini Donghyuck melewati batasnya. Lengan kemejanya digulung ke siku, dua kancing teratasnya dibuka entah sejak kapan, dan jas mahalnya tersampir di sofa.

Untuk pertama kalinya selama 9 tahun bekerja menjadi sekretaris Donghyuck, bosnya ini telihat berantakan.

Mark menarik rokoknya dalam dan menghembuskannya ke arah yang berlawanan dengan Donghyuck. Untuk pertama kalinya juga, ia merokok di depan Donghyuck. Selama ini, Mark hanya merokok saat Donghyuck tidak bersamanya.

Bukan tidak boleh, namun hubungan mereka selalu terjaga secara profesional.

Teman Donghyuck yang katanya akan ditemui juga ternyata hanya menemui mereka sebentar, membukakan sebuah sofa dan menyediakan dua botol vodka yang Mark tahu tidak sembarang orang bisa duduk dan membayar harganya.

Mark sendiri bingung, kenapa teman Donghyuck menyediakan minuman sebanyak itu untuk mereka. Padahal, mereka hanya berdua. Apa mungkin temannya beranggapan bahwa mereka akan menyewa banyak wanita untuk menemani mereka malam ini?

Tadi, Donghyuck memang memperkenalkan Mark sebagai teman kepada sang pemilik club. Baiklah, mungkin satu botol untuk satu orang? Mark tidak tahu dan tidak peduli.

Mark baru saja akan meneguk minumannya lagi saat dirasakan kepala Donghyuck terantuk dan mendarat di bahunya.

Mark menoleh, melihat Donghyuck yang terlihat sangat jelas sudah mulai pusing.

“Kenapa?” tanya Mark, tepat di telinga Donghyuck karena saat ini posisinya sangat dekat dengan bosnya itu.

Donghyuck menghembuskan nafasnya perlahan, menerpa hidung Mark. Matanya memandang Mark dengan pandangan sayu, dengan bibir yang setengah terbuka. Bahkan bibirnya masih lembab karena habis menenggak minuman.

Netra bertemu netra, nafas bertemu nafas.

Mark belum sempat memproses apa yang terjadi saat Donghyuck menarik tengkuknya dan melumat bibirnya. Lidah Donghyuck mengetuk bibirnya, meminta akses masuk yang secara refleks langsung diberikan olehnya.

Lidah Donghyuck menyapa lidahnya, mengabsen gigi-giginya.

Mark tersadar. Tangannya mendorong bahu Donghyuck, memutus kontak bibirnya.

“Aku akan mengantarmu pulang” ucapnya cepat, lalu ia menuntun Donghyuck menuju parkiran.

“Di depan” ucap Donghyuck saat Mark akan membukakan pintu belakang tempat Donghyuck biasa duduk.

Mark tidak menyanggah, mendudukkan Donghyuck di kursi sebelah kemudi dan memasuki sisi mobil satunya.


Jalanan tidak seramai saat mereka berangkat, cukup lengang dan itu bagus karena Mark benar-benar ingin sampai ke penthouse Donghyuck dengan cepat.

9 tahun bukan waktu yang singkat. Mark sudah mengenal bosnya ini luar dalam, bahkan hampir seperti mengenal dirinya sendiri. Mark harus menelan kenyataan bahwa dirinya mau tidak mau jatuh hati pada bosnya yang terlihat kuat, namun begitu rapuh di dalamnya.

Mark telah bersama bosnya melewati berbagai hal dalam hidupnya, mulai dari ketika Donghyuck baru selesai kuliah dan membangun karirnya, hingga kehancuran keluarganya yang menyebabkan bosnya ini menjadi pribadi yang workaholic. Karena itulah, ia tidak pernah berniat menyatakan perasaannya kepada Donghyuck. Donghyuck terlihat jauh dan tidak tersentuh, dan Mark tidak ingin berusaha meraihnya.

Pertahanannya hampir runtuh saat disuguhi pemandangan berantakan Donghyuck tadi, ditambah tiba-tiba Donghyuck mencium bibirnya. Mark tidak ingin apapun dari Donghyuck, ia hanya ingin membiarkan perasaannya tenggelam menjadi bagian paling dalam di sudut hatinya.

Mark hampir saja menginjak pedal rem secara mendadak saat dirasakannya tangan Donghyuck menyentuh pahanya. Tidak tanggung-tanggung, tangannya merayap hingga bagian paha dalamnya.

“Donghyuck” Mark berucap dengan suara serak. Ia sendiri tidak tahu kenapa suaranya terdengar begitu rendah dan dingin.

Donghyuck menatapnya dari samping. Tangannya yang berada di paha Mark pindah ke rahang Mark, tanpa mengetahui kalau gerakan sederhananya membuat Mark merinding di sekujur tubuhnya, mati-matian mengontrol dirinya sendiri.

“Tampan” Donghyuck berucap dengan nada menggantung. Benar-benar sedang menguji Mark dan segenap kewarasannya.

Satu tangan Mark naik dan menyentuh tangan Donghyuck di rahangnya, melepasnya perlahan tanpa berani mengucapkan apapun.


Pintu kamar baru saja ditutup. Donghyuck membalikkan tubuh Mark dan mendorongnya ke tembok, menubrukkan bibirnya ke bibir Mark. Kali ini ciumannya menuntut, lidahnya menyapa lidah Mark, mengajaknya berperang.

Tangan Donghyuck melepas simpul dasi Mark dengan tergesa-gesa, lalu melepas tiga kancing kemeja Mark.

Pagutan bibir keduanya memanas, berlomba-lomba berebut dominasi.

I want you” Donghyuck berucap parau.

Mark menyerah atas pertahanan dirinya. Persetan dengan profesionalitas, ini jam 1 dini hari dan bukan lagi jamnya bekerja. Persetan juga dengan etos kerja, bosnya yang meminta dirinya malam ini. Pikirannya kacau, dimabuk rasa manis dari mulut Donghyuck yang masih ada sisa rasa vodka dalam ciumannya.

Mark mendorong Donghyuck ke kasur. Tubuhnya merangkak ke atas Donghyuck.

Donghyuck mendorong bahu Mark saat bibir keduanya hampir menempel lagi. Mark paham, Donghyuck meminta dominasi. Jadi Mark memberikan apa yang sepantasnya ia berikan, validasi bahwa ia yang akan mendominasi permainan malam ini.

Mark menahan kedua tangan Donghyuck ke kasur. Bibirnya meraup Donghyuck, mengajaknya berperang sekali lagi. Saliva keduanya berceceran, pagutan bibirnya liar, panas, namun tidak teratur karena masih memperebutkan dominasi.

Nafas Donghyuck terengah-engah saat ciuman keduanya terlepas. Mark menghujani lehernya dengan ciuman basah. “Aku.. -erghhh” Donghyuck mendesah tertahan.

No, Hyuck.” Mark berucap rendah, tahu apa yang akan diminta Donghyuck yang jelas-jelas sudah kalah dibawah kukungannya.

Fuck” Donghyuck mengumpat, tanpa sadar menyulut Mark yang mati-matian menahan diri.

Right, I'm going to fuck you damn hard” Mark melepas seluruh kancing kemeja Donghyuck, lalu mengangkat punggungnya untuk melepas kemeja Donghyuck seutuhnya dan disusul dengan jas dan kemejanya sendiri.

Tangan Donghyuck bergerak ke arah ikat pinggang Mark, melepasnya cepat dan menurunkan risleting celananya yang sudah menggembung.

Mark menurunkan posisinya dan menyentuh ikat pinggang Donghyuck, matanya memandang Donghyuck dari bawah.

Take off your Vuitton, shall I?” tanyanya.

Damn. Yes, Sir” jawabnya tidak sabar, membuat Mark merinding karena Donghyuck memanggilnya dengan panggilannya untuk Donghyuck biasanya.

Mark naik ke kasur setelah keduanya sama-sama tidak lagi tertutup sehelai benang. Menghujani leher Donghyuck dengan kecupan basah, membuat yang berada di bawah mendesah tidak sabar.

Ciuman Mark turun ke dada Donghyuck. Mengecup dan menjilat setiap inci tubuh Donghyuck tanpa ada yang terlewati, seolah tidak ada hari esok.

“Hnghh” Donghyuck mendesah saat bibir Mark menyapa nipple nya. Tangan Mark turun ke penisnya, memijatnya perlahan dan mengelus kepala penisnya yang sudah basah oleh precum.

Ciuman Mark turun ke pinggang Donghyuck, lalu ke pinggulnya, menciptakan sensasi berdesir di sekujur tubuh Donghyuck.

“Kau punya lube?” Mark bertanya dengan nada tidak yakin.

“Di laci” pandangan Donghyuck mengarah ke nakas kecil di sisi kasur, yang saat Mark buka ada dua kotak kondom, sebotol lube, dan.. vibrator?

Mark mengambil vibrator itu dan mengangkatnya ke udara. Membuat Donghyuck tersentak, terlihat jelas terkejut.

“Ah, itu..”

Entah keberanian dari mana, Mark melupakan segala posisinya malam ini. Bibirnya mengulas senyum miring, lalu bertanya “Apa kau ingin mencobanya?”

Mata Donghyuck terbelalak. “Tidak, tolong jangannhh -aakhh” tubuhnya terhentak saat Mark menyalakan dan menempelkan kepala vibrator ke bibir analnya.

Pandangan Mark menggelap. Dengan cepat, Ia melumasi vibrator itu dengan lube, lalu memasukkannya ke lubang anal Donghyuck. Mark membawa Donghyuck ke dalam ciuman panas, tidak memberinya kesempatan untuk menolak.

Mark bisa merasakan nafas Donghyuck benar-benar kewalahan. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah, melawan getaran vibrator di dalam lubangnya. Tangannya meremas dan menjambak rambut Mark, menyalurkan rasa frustasinya.

“Keluarkan, hhh, tolonghh” Donghyuck memohon, menatap Mark dengan pandangan sayu.

Mark menggigit bibirnya, menahan nafas melihat pemandangan di bawahnya. Tangan Donghyuck mengelus rahangnya, mencoba memohon sekali lagi. “Please me” pintanya.

My pleasure

Donghyuck mendorong Mark, membalikkan posisi mereka. Tubuhnya dengan cepat turun ke bawah, mendekati area selatan Mark. Tangannya mengurut penis Mark yang sudah berdiri tegak, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.

Fuck” Mark mendesis saat merasakan kuluman hangat di penisnya. Tangannya menekan kepala Donghyuck, membuat penisnya menabrak tenggorokan Donghyuck dan membuatnya tersedak.

Mata Donghyuck berair. Penis Mark memenuhi rongga mulutnya, dan vibrator sialan ini masih bertengger di lubangnya.

Tangan Mark menarik kepala Donghyuck, membuat kulumannya terlepas.

Mark membalikkan posisi, mengembalikan Donghyuck berada di bawahnya.

“Keluarkan, please?” sekali lagi Donghyuck memohon.

What do you want, sweetie? Tell me

Donghyuck mengerang frustasi. Donghyuck tidak buta, Ia tahu Mark menaruh perasaan padanya atau minimal menyukainya. Donghyuck cukup peka untuk hal itu. Tapi Ia tidak pernah tahu bahwa ketika Ia berhasil mewujudkan fantasi liarnya dengan objek yang selalu dibayangkannya setiap malam, laki-laki ini sanggup berubah menjadi iblis menakjubkan yang menguji pertahanannya.

Gengsinya setinggi langit, dan Donghyuck tidak suka harus menurunkannya lebih dari sekedar memohon.

I want you, Sir. I want your motherfucking penis to fill in my hole. I want you to fuck me damn hard. Put that fucking vibrator away” Donghyuck menekankan kata terakhirnya, menggigit bibirnya, mati-matian menahan malu karena harus memohon menyedihkan dibawah Mark yang sayangnya malam ini tidak terlihat seperti sekretarisnya.

I shouldn't tolerate your language, should I?” lidah Mark menjilat sudut bibirnya yang setengah terbuka, membuat Donghyuck hampir gila menahan rasa ingin meledak.

Please, please” sekali lagi, Donghyuck memohon.

Mark mencium bibir Donghyuck singkat, lalu membalikkan tubuhnya. “Menungging” perintahnya yang kemudian dituruti Donghyuck dengan senang hati.

Dengan cepat, Mark melumuri jari-jarinya dengan lube, lalu menukar vibrator itu dengan jarinya.

“Eunghh Mark” Donghyuck mendesah tidak karuan saat Mark menambah jarinya di dalam lubang analnya, ditambah dengan lidah Mark yang menyapa pintu analnya.

Saat dirasa sudah cukup, Mark mengeluarkan jarinya. Memakai kondom, lalu melumuri lubang anal Donghyuck dengan lube. Mark tidak yakin, entah ini kali pertama atau memang Donghyuck sudah jarang melakukannya, atau biasanya laki-laki ini berada di atas. Hanya saja Mark tahu, Donghyuck sangat sempit.

“Tahan sedikit” Mark meremas pantat bulat Donghyuck, mempersiapkannya.

“Aarghhh sakit, Mark” Donghyuck memekik kaget saat Mark memasukkan penisnya ke dalam lubang anal Donghyuck dengan sekali hentakan.

“Tahan sebentar” Mark mendesis, lalu menghujani punggung Donghyuck dengan ciuman. Membuat Donghyuck dengan cepat melupakan rasa sakitnya.

Mark mulai bergerak saat dirasakannya Donghyuck mulai terbiasa dengan penisnya. Tangannya meremat rambut Donghyuck dari belakang. Kepala Donghyuck terdongak ke atas, mengeluarkan desahan tanpa henti.

Tangan Mark mengocok penis Donghyuck, memberikan sensasi kenikmatan dua kali lipat pada tubuh Donghyuck yang mulai bergetar.

Fuck, akhh Mark eunggh” desahan Donghyuck semakin tidak terkontrol. Mark tahu, Ia telah menemukan titik manis Donghyuck.

Mark mempercepat gerakan sekaligus kocokannya, memancing surga dunia untuk mereka berdua.

“Akuu -arghh” Donghyuck berteriak tertahan saat mencapai puncaknya. Spermanya kotor mengenai kasur dan tangan Mark yang masih bertengger penisnya.

Desahannya tidak terhenti karena Mark tidak memberinya waktu untuk menikmati puncaknya. Hentakan pada analnya semakin cepat hingga akhirnya, “Eunghh aakhhh” Mark mendapatkan pelepasannya.

Tubuhnya ambruk ke sisi Donghyuck dengan posisi masih memeluk laki-laki itu dari belakang.

Keduanya menetralkan nafas, berlomba-lomba meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Mark” panggil Donghyuck lebih dulu.

“Hm?” Mark menjawab dari balik lehernya, membuat Donghyuck meremang karena masih sensitif.

“Kau tidak..” Donghyuck menjilat bibirnya ragu. “Mengeluarkan penismu?”

Mark tertawa kecil, lalu mengeluarkan penisnya dan membuang kondomnya di tempat sampah. Kembali ke ranjang, Mark menidurkan dirinya di hadapan Donghyuck yang kini berbalik menghadap dirinya.

“Kau.. ingin sesuatu?” Mark bertanya. Tersirat nada ragu bercampur khawatir, menyadari bahwa kesadaran Donghyuck sudah kembali seutuhnya.

“Tidak” tangan Donghyuck memeluk pinggang Mark, menarik dirinya menempel pada dada bidang Mark. Dada kokoh yang pernah menjadi tempatnya menangis bertahun-tahun yang lalu, saat keluarganya hancur berantakan dan tidak ada satu orang pun yang percaya padanya bahwa Ia sanggup memimpin raksasa bisnis Ayahnya. Donghyuck merindukan Marknya.

“Tidurlah” Mark mengelus kepala Donghyuck, memberanikan diri mengecup pucuk kepalanya. “Besok kita ada flight ke Osaka”

“Batalkan” Donghyuck berucap, masih terbenam di dada Mark sehingga suaranya agak samar.

“Apa?”

“Batalkan” ulang Donghyuck, kali ini menatap Mark dari bawah dagunya.

Mark menatap Donghyuck bingung, “Kenapa?”

Gantian Donghyuck yang bingung. Ia memang tidak punya alasan apapun karena flight di jam 10 pagi tidak berpengaruh apa-apa. Masih ada sekitar 5 jam, lumayan cukup untuk beristirahat.

“Apa kau masih ingin satu sesi lagi bersamaku?” Mark tersenyum geli, memandang laki-laki di pelukannya yang pipinya sudah memunculkan semburat merah.

Ia tidak butuh validasi, Ia tidak butuh jawaban apapun. Ia tahu, Lee Donghyuck menginginkannya. Itu sudah lebih dari cukup.

cw // mentioning kenakalan remaja , smoking

Haechan menghempaskan pantatnya ke sofa tua yang ada di rooftop. Tangannya mengeluarkan sekotak rokok dan sebuah korek api dari kantung celana putih abu-abunya, mengambil satu batang dan diselipkan ke belahan bibirnya. Matanya memperhatikan punggung Mark yang sedang berdiri di sisi tembok.

Atletis. Haechan dengan cepat menebak bahwa laki-laki itu setidaknya melatih otot punggungnya dengan rutin di gym, atau minimal berenang.

Tangan kiri Mark berada di dalam kantung celana seragam, sementara satu tangannya yang lain menyugar rambutnya, menyingkirkannya dari dahi lalu memasukkan tangannya ke dalam kantung jaketnya.

Haechan terpaksa mengakui, bahkan laki-laki itu terlihat err, naturally attractive walaupun hanya dari bagian belakang tubuhnya saja.

Haechan mengalihkan pandangannya. Ia membakar rokok di selipan bibirnya dan menyesapnya kuat, menariknya hingga ke tenggorokan, membiarkan rasa dingin dari sensasi menthol pada rokoknya memberikan rasa segar pada rongga lehernya.

“Mark” panggilnya.

Mark menoleh, tersenyum ke arah Haechan, lalu menyusul laki-laki yang lebih mungil duduk di sofa.

Haechan menyodorkan kotak rokoknya.

“Gue enggak ngerokok” tolaknya.

“Lah?” Haechan mengangkat alisnya tinggi, bingung dengan jawaban Mark.

“Mau nemenin aja, daripada lu bosen sendirian” Mark menjelaskan.

Haechan mengangguk, meletakkan rokok dan koreknya di kursi kayu di sisi sofa. Selain sofa tua, memang ada beberapa kursi kayu yang sudah tidak lagi dipakai di dalam kelas. Entah siapa yang meletakkan, padahal seharusnya mungkin sudah dibuang oleh petugas kebersihan sekolah.

“Kak Jae” Mark membuka percakapan.

Haechan yang sedang menyandarkan punggungnya ke sisi sofa sambil menaikkan satu kakinya, menoleh.

Mark berdehem. “Cerita apa?”

Haechan tertawa kecil, “tanya aja sama Kakak” tanggapnya.

“Udah jarang main. Lagi sibuk katanya”

“Emang” Haechan membenarkan. “Tiap hari balik malem, rapat terus”

Mark ikut menyamakan posisi Haechan. Punggungnya menyandar pada sisi sofa satu lagi, lalu satu kakinya dilipat dan diletakkan di atas sofa. Keduanya setengah berhadap-hadapan, karena posisinya lebih ke arah serong satu sama lain.

Matanya memperhatikan Haechan dengan seksama, sementara yang diperhatikan fokus dengan rokoknya.

Menyesap rokoknya dalam, menariknya ke tenggorokan, lalu dihembuskan.

Haechan yang merasa diperhatikan mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan mata Mark, “Kenapa?”

Mark terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu.

“Yang suka ada di discordnya Kak Jae, itu lu?” tanyanya.

Haechan menyelipkan rokoknya di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. “Iya. Gue gak punya saudara lagi”

Haechan membuang pandangannya. Mengatur debaran jantungnya, tapi berusaha meyakinkan diri bahwa kekhawatirannya tidak akan terjadi.

“Berarti yang waktu itu ngomong ‘suara temen lu telfonable amat, kenalin ke gue dong buat sleepcall’ itu lu juga?” Mark bertanya.

Haechan tersentak. ‘Shit, dia denger

Haechan berdehem. “Yaaaa, gitu” jawabnya asal.

Pipinya terasa memanas. Memang pernah ada suatu waktu, ketika kakaknya selesai bermain game dan sudah mematikan PC, Haechan bertanya. ‘Lu tiap hari main sama dia, Kak?’ ‘Hampir tiap hari lah. Kenapa?

Sejak hari itu, setiap hari Haechan bertandang ke kamar kakaknya. Entah mengerjakan PR, sekedar tiduran di kasur sambil scroll instagram, atau cuma duduk memperhatikan Kak Jaehyun bermain game.

Kakaknya tidak bertanya, sudah terbiasa. Hanya saja, intensitasnya bertambah. Demi mendengar suara yang katanya telfonable, lalu membayangkan rupa sang pemilik suara.

Sampai suatu hari, Kakaknya mulai lebih sibuk dari biasanya. Haechan memaklumi, Kakaknya sibuk dengan kuliah dan organisasi.

Tapi ketika di suatu weekend Kakaknya sedang bermain game, Haechan tidak tahan untuk tidak bertanya. ‘Temen lu yang biasa ke mana, Kak?’ ‘Gak tahu, udah gak pernah main bareng. Gak cocok kali waktunya

Haechan merasa kehilangan waktu itu, tapi tidak lama karena ia disibukkan dengan persiapan MPLS untuk masuk SMA.

———

Mark tersenyum kecil. “Mau gue sleepcall gak, nanti malem?”

Haechan mendelik sebal, sudah menduga akan jadi bahan ledekan Mark. “Enggak”

Gengsian amat’ batinnya dalam hati.

Jaehyun sering bercerita kepadanya, ketika Haechan tidak ada tentunya, kalau adiknya itu sangat sering berada di kamarnya.

Mark tahu, adik Jaehyun menyukai suaranya. Hanya saja, dia tidak pernah tahu namanya.

Mark juga tahu, adik Jaehyun mencarinya saat kakaknya itu tidak pernah lagi bermain game dengannya.

“Mumpung lu udah tau yang punya suara” Mark berucap dengan nada jahil, masih meledek Haechan yang jelas-jelas salah tingkah.

“Diem ah” ucap Haechan akhirnya. Wajahnya memberengut lucu, sangat lucu di mata Mark.

Haechan membuang rokoknya ke lantai, menginjaknya untuk memadamkan sisa api. Tangannya mengambil satu batang rokok lagi, diselipkan di belahan bibirnya, lalu dibakar.

Haechan baru saja akan menyesap rokoknya ketika Mark mencondongkan tubuhnya ke arah Haechan.

Terlalu bersemangat, hingga jarak wajah Mark dengan wajah Haechan terasa cukup dekat.

Haechan masih bergeming saat Mark mengambil rokoknya dari selipan bibirnya. Sepertinya Mark tidak sadar kalau jarak wajah mereka agak terlalu dekat.

Mark menyesap rokok yang baru saja diambilnya dari bibir Haechan, menghisapnya kuat dan menariknya ke tenggorokan. Persis seperti yang Haechan lakukan.

“Manis. Bekas bibir lu” Mark berucap.

Haechan langsung pulih dari rasa terkejutnya. Tatapannya berubah sinis. “Gak mempan. Simpen aja buat orang lain”

“Gue gak lagi ngalus. Cuma ngasih tau yang gue rasain” ada sirat kejujuran di dalam suaranya. Walaupun Haechan tahu tidak mungkin bibirnya mengeluarkan rasa manis, tapi mau tidak mau perutnya terasa geli.

“Nih” Mark mengembalikan rokoknya saat Haechan mau mengambil kotak rokoknya lagi. “Gak kena lidah, gak basah kok”

Bibir Haechan mencebik, tapi tetap diambilnya rokok yang dikembalikan Mark.

“Bolos aja, yuk” ajak Mark.

“Ke mana?”

“Jalan-jalan. Ke dufan”

Haechan menatap Mark. “Serius?”

“Kenapa emangnya?” Mark balik bertanya.

“Random aja, gue kira bolos ke mekdi”

Mark memaklumi jawaban Haechan. Yah, kan mereka anak SMA. Paling mentok juga, bolosnya memang ke mall atau ke McDonalds terdekat. Kalau takut ketemu guru, cari McDonalds yang agak jauh dari area sekolah.

“Udah ada SIM?” tanya Haechan.

“Udah lah, gue kan setahun di atas lu”

Haechan menepuk jidatnya pelan. Lupa kalau Mark mengulang tahun pertama.

“Yuk” Haechan membuang rokok keduanya.

“Ketemu di parkiran. Gue ambil tas di kelas”

“Terus lu gimana ijinnya?” tanya Haechan.

“Lucas udah sempet ijinin gue ke UKS. Tar gue bilang gue gak kuat, mau balik aja” jelasnya.

Haechan meletakkan piring berisi nasi uduk di hadapan Jeno. Baru ada Jeno di mejanya, mungkin Jaemin dan Renjun sedang antri membeli makanan lain.

“Makasih, Chan” Jeno berucap. “Kok lu nggak makan?”

“Udah, barusan. Sekalian Mark juga belum sarapan terus mau makan” jawab Haechan.

Jeno menahan tawanya. “Orangnya kemana sekarang? Lu umpetin ya”

Haechan mendengus malas, lalu menimpuk Jeno dengan segel air mineral yang baru dibukanya. “Cabut sama temennya. Enak aja gue umpetin! Kondom kali, ah”

Jeno tertawa lepas, disambut dengan pandangan heran Jaemin dan Renjun yang datang dengan jajanan-jajanan yang diletakkan asal di atas meja kantin.

“Apaan?” tanya Renjun penasaran.

Jeno mengangkat alisnya, lalu tersenyum meledek ke arah Haechan.

“Temen lu tuh, dikasi bolos suruh nganterin murid baru malah pacaran”

Haechan mendelik sebal. “Mulut lu gak ada akhlaknya”

Tangan Haechan meraih cilok yang diletakkan di atas meja. “Tadi makan bareng Mark, soalnya dia belum sarapan. Sekalian, gue juga” jelasnya sebelum ditanya.

Ngapain juga nunggu ditanya? Kan memang dua temannya ini menunggu jawabannya.

Jaemin menatap Haechan dengan tatapan iri. “Harusnya tadi gue tetep ikut Jeno berangkatnya”

Renjun tertawa. “Yee, kita kan salaman sama dia.”

“Ambil deh, gue gak minat” gerutu Haechan malas.

“Terus orangnya mana sekarang?” Renjun bertanya.

“Udah cabut. Bareng temennya tadi” jawab Haechan.

“Dia udah ada temen?” kali ini Jeno yang bertanya.

“Anak kelas sebelah sih tadi, si Lucas”

Ketiganya mengangguk-angguk. Kan memang sudah melewati masa MPLS, jadi wajar kalau Mark sudah punya teman.

Keempatnya melanjutkan sisa waktu istirahat mereka sambil mengobrol sampai bel berbunyi dan mereka harus kembali ke kelas, melupakan topik tentang Mark yang sebenarnya tidak ada penting-pentingnya juga.

Emang dasarnya, hobi aja gibahin orang ganteng.

Kalau kata Jaemin sih, “sayang kan, ada makhluk Tuhan sesempurna itu gak dijadiin bahan omongan. Lagian, selama gak negatif, artinya gue memuji. Bukan gibah

Mark menutup pintu ruang kepala sekolah setelah memverifikasi ulang data-datanya.

Sebagai mahasiswa transfer yang sebenarnya sudah sempat menjalani masa SMA tahun pertama selama satu tahun, sebenarnya bisa saja pihak sekolah memberi kemudahan untuknya.

Tetapi kedua orang tua Mark menolak. Alasannya, pelajaran di sekolah Mark di Kanada tidak sama dengan pelajaran di Indonesia, sayang sekali kalau anaknya melewatkan dasar-dasar pelajaran di SMA.

Mark sendiri tidak keberatan, malah justru dia yang mengusulkan hal itu kepada Mamanya tempo hari.

Ribet, Ma. Di Indonesia ada sistem Ujian Nasional, nanti aku malah gak tahu apa-apa kalau skip satu tahun’ ucapnya waktu itu.

Jadilah Mark di sini, memberikan transkrip nilainya kepada pihak sekolah, walaupun ia tetap menjalani tahun pertama seperti anak-anak seangkatannya.

“Sekarang kita jalan-jalan?” Mark bertanya pada Haechan yang berdiri tidak seberapa jauh di depannya, karena tadi anaknya keluar terlebih dahulu.

“Jalan-jalan?” alis Haechan terangkat. “Keliling sekolah, bukan jalan-jalan. Emangnya kita di mall” jawabnya.

Mark tersenyum kecil. “Iya, itu.”

Haechan melangkahkan kakinya, diikuti oleh Mark yang menyamakan langkahnya.

“Lu udah lama sekolah di sini?” Mark membuka percakapan.

“Iya. Dari SD. Kakak gue juga alumni sini, makanya guru BK udah hafal nama gue walaupun baru masuk SMA” jelasnya.

Mark mengangguk. “Ambil ekskul apa?”

Haechan menoleh, bingung karena tiba-tiba berganti topik. Tapi tetap dijawabnya pertanyaan Mark. “Daftar OSIS sama band” jawabnya singkat.

“Di sini ada ekskul band?”

Haechan mengangguk. ‘Jangan bilang lu mau gabung’ doanya dalam hati.

“Seru juga” Mark menanggapi.

“Lu.. mau gabung band juga?” akhirnya Haechan tidak tahan untuk tidak bertanya.

Mark menggeleng. “Gue mau basket. Gue udah basket dari SD”

Haechan mengangguk. ‘Muka kayak lu di tim basket emang sanggup bikin seisi sekolah jerit-jerit sih’ pikirnya.

Heh! Mikir apaan gue’ Haechan memejamkan matanya, bingung dengan pikirannya sendiri.

Keduanya berjalan mengelilingi koridor, mulai dari lantai 1 sampai lantai 4. Haechan menjelaskan satu per satu ruangan yang mereka temui, sesekali diselipkan pertanyaan singkat dari Mark yang dijawab dengan jawaban lugas Haechan. Begitu terus hingga akhirnya tidak terasa mereka sudah turun kembali ke lantai 1.

“Ke kantin dong, Chan. Laper, belum sarapan” Mark berucap.

Haechan memandang jam tangannya. “Udah jam segini, bukannya bilang dari tadi. Kalo belum sarapan kan kita bisa sarapan dulu baru keliling. Kalo lu pingsan gimana” omelnya tanpa pikir panjang.

Mark tertegun, lalu tersenyum jahil. “Perhatian amat. Iya deh, maaf ya gue gak bilang” tangannya mencubit pipi Haechan.

Haechan menepis tangan Mark, memandangnya sebal. “Gue bukan perhatian. Males aja ngegotong lu, pasti berat” balasnya sinis.

“Jangan pegang-pegang pipi gue” Haechan memperingatkan, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berjalan ke arah kantin, meninggalkan Mark.

Mark berlari kecil menyusul Haechan. “Marah-marah terus, Chan. Kalo gak boleh gue pegang pipinya, yang lain boleh gue pegang?” ucapnya dengan alis terangkat.

Haechan melotot. Matanya menyipit, lalu tangan kanannya menonjok lengan Mark cukup keras. “Shut up”

Mark tertawa, lalu berseru “Bercanda, Chan. Jangan galak galaaaak” ucapnya sambil menahan derai tawa.

Lalu keduanya berjalan menuju kantin untuk sarapan.

Jeno memarkirkan motornya dengan terburu-buru.

“Gue duluan mau nyalin PR”

Haechan belum sempat menjawab apa-apa karena Jeno sudah ngibrit duluan menaiki tangga sekolah, lari ke kelas untuk menyalin PR matematika yang ternyata lupa dikerjakannya. Padahal, pelajarannya di jam pertama.

Hari ini hari pertama mereka memasuki SMA. Sudah bukan rahasia kalau di sekolah memang ada satu guru matematika yang memberi mereka PR sehubungan dengan materi di jenjang sebelumnya. Semacam pengingat kembali materi lama, katanya. Sialnya, mereka akan diajar oleh guru itu untuk satu tahun ini.

“Yah sendirian deh ke kantinnya” Haechan membatin.

Tangannya mengambil headset dari kantung celana putih abu-abunya, lalu menyumpal telinganya dengan headset supaya tidak terlalu bosan berjalan sendirian.

Kakinya menaiki tangga sekolah, bersiap memasuki lingkungan sekolah. Matanya menangkap Renjun dan Jaemin di sebelah Guru BK dan dua murid lainnya. Mungkin, yang kebagian jadwal piket menyalami murid pagi ini.

Kebiasaan sekolah mereka memang begitu. Setiap pagi akan ada murid yang piket secara bergantian untuk menyalami murid-murid lain di gerbang sekolah. Biasanya sih, bareng guru BK atau rotasi dengan guru lain. Sekalian inspeksi seragam kalau saja ada murid yang seragamnya tidak rapi atau tidak pakai gesper.

Haechan tertawa kecil. ‘Niat amat sih, nungguin anak baru’ Haechan membatin dalam hati.

Tangannya melepas satu headsetnya, lalu menyalami sang Guru BK dan kedua murid yang piket, lalu bertukar sapa dengan Renjun dan Jaemin.

Kakinya baru saja akan berbelok ke arah kantin saat Guru BK itu memanggilnya.

“Haechan, sini” serunya.

Haechan menoleh dengan bingung. Perasaan, seragamnya cukup rapi. Tadi juga ia tidak ditegur saat bersalaman.

“Nah kamu ikutin dia ya” Gurunya berbicara dengan murid lain, lalu tatapannya jatuh ke arah Haechan.

“Ini, kamu bawa Mark ke ruang kepala sekolah. Lalu bawa keliling sekolah. Kenalin seluk beluk sekolah, jam pertama saya dispensasi nanti” Guru BK itu berucap.

Haechan membelalakkan matanya, lalu memandang Mark. ‘Oh jadi ini anaknya’

“Jam pertama matematika, Pak” Haechan menjawab. Entah apa tujuannya, mungkin malas saja mengantar anak baru berkeliling sekolah.

Sekolah ini besar, dan dia belum sarapan. Lebih enak duduk di kelas sambil menyelundupkan susu cokelat dan cemilan untuk sarapan daripada keliling sekolah di pagi hari.

“Ayo cepat, keburu bel. Nanti keburu sibuk” Guru BK itu tidak mengindahkan sanggahan Haechan barusan.

Haechan menghela nafas pasrah. Lalu bertukar tatap dengan Renjun dan Jaemin yang ternyata sejak tadi memandanginya dengan tatapan iri.

Haechan tertawa, lalu menoleh ke arah sang Guru BK. “Jaemin dan Renjun saja ya, Pak? Mereka kayaknya mau nganterin”

Guru BK itu menoleh dengan tatapan sebal. “Mereka nemenin saya salaman”

“Haechan yang gantiin saya salaman, Pak” Renjun menjawab cepat yang disambut dengan pelototan Haechan ke arahnya, namun tidak dipedulikannya.

’Gak gitu juga, kurang ajar si Renjun’ Haechan membatin.

“Gak ada! Lima menit lagi masuk, udah buruan” Guru BK itu menjawab cepat, lalu kembali menginspeksi murid-murid yang baru masuk.

‘Huffft’ Haechan membuang nafas malas.

“Ikut gue” ucapnya singkat.

Mark, anak baru itu melangkahkan kakinya, mensejajarkan langkahnya dengan Haechan.

“Jadi lu, hm, Haechan?” Mark bertanya.

“Kan udah tau tadi, udah disebutin” jawab Haechan datar.

“Jutek amat sih. Hobi ya?” ucap Mark tidak kalah datar.

Haechan menoleh jengkel. “Iya hobi, soalnya ngomong sama lu”

“Kok gitu?”

Haechan memutar bola matanya malas. “Lu coba aja, ada orang baru kenalan minta save nomor terus gak ada angin gak ada badai dia ngatain lu sepeda polygon. Gimana tuh” ucapnya membalikkan kata-kata Mark semalam.

Haechan tidak berniat menyembunyikan kekesalannya. Untuk apa? Mereka kan bukan teman, jadi Haechan tidak akan repot repot menahan kesal, lalu memilih waktu dan kata yang tepat untuk menyampaikan kejengkelannya.

Mark menahan tawa, lalu mengangguk. “Maaf deh. Lagian lu galak banget. Gue kan maunya lu nanya, gue lagi ngapain”

Alis Haechan terangkat sebelah. “Kenapa juga gue harus kepo, kenal aja enggak”

“Ya ini kenalan”

“Kemarin waktu chat kan belum kenal”

“Yaudah, sekarang udah kenal. Nanti malem kalau gue chat, jangan lupa tanya balik ya” Mark berucap dengan nada final.

Haechan memandang pintu ruang kepala sekolah dengan bingung, tapi yasudahlah dia tidak mau ambil pusing. Tangannya mengetuk pintu, yang disambut dengan jawaban dari dalam.

“Ya, masuk”

Keduanya memasuki ruangan kepala sekolah.

“Pagi, Pak. Saya nganterin anak baru” Haechan bergeser sedikit, memperlihatkan Mark yang mengekor di belakangnya.

Kepala sekolah itu mengangkat wajahnya dari layar laptopnya.

“Duduk, Nak.” ucapnya kepada Mark.

“Tunggu di ruang tamu, ya” kali ini ucapannya ditujukan kepada Haechan yang dibalas dengan anggukan. Lalu Haechan melangkah menuju ruang tamu ruang kepala sekolah itu.