straighttfacts

TW // toxic mindset, gaslighting, possessive and manipulative behavior

Rough mature scene, degradation kink, bareback, angry sex, explicit sexual content, spanking, speeding, manhandling, overstimulation, NSFW

Harvel memasuki apartemen dengan gontai. Kepalanya panas hasil mengerjakan ujian berjam-jam dan dia tidak merasa puas dengan dirinya sendiri. Ada beberapa soal yang dirasanya tidak bisa diselesaikan dengan baik. Ah, atau mungkin ini hanya Harvel dan sifat perfeksionisnya yang kerap kali memanuver seluruh inderanya untuk melakukan segala hal dengan sempurna.

Cantiknya daun-daun berguguran di sepanjang jalan yang dilewatinya dalam perjalanan pulang tidak serta merta membuat perasaannya membaik, padahal biasanya Harvel paling suka melihat daun-daun cokelat keemasan yang berserakan. Harvel menghela nafas berat dan menyalakan lampu, berniat langsung membuat kopi panas untuk menghangatkan tubuhnya. Pikirannya luar biasa kusut dan Harvel terlalu sibuk sampai tidak menyadari ada sepasang sepatu asing di dalam rak sepatunya.

Harvel berjengit hingga menjatuhkan teko listrik di tangannya ke top table kitchen set saat dia merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggang rampingnya. Seluruh saraf dalam tubuhnya membeku, otaknya malfungsi. Satu-satunya indera yang masih bekerja dengan baik adalah penciumannya karena setelah lebih dari tiga bulan berpisah, dia masih mengenali wangi parfumnya hanya dengan sekali tarikan nafas.

Beberapa detik, dan Harvel menepis tangan di pinggangnya dengan kasar sekaligus mendorongnya hingga pelukannya terlepas.

“Gue bilang, kita nggak akan ketemu sampai gue yang bilang kalo gue mau ketemu” suara Harvel rendah, terdengar sarat akan emosi.

Marvel terperangah. Dia tau dia salah. Tapi dengan segala upaya yang sudah diusahakan dan hukuman yang Harvel berikan, tidakkah itu cukup? Bahkan Harvel jelas-jelas masih memiliki perasaan untuknya dan dia tau kalau Harvel merindukannya.

Lantas, kenapa sulit sekali menurunkan tembok tinggi yang dibangunnya untuk menyulitkan dirinya sendiri?

“Gue terbang dari Jakarta belasan jam dan ini yang gue dapet?”

Alis Harvel terangkat tinggi. “Gue nggak minta lu terbang dari Jakarta”

“Gue tau gue salah dan selama ini gue berusaha, Harvel. Apa yang bikin lu berpikir kalau gue nggak serius?”

“Well, bold of you to assume that I think of you that way”

Lalu, apa? Marvel frustasi dengan kenyataan bahwa laki-laki di hadapannya seolah-olah punya dua sisi kepribadian yang bertolak belakang.

Marvel maju selangkah, merapatkan posisi mereka. Persetan dengan apa yang terjadi setelah ini, Marvel hanya ingin menginjak egonya semampu yang dia bisa, kalau itu adalah satu-satunya cara untuk memeluk kembali Harvelnya.

“Minggir” Harvel mundur sedikit. Tidak banyak karena posisinya dihimpit ke kitchen set.

Tangannya mendorong bahu Marvel dengan gugup. Laki-laki di depannya menggertakkan rahang, tidak bergeming saat didorong.

“Jawab pertanyaan gue tadi” permintaan Marvel lebih terdengar seperti perintah.

Emosi semakin menyulut kepala Harvel yang sejak awal memang sudah penat dengan ujiannya. Meski itu tidak ada sangkut pautnya dengan Marvel, tapi Harvel butuh tempat pelampiasan dan sialnya Marvel berada di depannya saat ini.

“Ngapain ke sini?”

“Gue mau ketemu lu”

“Buat apa?” Harvel mengangkat kepalanya, membuat pandangan keduanya akhirnya bertemu. Marvel bisa melihat gumpalan amarah yang tertahan di kedua bola matanya. Suara Harvel bergetar, tapi sang pemilik suara terlalu sibuk dengan amarahnya.

Fine. Gue harusnya inget kalau lu nggak lain dan nggak bukan adalah laki-laki buaya darat yang nggak pernah bisa hidup dengan tenang tanpa seks dan lu butuh gue buat memuaskan? Go on, mumpung lu udah di sini, kita balik ke pertemuan pertama kita. Gue akan jadi slave yang baik buat lu hari ini”

Marvel menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya yang ikut tersulut. Dia lelah dan tidak ingin emosinya meluluhlantakkan semua usaha yang telah dilakukannya susah payah.

Harvel menarik tangan Marvel kasar, membawanya ke dalam kamar tidurnya. Tangannya mendorong Marvel ke kasur kuat-kuat, lalu berlutut di depan laki-laki itu.

“Sebut apa yang lu mau” Harvel berucap dingin. Tangannya melepas ikat pinggang Marvel dan menurunkan risleting celananya dengan cepat.

“Gue mau lu, tapi nggak gini caranya” Marvel menahan pergerakan tangan Harvel.

Dagu Harvel diangkat, sekali lagi mempertemukan netra mereka. Harvel memutar bola matanya.

“Jangan munafik” bibirnya berdecih.

Harvel kembali pada pekerjaannya. Mengelus-elus penis Marvel dari luar celana dalam dan meremasnya pelan, berniat membangunkannya.

“Kenapa? Lu ketemu partner ngewe baru makanya seminggu terakhir lu nggak ngontak gue sama sekali dan partner lu nggak seenak gue, makanya lu bela-belain nyamperin ke sini?” Harvel berucap sambil tangannya masih meremas dan mengurut penis Marvel yang perlahan bangun.

Harga dirinya seolah-olah direndahkan. Marvel masih bisa terima kalau laki-laki itu marah dan menggunakan seribu alasan untuk menolaknya. Tapi menuduhnya bermain dengan orang lain karena pesannya tidak kunjung dibalas selama berbulan-bulan dan kini dia berhenti, rasanya keterlaluan. Marvel bukan sedang menyerah. Justru sebaliknya, perasaannya tervalidasi dan dia ingin membuktikannya dengan tindakan. Karena itulah, dia di sini sekarang.

Is that how you've been thinking of me? Seriously, Harvel?” Marvel menjambak rambut Harvel yang sedang fokus pada penis dalam genggamannya, memaksa Harvel mendongak dan melihatnya.

Harvel tersenyum miring. “Kalau iya, kenapa?”

Marvel bisa merasakan Harvel menahan ringisannya saat dia mempererat remasannya pada rambut Harvel.

“Sekarang gue tanya balik, apa rasanya setiap hari ngirim pesan yang dibaca pun nggak? Lu mau gue ngapain lagi? Gue mati-matian neken keinginan untuk booking tiket ke sini karena lu butuh waktu dan jarak. Lu marah cuma karena gue berhenti ngehubungin lu seminggu terakhir? Berarti lu tau kalau tiap hari gue masih ngehubungin dan bahkan baca semuanya? Terus mau sampai kapan lu kayak gini? Jawab gue”

Harvel menatapnya tajam, mengabaikan rasa sakit di kulit kepalanya. Dia mengumpulkan segenap kata-kata dalam otaknya. Namun belum sempat dia menjawab, kesabaran Marvel sepertinya sudah habis.

Marvel menarik tubuh Harvel kasar dan membantingnya ke kasur. Harvel lupa, kalau emosi mampu membakar orang lain di dekatnya seperti api yang dipertemukan dengan bensin. Hatinya menjerit, memintanya mengalah karena inilah yang dia inginkan selama ini.

Detik itu juga, Harvel menyesali ego yang memaksanya membangun tembok setinggi menara. Semua kata-kata yang barusan diucapkannya, kalau bisa Harvel tarik balik, pasti dia telan bulat-bulat.

Marvel menindihnya. Rahangnya dicengkeram, dipaksa bertukar pandang. Harvel masih punya sisa tenaga untuk menghalau wajah Marvel dari bibirnya. Sampai kapanpun, dia tidak ingin Marvel terpaku pada memori kalau ciuman terakhir mereka berlangsung saling menyakiti.

“Nggak ada ciuman bibir” Harvel berucap dengan terengah-engah. Marvel berada di atasnya dan tidak menahan tubuhnya sama sekali. Nafasnya habis terhimpit Marvel yang jelas tidak ringan.

Entah setan dari mana, satu-satunya hal yang Marvel pikirkan malam ini adalah dia ingin memiliki Harvel seutuhnya. Kalau ini adalah akhir dari kisahnya dengan Harvel, dia ingin menciptakan sebuah memori yang tidak terlupakan bagi laki-laki itu. Walau itu berarti, dia mempertaruhkan seluruh rasionalitas dan hati nuraninya.

“Be a good slave, tonight”

Kata-katanya di dapur dikembalikan kepadanya. Batin Harvel berteriak, memintanya mengibarkan bendera putih sekarang. Kata-kata Marvel barusan memforsir kerja jantungnya dan tubuhnya justru memberikan reaksi bertolak belakang. Penisnya berdiri tegak seutuhnya, sakit karena masih tertahan celananya.

Marvel turun dari kasur dan berdiri. Bagian bawah pakaiannya yang sudah dibuka oleh Harvel ditanggalkan begitu saja. Tangannya melepas celana dan dalaman Harvel. Tubuh Harvel didorong hingga posisinya tengkurap, membelakanginya. Satu tangannya menekan kepala Harvel untuk tetap menempel pada kasur.

“Lube dan kondom” Marvel meminta, lebih terdengar seperti titah.

“Nggak ada. Pelan, p-AAKH, M-MARVELHH”

Harvel memejamkan matanya kuat-kuat. Marvel menghentakkan pinggulnya kuat, melesak memasuki lubangnya yang kering tanpa pelumas setetespun. Tangannya meremas selimut yang terbentang di bawah tubuhnya, berusaha melampiaskan rasa perih yang mengambil alih seluruh sendinya.

Menit-menit selanjutnya dihabiskan dengan nafas putus-putus Marvel dan Harvel yang beradu memperebutkan oksigen di dalam ruangan. Tidak ada desahan nikmat, keduanya saling menumpahkan keputusasaan yang menyelimuti diri masing-masing selama berbulan-bulan terakhir.

Remasan dan tamparan Marvel di pantatnya terasa perih. Penisnya terasa sakit karena Marvel mengocoknya cepat dan kasar, bersamaan dengan hentakan pinggulnya yang semakin tidak beraturan.

“S-sakit, hhh M-marvel” Harvel memohon. Dia hampir mencapai puncaknya dan Marvel menutup lubang kencingnya dengan ibu jari, menahan orgasmenya.

“Jangan munafik, Harvel. Gue tau lu menikmati ini”

Sekali lagi, kata-katanya dikembalikan kepadanya.

Marvel seolah tuli. Hujaman penisnya pada anal Harvel semakin cepat, tidak mempedulikan rintihan dan jeritan Harvel yang terus-menerus menahan rasa sakit.

Air mata Harvel jatuh, mengiringi sakit pada pusat tubuhnya, namun tidak lebih sakit dari hatinya. Memori tentang bagaimana dia memperlakukan usaha Marvel berbulan-bulan terakhir berlalu satu per satu di kepalanya, seperti rekaman kaset rusak. Kali ini, otaknya juga ikut menjerit. Memintanya menyerah kalah dan menyuarakan penyesalan sebelum dia akan kehilangan Marvel seutuhnya.

Keduanya mendapatkan putihnya hampir bersamaan, lalu ambruk ke kasur dengan nafas yang tidak jauh berbeda dengan orang yang habis lari marathon.

Seluruh tubuh Harvel bergetar, menahan air matanya untuk tidak keluar lebih banyak. Tidak sampai Marvel meninggalkannya.

Marvel membalikkan tubuh Harvel, membuat mereka tiduran dengan posisi berhadapan. Kewarasannya pelan-pelan kembali. Hatinya hancur melihat egonya menyabotase seluruh pergerakan tubuhnya hingga orang yang selama ini dia perjuangkan bahagianya, justru terlihat sangat rapuh karena ulahnya sendiri.

“Harvel”

Tangisan Harvel pecah. Harvel merapatkan tubuhnya dan memeluk Marvel, membiarkan air matanya tumpah ruah membasahi baju Marvel.

Marvel membeku. Tapi kemudian tangannya merengkuh Harvel dan membawanya ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap kepala Harvel dan menepuk-nepuk punggungnya, membiarkan laki-laki itu menangis sepuasnya.

“Maaf” cicit Harvel saat tangisannya mereda.

“I should be the one to say sorry” setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Hatinya teriris dan lega bersamaan melihat Harvel akhirnya menghancurkan pertahanannya sendiri.

“Maaf, maaf” Harvel mengucapkannya berulang-ulang, seperti bermonolog dengan dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan Marvel.

Kalau habis ini Harvel berbalik arah, tidak masalah. Dia memang tidak pantas diberikan kesempatan kedua.

Marvel mengangkat dagu Harvel dan menempelkan bibirnya ke bibir Harvel. Menyesap rasa manis yang dirindukannya berbulan-bulan. Pelan, dia tidak ingin menyakiti Harvel lagi.

Tangan Harvel mengalung di lehernya. Ragu, tapi akhirnya menekan tengkuk Marvel untuk memperdalam ciumannya.

Saat itu juga, Marvel tau. Tidak ada yang sia-sia dari usahanya. Harvel sama merindu dengannya, dan semua yang diucapkannya untuk menyakiti Marvel tadi adalah bentuk pertahanan dirinya sendiri.

Harvel mencoret angka 1 di kalender mejanya, menandakan hari pertama bulan November resmi dimulai. Musim gugur tinggal sebulan dan suhu Paris semakin dingin. Tadinya dia mau coret kalendernya kemarin. Soalnya, walaupun raganya ada di Paris yang zona waktunya 5 jam lebih telat dari Jakarta tapi jiwanya tetep aja ketinggalan di Jakarta. Sama hatinya juga sih.

Harvel mengembalikan kalender itu ke mejanya, diletakkan di sebelah jam digital yang menunjukkan jam 7.25 pagi. Harvel keluar kamar dan menuju kamar mandi. Selesai mandi, dia harus nyiapin sarapan simpel buat Helena yang akan berangkat kerja jam 8.30 nanti. Adiknya itu kerja di salah satu perusahaan fashion yang Harvel sendiri nggak gitu paham, tapi intinya clothing line.

“Kak, hari ini pergi nggak?” suara Helena mengudara waktu Harvel lagi nuangin air panas ke dalam mug berisi bubuk kopi.

Harvel meletakkan mug itu di meja pantry di sebelah piring berisi french toast yang tadi udah dia siapin duluan, “Nggak ada rencana sih. Kenapa?”

“Nonton yuk, aku hari ini pulang cepet”

“Yaudah. Nanti aku samperin ke kantor”

“Nggak usah, ketemu di cinema aja”

Harvel mengangguk, lalu membiarkan Helena menghabiskan sarapan paginya sebelum akhirnya adiknya itu berangkat kerja.


Layar ponsel Harvel menyala, menandakan ada notifikasi masuk. Bibirnya mengulum senyum secara otomatis. Marvel masih sama, setiap hari ngirim pesan sederhana seperti “selamat pagi”, “jangan telat makan”, “have a good day” atau “have a good sleep”, “good luck persiapan CMA-nya” atau kadang-kadang dia akan cerita tentang harinya secara singkat.

Kalau Harvel mau jujur, dia udah kalah dengan egonya. Hatinya udah memaafkan Marvel jauh-jauh hari, tapi dia mau Marvel tau kalau dia nggak segampang yang Marvel pikirkan. Walaupun kadang-kadang dia gatal pengen baca pesan-pesan Marvel karena dia ngerasa kejam, tapi akhirnya ditahannya karena dia pernah bilang ke Marvel kalau mereka hanya akan bicara sampai Harvel sendiri yang memulai. Harvel pengen Marvel menunggunya sampai dia siap, walaupun itu berarti dia mempertaruhkan kesabaran Marvel yang bisa kapan aja mundur. Manusia kan, ada titik lelahnya juga.

Harvel memperhatikan ponselnya yang lagi di set 3d touch, mantengin pesan-pesan Marvel. Lama kelamaan pesannya berubah santai. Marvel kadang cerita hal-hal sederhana yang bikin dia ketawa kecil bacanya, walaupun nggak dibales juga.

Harvel nggak bisa menahan senyum waktu Marvel cerita kalau hari ini dia telat kerja karena dia tidur di rumah orang tuanya dan lupa nyalain alarm karena semalam habis minum sama Papa dan kakak adiknya.

“Seru banget, Helena kalau gue ajak minum yang ada gue digebukin” Harvel bergumam. Helena kalau mabuk nyebelin banget, bakal marah-marah terus gebukin dia pakai bantal. Nggak sakit sih, tapi cukup bikin Harvel males nemenin adiknya minum lagi.

Waktu pesan Marvel berhenti masuk, Harvel merapikan mejanya yang makin hari makin berantakan sama soal-soal persiapan CMA. Kakinya berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan siap-siap. Mandinya nanti malam aja sekalian pas pulang, soalnya cuacanya dingin banget. Dia nggak mau mandi tiga kali hari ini.


“Bete banget, nggak ada film bagus” Helena mencak-mencak sendiri waktu keduanya keluar dari gedung bioskop.

Harvel mengelus kepala Helena pelan, “Nggak di cek dulu ya tadi?”

“Nggak” Helena menggeleng. “Lagi kenapa sih, kok bisa-bisanya ada tiga film horror yang main?”

“Habis halloween kali” Harvel menjawab, ngasal aja. “Makan aja yuk, cari yang enteng”

Kedua kakak beradik itu masuk ke salah satu cafe yang terletak nggak begitu jauh dari gedung bioskop tadi. Duduk berhadapan dengan segelas cappuccino hangat dan hot cocoa.

Helena mengeluarkan sketch book dari tasnya, lalu mulai mencoret-coret sketsa desain di lembar yang masih kosong. Harvel merhatiin aja, seru liat adiknya gambar-gambar begitu cepat. He can never relate, soalnya gambar stickman aja remed.

“Kakak tau nggak kalau Kak Tian juga jago gambar?” Helena tiba-tiba membuka percakapan. Random banget lagi pemilihan objeknya.

“Kak Tian, kakaknya Marvel?”

Helena ngangguk, “Dulu aku sama Kak Tian kadang-kadang ke sini kalau lagi cabut bareng”

“Loh emang kamu deket sama dia?”

“Bukan deket yang kayak gitu” Helena langsung nangkep maksud kakaknya.

“Papa sama Mama sering minta aku buat sekali-sekali ke tempat kakek mereka, terus Kak Tian kan dari kecil sekolah di sini. Jadi pas aku kuliah tuh, dia ada bawa aku tour keliling Paris. Terus yaudah deh, sekali-sekali kita jalan atau makan bareng.

Teruuuus, dia tuh juga punya sketch book tau. Bagus deh, gambar-gambarnya. Bedanya dia gambar bangunan gitu kayak rumah-rumah. Terus aku tanya kenapa dia nggak kuliah desain interior atau arsitektur aja, dia bilang percuma karena nantinya dia akan ngelanjutin Perusahaan, kayak kamu” Helena cerita panjang lebar.

Harvel cuma 'oh' doang. Dia nggak tau kalau adiknya sampai bisa makan dan ngobrol sama Sebastian dengan nyaman. Soalnya, Sebastian kaku kayak bapak-bapak. Harvel sendiri segan deket-deket, jiper karena ngerasa Sebastian pinter banget untuk orang usianya. Tapi Harvel harus mengakui kalau adiknya itu emang lebih jago ngobrol sama orang baru, nggak kayak dia yang lebih diem.

“Kak Marvel masih chat Kakak nggak?”

“Hah? Oh, masih”

Kadang-kadang Helena emang nanyain, tapi tetep aja tiap kali ditanya tuh dianya gelagapan.

“Kamu nggak bales?”

“Nggak”

“Dih, mau sampe kapan nggak dibales gitu. Tar kabur loh, Kak Marvelnya”

Harvel manyun. Dia juga tau, tapi dia sebel kalo disebutin orang lain kayak begitu. Jadi kayak divalidasi.

“Yaudah biarin. Kalau dia mau cabut, cabut aja” Harvel minum cappuccinonya, berharap adiknya nggak nyinggung lagi.

“Kamu beneran nggak di chat apa-apa sama Marvel?” Harvel tiba-tiba nanya.

“Nggak, ih. Aku kan uda berkali-kali bilang”

“Dia tuh pernah minta nomor kamu, Len. Masa dianggurin sih”

“Yeuu, mau banget ditanyain Kak Marvel ya”

Harvel makin manyun. “Bukan gitu-”

Denial terus, ah. Biarin, tar Kak Marvel beneran ninggalin baru tau rasa. Males dia deketin patung bunderan HI” potong Helena berapi-api. Lama-lama dia gemes juga liat kakaknya yang nggak lunak-lunak juga.

“Biar dia tau, kalo dibohongin itu nggak enak”

“Dia udah tau. Kakak yang keterlaluan ngasih hukumannya”

“Kamu kok belain dia, sih?”

Helena membuang nafas, mengangkat pandangannya yang dari tadi masih ke buku sketsa.

“Jangan sengaja pergi biar dicari, Kak. Berjuang nggak sebercanda itu”

Harvel mematung. Dia tau kata-kata itu, emang bukan lahir dari kepala Helena. Tapi kok kali ini rasanya nusuk banget?

Hatinya pelan-pelan dirayapi rasa bersalah dan takut. Dia tau Marvel akan terbang ke Paris kapanpun dia siap dan dia perbolehkan, tapi selama ini emang Harvel yang egois dan menutup semua aksesnya. Berkali-kali dia menekankan kalau dia akan ketemu Marvel sampai dia siap, tapi dia mau ketemu Marvel di Jakarta aja. Harvel merasa seolah-olah lari dari keadaan walaupun kenyataannya emang gitu.

“Len”

“Hm” adiknya nyaut, tapi matanya masih fokus ke buku sketsanya.

“Kalau waktu aku siap ketemu Marvel, tapi dianya udah nyerah, gimana?”

Helena meletakkan pensilnya, lalu menatap mata Harvel dalam.

“Prepare yourself to lose him, then. Kan, semuanya akibat dari pilihan kamu sendiri”

Harvel sampai duluan di restoran bergaya Perancis yang disebut Miguel, eh- Marvel, sebagai tempat ketemuan dadakan mereka hari ini. Dia bahkan nggak bawa sekretarisnya karena tau bahwa percakapan mereka akan sangat pribadi. Restoran itu memang masih satu kawasan dengan kantornya, makanya dia bisa sampai duluan. Waktu Marvel nyebutin restorannya, Harvel nggak pakai lama dan langsung berjalan dengan tegang ke mobilnya di parkiran basement.

Pikirannya kacau dan berusaha memproses satu per satu informasi yang masuk. Miguel adalah Marvel, dan Marvel yang dikenalnya di akun alter adalah- Marvel juga? Mereka bertiga satu orang yang sama?

Selagi menunggu Marvel, Harvel membaca pelan-pelan chat dia dengan Marvel selama ini. Dia nggak begitu pusing dengan kenyataan bahwa Miguel adalah Marvel Dewantara karena dia sendiri nggak banyak cerita hal-hal details kepada Miguel. Tapi kalau Marvel? Dia bahkan ceritain tentang Marvel ke Marvelnya sendiri. Darah Harvel terasa naik ke kepala, memikirkan kenyataan kalau Marvel yang di akun alter udah tau kalau yang diceritain adalah dirinya sendiri.

Hold up– kalau Marvel yang di akun alter tau dirinya sendiri yang selama ini diceritain, berarti dia tau dong kalau Harvel adalah Harvel Dirgantara?

Kenyataan bahwa selama ini Harvel dibohongi benar-benar sebuah pukulan telak yang sanggup bikin Harvel kehilangan seluruh kosakata yang sudah dia pelajari selama 25 tahun hidupnya.

Seorang pelayan datang dan membawakannya air putih dingin, sesuai permintaannya tadi. Restoran sepi. Jelas aja, ini baru jam 10 pagi dan ACnya bahkan belum dingin karena baru dinyalain.

“Harvel”

Harvel menoleh, berdiri sebentar untuk menatap mata Marvel yang terlihat- merasa bersalah? Harvel langsung tau kalau percakapan mereka saat ini bukan percakapan, tapi pengakuan kebohongan yang disimpan Marvel. Oke, Harvel udah nyiapin diri untuk nonjok Yang Terhormat Putra Dewantara. Persetan dengan tata krama.

“Udah pesen makan?” Marvel bertanya saat mereka berdua udah duduk.

“Gue nggak pengen makan” Harvel mengatupkan rahang, bersandar pada sandaran kursi. “Jelasin”

Seorang pelayan datang dan Marvel bahkan sempat memesan Foie Gras dan beberapa entrees lainnya. Nggak tau buat apa, Harvel sendiri udah mual duluan bayangin makanan, apalagi disuruh makan.

Ceritanya mengalir begitu aja. Marvel menceritakan dengan runtut, kapan persisnya dia tau kalau Harvel adalah Harvel. Dari mana dia tau, terus mengakui kesalahannya karena bukannya jujur malah mendengarkan cerita-cerita Harvel tentang dirinya sendiri dan pura-pura jadi orang lain. Nggak ada satu hal pun yang dia tutupi, karena sebenarnya Marvel udah lama merencanakan ini, Hanya saja, waktunya nggak pernah tepat. Ketika dia mau jujur, selalu ada hal yang menahannya buat mengakuinya karena hubungan mereka dibangun susah payah sampai akhirnya Harvel mau membuka diri untuk kenal dengan Marvel- yang sebenarnya.

“Terus kenapa tadi pura-pura nggak tau waktu ngechat gue? Bukannya lu langsung tau kalau gue, ehm-” Harvel berdehem canggung.

“Yang ngechat lu tadi sekretaris gue”

“Terus gue nanya 'ini Miguel?', emang dia nggak bingung Miguel siapa?”

“Dia nanya” Marvel mengakui, “Gue nggak sempat jawab karena Papa telfon dan gue biarin dia bales sendiri”

Sebenarnya Harvel masih sangsi sama jawaban Marvel, tapi mungkin nanti dia bisa tanya sendiri ke sekretaris Marvel. Nggak penting juga karena udah jelas, tapi dia penasaran aja.

“Gue sama sekretaris gue udah kayak temen. Jadi kadang kalo gue sibuk, gue biarin dia megang hp gue buat ngurus-ngurus sesuatu” Marvel menjelaskan waktu Harvel nanya kenapa dia biarin sekretarisnya chat dia pakai handphone pribadi.

Menit-menit selanjutnya dihabiskan dengan Harvel membaca percakapan dia dengan Marvel secara seksama. Menanyakan semua yang pengen dia tanyakan langsung ke orangnya.

Semakin dibaca, tanpa sadar kekecewaan Harvel kepada Marvel semakin besar. Lumayan banyak hal yang dia ceritakan ke Marvel tentang Marvel sendiri dan Marvel benar-benar bersikap seperti teman cerita yang baik.

Kenyataan bahwa dia ngata-ngatain Marvel tepat di depan orangnya langsung dengan fakta bahwa Marvel tau persis objeknya adalah dia, bikin Harvel benar-benar nggak punya muka untuk sekedar menatap mata Marvel.

Ketika dia cerita ke Rendra kalau dia pernah suka sama Marvel dan dia nggak mau berhubungan apa-apa karena dia menolak hubungan virtual, lalu dia cerita juga ke Rendra kalau dia seenggaknya udah baper sama kata-kata Miguel, berarti dia selama ini menyukai satu orang yang sama?

Alis Harvel terangkat saat dia menyadari satu hal yang lupa dipikirkannya dari tadi. Wajahnya terangkat dari handphone dan memandang Marvel yang sedang memainkan garpu di piring Foie Gras tanpa disentuh sama sekali.

“Lu suka sama gue?”

Pandangan Marvel bertemu dengannya.

Mau nggak mau, Harvel cerita. Tapi dia nggak cerita bagian dimana dia tau itu dari Rendra, karena Marvel jelas belum tau Ren yang di akun alter adalah manager adiknya sendiri. Dia terpaksa bilang kalau dia tau dari Sean yang cerita ke salah satu teman mereka. Kan, cepat atau lambat Marvel juga bakal tau kalau Sean yang ceritain hal itu.

“Gue tau Ren yang di alter manager Julius” Marvel meletakkan garpunya.

Alis Harvel terangkat semakin tinggi. Apa lagi yang Marvel tau, dan dia sembunyikan?

“Waktu Rendra nginep di rumah dan lagi main PS sama Julius, HPnya ditaro di meja. Gue liat notifikasi grup kita di HP dia dan gue coba nge-dm satu per satu orang yg gue curigain megang akun Rendra. Lagian nggak susah untuk nebak kalo nickname dia 'Ren'” jelas Marvel panjang lebar.

“Rendra tau kalau lu tau?”

“Nggak. Gue nggak tau apakah dia fine kalau gue tau akun alternya, it must be terrifying for him kalau akun itu safe placenya. Lagian gue nggak ada urusan sama dia”

Harvel membuang pandangannya. Seenggaknya, Marvel masih punya manner. Ya iyalah, dia dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi etika dan tata krama.

“Pertanyaan lu tadi, jawabannya iya. Gue suka sama lu, udah lama. Inget cerita gue waktu itu yang gue bilang pernah suka sama orang di virtual? Itu lu”

“Kok nggak bilang?”

“Lu sendiri, kenapa nggak pernah bilang?”

Harvel diem aja. Pikirannya makin rumit, nggak tau harus mulai mencerna dari mana.

“Gue balik ke kantor dulu. Banyak kerjaan” Harvel akhirnya pamit. Dia perlu berpikir jernih, menghubungkan setiap kejadian yang terjadi.

Marvel tau Harvel butuh waktu sendiri, jadi dia cuma mengiyakan dan memperhatikan punggung Harvel yang menjauh sampai laki-laki itu hilang di balik pintu restoran.

Mata tajam Marvel tidak lepas sedetikpun dari Harvel yang berulang kali memainkan Apple pencil. Entah disentuh-sentuh asal ke layar iPad, atau diputar-putar atau digerakkan di sela-sela jarinya.

Sejak Marvel memasuki ruangan, Harvel nggak menatap matanya sama sekali kecuali saat dia harus berbicara dengan Marvel yang untungnya nggak banyak. Harvel menghitung dalam hati, dia cuma ngomong ke Marvel dua kali.

Harvel bisa merasakan suasana ruang rapat yang menegang, atau lebih tepatnya suasana di sekitarnya. Dia tahu Marvel menatapnya lekat-lekat sampai dia takut seluruh ruangan sadar kalau Marvel memperhatikannya seperti itu. Dalam hati, dia benar-benar menyumpahserapahi Marvel yang entah kenapa malah terlihat mengintimidasi hari ini.

Harvel memejamkan mata sekilas dan menarik nafas lega saat rapat ditutup. Satu per satu anggota rapat meninggalkan ruangan hingga tersisa Harvel dan sekretarisnya.

“Saya ingin bicara sebentar dengan Pak Harvel” suara Marvel terdengar di ambang pintu, mengisyaratkan sekretaris Harvel untuk memberinya waktu.

Yang namanya disebut mengangkat wajah, berhenti dari kegiatan merapikan barang-barangnya di atas meja.

“Tinggal aja” Harvel berucap pada sekretarisnya, menyisakan dirinya sendiri di dalam ruangan dengan Marvel yang masuk dan menutup pintu.

“Kenapa?”

“Ada yang mau gue omongin pas jam makan siang”

Harvel mengecek jam di pergelangan tangannya. Satu jam lagi. “Ngomongin apa?”

“Nanti aja, pas makan siang”

“Kalau bukan tentang kerjaan, kapan-kapan aja” Harvel mengangkat barang-barangnya, berjalan melewati Marvel.

“Lepas. Ini masih jam kerja” Harvel menatap sikunya yang ditahan Marvel.

“Gue ada salah?”

“Nggak”

“Terus kenapa?”

Harvel menyentak sikunya. “Karena gue tau yang lu omongin pasti bukan urusan kerjaan. Gue sibuk, Marvel. Banyak yang harus gue kerjain dan gue nggak punya waktu ngobrolin hal-hal diluar urusan kantor di jam kantor yang bahkan nggak pernah cukup buat kerjaan gue. Kita bisa ngobrol di lain waktu, yang jelas bukan hari ini, apalagi siang ini”

Marvel melepas siku Harvel, membiarkan laki-laki itu meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Batinnya bertanya-tanya, apa yang membuat Harvel kembali dingin kepadanya.

Jawabannya diperoleh Marvel waktu dia memasuki mobil. Sekretarisnya ternyata lumayan tau banyak hal tentang Harvel dan dia jadi tau kalau Harvel se-workaholic itu sampai dia bahkan nggak punya waktu untuk dirinya sendiri.

Marvel memasuki rumahnya. Dia harus packing karena besok dia, Julius dan Papa akan berangkat ke Paris. Marvel sempat minta buat nyusul aja karena lusa dia harusnya ketemu Harvel di kantornya untuk membicarakan perihal audit, tapi Papanya nggak memperbolehkan dan terpaksa pertemuannya akan diwakilkan.

Tadinya, Marvel berniat untuk ngobrol dengan Harvel. Apa aja, yang jelas dia pengen ngobrol. Kalau Harvel memperbolehkan, dia bahkan pengen menghabiskan malam ini dengan Harvel. Sekedar jalan-jalan keliling kota Jakarta sambil hunting street food. Tapi kalau laki-laki itu sibuk, Marvel juga nggak mau ganggu. Hubungannya dengan Harvel udah cukup baik dan dia nggak mau merusaknya hanya karena pengen jalan-jalan sebentar dengan laki-laki itu.


Di sisi lain, Harvel memusatkan perhatian pada laptop di mejanya. Dia nggak mau bersikap dingin kepada Marvel, terlebih ketika hubungan mereka sebenarnya udah bisa disebut “teman”. Tapi dia kenal Marvel dan dia tau dirinya sendiri. Sekali aja mereka makan siang bareng, bukan nggak mungkin besok-besok Marvel muncul di kantornya untuk ngajak dia makan siang lagi dan berakibat kerjaannya malah keteteran.

Periode audit memang memakan waktu. Kerja dari pagi ke pagi seolah-olah nggak pernah cukup. Tapi Harvel tau ini tanggung jawab dan pilihannya sendiri. Dia sebenarnya menikmati, dia cuma lagi nggak mau berdebat dengan Marvel perihal kebiasaan nggak sehatnya ini. Bukan kepedean sih, tapi Harvel tau aja. Tau Marvel akan komplain dengan cara hidupnya yang lembur tiap hari sampai lupa makan. Soalnya, semua orang kayak begitu. Harvel udah males dengerin saran orang lain karena buat dia, nggak ada yang paham kecuali orang itu juga akuntan publik. Jadi lebih baik dia aja yang menghindari perdebatan.

Satu hal yang Harvel masih penasaran sampai sekarang, kenapa laki-laki itu nggak kepikiran untuk meminta satupun social media atau minimal nomor handphonenya? Maksud Harvel, generasi millennials pasti orang-orang yang nggak bisa lepas dari komunikasi secara online tapi kok kayaknya Marvel nggak keberatan dengan kenyataan itu? Bingung aja, soalnya biasanya ketika dia kenalan dengan orang baru kan hal pertama yang diminta adalah nomor handphone. Yaudah lah, mungkin Marvel nggak kepikiran karena mereka selalu ketemu di acara-acara orang tua masing-masing.

Caution; Rough mature content. I wrote the sex scene in English and translated it to Indonesian afterwards so the used words do feel a little bit different from the usual narration.

Harvel mengalihkan pandangannya ke kiri. Badannya maju, bertumpu di pintu mobil yang kacanya udah diturunin sampe mentok. Pandangannya jatuh ke gedung-gedung tinggi yang berkilauan. Pemandangannya sehari-hari, tapi selama ini jarang dinikmatinya karena Harvel lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Rasanya kayak lagi ditampar diri sendiri.

Harvel nggak tau, kalau Marvel nyetir sambil memperhatikannya dari belakang. Sejak HP nya dibalikin, Harvel diem aja. Padahal dari tadi nggak ada hening sedetikpun karena dua-duanya bawel banget. Marvel jadi bertanya-tanya sendiri.

Marvel ngecek HPnya, sedetik kemudian merutuki diri sendiri.

“Vel, gue tutup ya” Marvel berucap waktu mobil berbelok ke Jalan Gatot Subroto.

Harvel mundur, balik nyender ke jok. “Iya”

“Pacar lu nyariin tuh” Harvel berucap acuh tak acuh, tangannya sibuk sama handphonenya berusaha keliatan nggak peduli.

Kaget juga, Marvel kira harus dipancing dulu.

“Hah, siapa? Gue nggak punya pacar”

“Nggak tau, liat aja coba” mata Harvel mengarah ke HP Marvel.

Marvel pura-pura nggak tau, terus ngecek HPnya. “Sharon?”

Harvel ngangguk. Harvel nggak cemburu sih, tapi bingung aja sama orientasi seksual Marvel. Mereka pernah tidur bareng dan dia lagi menerka-nerka, sebenernya Marvel punya preferensi seperti apa.

Marvel udah nyiapin jawaban. Sebenernya dia sendiri ceroboh karena lupa ngabarin Sharon. Sharon itu clientnya sekarang. Eh— maksudnya client Miguel.

“Anak kantor. Dia deketin gue tapi kayaknya dia nggak tau kalo gue nggak suka cewek”

Harvel cuma ‘ohh’ doang, terus nggak nanya apa-apa lagi. Keduanya lanjut ngobrol seperti nggak terjadi apa-apa karena Harvel udah dapet jawaban yang memuaskan, dan Marvel juga nggak kedengeran terganggu. Jadi seenggaknya, keduanya merasa aman.


Waktu mobil keluar tol dan mereka mulai memasuki area Puncak, Marvel berhentiin mobil sebentar di minimarket 24 jam. Keduanya turun, milih-milih minuman ringan.

“Ngapain beli telur?” Harvel bertanya bingung pas ngeliat keranjang belanjaan mereka.

“Buat makan. Emang besok pagi lu nggak mau makan?”

“Emang kita nginep?”

Dua-duanya liat-liatan.

“Gue kira ke warpat doang” Harvel menjelaskan, “dulu gue sering tengah malem ke Puncak cuma buat ke warpat atau makan Sate Maranggi”

Marvel mengangguk, “Gue juga sering dulu pas kuliah. Tapi bokap gue ada vila, terus gue sering nginep di sana. Temen-temen kuliah gue juga dulu sering nginep”

“Oh, yaudah”

“Mau rokok nggak?”

“Iya boleh. Ice burst

Marvel ke kasir duluan, sengaja ninggalin Harvel. Mau beli kondom sama lubricant. Nggak tau kepake atau nggak, yang jelas kalau mereka mau melakukan paling nggak Harvel nggak kesakitan. Cuma itu yang ada di pikirannya.

Harvel bengong sendiri, bingung. Mau minta balik, nggak enak sama Marvel. Tapi salahnya juga nggak nanya. Eh, tapi perasaan tadi Marvel ngajak makan jagung bakar sama nongkrong doang? Apa dia yang salah inget? Aduh, nggak tau deh, Harvel sendiri lupa.

Harvel menghela nafas, kemudian nyusul Marvel ke kasir yang ternyata udah selesai transaksi.

“Nggak ada yang mau dibeli?”

Harvel menggeleng, lalu keduanya balik ke mobil.

“Kalau dingin, gue ada jaket sih tapi di vila. Cuma bilang aja, biar nanti gue tutup roofnya”

Keduanya udah masuk mobil lagi. Roof udah dibuka, soalnya udah keluar tol dan udaranya udah sejuk.

“Vilanya tuh, punya pribadi atau disewain buat umum juga?” Harvel bertanya penasaran, soalnya Marvel bisa naro jaket segala.

“Disewain juga. Tapi gue, Julius sama Kak Tian sering ganti-gantian nginep. Makanya kita naro baju di sana. Kadang-kadang malah kita bertiga nginep bareng, quality time

Harvel ngangguk-angguk doang. Tertarik sama cerita Marvel, setengah iri juga soalnya dia nggak punya saudara buat diajak nginep-nginepan begitu. Adik perempuan satu-satunya nggak mungkin kan, bisa diajak nginep bareng?

“Seru ya” Harvel berkomentar, refleks.

Marvel tertawa kecil. “Kapan kapan main aja ke rumah. Rumah gue rame, sering ada temen-temen main juga kok”


Mobil udah parkir di parkiran vila sejak 10 menit yang lalu. Marvel sengaja parkir di parkiran belakang, soalnya banyak pohon dan nembusnya langsung ke kolam renang. Tapi dia belum turun dari mobil, masih sibuk nimbang-nimbang gimana caranya bangunin Harvel yang ketiduran.

Marvel memperhatikan wajah Harvel lamat-lamat. Wajah galak yang kalau ngomong sama dia nggak pernah santai, tapi hari ini rela nurunin gengsinya buat minta maaf dan melunak sama dia. Padahal kalau diingat-ingat, emang Marvel yang kurang ajar sih. Siapa yang nggak ngamuk, ditidurin sekali terus dateng-dateng yang nidurin main godain gitu aja terus bilang kangen?

Hatinya menghangat, senang dengan kenyataan kalau hari ini ada kemajuan pesat. Walaupun setengah gundah, soalnya dia bingung gimana menjelaskan kalau dia adalah Marvel, sekaligus Miguel yang selama ini Harvel kira tiga orang berbeda. Dia pengen jujur, tapi dia nggak mau merusak suasana manis yang udah terbangun.

Seenggaknya, nggak hari ini. Marvel pengen egois; menikmati hari ini tanpa peduli dengan kenyataan kalau dia sebenarnya udah merusak landasan paling penting yang harusnya dia bangun sejak awal.

Tangan Marvel pelan-pelan melepas seatbelt Harvel. Lalu mengarah ke tuas jok penumpang, berniat nurunin sandaran jok biar Harvel lebih nyaman.

Mata Harvel terbuka perlahan, langsung kaget waktu Marvel ada di atasnya. Nggak nempel sih, tapi jaraknya deket banget.

“Eh sori, kebangun ya” Marvel baru aja mau narik badannya balik, kemudian Harvel nggak sengaja bergerak dan posisinya seolah-olah nahan Marvel untuk balik ke joknya.

Keduanya liat-liatan, masih sibuk sama pikiran masing-masing. Harvel bingung kenapa Marvel malah diam, Marvel bingung kenapa dia ditahan.

Jantung Harvel berdegup keras, di perutnya terasa seperti ada berjuta-juta kupu-kupu. Tangan kanannya terangkat, jempolnya menyentuh bibir Marvel. Cuma disentuh, nggak diusap atau diapa-apain tapi Marvel bersumpah jempol Harvel terasa dingin banget.

Marvel memberanikan diri. Tubuhnya maju, menghapus jarak diantara keduanya. Mereka udah bukan anak remaja yang baru dewasa, udah paham bahasa tubuh masing-masing. Mumpung Harvelnya mau, gas aja dulu.

Harvel membeku, tapi kemudian hanyut dalam pagutan bibir Marvel yang tanpa sadar dirindukannya. Tidak butuh waktu lama dan ciuman keduanya berubah panas, saling beradu nafas yang semakin kehilangan ritme pastinya.

“P-pindah ke belakang” Harvel meminta saat ciuman keduanya terputus. Pipinya memanas, tapi karena parkiran lumayan gelap Marvel nggak bisa melihat pipi Harvel yang udah berubah warna jadi merah muda.

Marvel mundur, balik ke joknya. Waktu Harvel keluar dan pindah ke kursi belakang, buru-buru dia majuin jok-jok bagian depan.

“Sini” Marvel menepuk pahanya waktu udah pindah ke jok belakang.

Harvel udah bisa mengontrol dirinya. Dia tahu Marvel sama mendamba sepertinya, jadi dia merasa nggak perlu malu-malu lagi.

Harvel menaiki paha Marvel, duduk di pangkuannya. Keduanya kembali ke dalam ciuman panas. Persis kayak pertemuan pertama mereka, ini yang Harvel suka dari Marvel. Marvel nggak keberatan untuk menghujaninya dengan ciuman, bukannya malah buru-buru ke inti walaupun mereka cuma partner ranjang.

Tangan Marvel masuk dan meraba punggung Harvel. Dingin, merayapi punggungnya yang panas. Membuatnya bergidik merasakan sensasi geli di perutnya.

Marvel merengkuh pinggang dan menekan tengkuknya, memperdalam ciumannya sambil tangannya terus meraba tubuh bagian belakang Harvel.

“Hnghh- akhh” Harvel mendesah saat Marvel menghisap ceruk lehernya. Nggak digigit, takut nyusahin Harvel kalau berbekas.

Desahan demi desahan lolos dari bibir Harvel saat Marvel menghujani rahang hingga lehernya dengan ciuman yang- basah. Harvel suka sekali, merasa dipuja dan disayang. Seolah-olah tubuhnya disembah.

Kedua tangannya merangkum rahang Marvel, membawanya kembali ke dalam ciuman.

Blowjob aja, ya?”

“Kenapa?”

Harvel menggigit bibir bawahnya, menghindari pandangan Marvel. Setengah takut, karena mereka posisinya nggak kenal kenal banget, takut dipaksa. “Sakit, nggak ada lube

“Ada, tadi aku beli”

Bahasanya udah diganti. Harvel tau, itu udah jadi kode kalau Marvel mau. Harvel mengangkat wajah, menilai ekspresi Marvel. Tapi Marvel serius, nggak kayak orang lagi bohong demi memuaskan keinginannya.

“Jaga-jaga aja, biar kalau pas mau dipake udah ada” Marvel buru-buru menjelaskan, takut dikira udah berniat macem-macem dari awal.

Untungnya Harvel cuma diem, terus ngangguk.

“Di dalem aja yuk? Males berantakannya”

Kali ini Marvel nggak bisa nahan senyumannya. Gemes banget, dia tau Harvel mau tapi gengsinya setinggi langit.

“Yaudah, ayo turun” Marvel mencium pucuk hidung Harvel singkat. Tangannya menepuk pantat Harvel pelan, mengisyaratkannya biar turun dari pangkuan.

Tubuh Marvel didorong ke kasur saat keduanya udah masuk kamar. Harvel merangkak ke atasnya, lalu keduanya berpagutan. Kali ini jauh lebih intens dari ciuman-ciuman sebelumnya. Dua-duanya saling menghisap kasar, seolah-olah pengen meneriakkan kalau mereka saling merindukan.

Area selatan keduanya bergesekkan, merengek untuk dibebaskan. Dalam hitungan detik, keduanya sudah tidak tertutup sehelai benang pun.

“How do you want me to touch you?” Marvel bertanya. Serak dan rendah, menahan gejolak yang membuncah.

“Rough. As rough as you can. I'm all yours, Daddy”

Shit. Jantung Marvel mencelos. Panggilan Harvel untuknya.

Marvel membalikkan tubuh Harvel, bertukar posisi sehingga laki-laki itu berada di bawahnya. Tangan Harvel disatukan di atas kepalanya, ditekan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan Marvel meraba-raba tubuh Harvel liar. Bibirnya masih menghujani bagian atas tubuh Harvel dengan ciuman yang entah kapan akan berhenti.

Mulut Harvel mendesah tidak karuan. Semakin lama semakin kasar, membangkitkan libido Marvel. Tidak menyangka bahwa Harvelnya bisa berucap sekotor ini.

Tubuh Harvel meliuk-liuk, tidak bisa diam menerima rangsangan di berbagai titik. Tangannya ditahan, padahal dia butuh pelampiasan.

“Eunghh” Kepala Harvel terdongak tinggi saat Marvel meremas penisnya pelan.

Marvel memandang Harvel puas, kemudian kembali menindihnya untuk berperang lidah lagi.

“Fuck me” Harvel memohon saat ciumannya terlepas. Nafasnya terputus-putus. Setiap ciuman semakin tinggi intensitasnya, membuatnya kewalahan mengatur nafas.

Marvel membalikkan tubuh Harvel, menyuruhnya menungging. Tangannya menjambak rambut Harvel dari belakang, membuat punggungnya meliuk sehingga pantatnya semakin menonjol.

“Don't ask me to stop” rahang Marvel mengatup, menahan ledakan nafsu karena mulut kotor Harvel tidak berhenti mengalirkan kata-kata yang entah dipelajari dari mana.

Marvel memakai kondom dan menuang lube dengan cepat, lalu mengoleskannya ke lubang pantat Harvel. Lalu dengan sentakan, penisnya menghujam pantat Harvel.

Harvel menjerit tertahan, tubuhnya ambruk ke kasur. Terbagi dua antara nikmat karena Marvel langsung menumbuk prostatnya dan perih karena walaupun dioleskan lube tapi tetap nggak ada persiapan apa-apa. Jari pun tidak.

Marvel meringis, menahan diri untuk tidak bergerak. Membiarkan Harvel membiasakan diri sambil menghujani tengkuk hingga punggung Harvel dengan ciuman. Tangannya mengurut pelan penis Harvel, berusaha mengalihkan rasa sakitnya.

“May I move?” Marvel meminta ijin saat Harvel sudah mulai menikmati permainannya.

“Yes, Daddy” jawaban Harvel diucapkan dengan binal, seketika membangkitkan libidonya.

Tangannya menjambak Harvel dari belakang. Penisnya menghujam Harvel, keras tapi berirama.

“Fuck, fuck— faster-hh” Harvel memohon. Orgasmenya sudah diujung, tapi Marvel tidak ada tanda-tanda akan segera selesai.

“Say my name, baby”

Marvel menghentakkan penisnya kuat. Satu tangannya yang tidak menjambak Harvel menampar pantat bulat Harvel yang menggoda matanya. Yang ditampar mendesah keenakan, menikmati setiap perlakuan kasar Marvel terhadap tubuhnya. Desahan-desahan menggema dalam ruangan, mengisi setiap sudutnya.

“Akhh, M-Marvelhh” desahan Harvel berganti pekikan, menyambut surga dunianya.

Marvel menghujam penisnya cepat, kemudian tidak lama juga menjemput putihnya dan sebelum akhirnya ambruk menindih Harvel.

Saat nafas keduanya sudah teratur, Marvel beringsut sedikit. Keduanya masih tengkurap, saling berhadapan wajah dengan wajah.

“Mandi duluan gih” Marvel menyingkirkan rambut Harvel yang jatuh ke dahinya.

“Bareng?”

Marvel tersenyum miring, “mau?”

“Nggak. Capek” Harvel menjawab, lebih seperti merengek.

Hidung Harvel ditoel sekilas. “Aku siapin baju”

Marvel bangkit dari kasur, menuju lemari di sudut kamar.

“Hoodie, mau?”

Harvel mengikuti Marvel, meraih handuk dan celana jogger yang udah disodorkan duluan.

“Nggak usah pake baju” Harvel menjawab cepat, terus buru-buru masuk kamar mandi. Meninggalkan Marvel yang ketawa sendirian melihat sisi lain Harvel yang ternyata berani.

Selagi Harvel di kamar mandi, Marvel menelepon resepsionis. Minta tolong dibawakan bed cover baru. Lalu dia menyeka sperma yang berceceran dengan tisu.

“Vel, pinjem jaket dong. Mau nyebat” Harvel keluar kamar mandi, bertelanjang dada dengan rambut yang masih meneteskan air.

Marvel menelan ludah, menahan gejolak yang muncul tiba-tiba. Kalau Harvel nggak mau, dia nggak akan maksa. Lagian, Harvel udah bersih.

“Ambil sendiri aja di lemari. Bikin teh panas juga kalo mau, dingin banget di luar”

Marvel masuk kamar mandi dan langsung menutup pintunya. Harvel setengah heran, tapi nggak penasaran. Tangannya memilih-milih hoodie yang tergantung di lemari, lalu berjalan menuju meja untuk menyeduh air panas di teko elektrik.

Harvel lagi scroll handphonenya saat Marvel bergabung di sebelahnya. Dua-duanya duduk di kursi yang memang ada di balkon.

“Kok belinya cuma satu sih? Emang rokoknya sama?” Harvel bertanya waktu Marvel mengambil sebatang dari kotak rokoknya.

“Iya, biasanya emang ice burst

“Kamu -eh apa sih, social smoker?” Marvel bertanya, bingung memilih kata-kata.

“Nggak kok, tiap hari. Pas ketemu kamu kebetulan nggak ngerokok aja kali”

Jantung Harvel jumpalitan sendiri. Biasanya mereka cuma ngomong aku-kamu pas lagi begitu aja, atau mentok-mentok waktu Marvel iseng godain dia. Ini masih mau dilanjut nih, aku-kamunya?

“Masih mau lagi nggak?” Marvel menawarkan pas Harvel mematikan rokok ketiganya di asbak. Kereta juga, dia cuma ninggalin mandi bentar udah tiga batang aja. Mungkin karena udaranya dingin.

“Nggak, yuk masuk”

Marvel mematikan rokoknya, lalu nyusul Harvel masuk ke kamar. Lampu kamar dimatikan, tapi nyatanya, nggak ada satupun yang rela tidur duluan malam itu.

Entah sejak kapan, Marvel setengah duduk dengan bersandar pada bantal. Harvel ada di pelukannya.

Keduanya bertukar cerita. Tentang Harvel yang sejak kecil dididik untuk menjadi penerus D&G, tentang betapa dia nggak punya kesempatan untuk sekolah design interior sesuai minatnya. Tentang betapa Harvel merindukan keluarga yang hangat, yang memahami apa keinginannya dan mau mendengarkannya. Bukannya terus menerus menuntut segudang prestasi.

Harvel nggak menyimpan dendam. Dia melakukan semuanya dengan tulus, tau tanggung jawab yang dipikulnya karena merupakan putra tunggal Dirgantara yang memang dilahirkan untuk menjadi penerus. Dia rela, karena dengan dia menuruti keinginan keluarganya, adik perempuannya bisa menempuh pendidikan dan karir menjadi fashion designer yang mampu mengembangkan sayap ke berbagai negara. Lagipula sebagai gantinya, dia mendapat kehidupan yang terjamin. Harvel bukan pada tempatnya untuk mengeluh, jadi dia berusaha bersyukur.

Marvel mengusap-usap kepala Harvel lembut, meyakinkan dirinya bahwa Marvel mendukung setiap mimpi dan ambisinya. Semua hal yang Harvel alami, juga dialami Marvel.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Harvel bercerita dengan bebas. Biasanya dia nggak tau harus cerita ke siapa, karena selain dia sendiri tertutup tentang kehidupan pribadinya, dia nggak menemukan tempat yang tepat untuk berbagi.

Untuk pertama kalinya juga, Marvel menumpahkan bongkahan yang selalu tertahan di ujung lidahnya. Tentang betapa orang-orang diluar sana iri dengan keluarganya, tapi mereka nggak tau kalau Marvel merindukan afeksi dari keluarganya. Sejak kecil, walaupun personalitynya sangat easy going tapi Marvel dikenal sebagai anak yang dingin dan cuek di tengah keluarganya.

Ketika melihat adiknya dimanja dan dipeluk, Marvel menelan bulat-bulan rasa iri yang merayap. Bukan sirik, karena dia sendiri sangat menyayangi adik satu-satunya. Marvel belum pernah menceritakan hal ini ke siapapun. Otaknya selalu mengingatkannya kalau dia adalah laki-laki tangguh dan dia nggak tau harus cerita ke mana tentang ini.

Malam itu, di bawah tebalnya kabut Puncak Pass yang menyelimuti vila keluarga Dewantara di jam 4 pagi, ada dua anak adam yang memasuki lembar baru dalam kehidupan masing-masing. Mengabaikan kenyataan bahwa setelah hari ini, semuanya akan berubah.

Bom waktu akan meledak, yang dikubur akan terkuak, dan yang dirasa sempurna akan segera rusak.

“Vel, ini kemejanya” kepala Adam, supir keluarga Harvel yang seumuran dengannya, menyembul dari balik pintu kamar Harvel yang tidak tertutup rapat.

“Oh iya makasih, taro di kasur aja, Dam” Harvel menjawab sambil menutup pintu kamar mandi.

Selesai mandi, Harvel siap-siap sambil ngaca di kaca full body berukuran besar. Rambutnya di hair dryer, lalu memakai parfum Coco Mademoiselle favoritnya untuk acara-acara semi formal kayak sekarang. Beda sedikit dengan parfum yang biasa dipakainya ke kantor, tapi masih ada hint citrus yang kuat seperti wangi khasnya.

“Vel, udah?” Mama masuk kamar Harvel, mengecek putra satu-satunya yang masih ngaca dengan gugup.

“Udah, Ma” Harvel menjawab, menepis deg-degan yang merayapi hatinya. Harvel menarik nafas, meyakinkan diri sendiri kalau Marvel nggak seburuk yang ada di pikirannya.


“Anjir, gue kira siapa” Harvel mengembuskan nafas kesal saat bahunya ditepuk oleh seseorang yang ternyata Rendra.

“Tumben ikutan, ada Julius?”

Rendra mengangguk, mengambil tempat duduk di sebelah Harvel yang duduk di kursi paling pinggir.

“Ikut semua tuh anaknya, tiga” merujuk ke keluarga Dewantara. “Gue mau nginep tempat Julius, nanti ada temen kuliah juga nyusul maleman”

Harvel meringis. Pengen caper sama Julius, tapi nggak jadi soalnya jiper bayangin Marvel.

'Lah, peduli setan sama Marvel' Harvel ngebatin, menepis pikiran sebelumnya.

Nggak lama kemudian, Julius dan Marvel bergabung. Kalau Sebastian nggak usah ditanya, emang nggak pernah duduk sama barisan anak-anak. Lebih sering keliatan bergaul sama om om temen-temen Papanya, soalnya banyak ngobrol tentang bisnis juga sih.

“Geser sini, Ren” Julius tiba-tiba aja duduk di sisi meja satunya, tapi di posisi ujung. Kemudian mengisyaratkan Rendra untuk geser dua bangku, jadi berhadapan dengan Juliusnya sendiri.

Posisinya adalah mereka duduk di meja panjang berkapasitas delapan orang yang dibagi empat-empat berhadapan, tapi Harvel juga nggak tahu dari enam bangku yang kosong kenapa Rendra disuruh geser ke ujung. Ujung-ujungnya Harvel geser dua bangku juga, ngebiarin bangku di sisi kanannya kosong dan bener aja, Marvel duduk di sebelahnya.

“Sengaja ya lu” Harvel mendesis pelan saat semuanya udah duduk rapi.

Marvel mengangkat alis. “Apanya?”

Harvel menggeleng, malas kalau ternyata Marvel cuma pura-pura nggak tahu. Matanya dipusatkan ke buku menu yang dikasih pelayan yang baru aja naro menu di meja, tanpa dia tahu kalau Marvel dan Julius lagi bertukar pandang. Julius mengulum senyum, menerima ucapan terima kasih kakaknya via telepati.

“Ren” Harvel menyenggol Rendra yang lagi baca buku menu. “Itu Jay Miller bukan sih?”

Rendra mengangkat wajah sebentar, lalu mengangguk. “Iya”

“Kok bisa ada di sini?”

“Anaknya JKings” kali ini Julius yang menjawab.

Bibir Harvel membulat. Baru tahu kalau Jay Miller yang artis juga anaknya JKings. Dia kenal anak-anak JKings, tapi dia pikir anaknya cuma perempuan, dua orang.

“Kayaknya dia baru kali ini ikut, gue berapa kali ngobrol sama dia sih dia nggak pernah cerita apa-apa” Julius menjawab rasa penasaran Harvel.

“Lu kenal?”

“Kenal” Julius mengangguk. “Pernah satu series project

Harvel mengangguk-angguk. Masih kagum kenapa relasi Papanya aneh-aneh banget, setiap profesi mulai dari udara, darat sampai laut ada semua kayaknya.

“Halo halooo” Jevion muncul dengan heboh. Tangannya menggandeng Javier yang lebih kelihatan kayak saudara kandungnya daripada Clinton.

Mereka saling bertukar sapa. Marvel hampir aja kelepasan tertawa saat Julius mukanya sepet soalnya Jevion malah duduk di sebelahnya, baru Javier baru Clinton. Nggak ada peka-pekanya sama sekali.

“Jev, sini aja lu ngapain di situ” Clinton memanggil.

Julius rasanya pengen sungkem. ’Clinton pengertian banget, besok harus dikirimin big mac 5 paket ke rumahnya.' Julius mencatat dalam hati.

Javiernya sih nurut nurut aja, nggak pusing sama keadaan sekitar soalnya keburu asik ngobrol dengan Rendra dan Harvel.

Nggak lama kemudian, acara dimulai. Nggak terlalu formal, cuma acara doa bersama kemudian potong kue dan tiup lilin. Lalu seperti biasa, sambutan dari anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa, alias kembar yang nggak ada mirip-miripnya. Acara berjalan hangat, suara tawa terdengar dimana-mana beradu dengan dentingan piring dan alat-alat makan.

“Vel” Harvel memanggil Marvel yang lagi asik sama ponselnya.

Yang lain entah kemana. Ada yang ke toilet, ke depan sebentar entah ngapain, terus nggak tahu lagi. Di meja sisa mereka berdua. Mungkin break makan bentar, soalnya abis ini bakal ada dessert yang akan diantar ke meja.

“Hm”

“Marvel”

Kali ini, Marvel menoleh. Pandangannya bertemu dengan pandangan Harvel yang udah gugup setengah mati. Bibirnya digigit-gigit, keliatan banget nervousnya.

“Soal yang kemarin” Harvel menelan ludah. “Maaf ya. Gue nggak tahu kenapa refleks, tapi gue minta maaf banget. Gue nggak berniat kayak gitu”

Tulus. Marvel bisa merasakannya, tapi hatinya pengen ngerjain Harvel aja dulu.

Marvel memasang wajah datar. Tangannya meraih gelas berisi lemon tea di atas meja. “Iya”

“Udah gitu doang?” Harvel bertanya, kesel sendiri.

Marvel masih mainin es batu di dalam gelasnya, lalu mengangkat wajah. “Terus lu maunya gue gimana?”

“Nggak gimana gimana” Harvel buang muka, nyesel protes.

'Goblok, ngapain protes sih uda bagus diiyain'

“Dimaafin, Harvel” Marvel berucap.

Harvel pengen nangis aja, suara Marvel lembut banget kayak sutra. Hatinya kayak diremes-remes, memaki-maki dirinya dalam hati kenapa harus nampar orang yang nggak bersalah. Dia tahu Marvel nggak terluka gara-gara tamparannya, tapi harga dirinya kayak habis diinjak-injak.

Marvel mengusap belakang kepalanya, bikin Harvel menoleh tapi nggak sanggup menatap mata Marvel.

“Eh, lu nangis?” Marvel bertanya panik pas sadar Harvel nggak bisa natap matanya.

“Nggak, apaan sih” Harvel menepis tangan Marvel yang bertengger di kepalanya.

“Jangan pegang-pegang, nggak enak diliat orang” kali ini Harvel berucap dengan suara pelan.

Marvel mengangguk, balik ke minumannya buat ngunyah es batu.

“Kenyang nggak?” Marvel bertanya tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Kenyang nggak? Gue nanya”

“Nggak”

“Abis ini makan nasi goreng yuk, ada yang enak di Taman Suropati. Nggak jauh kok, belakang Mandarin Oriental doang”

Harvel mengangkat alis. “Gue nggak bawa mobil”

“Yailah, gue anter. Lu balik ke mana?”

“Balik ke rumah. Udah nggak usah, nanti bokap nyokap gue nanya nanya”

“Biarin aja, kan kenal sama gue”

Harvel menimbang-nimbang. Sebenernya kalau Marvel mau anterin balik, Mama Papanya pasti setuju. Tapi kan, Harvelnya nggak setuju. Cuma bayangan makan nasi goreng malem-malem sambil strolling kota Jakarta seru banget, Harvel pengen juga. Romantis. Udah gitu dia emang laper karena porsi makanannya lebih mirip anak SD diet. Dikit banget, ini mah makan indomie dua porsi juga dia masih kuat.

'Idih apanya yang romantis, gue kan nggak lagi nge-date' buru-buru dihilangkannya pikiran barusan. Capek juga, ngebatin mulu selama deket-deket Marvel.

“Mau nggak? Gue tau lu nggak kenyang makan cantik model begituan”

“Yaudah. Mau sate taichan sekalian nggak? Gue pengen makan itu”

“Boleh. Yang di parkiran Senayan kan?”

“Hu um”

Tuh kan bener, waktu Marvel dan Harvel minta ijin ke Mama Papa masing-masing yang lagi duduk satu meja, semuanya ngeliatin mereka berdua dengan tatapan kaget dan bertanya-tanya. Nggak cukup keluarga mereka berdua, disana ada keluarga Adhinata dan Batara yang juga terheran-heran. Biasanya, anak-anak mereka nggak ada yang seakrab itu sampai bisa cabut bareng.

Harvel rasanya pengen tenggelem aja. Seakan-akan penderitaannya belum cukup, waktu mereka pamitan sama temen-temen yang lain, satu meja senyum-senyum. Ketara banget ngeledekin. Marvel juga nggak membantu, tingkat pedenya diatas rata-rata banget.

“Pulang ke rumah kan, Kak?” Julius bertanya, menekankan kata rumah.

Harvel mendelik, harga dirinya udah nggak ada lagi.

“Aduh, pertanyaan lu ga penting banget” Clinton berkomentar sambil ketawa-ketawa.

“Biarin aja mau pulang ke mana, udah gede” Jevion menambahi.

“Udah sana cabut” Rendra berucap, yang lain dadah dadah.

“Anjir gue udah ga tau mau taro muka di mana lagi” Harvel nyap-nyap pas keduanya udah nutup pintu mobil.

Sebenernya Marvel nggak bawa mobil. Kemarin Papanya nyuruh anak-anak buat pulang dulu ke rumah, biar berangkat bareng. Tapi pas dapet ide kayak gini, buru-buru dia ngechat asisten rumah tangganya buat minta supirnya bawain mobil. Tumben banget Harvel nggak ada angin nggak ada hujan mau diajak jalan, jadi dijabanin aja dulu. Biarpun setelah itu dia harus nambah uang lembur supirnya, tapi nggak apa-apa. Demi Harvel, jiaaakh.

Marvel ketawa doang, tangannya sibuk sama audio.

“Nih, pasang lagu” hpnya disodorkan ke depan Harvel.

Harvel ngalah, males mikirin kejadian barusan. Tangannya mengetikkan profile spotifynya sendiri, lalu muter playlistnya.

“Taichan dulu atau nasi goreng dulu?”

“Deketan mana?”

“Hampir sama”

“Taichannya kita take away, terus makan bareng nasi goreng. Gitu aja?”

Harvel mengangguk setuju. “Yaudah”

Marvel menyikut Julius yang berjalan memasuki area country club sambil menunduk. “Biasa aja sih, jangan nunduk-nunduk kayak buronan begitu, Jul”

Julius menonjok lengan Kakaknya. “Males diliatin, gue tau gue ganteng tapi matanya itu loh”

Marvel mendengus. “Gantengan gue, cuma kebetulan aja lu artis”

Julius mempercepat langkahnya karena Marvel berjalan cepat mendahuluinya. Papa udah turun duluan dan berjalan ke arah lain, nyamperin temen-temennya sesama bapak-bapak.

“Cepet banget sih, jalannya. Kayaknya lu lebih kayak buronan daripada gue” Julius protes.

Marvel ketawa singkat. Matanya menangkap pemandangan laki-laki yang jadi alasan kenapa dia bela-belain ke sini hari ini.

“Hai” Marvel menarik satu kursi tepat di samping Harvel yang lagi duduk dan ngobrol sama dua laki-laki yang Marvel perkirakan umurnya beberapa tahun lebih muda dari Julius.

Ketiganya menoleh, dan Marvel dapat melihat keterkejutan luar biasa di mata Harvel.

“J-Julius? Julius Dewantara?” Harvel sampai lupa mengontrol diri saking kagetnya, yang bikin Julius juga ikutan kaget campur bingung.

Julius menyodorkan tangannya, mengajak semua yang ada di meja bersalaman. Bibirnya melengkungkan senyum ramah, bahkan matanya ikut tersenyum. Manis sekali, sampai Harvel nggak sanggup mengalihkan pandangan dari Julius.

Marvel langsung sebel. Lupa kalau adiknya itu artis, mana ganteng lagi. Harvel terang-terangan ngeliatin Julius dengan pandangan kagum. Nggak lepas barang sedetikpun seolah-olah kalau Julius nggak diliatin bakal langsung poof– ngilang.

“Boleh foto nggak?” Harvel bertanya dengan penuh harap saat semuanya udah duduk lagi.

Mejanya bulat, dan mereka duduk melingkar dengan Marvel di sebelah kanan Harvel, sementara Julius di sisi kirinya, lalu kedua laki-laki yang tadi ngobrol dengan Harvel yang setelah sesi kenalan, Marvel tahu namanya Jevion dan Clinton; kembar fraternal dari keluarga Batara.

“Sama gue?” Julius bertanya.

Harvel mengangguk bersemangat, sampai rambutnya bergerak lucu. Matanya membulat, ketara sekali mengagumi ciptaan Tuhan yang sekarang memenuhi netranya.

Julius tertawa, “Boleh lah”

Harvel menyodorkan ponselnya ke laki-laki yang ada di sebelah Julius. “Fotoin, tolong, hehe”

Jevion yang duduk di sisi kiri Julius mengambil ponsel Harvel, “Sini”

Clinton geser dua bangku, jadi duduk di sebelah Marvel yang mukanya sepet. “Kenapa, Kak? Sakit perut?”

Marvel menoleh, tersenyum merasa bersalah karena ekspresinya kebaca. “Nggak kok”

Clinton nyengir. “Harvel cowok lu? tanyanya.

Marvel terkejut, 'to the point banget' komentarnya dalam hati.

“Bukan kok, kenapa?”

“Muka lu kayak orang yang lagi cemburu pacarnya ngeliatin orang lain” Clinton menjawab, kali ini agak berbisik. Seulas senyum jahil terbit di bibirnya.

Marvel mencebikkan bibir. “Sok tau ah” akhirnya Marvel tertawa. Asik juga, seenggaknya Clinton nggak kaku kayak anak-anak temen Papanya yang lain. Mungkin bisa jadi temen ngobrolnya.

“Kok gue nggak pernah ketemu lu sama- Jevion?” Marvel bertanya, tidak yakin dengan pengucapan nama kembaran Clinton. Takut salah nama.

“Emang baru kali ini ikut”

Marvel mengangguk-angguk paham. “Besok-besok, ikut lagi aja.” Detik berikutnya, Marvel bingung dengan dirinya sendiri. Biasanya kan, dia sendiri paling malas acara-acara beginian. Kenapa sekarang dia jadi seolah-olah promosi dan pengen berbaur?

“Gue ke depan dulu, Rendra udah sampe” Julius menyenggol Marvel.

Yang disenggol menoleh, lalu mengangguk. Julius emang ngajak manajernya buat nyamperin aja ke sini, karena acaranya bukan acara formal. Cuma kumpul-kumpul biasa. Lagian, Rendra dan Marvel juga udah kenal karena beberapa kali ketemu. Malam ini, Rendra juga bakal nginep di rumah mereka karena besok Julius harus terbang ke Makassar buat syuting film.


Harvel memainkan ponsel, gelisah entah karena apa tapi hatinya gelisah aja. Dia sadar banget, sejak Marvel dan Julius sampai, Marvel nggak berhenti menatapnya. Mereka udah sempet saling sapa, tapi nggak ngobrol karena Harvel keburu terpukau pas ketemu Julius.

Harvel sempet ngefans sama Julius. Dia nonton film-film yang dibintangi Julius, bahkan follow akun Twitter dan Instagram Julius segala. Nggak yang gimana-gimana sih, tapi selagi ada kesempatan emas ketemu Julius secara langsung, ya dia minta foto. Lumayan, buat pamer ke temannya atau siapapun yang bisa dipamerin.

Waktu Julius pamit dan bilang kalau mau jemput manajernya di lobby country club, Harvel tersentak. Dia nggak tau kalau Ren, temannya di akun alter suatu hari akan beneran ketemu di dunia nyata. Tapi yaudahlah, Harvel sadar dunia mereka emang sempit sih. Harvel juga lupa banget kalau Julius Dewantara anak keluarga Dewantara, yang berarti circlenya nggak jauh dengannya. Mereka nggak pernah ketemu karena Julius sibuk dengan jadwalnya dan nggak ngambil bagian apa-apa di Perusahaan. Tapi bukan berarti nggak ada kemungkinan ketemu.

“Seneng banget, ketemu adek gue” Marvel membuka percakapan.

Harvel menoleh, menahan senyum yang belum pudar karena bisa ketemu salah satu artis papan atas Indonesia yang yahh- bisa dibilang idolanya. “Seneng lah, ganteng banget” Harvel memuji, mengabaikan penekanan 'adek gue' yang diucapkan Marvel.

Marvel mendecakkan lidah. “Gantengan juga gue”

“Ih, beda”

“Gantengnya beda, soalnya Kak Marvel juga ganteng?” Clinton nimbrung, sok polos. Padahal dalam hati pengen ketawa, ngebatin kenapa dua orang ini kayaknya nggak bisa menutupi ekspresi sama sekali.

“Mulut lu nggak ditatar ya” Harvel misuh-misuh, males kalau Marvel sampai keluar kepedeannya.

Marvel ketawa-ketawa. “Yaudah, yang penting di mata lu, gue ganteng”

“Idih, pede banget”

Ketiganya tertawa, kecuali Harvel yang mukanya berubah sepet. Jevion menoleh ke arah kembarannya, yang setelah dijelasin singkat lewat kode-kodean langsung paham ceritanya dalam sekejap. Telepati kali, namanya juga kembar. Atau emang segitu saling kenal dengan pribadi kembarannya aja, makanya cepet banget nangkepnya.

“Kenalin nih, Rendra. Manajer gue”

Rendra nyalamin semuanya satu per satu, dengan cepat berbaur dengan Marvel, Clinton dan Jevion.

Harvel bertukar pandang dengan Rendra, yang dengan satu tatapan langsung paham semuanya. Seneng juga, akhirnya mereka kenal di dunia nyata. Nyatanya, nggak butuh waktu lama untuk mereka berenam bisa akrab dan ketawa-ketawa bareng walaupun umurnya pada beda-beda dan terpaut lumayan jauh.

“Javier nggak datang, ya?” Julius melempar pertanyaan ngambang entah buat siapa, berharap salah satunya bisa menjawab. Mereka udah duduk di meja selama 40 menitan dan laki-laki yang dia tunggu malah nggak keliatan batang hidungnya.

“Harusnya datang kok, tadi Papa ada nyebutin Papanya” Jevion menjawab.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Javier menghempaskan pantatnya di kursi, lalu basa-basi sebentar sebelum akhirnya memesan minuman.

“Adek lu kenal sama Javier dari mana?” Harvel bertanya, sedikit berbisik saat melihat Julius dan Javier ngobrol. Sepengetahuan Harvel, Javier kan pramugara. Jadi jarang ikut acara mereka, dan Julius juga baru sekali dua kali ikutan. Harvel yang di tiap kesempatan selalu ada nggak pernah liat interaksi keduanya.

“Yee kepo aja” Marvel menjawab iseng.

“Dih, yaudah”

Marvel mencubit pipi Harvel pelan. “Nggak usah ngarepin adek gue, tipenya nggak kayak lu”

Harvel menghapus jejak cubitan Marvel di pipinya, lalu mendelik galak. “Siapa juga yang ngarepin, orang gue cuma nanya”

“Tipenya bukan yang kayak lu” Marvel mendekatkan mulutnya ke telinga Harvel, kali ini berbisik lebih pelan biar nggak kedengeran siapapun.

“Soalnya yang tipenya kayak lu, itu gue”


“Vel”

Harvel yang lagi cuci tangan mengangkat mukanya, melihat orang yang memanggilnya dari cermin besar di depannya.

Harvel tersenyum. “Brightest night?”

Rendra ketawa singkat. “Bagi nomer lu dong, biar kalo mau ngobrol nggak perlu dm lagi”

Harvel dengan senang hati menyebutkan nomornya. Sejujurnya lega juga, dari temen virtual berubah jadi temen dunia nyata. Udah gitu bukan orang aneh-aneh.

“Lu dari kapan, jadi manajer Julius?”

“Sejak pertama kali Julius ngambil job. Gue sama Julius temen deket dari SMA”

Harvel belum sempat merespon saat ponsel Rendra berdering dan laki-laki itu ngasih kode kalau dia akan langsung balik ke meja, yang disambut dengan anggukan paham dari Harvel.

“Kok langsung kabur sih?” sebuah suara menyapa pendengaran Harvel. Samar-samar karena tabrakan dengan suara pengering tangan otomatis, tapi Harvel nangkep kata-katanya.

Harvel berbalik badan, agak kaget karena jarak Marvel lumayan deket sama dia.

“Kenapa lu? Darah rendah?” Marvel menyadari Harvel yang hampir limbung.

“Nggak”

Marvel memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya menatap Harvel dari kepala sampai ujung kaki. Bikin yang diperhatiin risih karena merasa dinilai.

“Dikit lagi gue colok mata lu”

“Galak banget sih”

“Biarin”

“Emang gue salah apa?”

Harvel tertegun. Sejujurnya, dia juga nggak tahu kenapa dia jadi galak banget sama Marvel. Padahal mereka kan cuma one night stand dan harusnya setelah itu dibawa profesional aja, nggak perlu galak-galak. Tapi kok bawaannya pengen jutekin Marvel, ya?

Harvel menghela nafas. “Nggak tau”

Marvel menaikkan alis, lalu maju satu langkah. Harvel refleks mundur, punggungnya membentur tembok.

“Apa?” Harvel bertanya, menutupi rasa gugup yang menyergap, nggak jelas juga apa penyebabnya.

“Kangen” Marvel berucap, sambil matanya memperhatikan bibir Harvel yang setengah terbuka. Marvel sendiri kaget habis ngomong, mulutnya kayak bergerak sendiri. Tapi dia berusaha mempertahankan posisinya, penasaran sama reaksi Harvel.

'Plak'

Pipi Marvel memanas. Tamparan Harvel cukup keras, kulit pipinya terasa perih.

Harvel nggak ngomong apa-apa setelah itu. Kakinya melangkah cepat meninggalkan toilet. Jantungnya berdegup nggak normal, otaknya berkali-kali merutuki tangannya yang refleks nampar Marvel padahal seharusnya dia nggak perlu bertindak sekasar itu.

Tapi bahkan untuk menyuarakan permintaan maaf, Harvel udah nggak punya muka lagi.

Marvel memarkir mobilnya buru-buru; pokoknya asal mendarat di garasi aja deh. Mobil Julius ada di garasi, menandakan adiknya udah pulang duluan.

Semalam, Julius menginap di apartemennya setelah syuting. Tapi barusan mereka misah karena Julius ketemu dengan managernya di salah satu mal nggak jauh dari apartemen. Katanya, ada yang perlu didiskusikan.

Kemarin malam, mereka berencana untuk kembali ke rumah pagi ini. Tapi karena Julius ada janji mendadak sama managernya, akhirnya mundur ke sore hari. Eh belum sempat Julius balik ke rumah, mereka berdua udah rebutan ikut Papa golf.

Di rumah, Sebastian yang menyaksikan kedua adiknya rebutan lewat chat buat nemenin Papanya golf cuma bisa ketawa-ketawa doang. Udah biasa; umurnya doang dewasa, kelakuannya tetep aja kayak anak kecil. Kebaca banget, kedua adiknya ini emang lagi ngegebet orang yang kebetulan anak dari klien-klien Papanya.

Sebastian menuruni tangga. Kakinya melangkah menuju sofa ruang tengah, lalu mendaratkan pantatnya di sana. Mau menyaksikan langsung kedua adiknya perang kecil-kecilan di rumah. Lumayan, hiburan.

Julius membuka pintu dengan buru-buru. “Marvel belum balik?”

“Belum” Sebastian tertawa. “Papa di kolam renang”

Julius cengar-cengir, ngerasa didukung kali; nggak tahu juga. Kakinya berlari kecil ke arah belakang rumah, ke kolam renang tempat Papanya duduk-duduk. Walaupun masih siang, tapi udara hari ini nggak begitu panas. Pantes Papa bisa di luar siang bolong.

“Paaaa”

Papanya menoleh. “Ada maunya aja, inget pulang”

Julius ketawa-ketawa. “Nggak gituuu, ih” tangannya bergelayut di lengan Papanya. Kepalanya nyender-nyender di lengan Papanya, sambil diusak-usak yang punya lengan.

Dari pintu kaca, Sebastian memperhatikan interaksi adik bungsu dan Papanya. Hatinya menghangat, soalnya sejak dulu, Papa pengen anak perempuan yang bisa disayang dan dimanja-manja. Tapi Sebastian dididik Kakeknya yang otoriter untuk jadi anak sekaligus cucu sulung yang tegas dan kuat. Nggak boleh menye-menye.

Sedangkan Marvel, Sebastian juga nggak tahu kenapa, tapi adik pertamanya itu kayak anak Mama seorang. Plek, persis sama kayak Mama versi laki-laki. Nggak ada mirip-miripnya sama Papa. Cuek bebek, nggak ada tuh dalam agendanya bisa manja-manjaan sama Mama Papa atau Kakaknya.

Waktu Sebastian masih TK, dia pernah nggak sengaja denger Mama dan Papanya berbincang di meja makan. Papa pengen punya anak lagi, pengen anak perempuan. Mama sebenarnya cuma mau dua anak, lalu dengan frustasi bertanya ”Terus kalau anaknya laki-laki, jadi tiga dong anak laki di rumah?”

Dulu kan Sebastian nggak ngerti, jadi dia tiba-tiba muncul dan dengan polosnya bilang kalau dia mau kok, punya adik satu lagi. ”Laki-laki juga nggak apa-apa” katanya waktu itu.

Long story short, setahun kemudian permintaannya terkabul. Julius kecil lahir ditengah keluarga Dewantara. Julius tumbuh jadi anak yang nggak bisa diam sama sekali, pokoknya kayak kebalikan Marvel. Sebastian sampai bingung, kenapa adiknya bertolak belakang banget. Jarang berantem sih, soalnya saking bertolak belakangnya, dulu Julius suka ngadu ke Sebastian kalau kakaknya yang satu itu nggak ada seru-serunya. Lempeng aja, kayak triplek. Diajak main ayo, tapi nggak seru buat jadi teman Julius yang heboh.

Papa dan Mama sih, nggak ada yang pilih kasih. Dalam artian, kalau satu dibeliin mainan, yang dua lagi juga ikut dibeliin. Kalau berantem anak kecil pun, yang salah dihukum dan diajarin yang benar. Jadi, bukan berarti Julius dianakemaskan. Tapi namanya anak yang paling diharapkan Papa, jadinya lumayan dimanja. Apalagi diantara ketiga anaknya, yang paling mungkin buat dimanja-manja cuma Julius.

Sebastian juga nggak punya kesempatan untuk bermanja-manja sama Papa dan Mama karena waktu umurnya menginjak 8 tahun, Kakeknya ngusulin buat menyekolahkan Sebastian di Perancis, mengingat suatu hari nanti seluruh Perusahaan Dewantara dan anak-anaknya akan turun ke Sebastian. Jadi sejak kecil, Sebastian udah dididik untuk jadi laki-laki paling tangguh. Makanya kalau ada pemandangan adik-adiknya lagi deket sama orang tuanya, Sebastian cuma bisa tersenyum dalam hati. Dia tahu, dia nggak dalam posisi bisa seperti itu dengan kedua orang tuanya.

Pintu rumah terbuka lebar dan Marvel masuk dengan tergesa-gesa. Mukanya ketekuk; “Julius mana, Kak?”

“Di kolam renang, sama Papa”

“Lu ikut golf?” tanya Marvel.

“Nggak lah, kan kalian mau ikut Papa. Gue nggak usah kalo gitu”

Marvel mengangguk.

“Udah sana, kalau nggak berhasil nanti gue bantu ngomong ke Papa” Sebastian menahan tawa, geli juga liat adiknya yang biasanya nggak pernah effort buat deketin orang kok tiba-tiba saingan sama adik satu lagi, tapi beda objek.

Marvel manyun, bete diketawain. Tapi akhirnya berterimakasih dan menyusul Papa dan Julius ke kolam renang.

“Nah, anak satu lagi inget pulang” suara Papa menyapa pendengaran Marvel waktu kakinya menginjak area belakang rumah.

Marvel meluk Papanya sekilas, kemudian menjitak Julius yang dibalas dengan muka penuh ledekan dari adiknya.

“Kenapa sih, tiba-tiba pada mau ikut Papa? Biasanya juga apa-apa suruh Kak Tian” Papa bertanya, penasaran.

“Mau bonding lah, kan aku harus bonding sama anak-anak temen Papa” Marvel menjawab cepat dengan nada merengek.

“Bohong, Pa. Kakak mau deketin Harvel” Julius ngadu yang dibalas pelototan Marvel.

“Julius mepetin Javier, Pa” Marvel nggak mau kalah.

Papa mengerutkan alis bingung, “Ini Harvel Dirgantara sama Javier Adhinata?”

“Kok bisa pada kenal? Kalian ketemu aja belum?”

“Loh, waktu itu kan kenalan, Pa. Papa yang kenalin di Cloud” Marvel merujuk ke acara charity Perusahaan beberapa waktu lalu, waktu Dia kenalan sama Harvel.

Papa mengingat-ingat. “Oh, waktu Kak Tian nggak bisa itu, ya?”

Marvel mengangguk.

“Yaudah tapi yang bener, ya. Nggak enak kalau udah urusan hati”

“Beres, Bos” Marvel nyengir, senang rencananya udah di-approve.

“Ih” Julius memprotes, tapi kepotong ucapan Papa.

“Terus Adek kenal Javier dari mana?”

“Di pesawat, kenalan”

Papa membelalakkan mata, terkejut. Lalu jarinya menyentil hidung mancung Julius. “Belajar dari mana, jadi buaya begitu, hah?”

Julius menoleh ke arah Marvel, menaikkan alisnya mengirim kode. Lalu menjawab “Ya, dari Papa lah” dengan buru-buru sambil keduanya ngibrit dan ketawa-ketawa ngakak masuk ke dalam rumah sebelum Papa sempat memproses omongan kedua anaknya.

🔞

Harvel meletakkan ponsel di saku celananya. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Pria-pria berjas mahal dan wanita-wanita elegan yang harga tasnya sanggup membayar DP mobil kelas menengah berlalu-lalang, mengisi netranya.

“Pak Harvel” sekretarisnya mencondongkan wajah ke telinganya, berusaha melawan suara bising ruangan yang penuh dengan orang bercakap-cakap dan tertawa.

“Ditunggu Pak Darius”

Harvel turun dari kursi bar tinggi yang sejak tadi didudukinya. “Bukan Pak Sebastian?”

“Pak Sebastian ada urusan mendadak” jelas sekretarisnya.

Harvel mengangguk paham, lalu berjalan mengikuti arahan sekretarisnya.

Harvel duduk berseberangan dengan Pak Darius, Chairman Dewantara Holdings. Walaupun Harvel sudah terbiasa dibawa Papanya untuk bertemu dengan petinggi-petinggi perusahaan besar, tapi Harvel kan masih anak muda biasa. Deg-degan mah ada, apalagi takut. Takut mengecewakan Papa.

“Sini, Marvel” Pak Darius memanggil seorang laki-laki yang Harvel perkirakan kurang lebih seumuran dengannya.

Ah, kayaknya sih anak Pak Darius. Setahu Harvel, anak keluarga Dewantara memang ada tiga. Sebastian, client penting Harvel yang ditemuinya tadi sore, lalu Julius, yang memilih untuk berkarir di dunia entertainment, dan satu lagi yang belum pernah dia temui.

“Marvel Dewantara” Marvel mengulurkan tangan yang langsung dibalas oleh Harvel sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.

'Kan, bener' batin Harvel menjawab tebakannya sendiri.

Harvel harus mengakui, putra Dewantara yang ini cakep banget. As in, ganteng banget dan auranya mahal banget kayak pemeran utama di serial netflix. Waktu Harvel ketemu Sebastian, ya ganteng sih, tapi yaudah gitu ganteng doang. Kalau Julius, dia seringkali liat di headline berita atau sosial media. Cakep sih, malah sempat dia perkirakan paling cakep diantara bertiga. Tapi ternyata, yang ini malah paling menyita perhatiannya. Mungkin karena ketemu langsung, jadi berasa aja gitu auranya. Ya, Harvel juga nggak tahu aura apa, ngasal aja pake feeling.


“Sendirian?” sebuah suara menyapa pendengaran Harvel yang fokus dengan ponselnya.

Harvel mengunci ponselnya dan memasukannya ke dalam saku jas.

“Kan gak ada orang lain” jawabnya retorik, merujuk pada sekitarnya yang memang sepi karena dia memilih untuk duduk di sisi bar paling ujung, jauh dari hiruk pikuk keramaian.

Marvel mengulum senyum. Pandangannya berpindah ke arah bartender yang berada tidak jauh di depannya.

“Macallan 25, sama gelas dua”

Harvel mendengus. “Gak pengen minum lagi”

Harvel bersiap turun dari kursi, tapi sikunya ditahan oleh Marvel. “Yakin mau ditolak?”

Marvel melirik ke kanan, mengisyaratkan sofa tempat mereka tadi berkenalan. Darius Dewantara masih berada di sana, menyesap rokoknya sambil berbincang-bincang dengan beberapa orang yang Harvel tahu, sama-sama petinggi perusahaan.

Harvel menghela nafas, lalu kembali duduk di kursinya.

“Nih. Gue mau liat sampe mana kemampuan minum lu” Marvel meletakkan gelas di depan Harvel, menimbulkan bunyi nyaring hasil perpaduan gelas whiskey dengan meja marmer.

Dalam hati Harvel meringis, sedikit berdebar takut melewati kapasitasnya. Tapi gengsi juga, soalnya Marvel kelihatan meremehkannya.

Marvel meletakkan beberapa bongkah es di dalam gelas Harvel, lalu menuangkan whiskey sampai.. penuh?

'Gila, mau ngajak tewas apa gimana' Harvel memaki dalam hati. Dia diam saja, tidak ingin menunjukkan kalau dirinya sedikit panik.

“Kalau gue nggak mau?” Harvel menantang. Manik matanya bertemu dengan tatapan Marvel yang menggelap. Senyum di wajahnya pudar, menyisakan wajah dingin yang auranya lumayan mengintimidasi Harvel. Tapi Harvel juga malas mundur, harga dirinya disentil gitu aja sama keturunan Dewantara paling songong yang pernah dia temui.

'Lagi sial aja sih, biasanya juga ketemunya Sebastian' begitu batinnya tadi.

'Sial apanya, ini mah namanya rejeki nomplok' sebuah suara lain muncul di pikirannya, yang buru-buru Harvel artikan sebagai suara setan entah darimana asalnya.

“Kalau nggak mau” Marvel berucap dengan nada menggantung, lalu mendekatkan posisi mereka, membelakangi ruangan.

Tangan Marvel meraba paha Harvel pelan, menimbulkan sensasi merinding pada sekujur tubuh Harvel. Pahanya terbalut celana, tapi Harvel bisa merasakan tangan Marvel yang mendingin karena suhu ruangan yang nggak beda jauh sama kulkas.

“Ya nggak apa-apa sih, tapi masa putra Dirgantara yang terhormat takut kalah” Marvel tersenyum sinis sambil meremas paha dalam Harvel. Kata putra Dirgantara yang terhormat diucapkan dengan nada menekan, benar-benar membuat darah Harvel memanas. Pujian yang beberapa menit dilontarkannya tentang Marvel dalam hati buru-buru ditarik lagi.

“Aduh” Marvel meringis. Tangan kanannya yang tadi menggerayangi paha Harvel dipukul yang punya paha.

Harvel menyambar gelas whiskey di depannya, lalu diteguknya setengah. Nggak sampai habis, orang awam juga tahu kalau langsung ditenggak semua malah bahaya. Udah gitu Marvel tega banget, nggak dicampur mixer sama sekali. 'Emang nggak beres' sekali lagi, Harvel memaki dalam hati. Sibuk mengutuk diri sendiri yang tadi muji-muji Marvel waktu awal kenalan.

“Habisin” Harvel menubrukkan gelasnya ke gelas Marvel, mengajak cheers secara tidak langsung.

Marvel tersenyum miring, menenggak habis gelas whiskey yang juga terisi penuh. Harvel menelan ludah panik, 'kok dihabisin sih'.

“Punya lu kok nggak dihabisin?” Marvel bertanya, matanya memandang mata Harvel lekat-lekat.

Harvel menggertakkan gigi, lalu menghabiskan sisa minumannya. Kerongkongannya panas. Sebelum menurunkan gelasnya, Harvel buru-buru menggapai satu bongkah es dengan lidahnya, berniat dikulum sampai lumer.

Marvel tersenyum puas. “Tunggu sini bentar, jangan kemana-mana”

Harvel cuma mengangguk. Kepalanya pusing. Dia kuat minum, tapi harus dijeda. Bukan langsung segelas kayak gini. Selagi Marvel meninggalkannya entah ke mana, Harvel mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Berniat meminta sekretaris menjemputnya dan membawanya pergi sebelum Marvel balik lagi.

Tangannya meraih ponsel dan mengetik pesan buat Ren, teman di akun alternya yang tadi janjian buat main Counter Strike. Nggak jadi main, soalnya malam ini dia rencananya langsung tidur aja.

“Udah dibukain kamar” suara Marvel menyapa di belakangnya, membuat Harvel terperanjat. Ketika Harvel menoleh ke sumber suara, wajahnya hampir menabrak wajah Marvel yang nggak tahu ngapain, benar-benar cuma beda berapa senti dari wajahnya.

Tangan Marvel menyelipkan sebuah kartu ke saku jas Harvel, yang langsung ditepis Harvel keras.

Marvel menyeringai, tahu yang dia lakukan memancing emosi lawan bicaranya. Gimana nggak memancing, dia sengaja menyelipkan kartu kamar ke saku jas bagian dada. Wajar aja Harvel kelihatan gusar, apalagi Harvel jelas tertarik pada pria, sama sepertinya. Marvel belum nanya sih, berasumsi aja sepengamatannya.

“Yuk” Marvel membantu Harvel turun dari kursinya.

“Lu cabut. Gue bisa sendiri” Harvel berucap dingin, melepas sikunya dari pegangan tangan Marvel.

“Gue cuma lagi bertanggung jawab doang, setelah bikin lu susah jalan” jawabnya polos.

Harvel memutar bola matanya, paham kalau Marvel merasa menang. Dalam hati dia bersumpah serapah, berjanji pada diri sendiri suatu hari akan menyembur laki-laki ini dengan minuman paling mahal yang bisa dibelinya.


“Mana sekretaris gue?” tanya Harvel begitu mereka menginjakkan kaki di kamar hotel.

“Emang tadi gue bilang ada sekretaris lu?” Marvel bertanya.

Harvel menyipitkan mata, kemudian membuang nafas pasrah. “Oke, thanks. Gue mau tidur, lu cabut sekarang”

Marvel mengangkat alis, kakinya menelusuri kamar, lalu berhenti di sisi jendela besar yang menampilkan pemandangan malam kota Jakarta yang spektakuler. Pemandangan yang ditawarkan salah satu hotel bintang lima di jantung ibukota memang nggak main-main.

“Ngapain masih di sini?” suara Harvel menyapa telinga Marvel.

Marvel membalikkan badan, sedikit limbung karena ternyata Harvel berada tepat di belakangnya dengan jarak cukup dekat. Ternyata kalau sama-sama berdiri, tinggi keduanya nggak beda begitu jauh.

Kedua manik mata mereka bertemu, dan Marvel bersumpah dia bisa merasakan kalau jauh di dalam hatinya, Harvel merasa kosong dan hampa, sama seperti dirinya.

Pandangan Harvel pindah ke jendela, memandang kosong lampu-lampu kota Jakarta, lurus melewati bahu Marvel. “Gue tanya, ngapain masih di sini?”

Marvel memandang mata Harvel, lalu menjawab pelan “Mastiin lu nyampe kamar dengan aman”

Harvel membalas tatapannya. Bersiap memberikan pelajaran buat laki-laki menyebalkan yang sejak tadi menyulut emosinya.

Kakinya maju satu langkah, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Marvel. Marvel jelas terkejut, nggak sempat memprediksi langkah Harvel yang diluar ekspektasinya.

Pagutan bibir keduanya memanas, saling melumat. Lidah keduanya berperang, melepas hasrat yang tertahan. Tangan Marvel merengkuh pinggang ramping Harvel, merapatkan jarak keduanya. Kakinya mundur hingga punggungnya menabrak jendela.

Tangan Harvel menekan leher Marvel, memperdalam ciumannya. Jari-jari Marvel merambat dari pinggang, satu tangan naik ke punggung Harvel, satu tangannya lagi turun ke pinggul Harvel.

“Nghh” Harvel mendorong bahu Marvel, memutus tautan bibir keduanya paksa. Keduanya meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Kalau dilanjutin” Marvel berucap, setengah tidak yakin tapi tahu dirinya butuh persetujuan. “Boleh?”

Dalam hati Marvel berdoa, semoga ada malaikat yang mengabulkan harapannya. Walaupun yang dia minta maksiat, tapi nggak ada salahnya berdoa. Kali aja, dosanya dilancarin.

“Nggak” Harvel tersenyum miring. Matanya menatap Marvel tajam, 1-0, rasain dah tuh berdiri.

Marvel menelan ludah, tapi tidak berapa lama saat entah ilham dari mana, dia merasa Harvel cuma mau balas dendam. Dia bisa merasakan penis laki-laki itu berdiri tegak saat tubuh keduanya menempel.

Marvel mengangkat dagu, menatap Harvel dengan tatapan tidak kalah tajam. Mencoba sekali lagi peruntungannya, tangannya meraih tengkuk Harvel. Mengajaknya kembali berperang lidah.

Harvel meronta, tapi tangannya ditahan Marvel. Tidak lama, Harvel terbawa arus dan membalas ciumannya. Marvel tersenyum dalam hati, tahu dirinya menang malam ini. Tangannya menggerayangi dada Harvel, melonggarkan ikatan dasi Harvel dan melepas dua kancingnya.

Lenguhan tertahan dan suara kecipak bibir memenuhi ruangan kamar yang sunyi. Harvel merapatkan tubuh keduanya, menekan Marvel ke jendela.

“Ada lube?” Harvel bertanya saat ciuman keduanya terlepas. Otaknya menyuruh gengsinya mengalah, kali ini aja, daripada badannya tersiksa.

“Ada” Marvel meraup bibir Harvel ganas, melanjutkan ciuman yang entah kapan akan berhenti.

Marvel mendorong Harvel ke kasur, lalu melepas jas dan dasinya. Harvel duduk, berhadapan dengan pinggul Marvel tepat di depan wajahnya. Tangan Harvel bergerak melepas ikat pinggang Marvel, lalu menarik celananya ke bawah.

“Relax, baby” Marvel menahan tawa, siapa yang daritadi gengsian setengah mati sampai menolaknya?

“Mau tidur” Harvel merengek, menyembunyikan rasa malu.

“Yaudah, tiduran. Tapi nggak janji kamu tidur cepet malem ini” Marvel mendorong tubuh Harvel ke kasur, menindihnya.

Harvel bisa merasakan jutaan kupu-kupu di perut saat Marvel mengubah panggilannya. Tubuhnya belum sempat bereaksi apa-apa saat Marvel mengecup bibirnya, lalu turun ke rahangnya. Tangan Marvel melepas seluruh kancing kemeja Harvel, lalu mengangkat sedikit tubuh Harvel untuk melepas kemeja sekaligus jasnya dan dibuang begitu saja ke lantai. Dasi Harvel dilepas, lalu menyusul kemeja dan jasnya teronggok di lantai kamar.

“Hngghh” Harvel menggigit bibir saat merasakan putingnya basah. Marvel mengulum satu putingnya, sambil menggerayangi putingnya yang lain.

“Jangan ditahan” Marvel berucap. Ada nada tidak suka dalam ucapannya.

Harvel mengangguk, setengah takut. Tangannya merengkuh tubuh Marvel, mendorongnya ke kasur untuk menukar posisi. Keduanya melepas sisa pakaian yang masih menempel di tubuh masing-masing. Harvel merinding, merasakan dinginnya suhu ruangan menerpa kulitnya.

Marvel beringsut mundur, bersandar pada headboard tempat tidur.

“Sini” Marvel menepuk pahanya, mengisyaratkan Harvel untuk naik ke pangkuannya.

Keduanya kembali bertukar liur, kali ini dengan tangan yang tidak lagi ditahan rasa ragu. Saling menggerayangi tubuh lawannya.

“Hmphh” Marvel mendesah tertahan saat penis keduanya bergesekkan. Digesekkan oleh Harvel lebih tepatnya. Pantat laki-laki itu bergerak maju mundur, binal menggoda penisnya yang mengeras.

“Nghh p-pakai lube” Harvel berucap saat dirasakan jari Marvel meraba pintu analnya.

“Nanti, sayang” Marvel tersenyum miring. Marvel mengucapkan ibu jarinya ke bibir Harvel yang setengah terbuka, mengkilat dan sedikit membengkak hasil ciuman yang entah sudah berapa kali dilakukan.

“Hisap” titah Marvel. Jari telunjuk dan jari tengahnya melesak masuk ke mulut Harvel. Harvel mengulum jari-jarinya, pantatnya masih aktif bergerak menggoda penis Marvel yang mengeras.

“Nakal sekali” Marvel tersenyum miring, memperhatikan Harvel yang mengulum jarinya dengan tatapan polos seperti anak kucing. 'Lagi bikin dosa aja bisa sepolos ini mukanya'

“Hnghh” Harvel berjengit kaget saat Marvel menampar pantatnya. Jarinya dikeluarkan dari mulut Harvel, pindah menuju analnya.

“Akhh, Marvel-hhh” Harvel mendesah. Dua jari Marvel terasa memenuhi lubangnya. Kepala Harvel mendongak, menahan kenikmatan dari lubangnya dan penisnya yang masih bergesekkan dengan penis Marvel setiap kali tubuhnya bergerak. Mana bisa diam kalau diberikan kenikmatan dalam lubang sensitifnya?

Marvel menghujani leher Harvel dengan ciuman. Satu tangannya menggapai nakas di sisi tempat tidur, mengambil lube dan kondom yang sudah diletakkan sebelumnya.

Kalau dia meminta sekretarisnya untuk menyiapkan kamar di hotel, sekretarisnya pasti menyiapkan lube dan kondom di laci. Udah terbiasa, soalnya bosnya itu nggak mungkin nginep di hotel. Selelah apapun, Marvel lebih memilih untuk pulang ke apartemennya di bilangan Jakarta Selatan. Nggak macet, karena biasanya Marvel pulang subuh kalau ada acara. Tapi kalau ada urusan lain, Marvel akan minta dibukakan kamar oleh sekretarisnya. Itu juga jadi kode buat sekretarisnya pulang, karena tahu bosnya nggak akan bisa dihubungin lagi malam itu. Jadi sekretarisnya akan menghubunginya besok pagi.

Harvel mundur sedikit, menciptakan jarak di antara mereka saat Marvel mengeluarkan jari dari lubangnya. Menepis rasa pahit yang tiba-tiba dirasakannya saat memperhatikan Marvel mengambil lube dan kondom dari laci, 'Berarti udah sering dong, kayak begini?'

Harvel buru-buru membuang rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Mereka sendiri juga partner satu malam, kan.

Harvel membungkukkan badan, meraih penis Marvel saat laki-laki itu sibuk membuka bungkus kondom.

“Nghh-Harvel” Marvel menggeram saat Harvel tiba-tiba mengulum penisnya. Mulut Harvel hangat, membuat penisnya sekeras batu.

Harvel melepas kulumannya, tertawa kecil. Bibirnya mengecup bibir Marvel, yang membuat keduanya salah tingkah. Untuk sekian detik, keduanya lupa kalau malam ini mereka cuma partner one night stand.

Marvel buru-buru memakai kondom dan menuangkan lube ke tangan kanannya. Tangan kirinya merengkuh pinggang Harvel, membawanya ke dalam ciuman.

Tangan Marvel mengoleskan lube di tangannya ke pintu lubang anal Harvel, lalu melepas pagutannya dan membasahi penisnya sendiri dengan lube.

“Mau kamu yang masukin?” Marvel menawarkan, takut menyakiti Harvel. Saat jarinya mempersiapkan lubang Harvel, dia tahu laki-laki itu sudah lama tidak melakukan hubungan seksual, atau bahkan belum pernah sama sekali. Sempit sekali, dua jarinya terasa ketat di dalam. Bahkan Marvel tidak berani membayangkan penisnya berada di dalam Harvel.

“Hm” Harvel menggumam sebagai jawaban. Pantatnya diangkat, lalu Harvel memasukkan penis Marvel dengan sekali hentakan.

Marvel langsung tahu, ini bukan yang pertama kali buat Harvel. Baguslah, dia sendiri juga nggak tega kalau Harvel kesakitan.

Tangan Harvel meremas pundak Marvel, menahan rasa perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Terasa seperti dibelah dua. Penis Marvel terasa penuh di dalam lubangnya.

Saat dirasakan nafas Harvel mulai teratur, Marvel kembali menghujani leher Harvel dengan ciuman untuk mengalihkan rasa sakitnya. Pinggulnya bergerak, memancing yang di pangkuannya untuk bergerak melawannya.

Harvel menggerakkan pinggulnya. Pelan, tapi semakin lama semakin cepat saat dirasakan hentakan penis Marvel menumbuk titik manisnya. Desahan bersahut-sahutan di dalam kamar, berebut menyalurkan kenikmatan masing-masing.

“Akhh, M-Marvel! Marvel-hh” Harvel berteriak saat mencapai klimaksnya. Tangannya menjambak Marvel, kepalanya mendongak menatap langit-langit yang berubah putih.

Marvel mempercepat hentakannya, lalu tidak lama menyusul Harvel menjemput klimaksnya.

Tubuh keduanya terkulai lemas menikmati pelepasan masing-masing. Marvel bersandar pada headboard, Harvel bersandar di dadanya.

Tangan Marvel mengelus rambut Harvel pelan.

“Mandi dulu” Marvel berucap saat deru nafas Harvel sudah teratur, tahu kalau dibiarkan Harvel bisa aja tidur di dadanya.

Harvel mengangkat wajahnya, menampilkan senyum congkak yang pertama kali dilihat Marvel saat mereka belum memulai pergulatan ranjang.

“Bareng?” Harvel menawarkan, yang langsung disambut dengan ciuman gemas di bibirnya.

“Jangan minta berhenti ya, kali ini”

Keduanya pindah ke kamar mandi, melanjutkan malam panas yang entah sampai kapan akan berlangsung.

CW // kissing

“Hati-hati ya, kalian, pulangnya” Guru Sains yang hari ini memberikan bimbingan olimpiade menepuk bahu kedua anak didiknya.

Haechan dan Mark bergantian menyalami gurunya, lalu berjalan menuju parkiran mobil. Sekolah memang memperbolehkan siswa yang sudah memiliki SIM untuk membawa kendaraan pribadi dan diparkir di parkiran sekolah.

Langit cerah. Adzan maghrib sudah mulai berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari sekolah, namun matahari masih menampakkan semburat jingga keemasan.

“Besok kita libur apa sih?” Mark membuka percakapan.

“Tanggal merah. Lupa deh, perayaan apa”

“Ke Ancol yuk”

Haechan menoleh. “Random amat tiba-tiba mau ke Ancol”

Mark tersenyum tipis. “Pengen aja, jalan-jalan sama kamu.”

“Mau nggak?” Mark menggigit bibir, gugup luar biasa. Kalau ditolak juga, batalin aja deh semuanya.

“Yaudah, yuk” Haechan mengangguk.


Mark tertawa kecil memperhatikan Haechan yang menjilati es krimnya dengan semangat.

“Apa?” Haechan bertanya, lalu menghabiskan seluruh es krimnya, menyisakan stik es krim di tangannya.

“Lucu” Mark memandangi Haechan sambil tersenyum. Yang ditatap cuma mengalihkan pandangan, nervous diperhatikan lamat-lamat begitu.

“Sini, aku buang” Mark mengambil stik es krim di tangan Haechan, lalu keluar dari bagasi mobil dan menuju ke tempat sampah terdekat.

Tadi, Mark memarkir mobilnya membelakangi pantai. Pintu bagasinya dibuka dan mereka duduk bersandar pada bantal-bantal yang memang Mark suka letakkan di mobilnya. Karena mobilnya sedan, jadi bagasinya cukup luas dan bisa buat duduk-duduk. Haechan pernah membayangkan duduk di bagasi mobil seperti ini, lalu dia berencana untuk memilih mobil sedan kalau nanti masuk kuliah dan diperbolehkan membeli mobil untuk dirinya sendiri. Ternyata malah mimpinya keduluan, bedanya kali ini sama Mark.

Hari ini pantai cukup sepi, faktor hari biasa dan sudah malam. Siapa juga yang mau malam-malam duduk di pantai, yang ada masuk angin nanti. Karena itu, mereka tidak menemukan pedagang asongan yang menjual makanan berat kayak bakso dan sejenisnya. Padahal tadi, Haechan lumayan lapar dan berencana ingin makan. Akhirnya, dia memutuskan untuk membeli es krim saat ada penjual es krim yang kebetulan lewat.

Mark kembali ke mobil, lalu duduk di sebelah Haechan. Jantungnya berdetak cepat, menimbang-nimbang saat yang tepat.

“Kamu, seneng nggak jalan sama aku?” Mark bertanya.

Haechan menoleh, memandang Mark dengan tatapan bingung. 'Kenapa gugup begitu deh?'

“Seneng kok. Kenapa?”

Mark mengangguk, membuang pandangannya ke arah pantai. Haechan ikut memandangi pantai. Alisnya bertaut, merasa aneh tapi bingung dengan situasi dingin di antara mereka.

Yah, sebenarnya situasi mereka udah cukup dingin beberapa minggu terakhir sih. Tapi yang kali ini, kayaknya tegang banget,

“Echan” Mark berucap, mengelus kepala Haechan dari belakang. “Pacaran yuk?”

Haechan mendengus, menahan tawa sekaligus sebal. 'Jadi ini, yang bikin Mark daritadi kayak anak kecil takut ketauan mamanya nyolong permen dari lemari'.

“Jelek banget sih. Padahal pas pindah ke sini satu sekolah heboh banget sama kamu, kirain mah kayak pangeran gitu” Haechan tidak bisa menahan senyumnya.

“Ya kan aku nggak pernah nembak orang. Mana aku tau” Mark bernafas lega, tahu minimal dirinya nggak ditolak. Dipeluknya pinggang Haechan dari samping, tangannya mencubit pipi Haechan gemas.

“Mau nggak?” suara Mark jatuh tepat di telinga Haechan.

“Iyaaaa” Haechan menjawab, mengalihkan wajahnya yang mulai memanas dari Mark.

“Sini, liat aku dulu” pipi Haechan ditangkup, ditarik menghadap Mark.

“Jadi kita pacaran?” Mark bertanya.

Haechan tersenyum, memandangi laki-laki yang akhir-akhir ini dia pikir akan menjadi patah hati pertamanya.

Wajahnya maju, menempelkan bibir penuhnya pada bibir Mark. Keduanya saling menyesap, tanpa nafsu karena menikmati rasa masing-masing.

Haechan melepas tautan bibirnya. “Udah dapet jawabannya kan?”

Mark tertawa, gemas dengan kelakuan Haechan. Tangannya merengkuh Haechan ke dalam pelukan yang dibalas dengan pelukan erat dari Haechan di pinggangnya.

“Aku sayang sama kamu” Mark berucap pelan, setengah tidak percaya benar-benar mengutarakan perasaannya. Bibirnya mengecup pucuk kepala Haechan di bawah dagunya.

“Aku juga”

“Aku mau nanya deh” ucap Mark setelah pelukannya terlepas.

“Ya, nanya lah?”

“Kemaren-kemaren, kok jutek sih sama aku?”

Haechan menjilat bibir. “Janji ya kalo aku bilang kamu ga bakal ngeledekin aku?”

Mark ingin membantah, tapi akhirnya mengangguk. “Iya”

“Aku kira kamu main-main doang sama aku. Soalnya Jeno, Jaemin sama Renjun tau kalau kita...” Haechan berdehem, menyingkirkan rasa gugup. “Ya gitu, terus mereka nanya kita udah pacaran belum”

“Kok nggak ngomong sih?”

“Takut kamu emang nggak niat” Haechan berucap ragu, pahit mengucapkan sesuatu yang dia tahu cuma asumsinya sendiri.

“Tapi kan setelah itu aku ngode? Kamu malah jawab bestfriend level dua, emangnya aku ayam geprek?”

Haechan tertawa, lalu mencubit hidung Mark pelan. “Biar kamu nembak yang bener”

“Hah serius?”

“Iya” Haechan mengangguk. “Kan aku baru pertama kali pacaran, jadi aku mau ditembak yang bener”

Mark memandang Haechan, setengah terkejut dengan pola pikir absurdnya. Tapi yaudahlah, yang penting sekarang ketakutannya nggak terbukti.

“Eh tapi” Mark menyadari sesuatu. “Kalau gara-gara kamu kayak gitu terus aku jadi mikir kamu gak suka, terus hari ini gak ngajak pacaran, gimana?”

“Gak gimana-gimana” jawab Haechan. “Kan tinggal di pantau, kamu masih niat deketin nggak”

Mark menggeleng takjub dengan jawaban Haechan.

“Emangnya cowok gemini suka narik ulur semua, ya?” tanya Mark.

“Kamu kok tau aku gemini?”

“Dari Lucas”

“Lucas ngerti zodiak-zodiak? Aku nggak ngerti sih, cuma taunya aku Gemini soalnya lahir bulan Juni awal doang”

“Enggak. Dia taunya primbon”

“Lah”

Keduanya tertawa, menikmati sisa hari itu di bawah langit kota Jakarta yang malam itu cerah.

Bulan bersinar terang, tidak tertutup awan. Seolah-olah, bumi pasundan dan segala isinya tersenyum mengiringi cerita kedua anak adam yang malam ini mengutarakan rasa yang tersimpan di sudut hati masing-masing.