Pertemuan
TW // toxic mindset, gaslighting, possessive and manipulative behavior
Rough mature scene, degradation kink, bareback, angry sex, explicit sexual content, spanking, speeding, manhandling, overstimulation, NSFW
Harvel memasuki apartemen dengan gontai. Kepalanya panas hasil mengerjakan ujian berjam-jam dan dia tidak merasa puas dengan dirinya sendiri. Ada beberapa soal yang dirasanya tidak bisa diselesaikan dengan baik. Ah, atau mungkin ini hanya Harvel dan sifat perfeksionisnya yang kerap kali memanuver seluruh inderanya untuk melakukan segala hal dengan sempurna.
Cantiknya daun-daun berguguran di sepanjang jalan yang dilewatinya dalam perjalanan pulang tidak serta merta membuat perasaannya membaik, padahal biasanya Harvel paling suka melihat daun-daun cokelat keemasan yang berserakan. Harvel menghela nafas berat dan menyalakan lampu, berniat langsung membuat kopi panas untuk menghangatkan tubuhnya. Pikirannya luar biasa kusut dan Harvel terlalu sibuk sampai tidak menyadari ada sepasang sepatu asing di dalam rak sepatunya.
Harvel berjengit hingga menjatuhkan teko listrik di tangannya ke top table kitchen set saat dia merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggang rampingnya. Seluruh saraf dalam tubuhnya membeku, otaknya malfungsi. Satu-satunya indera yang masih bekerja dengan baik adalah penciumannya karena setelah lebih dari tiga bulan berpisah, dia masih mengenali wangi parfumnya hanya dengan sekali tarikan nafas.
Beberapa detik, dan Harvel menepis tangan di pinggangnya dengan kasar sekaligus mendorongnya hingga pelukannya terlepas.
“Gue bilang, kita nggak akan ketemu sampai gue yang bilang kalo gue mau ketemu” suara Harvel rendah, terdengar sarat akan emosi.
Marvel terperangah. Dia tau dia salah. Tapi dengan segala upaya yang sudah diusahakan dan hukuman yang Harvel berikan, tidakkah itu cukup? Bahkan Harvel jelas-jelas masih memiliki perasaan untuknya dan dia tau kalau Harvel merindukannya.
Lantas, kenapa sulit sekali menurunkan tembok tinggi yang dibangunnya untuk menyulitkan dirinya sendiri?
“Gue terbang dari Jakarta belasan jam dan ini yang gue dapet?”
Alis Harvel terangkat tinggi. “Gue nggak minta lu terbang dari Jakarta”
“Gue tau gue salah dan selama ini gue berusaha, Harvel. Apa yang bikin lu berpikir kalau gue nggak serius?”
“Well, bold of you to assume that I think of you that way”
Lalu, apa? Marvel frustasi dengan kenyataan bahwa laki-laki di hadapannya seolah-olah punya dua sisi kepribadian yang bertolak belakang.
Marvel maju selangkah, merapatkan posisi mereka. Persetan dengan apa yang terjadi setelah ini, Marvel hanya ingin menginjak egonya semampu yang dia bisa, kalau itu adalah satu-satunya cara untuk memeluk kembali Harvelnya.
“Minggir” Harvel mundur sedikit. Tidak banyak karena posisinya dihimpit ke kitchen set.
Tangannya mendorong bahu Marvel dengan gugup. Laki-laki di depannya menggertakkan rahang, tidak bergeming saat didorong.
“Jawab pertanyaan gue tadi” permintaan Marvel lebih terdengar seperti perintah.
Emosi semakin menyulut kepala Harvel yang sejak awal memang sudah penat dengan ujiannya. Meski itu tidak ada sangkut pautnya dengan Marvel, tapi Harvel butuh tempat pelampiasan dan sialnya Marvel berada di depannya saat ini.
“Ngapain ke sini?”
“Gue mau ketemu lu”
“Buat apa?” Harvel mengangkat kepalanya, membuat pandangan keduanya akhirnya bertemu. Marvel bisa melihat gumpalan amarah yang tertahan di kedua bola matanya. Suara Harvel bergetar, tapi sang pemilik suara terlalu sibuk dengan amarahnya.
“Fine. Gue harusnya inget kalau lu nggak lain dan nggak bukan adalah laki-laki buaya darat yang nggak pernah bisa hidup dengan tenang tanpa seks dan lu butuh gue buat memuaskan? Go on, mumpung lu udah di sini, kita balik ke pertemuan pertama kita. Gue akan jadi slave yang baik buat lu hari ini”
Marvel menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya yang ikut tersulut. Dia lelah dan tidak ingin emosinya meluluhlantakkan semua usaha yang telah dilakukannya susah payah.
Harvel menarik tangan Marvel kasar, membawanya ke dalam kamar tidurnya. Tangannya mendorong Marvel ke kasur kuat-kuat, lalu berlutut di depan laki-laki itu.
“Sebut apa yang lu mau” Harvel berucap dingin. Tangannya melepas ikat pinggang Marvel dan menurunkan risleting celananya dengan cepat.
“Gue mau lu, tapi nggak gini caranya” Marvel menahan pergerakan tangan Harvel.
Dagu Harvel diangkat, sekali lagi mempertemukan netra mereka. Harvel memutar bola matanya.
“Jangan munafik” bibirnya berdecih.
Harvel kembali pada pekerjaannya. Mengelus-elus penis Marvel dari luar celana dalam dan meremasnya pelan, berniat membangunkannya.
“Kenapa? Lu ketemu partner ngewe baru makanya seminggu terakhir lu nggak ngontak gue sama sekali dan partner lu nggak seenak gue, makanya lu bela-belain nyamperin ke sini?” Harvel berucap sambil tangannya masih meremas dan mengurut penis Marvel yang perlahan bangun.
Harga dirinya seolah-olah direndahkan. Marvel masih bisa terima kalau laki-laki itu marah dan menggunakan seribu alasan untuk menolaknya. Tapi menuduhnya bermain dengan orang lain karena pesannya tidak kunjung dibalas selama berbulan-bulan dan kini dia berhenti, rasanya keterlaluan. Marvel bukan sedang menyerah. Justru sebaliknya, perasaannya tervalidasi dan dia ingin membuktikannya dengan tindakan. Karena itulah, dia di sini sekarang.
“Is that how you've been thinking of me? Seriously, Harvel?” Marvel menjambak rambut Harvel yang sedang fokus pada penis dalam genggamannya, memaksa Harvel mendongak dan melihatnya.
Harvel tersenyum miring. “Kalau iya, kenapa?”
Marvel bisa merasakan Harvel menahan ringisannya saat dia mempererat remasannya pada rambut Harvel.
“Sekarang gue tanya balik, apa rasanya setiap hari ngirim pesan yang dibaca pun nggak? Lu mau gue ngapain lagi? Gue mati-matian neken keinginan untuk booking tiket ke sini karena lu butuh waktu dan jarak. Lu marah cuma karena gue berhenti ngehubungin lu seminggu terakhir? Berarti lu tau kalau tiap hari gue masih ngehubungin dan bahkan baca semuanya? Terus mau sampai kapan lu kayak gini? Jawab gue”
Harvel menatapnya tajam, mengabaikan rasa sakit di kulit kepalanya. Dia mengumpulkan segenap kata-kata dalam otaknya. Namun belum sempat dia menjawab, kesabaran Marvel sepertinya sudah habis.
Marvel menarik tubuh Harvel kasar dan membantingnya ke kasur. Harvel lupa, kalau emosi mampu membakar orang lain di dekatnya seperti api yang dipertemukan dengan bensin. Hatinya menjerit, memintanya mengalah karena inilah yang dia inginkan selama ini.
Detik itu juga, Harvel menyesali ego yang memaksanya membangun tembok setinggi menara. Semua kata-kata yang barusan diucapkannya, kalau bisa Harvel tarik balik, pasti dia telan bulat-bulat.
Marvel menindihnya. Rahangnya dicengkeram, dipaksa bertukar pandang. Harvel masih punya sisa tenaga untuk menghalau wajah Marvel dari bibirnya. Sampai kapanpun, dia tidak ingin Marvel terpaku pada memori kalau ciuman terakhir mereka berlangsung saling menyakiti.
“Nggak ada ciuman bibir” Harvel berucap dengan terengah-engah. Marvel berada di atasnya dan tidak menahan tubuhnya sama sekali. Nafasnya habis terhimpit Marvel yang jelas tidak ringan.
Entah setan dari mana, satu-satunya hal yang Marvel pikirkan malam ini adalah dia ingin memiliki Harvel seutuhnya. Kalau ini adalah akhir dari kisahnya dengan Harvel, dia ingin menciptakan sebuah memori yang tidak terlupakan bagi laki-laki itu. Walau itu berarti, dia mempertaruhkan seluruh rasionalitas dan hati nuraninya.
“Be a good slave, tonight”
Kata-katanya di dapur dikembalikan kepadanya. Batin Harvel berteriak, memintanya mengibarkan bendera putih sekarang. Kata-kata Marvel barusan memforsir kerja jantungnya dan tubuhnya justru memberikan reaksi bertolak belakang. Penisnya berdiri tegak seutuhnya, sakit karena masih tertahan celananya.
Marvel turun dari kasur dan berdiri. Bagian bawah pakaiannya yang sudah dibuka oleh Harvel ditanggalkan begitu saja. Tangannya melepas celana dan dalaman Harvel. Tubuh Harvel didorong hingga posisinya tengkurap, membelakanginya. Satu tangannya menekan kepala Harvel untuk tetap menempel pada kasur.
“Lube dan kondom” Marvel meminta, lebih terdengar seperti titah.
“Nggak ada. Pelan, p-AAKH, M-MARVELHH”
Harvel memejamkan matanya kuat-kuat. Marvel menghentakkan pinggulnya kuat, melesak memasuki lubangnya yang kering tanpa pelumas setetespun. Tangannya meremas selimut yang terbentang di bawah tubuhnya, berusaha melampiaskan rasa perih yang mengambil alih seluruh sendinya.
Menit-menit selanjutnya dihabiskan dengan nafas putus-putus Marvel dan Harvel yang beradu memperebutkan oksigen di dalam ruangan. Tidak ada desahan nikmat, keduanya saling menumpahkan keputusasaan yang menyelimuti diri masing-masing selama berbulan-bulan terakhir.
Remasan dan tamparan Marvel di pantatnya terasa perih. Penisnya terasa sakit karena Marvel mengocoknya cepat dan kasar, bersamaan dengan hentakan pinggulnya yang semakin tidak beraturan.
“S-sakit, hhh M-marvel” Harvel memohon. Dia hampir mencapai puncaknya dan Marvel menutup lubang kencingnya dengan ibu jari, menahan orgasmenya.
“Jangan munafik, Harvel. Gue tau lu menikmati ini”
Sekali lagi, kata-katanya dikembalikan kepadanya.
Marvel seolah tuli. Hujaman penisnya pada anal Harvel semakin cepat, tidak mempedulikan rintihan dan jeritan Harvel yang terus-menerus menahan rasa sakit.
Air mata Harvel jatuh, mengiringi sakit pada pusat tubuhnya, namun tidak lebih sakit dari hatinya. Memori tentang bagaimana dia memperlakukan usaha Marvel berbulan-bulan terakhir berlalu satu per satu di kepalanya, seperti rekaman kaset rusak. Kali ini, otaknya juga ikut menjerit. Memintanya menyerah kalah dan menyuarakan penyesalan sebelum dia akan kehilangan Marvel seutuhnya.
Keduanya mendapatkan putihnya hampir bersamaan, lalu ambruk ke kasur dengan nafas yang tidak jauh berbeda dengan orang yang habis lari marathon.
Seluruh tubuh Harvel bergetar, menahan air matanya untuk tidak keluar lebih banyak. Tidak sampai Marvel meninggalkannya.
Marvel membalikkan tubuh Harvel, membuat mereka tiduran dengan posisi berhadapan. Kewarasannya pelan-pelan kembali. Hatinya hancur melihat egonya menyabotase seluruh pergerakan tubuhnya hingga orang yang selama ini dia perjuangkan bahagianya, justru terlihat sangat rapuh karena ulahnya sendiri.
“Harvel”
Tangisan Harvel pecah. Harvel merapatkan tubuhnya dan memeluk Marvel, membiarkan air matanya tumpah ruah membasahi baju Marvel.
Marvel membeku. Tapi kemudian tangannya merengkuh Harvel dan membawanya ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap kepala Harvel dan menepuk-nepuk punggungnya, membiarkan laki-laki itu menangis sepuasnya.
“Maaf” cicit Harvel saat tangisannya mereda.
“I should be the one to say sorry” setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Hatinya teriris dan lega bersamaan melihat Harvel akhirnya menghancurkan pertahanannya sendiri.
“Maaf, maaf” Harvel mengucapkannya berulang-ulang, seperti bermonolog dengan dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan Marvel.
Kalau habis ini Harvel berbalik arah, tidak masalah. Dia memang tidak pantas diberikan kesempatan kedua.
Marvel mengangkat dagu Harvel dan menempelkan bibirnya ke bibir Harvel. Menyesap rasa manis yang dirindukannya berbulan-bulan. Pelan, dia tidak ingin menyakiti Harvel lagi.
Tangan Harvel mengalung di lehernya. Ragu, tapi akhirnya menekan tengkuk Marvel untuk memperdalam ciumannya.
Saat itu juga, Marvel tau. Tidak ada yang sia-sia dari usahanya. Harvel sama merindu dengannya, dan semua yang diucapkannya untuk menyakiti Marvel tadi adalah bentuk pertahanan dirinya sendiri.