Sunsine

Pagi ini suasana sarapan pagi di kediaman Maheswara terlihat agak sedikit berbeda dari biasanya, karena Oceana yang tampak lebih bersemangat dari hari biasanya.

Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya menatap Oceana dengan aneh.

“Pagi-pagi udah semangat aja, kesambet setan lo?!” ketus Langit, kakak laki-lakinya.

“Papa dapat telfon dari kampus kalau kamu akhir-akhir ini sering ngga masuk kelas, kemana aja?” sahut sang kepala keluarga.

“Paling juga main sama temen-temennya yang suka bolos,” timpal Rainy, sang kakak tertua.

“Oceana, Papa sama Mama udah kuliahin kamu susah-susah, jangan kecewain kita.”

Oceana mendengus kecil, inilah yang dia tidak suka saat berada di rumah.

“Pa, dari awal juga Cea udah bilang kalau Cea ngga cocok sama jurusan yang Papa Mama pilihin. Aku maunya masuk seni, Pa!” ucap Oceana.

“Mama sama Papa sengaja masukin kamu ke jurusan yang sekarang karna itu jurusan impian Seana,” timpal Mamanya.

“Jadi aku di masukin kesana karna Sean?”

“Ngga usah nyalahin Mama atau Papa, ini semua juga karna diri lo sendiri, kalau Sean ngga meninggal karna lo semuanya bakal baik-baik saka sekarang,” tekas Langit.

“Padahal udah ratusan kali aku bilang kalau bukan aku yang bunuh Sean,” gumam Oceana sepelan mungkin.

Sekuat apapun Oceana bertahan pada akhirnya dia hanya memiliki dirinya sendiri.


Oceana kembali menginjakkan kakinya ke rumah sakit seperti hari-hari yang sebelumnya.

“Selamat pagi!” sapa Oceana pada resepsionis.

“Mau ketemu Kaluna lagi?” sahut sang resepsionis yang tampaknya sudah begitu hafal dengan maksud kedatangan Oceana.

“Iya, hahaha. Duluan ya sus!” seru Oceana.

Dengan senyum merekah dan kedua tangannya yang memegang es krim Oceana masuk ke dalam lift, menuju ke lantai 3.

Orang-orang dalam lift menyapa Oceana secara bergantian dan mengucapkan kalimat yang sama seperti resepsionis tadi.

TING

Pintu lift terbuka setelah sampai di lantai 3, Oceana keluar dari dalam lift dan kembali membalikkan badannya.

“Semangat berkerja Dokter-Dokter dan semua perawat!” seru Oceana membuat tenaga medis di dalam lift tertawa.

“Dokter Fany!” Oceana berlari menuju ke arah dokternya itu dengan senyum yang masih mengembang.

“Cea! Pas sekali kamu datang, ayo ikut saya sebentar!”

“Huh? Kenapa?”

Oceana hanya diam saat Dokter Fany menarik lengannya dan berlari menuju salah satu kamar yang begitu familiar untuknya.

“Cea dengerin saya, di dalam sana Kaluna mengamuk lagi, setiap ada yang masuk selalu di lemparin sama semua barang yang ada, kamu bisa kan masuk ke dalam dan tenangin dia?”

“Kaluna...kumat lagi ya, Dok?” lirih Oceana.

“Iya, kayaknya semalam dia lupa buat minum obatnya. Tolong ya?” Oceana mengangguk pelan.

Sedih rasanya saat mendengar bahwa Kaluna kumat lagi, padahal beberapa hari terakhir kemarin dia baik-baik saja.

Oceana membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan masih membawa es krim di tangannya.

“Kaluna?” sahut Oceana pelan.

“Keluar! Udah aku bilang aku ngga mau ketemu siapapun! Keluar!” teriak Kaluna sambil melemparkan beberapa barang ke arah Oceana.

“Hey, ini aku Oceana!” ujar Oceana.

“Keluar aku bilang!” bentak Kaluna.

“Kaluna, ini aku? Calm down, okay?” seru Oceana. “Lihat, aku bawain es krim buat kamu, kamu pengen makan es krim kan akhir-akhir ini?”

“Keluar hiks...tinggalin aku sendiri tolong,” tangis Kaluna.

Oceana perlahan mendekat ke arah Kaluna, menjauhkan benda-benda tajam yang mungkin bisa saja dia gunakan untuk melukai dirinya sendiri.

“Kaluna ki—Tangan kamu kenapa, Kaluna?!” Oceana seketika menjatuhkan es krim di kedua tangannya dan langsung berlari mendekati Kaluna.

Di lihatnya ada begitu banyak luka gores di lengan kiri Kaluna yang rata-rata masih basah dan mengeluarkan darah segar.

What are you doing?!” tekas Oceana yang dengan cepat mengambil sapu tangannya dari tas dan meletakkannya di lengan kiri Kaluna.

“Cea...hiks kenapa semua orang jahat ke aku? Apa aku udah buat salah? Hiks...kenapa mereka setega ini ke aku?” tangis Kaluna.

“Ssstt ssstt...tenang dulu, ya? Udah jangan nangis lagi,” ujar Oceana menenangkan Kaluna.

“Kamu tenang dulu terus cerita ke aku pelan-pelan, oke?” Sambil menenangkan Kaluna, Oceana membersihkan darah dari lengan Kaluna dengan sapu tangannya.

“Semalam Mama datang jengukin aku bareng sama kakak, aku fikir mereka kesini karna kangen sama aku tapi ternyata ngga, Cea...”

“Mama malah marah-marah dan bilang aku anak yang ngga berguna, kakak juga bilang aku anak yang bawa sial, gila dan cuman bikin malu keluarga, mereka bilang akan lebih baik kalau aku mati aja, Cea,” tangis Kaluna.

Hati Oceana ikut sakit mendengar pengakuan Kaluna itu, benar-benar sakit sampai dia mau marah.

“Emang bener harusnya dari dulu aku mati aja,” lirih Kaluna.

“Hey! Kamu udah lupa apa yang aku bilang pas kita di taman? Kamu udah lupa isi dari notes yang aku tulis buat kamu?” celetuk Oceana.

“Kaluna, di dunia ini semua orang berhak buat hidup, mau serendah apapun derajat kita Tuhan ngga pernah bilang kan kita ngga pantes buat tetap hidup? Kaluna, kamu ngga boleh nyerah gitu aja, karna apa? Karna kamu itu berharga, Kaluna!”

“Kamu itu sangat berharga, lebih barharga dari siapapun di dunia ini, jadi jangan pernah mikir buat menyerah, paham?”

“Hey, lihat aku! Kaluna, look at me! Coba hal apa yang pernah aku bilang ke kamu saat kita di taman?”

Kaluna masih diam dan terseguk pelan.

“Kaluna Anindya?”

“Ada 5 alasan kenapa aku harus tetap hidup dan ngga boleh nyerah, kalau udah mulai capek cukup inget dan di baca lagi,” ucap Kaluna pelan.

That's right! Kamu harus selalu inget itu!” seru Oceana.

“Kalau kamu susah buat ngontrol emosi kamu, cukup inget saran aku ini. Tarik nafas kamu dalam-dalam, pikirin hal yang bikin kamu senang, terus buang nafasnya pelan-pelan, terus di ulangin sampai kamu merasa tenang. Jangan pernah lukain tangan kamu lagi, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan cara lain yang ngga berbahaya, contohnya di tuangin aja ke dalam lukisan, kamu suka ngegambar kan?” Kaluna mengangguk pelan.

“Nah, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan ngegambar kayak biasanya, buku sketsa yang aku kasih masih ada kan? Kamu bisa ngegambar dengan leluasa di situ saat kamu mau luapin emosi kamu, jangan ngegores tangan kamu lagi.”

You are very precious, Kaluna. Katanya mau berjuang bareng aku kan?”

“Maaf,” lirih Kaluna.

“Ngga apa-apa, ini bukan salah kamu juga,” balas Oceana lalu menarik Kaluna ke dalam pelukannya.

“Jangan kayak gini lagi ya? Kamu itu berharga, kamu berharga buat Dokter Fany, kamu berharga juga buat aku, jadi jangan berfikir buat pergi lagi, oke?”

Kaluna yang berada di dalam pelukan Oceana itu mengangguk pelan sambil sesegukan.

“Sekarang kita temuin Dokter Fany dulu ya buat obatin tangan kamu? Nanti bisa infeksi kalau di biarin.”

“Tapi aku takut, kalau Dokter Fany marah gimana?” gumam Kaluna.

“Engga, Dokter Fany ngga bakalan marahin kamu kok,” balas Oceana.

“Ayo.” Oceana menarik Kaluna untuk berdiri dan keluar dari kamar agar luka di tangannya bisa segera di tangani.

Terkadang kalau kamu mulai merasa ngga pantes buat hidup cukup inget, kamu itu berharga jadi jangan sia-siain itu.


Cewek berambut pendek hitam berusia 19 tahun melangkahkan kakinya memasuki gedung besar berwarna putih itu dengan senyuman tipis di wajahnya.

Saat memasuki gedung itu aroma obat-obatan tercium oleh hidungnya. Sambil menyapa resepsionis cewek itu berjalan menuju lift dan menekan tombol dengan angka 3.

Oceana Maheswara namanya, mahasiswi IT semester awal. Paras cantik dan dingin itu mampu membuat orang-orang yang menatapnya jatuh hati.

Setelah sampai di lantai 3 terlihat ada beberapa pasien yang di temani oleh perawat sedang berjalan-jalan. Ada yang sambil membawa boneka dan di timang-timang seperti anak sendiri, ada yang menggandeng tangan perawat dan bersandar di bahunya seperti seorang pasangan ada juga yang berlarian di loby dan lorong lantai 3 itu.

Pandangannya tertuju pada satu pasien yang sedang mengamuk besar dengan beberapa perawat pria yang berusaha menenangkannya walaupun sedikit kewalahan.

“Ngapain lagi kesini? Udah saya bilang kan jangan kesini lagi jika bisa?” sahut seorang dokter yang menyadarkan lamunan Oceana.

“Eh, dokter Fany,” kekehnya

“Kamu tuh ya, ayo ke ruangan saya.”

Oceana mengangguk lalu mengekori Dokter Fany dan sekilas melihat kembali pasien yang masih mengamuk itu.

“Jadi gini—”

“Oceana...”

“Panggil Cea aja ih, kan udah aku bilang dari kemarin,” potong Oceana.

“Kamu bikin ulah apa lagi di rumah? Mama kamu nelfon saya lagi loh,” ucap Dokter Fany.

“Mecahin vas bunga aja kok.”

“Terus?”

Oceana menatap Dokter Fany di depannya yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada.

“Itu aja.”

“Angkat kedua tangan kamu coba, lengan jaketnya juga tarik ke atas,” timpal Dokter Fany.

Oceana menghembuskan nafasnya dengan pelan lalu mematuhi apa yang di katakan oleh Dokter Fany.

Look, kamu ngelukain tangan kamu lagi! Kalau begini terus kamu bisa di pulangin kesini lagi, Cea.”

“Maaf, ini yang terakhir kali,” lirih Oceana.

“Besok-besok telfon saya saja kalau kamu butuh teman curhat.”

Oceana tersenyum dan mengangguk dengan semangat.

“Ngomong-ngomong, cewek yang tadi ngamuk di lorong itu siapa? Kok aku baru lihat?” tanya Oceana.

“Itu pasien baru, kurang lebih dia baru 3 bulan disini,” jawab Dokter Fany.

“Namanya siapa? Terus dia gejalanya apa?”

“Kalau nama saya lupa, dia Bipolar Disorder.”

Oceana membulatkan mulutnya dan mengangguk kecil.

“Aku boleh ajak dia ngobrol ngga?”

“Boleh, tapi tunggu dia agak tenangan sedikit.”

Tanpa mendengar ucapan lain lagi Oceana bergegas keluar dari ruangan Dokter Fany dengan bersemangat.

Dia melangkah menyusuri lorong di lantai 3 itu mencari keberadaan seseorang yang di lihatnya tadi sebelum mengobrol dengan dokternya. Kurang lebih 10 menit mencari Oceana menemukan orang yang dia cari-cari itu sedang duduk sendiri di bangku panjang yang berada di aula.

Oceana mendekat kemudian duduk di sebelahnya, “Halo!”

Cewek berambut hitam legam panjang itu kini menatap Oceana dengan keningnya yang mengerut.

“Tenang aja, aku bukan orang jahat kok! Aku kesini karna mau kenalan sama kamu, boleh?” seru Oceana yang kemudian menjulurkan tangannya.

“Ngga apa-apa, aku bisa jadi temen ngobrol kamu kok!”

Cukup lama tangannya di diamkan akhirnya uluran itu di balas.

“Kaluna.”

Oceana tersenyum, “Oceana, panggil Cea aja.”

Hatinya menghangat, selain karna cewek di sebelahnya ini cantik akhirnya dia bisa menemukan teman yang bisa sama-sama saling mengerti dengan keadaan masing-masing.

Perkenalan awal keduanya diisi dengan obrolan demi obrolan yang membuat keduanya nyaman satu sama lain.

“Pasti seru bisa main atau jalan-jalan di luar,” celetuk Kaluna.

“Kalau kamu mau aku bisa ajak kamu jalan-jalan di luar nanti,” ucap Oceana.

“Tapi Dokter Fany bilang aku belum bisa pergi keluar untuk sementara waktu ini.”

“Kalau gitu aku yang bakal sering datang kesini dan juga aku bakal berusaha buat ijinin kamu ke Dokter Fany biar bisa jalan-jalan di luar.”

Senyuman lebar merekah di wajah cantik Kaluna setelah mendengar penuturan Oceana.

“Serius?”

“Huum, serius! Asal kamu harus minum obatnya tepat waktu dan bisa ngontrol emosi kamu,” balas Oceana.

“Huum, janji!” seru Kaluna. Keduanya kemudian tertawa kecil bersama.

'Ahh, seperti ini ternyata rasanya punya teman.'

.


.

Besoknya Oceana kembali ke Rumah Sakit sambil membawa buku sketsa untuk di berikan pada Kaluna sebagai tanda perkenalan mereka.

“Buat kamu, aku denger Dokter Fany sering minta kamu buat ngegambar,” ucap Oceana.

“Makasih, Cea. Padahal ngga perlu sampai di beliin juga,” seru Kaluna.

“Gimana hari ini? Emosi kamu ngga meledak kayak kemarin lagi kan?”

“Ngga kok, justru aku bangun-bangun langsung seneng karna inget kamu bakal kesini.”

“Haha bagus deh kalau gitu!” Oceana mengusap pelan puncak kepala Kaluna.

“Mau ke taman belakang aja ngga? Aku punya satu tempat yang biasa aku datengin pas masih tinggal disini dulu,” ajak Oceana.

Kaluna mengangguk dengan semangat, dia juga sebenarnya sedikit bosan berada di dalam gedung ini.

Oceana menarik lengan Kaluna dan membawanya ke taman belakang, tempat favoritnya dulu untuk menyendiri. Di taman belakang hanya ada sedikit orang di bandingkan di depan, inilah kenapa Oceana sangat suka kesini.

Kedua mata Kaluna berbinar saat melihat ada beberapa kucing di tempat ini.

“Kemarin kamu bilang kamu suka sama kucing dan aku jadi inget kalau disini lumayan banyak kucing yang berkeliaran,” jelas Oceana. “Nih, aku juga beli cemilan kucing di toko hewan tadi.”

Oceana menyerahkan beberapa bungkus cemilan kucing pada Kaluna lalu berjongkok di depan kucing-kucing itu.

“Sekali lagi makasih, Cea! Aku kayaknya bakal kesini terus mulai besok,” ujar Kaluna.

Baik Oceana dan Kaluna kini asik bermain dengan beberapa kucing disana, kadang mereka juga tertawa bersama saat bermain kejar-kejaran dengan para kucing yang kemudian berakhir dengan keduanya kelelahan dan memilih untuk duduk sejenak.

“Aku ngga pernah merasa sebahagia ini, Makasih Oceana,” ucap Kaluna dengan tulus.

“Pasti sulit ya harus mengontrol emosi kamu setiap saat?” sahut Oceana.

Honestly, yes. Bahkan kadang kalau aku lagi 'kumat' aku bukan cuman ngelukain diri aku sendiri tapi juga orang lain dan itu bikin aku semakin ngerasa bersalah sampai pengen ngeakhirin hidup aku.”

“Aku juga gitu kok dulu, bedanya aku ngga pernah ngerasa bahagia atau senang kayak kamu yang sekarang. Tapi sekarang udah agak lebih mendingan dikit.”

“Kita bisa sembuh ngga sih?”

Pertanyaan spontan dari Kaluna itu membuat Oceana menatapnya, kini raut bahagia itu di ganti dengan raut sedih bercampur takut dan resah.

“Walaupun kemungkinannya kecil kita pasti bisa kok, kapan itu aku juga ngga tau pasti. Yang terpenting adalah kita bertahan aja dulu,” jawab Oceana.

Kaluna menundukkan kepalanya dan mengelus seekor kucing di pangkuannya.

“Cea, lebih baik kita ngga ada aja gak sih? Percuma juga kita tetap bertahan kalau orang-orang di sekitar kita malah menderita dan ngga mau ngakuin keberadaan kita?” ucap Kaluna.

“Anggap saja aku udah keluar dari sini, apa orang luar bisa nerima aku? Apa orang-orang di luar sana bakal mandang kita sama seperti mereka atau malah sebaliknya? Kadang kalau aku mikirin itu terus rasanya aku pengen mati aja karna ngga ada yang mau nerima orang-orang seperti aku, seperti kita.”

No! Kaluna, denger, di luar sana masih banyak kok yang mau nerima kamu, nerima kita. Kalau kamu mikir buat pergi gitu aja kamu ngga bakalan tau ada berapa banyak orang yang juga peduli ke kamu,” kata Oceana.

“Tapi biarpun gitu aku ngga yakin kalau aku bisa ngegapai cita-cita aku,” lirih Kaluna.

“Kamu punya cita-cita? Apa?” tanya Oceana.

“Dokter, aku pengen jadi Dokter. Ngelihat Dokter Fany yang sabar ngadapin semua pasien aku jadi pengen kayak Dokter Fany di masa depan, tapi aku ngga yakin kalau aku bisa.”

“Bisa! Kamu pasti bisa, percaya sama aku!” timpal Oceana meyakinkan Kaluna.

“Siniin tangan kamu coba,” pinta Oceana.

“Buat apa?”

“Udah, nanti kamu juga tau!”

Kaluna menurut lalu menjulurkan tangan kanannya pada Oceana. Sedetik kemudian ada sebuah buku notes kecil di telapak tangannya.

“Ini apa?” tanya Kaluna.

“Buka terus baca coba,” balas Oceana.

“5 alasan kenapa kamu harus tetap hidup, by. Oceana,” baca Kaluna.

“Aku buat itu khusus buat kamu karna aku tau pasti sulit rasanya harus ngejalanin kehidupan kamu yang sekarang, padahal kita ngga pernah minta sekalipun pada Tuhan, right?”

“Jadi kalau kamu mulai ngerasa capek dan ngerasa ngga pantes buat hidup lagi di dunia, cukup baca itu aja.”

“Tapi disini baru ada 4 aja, Cea,” ujar Kaluna.

Oceana tertawa kecil, “Iya, aku belum kepikiran alasan kelimanya itu apa. Tapi nanti kalau aku udah dapat, aku bakal tulis lagi disitu.”

“Oceana...”

“Iya?”

“Makasih banyak udah jadi teman pertama aku, makasih banyak buat yang kemarin dan hari ini, aku janji bakal simpan notes ini baik-baik,” seru Kaluna.

“Kita pasti bisa ngelaluin semua ini bareng-bareng kan?” Kaluna mengangkat jari kelingkingnya ke arah Oceana.

“Pasti!” ucap Oceana sambil tersenyum kemudian mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Kaluna.

Keduanya sama-sama tersenyum, meyakinkan diri masing-masing bahwa mereka pasti bisa jika berjuang bersama-sama.


Cewek berambut pendek hitam berusia 19 tahun melangkahkan kakinya memasuki gedung besar berwarna putih itu dengan senyuman tipis di wajahnya.

Saat memasuki gedung itu aroma obat-obatan tercium oleh hidungnya. Sambil menyapa resepsionis cewek itu berjalan menuju lift dan menekan tombol dengan angka 3.

Oceana Maheswara namanya, mahasiswi IT semester awal. Paras cantik dan dingin itu mampu membuat orang-orang yang menatapnya jatuh hati.

Setelah sampai di lantai 3 terlihat ada beberapa pasien yang di temani oleh perawat sedang berjalan-jalan. Ada yang sambil membawa boneka dan di timang-timang seperti anak sendiri, ada yang menggandeng tangan perawat dan bersandar di bahunya seperti seorang pasangan ada juga yang berlarian di loby dan lorong lantai 3 itu.

Pandangannya tertuju pada satu pasien yang sedang mengamuk besar dengan beberapa perawat pria yang berusaha menenangkannya walaupun sedikit kewalahan.

“Ngapain lagi kesini? Udah saya bilang kan jangan kesini lagi jika bisa?” sahut seorang dokter yang menyadarkan lamunan Oceana.

“Eh, dokter Fany,” kekehnya

“Kamu tuh ya, ayo ke ruangan saya.”

Oceana mengangguk lalu mengekori Dokter Fany dan sekilas melihat kembali pasien yang masih mengamuk itu.

“Jadi gini—”

“Oceana...”

“Panggil Cea aja ih, kan udah aku bilang dari kemarin,” potong Oceana.

“Kamu bikin ulah apa lagi di rumah? Mama kamu nelfon saya lagi loh,” ucap Dokter Fany.

“Mecahin vas bunga aja kok.”

“Terus?”

Oceana menatap Dokter Fany di depannya yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada.

“Itu aja.”

“Angkat kedua tangan kamu coba, lengan jaketnya juga tarik ke atas,” timpal Dokter Fany.

Oceana menghembuskan nafasnya dengan pelan lalu mematuhi apa yang di katakan oleh Dokter Fany.

Look, kamu ngelukain tangan kamu lagi! Kalau begini terus kamu bisa di pulangin kesini lagi, Cea.”

“Maaf, ini yang terakhir kali,” lirih Oceana.

“Besok-besok telfon saya saja kalau kamu butuh teman curhat.”

Oceana tersenyum dan mengangguk dengan semangat.

“Ngomong-ngomong, cewek yang tadi ngamuk di lorong itu siapa? Kok aku baru lihat?” tanya Oceana.

“Itu pasien baru, kurang lebih dia baru 3 bulan disini,” jawab Dokter Fany.

“Namanya siapa? Terus dia gejalanya apa?”

“Kalau nama saya lupa, dia Bipolar Disorder.”

Oceana membulatkan mulutnya dan mengangguk kecil.

“Aku boleh ajak dia ngobrol ngga?”

“Boleh, tapi tunggu dia agak tenangan sedikit.”

Tanpa mendengar ucapan lain lagi Oceana bergegas keluar dari ruangan Dokter Fany dengan bersemangat.

Dia melangkah menyusuri lorong di lantai 3 itu mencari keberadaan seseorang yang di lihatnya tadi sebelum mengobrol dengan dokternya. Kurang lebih 10 menit mencari Oceana menemukan orang yang dia cari-cari itu sedang duduk sendiri di bangku panjang yang berada di aula.

Oceana mendekat kemudian duduk di sebelahnya, “Halo!”

Cewek berambut hitam legam panjang itu kini menatap Oceana dengan keningnya yang mengerut.

“Tenang aja, aku bukan orang jahat kok! Aku kesini karna mau kenalan sama kamu, boleh?” seru Oceana yang kemudian menjulurkan tangannya.

“Ngga apa-apa, aku bisa jadi temen ngobrol kamu kok!”

Cukup lama tangannya di diamkan akhirnya uluran itu di balas.

“Kaluna.”

Oceana tersenyum, “Oceana, panggil Cea aja.”

Hatinya menghangat, selain karna cewek di sebelahnya ini cantik akhirnya dia bisa menemukan teman yang bisa sama-sama saling mengerti dengan keadaan masing-masing.

Perkenalan awal keduanya diisi dengan obrolan demi obrolan yang membuat keduanya nyaman satu sama lain.

“Pasti seru bisa main atau jalan-jalan di luar,” celetuk Kaluna.

“Kalau kamu mau aku bisa ajak kamu jalan-jalan di luar nanti,” ucap Oceana.

“Tapi Dokter Fany bilang aku belum bisa pergi keluar untuk sementara waktu ini.”

“Kalau gitu aku yang bakal sering datang kesini dan juga aku bakal berusaha buat ijinin kamu ke Dokter Fany biar bisa jalan-jalan di luar.”

Senyuman lebar merekah di wajah cantik Kaluna setelah mendengar penuturan Oceana.

“Serius?”

“Huum, serius! Asal kamu harus minum obatnya tepat waktu dan bisa ngontrol emosi kamu,” balas Oceana.

“Huum, janji!” seru Kaluna. Keduanya kemudian tertawa kecil bersama.

'Ahh, seperti ternyata rasanya punya teman.'

.


.

Besoknya Oceana kembali ke Rumah Sakit sambil membawa buku sketsa untuk di berikan pada Kaluna sebagai tanda perkenalan mereka.

“Buat kamu, aku denger Dokter Fany sering minta kamu buat ngegambar,” ucap Oceana.

“Makasih, Cea. Padahal ngga perlu sampai di beliin juga,” seru Kaluna.

“Gimana hari ini? Emosi kamu ngga meledak kayak kemarin lagi kan?”

“Ngga kok, justru aku bangun-bangun langsung seneng karna inget kamu bakal kesini.”

“Haha bagus deh kalau gitu!” Oceana mengusap pelan puncak kepala Kaluna.

“Mau ke taman belakang aja ngga? Aku punya satu tempat yang biasa aku datengin pas masih tinggal disini dulu,” ajak Oceana.

Kaluna mengangguk dengan semangat, dia juga sebenarnya sedikit bosan berada di dalam gedung ini.

Oceana menarik lengan Kaluna dan membawanya ke taman belakang, tempat favoritnya dulu untuk menyendiri. Di taman belakang hanya ada sedikit orang di bandingkan di depan, inilah kenapa Oceana sangat suka kesini.

Kedua mata Kaluna berbinar saat melihat ada beberapa kucing di tempat ini.

“Kemarin kamu bilang kamu suka sama kucing dan aku jadi inget kalau disini lumayan banyak kucing yang berkeliaran,” jelas Oceana. “Nih, aku juga beli cemilan kucing di toko hewan tadi.”

Oceana menyerahkan beberapa bungkus cemilan kucing pada Kaluna lalu berjongkok di depan kucing-kucing itu.

“Sekali lagi makasih, Cea! Aku kayaknya bakal kesini terus mulai besok,” ujar Kaluna.

Baik Oceana dan Kaluna kini asik bermain dengan beberapa kucing disana, kadang mereka juga tertawa bersama saat bermain kejar-kejaran dengan para kucing yang kemudian berakhir dengan keduanya kelelahan dan memilih untuk duduk sejenak.

“Aku ngga pernah merasa sebahagia ini, Makasih Oceana,” ucap Kaluna dengan tulus.

“Pasti sulit ya harus mengontrol emosi kamu setiap saat?” sahut Oceana.

Honestly, yes. Bahkan kadang kalau aku lagi 'kumat' aku bukan cuman ngelukain diri aku sendiri tapi juga orang lain dan itu bikin aku semakin ngerasa bersalah sampai pengen ngeakhirin hidup aku.”

“Aku juga gitu kok dulu, bedanya aku ngga pernah ngerasa bahagia atau senang kayak kamu yang sekarang. Tapi sekarang udah agak lebih mendingan dikit.”

“Kita bisa sembuh ngga sih?”

Pertanyaan spontan dari Kaluna itu membuat Oceana menatapnya, kini raut bahagia itu di ganti dengan raut sedih bercampur takut dan resah.

“Walaupun kemungkinannya kecil kita pasti bisa kok, kapan itu aku juga ngga tau pasti. Yang terpenting adalah kita bertahan aja dulu,” jawab Oceana.

Kaluna menundukkan kepalanya dan mengelus seekor kucing di pangkuannya.

“Cea, lebih baik kita ngga ada aja gak sih? Percuma juga kita tetap bertahan kalau orang-orang di sekitar kita malah menderita dan ngga mau ngakuin keberadaan kita?” ucap Kaluna.

“Anggap saja aku udah keluar dari sini, apa orang luar bisa nerima aku? Apa orang-orang di luar sana bakal mandang kita sama seperti mereka atau malah sebaliknya? Kadang kalau aku mikirin itu terus rasanya aku pengen mati aja karna ngga ada yang mau nerima orang-orang seperti aku, seperti kita.”

No! Kaluna, denger, di luar sana masih banyak kok yang mau nerima kamu, nerima kita. Kalau kamu mikir buat pergi gitu aja kamu ngga bakalan tau ada berapa banyak orang yang juga peduli ke kamu,” kata Oceana.

“Tapi biarpun gitu aku ngga yakin kalau aku bisa ngegapai cita-cita aku,” lirih Kaluna.

“Kamu punya cita-cita? Apa?” tanya Oceana.

“Dokter, aku pengen jadi Dokter. Ngelihat Dokter Fany yang sabar ngadapin semua pasien aku jadi pengen kayak Dokter Fany di masa depan, tapi aku ngga yakin kalau aku bisa.”

“Bisa! Kamu pasti bisa, percaya sama aku!” timpal Oceana meyakinkan Kaluna.

“Siniin tangan kamu coba,” pinta Oceana.

“Buat apa?”

“Udah, nanti kamu juga tau!”

Kaluna menurut lalu menjulurkan tangan kanannya pada Oceana. Sedetik kemudian ada sebuah buku notes kecil di telapak tangannya.

“Ini apa?” tanya Kaluna.

“Buka terus baca coba,” balas Oceana.

“5 alasan kenapa kamu harus tetap hidup, by. Oceana,” baca Kaluna.

“Aku buat itu khusus buat kamu karna aku tau pasti sulit rasanya harus ngejalanin kehidupan kamu yang sekarang, padahal kita ngga pernah minta sekalipun pada Tuhan, right?”

“Jadi kalau kamu mulai ngerasa capek dan ngerasa ngga pantes buat hidup lagi di dunia, cukup baca itu aja.”

“Tapi disini baru ada 4 aja, Cea,” ujar Kaluna.

Oceana tertawa kecil, “Iya, aku belum kepikiran alasan kelimanya itu apa. Tapi nanti kalau aku udah dapat, aku bakal tulis lagi disitu.”

“Oceana...”

“Iya?”

“Makasih banyak udah jadi teman pertama aku, makasih banyak buat yang kemarin dan hari ini, aku janji bakal simpan notes ini baik-baik,” seru Kaluna.

“Kita pasti bisa ngelaluin semua ini bareng-bareng kan?” Kaluna mengangkat jari kelingkingnya ke arah Oceana.

“Pasti!” ucap Oceana sambil tersenyum kemudian mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Kaluna.

Keduanya sama-sama tersenyum, meyakinkan diri masing-masing bahwa mereka pasti bisa jika berjuang bersama-sama.


Cewek berambut pendek hitam berusia 19 tahun melangkahkan kakinya memasuki gedung besar berwarna putih itu dengan senyuman tipis di wajahnya.

Saat memasuki gedung itu aroma obat-obatan tercium oleh hidungnya. Sambil menyapa resepsionis cewek itu berjalan menuju lift dan menekan tombol dengan angka 3.

Oceana Maheswara namanya, mahasiswi IT semester awal. Paras cantik dan dingin itu mampu membuat orang-orang yang menatapnya jatuh hati.

Setelah sampai di lantai 3 terlihat ada beberapa pasien yang di temani oleh perawat sedang berjalan-jalan. Ada yang sambil membawa boneka dan di timang-timang seperti anak sendiri, ada yang menggandeng tangan perawat dan bersandar di bahunya seperti seorang pasangan ada juga yang berlarian di loby dan lorong lantai 3 itu.

Pandangannya tertuju pada satu pasien yang sedang mengamuk besar dengan beberapa perawat pria yang berusaha menenangkannya walaupun sedikit kewalahan.

“Ngapain lagi kesini? Udah saya bilang kan jangan kesini lagi jika bisa?” sahut seorang dokter yang menyadarkan lamunan Oceana.

“Eh, dokter Fany,” kekehnya

“Kamu tuh ya, ayo ke ruangan saya.”

Oceana mengangguk lalu mengekori Dokter Fany dan sekilas melihat kembali pasien yang masih mengamuk itu.

“Jadi gini—”

“Oceana...”

“Panggil Cea aja ih, kan udah aku bilang dari kemarin,” potong Oceana.

“Kamu bikin ulah apa lagi di rumah? Mama kamu nelfon saya lagi loh,” ucap Dokter Fany.

“Mecahin vas bunga aja kok.”

“Terus?”

Oceana menatap Dokter Fany di depannya yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada.

“Itu aja.”

“Angkat kedua tangan kamu coba, lengan jaketnya juga tarik ke atas,” timpal Dokter Fany.

Oceana menghembuskan nafasnya dengan pelan lalu mematuhi apa yang di katakan oleh Dokter Fany.

Look, kamu ngelukain tangan kamu lagi! Kalau begini terus kamu bisa di pulangin kesini lagi, Cea.”

“Maaf, ini yang terakhir kali,” lirih Oceana.

“Besok-besok telfon saya saja kalau kamu butuh teman curhat.”

Oceana tersenyum dan mengangguk dengan semangat.

“Ngomong-ngomong, cewek yang tadi ngamuk di lorong itu siapa? Kok aku baru lihat?” tanya Oceana.

“Itu pasien baru, kurang lebih dia baru 3 bulan disini,” jawab Dokter Fany.

“Namanya siapa? Terus dia gejalanya apa?”

“Kalau nama saya lupa, dia Bipolar Disorder.”

Ocenana membulatkan mulutnya dan mengangguk kecil.

“Aku boleh ajak dia ngobrol ngga?”

“Boleh, tapi tunggu dia agak tenangan sedikit.”

Tanpa mendengar ucapan lain lagi Oceana bergegas keluar dari ruangan Dokter Fany dengan bersemangat.

Dia melangkah menyusuri lorong di lantai 3 itu mencari keberadaan seseorang yang di lihatnya tadi sebelum mengobrol dengan dokternya. Kurang lebih 10 menit mencari Oceana menemukan orang yang dia cari-cari itu sedang duduk sendiri di bangku panjang yang berada di aula.

Oceana mendekat kemudian duduk di sebelahnya, “Halo!”

Cewek berambut hitam legam panjang itu kini menatap Oceana dengan keningnya yang mengerut.

“Tenang aja, aku bukan orang jahat kok! Aku kesini karna mau kenalan sama kamu, boleh?” seru Oceana yang kemudian menjulurkan tangannya.

“Ngga apa-apa, aku bisa jadi temen ngobrol kamu kok!”

Cukup lama tangannya di diamkan akhirnya uluran itu di balas.

“Kaluna.”

Oceana tersenyum, “Oceana, panggil Cea aja.”

Hatinya menghangat, selain karna cewek di sebelahnya ini cantik akhirnya dia bisa menemukan teman yang bisa sama-sama saling mengerti dengan keadaan masing-masing.

Perkenalan awal keduanya diisi dengan obrolan demi obrolan yang membuat keduanya nyaman satu sama lain.

“Pasti seru bisa main atau jalan-jalan di luar,” celetuk Kaluna.

“Kalau kamu mau aku bisa ajak kamu jalan-jalan di luar nanti,” ucap Oceana.

“Tapi Dokter Fany bilang aku belum bisa pergi keluar untuk sementara waktu ini.”

“Kalau gitu aku yang bakal sering datang kesini dan juga aku bakal berusaha buat ijinin kamu ke Dokter Fany biar bisa jalan-jalan di luar.”

Senyuman lebar merekah di wajah cantik Kaluna setelah mendengar penuturan Oceana.

“Serius?”

“Huum, serius! Asal kamu harus minum obatnya tepat waktu dan bisa ngontrol emosi kamu,” balas Oceana.

“Huum, janji!” seru Kaluna. Keduanya kemudian tertawa kecil bersama.

'Ahh, seperti ternyata rasanya punya teman.'

.


.

Besoknya Oceana kembali ke Rumah Sakit sambil membawa buku sketsa untuk di berikan pada Kaluna sebagai tanda perkenalan mereka.

“Buat kamu, aku denger Dokter Fany sering minta kamu buat ngegambar,” ucap Oceana.

“Makasih, Cea. Padahal ngga perlu sampai di beliin juga,” seru Kaluna.

“Gimana hari ini? Emosi kamu ngga meledak kayak kemarin lagi kan?”

“Ngga kok, justru aku bangun-bangun langsung seneng karna inget kamu bakal kesini.”

“Haha bagus deh kalau gitu!” Oceana mengusap pelan puncak kepala Kaluna.

“Mau ke taman belakang aja ngga? Aku punya satu tempat yang biasa aku datengin pas masih tinggal disini dulu,” ajak Oceana.

Kaluna mengangguk dengan semangat, dia juga sebenarnya sedikit bosan berada di dalam gedung ini.

Oceana menarik lengan Kaluna dan membawanya ke taman belakang, tempat favoritnya dulu untuk menyendiri. Di taman belakang hanya ada sedikit orang di bandingkan di depan, inilah kenapa Oceana sangat suka kesini.

Kedua mata Kaluna berbinar saat melihat ada beberapa kucing di tempat ini.

“Kemarin kamu bilang kamu suka sama kucing dan aku jadi inget kalau disini lumayan banyak kucing yang berkeliaran,” jelas Oceana. “Nih, aku juga beli cemilan kucing di toko hewan tadi.”

Oceana menyerahkan beberapa bungkus cemilan kucing pada Kaluna lalu berjongkok di depan kucing-kucing itu.

“Sekali lagi makasih, Cea! Aku kayaknya bakal kesini terus mulai besok,” ujar Kaluna.

Baik Oceana dan Kaluna kini asik bermain dengan beberapa kucing disana, kadang mereka juga tertawa bersama saat bermain kejar-kejaran dengan para kucing yang kemudian berakhir dengan keduanya kelelahan dan memilih untuk duduk sejenak.

“Aku ngga pernah merasa sebahagia ini, Makasih Oceana,” ucap Kaluna dengan tulus.

“Pasti sulit ya harus mengontrol emosi kamu setiap saat?” sahut Oceana.

Honestly, yes. Bahkan kadang kalau aku lagi 'kumat' aku bukan cuman ngelukain diri aku sendiri tapi juga orang lain dan itu bikin aku semakin ngerasa bersalah sampai pengen ngeakhirin hidup aku.”

“Aku juga gitu kok dulu, bedanya aku ngga pernah ngerasa bahagia atau senang kayak kamu yang sekarang. Tapi sekarang udah agak lebih mendingan dikit.”

“Kita bisa sembuh ngga sih?”

Pertanyaan spontan dari Kaluna itu membuat Oceana menatapnya, kini raut bahagia itu di ganti dengan raut sedih bercampur takut dan resah.

“Walaupun kemungkinannya kecil kita pasti bisa kok, kapan itu aku juga ngga tau pasti. Yang terpenting adalah kita bertahan aja dulu,” jawab Oceana.

Kaluna menundukkan kepalanya dan mengelus seekor kucing di pangkuannya.

“Cea, lebih baik kita ngga ada aja gak sih? Percuma juga kita tetap bertahan kalau orang-orang di sekitar kita malah menderita dan ngga mau ngakuin keberadaan kita?” ucap Kaluna.

“Anggap saja aku udah keluar dari sini, apa orang luar bisa nerima aku? Apa orang-orang di luar sana bakal mandang kita sama seperti mereka atau malah sebaliknya? Kadang kalau aku mikirin itu terus rasanya aku pengen mati aja karna ngga ada yang mau nerima orang-orang seperti aku, seperti kita.”

No! Kaluna, denger, di luar sana masih banyak kok yang mau nerima kamu, nerima kita. Kalau kamu mikir buat pergi gitu aja kamu ngga bakalan tau ada berapa banyak orang yang juga peduli ke kamu,” kata Oceana.

“Tapi biarpun gitu aku ngga yakin kalau aku bisa ngegapai cita-cita aku,” lirih Kaluna.

“Kamu punya cita-cita? Apa?” tanya Oceana.

“Dokter, aku pengen jadi Dokter. Ngelihat Dokter Fany yang sabar ngadapin semua pasien aku jadi pengen kayak Dokter Fany di masa depan, tapi aku ngga yakin kalau aku bisa.”

“Bisa! Kamu pasti bisa, percaya sama aku!” timpal Oceana meyakinkan Kaluna.

“Siniin tangan kamu coba,” pinta Oceana.

“Buat apa?”

“Udah, nanti kamu juga tau!”

Kaluna menurut lalu menjulurkan tangan kanannya pada Oceana. Sedetik kemudian ada sebuah buku notes kecil di telapak tangannya.

“Ini apa?” tanya Kaluna.

“Buka terus baca coba,” balas Oceana.

“5 alasan kenapa kamu harus tetap hidup, by. Oceana,” baca Kaluna.

“Aku buat itu khusus buat kamu karna aku tau pasti sulit rasanya harus ngejalanin kehidupan kamu yang sekarang, padahal kita ngga pernah minta sekalipun pada Tuhan, right?”

“Jadi kalau kamu mulai ngerasa capek dan ngerasa ngga pantes buat hidup lagi di dunia, cukup baca itu aja.”

“Tapi disini baru ada 4 aja, Cea,” ujar Kaluna.

Oceana tertawa kecil, “Iya, aku belum kepikiran alasan kelimanya itu apa. Tapi nanti kalau aku udah dapat, aku bakal tulis lagi disitu.”

“Oceana...”

“Iya?”

“Makasih banyak udah jadi teman pertama aku, makasih banyak buat yang kemarin dan hari ini, aku janji bakal simpan notes ini baik-baik,” seru Kaluna.

“Kita pasti bisa ngelaluin semua ini bareng-bareng kan?” Kaluna mengangkat jari kelingkingnya ke arah Oceana.

“Pasti!” ucap Oceana sambil tersenyum kemudian mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Kaluna.

Keduanya sama-sama tersenyum, meyakinkan diri masing-masing bahwa mereka pasti bisa jika berjuang bersama-sama.

Pagi ini seperti biasa tim archery termasuk Willa, Ray dan Yudith hari ini melakukan latihan rutin untuk turnamen minggu depan.

Willa dan Yudith menunggu kedatangan Ray guna meminta cerita lengkapnya di grup tadi tentang SMA Trisakti yang akan ikut latihan bersama mereka.

“Nah, tuh si Ray!” celetuk Yudith melihat temannya itu berlari ke arah mereka.

“Woy, lo serius soal yang di grup tadi?” sahut Yudith.

“Serius anjir, rombongannya SMA Trisakti lagi jalan kesini bareng sama pelatihnya, gue juga bingung,” balas Ray lalu menatap Willa.

“Lo tahan emosi lo deh sehari ini aja, kalau lo berantem sama si kembar nanti bisa berabe urusannya,” ucap Ray.

“Emang muka gue keliatan kayak orang-orang yang sering ngajak berantem gitu?” dengus Willa.

“Ya engga sih.”

“Psst, tuh mereka dateng,” bisik Yudith.

Ketiganya menoleh, melihat rombongan tim archery dari SMA Trisakti. Bingung juga, kenapa 2 tim ini malah di kumpulin jadi satu tempat buat latihan bareng? Padahal 2 tim ini yang sering saingan tiap turnamen dan lomba O2SN.

“Udahlah, biarin aja mereka kita fokus latihan aja,” ujar Willa membuyarkan lamunan kedua temannya ini.

Sementara anggota tim archery mereka yang lain saling berkenalan dengan tim dari SMA Trisakti justru Willa dkk cuek dan memilih untuk latihan, bukan cuman Willa, Ray dan Yudith saja sebenarnya tapi Jendra, Haris, dan Alen juga sama.

“Serius banget latihannya, ada tamu kok ngga di sambut?” sahut Kalendra sambil tersenyum miring.

Ray menoleh, “Ngapain kesini? Lo ngga di ajak.”

“Weits, kalem bro. Gue kesini kan cuman mau nyapa sodara gue doang.”

Mendengar dirinya di panggil saudara, Willa langsung melepaskan pegangan pada anak panahnya.

“Wuiih, perfect score!” seru Kalendra melihat anak panah Willa tertancap di bulatan tengah.

“Gue baru tau loh, Willa tuh sodara lo sama Kayla,” seru Bima, teman Kalendra.

“Sama, gue juga. Tapi kok malah beda sekolah lo bertiga? Lo sama Kayla di Trisakti, Willa disini.”

Yudith tertawa remeh saat mendengar ucapan salah satu teman Kalendra itu.

“Ya jelas harus beda sekolah dong, kan level mereka bertiga beda bro,” ucap Yudith sambil tersenyum miring.

“Ya lo bayangin aja, masa seorang Wirawan harus di sandingin sama dia? Gak mungkin juga mereka berdua sekolah disini, emang mampu bayar spp perbulannya?” Lanjutnya.

Willa terkekeh pelan, menahan tawanya agar tidak terlihat jelas. Sementara Kalendra terlihat sedang menahan emosinya itu.

“35 juta perbulan, mampu ngga bro?” timpal Ryujin. “Engga sih kayaknya.”

“Udah, kita cari tempat lain aja, kayaknya mereka mau make yang disini,” ujar Willa lalu mengambil panahannya.

“Bokap gue pinter juga ya nyari selingkuhan, dapetnya yang tajir, langsung dari keluarga Wirawan lagi,” celetuk Kalendra membuat orang-orang disitu kaget.

Willa langsung berbalik dan menatap Kalendra dengan tajam.

“Ayo bro, kita cari tempat yang lain aja.”

Kalau saja tidak mengingat pesan Nala di grup chat tadi sudah Willa hajar cowok di depannya saat ini. Selingkuhan katanya? Padahal yang selingkuhan Papanya itu adalah Mamanya sendiri.

Sambil tersenyum miring Kalendra sengaja mengayunkan panahannya ke arah Willa saat ketiga orang itu kembali membelakanginya.

Kaget melihat ada sesuatu yang akan mengenai kepalanya dengan sigap Willa mengangkat tangan kirinya untuk melindungi kepalanya.

“AKHH!” Willa berteriak kesakitan saat panahan Kalendra membentur lengan kirinya dengan sangat keras.

“Willa!”

“Aduh, sorry gue ngga sengaja,” ucap Kalendra dengan tampang polosnya.

Coach Hendra dan anak-anak archery yang lain berkumpul di tempat Willa saat mendengar suara teriakannya tadi.

“Ini kenapa?!”

“Maaf coach tadi saya ngga sengaja ngenain panahan saya ke tangannya. Lo ngga apa-apa kan?” Kalendra dengan cepat berjongkok di sebelah Willa dan sengaja menekan bagian tangannya yang sakit, membuat Willa kembali meringis.

“Jangan di pegang anjing! Lo sengaja mau bikin tangannya patah?!” amuk Yudith.

“Udah! Sebaikanya kalian bawa Willa ke UKS sekarang, cepat!” ucap Coach Hendra.

Ray dan Yudith dengan cepat membopong Willa dan membawanya ke UKS. Sementara Kalendra tersenyum miring dari tempatnya berdiri.

Untung saja saat sampai di UKS ada Dokter yang berjaga jadi Willa langsung segera di tangani.

“Dok, itu tangannya patah ngga?” tanya Ray ketakutan.

“Tenang aja, ini ngga patah kok, tapi kalau tangan kirinya ini di pakai beraktivitas dalam waktu dekat ini pasti bakal nyeri, jadi istrahat dulu kurang lebih seminggu?” jelas sang Dokter.

“Tapi turnamennya kan 4 hari lagi,” gumam Yudith.

“Nah, udah. Kalau masih nyeri banget kamu bisa langsung ke rumah sakit buat di x-ray, biar tau bagian tulang mana yang kena.”

“Makasih, Dok!” ucap Willa.

“Willa!” teriak Kiran yang berlari masuk ke dalam UKS.

“Udah ada Kiran nih, gue sama Yudith balik ke lapangan dulu,” ucap Ray lalu menarik Yudith keluar.

“Kok kamu tau aku di UKS?” tanya Willa.

“Aku kan udah bilang hati-hati, jangan sampai luka atau cedera!” omel Kiran melihat tangan kiri Willa yang terbalut perban.

“Aku sakit kok malah di omelin? Duduk dulu terus peluk aku kek,” ujar Willa.

Kiran mendelik kesal kemudian duduk di tepi ranjang dan meraih tangan kiri Willa.

“Masih sakit?” tanya Kiran.

“Masih, tapi ngga sesakit yang tadi, udah agak mendingan kok nyerinya,” jawab Willa.

“Kamu gimana sih, bentar lagi kamu mau turnamen loh?”

“Nanti juga sembuh kok, paling 3 harian udah bisa aktivitas normal lagi.”

Hug me, please? Capek habis latihan,” seru Willa.

“Manja!” cibir Kiran tapi tetap di peluk juga sambil di puk-puk kepalanya Willa.

.


.

Siang itu setelah bel pulang sekolah dan pulang ke rumahnya untuk mengganti pakaian, Willa segera menuju ke rumahnya Kiran untuk menjemput cewek itu.

Saat sampai di depan rumah, Kiran memarahinya padahal dia sudah meminta Willa untuk istrahat saja dan mengganti datenya di hari lain setelah tangan Willa sembuh.

“Kamu tuh kalau di bilangin jangan bandel dong, itu tangan kamu belum juga sembuh,” omel Kiran.

“Ih, ini udah ngga apa-apa, serius deh!” ucap Willa.

“Ohya? Coba siniin!”

“Buat apa?”

“Siniin, cepet!” tekas Kiran. Willa mengulurkan tangan kirinya pada Kiran yang kemudian di remas dikit sama cewek itu.

“Akhh, sakit hey!” ringis Willa.

“Tuh! Itu yang kamu bilang udah sembuh?”

“Ya jangan di remes dong, kalau di remes kan sakit, Kiran,” ujar Willa. “Udah ganti baju sana, aku udah terlanjur pesen 2 tiket masuk.”

“Tapi tangan kamu—”

“Udah, ini ngga apa-apa cantik, ayo sana ganti bajunya!”

Willa itu sama keras kepalanya dengan dia, jadi mau tidak mau Kiran masuk lagi ke dalam rumahnya dan berganti pakaian, sementara Willa menunggunya di depan sambil bermain handphone.

10 menit kemudian Kiran kembali dengan pakaian rapihnya.

“Cantik banget, ayo!” seru Willa sambil meraih tangan Kiran untuk di genggam dan segera menuju taksi yang sudah dia pesan tadi.

“Kalau tangan kamu nyeri bilang aja, jangan diam. Aku ngga mau nanti tangan kamu tambah parah,” ucap Kiran.

It's okay, kamu ngga perlu khawatir. Ini kan ngga patah,” balas Willa.

“Emang siapa sih yang buat tangan kamu jadi kayak gitu?”

“Saudara tiri aku.”

Kiran dengan cepat menoleh ke arah Willa, “Saudara tiri kamu?”

Willa mengangguk, “Tadi sekolahnya dateng buat latihan bareng kita.”

“Kok jahat banget sih? Awas aja kalau sampai ketemu langsung sama aku.”

“Mau kamu apain emang?”

“Aku patahin tangannya, biar dia ngerasain juga rasa sakitnya!”

Willa tertawa kecil, seram juga kalau Kiran sudah marah. Dia yang sering kena pukulan dari tangan Kiran saja sering meringis kesakitan apalagi kalau nanti cewek ini matahin tangan Kalendra.

“Kamu mau makan dulu atau langsung ke aquariumnya?” tanya Willa.

“Ke aquarium dulu, baru sekalian habis itu kita nyari makan,” jawab Kiran.

“Oke.” Willa mengangguk kecil.

Setelah sampai di Jakarta Aquarium keduanya turun dari taksi, tidak lupa juga dangan Willa yang setia menggenggam tangan Kiran.

Saat masuk ke dalam senyuman Kiran merekah di wajah cantiknya, Willa juga ikut tersenyum melihat Kiran yang begitu senang.

“Lain kali kayaknya kita kesini aja deh kalau ngedate, kamu kelihatan seneng banget gitu,” seru Willa.

“Aku suka banget ke aquarium tau, terakhir kali kayaknya pas aku kelas 1 SMP, makannya aku seneng pas kamu mau ngajak aku kesini,” balas Kiran dengan matanya yang terus-terusan melihat ikan-ikan di dalam sana.

Willa tertawa gemas melihat Kiran yang langsung berlari mendekat ke arah kaca dan melihat ikan-ikan disana.

Melihat Kiran yang sibuk melihat ikan-ikan itu Willa mengambil handphonenya dan memotret Kiran.

“Ran, hadep sini coba!” panggil Willa. Kiran menoleh dan melihat Willa sedang mengarahkan kamera ponselnya padanya membuat Kiran mengerutkan dahinya berpura-pura kesal.

“Lucu,” gumam Willa.

“Willa, sini deh! Ikannya lucu-lucu!” seru Kiran menarik lengan Willa.

“Rambut kamu ngga mau di iket dulu? Nanti gerah loh?” ujar Willa.

“Aku lupa bawa iket rambutnya,” balas Kiran.

Willa merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ikat rambut warna hitam yang selalu dia bawa untuk berjaga-jaga.

“Diem dulu, aku mau iket rambut kamu, risih aku lihatnya,” celetuk Willa. Kiran tertawa kecil mendengarnya.

Setelah mengikat rambut Kiran mereka kembali lanjut menelusuri aquarium itu. Lebih banyak Kiran yang excited ketimbang Willa, dia hanya menjadi tukang ambil foto saja saat Kiran sibuk dengan teman-teman kecilnya itu.

Puas dengan aquarium datenya, Willa mengajak Kiran untuk mencari makan di mall terdekat dengan sambil tangannya yang tidak mau lepas sejak dari dalam aquarium tadi.

“Ih, itu bonekanya lucu ngga sih?” celetuk Kiran melihat satu boneka teddy berwarna coklat di etalase toko boneka.

“Lucu, kayak kamu,” sahut Willa.

“Gombal terus!” dengus Kiran. Willa tertawa kecil lalu mencubit hidung mancung Kiran.

Mereka masuk ke salah satu cafe di mall itu yang lumayan banyak orang.

“Kamu mau makan apa?” tanya Kiran.

“Apa aja deh, samain sama punya kamu,” jawab Willa. “Nanti kalau makanannya udah ada telfon aku ya.”

Kiran menoleh, “Kamu mau kemana?”

“Ada bentar, ngga lama kok. Aku balik lagi,” balas Willa. “Pesen aja makanannya.”

“Ih, Willa! Wil!” panggil Kiran melihat Willa yang sudah keluar dari cafe.

“Mau pesan apa, mbak?” seru pelayan.

“Ah, iya. Ini sama yang ini ya, mbak. Samain aja dua-duanya.”

“Baik, mbak. Mohon di tunggu ya!”

Kiran tersenyum kecil dan mengangguk saat pelayan itu pergi. Lalu kembali menatap ke arah pintu masuk. Dia juga bingung, mau kemana Willa tadi?

Tidak lama berselang Willa datang sambil membawa sesuatu di belakangnya.

“Itu yang di belakang kamu apaan?” tanya Kiran.

Willa menyerahkan sebuah paperbag besar itu pada Kiran membuat cewek itu mengerutkan keningnya dengan bingung.

“Di lihat coba isinya apa,” seru Willa.

Kiran membuka paperbagnya dan sedetik kemudian membulatkan mulutnya dengan kaget. Itu adalah boneka teddy yang dia lihat tadi.

“Kamu beliin ini buat aku?”

Willa mengangguk, “Iya, karna aku ngga setiap saat bareng kamu jadi kalau kamu kangen peluk bonekanya aja.”

Kiran tersenyum senang, “Thank you so much, aku janji bakal jagain boneka ini dengan baik.”

“Sama-sama, Kiran.”

Kecupan singkat Kiran berikan di pipi kanan Willa sebagai ungkapan senang dan terima kasihnya.

“Tanggung, disini juga dong!” timpal Willa sambil menunjuk bibirnya.

“Ngelunjak!” omel Kiran.

Willa tertawa gemas melihat raut wajah Kiran yang kesal dan bercampur merah karena malu.

Pagi ini seperti biasa tim archery termasuk Willa, Ray dan Yudith hari ini melakukan latihan rutin untuk turnamen minggu depan.

Willa dan Yudith menunggu kedatangan Ray guna meminta cerita lengkapnya di grup tadi tentang SMA Trisakti yang akan ikut latihan bersama mereka.

“Nah, tuh si Ray!” celetuk Yudith melihat temannya itu berlari ke arah mereka.

“Woy, lo serius soal yang di grup tadi?” sahut Yudith.

“Serius anjir, rombongannya SMA Trisakti lagi jalan kesini bareng sama pelatihnya, gue juga bingung,” balas Ray lalu menatap Willa.

“Lo tahan emosi lo deh sehari ini aja, kalau lo berantem sama si kembar nanti bisa berabe urusannya,” ucap Ray.

“Emang muka gue keliatan kayak orang-orang yang sering ngajak berantem gitu?” dengus Willa.

“Ya engga sih.”

“Psst, tuh mereka dateng,” bisik Yudith.

Ketiganya menoleh, melihat rombongan tim archery dari SMA Trisakti. Bingung juga, kenapa 2 tim ini malah di kumpulin jadi satu tempat buat latihan bareng? Padahal 2 tim ini yang sering saingan tiap turnamen dan lomba O2SN.

“Udahlah, biarin aja mereka kita fokus latihan aja,” ujar Willa membuyarkan lamunan kedua temannya ini.

Sementara anggota tim archery mereka yang lain saling berkenalan dengan tim dari SMA Trisakti justru Willa dkk cuek dan memilih untuk latihan, bukan cuman Willa, Ray dan Yudith saja sebenarnya tapi Jendra, Haris, dan Alen juga sama.

“Serius banget latihannya, ada tamu kok ngga di sambut?” sahut Kalendra sambil tersenyum miring.

Ray menoleh, “Ngapain kesini? Lo ngga di ajak.”

“Weits, kalem bro. Gue kesini kan cuman mau nyapa sodara gue doang.”

Mendengar dirinya di panggil saudara, Willa langsung melepaskan pegangan pada anak panahnya.

“Wuiih, perfect score!” seru Kalendra melihat anak panah Willa tertancap di bulatan tengah.

“Gue baru tau loh, Willa tuh sodara lo sama Kayla,” seru Bima, teman Kalendra.

“Sama, gue juga. Tapi kok malah beda sekolah lo bertiga? Lo sama Kayla di Trisakti, Willa disini.”

Yudith tertawa remeh saat mendengar ucapan salah satu teman Kalendra itu.

“Ya jelas harus beda sekolah dong, kan level mereka bertiga beda bro,” ucap Yudith sambil tersenyum miring.

“Ya lo bayangin aja, masa seorang Wirawan harus di sandingin sama dia? Gak mungkin juga mereka berdua sekolah disini, emang mampu bayar spp perbulannya?” Lanjutnya.

Willa terkekeh pelan, menahan tawanya agar tidak terlihat jelas. Sementara Kalendra terlihat sedang menahan emosinya itu.

“35 juta perbulan, mampu ngga bro?” timpal Ryujin. “Engga sih kayaknya.”

“Udah, kita cari tempat lain aja, kayaknya mereka mau make yang disini,” ujar Willa lalu mengambil panahannya.

“Bokap gue pinter juga ya nyari selingkuhan, dapetnya yang tajir, langsung dari keluarga Wirawan lagi,” celetuk Kalendra membuat orang-orang disitu kaget.

Willa langsung berbalik dan menatap Kalendra dengan tajam.

“Ayo bro, kita cari tempat yang lain aja.”

Kalau saja tidak mengingat pesan Nala di grup chat tadi sudah Willa hajar cowok di depannya saat ini. Selingkuhan katanya? Padahal yang selingkuhan Papanya itu adalah Mamanya sendiri.

Sambil tersenyum miring Kalendra sengaja mengayunkan panahannya ke arah Willa saat ketiga orang itu kembali membelakanginya.

Kaget melihat ada sesuatu yang akan mengenai kepalanya dengan sigap Willa mengangkat tangan kirinya untuk melindungi kepalanya.

“AKHH!” Willa berteriak kesakitan saat panahan Kalendra membentur lengan kirinya dengan sangat keras.

“Willa!”

“Aduh, sorry gue ngga sengaja,” ucap Kalendra dengan tampang polosnya.

Coach Hendra dan anak-anak archery yang lain berkumpul di tempat Willa saat mendengar suara teriakannya tadi.

“Ini kenapa?!”

“Maaf coach tadi saya ngga sengaja ngenain panahan saya ke tangannya. Lo ngga apa-apa kan?” Kalendra dengan cepat berjongkok di sebelah Willa dan sengaja menekan bagian tangannya yang sakit, membuat Willa kembali meringis.

“Jangan di pegang anjing! Lo sengaja mau bikin tangannya patah?!” amuk Yudith.

“Udah! Sebaikanya kalian bawa Willa ke UKS sekarang, cepat!” ucap Coach Hendra.

Ray dan Yudith dengan cepat membopong Willa dan membawanya ke UKS. Sementara Kalendra tersenyum miring dari tempatnya berdiri.

Untung saja saat sampai di UKS ada Dokter yang berjaga jadi Willa langsung segera di tangani.

“Dok, itu tangannya patah ngga?” tanya Ray ketakutan.

“Tenang aja, ini ngga patah kok, tapi kalau tangan kirinya ini di pakai beraktivitas dalam waktu dekat ini pasti bakal nyeri, jadi istrahat dulu kurang lebih seminggu?” jelas sang Dokter.

“Tapi turnamennya kan 4 hari lagi,” gumam Yudith.

“Nah, udah. Kalau masih nyeri banget kamu bisa langsung ke rumah sakit buat di x-ray, biar tau bagian tulang mana yang kena.”

“Makasih, Dok!” ucap Willa.

“Willa!” teriak Kiran yang berlari masuk ke dalam UKS.

“Udah ada Kiran nih, gue sama Yudith balik ke lapangan dulu,” ucap Ray lalu menarik Yudith keluar.

“Kok kamu tau aku di UKS?” tanya Willa.

“Aku kan udah bilang hati-hati, jangan sampai luka atau cedera!” omel Kiran melihat tangan kiri Willa yang terbalut perban.

“Aku sakit kok malah di omelin? Duduk dulu terus peluk aku kek,” ujar Willa.

Kiran mendelik kesal kemudian duduk di tepi ranjang dan meraih tangan kiri Willa.

“Masih sakit?” tanya Kiran.

“Masih, tapi ngga sesakit yang tadi, udah agak mendingan kok nyerinya,” jawab Willa.

“Kamu gimana sih, bentar lagi kamu mau turnamen loh?”

“Nanti juga sembuh kok, paling 3 harian udah bisa aktivitas normal lagi.”

Hug me, please? Capek habis latihan,” seru Willa.

“Manja!” cibir Kiran tapi tetap di peluk juga sambil di puk-puk kepalanya Willa.

Pagi-pagi di sekolah Nala di sambut sama beberapa murid yang ngucapin selamat atas pencapain tim paduan suara yang juara 1 di kompetisi kemarin, padahal menurut Nala itu ngga perlu sampai harus di rayain sama 1 sekolah.

Nala berjalan menyusuri lorong koridor dan menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3.

“Ini pasti karna tweet base yang semalam nih 1 sekolah jadi rame, berasa jadi artis terkenal aja gue,” gumam Nala.

Congrats Nala! Yuhuuuu!” Teriakan nyaring dari dalam kelasnya itu membuat Nala terlonjak kaget terutama suara Ray yang sampai-sampai membuat Nala kaget setengah mati.

“Congor lo di jaga anjir!” omel Nala memukul bahu Ray.

“Ini ide siapa nih pake di bikin surprise segala?” tanya Nala.

“Temen-temen lo nih, terutama tuh yang di sebelahnya Kiran, dia yang paling heboh tadi pas masuk kelas,” jawab Achel sambil menunjuk Willa.

“Gue pukul lo ya,” desis Nala.

“Dih, lo udah bikin bangga satu sekolah jadi harus di rayain lah,” timpal Yudith.

“Pamali anjir di rayainnya sekarang, kalau udah dapat juara 1 di kompetisi yang tingkat Nasional baru deh tuh mau lo teriak-teriak di jalan depan sekolah juga boleh!”

Mendengar itu seisi kelas tertawa kecuali 1 orang yang dari tadi hanya senyum-senyum kecil di belakangnya Mikha.

“Permisi kak, sorry ganggu! Kak Willa, kak Yudith sama kak Ray udah di tunggu di lapangan sama coach Hendra,” sahut salah satu adik kelas mereka yang tidak lain adalah Vio.

“Tuh, udah di tungguin lo bertiga, udah sana ke lapangan!” usir Nala.

“Nanti istrahat lo di traktir sama si Ray, jadi di tagih aja,” celetuk Yudith.

“Kok jadi gue sih anjing?!” protes Ray.

“Aku ke lapangan dulu ya, ketemu istrahat nanti,” ucap Willa. Kiran mengangguk dan tersenyum simpul.

“Ayang Mikha, aku latihan dulu ya, ngga lama kok, bye!” seru Ray membuat seisi kelas heboh.

“Jijik! Najis! Natha sialan, jauh-jauh lo dari gue!” amuk Mikha.

“Cieee, diam-diam lo mainnya dari bawah ya,” goda Gigi.

“Aduuuh bakal ada couple baru nih di kelas,” sahut Achel.

“Lo berdua mending diem sebelum gue pukul!” ancam Mikha pada kedua temannya.

“Ngga usah di liatin terus, anaknya ngga bakal ilang,” celetuk Nala yang melihat Kiran terus melihat ke arah luar kelas.

“Lebih takut di ambil orang sih daripada ilang,” ucap Kiran sambil tertawa lalu duduk di bangkunya.

“Pantesan cocok, sama-sama bulol ternyata,” gumam Nala.


Jam istrahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, Kiran pergi ke kantin hanya membeli 2 sandwich dan 2 air minum lalu pergi menuju lapangan tempat Willa dkk sedang latihan.

Kiran duduk di salah satu bangku panjang yang berada tidak jauh dari anak-anak archery berlatih.

“Pantesan di kantin ngga ada, ternyata malah disini,” seru Nala ikut bergabung.

“Pengen lihat mereka latihan aja sih, lagian di kantin rame,” balas Kiran.

“Mau tau sesuatu tentang Willa ngga?”

Mendengar pertanyaan Nala itu Kiran otomatis langsung menoleh ke arah kanannya.

“Lo berdua kan sekarang udah lumayan deket yah, pasti dia pernah cerita sesuatu atau ngasih tau lo sesuatu tentang saudara tirinya, iya kan?”

“Ngga juga sih, gue taunya Willa emang punya saudara tiri tapi dia ngga cerita banyak soal itu,” balas Kirana.

“Lo tau kalau Willa ngga akrab sama saudara tirinya?”

Cukup lama Kiran diam sebelum akhirnya mengangguk dengan pelan, terakhir kali Willa menangis sambil menelfon dan meminta dia untuk datang menemuinya itu pertama kalinya Kiran baru tau Willa punya saudara tiri dan ngga cukup akrab.

“Iya, Willa punya 2 saudara tiri yang seumuran sama dia, anak kandung Papanya dari perempuan lain, harusnya bukan gue sih yang ngasih tau ini ke lo tapi gue juga tau Willa pasti belum siap kalau ceritain soal keluarganya ke lo,” ucap Nala.

“Gue udah temenan sama dia dari kita masih kecil banget, Willa ngga pernah sekalipun dapat perhatian dari Papanya, dari dia umur 4 tahun Papanya ngga pernah ada buat dia, di setiap ulang tahunnya aja ngga pernah dateng, mentok-mentok cuman ngucapin selamat doang dari telfon. Tapi yah biar gitu Willa masih tetep sayang sama Papanya dan mikir kalau Papanya mungkin aja sibuk sama kerjaan jadi ngga punya waktu berdua buat dia, kalau di tanya segimana sayangnya Willa ke Papanya kayaknya ngga bisa gue jabarin karna emang sesayang itu Willa sama Papanya,” jelas Nala.

“Mau tau satu hal? Nama belakang Willa dulu bukan Wirawan tapi Narendra, nama belakang Papanya. Wirawan itu nama belakang keluarga Mamanya, tapi pas kelas 3 SMP nama belakangnya di ganti jadi Wirawan sampai sekarang. Willa setiap cerita selalu banggain Papanya ke temen-temen sekelas, dia bohong dengan bilang selalu dapat hadiah-hadiah bagus di ulang tahunnya dan setiap dia dapat juara kelas ataupun juara di lomba padahal sebenernya ngga pernah. Willa baru bener-bener dapat sesuatu dari Papanya itu pas dia kelas 2 SMP, set panahan. Willa bahagia banget bisa dapat itu bahkan sampai di pamerin sama kita bertiga dulu, dan itu kali terakhir gue, Yudith dan Ray ngelihat senyuman bahagia Willa selebar itu.”

“Selama 3 tahun di SMP lo ngga pernah sekalipun lihat Willa di anterin sama Papanya kan? Atau setiap kali nerima rapot? Selalu Mamanya yang dateng kan?” Kiran mengangguk, dia memang tidak pernah melihat Papanya Willa saat SMP kemarin dan sampai saat ini.

“Alasan kenapa Willa sampai ngeganti nama belakangnya jadi Wirawan itu karna Papanya. Waktu pas kita udah kelas 3 SMP, sepulang sekolah kita berempat biasanya pergi ke mall buat main di timezone, disana Willa ngelihat Papanya lagi jalan sama perempuan lain yang bukan Mamanya bukan cuman itu aja, Papanya itu juga jalan bareng sama 2 anak seumuran kita yang mana itu saudara tirinya Willa. Dia nelfon Papanya saat itu juga dan nanya Papanya ada dimana, dan lo tau apa jawaban Papanya? Papanya ngaku lagi kerja di kantor padahal udah jelas-jelas kita berempat lihat kalau Papanya Willa itu lagi ketawa bareng sama orang lain.”

“Dari situ Willa jadi sering mantau Papanya kemana aja dan ngapain aja, selama seminggu full gue, Yudith sama Ray bantuin Willa buat ngikutin Papanya itu dan disitu Willa baru tau ternyata Papanya selingkuh sama perempuan lain dan punya anak dari perempuan itu dan Willa baru tau satu fakta dari tantenya kalau ternyata bahkan dari semenjak Willa masih dalam kandungan Papanya itu udah selingkuh, itu juga kenapa dari Willa kecil dia ngga pernah dapat perhatian dari Papanya karna Papanya jauh lebih perhatian ke anaknya yang lain, mulai hari itu juga Willa minta mamanya buat gantiin nama belakangnya jadi Wirawan.”

“Papanya selingkuh dari dia masih dalam kandungan? Jadi maksudnya....dalam waktu yang sama Papanya itu...”

“Ya kayaknya sih gitu, karna itu yang di ceritain sama tantenya Willa,” ucap Nala. “Makannya Willa sekarang ngga deket sama Papanya dan juga saudara tirinya.”

Kiran masih mencoba mencerna semua yang di ceritakan Nala padanya, gimana bisa ada seorang Ayah yang seperti itu?

“Kok Papanya tega sih? Selingkuhan Papanya juga, kenapa bisa setega itu? Kalau udah tau Papanya Willa punya istri kenapa malah ngga menjauh terus nyari yang lain?” ujar Kiran.

“Ya namanya udah buta sama cinta mau gimana lagi? Gue cuman nunggu sih Willa minta Mamanya buat cerai aja terus narik semua aset atas nama keluarga Wirawan dari Papanya, pengen tau gue apa Papanya bakal tetep bertahan atau setuju,” kata Nala sambil mengunyah cemilannya.

“Willa udah sampai di tahap benci sih sama Papanya dan juga keluarga kedua Papanya itu bahkan saking bencinya Willa sampai gak mau berurusan sama semua orang yang punya hubungan sama mereka,” lanjutnya.

“Ngobrolin apa? Seru banget kayaknya,” sahut Willa yang datang menghampiri keduanya.

“Ngobrolin lo,” balas Nala. “Gue duluan ya, Ran.”

“Apa sih, gak jelas lo!” cibir Willa.

“Lo yang ngga jelas, cerita kok setengah-setengah doang!” dengus Nala lalu meninggalkan mereka berdua.

“Kamu ngomongin apa sama Nala? Dia ngga cerita yang aneh-aneh tentang aku kan? Ngga di jelek-jelekin kan?”

Kiran tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya.

“Ngga kok, itu Nala cerita soal keluarga kamu aja, nih minum dulu,” balas Kiran memberikan sebotol air minum pada Willa.

Willa meneguk setengah isinya, “Keluarga aku? Yang bagian mana emang?”

“Semuanya, soal kenapa kamu juga ganti nama belakang kamu, soal Papa kamu...”

“Ahh, dia ceritain semuanya ya? Emang bener-bener tuh anaknya Om Mahanta.”

“Willa...”

“Iya?”

“Aku boleh peluk kamu ngga?”

“Disini? Sekarang?” Kiran mengangguk kecil.

“Boleh, sini!” seru Willa sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Kiran tersenyum dan berhambur masuk ke dalam pelukan Willa, ikut memeluk Willa dengan erat.

“Kalau kamu ngga mau cerita lebih soal keluarga kamu ke aku ngga apa-apa kok, aku ngerti,” ucap Kiran. “Tapi jangan nangis sendiri lagi.”

“Haha iya, ngga nangis sendiri lagi,” balas Willa.

“Jangan di lepas pelukannya sampai bel masuk nanti,” ujar Kiran. Willa mengangguk dan menenggelamkan wajahnya di bahu Kiran.

Nyaman.

Pagi-pagi di sekolah Nala di sambut sama beberapa murid yang ngucapin selamat atas pencapain tim paduan suara yang juara 1 di kompetisi kemarin, padahal menurut Nala itu ngga perlu sampai harus di rayain sama 1 sekolah.

Nala berjalan menyusuri lorong koridor dan menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3.

“Ini pasti karna tweet base yang semalam nih 1 sekolah jadi rame, berasa jadi artis terkenal aja gue,” gumam Nala.

Congrats Nala! Yuhuuuu!” Teriakan nyaring dari dalam kelasnya itu membuat Nala terlonjak kaget terutama suara Ray yang sampai-sampai membuat Nala kaget setengah mati.

“Congor lo di jaga anjir!” omel Nala memukul bahu Ray.

“Ini ide siapa nih pake di bikin surprise segala?” tanya Nala.

“Temen-temen lo nih, terutama tuh yang di sebelahnya Kiran, dia yang paling heboh tadi pas masuk kelas,” jawab Achel sambil menunjuk Willa.

“Gue pukul lo ya,” desis Nala.

“Dih, lo udah bikin bangga satu sekolah jadi harus di rayain lah,” timpal Yudith.

“Pamali anjir di rayainnya sekarang, kalau udah dapat juara 1 di kompetisi yang tingkat Nasional baru deh tuh mau lo teriak-teriak di jalan depan sekolah juga boleh!”

Mendengar itu seisi kelas tertawa kecuali 1 orang yang dari tadi hanya senyum-senyum kecil di belakangnya Mikha.

“Permisi kak, sorry ganggu! Kak Willa, kak Yudith sama kak Ray udah di tunggu di lapangan sama coach Hendra,” sahut salah satu adik kelas mereka yang tidak lain adalah Vio.

“Tuh, udah di tungguin lo bertiga, udah sana ke lapangan!” usir Nala.

“Nanti istrahat lo di traktir sama si Ray, jadi di tagih aja,” celetuk Yudith.

“Kok jadi gue sih anjing?!” protes Ray.

“Aku ke lapangan dulu ya, ketemu istrahat nanti,” ucap Willa. Kiran mengangguk dan tersenyum simpul.

“Ayang Mikha, aku latihan dulu ya, ngga lama kok, bye!” seru Ray membuat seisi kelas heboh.

“Jijik! Najis! Natha sialan, jauh-jauh lo dari gue!” amuk Mikha.

“Cieee, diam-diam lo mainnya dari bawah ya,” goda Gigi.

“Aduuuh bakal ada couple baru nih di kelas,” sahut Achel.

“Lo berdua mending diem sebelum gue pukul!” ancam Mikha pada kedua temannya.

“Ngga usah di liatin terus, anaknya ngga bakal ilang,” celetuk Nala yang melihat Kiran terus melihat ke arah luar kelas.

“Lebih takut di ambil orang sih daripada ilang,” ucap Kiran sambil tertawa lalu duduk di bangkunya.

“Pantesan cocok, sama-sama bulol ternyata,” gumam Nala.


Jam istrahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, Kiran pergi ke kantin hanya membeli 2 sandwich dan 2 air minum lalu pergi menuju lapangan tempat Willa dkk sedang latihan.

Kiran duduk di salah satu bangku panjang yang berada tidak jauh dari anak-anak archery berlatih.

“Pantesan di kantin ngga ada, ternyata malah disini,” seru Nala ikut bergabung.

“Pengen lihat mereka latihan aja sih, lagian di kantin rame,” balas Kiran.

“Mau tau sesuatu tentang Willa ngga?”

Mendengar pertanyaan Nala itu Kiran otomatis langsung menoleh ke arah kanannya.

“Lo berdua kan sekarang udah lumayan deket yah, pasti dia pernah cerita sesuatu atau ngasih tau lo sesuatu tentang saudara tirinya, iya kan?”

“Ngga juga sih, gue taunya Willa emang punya saudara tiri tapi dia ngga cerita banyak soal itu,” balas Kirana.

“Lo tau kalau Willa ngga akrab sama saudara tirinya?”

Cukup lama Kiran diam sebelum akhirnya mengangguk dengan pelan, terakhir kali Willa menangis sambil menelfon dan meminta dia untuk datang menemuinya itu pertama kalinya Kiran baru tau Willa punya saudara tiri dan ngga cukup akrab.

“Iya, Willa punya 2 saudara tiri yang seumuran sama dia, anak kandung Papanya dari perempuan lain, harusnya bukan gue sih yang ngasih tau ini ke lo tapi gue juga tau Willa pasti belum siap kalau ceritain soal keluarganya ke lo,” ucap Nala.

“Gue udah temenan sama dia dari kita masih kecil banget, Willa ngga pernah sekalipun dapat perhatian dari Papanya, dari dia umur 4 tahun Papanya ngga pernah ada buat dia, di setiap ulang tahunnya aja ngga pernah dateng, mentok-mentok cuman ngucapin selamat doang dari telfon. Tapi yah biar gitu Willa masih tetep sayang sama Papanya dan mikir kalau Papanya mungkin aja sibuk sama kerjaan jadi ngga punya waktu berdua buat dia, kalau di tanya segimana sayangnya Willa ke Papanya kayaknya ngga bisa gue jabarin karna emang sesayang itu Willa sama Papanya,” jelas Nala.

“Mau tau satu hal? Nama belakang Willa dulu bukan Wirawan tapi Narendra, nama belakang Papanya. Wirawan itu nama belakang keluarga Mamanya, tapi pas kelas 3 SMP nama belakangnya di ganti jadi Wirawan sampai sekarang. Willa setiap cerita selalu banggain Papanya ke temen-temen sekelas, dia bohong dengan bilang selalu dapat hadiah-hadiah bagus di ulang tahunnya dan setiap dia dapat juara kelas ataupun juara di lomba padahal sebenernya ngga pernah. Willa baru bener-bener dapat sesuatu dari Papanya itu pas dia kelas 2 SMP, set panahan. Willa bahagia banget bisa dapat itu bahkan sampai di pamerin sama kita bertiga dulu, dan itu kali terakhir gue, Yudith dan Ray ngelihat senyuman bahagia Willa selebar itu.”

“Selama 3 tahun di SMP lo ngga pernah sekalipun lihat Willa di anterin sama Papanya kan? Atau setiap kali nerima rapot? Selalu Mamanya yang dateng kan?” Kiran mengangguk, dia memang tidak pernah melihat Papanya Willa saat SMP kemarin dan sampai saat ini.

“Alasan kenapa Willa sampai ngeganti nama belakangnya jadi Wirawan itu karna Papanya. Waktu pas kita udah kelas 3 SMP, sepulang sekolah kita berempat biasanya pergi ke mall buat main di timezone, disana Willa ngelihat Papanya lagi jalan sama perempuan lain yang bukan Mamanya bukan cuman itu aja, Papanya itu juga jalan bareng sama 2 anak seumuran kita yang mana itu saudara tirinya Willa. Dia nelfon Papanya saat itu juga dan nanya Papanya ada dimana, dan lo tau apa jawaban Papanya? Papanya ngaku lagi kerja di kantor padahal udah jelas-jelas kita berempat lihat kalau Papanya Willa itu lagi ketawa bareng sama orang lain.”

“Dari situ Willa jadi sering mantau Papanya kemana aja dan ngapain aja, selama seminggu full gue, Yudith sama Ray bantuin Willa buat ngikutin Papanya itu dan disitu Willa baru tau ternyata Papanya selingkuh sama perempuan lain dan punya anak dari perempuan itu dan Willa baru tau satu fakta dari tantenya kalau ternyata bahkan dari semenjak Willa masih dalam kandungan Papanya itu udah selingkuh, itu juga kenapa dari Willa kecil dia ngga pernah dapat perhatian dari Papanya karna Papanya jauh lebih perhatian ke anaknya yang lain, mulai hari itu juga Willa minta mamanya buat gantiin nama belakangnya jadi Wirawan.”

“Papanya selingkuh dari dia masih dalam kandungan? Jadi maksudnya....dalam waktu yang sama Papanya itu...”

“Ya kayaknya sih gitu, karna itu yang di ceritain sama tantenya Willa,” ucap Nala. “Makannya Willa sekarang ngga deket sama Papanya dan juga saudara tirinya.”

Kiran masih mencoba mencerna semua yang di ceritakan Nala padanya, gimana bisa ada seorang Ayah yang seperti itu?

“Kok Papanya tega sih? Selingkuhan Papanya juga, kenapa bisa setega itu? Kalau udah tau Papanya Willa punya istri kenapa malah menjauh terus nyari yang lain?” ujar Kiran.

“Ya namanya udah buta sama cinta mau gimana lagi? Gue cuman nunggu sih Willa minta Mamanya buat cerai aja terus narik semua aset atas nama keluarga Wirawan dari Papanya, pengen tau gue apa Papanya bakal tetep bertahan atau setuju,” kata Nala sambil mengunyah cemilannya.

“Willa udah sampai di tahap benci sih sama Papanya dan juga keluarga kedua Papanya itu bahkan saking bencinya Willa sampai gak mau berurusan sama semua orang yang punya hubungan sama mereka,” lanjutnya.

“Ngobrolin apa? Seru banget kayaknya,” sahut Willa yang datang menghampiri keduanya.

“Ngobrolin lo,” balas Nala. “Gue duluan ya, Ran.”

“Apa sih, gak jelas lo!” cibir Willa.

“Lo yang ngga jelas, cerita kok setengah-setengah doang!” dengus Nala lalu meninggalkan mereka berdua.

“Kamu ngomongin apa sama Nala? Dia ngga cerita yang aneh-aneh tentang aku kan? Ngga di jelek-jelekin kan?”

Kiran tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya.

“Ngga kok, itu Nala cerita soal keluarga kamu aja, nih minum dulu,” balas Kiran memberikan sebotol air minum pada Willa.

Willa meneguk setengah isinya, “Keluarga aku? Yang bagian mana emang?”

“Semuanya, soal kenapa kamu juga ganti nama belakang kamu, soal Papa kamu...”

“Ahh, dia ceritain semuanya ya? Emang bener-bener tuh anaknya Om Mahanta.”

“Willa...”

“Iya?”

“Aku boleh peluk kamu ngga?”

“Disini? Sekarang?” Kiran mengangguk kecil.

“Boleh, sini!” seru Willa sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Kiran tersenyum dan berhambur masuk ke dalam pelukan Willa, ikut memeluk Willa dengan erat.

“Kalau kamu ngga mau cerita lebih soal keluarga kamu ke aku ngga apa-apa kok, aku ngerti,” ucap Kiran. “Tapi jangan nangis sendiri lagi.”

“Haha iya, ngga nangis sendiri lagi,” balas Willa.

“Jangan di lepas pelukannya sampai bel masuk nanti,” ujar Kiran. Willa mengangguk dan menenggelamkan wajahnya di bahu Kiran.

Nyaman.

Pagi-pagi di sekolah Nala di sambut sama beberapa murid yang ngucapin selamat atas pencapain tim paduan suara yang juara 1 di kompetisi kemarin, padahal menurut Nala itu ngga perlu sampai harus di rayain sama 1 sekolah.

Nala berjalan menyusuri lorong koridor dan menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3.

“Ini pasti karna tweet base yang semalam nih 1 sekolah jadi rame, berasa jadi artis terkenal aja gue,” gumam Nala.

Congrats Nala! Yuhuuuu!” Teriakan nyaring dari dalam kelasnya itu membuat Nala terlonjak kaget terutama suara Ray yang sampai-sampai membuat Nala kaget setengah mati.

“Congor lo di jaga anjir!” omel Nala memukul bahu Ray.

“Ini ide siapa nih pake di bikin surprise segala?” tanya Nala.

“Temen-temen lo nih, terutama tuh yang di sebelahnya Kiran, dia yang paling heboh tadi pas masuk kelas,” jawab Achel sambil menunjuk Willa.

“Gue pukul lo ya,” desis Nala.

“Dih, lo udah bikin bangga satu sekolah jadi harus di rayain lah,” timpal Yudith.

“Pamali anjir di rayainnya sekarang, kalau udah dapat juara 1 di kompetisi yang tingkat Nasional baru deh tuh mau lo teriak-teriak di jalan depan sekolah juga boleh!”

Mendengar itu seisi kelas tertawa kecuali 1 orang yang dari tadi hanya senyum-senyum kecil di belakangnya Mikha.

“Permisi kak, sorry ganggu! Kak Willa, kak Yudith sama kak Ray udah di tunggu di lapangan sama coach Hendra,” sahut salah satu adik kelas mereka yang tidak lain adalah Vio.

“Tuh, udah di tungguin lo bertiga, udah sana ke lapangan!” usir Nala.

“Nanti istrahat lo di traktir sama si Ray, jadi di tagih aja,” celetuk Yudith.

“Kok jadi gue sih anjing?!” protes Ray.

“Aku ke lapangan dulu ya, ketemu istrahat nanti,” ucap Willa. Kiran mengangguk dan tersenyum simpul.

“Ayang Mikha, aku latihan dulu ya, ngga lama kok, bye!” seru Ray membuat seisi kelas heboh.

“Jijik! Najis! Natha sialan, jauh-jauh lo dari gue!” amuk Mikha.

“Cieee, diam-diam lo mainnya dari bawah ya,” goda Gigi.

“Aduuuh bakal ada couple baru nih di kelas,” sahut Achel.

“Lo berdua mending diem sebelum gue pukul!” ancam Mikha pada kedua temannya.

“Ngga usah di liatin terus, anaknya ngga bakal ilang,” celetuk Nala yang melihat Kiran terus melihat ke arah luar kelas.

“Lebih takut di ambil orang sih daripada ilang,” ucap Kiran sambil tertawa lalu duduk di bangkunya.

“Pantesan cocok, sama-sama bulol ternyata,” gumam Nala.


Jam istrahat sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu, Kiran pergi ke kantin hanya membeli 2 sandwich dan 2 air minum lalu pergi menuju lapangan tempat Willa dkk sedang latihan.

Kiran duduk di salah satu bangku panjang yang berada tidak jauh dari anak-anak archery berlatih.

“Pantesan di kantin ngga ada, ternyata malah disini,” seru Nala ikut bergabung.

“Pengen lihat mereka latihan aja sih, lagian di kantin rame,” balas Kiran.

“Mau tau sesuatu tentang Willa ngga?”

Mendengar pertanyaan Nala itu Kiran otomatis langsung menoleh ke arah kanannya.

“Lo berdua kan sekarang udah lumayan deket yah, pasti dia pernah cerita sesuatu atau ngasih tau lo sesuatu tentang saudara tirinya, iya kan?”

“Ngga juga sih, gue taunya Willa emang punya saudara tiri tapi dia ngga cerita banyak soal itu,” balas Kirana.

“Lo tau kalau Willa ngga akrab sama saudara tirinya?”

Cukup lama Kiran diam sebelum akhirnya mengangguk dengan pelan, terakhir kali Willa menangis sambil menelfon dan meminta dia untuk datang menemuinya itu pertama kalinya Kiran baru tau Willa punya saudara tiri dan ngga cukup akrab.

“Iya, Willa punya 2 saudara tiri yang seumuran sama dia, anak kandung Papanya dari perempuan lain, harusnya bukan gue sih yang ngasih tau ini ke lo tapi gue juga tau Willa pasti belum siapa kalau ceritain soal keluarganya ke lo,” ucap Nala.

“Gue udah temenan sama dia dari kita masih kecil banget, Willa ngga pernah sekalipun dapat perhatian dari Papanya, dari dia umur 4 tahun Papanya ngga pernah ada buat dia, di setiap ulang tahunnya aja ngga pernah dateng, mentok-mentok cuman ngucapin selamat doang dari telfon. Tapi yah biar gitu Willa masih tetep sayang sama Papanya dan mikir kalau Papanya mungkin aja sibuk sama kerjaan jadi ngga punya waktu berdua buat dia, kalau di tanya segimana sayangnya Willa ke Papanya kayaknya ngga bisa gue jabarin karna emang sesayang itu Willa sama Papanya,” jelas Nala.

“Mau tau satu hal? Nama belakang Willa dulu bukan Wirawan tapi Narendra, nama belakang Papanya. Wirawan itu nama belakang keluarga Mamanya, tapi pas kelas 3 SMP nama belakangnya di ganti jadi Wirawan sampai sekarang. Willa setiap cerita selalu banggain Papanya ke temen-temen sekelas, dia bohong dengan bilang selalu dapat hadiah-hadiah bagus di ulang tahunnya dan setiap dia dapat juara kelas ataupun juara di lomba padahal sebenernya ngga pernah. Willa baru bener-bener dapat sesuatu dari Papanya itu pas dia kelas 2 SMP, set panahan. Willa bahagia banget bisa dapat itu bahkan sampai di pamerin sama kita bertiga dulu, dan itu kali terakhir gue, Yudith dan Ray ngelihat senyuman bahagia Willa selebar itu.”

“Selama 3 tahun di SMP lo ngga pernah sekalipun lihat Willa di anterin sama Papanya kan? Atau setiap kali nerima rapot? Selalu Mamanya yang dateng kan?” Kiran mengangguk, dia memang tidak pernah melihat Papanya Willa saat SMP kemarin dan sampai saat ini.

“Alasan kenapa Willa sampai ngeganti nama belakangnya jadi Wirawan itu karna Papanya. Waktu pas kita udah kelas 3 SMP, sepulang sekolah kita berempat biasanya pergi ke mall buat main di timezone, disana Willa ngelihat Papanya lagi jalan sama perempuan lain yang bukan Mamanya bukan cuman itu aja, Papanya itu juga jalan bareng sama 2 anak seumuran kita yang mana itu saudara tirinya Willa. Dia nelfon Papanya saat itu juga dan nanya Papanya ada dimana, dan lo tau apa jawaban Papanya? Papanya ngaku lagi kerja di kantor padahal udah jelas-jelas kita berempat lihat kalau Papanya Willa itu lagi ketawa bareng sama orang lain.”

“Dari situ Willa jadi sering mantau Papanya kemana aja dan ngapain aja, selama seminggu full gue, Yudith sama Ray bantuin Willa buat ngikutin Papanya itu dan disitu Willa baru tau ternyata Papanya selingkuh sama perempuan lain dan punya anak dari perempuan itu dan Willa baru tau satu fakta dari tantenya kalau ternyata bahkan dari semenjak Willa masih dalam kandungan Papanya itu udah selingkuh, itu juga kenapa dari Willa kecil dia ngga pernah dapat perhatian dari Papanya karna Papanya jauh lebih perhatian ke anaknya yang lain, mulai hari itu juga Willa minta mamanya buat gantiin nama belakangnya jadi Wirawan.”

“Papanya selingkuh dari dia masih dalam kandungan? Jadi maksudnya....dalam waktu yang sama Papanya itu...”

“Ya kayaknya sih gitu, karna itu yang di ceritain sama tantenya Willa,” ucap Nala. “Makannya Willa sekarang ngga deket sama Papanya dan juga saudara tirinya.”

Kiran masih mencoba mencerna semua yang di ceritakan Nala padanya, gimana bisa ada seorang Ayah yang seperti itu?

“Kok Papanya tega sih? Selingkuhan Papanya juga, kenapa bisa setega itu? Kalau udah tau Papanya Willa punya istri kenapa malah menjauh terus nyari yang lain?” ujar Kiran.

“Ya namanya udah buta sama cinta mau gimana lagi? Gue cuman nunggu sih Willa minta Mamanya buat cerai aja terus narik semua aset atas nama keluarga Wirawan dari Papanya, pengen tau gue apa Papanya bakal tetep bertahan atau setuju,” kata Nala sambil mengunyah cemilannya.

“Willa udah sampai di tahap benci sih sama Papanya dan juga keluarga kedua Papanya itu bahkan saking bencinya Willa sampai gak mau berurusan sama semua orang yang punya hubungan sama mereka,” lanjutnya.

“Ngobrolin apa? Seru banget kayaknya,” sahut Willa yang datang menghampiri keduanya.

“Ngobrolin lo,” balas Nala. “Gue duluan ya, Ran.”

“Apa sih, gak jelas lo!” cibir Willa.

“Lo yang ngga jelas, cerita kok setengah-setengah doang!” dengus Nala lalu meninggalkan mereka berdua.

“Kamu ngomongin apa sama Nala? Dia ngga cerita yang aneh-aneh tentang aku kan? Ngga di jelek-jelekin kan?”

Kiran tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya.

“Ngga kok, itu Nala cerita soal keluarga kamu aja, nih minum dulu,” balas Kiran memberikan sebotol air minum pada Willa.

Willa meneguk setengah isinya, “Keluarga aku? Yang bagian mana emang?”

“Semuanya, soal kenapa kamu juga ganti nama belakang kamu, soal Papa kamu...”

“Ahh, dia ceritain semuanya ya? Emang bener-bener tuh anaknya Om Mahanta.”

“Willa...”

“Iya?”

“Aku boleh peluk kamu ngga?”

“Disini? Sekarang?” Kiran mengangguk kecil.

“Boleh, sini!” seru Willa sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Kiran tersenyum dan berhambur masuk ke dalam pelukan Willa, ikut memeluk Willa dengan erat.

“Kalau kamu ngga mau cerita lebih soal keluarga kamu ke aku ngga apa-apa kok, aku ngerti,” ucap Kiran. “Tapi jangan nangis sendiri lagi.”

“Haha iya, ngga nangis sendiri lagi,” balas Willa.

“Jangan di lepas pelukannya sampai bel masuk nanti,” ujar Kiran. Willa mengangguk dan menenggelamkan wajahnya di bahu Kiran.

Nyaman.


Rina menatap Chaewon yang masuk ke kamarnya sambil membawakan mangkuk berisi soup yang sudah dia panaskan.

“Makasih Chae,” ucap Rina.

“Darahnya masih keluar lagi ngga?” tanya Chaewon

“Udah ngga kok.”

“Makannya kalau di bilangin tuh ya jangan ngeyel aja, kalau sampai mimisan lagi kali ini bakal aku laporin ke kak Wendy,” dumel Chaewon.

“Pusing juga ngga?”

“Ngga, makannya aku bingung kok tumben gak barengan sama pusing, tapi syukur sih gak pusing juga,” jelas Rina.

“Mungkin karna semalam aku nyoba buat inget-inget dikit, jadi paginya aku mimisan,” lanjutnya.

“Ck, kalau belum bisa inget tuh jangan di paksain! Kan Mami kamu udah bilang kamu bakal inget sendiri nanti, kalau di paksain yang ada semua ingatan kamu ilang!” dengus Chaewon.

“Iya, iya, ngerti!” balas Rina.

“Aku ngga bisa lama-lama, Mama minta buat di temenin pergi.”

“Yaudah, pulang aja lagian aku cuman mimisan doang kan? Sekarang juga udah baikan.”

“Obatnya jangan lupa di minum habis makan, aku pulang dulu,” ucap Chaewon.

“Iya, hati-hati, Chae!” seru Rina.

Chaewon berjalan keluar dari kamar Rina dan juga keluar dari apartemen meninggalkan Rina yang sedang menyantap soupnya.

Rina tersenyum saat mendapat notif pesan dari Winter, inilah yang dia tunggu-tunggu.

Dengan cepat Rina menghabiskan soupnya tidak lupa juga meminum obat dan vitaminnya lalu mengganti baju tidurnya.


“Winter pulangnya bareng siapa, sayang?” tanya Tiffany.

“Sama temen aku, Mi. Bentar lagi di jemput kok,” jawab Winter.

“Mau mami tungguin sampai temen kamu itu sampai ngga?”

Winter berfikir sejenak, Rina itu sangat mirip dengan Karina dan kalau Mami Tiffany ketemu Rina pasti nanti ia kaget.

“Ngga apa-apa, Mi. Dia juga udah deket sini kok,” balas Winter.

“Oh yaudah kalau gitu, hati-hati di jalan ya!”

“Iya, Mi. Winter pergi dulu ya, nanti Winter main lagi kesini.” Tiffany mengangguk lalu memeluk Winter sebentar dan mengantarnya sampai ke depan rumah.

Winter menghembuskan nafasnya dengan lega, jangan sekarang dulu Rina dan Mami Tiffany bertemu.

“Winter!”

Suara teriakan nyaring itu menyapa indra pendengaran Winter, di lihatnya Rina yang sedang berdiri di samping mobilnya di depan gerbang rumah Karina.

Dengan cepat Winter berlari ke arah Rina, memastikan agar gadis itu tidak bertemu dengan Tiffany.

“Udah lama kak? Kok ngga nelfon aku?” sahut Winter.

“Ngga kok, aku baru aja sampai,” balas Rina.

“Yaudah, ayo masuk mobil sekarang!” Winter mendorong Rina untuk segera masuk ke dalam mobil kemudian dia yang ikut menyusul masuk.

“Ada saran kita mau kemana ngga?” tanya Rina yang mulai menjalankan mobilnya.

“Aku belum kepikiran sih, kak,” jawab Winter.

“Gimana kalau ke pameran lukisan dulu, mau ngga?”

“Pameran lukisan?”

“Iya, temen kakak aku kebetulan hari ini ngadain pameran lukisan, kalau kamu mau sih ayo,” jelas Rina.

“Boleh, udah lama juga aku ngga lihat pameran lukisan,” balas Winter.

“Terakhir aku lihat itu bareng kak Karin dan ini kali kedua aku ngelihat pameran lukisan,” batin Winter.

Mobil honda civic putih itu membelah jalanan kota jakarta pagi itu, Winter tersenyum sambil mengeluarkan satu tangannya merasakan hempasan angin di tangannya itu.

Dan bagi Rina itu adalah senyuman tercantik Winter yang pernah dia lihat.

Tidak sampai 30 menit mereka sampai di gedung tempat pergelaran pameran lukisan yang di maksud Rina. Keduanya masuk dengan beriringan.

“Woaah,” gumam Winter mengagumi lukisan-lukisan yang ada.

“Lukisannya bagus kan?” seru Rina. Winter mengangguk mengiyakan pertanyaan Rina itu.

“Aku dulu pernah ngelihat pameran lukisan tapi baru kali ini aku ngelihat lukisan yang bener-bener sebagus dan secantik ini,” kata Winter sambil memperhatikan lukisan-lukisannya.

“Ada yang paling bagus dan salah satu karya yang paling di sukain sama pemiliknya juga,” timpal Rina.

“Ohya? Yang mana?” tanya Winter.

Rina tersenyum singkat lalu menarik tangan Winter dan membawanya ke tempat lukisan yang di maksud.

“Ini lukisannya,” ujar Rina menunjuk satu lukisan yang terpajang di dinding.

Itu adalah lukisan lautan lepas yang di temani oleh pemandangan cantik di sekitaranya.

Winter menatap lukisan itu. Benar, lukisan ini sangat cantik dari lukisan lain yang dia lihat tadi, tapi melihat lautan lepas rasanya Winter sedikit takut mengingat kematian Karina berhubungan dengan lautan lepas.

“Ngga tau kenapa setiap lihat lukisan yang ini aku ngerasa kayak pernah datang ke pameran lukisan bareng seseorang, tapi aku ngga inget bareng siapa,” ucap Rina di selingi tawa di akhir kalimatnya.

Winter menoleh menatap Rina.

“Salah satu alasan aku ngajak kamu kesini karna aku pikir mungkin aku bisa inget itu, tapi kayaknya ngga bisa.”

“Ada lukisan lain yang jadi favorit kakak ngga?” tanya Winter.

“Ada, kamu mau lihat?” Winter mengangguk.

Rina kembali menarik tangan Winter dan membawanya ke tempat lukisan favoritnya.

Mereka berdua bersenang-senang mengelilingi gedung pameran lukisan itu, beberapa kali juga Winter terlihat tertawa lepas saat Rina menceritakan tentangnya dan Chaewon dulu yang ia ingat.

Setelah puas melihat-lihat pameran lukisan mereka pergi untuk mencari makan di salah satu restoran terdekat.

“Jadi euhm...Giselle, Yeji sama Nakyung itu dulu kakak kelas kamu pas SMA?” seru Rina.

“Iya, dulu mereka berempat sih,” ucap Winter.

“Berempat?” gumam Rina yang tampak berfikir sejenak lalu kemudian memilih untuk diam.

“Makasih ya kak udah ngajak aku buat lihat pameran lukisan tadi,” ucap Winter.

“Sama-sama, lagian aku juga seneng ngelihat kamu sebahagia tadi, kayaknya itu pertama kalinya aku lihat kamu senyum dan ketawa selepas itu,” balas Rina.

“Aku dari dulu emang gitu tau, cuman sekarang udah jarang aja,” timpal Winter.

Rina tersenyum simpul menatap Winter yang kini sibuk dengan handphonenya.

Cantik. Itulah kata yang selalu keluar dari pikiran Rina setiap kali melihat Winter.

Entah kenapa setiap kali melihat Winter dia teringat akan seseorang tapi Rina juga tidak tau itu siapa karena setiap Rina mencoba untuk mengingat wajahnya selalu saja berakhir dengan kepalanya yang pusing dan hanya ada bayangan hitam saja di kepalanya.

“Kak Karina dan kak Rina emang orang yang beda tapi ngga tau kenapa rasa nyamannya kayak berasal dari satu orang yang sama” batin Winter yang kini menatap Rina dengan seksama.