Kamu Sangat Berharga
Pagi ini suasana sarapan pagi di kediaman Maheswara terlihat agak sedikit berbeda dari biasanya, karena Oceana yang tampak lebih bersemangat dari hari biasanya.
Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya menatap Oceana dengan aneh.
“Pagi-pagi udah semangat aja, kesambet setan lo?!” ketus Langit, kakak laki-lakinya.
“Papa dapat telfon dari kampus kalau kamu akhir-akhir ini sering ngga masuk kelas, kemana aja?” sahut sang kepala keluarga.
“Paling juga main sama temen-temennya yang suka bolos,” timpal Rainy, sang kakak tertua.
“Oceana, Papa sama Mama udah kuliahin kamu susah-susah, jangan kecewain kita.”
Oceana mendengus kecil, inilah yang dia tidak suka saat berada di rumah.
“Pa, dari awal juga Cea udah bilang kalau Cea ngga cocok sama jurusan yang Papa Mama pilihin. Aku maunya masuk seni, Pa!” ucap Oceana.
“Mama sama Papa sengaja masukin kamu ke jurusan yang sekarang karna itu jurusan impian Seana,” timpal Mamanya.
“Jadi aku di masukin kesana karna Sean?”
“Ngga usah nyalahin Mama atau Papa, ini semua juga karna diri lo sendiri, kalau Sean ngga meninggal karna lo semuanya bakal baik-baik saka sekarang,” tekas Langit.
“Padahal udah ratusan kali aku bilang kalau bukan aku yang bunuh Sean,” gumam Oceana sepelan mungkin.
Sekuat apapun Oceana bertahan pada akhirnya dia hanya memiliki dirinya sendiri.
Oceana kembali menginjakkan kakinya ke rumah sakit seperti hari-hari yang sebelumnya.
“Selamat pagi!” sapa Oceana pada resepsionis.
“Mau ketemu Kaluna lagi?” sahut sang resepsionis yang tampaknya sudah begitu hafal dengan maksud kedatangan Oceana.
“Iya, hahaha. Duluan ya sus!” seru Oceana.
Dengan senyum merekah dan kedua tangannya yang memegang es krim Oceana masuk ke dalam lift, menuju ke lantai 3.
Orang-orang dalam lift menyapa Oceana secara bergantian dan mengucapkan kalimat yang sama seperti resepsionis tadi.
TING
Pintu lift terbuka setelah sampai di lantai 3, Oceana keluar dari dalam lift dan kembali membalikkan badannya.
“Semangat berkerja Dokter-Dokter dan semua perawat!” seru Oceana membuat tenaga medis di dalam lift tertawa.
“Dokter Fany!” Oceana berlari menuju ke arah dokternya itu dengan senyum yang masih mengembang.
“Cea! Pas sekali kamu datang, ayo ikut saya sebentar!”
“Huh? Kenapa?”
Oceana hanya diam saat Dokter Fany menarik lengannya dan berlari menuju salah satu kamar yang begitu familiar untuknya.
“Cea dengerin saya, di dalam sana Kaluna mengamuk lagi, setiap ada yang masuk selalu di lemparin sama semua barang yang ada, kamu bisa kan masuk ke dalam dan tenangin dia?”
“Kaluna...kumat lagi ya, Dok?” lirih Oceana.
“Iya, kayaknya semalam dia lupa buat minum obatnya. Tolong ya?” Oceana mengangguk pelan.
Sedih rasanya saat mendengar bahwa Kaluna kumat lagi, padahal beberapa hari terakhir kemarin dia baik-baik saja.
Oceana membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan masih membawa es krim di tangannya.
“Kaluna?” sahut Oceana pelan.
“Keluar! Udah aku bilang aku ngga mau ketemu siapapun! Keluar!” teriak Kaluna sambil melemparkan beberapa barang ke arah Oceana.
“Hey, ini aku Oceana!” ujar Oceana.
“Keluar aku bilang!” bentak Kaluna.
“Kaluna, ini aku? Calm down, okay?” seru Oceana. “Lihat, aku bawain es krim buat kamu, kamu pengen makan es krim kan akhir-akhir ini?”
“Keluar hiks...tinggalin aku sendiri tolong,” tangis Kaluna.
Oceana perlahan mendekat ke arah Kaluna, menjauhkan benda-benda tajam yang mungkin bisa saja dia gunakan untuk melukai dirinya sendiri.
“Kaluna ki—Tangan kamu kenapa, Kaluna?!” Oceana seketika menjatuhkan es krim di kedua tangannya dan langsung berlari mendekati Kaluna.
Di lihatnya ada begitu banyak luka gores di lengan kiri Kaluna yang rata-rata masih basah dan mengeluarkan darah segar.
“What are you doing?!” tekas Oceana yang dengan cepat mengambil sapu tangannya dari tas dan meletakkannya di lengan kiri Kaluna.
“Cea...hiks kenapa semua orang jahat ke aku? Apa aku udah buat salah? Hiks...kenapa mereka setega ini ke aku?” tangis Kaluna.
“Ssstt ssstt...tenang dulu, ya? Udah jangan nangis lagi,” ujar Oceana menenangkan Kaluna.
“Kamu tenang dulu terus cerita ke aku pelan-pelan, oke?” Sambil menenangkan Kaluna, Oceana membersihkan darah dari lengan Kaluna dengan sapu tangannya.
“Semalam Mama datang jengukin aku bareng sama kakak, aku fikir mereka kesini karna kangen sama aku tapi ternyata ngga, Cea...”
“Mama malah marah-marah dan bilang aku anak yang ngga berguna, kakak juga bilang aku anak yang bawa sial, gila dan cuman bikin malu keluarga, mereka bilang akan lebih baik kalau aku mati aja, Cea,” tangis Kaluna.
Hati Oceana ikut sakit mendengar pengakuan Kaluna itu, benar-benar sakit sampai dia mau marah.
“Emang bener harusnya dari dulu aku mati aja,” lirih Kaluna.
“Hey! Kamu udah lupa apa yang aku bilang pas kita di taman? Kamu udah lupa isi dari notes yang aku tulis buat kamu?” celetuk Oceana.
“Kaluna, di dunia ini semua orang berhak buat hidup, mau serendah apapun derajat kita Tuhan ngga pernah bilang kan kita ngga pantes buat tetap hidup? Kaluna, kamu ngga boleh nyerah gitu aja, karna apa? Karna kamu itu berharga, Kaluna!”
“Kamu itu sangat berharga, lebih barharga dari siapapun di dunia ini, jadi jangan pernah mikir buat menyerah, paham?”
“Hey, lihat aku! Kaluna, look at me! Coba hal apa yang pernah aku bilang ke kamu saat kita di taman?”
Kaluna masih diam dan terseguk pelan.
“Kaluna Anindya?”
“Ada 5 alasan kenapa aku harus tetap hidup dan ngga boleh nyerah, kalau udah mulai capek cukup inget dan di baca lagi,” ucap Kaluna pelan.
“That's right! Kamu harus selalu inget itu!” seru Oceana.
“Kalau kamu susah buat ngontrol emosi kamu, cukup inget saran aku ini. Tarik nafas kamu dalam-dalam, pikirin hal yang bikin kamu senang, terus buang nafasnya pelan-pelan, terus di ulangin sampai kamu merasa tenang. Jangan pernah lukain tangan kamu lagi, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan cara lain yang ngga berbahaya, contohnya di tuangin aja ke dalam lukisan, kamu suka ngegambar kan?” Kaluna mengangguk pelan.
“Nah, kamu bisa luapin emosi kamu itu dengan ngegambar kayak biasanya, buku sketsa yang aku kasih masih ada kan? Kamu bisa ngegambar dengan leluasa di situ saat kamu mau luapin emosi kamu, jangan ngegores tangan kamu lagi.”
“You are very precious, Kaluna. Katanya mau berjuang bareng aku kan?”
“Maaf,” lirih Kaluna.
“Ngga apa-apa, ini bukan salah kamu juga,” balas Oceana lalu menarik Kaluna ke dalam pelukannya.
“Jangan kayak gini lagi ya? Kamu itu berharga, kamu berharga buat Dokter Fany, kamu berharga juga buat aku, jadi jangan berfikir buat pergi lagi, oke?”
Kaluna yang berada di dalam pelukan Oceana itu mengangguk pelan sambil sesegukan.
“Sekarang kita temuin Dokter Fany dulu ya buat obatin tangan kamu? Nanti bisa infeksi kalau di biarin.”
“Tapi aku takut, kalau Dokter Fany marah gimana?” gumam Kaluna.
“Engga, Dokter Fany ngga bakalan marahin kamu kok,” balas Oceana.
“Ayo.” Oceana menarik Kaluna untuk berdiri dan keluar dari kamar agar luka di tangannya bisa segera di tangani.
Terkadang kalau kamu mulai merasa ngga pantes buat hidup cukup inget, kamu itu berharga jadi jangan sia-siain itu.