“Kiran stop gosokin minyak telonnya ke aku!” dumel Willa.
“Ihh, wangi tau!” seru Kiran.
“Iya, wangi, tapi nanti kamu manggil aku bayi terus,” dengus Willa menatap Kiran dengan horor.
Sementara Kiran hanya tertawa kecil melihat reaksi Willa itu. Lucu.
“Kamu kalau lagi marah malah lucu tau ngga,” ucap Kiran memasukan botol minyak telon ke tasnya.
“Kamu juga sama, malah lebih gemes kamu kalau lagi marah, kayak anak kecil yang permennya di ambil orang,” balas Willa. Kiran mendengus pelan.
“Ngga ada juga ya bayi kayak aku ini bisa bikin orang salting sampai muka sama telinganya merah.”
“Emang kamu pernah bikin orang lain salting?” tanya Kiran.
“Pernah lah!”
“Siapa?”
“Kamu,” jawab Willa. “Kamu ngga inget gitu muka kamu langsung merah pas aku cium di cooking class waktu itu?”
Mendengar ucapan Willa itu kembali membuat Kiran malu bukan main, daun telinganya bahkan sudah merah sekarang.
Willa terkekeh, “Tuh liat, telinga kamu udah merah. Kamu ngebayangin apa ayo?”
“Willa diem! Jangan ngomong lagi!” omel Kiran.
“Wkwk tuh kan, kamu kalau marah malah gemes kayak anak kecil,” tawa Willa.
“Willa ihh, jangan ngomong gitu! Aku tambah malu tau ngga!”
“Hahaha iya, iya, aku diem!” ucap Willa.
“Gemes banget kenapa sih!” Willa meletakan kedua tangannya di pipi Kiran dan kemudian mencubitnya dengan gemas.
“Ayo, kita cari jajanan di pinggir jalan, telur gulung mau?”
Kiran mengangguk pelan, “Mau.”
“Ayo.” Willa meraih tangan kiri Kiran dan di genggamnya sepanjang jalan.
Selama mencari jajanan pinggir jalan itu Kiran terus bertanya tentang apa saja makanan yang di sukai Willa atau makanan apa saja yang ngga di sukain, tempat-tempat favorit Willa yang lainnya selain museum seni dan tempat ngelukis.
Sebenarnya itu cuman jalan-jalan biasa, tapi terasa seperti date layaknya orang pacaran.
Di tengah mereka lagi menikmati telur gulung yang baru saja di beli, handphone Willa bergetar yang menandakan pesan masuk, setelah di lihat ternyata memang benar itu adalah pesan masuk.
Dari Kayla.
“Wil, kamu ngga apa-apa?” sahut Kiran.
“Hah? Ah, iya ngga apa-apa kok,” balas Willa.
“Siapa yang ngechat? Muka kamu keliatan masam gitu?” tanya Kiran.
“Ngga, bukan dari siapa-siapa, cuman orang salah sambung aja,” jawab Willa.
'Kayla, sampai lo sentuh barang-barang gue, habis lo.'
“Yaudah, ayo lanjut jalan!” ujar Kiran sambil menarik lengan Willa.
Fokus Willa terus berada di layar handphonenya sampai tiba di satu waktu telur gulung yang dia pegang jatuh gitu aja setelah membaca pesan terakhir di layar handphonenya itu.
“Willa, kamu kenapa?”
“Hah?”
Kiran mengerutkan dahinya dengan bingung dan sedikit khawatir.
Di tangkupnya wajah Willa dengan kedua tangannya.
“Kamu ngga lagi sakit kan?” seru Kiran menatap Willa dengan intens.
“Ran, kita balik sekarang ngga apa-apa kan?”
Kiran mengangguk, “Emang harusnya kita balik sekarang aja, aku takut kamu kenapa-kenapa.”
“Aku baik-baik aja kok, cuman ada urusan mendadak aja, gapapa kan?”
“Ngga apa-apa, Willa. Ayo pulang sekarang.”
Willa mengangguk lalu menarik Kiran menuju ke mobil dan segera mengantarkannya ke rumah. Setelah mengantar Kiran ke rumah barulah Willa langsung melesat menuju rumahnya.
“Willa ngga ada di rumah ya, Tante?” tanya Sheila menoleh ke arah Mamanya Willa.
“Tadi sih pamit sama orang rumah dia mau keluar jalan-jalan sama temennya.”
“Kayla kemana, Kal?” kini Sheila bertanya pada adik bungsunya itu.
“Ngga tau, tadi katanya mau ke atas ikut Papa,” jawab Kalendra dengan cuek.
Sheila menatap istri dari ayah tirinya itu, mengerti dengan arti tatapan Sheila, Mamanya Willa hanya tersenyum kecil.
“Asal Kayla jangan sampai masuk kamarnya Willa aja, dia ngga suka ada orang asing yang masuk ke dalam kamarnya.”
“Kayla kan bukan orang asing, Tante. Kita bertiga kan saudara satu ayah,” timpal Kalendra.
“Kalen, jaga omongannya!” tegur Sheila.
“Mama!” Suara teriakan yang sudah bisa di tebak siapa pemilik suara itu terdengar dengaj jelas sampai ke ruang santai.
“Mama!” teriak Willa.
“Hey, calm down sweetie!” sela Mamanya.
Willa menatap dua orang di belakang Mamanya yang tidak lain adalah Sheila dan Kalendra.
“Ah itu, Papa kamu minta buat makan malem bareng hari ini, Mama lupa buat ngasih tau kamu.”
“Ngga mau! Aku ngga mau makan satu meja sama Papa ataupun keluarganya!” tekan Willa. “Dimana Kayla?”
“Willa, sayang....”
“Kayla dimana, Ma?!”
“Ikut Papa ke lantai atas,” celetuk Kalendra.
Willa mendecih pelan, siapa dia berani-beraninya menelusuri rumahnya.
Willa dengan cepat berlari ke lantai atas lebih tepatnya ke kamarnya. Saat sampai di kamar, benar saja ada Kayla yang dengan lugasnya berjalan menyusuri kamar Willa.
“Keluar dari kamar gue!” ketus Willa. Kayla menoleh.
“Gue pikir lo ngga bakal pulang,” kata Kayla.
“Ini rumah gue jadi suka-suka gue mau pulang atau ngga,” ucap Willa. “Keluar dari kamar gue sekarang!”
“Bentar dong, gue kan baru masuk, gue masih mau lihat-lihat isi kamar lo.”
“Kayla, selagi gue masih minta baik-baik, keluar sekarang.”
“Kamar lo gede banget loh, bahkan ada piano, gitar, rak buku pribadi, alat-alat panahan, kayaknya lengkap ya.”
Willa memejamkan matanya dan menggepalkan kedua tangannya dengan kuat, berusaha meredam amarahya.
“Lo tuli apa gimana? Gue minta lo buat keluar dari kamar gue sekarang.”
“Woah? Ini panahan yang model keluaran terbaru kan? Setahu gue ini belum di jual di Indonesia,” sahut Kayla melihat salah satu alat panahan yang berjejer rapih.
“Kayla!” bentak Willa saat melihat Kayla yang mengambil salah satu panahan miliknya.
“Balikin itu ke tempatnya sekarang.”
“Lo tau? Gue iri lo bisa dapatin semuanya yang lo mau dengan gampangnya, lo minta di beliin alat panahan model terbaru pasti langsung di turutin sama Papa.”
“Itu yang beli Mama gue! Ngga ada sepeserpun uang Papa di keluarin buat beli apapun yang gue mau!” bentak Willa.
“Lo harus tau satu hal, uang yang di pakai bokap buat biayain kehidupan mewah lo, Mama lo dan dua saudara lo itu adalah uang dari keluarga Wirawan. Perusahaan tempat bokap kerja yang lo bangga-banggain sebagai perusahaan Papa lo pimpin itu adalah perusahan dari keluarga Wirawan juga. Rumah, mobil, villa, dan aset yang ada di tangan bokap sekarang semuanya atas nama gue!” tekan Willa.
“Jadi sebelum Mama atau gue tarik paksa semua yang ada di Papa sekarang, lo keluar dari kamar gue.”
Kayla tertawa kecil lalu mengangkat kedua bahunya dengan acuh. Dia kembali menaruh panahan itu ke tempatnya tapi mengambil lagi satu panahan yang selama ini selalu di jaga dengan baik oleh Willa.
Itu adalah panahan pertama dan satu-satunya yang di berikan oleh Papanya saat kelas 2 SMP.
“Demi Tuhan, Kayla, balikin itu ke tempatnya sekarang!”
“Lo kan udah punya banyak, gimana kalau yang satu ini buat gue aja?”
“Lo bisa ambil yang mana aja asal jangan yang itu! Balikin!”
“Wil, kok lo pelit banget sih sama saudara sendiri? Gue juga sadar diri kalau mau ngambil sesuatu, jadi gue pilih buat ngambil yang ini aja, lagian ini keliatan udah lama banget kan?”
“Jangan yang itu, gue bilang lo bisa ambil yang mana aja asal jangan dengan yang satu itu,” geram Willa.
“Kenapa sih? Gue ngambilnya yang paling murah loh ini?”
“Itu dari Papa, Kay! Balikin sekarang juga!” teriak Willa.
“Dari Papa?” gumam Kayla sambil tersenyum kecil.
Dalam sekejap mata Kayla merusak setiap bagian dari alat panahan itu, merusaknya hingga benar-benar semua bagiannya itu tidak dapat di gunakan lagi.
Willa terdiam mematung melihat alat panahan satu-satunya pemberian dari Papanya yang sejak dulu dia berusaha dengan susah payah untuk minta di belikan. Satu-satunya yang dia punya dari Papanya karena selama ini Willa tidak pernah sekalipun mendapatkan apa-apa dari sang Papa sejak dia masih kecil hingga sekarang.
“Ups, maaf gue gak sengaja.”
Willa mengatupkan rahangnya dengan keras, menatap Kayla dengan penuh amarah, berjalan menghampirinya dan memukul Kayla dengan kencang.
Kayla terjatuh di lantai sambil meringis kesakitan.
“Gue udah minta lo secara baik-baik buat keluar dari kamar gue, tapi lo malah sengaja bikin gue marah! Gue udah peringatin buat jangan sentuh apapun barang di kamar gue tapi lo malah ngerusak satu-satunya barang berharga buat gue!”
Willa terus menampar kedua pipi Kayla berkali-kali dengan posisi dirinya yang duduk tepat di atas badan Kayla. Teriakan kesakitan dari Kayla pun saling bersahut-sahutan.
“Lo, udah ngambil Papa dari gue! Lo udah bikin Papa jauh dari gue! Dan sekarang lo ngerusak satu-satunya barang dari Papa yang gue punya!”
“Willa! Apa-apaan kamu! stop mukul Kayla!” teriak Papanya yang kaget melihat Willa terus menampar Kayla tanpa henti lalu menarik Willa dengan paksa agar turun dari badan Kayla.
“Pa, Willa kasar, Pa!” adu Kayla sambil menangis.
“Willa! Kayla ini saudara kamu, gimana bisa kamu mukul dia kayak tadi?!”
“Aku ngga bakal mukul Kayla kalau dia ngga buat ulah lebih dulu!” ujar Willa.
“Tapi kamu ngga perlu sampai mukul dia, Willa!”
“Dia emang pantas buat di pukul, dia udah nge—”
PLAK
Tamparan keras melayang di pipi Willa tanpa di duga-duga.
“Papa sama Mama ngga pernah ngajarin kamu buat mukul orang, Willa!” tekas Papanya.
“Papa nampar aku cuman demi belain Kayla? Willa juga anak Papa Pa! Willa juga mau Papa belain Willa!” teriak Willa dengan kesal.
“Ada apa ini?” sahut Mamanya yang datang bersama Sheila dan Kalendra.
“Aku kecewa sama, Papa!” lirih Willa lalu berlari keluar dari rumahnya dengan kencang, tidak memperdulikan panggilan Mamanya dari belakang.
Willa terus berlari menjauh dari rumahnya, entah dia akan kemana yang terpenting adalah dia tidak ingin kembali ke rumah saat ini.
“Kiran...”
“Iya, Wil? Kenapa?” sahut Kiran dari sebrang telfon.
“Kamu pernah bilang kan, aku bisa nelfon kamu kalau aku pengen nangis?”
“Iya, Willa.”
“Kalau...hiks...kalau aku minta kamu buat dateng temuin aku sekarang bisa ngga? Aku...hiks...aku butuh kamu, Key.” ucap Willa sambil memukul pelan dadanya yang terasa sesak.
“Kamu dimana? Aku kesana sekarang, lagi di rumah kan?”
“Hiks...aku ngga tau, aku kabur dari rumah.”
“Kamu nyalain GPS kan? Tetap jaga hp kamu terus hidup, aku berangkat sekarang.”
Willa mengangguk pelan walau Kiran tidak bisa melihat dia sedang mengangguk. Setelah sambungan telfonnya putus Willa berjongkok sambil bersandar di batang pohon dan memeluk kedua kakinya dengan erat.
Mengeluarkan sisa tangisannya yang sempat tertahan tadi.
Willa bersumpah dia tidak akan pernah memaafkan Papanya dan keluarga barunya itu serta semua orang yang memiliki hubungan dengan istri Papanya.
Tidak akan pernah.