Sunsine


Pagi di musim semi itu membuat semua orang bersemangat memulai hari mereka tidak terkecuali dengan sekumpulan murid-murid SMA ini.

Berjalan melangkag ke arah gerbang sekolah dengan riangnya seolah-olah tidak akan ada hari yang buruk.

“Pagi! Tebak ini siapa?” seru seorang murid sambil menutup kedua mata salah satu murid di depannya.

“Winter, tanpa kamu tanyapun aku tau itu kamu,” balasnya.

Murid yang di panggil Winter itu tersenyum lalu melepaskan kedua tangannya.

“Tidak heran kamu bisa menebaknya, Karina,” ujar Winter.

“Selamat pagi juga, Kim Winter,” seru Karina mencium sekilas pipi gadis di sebelahnya lalu mengaitkan tangannya di lengan Winter.

“Udaranya masih dingin ya, tapi untunglah tidak sedingin saat awal bulan kemarin,” keluh Winter.

“Apa kamu masih menyalakan pemanasa di kamarmu?” tanya Karina.

“Tentu saja, kamu tau kan aku sangat gampang kedinginan.”

“Sebelum bel masuk, mau makan sup kimchi tidak? Aku membuatnya pagi tadi,” tawar Karina.

Winter langsung menoleh dan tersenyum lebar, mengangguk dengan semangat.

“Pacaran saja terus, tolong di ingat ini masih di sekolah!” sahut Ryujin teman Winter dengan raut julidnya.

“Maka dari itu lebih baik kamu segera mencari pacar, agar tidak sendiri terus!” balas Winter sambil memeletkan lidahnya dan kabur karena Ryujin langsung mengejarnya.

“Aku iri ke kamu, Rin. Winter tuh tipe pacar yang setia, tipe yang cukup satu aja asal bisa bikin dia bahagia,” ucap Giselle.

“Winter beruntung bisa dapatin kamu,” timpal Yeji.

“Justru aku yang beruntung bisa dapatin Winter, aku malah merasa kurang buat dia,” kata Karina.

“Tapi kamu cantik, sudah jangan insecure begitu!” celetuk Lia lalu mendorong ketiga orang itu untuk segera menuju ke dalam kelas.


“Pelan-pelan makannya, nanti tumpah,” tegur Karina sambil membersihkan ujung bibir Winter.

“Ini enak, apa aku bisa memakannya lagi besok?” seru Winter.

“Tentu saja, tapi kamu harus datang lebih awal lagi,” balas Karina.

“Kamu sudah sarapan kan? Mau makan sama-sama?”

“Tidak usah, kamu saja. Aku sudah kenyang dengan melihat kamu makan.”

Winter menggelengkan kepalanya dengan tegas.

No! Kamu juga harus makan, kalau sakit bagaimana? Ayo sini mendekat, aku suapin,” tekas Winter.

Karina tersenyum teduh, inilah yang dia suka dari sisi lembut Winter.

“Buka mulutnya, aaaa!” Winter menyuapi Karina lalu menyeka sudut bibir Karina memastikan tidak ada kotoran disana.

“Besok nanti aku bawa telur gulung, itu kesukaan kamu kan?” ucap Winter. Karina mengangguk.

“Jangan hanya mikirin aku terus, sekali-sekali kamu harus mikirin diri kamu juga, kalau kamu sakit nanti aku merasa bersalah sebagai pacar kamu, jadi jangan sakit, oke?”

“Iya, janji!” balas Karina.

“Tapi, Winter...”

“Iya? Kenapa?”

“Aku penasaran sama satu hal,” ujar Karina.

“Tentang?” Winter kembali menyuapi Karina sebelum memakan bagiannya.

“Apa kamu tidak bosan pacaran sama aku? Kita sudah pacaran sejak dari kelas 1 dan sekarang kita kelas 3, itu berarti sudah berjalan hampir 2 tahun,” ucap Karina.

Winter menghentikan aktivitasnya lalu menatap Karina dengan lekat, di elusnya rambut Karina dengan lembut.

“Kenapa bertanya seperti itu? Bukankah sikap aku selama ini sudah jadi jawabannya? Kenapa? Kamu bosan ya? Maaf kalau kamu merasa begitu,” ujar Winter.

“Tidak! Bukan seperti itu! Siapa bilang aku bosan? Aku hanya ingin tau saja, apa kamu tidak tertarik dengan orang lain yang lebih cantik dari aku?”

“Karina, dengar, mau sebanyak apapun orang-orang yang lebih cantik dari kamu aku tidak perduli, bagi aku kamu yang paling tercantik, kamu bukan hanya cantik di wajah saja tapi hati kamu juga sama cantiknya. Aku mungkin bisa saja menemukan yang lebih cantik dari kamu saat ini tapi belum tentu dia memiliki hati yang cantik seperti kamu,” jelas Winter.

“Aku sudah janji kan akan jadiin kamu satu-satunya pacar aku apapun yang terjadi, aku cuman butuh kamu dan cukup kamu.”

Ini adalah kalimat terindah yang pernah Karina dengar seumur hidupnya, benar-benar sangat indah sampai membuatnya tersetuh.

“Tuh kan kamu mau menangis lagi, inilah sebabnya kenapa aku jarang memuji kamu karena pasti kamu menangis setelahnya, aku tidak suka kamu menangis apalagi kalau itu karena aku, sudah jangan menangis!” celetuk Winter yang dengan cepat menyeka ujung mata Karina agar air matanya tidak jatuh.

“Janji jangan pergi tinggalin aku, ya, Win!” ucap Karina.

“Iya, janji!” balas Winter sambil mengelus pipi Karina.

“Jika ingin bermesraan tolong di tempat lain, jangan di kelas!” sahut Yujin.

“Yujin diam, jangan menganggu orang lain!” omel Minju menjewer telinga kekasihnya membuat Winter dan Karina tertawa.

“Kiran stop gosokin minyak telonnya ke aku!” dumel Willa.

“Ihh, wangi tau!” seru Kiran.

“Iya, wangi, tapi nanti kamu manggil aku bayi terus,” dengus Willa menatap Kiran dengan horor.

Sementara Kiran hanya tertawa kecil melihat reaksi Willa itu. Lucu.

“Kamu kalau lagi marah malah lucu tau ngga,” ucap Kiran memasukan botol minyak telon ke tasnya.

“Kamu juga sama, malah lebih gemes kamu kalau lagi marah, kayak anak kecil yang permennya di ambil orang,” balas Willa. Kiran mendengus pelan.

“Ngga ada juga ya bayi kayak aku ini bisa bikin orang salting sampai muka sama telinganya merah.”

“Emang kamu pernah bikin orang lain salting?” tanya Kiran.

“Pernah lah!”

“Siapa?”

“Kamu,” jawab Willa. “Kamu ngga inget gitu muka kamu langsung merah pas aku cium di cooking class waktu itu?”

Mendengar ucapan Willa itu kembali membuat Kiran malu bukan main, daun telinganya bahkan sudah merah sekarang.

Willa terkekeh, “Tuh liat, telinga kamu udah merah. Kamu ngebayangin apa ayo?”

“Willa diem! Jangan ngomong lagi!” omel Kiran.

“Wkwk tuh kan, kamu kalau marah malah gemes kayak anak kecil,” tawa Willa.

“Willa ihh, jangan ngomong gitu! Aku tambah malu tau ngga!”

“Hahaha iya, iya, aku diem!” ucap Willa.

“Gemes banget kenapa sih!” Willa meletakan kedua tangannya di pipi Kiran dan kemudian mencubitnya dengan gemas.

“Ayo, kita cari jajanan di pinggir jalan, telur gulung mau?”

Kiran mengangguk pelan, “Mau.”

“Ayo.” Willa meraih tangan kiri Kiran dan di genggamnya sepanjang jalan.

Selama mencari jajanan pinggir jalan itu Kiran terus bertanya tentang apa saja makanan yang di sukai Willa atau makanan apa saja yang ngga di sukain, tempat-tempat favorit Willa yang lainnya selain museum seni dan tempat ngelukis.

Sebenarnya itu cuman jalan-jalan biasa, tapi terasa seperti date layaknya orang pacaran.

Di tengah mereka lagi menikmati telur gulung yang baru saja di beli, handphone Willa bergetar yang menandakan pesan masuk, setelah di lihat ternyata memang benar itu adalah pesan masuk.

Dari Kayla.

“Wil, kamu ngga apa-apa?” sahut Kiran.

“Hah? Ah, iya ngga apa-apa kok,” balas Willa.

“Siapa yang ngechat? Muka kamu keliatan masam gitu?” tanya Kiran.

“Ngga, bukan dari siapa-siapa, cuman orang salah sambung aja,” jawab Willa.

'Kayla, sampai lo sentuh barang-barang gue, habis lo.'

“Yaudah, ayo lanjut jalan!” ujar Kiran sambil menarik lengan Willa.

Fokus Willa terus berada di layar handphonenya sampai tiba di satu waktu telur gulung yang dia pegang jatuh gitu aja setelah membaca pesan terakhir di layar handphonenya itu.

“Willa, kamu kenapa?”

“Hah?”

Kiran mengerutkan dahinya dengan bingung dan sedikit khawatir.

Di tangkupnya wajah Willa dengan kedua tangannya.

“Kamu ngga lagi sakit kan?” seru Kiran menatap Willa dengan intens.

“Ran, kita balik sekarang ngga apa-apa kan?”

Kiran mengangguk, “Emang harusnya kita balik sekarang aja, aku takut kamu kenapa-kenapa.”

“Aku baik-baik aja kok, cuman ada urusan mendadak aja, gapapa kan?”

“Ngga apa-apa, Willa. Ayo pulang sekarang.”

Willa mengangguk lalu menarik Kiran menuju ke mobil dan segera mengantarkannya ke rumah. Setelah mengantar Kiran ke rumah barulah Willa langsung melesat menuju rumahnya.


“Willa ngga ada di rumah ya, Tante?” tanya Sheila menoleh ke arah Mamanya Willa.

“Tadi sih pamit sama orang rumah dia mau keluar jalan-jalan sama temennya.”

“Kayla kemana, Kal?” kini Sheila bertanya pada adik bungsunya itu.

“Ngga tau, tadi katanya mau ke atas ikut Papa,” jawab Kalendra dengan cuek.

Sheila menatap istri dari ayah tirinya itu, mengerti dengan arti tatapan Sheila, Mamanya Willa hanya tersenyum kecil.

“Asal Kayla jangan sampai masuk kamarnya Willa aja, dia ngga suka ada orang asing yang masuk ke dalam kamarnya.”

“Kayla kan bukan orang asing, Tante. Kita bertiga kan saudara satu ayah,” timpal Kalendra.

“Kalen, jaga omongannya!” tegur Sheila.

“Mama!” Suara teriakan yang sudah bisa di tebak siapa pemilik suara itu terdengar dengaj jelas sampai ke ruang santai.

“Mama!” teriak Willa.

“Hey, calm down sweetie!” sela Mamanya.

Willa menatap dua orang di belakang Mamanya yang tidak lain adalah Sheila dan Kalendra.

“Ah itu, Papa kamu minta buat makan malem bareng hari ini, Mama lupa buat ngasih tau kamu.”

“Ngga mau! Aku ngga mau makan satu meja sama Papa ataupun keluarganya!” tekan Willa. “Dimana Kayla?”

“Willa, sayang....”

“Kayla dimana, Ma?!”

“Ikut Papa ke lantai atas,” celetuk Kalendra.

Willa mendecih pelan, siapa dia berani-beraninya menelusuri rumahnya.

Willa dengan cepat berlari ke lantai atas lebih tepatnya ke kamarnya. Saat sampai di kamar, benar saja ada Kayla yang dengan lugasnya berjalan menyusuri kamar Willa.

“Keluar dari kamar gue!” ketus Willa. Kayla menoleh.

“Gue pikir lo ngga bakal pulang,” kata Kayla.

“Ini rumah gue jadi suka-suka gue mau pulang atau ngga,” ucap Willa. “Keluar dari kamar gue sekarang!”

“Bentar dong, gue kan baru masuk, gue masih mau lihat-lihat isi kamar lo.”

“Kayla, selagi gue masih minta baik-baik, keluar sekarang.”

“Kamar lo gede banget loh, bahkan ada piano, gitar, rak buku pribadi, alat-alat panahan, kayaknya lengkap ya.”

Willa memejamkan matanya dan menggepalkan kedua tangannya dengan kuat, berusaha meredam amarahya.

“Lo tuli apa gimana? Gue minta lo buat keluar dari kamar gue sekarang.”

“Woah? Ini panahan yang model keluaran terbaru kan? Setahu gue ini belum di jual di Indonesia,” sahut Kayla melihat salah satu alat panahan yang berjejer rapih.

“Kayla!” bentak Willa saat melihat Kayla yang mengambil salah satu panahan miliknya.

“Balikin itu ke tempatnya sekarang.”

“Lo tau? Gue iri lo bisa dapatin semuanya yang lo mau dengan gampangnya, lo minta di beliin alat panahan model terbaru pasti langsung di turutin sama Papa.”

“Itu yang beli Mama gue! Ngga ada sepeserpun uang Papa di keluarin buat beli apapun yang gue mau!” bentak Willa.

“Lo harus tau satu hal, uang yang di pakai bokap buat biayain kehidupan mewah lo, Mama lo dan dua saudara lo itu adalah uang dari keluarga Wirawan. Perusahaan tempat bokap kerja yang lo bangga-banggain sebagai perusahaan Papa lo pimpin itu adalah perusahan dari keluarga Wirawan juga. Rumah, mobil, villa, dan aset yang ada di tangan bokap sekarang semuanya atas nama gue!” tekan Willa.

“Jadi sebelum Mama atau gue tarik paksa semua yang ada di Papa sekarang, lo keluar dari kamar gue.”

Kayla tertawa kecil lalu mengangkat kedua bahunya dengan acuh. Dia kembali menaruh panahan itu ke tempatnya tapi mengambil lagi satu panahan yang selama ini selalu di jaga dengan baik oleh Willa.

Itu adalah panahan pertama dan satu-satunya yang di berikan oleh Papanya saat kelas 2 SMP.

“Demi Tuhan, Kayla, balikin itu ke tempatnya sekarang!”

“Lo kan udah punya banyak, gimana kalau yang satu ini buat gue aja?”

“Lo bisa ambil yang mana aja asal jangan yang itu! Balikin!”

“Wil, kok lo pelit banget sih sama saudara sendiri? Gue juga sadar diri kalau mau ngambil sesuatu, jadi gue pilih buat ngambil yang ini aja, lagian ini keliatan udah lama banget kan?”

“Jangan yang itu, gue bilang lo bisa ambil yang mana aja asal jangan dengan yang satu itu,” geram Willa.

“Kenapa sih? Gue ngambilnya yang paling murah loh ini?”

“Itu dari Papa, Kay! Balikin sekarang juga!” teriak Willa.

“Dari Papa?” gumam Kayla sambil tersenyum kecil.

Dalam sekejap mata Kayla merusak setiap bagian dari alat panahan itu, merusaknya hingga benar-benar semua bagiannya itu tidak dapat di gunakan lagi.

Willa terdiam mematung melihat alat panahan satu-satunya pemberian dari Papanya yang sejak dulu dia berusaha dengan susah payah untuk minta di belikan. Satu-satunya yang dia punya dari Papanya karena selama ini Willa tidak pernah sekalipun mendapatkan apa-apa dari sang Papa sejak dia masih kecil hingga sekarang.

“Ups, maaf gue gak sengaja.”

Willa mengatupkan rahangnya dengan keras, menatap Kayla dengan penuh amarah, berjalan menghampirinya dan memukul Kayla dengan kencang.

Kayla terjatuh di lantai sambil meringis kesakitan.

“Gue udah minta lo secara baik-baik buat keluar dari kamar gue, tapi lo malah sengaja bikin gue marah! Gue udah peringatin buat jangan sentuh apapun barang di kamar gue tapi lo malah ngerusak satu-satunya barang berharga buat gue!”

Willa terus menampar kedua pipi Kayla berkali-kali dengan posisi dirinya yang duduk tepat di atas badan Kayla. Teriakan kesakitan dari Kayla pun saling bersahut-sahutan.

“Lo, udah ngambil Papa dari gue! Lo udah bikin Papa jauh dari gue! Dan sekarang lo ngerusak satu-satunya barang dari Papa yang gue punya!”

“Willa! Apa-apaan kamu! stop mukul Kayla!” teriak Papanya yang kaget melihat Willa terus menampar Kayla tanpa henti lalu menarik Willa dengan paksa agar turun dari badan Kayla.

“Pa, Willa kasar, Pa!” adu Kayla sambil menangis.

“Willa! Kayla ini saudara kamu, gimana bisa kamu mukul dia kayak tadi?!”

“Aku ngga bakal mukul Kayla kalau dia ngga buat ulah lebih dulu!” ujar Willa.

“Tapi kamu ngga perlu sampai mukul dia, Willa!”

“Dia emang pantas buat di pukul, dia udah nge—”

PLAK

Tamparan keras melayang di pipi Willa tanpa di duga-duga.

“Papa sama Mama ngga pernah ngajarin kamu buat mukul orang, Willa!” tekas Papanya.

“Papa nampar aku cuman demi belain Kayla? Willa juga anak Papa Pa! Willa juga mau Papa belain Willa!” teriak Willa dengan kesal.

“Ada apa ini?” sahut Mamanya yang datang bersama Sheila dan Kalendra.

“Aku kecewa sama, Papa!” lirih Willa lalu berlari keluar dari rumahnya dengan kencang, tidak memperdulikan panggilan Mamanya dari belakang.

Willa terus berlari menjauh dari rumahnya, entah dia akan kemana yang terpenting adalah dia tidak ingin kembali ke rumah saat ini.

“Kiran...”

“Iya, Wil? Kenapa?” sahut Kiran dari sebrang telfon.

“Kamu pernah bilang kan, aku bisa nelfon kamu kalau aku pengen nangis?”

“Iya, Willa.”

“Kalau...hiks...kalau aku minta kamu buat dateng temuin aku sekarang bisa ngga? Aku...hiks...aku butuh kamu, Key.” ucap Willa sambil memukul pelan dadanya yang terasa sesak.

“Kamu dimana? Aku kesana sekarang, lagi di rumah kan?”

“Hiks...aku ngga tau, aku kabur dari rumah.”

“Kamu nyalain GPS kan? Tetap jaga hp kamu terus hidup, aku berangkat sekarang.”

Willa mengangguk pelan walau Kiran tidak bisa melihat dia sedang mengangguk. Setelah sambungan telfonnya putus Willa berjongkok sambil bersandar di batang pohon dan memeluk kedua kakinya dengan erat.

Mengeluarkan sisa tangisannya yang sempat tertahan tadi.

Willa bersumpah dia tidak akan pernah memaafkan Papanya dan keluarga barunya itu serta semua orang yang memiliki hubungan dengan istri Papanya.

Tidak akan pernah.


Terhitung sudah satu minggu ini Wina menghindari dan tidak ingin bertemu Karina serta Gia, Wina juga sering mengurung dirinya di dalam kamar saat Karina dan Gia datang untuk berkunjung.

Karina tidak tahu lagi harus bagaimana, dia juga lelah karena Wina yang terus saja menolak untuk bertemu dengannya. Pada akhirnya Karina berhenti untuk menemui Wina dan menghubunginya lagi, Karina kembali pada aktivitasnya seperti biasa yaitu membantu sang kakak di toko kue.

“Kamu tidak pergi menemani Wina lagi untuk mengajari anak-anak?” tanya sang kakak.

Tidak, sudah satu minggu ini Wina menghindariku, aku juga tidak tahu salahku dimana.”

“Wina menghindari kamu? Apa kalian punya masalah?”

Kami baik-baik saja tapi entah kenapa tiba-tiba Wina tidak ingin bertemu denganku.”

“Mungkin dia sedang memiliki masalah, coba kamu temui dia sekali lagi ajak dia bicara dengan tenang, kakak yakin pasti semuanya bisa selesai.”

Karina menatap kakaknya yang juga ternyata sang kakak sedang menatapnya dengan senyuman.

“Ayo coba sekali lagi, adik kakak bukan tipe orang yang gampang menyerah loh.”

Karina seketika menatap jam dinding yang berada di toko itu. Pukul 12.05.

5 menit lagi jam Wina yang biasanya mengajari anak-anak di taman akan selesai. Karina akan mencarinya lebih dulu di taman, jika beruntung mungkin dia akan bertemu Wina disana.

Aku pergi dulu kak!”

Kakaknya tersenyum lega melihat sang adik yang setidaknya sudah lebih bersemangat sedikit.

Karina berlari dari toko kue kakaknya menuju taman yang sejak 2 bulan lalu dia kunjungi itu. Tanpa berhenti Karia terus berlari melewati beberapa orang dan kendaraan yang hampir saja menabraknya.

Karina berhenti sejenak menarik nafasnya dengan dalam saat sudah sampai di taman, pandangannya dia edarkan ke seluruh sudut taman berharap menemukan sosok yang dia cari.

Dan BINGO

Karina melihat Wina yang baru saja selesai mengajari anak-anak seperti biasa. Dengan cepat Karina kembali berlari menuju ke tempat Wina.


Wina baru saja selesai mengajari anak-anak didiknya seperti biasanya, setelah semua anak-anak itu pergi Wina segera membereskan barang-barangnya.

Wina terlonjak kaget saat ada seseorang yang meraih tangannya dan orang itu tidak lain adalah Karina.

“Sekar?” gumam Wina.

Bisa dia lihat dari gurat wajahnya, Karina seolah bertanya 'kenapa selalu menghindar'

“Maaf, Sekar, kita bicara nanti saja!” ucap Wina menepis tangan Karina tapi kembali di tahan.

“Sekar, lepas!” Karina menggeleng dengan keras dan semakin mempererat genggaman tangannya.

“Sakit, Sekar,” ringis Wina.

Kalau aku memang punya salah sama kamu, aku minta maaf. Tapi tolong jangan menghindar terus seperti ini.”

Aku tidak tahu salah aku dimana, kamu tau kalau aku sayang sama kamu jadi tolong kita bicara baik-baik, aku mohon.”

Melihat kedua mata Karina yang mulai berair membuat Wina merasa menyesal karena menghindarinya selama ini padahal Karina tidak ada salah apapun.

Yang salah adalah dia yang terlalu berharap sebuah kebahagiaan untuk orang yang penuh akan kekurangan.

Karina meraih kedua tangan Wina dan menggenggamnya dengan lembut sambil menatap Wina.

“Maaf, aku seharusnya tidak menghindari kamu,” lirih Wina.

Tidak, aku yang seharusnya minta maaf, aku minta maaf karena tidak bisa mengerti keadaan kamu seperti apa.”

Sekarang kamu cerita ya? Supaya aku bisa tau dan bisa bantu kamu.”

“Waktu itu setelah aku pulang ada seseorang yang aku kenal datang mengajak aku bicara, dia menanyakan kabar aku, bagaimana kehidupan aku sekarang dan apa aku sudah memiliki pacar apa belum. Aku sedikit kaget karena dia bisa melakukan bahasa isyarat, tapi aku tetap berusaha menjawab pertanyaannya.”

“Dan saat aku bilang aku belum memiliki pacar dia meminta aku untuk jadi pacarnya,”

Lalu? Apa kamu terima dia?”

Wina menggeleng, “Aku menolak tapi dia terus memaksa, karena aku kesal aku tidak sengaja memukul dadanya yang membuat dia nampar aku, dia terus nampar aku, aku mungkin tidak mendengar apa yang dia katakan tapi aku bisa membaca gerak bibirnya dengan jelas, dia mengataiku jalang dan cacat, dia juga mengatakan aku tidak berhak bahagia karena tidak ada yang mau menerima orang cacat, karena itu jadi takut menemui kamu.”

Karina menarik Wina ke dalam pelukannya saat melihat dia mulai menangis. Karina mengusap-ngusap punggung dan kepala Wina dengan pelan untuk memberikannya ketenangan.

Karina melepaskan pelukannya dan menyeka air mata Wina yang terbuang dengan sia-sia hanya karena orang tidak punya hati seperti itu.

Wina, lihat aku. Kamu itu bukan orang cacat, jalang, ataupun orang yang tidak berhak untuk bahagia, kamu itu seseorang yang spesial, seseorang yang paling sempurna yang pernah aku kenal dan aku temui. Aku sudah pernah bilang bahwa kamu hanya akan pantas untuk seseorang yang menganggap kamu sebagai seseorang yang pantas untuk bersanding dengan dia.”

Aku pernah bilang kalau aku akan menjadi telinga untuk kamu dan sekarang aku juga akan menjadi seseorang yang menyayangi kamu lebih dari apapun di dunia ini...

Aku sayang kamu, Wina. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang kamu banggakan di dunia ini sebagai pacar kamu yang sempurna dari yang tersempurna.”

“Sekar, itu semua tidak gampang, kamu tau sendiri kita punya kekurangan yang mungkin suatu saat nanti bisa jadi alasan kita pisah.”

Karina terlihat murung, apa itu berarti Wina tidak ingin mencobanya walaupun hanya sekali saja?

Wina tersenyum kecil, “Tapi aku yakin Tuhan punya rancana yang indah di akhir cerita, bener kan?”

Karina menatap Wina dengan tatapan bingungnya membuat Wina tertawa gemas lalu memeluknya kembali.

“Aku akan berusaha untuk mencoba dan sama-sama berjuang bersama kamu, asalkan kamu mau tetap menjadi telinga buat aku,” bisik Wina.

Dalam diamnya Karina tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Mulai hari ini sampai seterusnya dia akan menjadi telinga untuk Wina, hanya akan memberitahunya tentang kalimat terindah dan tidak akan membiarkan Wina menerima kalimat yang tidak berguna untuknya.

.

“Tuhan, hampir saja aku menangis setiap hari di depanmu hanya untuk melihat agar kedua orang itu berhak mendapatkan apa yang mereka pantas dapatkan,” gumam Gia sambil menatap Sekarina dan Winarsya dari kejauhan.


Karina dengan senyum yang mengembang mengayuh sepedanya menuju taman yang biasa dia, Gia dan Wina kunjungi saat mengajari anak-anak. Karina benar-benar sangat bersemangat hari ini, entah karena dia akan bertemu Wina atau ada hal yang lain.

Senyumannya semakin mengembang saat melihat Wina yang sedang duduk di bangku taman biasanya.

Karina turun dari sepedanya dan menghampiri Wina lalu menepuk bahu gadis cantik itu.

Wina menoleh.

Sudah lama menunggu?”

“Tidak, aku baru saja duduk disini,” jawab Wina sambil tersenyum.

Karina merapihkan rambut Wina yang sedikit berantakan sebelum kembali berkata.

Ingin pergi sekarang? Atau kamu masih menunggu seseorang disini?”

“Haha, memangnya siapa yang ingin aku tunggu disini selain kamu? Ayo, aku tidak sabar ingin mencicipi masakan kamu!” seru Wina meraih tangan Karina dan berjalan menuju sepeda mereka yang di parkir tidak jauh.

Karina yang melihat tangannya di genggam itu tersenyum manis, ini pertama kalinya Wina menggenggam tangannya.

Singkat cerita, keduanya sudah sampai di rumah Karina yang tidak terlalu besar tidak juga terlalu kecil. Sederhana tapi terlihat mewah di mata Wina.

Ayo kita langsung ke dapur, aku sudah memberitahu kakak kalau kamu akan datang ke rumah jadi jangan takut.”

Wina melangkah mengikuti Karina yang menuju dapur dari belakang, dia sempat melihat beberapa foto kecil Karina di ruang tamu.

Kamu ingin makan apa?”

“Ehm, aku juga sebenarnya tidak tau ingin makan apa, terserah kamu saja ingin memasak apa,” balas Wina.

Bagaimana dengan tumis jamur tiram dan sup bayam jagung? Kamu suka itu kan?”

Wina mengangguk dengan semangat, “Tentu saja aku suka!”

Oke, tetap duduk saja disitu, biar aku saja yang memasak.”

“Apa tidak mau aku bantu?” tanya Wina.

Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Tidak perlu khawatir.”

Mendengar itu Wina mengangguk kecil lalu melihat Karina yang sibuk berkutat dengan bahan-bahan masakan.

Melihat Karina yang rambutnya di kuncir satu dan sibuk memasak itu membuat Wina sangat takjub. Sekeren dan secantik itu Karina jika di lihat dengan seksama seperti sekarang ini.

Bohong jika Wina mengatakan Karina tidak cantik, karena faktanya Karina memang benar-benar sangat cantik, bukan hanya wajahnya saja tapi juga hatinya.

Setelah sebulan mengenal Karina, Wina jadi semakin tau sisi lain dari Karina. Bagi Wina Karina benar-benar sangat perhatian walau hal sekecil apapun itu, Karina selalu mendahulukan dirinya dalam semua hal, Karina selalu bersikap seperti orang yang sempurna untuk menutupi kekurangannya padahal Karina juga memiliki kekurangan.

Wina sangat berterima kasih pada Tuhan karena sudah mempertemukan mereka sebagai dua orang yang sempurna di mata-Nya.

Karina adalah orang yang paling sempurna yang pernah dia temui di dunia ini.

“Sekar, aku jadi berfikir bagaimana jika kita tidak bertemu saat itu? Bagaimana jika aku pindah ke tempat lain untuk mengajari anak-anak belajar? Bagaimana jika kamu tidak melihatku di taman saat itu dan tidak menghampiriku? Apa kita bisa kenal dan sedekat seperti sekarang ini?” sahut Wina secara tiba-tiba.

Karina tersenyum mendengar ucapan Wina itu dengan kedua tangannya yang sibuk bekerja.

Hanya dengan melihat senyuman Karina itu, Wina bisa tau apa balasan dari Karina.


Selesai memasak dan menghabiskan makanannya, Karina mengajak Wina untuk melihat-lihat isi rumahnya termasuk foto-foto Karina yang berada di ruang tamu tadi.

“Ini saat kamu umur berapa tahun? Lucu,” seru Wina.

Itu saat aku umur 5 tahun.”

“Curang, kamu bahkan sudah terlihat sangat cantik di usia 5 tahun,” ujar Wina yang membuat Karina tertawa gemas.

Aku punya banyak foto-foto saat masih kecil kalau kamu ingin melihatnya!”

“Ohya? Kalau begitu ayo tunjukkan, aku ingin melihatnya!”

Ayo ke kamarku, semuanya ada disana.” Karina meraih tangan Wina dan menariknya menuju ke dalam kamarnya.

Saat masuk ke dalam kamar Karina benar saja, foto-foto masa kecilnya sampai dia SMA terpampang semua.

“Wah, kamu punya banyak foto kenangan saat masih kecil sampai menuju dewasa,” ucap Wina. “Kamu pernah memenangkan kompetisi piano?!”

Wina menatap Karina dengan takjub, “Itu saat aku kelas 2 SMP.”

“Kamu benar-benar sangat hebat.”

Kamu juga jauh lebih hebat jadi jangan berkecil hati!”

Wina tertawa kecil saat Karina mengacak rambutnya dengan pelan.

“Sekar?” seru Wina.

Karina menatap Wina dengan kedua alisnya yang terangkat.

“Aku boleh peluk kamu tidak?” tanya Wina.

Boleh, kapanpun kamu ingin memelukku kamu bisa peluk aku tanpa harus bertanya.”

Wina tersenyum hangat lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Karina dan memeluknya dengan erat, menghirup wangi parfum khas Karina.

“Aku senang bisa kenal kamu, terima kasih sudah banyak membantu dan menghabiskan hari denganku, maaf kalau sudah membuat kamu repot.”

Karina mendorong bahu Wina dengan pelan dan menatapnya dengan teduh.

Aku akan jadi telinga buat kamu selama kita masih bersama-sama, jadi cukup terus bareng aku dan tidak perlu merasa bersalah!”

Terima kasih juga karna kamu dengan senang hati mengajak aku kenalan waktu itu.”

Karina tersenyum simpul lalu memegang kedua bahu Wina kemudian mencium dahi Wina selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali membawa Wina ke dalam pelukannya.

Wina yang berada dalam pelukan Karina itu tersenyum bahagia, rasanya ada ribuan kupu-kupu yang memenuhi perutnya saat ini.

Wina terus tersenyum sepanjang jalan sambil mengayuh sepeda keranjangnya untuk mengantar bunga-bunga. Entah kenapa dia jadi lebih bersemangat di banding hari-hari yang biasanya.

Sekarina, seseorang yang berhasil membuatnya kembali senang saat mengetahuin ada seseorang yang seperti dirinya. Sungguh, dari dulu Wina sangat berharap dia bisa bertemu dengan seseorang yang bisa mengerti dengan dirinya yang tidak sempurna ini dan sekarang akhirnya keinginannya itu terkabul.

Mereka berdua memang baru bertemu dan saling mengenal kemarin tapi rasanya seperti mereka sudah berteman lama.

Wina menghentikan kayuhan sepedanya dan segera masuk ke dalam toko bunga tempat dia bekerja paruh waktu.

“Kak, hari ini sudah selesai, Wina pamit dulu ya!” seru Wina pada pemilik toko bunga itu.

Ah iya, terima kasih ya, Wina. Hati-hati di jalan!”

“Iya kak, sama-sama. Sampai jumpa besok!”

Wina keluar dari toko bunga dengan senyuman lebarnya, dia berharap hari-harinya akan terus seperti ini kedepannya.

Sambil mengayuh sepedanya untuk menuju taman yang biasa ia mengajarkan anak-anak Wina tersenyum dan sesekali menyapa para pejalan kaki dengan semangat.

“Kenapa aku tiba-tiba jadi bersemangat seperti ini?” seru Wina lalu tertawa kecil.

Setelah sampai di taman sudah ada beberapa anak yang menunggunya disana, Wina melambaikan tangannya ke udara.

Kalian datang lebih awal, padahal masih ada waktu 20 menit lagi.”

Kami sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kakak, kami juga sudah tidak sabar untuk belajar lebih banyak lagi!”

Waah, kalian sangat suka belajar ya ternyata. Ayo bantu kak Wina dulu untuk mengalas tempat duduk kalian.”

Beberapa anak yang sudah datang itu mengangguk dengan semangat lalu membantu Wina membuka alas tikar yang tidak terlalu besar untuk tempat mereka duduk nanti.

Di tengah kesibukan mereka Karina datang dengan beberapa buku di kedua tangannya.

Salah satu anak yang melihat kedatangan Karina itu langsung menyentuh bahu Wina.

Kak, itu ada kakak yang kemarin datang kesini.

Wina seketika menoleh, “Sekar?”

Dengan cepat dia berdiri dan meraih buku-buku yang sedang di pegang oleh Karina.

“Kenapa tidak memberitahu aku jika kamu sudah disini?” sahut Wina, Karina hanya tersenyum lembut.

Apa anak-anak yang lain bisa membaca?” tanya Karina.

“Bisa, ada beberapa dari mereka yang bisa membaca. Terima kasih sudah membawakan buku-buku ini, padahal kamu tidak perlu repot-repot,” balas Wina.

Tidak apa-apa, aku senang bisa memberikan sesuatu pada mereka.”

Wina tersenyum manis, tidak pernah dia merasa sebahagia ini bisa di bantu oleh seseorang.

“Cantik,” batin Karina saat melihat Wina yang tersenyum pada anak-anak di depannya.

Setelah anak-anak yang di ajari Wina sudah terkumpul semuanya, Wina memulai kegiatan mengajarnya seperti biasanya terkadang Karina juga ikut membantu dan terkadang juga Karina hanya berdiam diri sambil memperhatikan Wina.

Di tengah-tengah kegiatan mengajar Wina, Gia yang tidak lain adalah teman Karina datang sambil membawa beberapa kantong kresek supermarket di tangannya.

“Jadi dia Wina yang sempat kamu ceritakan kemarin itu?” bisik Gia. Karina mengangguk sambil tersenyum.

“Dia lebih cantik dari dugaan aku.”

Sangat cantik,” balas Karina yang tentu saja tidak di mengerti oleh Gia.

“Wah, lihat! Kita sepertinya kedatangan tamu lagi!” seru Wina sambil memberikan bahasa isyarat pada anak-anak yang tidak bisa mendengar.

Wina memanggil Gia untuk segera mendekat padanya dan memberikan salam perkenalan pada anak-anak.

“Apa aku harus memperkenalkan nama? Tapi bagaimana caranya? Aku ngga terlalu tau bahasa isyarat,” ucap Gia dengan sungkan.

Wina menatap Karina karena tidak tahu apa yang di ucapkan Gia baru saja. Dengan telaten Karina memberitahu Wina dengan menggunakan bahasa isyarat.

“Perkenalkan saja seperti biasa, Sekar akan membantu untuk menjermahkannya pada anak-anak,” balas Wina.

Gia mengangguk, “Nama kakak, Gianindra. Tapi karena terlalu panjang untuk disebut, panggil saja kak Gia.”

Karina tertawa kecil sebelum akhirnya menerjemahkannya menggunakan bahasa isyarat.

“Wah, nama yang cantik,” puji Wina. “Nama yang apa?”

Cantik!”

Tapi kakak ini sedikit aneh, jadi kalian harus berhati-hati dengannya.”

Wina dan anak-anak itu tertawa setelah penjelasan Karina baru saja.

“Apa? Kenapa kalian tertawa? Dia baru saja mengatakan apa?” timpal Gia sambil menunjuk Karina.

Wina mungkin tidak mendengar ucapan Gia itu tapi dia yakin jika Gia menanyakan apa yang baru saja di katakan oleh Karina dengan bahasa isyarat tadi.

“Kata Sekar kamu sedikit aneh dan anak-anak di minta untuk hati-hati ke kamu,” ucap Wina.

“Sekarina! Lihat saja habis ini!” geram Gia.


Saat ini Karina, Wina dan Gia sedang duduk santai di salah satu bangku taman, setelah selesai mengajari anak-anak dan juga Gia untuk belajar bahasa isyarat mereka membagikan bingkisan berupa snack-snack yang di belikan oleh Gia.

“Jadi jika seperti ini artinya maaf dan yang ini aku baik-baik saja, benar bukan?” tanya Gia sambil memperagakan gerakan bahasa isyarat yang baru saja dia pelajari.

Karina dan Wina mengangguk secara bersamaan.

“Iya, benar. Kamu sangat cepat mempelajarinya,” seru Wina.

“Haha, tentu saja! Seorang Gianindra Pangabean pasti akan sangat cepat dalam hal belajar!” ucap Gia.

Dia bilang, dia memang orang yang sangat cepat dalam hal belajar,” Karina tersenyum kecil melihat Wina yang mengangguk dengan senang saat tau apa yang di ucapkan Gia.

“Aku haus, apa kalian ingin menitip sesuatu? Aku akan membelikannya untuk kalian berdua?”

Kamu ingin minum apa? Gia akan pergi untuk membeli minuman.”

“Ah, apa saja asalkan jangan yang bersoda,” jawab Wina.

“Oke, aku akan kembali dengan cepat. Tunggu sebentar!”

Wina mengangguk membalas kalimat terakhir dari Gia.

“Teman kamu menyenangkan dia juga belajar dengan cepat,” ucap Wina.

Itu juga alasan kenapa aku senang bisa berteman dengannya, dia tidak pernah membeda-bedakan orang sepertiku dengan orang-orang normal di luar sana.”

“Kamu tau? Aku senang bisa mengenalmu dan berteman denganmu, rasanya sebagian bebanku hilang begitu saja.”

“Dulu aku selalu iri melihat mereka yang normal, mereka bisa melakukan semuanya tanpa ada halangan sedikitpun, aku juga selalu iri melihat mereka menemukan seseorang yang mencintai mereka. Sementara aku sendiri takut untuk melakukan semua itu, aku juga takut menyukai seseorang karena pasti mereka akan menolakku secara terang-terangan dan mengataiku jelek serta tidak pantas untuk bersanding dengan mereka hanya karena aku memiliki kekurangan.”

Jujur saja semua yang di katakan oleh Wina itu adalah benar karena dia juga pernah merasakan berada di titik itu.

Aku mengerti dengan apa yang baru saja kamu katakan karena aku juga pernah merasakannya, tapi jika kita terus berada di posisi itu kita tidak akan pernah ada kemajuan bukan?”

Wina memperhatikan Karina dengan seksama dan serius.

Wina, kamu itu juga cantik, sungguh! Kamu bahkan sudah lebih dari kata cantik di bandingkan dengan perempuan lain di luar sana, kamu cantik dengan apa adanya kamu saat ini!”

Kamu akan terlihat cantik untuk mereka yang pantas untuk kamu dan untuk mereka yang menganggap kamu itu manusia yang spesial, jika mereka tidak menganggap kamu cantik itu berarti mereka tidak pantas untuk kamu bukan kamu yang tidak pantas untuk mereka, paham?”

Wina tersenyum lebar, mengangguk lalu memeluk Karina dengan erat. Tidak pernah Wina menerima kalimat yang begitu manis dan hangat seperti yang di utarakan Karina padanya.

“Terima kasih, kata-kata itu membuat aku sedikit lebih percaya diri sekarang,” ucap Wina.

Karina mengangguk pelan dan membalas pelukan dari Wina.

Ahh, ini terasa sangat hangat.

Gia yang ternyata sudah kembali dari minimarket sedari tadi itu hanya berdiri sambil memperhatikan Karina dan Wina yang sedang mengobrol walaupun dia sendiri tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan.

Tapi melihat keduanya tersenyum dan saling memberikan pelukan itu cukup membuat Gia senang, senang karena akhirnya dia bisa melihat Karina tersenyum selepas dan selega itu setelah selama ini menderita.


“Sibuk banget sama handphonenya,” sahut wanita paruh baya yang bahkan masih cocok jika di sandingkan dengan perempuan usia 20an.

“Ngehibur temen, katanya lagi grogi dikit,” balas Willa.

“Cantik banget anak Mama hari ini!”

“Iyalah, Mamanya aja cantik masa anaknya engga?”

Willa dan Mamanya tertawa kecil setelahnya. Tidak ada yang lebih berharga bagi Willa selain senyuman Mamanya saat ini.

“Daniel here!” Teriakan keras dari seseorang itu membuat Willa mendengus kesal.

“Kayaknya udah pada dateng tuh, ayo ke depan,” ajak Mamanya.

Willa menyusul Mamanya yang berjalan lebih dulu, dia masih belum mempersiapkan mentalnya untuk sebuah kejutan nanti.

Di ruang tamu sudah ada beberapa saudara Mamanya yang datang tentu saja dengan para sepupu-sepupunya.

“Ini Willa? Kok masih sama aja sih tingginya?”

“Mbak Ital gak usah ngejek ya!” dengus Willa.

My name is Krystal, not Ital!”

“Gak perduli, sama aja.”

Well, biarin para orang tua temu kangen dulu, kita yang masih muda-muda juga punya hal yang buat di bahas kan? Let's go!” seru Daniel yang langsung mendorong Willa beserta kedua sepupunya yang lain yaitu Jefran dan Krystal.

Mereka berempat memisahkan diri menuju ruang keluarga yang nanti akan jadi tempat keluarga besar mereka berkumpul.

“Ngomong-ngomong, kak Ghea ngga dateng ya?” celetuk Willa yang menyadari salah satu kakak sepupu favoritnya itu tidak ada.

“Tanyain tuh ke saudara kembarnya,” balas Krystal sambil menunjuk Jefran.

“Dateng, tapi nanti agak telat aja katanya,” ucap Jefran.

“Katanya sih biar gak emosi dan pengen ngelabrak istri Om Renold juga,” sambung Daniel.

“Ngomong-ngomong soal istri Papa kamu, Wil, beneran ya bakal dateng dan tinggal disini?”

“Kalau dateng sih iya tapi kalau tinggal bareng disini aku ngga tau,” balas Willa.

“Mbak sih jadi kamu bakal nolak dengan keras kalau beneran orang yang udah ngehancurin keluarga mbak malah tinggal serumah sama mbak,” celetuk Krystal. “Ghea juga kayaknya bakal ngelakuin hal yang sama sih.”

Willa terdiam mendengar ucapan salah satu sepupunya itu. Tentu saja Willa juga bakal nolak dengan keras kalau itu sampai terjadi.

“Willa sayang, Papa kamu udah dateng nih!” seru Mamanya yang datang bersama dengan sanak saudara lainnya.

Di antara segerombolan keluarga besarnya itu ada 5 orang yang membuat Willa mendengus kesal.

Itu adalah Papanya bersama dengan sang istri dan 3 anaknya.

“Krys, Daniel, Jefran, kenalin ini saudara-saudaranya Willa.”

“Oh, hey! Salam kenal, ini kayaknya kali pertama aku ketemu anak lainnya Om Renold,” ucap Daniel dengan senyum di wajahnya.

“Siapa-siapa aja nih, kenalan dulu dong,” timpal Krystal.

“Sheila, kak. Aku anak pertama.”

“Kayla.”

“Kalendra.”

Are you two twins?” tanya Jefran.

“Kamu bisa tau darimana kalau mereka kembar, sayang?” tanya sang Ibunda.

“Dari nada bicaranya sih, Mom. Sama-sama dingin,” jawab Jefran.

Like you and Ghea, right?” timpal Krystal.

“Hey! we are not same!”

Sementara kedua kakak beradik itu saling adu mulut, Willa hanya terus diam menatap dengan benci terutama pada si kembar itu. Mereka punya kenangan yang buruk di masa lalu.


Percaya atau tidak Kiran yang biasanya sangat aktif berbicara itu kini hanya diam memandangi satu persatu sanak keluarganya yang baru pertama kali dia lihat.

Begitu juga dengan beberapa sepupunya. Terasa sangat asing.

“Kirana kok dari tadi diem terus, sayang? Kenapa? Asing ya?” sahut salah satu saudara Papanya.

“Iya, tante. Ini pertama kalinya Kiran ketemu sama saudara yang lain,” balas Kiran.

“Ngga apa-apa sayang, ini juga pertama kalinya buat sepupu-sepupu kamu yang lainnya.”

“Kiran masih sering main volly kan?” tanya Ailen, salah satu kakak sepupu tertuanya.

“Iya, mbak. Kok mbak tau Kiran main volly?”

“Elya ngga pernah absen tuh ngomongin kamu terus dari tahun kemarin setelah tim volly sekolah kamu sering menang di beberapa turnamen.”

Kiran seketika langsung menatap saudara sepupunya yang memiliki tahi lalat di hidungnya itu.

“Bener, Elya penggemar berat kamu katanya. Tadi aja pas tau kamu sama dia ternyata sepupuan dia heboh banget tuh.”

“Wah, kayaknya Papa harus sering minta buat di adain acara keluarga aja biar kita bisa saling kenal, masa keluarga besar gak saling kenal sih,” canda Papanya Kiran lalu tertawa bersama dengan yang lainnya.

Well, ternyata acara keluarga gak seburuk yang Kiran pikir. Selain dia bisa kenal dengan beberapa saudara yang belum pernah dia temui, Kiran juga senang karena keluarga besarnya terlihat sangat harmonis.

.


.

Berbeda dari acara keluarga sebelah, acara keluarga besar Wirawan ini jauh dari kata harmonis bagi Willa.

Tentu saja, memangnya siapa yang mau harus satu ruangan, satu meja bersama 'penghancur' keluarganya?

Selama makan berasama tadi pun Willa jauh lebih diam, kalaupun dia bersuara itu hanya pada saudara sepupunya yang lain, tidak dengan saudara tirinya.

“Ngga bohong sih tapi Willa keren banget bisa juara 1 di turnamen panahan tahun kemarin,” seru Ghea.

“Tapi kok pas di pertandingan O2SN kemarin kalah sih?” celetuk Kayla.

“Itu belum beruntung aja, lagian juara 2 juga ngga apa-apa,” ucap Daniel.

Para orang tua berada di ruangan sebelahnya lagi, jadi hanya ada para anak-anak yang saat ini saling mengobrol.

Bukan mengobrol lagi, tapi sedang mengibarkan bendera perang terutama Willa dan Ghea.

“Daren, kamu kan udah pernah tuh nonton pertandingannya kak Willa sama kak Kayla waktu itu, menurut kamu kerenan siapa?” sahut Krystal.

“Kerenan kak Willa, kenapa yang gitu aja masih di tanya sih mbak?”

Jujur saja, Daniel, Jefran dan Krystal ingin tertawa saat itu juga.

“Aku harap kita bisa akur mengingat bentar lagi kita tinggal serumah,” ujar Kalendra.

“Cih, akur? Tinggal serumah? Kita?” dengus Willa sambil tertawa sinis. “Kata siapa?”

“Kata Papa,” balas Kayla.

Willa memutar kedua matanya dengan malas. Ah, inilah yang sangat tidak dia suka.

“Wil, mau kemana?” tanya Ghea melihat Willa yang tiba-tiba bangkit dari duduknya.

“Ke ruangan sebelah, kayaknya ada yang perlu di lurusin sebelum ada yang makin besar kepala.”

Willa mungkin masih akan terima jika Papanya itu memiliki keluarga lain selain dirinya dan Mamanya, tapi untuk tinggal serumah, sepertinya itu ide yang buruk.

“Aku ngga yakin kalau Wi—”

“Ini rumah Mama, ngga ada yang boleh tinggal disini selain aku dan Mama!” potong Willa dengan wajah datarnya.

“Sayang, kok kamu kesini?” ujar Mamanya.

“Aku udah berbesar hati Papa punya keluarga lain, aku udah berbesar hati Papa lebih milih keluarga Papa yang lain daripada aku sama Mama, aku juga udah berbesar hati nerima keluarga lain Papa datang dan ikut ke acara keluarga besar kita, tapi kalau Papa sampai berbuat lebih dengan buat keluarga lain Papa itu tinggal disini aku ngga bakal biarin itu terjadi,” ucap Willa.

“Sayang, tenang dulu, okay?”

“Mama juga jangan diem aja dong! Emang Mama mau satu rumah sama istri Papa yang lain? Mama ngga perlu mikirin keadaan aku, Mama juga berhak buat nentuin pilihan Mama sendiri!”

“Willa!”

“Apa?! Papa masih punya muka dengan dateng ke acara keluarga besar kita sambil ngajak keluarga Papa yang lain? Papa mikirin ngga perasaannya Mama gimana? Papa mikirin juga perasaan aku gimana?!”

“Dari awal juga Papa lebih milih istri Papa itu, tapi kenapa Papa masih pertahanin keluarga ini kalau dari dulu aku sama Mama ngga pernah jadi prioritas Papa!”

“Dwilla! Papa ngga pernah ya ajarin kamu teriakin orang tua kayak gitu?!”

“Emang Papa pernah ngajarin aku gimana harus ngomong yang sopan ke orang tua? Ngga pernah, Pa. Sekalipun ngga pernah! Cuman Mama yang selama ini ngajarin aku ini itu, dari awal Papa ngga pernah ada buat Willa!”

“Setiap Willa butuh Papa, emang Papa pernah ada? Di setiap ulang tahun aku, di setiap hari pertama aku masuk sekolah, di saat aku juara kelas, saat aku selalu dapat sesuatu yang semua anak pengen buat di tunjukin ke orang tuanya dengan bangga Papa ngga pernah ada! Ngga pernah sekalipun Papa datang di saat-saat yang penting buat aku. Bahkan di saat aku sakit pun cuman Mama yang ngerawat dan jagain aku dari pagi sampai pagi lagi, Papa ngga pernah ada buat aku! Papa selalu utamain anak Papa yang lain ketimbang aku dan aku benci fakta kalau Papa itu adalah Papa aku!” teriak Willa.

“Sampai kapanpun keluarga besar Wirawan ngga akan pernah ketambahan orang lain yang ngga punya hubungan langsung termasuk istri dan anak-anak Papa itu. Aku sebagai orang yang paling berhak nentuin siapa yang boleh dan ngga tinggal di rumah ini ngga bakal pernah nerima orang-orang yang udah hancurin keluarga dan kebahagiaan aku tinggal disini.” ucap Willa final.

I hate everything about you and your new family, I even hate that we still have a relationship until now after what my mom and I have been through all this time,” lirih Willa.

“Dari awal Papa emang ngga pernah nganggap aku sama Mama sebagai keluarga Papa, jadi kenapa masih tetep pertahanin aku sama Mama di saat Papa cuman bisa buat lukanya makin besar?” tangis Willa sambil memeluk erat Mamanya.

Acara keluarga yang seharusnya berlangsung dengan bahagia sekarang malah meninggalkan luka untuk Willa, luka yang mungkin tidak akan pernah hilang.


Bel jam pelajaran ketiga terdengar di seluruh sudut sekolah, para guru yang sudah selesai memberikan materi di jam pertama dan kedua berhamburan keluar dari kelas dan di gantikan oleh guru di jam pelajaran ketiga dan keempat.

Murid kelas 11 A-1 yang tidak lain adalah kelas Willa, Kiran dkk berhamburan keluar dari kelas dan menuju ke pantry room yang berada di ujung koridor lantai 2. Willa, Nala, Ray dan Yudith yang tadinya juga berada di perpustakaan kini menuju ke pantry room menyusul teman-teman kelasnya.

“Pagi Miss!” sapa seluruh murid kelas 11 A-1

“Pagi juga semuanya!”

“Kira-kira kali ini masakannya apa lagi yah?” bisik Yudith.

“Ngga tau juga gue,” balas Ray.

“Oke, sebelum mulai seperti biasa ambil apron kalian masing-masing dan jangan lupa buat cuci tangan yang bersih. Ayo!”

Mendengar itu mereka semua bergiliran mengambil apron yang berada di lemari sudut ruangan dan mencuci tangan dengan bersih sesuai instruksi sang guru.

“Perhatian semuanya, jadi untuk hari ini kita akan membuat Cream Cake, terserah dari kalian mau buat Cream Cake apa yang terpenting adalah rasanya, tekstur cakenya dan tentu saja* plating* atau penampilan dari cakenya.”

“Kita akan bagi menjadi 2 orang di setiap kelompok, jadi denger baik-baik nama dari temen kelompok kalian!”

Please gue harus satu kelompok sama lo, Ran! Kalau gue bareng Achel udah pasti hancur sih,” celetuk Mikha.

“Gisella dan Nalasya, Rio dan Rena, Rachel dan Sela, Yuditha dan Hesa, Harsya dan Lena, Bimo dan Rangga, Mikhaila dan Raynatha....”

“Jiaaaah sekelompok sama si Ray, mampus!” tawa Achel sambil terus mengejek Mikha.

Satu persatu nama mereka mulai di panggil dan hanya menyisakan beberapa murid termasuk Willa dan Kiran yang sedari tadi belum di sebut namanya. Kiran hanya berharap dia tidak satu kelompok bersama Willa.

“Nathan dan Farah, Deo dan Cila, yang terakhir Kirana dan Dwilla!”

Bagai di sambar petir di siang bolong, kedua bahu Kiran merosot seketika. Kenapa doanya selalu saja menjadi kebalikan dari yang dia inginkan?

“Oke, ayo sekarang kalian menuju ke mini bar masing-masing, semua alat dan bahannya sudah Ibu sediakan!”

Dengan lemas Kirana menuju mini bar paling belakang yang di susul oleh Willa di belakangnya.

“Kok keliatan lemes gitu? Sakit ya?” sahut Willa.

“Ngga, kata siapa aku sakit?” balas Kiran.

“Oh kirain,” gumam Willa. “Ngomong-ngomong mau buat apa?”

“Mandarin Orange Cream Cake,” jawab Kiran.

“Ahh, i know this one!”

“Kalau gitu kamu campurin dulu semua bahan-bahannya, aku mau ngambil bahan-bahan lain yang kurang,” ucap Kiran.

“Okay!” seru Willa.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk Willa dalam hal masak memasak karna dia emang ahli dalam hal ini, apalagi di satuin sama Kiran yang juga jago masak.

Mereka berbagi tugas, Willa bagian membuat Cakenya yang juga sedikit di bantu oleh Kiran dan Kiran bagian membuat whipped creamnya.

“Wil, adonannya udah di masukin ke oven belum?” tanya Kiran.

“Udah nih.”

“Kalau gitu tolong ambilin 2 kaleng jeruk mandarin dulu dong, aku lupa ngambil tadi.”

Willa mengangguk lalu menuju ke dapur persediaan dan mengambil 2 kaleng jeruk mandarin sesuai permintaan.

“Ada yang boleh aku bantu ngga?” tanya Willa setelah menyerahkan kaleng jeruk mandarin pada Kiran.

“Ngga usah, kamu beresin yang kotor aja sekalian adonannya di cek terus,” jawab Kiran.

“Okay,” balas Willa menuruti ucapan Kiran.

Setelah menunggu kurang lebih 45 menit adonan cake mereka sudah jadi dan siap untuk di plating.

“Awas, wadahnya masih panas,” ujar Willa. “Whipped creamnya udah jadi kan?”

“Udah, coba kamu rasa dulu deh kalau udah gitu rasanya,” ucap Kiran.

“Kalau kamu yang bikin udah pasti enak kok,” timpal Willa.

“Iihh di rasa dulu, lidah masing-masing orang tuh beda!”

Willa tertawa kecil, “Iya deh, mana sini aku rasain.”

Kiran menyodorkan whipped cream yang baru saja dia buat pada Willa. Sesaat sebelum menyendok sepintas ide nakal muncul di kepala Willa.

“Kok kurang manis ya? Rasa jeruk mandarinnya juga kurang,” ucap Willa setelah mencoba sesendok kecil.

“Hah? Masa sih?” celetuk Kiran.

“Coba deketan sini deh,” ujar Willa menarik lengan Kiran pelan lalu noel whipped creamnya terus di taroh di bibirnya Kiran.

“Ngapain?!”

“Nyobain lagi,” balas Willa santai.

Dan tanpa aba-aba Willa langsung nyicip whipped cream yang nempel di bibirnya Kiran dengan di lumat sekalian sama bibirnya Kiran.

“Sekarang udah kerasa manisnya,” ucap Willa.

Sementara Kiran yang mendapat kiss tiba-tiba itu masih ngeblank di posisinya. TAU NGGA RASANYA KAYAK APA JADI KIRAN? DI CIUM TIBA-TIBA DI DALAM RUANGAN YANG ADA MURID LAIN, SAMA MANTAN PULA?!

Untung ngga ada yang lihat karna mereka berdua ada di paling belakang ruangan, tapi tetap saja.

“WILLA!!!”

PLAK!

Tamparan keras itu terdengar seiring dengan suara Kiran yang meneriaki Willa di dalam pantry room itu.

Melihat Willa yang di tampar oleh Kiran semua murid yang berada disana meringis dengan kompak sambil memegang pipi mereka.


Setelah kelasnya selesai dan bertemu dengan teman-teman Winter saat di kantin tadi Rina terus saja memikirkan reaksi dari mereka yang sama terkejutnya seperti Minju saat di depan lift pagi tadi.

Dan satu yang membuatnya semakin bingung adalah, dia yang beberapa kali di panggil dengan nama Karina atau Karin.

“Kayaknya emang bener yang di bilang Chaewon kalau muka aku pasaran,” monolog Rina.

Rina yang saat ini berada di cafe milik kakaknya kini beralih menatap sang kakak yang sedang sibuk di meja kasir.

“Kak, kakak pernah lihat ngga orang yang mukanya mirip sama aku?” tanya Rina.

“Pernah.”

“Ohya? Dimana? Siapa?”

“Disini, yang di depan kamu sekarang,” canda kakaknya.

Rina mendengus kesal, selalu saja bercanda di saat-saat seperti ini.

“Kak Wendy kalau ngga bercanda sehari aja kayaknya bakal meriang ya?” ejek Rina. “Heran juga, kok mbak Irene mau sih pacaran sama kakak.”

“Itu karna kakak cantik, pinter, ngga sombong dan pinter cari duit,” timpal Wendy sambil tertawa kecil.

“Lagian kamu kenapa sih, hah? Dari pertama datang mukanya kusut banget kayak baju yang ngga di setrika.”

“Tadi di kampus ada yang bilang aku hantu, padahal kaki aku aja napak di tanah.”

“Hantu? Kamu? hAHAHAHA!” tawa Wendy dengan kencang membuat beberapa pembeli menoleh ke arah kakak beradik itu.

“Kurang kenceng tuh ketawanya,” cerca Rina dengan ekspresi datarnya.

“Maaf, ngga sengaja,” kekeh Wendy.

“Tau ah, kakak bukannya bikin aku kehibur malah bikin aku makin kesel tau ngga,” ketus Rina.

“Idiiih si manja ngambek!”

“Mending kamu anterin pesanan ke meja nomor 12, biar ada kontribusi dikit kamu di cafe kakak. Sana anterin,” lanjut Wendy sambil memberikan nampan yang terdapat ice latte dan redvelvet cake.

Rina menurut walaupun tadi masih sempat mengejek kakaknya sebelum berjalan menuju meja nomor 12.

“Permisi, ini pesanannya!” seru Rina meletakan ice latte dan redvelvet cake di meja.

“Terima kasih!”

Dahi Rina mengerut, “Loh? Winter bukan?”

Cewek yang sejak tadi fokus di laptopnya itu menoleh saat namanya di sebut.

“Waah, ternyata bener!” seru Rina.

“Ka–kamu kok bisa ada disini?” sahut Winter.

tuk!

Bukannya menjawab, Rina mengetuk kepala Winter dengan pelan lalu tersenyum simpul.

“Udah lupa ya? Aku setahun lebih tua dari kamu,” ujar Rina.

Ah, benar juga. Saat di kantin kampus tadi mereka sudah saling berkenalan satu sama lain.

“Temen-temen kamu yang lain mana? Kok sendiri aja?” tanya Rina.

“Pertanyaan aku barusan belum di jawab loh,” sela Winter.

Rina terkekeh pelan, “Ini cafe milik kakak aku, kalau lagi ngga ada kesibukan aku suka bantu-bantu disini.”

Winter mengangguk kecil, hampir saja dia mengira kalau Rina bekerja paruh waktu disini.

“Sekarang giliran pertanyaan aku yang di jawab!”

“Ngga mau,” ucap Winter lalu kembali menatap laptop di hadapannya.

“Ck, curang banget! Ngga boleh main curang gitu dong, aku masih sakit hati loh ya karna temen-temen kamu ngira aku hantu,” decak Rina.

Sebenarnya itu tidak lucu tapi entah kenapa Winter tertawa kecil setelah mendengar keluhan dari Rina.

“Mereka udah pulang, aku kesini karna mau ngerjain tugas,” ujar Winter.

“Mau aku temenin ngga? Sekalian aku bantuin deh, punyaku udah selesai kok,” seru Rina.

“Ngga ngerepotin?”

“Ngga kok, bentar ya aku balikin ini dulu.”

Dengan cepat Rina berlari untuk mengembalikan nampan, melihat itu Winter tersenyum kecil.

Tidak lama Rina kembali dan duduk tepat di depan Winter. Seperti katanya tadi, dia akan membantu Winter untuk menyelesaikan tugas kampus, sesekali juga mereka mengobrol kecil.

“Aku ngga sempat ikut ospek karna emang di rawat dulu selama seminggu di rumah sakit,” jelas Rina.

Pandangan Winter kini beralih menatap Rina yang duduk di depannya. Sempat bingung juga harus memanggil Rina dengan sebutan apa dan bagaimana.

“Ohiya, aku boleh nanya ngga?”

“Boleh,” balas Winter

“Eungh, ngga jadi deh lain kali aja,” ucap Rina.

“Kak Rina mirip seseorang, jadi temen-temen aku tadi pas ngeliat kakak itu agak kaget dikit,” sela Winter seolah tau pertanyaan yang akan di lontarkan Rina.

“Mungkin karna muka aku yang pasaran, Chaewon bilang gitu semalam,” cicit Rina.

Winter terkekeh pelan, entah kenapa setiap kali Rina mengeluh atau mendumel, itu akan terlihat lucu untuknya.

“Ngomong-ngomong kak...”

“Iya?”

“Ayo kenalan lagi, kenalan yang lebih serius maybe,?” kata Winter.

Rina tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya, “Katarina!”

Winter membalas uluran tangan Rina, “Winter.”

Keduanya kemudian saling memberikan senyum satu sama lain, senyum hangat dari Rina yang membuat Winter merindukan seseorang dari masa lalunya.


Setelah kelasnya selesai dan bertemu dengan teman-teman Winter saat di kantin tadi Rina terus saja memikirkan reaksi dari mereka yang sama terkejutnya seperti Minju saat di depan lift pagi tadi.

Dan satu yang membuatnya semakin bingung adalah, dia yang beberapa kali di panggil dengan nama Karina atau Karin.

“Kayaknya emang bener yang di bilang Chaewon kalau muka aku pasaran,” monolog Rina.

Rina yang saat ini berada di cafe milik kakaknya kini beralih menatap sang kakak yang sedang sibuk di meja kasir.

“Kak, kakak pernah lihat ngga orang yang mukanya mirip sama aku?” tanya Rina.

“Pernah.”

“Ohya? Dimana? Siapa?”

“Disini, yang di depan kamu sekarang,” canda kakaknya.

Rina mendengus kesal, selalu saja bercanda di saat-saat seperti ini.

“Kak Wendy kalau ngga bercanda sehari aja kayaknya bakal meriang ya?” ejek Rina. “Heran juga, kok mbak Irene mau sih pacaran sama kakak.”

“Itu karna kakak cantik, pinter, ngga sombong dan pinter cari duit,” timpal Wendy sambil tertawa kecil.

“Lagian kamu kenapa sih, hah? Dari pertama datang mukanya kusut banget kayak baju yang ngga di setrika.”

“Tadi di kampus ada yang bilang aku hantu, padahal kaki aku aja napak di tanah.”

“Hantu? Kamu? hAHAHAHA!” tawa Wendy dengan kencang membuat beberapa pembeli menoleh ke arah kakak beradik itu.

“Kurang kenceng tuh ketawanya,” cerca Rina dengan ekspresi datarnya.

“Maaf, ngga sengaja,” kekeh Wendy.

“Tau ah, kakak bukannya bikin aku kehibur malah bikin aku makin kesel tau ngga,” ketus Rina.

“Idiiih si manja ngambek!”

“Mending kamu anterin pesanan ke meja nomor 12, biar ada kontribusi dikit kamu di cafe kakak. Sana anterin,” lanjut Wendy sambil memberikan nampan yang terdapat ice latte dan redvelvet cake.

Rina menurut walaupun tadi masih sempat mengejek kakaknya sebelum berjalan menuju meja nomor 12.

“Permisi, ini pesanannya!” seru Rina meletakan ice latte dan redvelvet cake di meja.

“Terima kasih!”

Dahi Rina mengerut, “Loh? Winter bukan?”

Cewek yang sejak tadi fokus di laptopnya itu menoleh saat namanya di sebut.

“Waah, ternyata bener!” seru Rina.

“Ka–kamu kok bisa ada disini?” sahut Winter.

tuk!

Bukannya menjawab, Rina mengetuk kepala Winter dengan pelan lalu tersenyum simpul.

“Udah lupa ya? Aku setahun lebih tua dari kamu,” ujar Rina.

Ah, benar juga. Saat di kantin kampus tadi mereka sudah saling berkenalan satu sama lain.

“Temen-temen kamu yang lain mana? Kok sendiri aja?” tanya Rina.

“Pertanyaan aku barusan belum di jawab loh,” sela Winter.

Rina terkekeh pelan, “Ini cafe milik kakak aku, kalau lagi ngga ada kesibukan aku suka bantu-bantu disini.”

Winter mengangguk kecil, hampir saja dia mengira kalau Rina bekerja paruh waktu disini.

“Sekarang giliran pertanyaan aku yang di jawab!”

“Ngga mau,” ucap Winter lalu kembali menatap laptop di hadapannya.

“Ck, curang banget! Ngga boleh main curang gitu dong, aku masih sakit hati loh ya karna temen-temen kamu ngira aku hantu,” decak Rina.

Sebenarnya itu tidak lucu tapi entah kenapa Winter tertawa kecil setelah mendengar keluhan dari Rina.

“Mereka udah pulang, aku kesini karna mau ngerjain tugas,” ujar Winter.

“Mau aku temenin ngga? Sekalian aku bantuin deh, punyaku udah selesai kok,” seru Rina.

“Ngga ngerepotin?”

“Ngga kok, bentar ya aku balikin ini dulu.”

Dengan cepat Rina berlari untuk mengembalikan nampan, melihat itu Winter tersenyum kecil.

Tidak lama Rina kembali dan duduk tepat di depan Winter. Seperti katanya tadi, dia akan membantu Winter untuk menyelesaikan tugas kampus, sesekali juga mereka mengobrol kecil.

“Aku ngga sempat ikut ospek karna emang di rawat dulu selama seminggu di rumah sakit,” jelas Rina.

Pandangan Winter kini beralih menatap Rina yang duduk di depannya. Sempat bingung juga harus memanggil Rina dengan sebutan apa dan bagaimana.

“Ohiya, aku boleh nanya ngga?”

“Boleh,” balas Winter

“Eungh, ngga jadi deh lain kali aja,” ucap Rina.

“Kak Rina mirip seseorang, jadi temen-temen aku tadi pas ngeliat kakak itu agak kaget dikit,” sela Winter seolah tau pertanyaan yang akan di lontarkan Rina.

“Mungkin karna muka aku yang pasaran, Chaewon bilang gitu semalam,” cicit Rina.

Winter terkekeh pelan, entah kenapa setiap kali Rina mengeluh atau mendumel, itu akan terlihat lucu untuknya.

“Ngomong-ngomong kak...”

“Iya?”

“Ayo kenalan lagi, kenalan yang lebih serius maybe,?” kata Winter.

Rina tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya, “Katarina!”

Winter membalas uluran tangan Rina, “Winter.”

Keduanya saling memberikan senyum satu sama lain, senyum hangat dari Rina yang membuat Winter merindukan seseorang dari masa lalunya.

Setelah kelasnya selesai dan bertemu dengan teman-teman Winter saat di kantin tadi Rina terus saja memikirkan reaksi dari mereka yang sama terkejutnya seperti Minju saat di depan lift pagi tadi.

Dan satu yang membuatnya semakin bingung adalah, dia yang beberapa kali di panggil dengan nama Karina atau Karin.

“Kayaknya emang bener yang di bilang Chaewon kalau muka aku pasaran,” monolog Rina.

Rina yang saat ini berada di cafe milik kakaknya kini beralih menatap sang kakak yang sedang sibuk di meja kasir.

“Kak, kakak pernah lihat ngga orang yang mukanya mirip sama aku?” tanya Rina.

“Pernah.”

“Ohya? Dimana? Siapa?”

“Disini, yang di depan kamu sekarang,” canda kakaknya.

Rina mendengus kesal, selalu saja bercanda di saat-saat seperti ini.

“Kak Wendy kalau ngga bercanda sehari aja kayaknya bakal meriang ya?” ejek Rina. “Heran juga, kok mbak Irene mau sih pacaran sama kakak.”

“Itu karna kakak cantik, pinter, ngga sombong dan pinter cari duit,” timpal Wendy sambil tertawa kecil.

“Lagian kamu kenapa sih, hah? Dari pertama datang mukanya kusut banget kayak baju yang ngga di setrika.”

“Tadi di kampus ada yang bilang aku hantu, padahal kaki aku aja napak di tanah.”

“Hantu? Kamu? hAHAHAHA!” tawa Wendy dengan kencang membuat beberapa pembeli menoleh ke arah kakak beradik itu.

“Kurang kenceng tuh ketawanya,” cerca Rina dengan ekspresi datarnya.

“Maaf, ngga sengaja,” kekeh Wendy.

“Tau ah, kakak bukannya bikin aku kehibur malah bikin aku makin kesel tau ngga,” ketus Rina.

“Idiiih si manja ngambek!”

“Mending kamu anterin pesanan ke meja nomor 12, biar ada kontribusi dikit kamu di cafe kakak. Sana anterin,” lanjut Wendy sambil memberikan nampan yang terdapat ice latte dan redvelvet cake.

Rina menurut walaupun tadi masih sempat mengejek kakaknya sebelum berjalan menuju meja nomor 12.

“Permisi, ini pesanannya!” seru Rina meletakan ice latte dan redvelvet cake di meja.

“Terima kasih!”

Dahi Rina mengerut, “Loh? Winter bukan?”

Cewek yang sejak tadi fokus di laptopnya itu menoleh saat namanya di sebut.

“Waah, ternyata bener!” seru Rina.

“Ka–kamu kok bisa ada disini?” sahut Winter.

tuk!

Bukannya menjawab, Rina mengetuk kepala Winter dengan pelan lalu tersenyum simpul.

“Udah lupa ya? Aku setahun lebih tua dari kamu,” ujar Rina.

Ah, benar juga. Saat di kantin kampus tadi mereka sudah saling berkenalan satu sama lain.

“Temen-temen kamu yang lain mana? Kok sendiri aja?” tanya Rina.

“Pertanyaan aku barusan belum di jawab loh,” sela Winter.

Rina terkekeh pelan, “Ini cafe milik kakak aku, kalau lagi ngga ada kesibukan aku suka bantu-bantu disini.”

Winter mengangguk kecil, hampir saja dia mengira kalau Rina bekerja paruh waktu disini.

“Sekarang giliran pertanyaan aku yang di jawab!”

“Ngga mau,” ucap Winter lalu kembali menatap laptop di hadapannya.

“Ck, curang banget! Ngga boleh main curang gitu dong, aku masih sakit hati loh ya karna temen-temen kamu ngira aku hantu,” decak Rina.

Sebenarnya itu tidak lucu tapi entah kenapa Winter tertawa kecil setelah mendengar keluhan dari Rina.

“Mereka udah pulang, aku kesini karna mau ngerjain tugas,” ujar Winter.

“Mau aku temenin ngga? Sekalian aku bantuin deh, punyaku udah selesai kok,” seru Rina.

“Ngga ngerepotin?”

“Ngga kok, bentar ya aku balikin ini dulu.”

Dengan cepat Rina berlari untuk mengembalikan nampan, melihat itu Winter tersenyum kecil.

Tidak lama Rina kembali dan duduk tepat di depan Winter. Seperti katanya tadi, dia akan membantu Winter untuk menyelesaikan tugas kampus, sesekali juga mereka mengobrol kecil.

“Aku ngga sempat ikut ospek karna emang di rawat dulu selama seminggu di rumah sakit,” jelas Rina.

Pandangan Winter kini beralih menatap Rina yang duduk di depannya. Sempat bingung juga harus memanggil Rina dengan sebutan apa dan bagaimana.

“Ohiya, aku boleh nanya ngga?”

“Boleh,” balas Winter

“Eungh, ngga jadi deh lain kali aja,” ucap Rina.

“Kak Rina mirip seseorang, jadi temen-temen aku tadi pas ngeliat kakak itu agak kaget dikit,” sela Winter seolah tau pertanyaan yang akan di lontarkan Rina.

“Mungkin karna muka aku yang pasaran, Chaewon bilang gitu semalam,” cicit Rina.

Winter terkekeh pelan, entah kenapa setiap kali Rina mengeluh atau mendumel, itu akan terlihat lucu untuknya.

“Ngomong-ngomong kak...”

“Iya?”

“Ayo kenalan lagi, kenalan yang lebih serius maybe,?” kata Winter.

Rina tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya, “Katarina!”

Winter membalas uluran tangan Rina, “Winter.”

Keduanya saling memberikan senyum satu sama lain, senyum hangat dari Rina yang membuat Winter merindukan seseorang dari masa lalunya.