Sunsine

Minggu siang ini rencananya tim archery dan tim volly akan pergi mengunjungi SMA Garuda untuk sekedar melihat-lihat saja berhubung ini pertama kalinya untuk mereka.

Semuanya tampak sudah siap di loby hotel sambil menunggu beberapa orang lagi.

“Chel, lo make celana pendek gini lo pikir kita lagi di bali?” celetuk Mikha.

“Panas, Mik, lo nyuruh gue make celana panjang gitu? Yang ada gue keringetan,” dengus Achel.

“Berantem mulu lo berdua,” sambar Gigi.

“Ini kita berangkatnya kapan sih? Nanti makin tambah panas kalau kelamaan.”

Mikha, Achel dan Gigi serempak menoleh ke arah Kirana yang tampak kesal.

“Willa sama temen-temennya belum ada, terus juga Rigo sama yang lain kan masih di atas juga,” ujar Achel.

“Rigo tuh bisa gak sih nyuruh temen se-timnya displin sama waktu, selalu aja gini!” gerutu Kiran.

“Sabar, Ran, marah-marah mulu,” ucap Gigi menenangkan Kiran.

“Loh? Masih belum berangkat?” sahut Ray yang datang bersama Yudith serta kedua adik kelasnya Bella dan Luna.

“Nungguin lo!” ketus Mikha.

Mendengar itu Ray bergidik ngeri dan langsung bersembunyi di belakang Yudith.

“Sorry guys, tadi lagi ada masalah di kamar!” seru Rigo.

“Lain kali jangan telat, ada banyak orang yang nunggu,” ucap Jendra. “Coach Andy sama Coach Hendra udah nunggu di bis, ayo jalan,” lanjutnya.

Kiran yang sedari tadi diam menoleh ke sekitar, tidak ada Willa. Padahal Ray dan Yudith ada.

“Ray, Willa mana?” tanya Kiran.

“Di kamar, katanya sih ngga enak badan. Semalam juga pas gue sama Yudith balik dia mual-mual tuh,” jawab Ray.

“Mual? Kalian balik jam berapa semalam?”

“Eunghh, jam 9 lebih 20 menit sih kayaknya.”

“Terus dia makan ngga? Pagi tadi juga dia ikut sarapan atau ngga?”

“Semalam dia makan tapi sedikit, kalau pagi tadi dia ngunyah roti selai doang habis itu lanjut tidur,” jelas Ray. “Kenapa sih?”

“Ishh, bego!” tekas Kiran yang kemudian langsung berlari kembali ke arah lift.

“Hah? Kok ngatain gue bego sih? Woy Kiran!” teriak Ray.

“Itu Kiran mau kemana? Kok balik lagi?” sahut Mikha.

“Ya mana gue tau? Kenapa gak tanya langsung ke temennya?” balas Ray.

Mikha otomatis menatap Ray dengan tajam lalu menendang kaki cewek itu tepat di tulang keringnya membuat si pemilik kaki meringis kesakitan.

“Anjing!” umpat Ray sambil menahan rasa sakit di kakinya.


Setelah lift sampai di lantai 3 Kiran dengan cepat keluar dari lift dan menuju ke kamar Willa. Kenapa Kiran kembali berlari dengan terburu-buru? Jawabannya adalah Willa itu menderita penyakit maag, mendengar bahwa semalam Willa mual di tambah dengan kedua temannya itu baru kembali ke kamar tepat jam 9 malam membuat Kiran yakin kalau maag Willa kambuh. Karena dia tau jam makan Willa itu seharusnya jam 8 malam dan tidak bisa lebih dari itu.

“Kiran? Kok masih disini?” seru Willa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamar.

Kiran yang melihat Willa berdiri di hadapannya sekarang dengan pakaian yang rapih langsung menarik lengan Willa.

“Kamu mau kemana?” tanya Kiran.

“Ya... ikut bareng yang lain ke SMA Garuda?” jawab Willa.

Kiran menyipitkan kedua matanya, “Ngga, ayo balik ke kamar lagi. Aku udah minta staff hotel buat bawain makanan kesini.”

“Tapi itu—”

“Willa! Aku tau ya kamu semalam mual-mual, aku juga tau kamu telat makan malam, maag kamu kambuh kan?” potong Kiran.

“Anu, itu...”

“Ayo masuk, aku bawa mylanta buat jaga-jaga,” Kiran menarik Willa masuk ke kamarnya bersama Achel, Mikha dan Gigi.

Tidak menolak, Willa menuruti Kiran yang memintanya untuk masuk dan duduk di salah satu ranjang yang ada di kamar itu.

“Kamu sampai bawa mylanta kesini, sekhawatir itu ya sama aku?” sahut Willa menatap Kiran yang sedang menggeledah kopernya.

“Ngga usah kegeeran, Achel sama Gigi juga punya maag jadi aku bawa bukan cuman buat kamu aja,” sangkal Kiran.

Willa terkekeh, “Iya deh.”

“Nih, di minum dulu,” tukas Kiran sambil menyodorkan botol kecil berwarna hijau itu.

“Ini yang tablet atau sirup?” tanya Willa.

“Sirup.”

“Ngga ada yang tablet ya? Kamu kan tau aku ngga bisa kalau minum yang sirup,” pelas Willa.

Kiran mendengus kecil, masih saja sama seperti dulu ternyata.

“Taruh dua tangan kamu ke belakang terus angkat kepalanya ke atas,” pinta Kiran.

“Hah? Buat apa?”

“Ck, udah sih tinggal di lakuin aja!” omel Kiran.

Willa pun menurut sebelum Kiran yang akan memaksanya untuk melakukan hal itu.

“Tutup matanya, jangan berani gerakin tangannya, awas ya kalau berani di gerakin,” ancam Kiran.

Setelahnya Kiran membuka segel penutup botol obat itu, tangan kirinya menutup hidung Willa sebentar lalu menuangkan mylanta sirup itu ke dalam mulut Willa.

“Telan, jangan di muntahin!”

Willa menggeleng dengan keras dan berencana untuk memuntahkan obat cair itu tapi dengan cepat Kiran membekap mulutnya.

“Telan ngga! Kalau kamu muntahin aku bakal lapor ke Coach Hendra dan minta kamu buat di pulangin hari ini juga!”

Mendengar itu Willa dengan terpaksa menelan semua obat cair itu.

Good girl!” seru Kiran.

“Pahit Kiran!” rengek Willa dengan raut wajah yang ingin menangis.

“Buka mulutnya.”

“Hah?”

“Mau permen ngga? Kalau ngga mau yaudah,” ujar Kiran.

“Ihh iya, iya, aaaa...”

Kiran tertawa kecil saat Willa membuka mulutnya lalu memasukan permen dengan rasa jeruk ke dalam mulut Willa.

“Lain kali jangan telat makan malam lagi kalau ngga mau minum obatnya,” ucap Kiran.

“Aku ngga apa-apa sih kalau harus minum obatnya lagi selama kamu yang ngasih, asalkan di lakuin mouth to mouth,” seru Willa.

“Gila ya kamu?! Ngga usah bercanda!” omel Kiran.

“Haha iya, maaf,” tawa Willa. “Peluk dong.”

“Huh? Bu–buat apa?”

“Kepala aku pusing dikit, ngga lama kok bentar aja,” balas Willa lalu memeluk Kiran dan meletakan dagunya di bahu kanan Kiran.

“Makasih ya,” bisik Willa.

Itu hanya bisikan tapi cukup bisa membuat jantung Kiran berdetak lebih cepat dari yang biasanya.

.


.

Senin pagi ini rombongan KIHS bersiap untuk pergi ke SMA Garuda menggunakan bis. Mereka akan melakukan latih tanding hari ini, semuanya sudah berada di dalam bis termasuk Willa yang kemarin sempat tidak sehat.

“Lo yakin udah ngga apa-apa?” tanya Yudith.

“Iya gue udah ngga apa-apa, santai aja elah,” jawab Willa.

“Ya lagian lo gak bilang kalau kemarin maag lo kambuh,” decak Ray. “Ini kalau si Nala tau bisa-bisa gue sama Yudith yang di hajar.”

“Santai aja dih, lagian kemarin juga gue udah di urusin sama Kiran.”

“Emang bisa aja lo nyari kesempatan dalam kesempitan!” desis Yudith.

Perjalanan mereka memakan waktu 20 menit dari hotel menuju ke SMA Garuda. Untuk pertandingan lebih dulu itu di awali oleh archery sementara untuk volly akan di mulai setelahnya.

Saat sampai ada begitu banyak murid SMA Garuda yang menyambut mereka, padahal ini hanya latih tanding tapi terasa seperti pertandingan sungguhan.

“Kalian siap-siap aja ya, saya mau menemui Coach Liam dulu,” ucap Coach Hendra.

“Yang cowok ikut gue, kita sekalian pemanasan dulu,” sahut Jendra.

“Wil, kita yang lain duluan ke tribun ya, arahin tuh anak-anak lo!” seru Gigi.

“Haha okay, Gi!” balas Willa.

“Santai aja ngga usah tegang, kita cuman latih tanding doang kok, justru ini bagus buat ngelatih mental kalian juga biar gak gugup pas pertandingan beneran nanti,” ucap Ray.

“Santai tapi tetep fokus, tim archery dari sekolah kita tuh terkenal sebagai tim terbaik karna sering juara 1 di setiap turnamen, jadi jangan bikin malu nama sekolah sama tim archery kita, paham?” sambung Yudith.

“Paham kak,” balas Vio.

“Yaudah pakai sekarang aja finger tab, arm guard, sama chest guardnya, habis itu kita pemanasan dikit,” ucap Willa.

Ketiga adik kelasnya mengangguk lalu mengikuti arahan dari sang ketua.

Sementara Kiran dan anggota tim volleyball yang lain sudah duduk di tribun bersama para murid SMA Garuda yang juga ingin menonton.

“Denger-denger yang namanya Bella itu pernah ikut kejuaraan panahan dari dia SMP, bener ya?” sahut Mikha.

“Iya kak, kebetulan aku satu sekolah sama Bella. Dia sering ikut kejuaraan panahan mau itu yang dari dalam sekolah atau luar sekolah,” jawab Elena.

“Wuiih, hebat dong kalau gitu, masa depan tim archery sekolah kita udah cerah berarti,” timpal Gigi.

“Eh, itu mereka dateng!” celetuk Achel melihat kedatangan 2 tim putri yang tidak lain adalah tim Willa dan tim dari SMA Garuda.

Jujur saja melihat Willa dengan pakaian tandingnya itu membuat Kiran sedikit salah tingkah, kenapa? Karena Willa terlihat sangat keren dengan pakaian kebanggaannya itu.

Selama pertandingannya di mulai, Kiran hanya terus memperhatikan Willa. Sudah lama dia tidak melihat Willa memegang busur panah itu sudah lama semenjak mereka putus.

“Sumpah itu Bella, Vio sama Luna kok jago-jago banget? Ya gue tau sih mereka lumayan jago tapi gue gak tau kalau bakal sejago ini?” seru Achel.

“Itu tadi juga mereka nyetak angka 10 terus,” tambah Gigi.

“Yang tim cowok juga ngga kalah jago sih,” ujar Mikha.

“Berarti Willa sama Jendra ngga salah pilih anggota baru buat penerus mereka nanti,” ucap Kiran.

“Ayo, giliran kita sekarang. Kita mainnya di lapangan indoor,” tukas Coach Andy.

Kini seluruh penonton dari SMA Garuda tadi berhamburan menuju lapangan indoor untuk menonton pertandingan selanjutnya apalagi kalau bukan volleyball.

Kiran sempat melirik ke arah Willa yang sedang mengobrol dengan tim panahan dari SMA Garuda.

“Ngeliatnya gitu amat, Ran!” ejek Gigi.

“Apa sih, siapa juga yang lagi liatin Willa?” dengus Kiran.

“Loh, gue ngga nyebut nama padahal,” tawa Gigi membuat Kiran mendengus kesal dan meninggalkan Gigi yang sedang tertawa.

“Hey!”

“Gigi gue—”

Calm down, ini aku bukan Gigi,” seru Willa.

“Kenapa?” cetus Kiran.

“Galak banget sih wkwk,” tawa Willa. “Semangat ya mainnya, nanti aku lihatin dari bangku penonton!”

“Wil, bantuin sini anjir!” teriak Ray dari belakang.

“Pokoknya jangan sampai cedera lagi kaki atau tangannya, oke?!” ucap Willa lalu kembali ke lapangan untuk membantu teman-temannya yang lain.

Entah kenapa hal itu malah membuat Kiran tersenyum dan lebih bersemangat dari yang sebelumnya.

Di lapangan volly indoor itu sudah ada banyak murid yang duduk di tribun. Yang bermain lebih awal adalah tim putri, terlihat di depan sana kedua Coach sedang mengobrol dengan seksama sebelum akhirnya kembali ke lapangan masing-masing.

“Oke untuk yang main pertama itu Kirana, Gisela, Mikha, Bianca, Caca, dan Michelle. Inget sama posisi masing-masing, oke?” ucap Coach Andy. “Kirana, kamu yang ambil alih.”

“Iya, Coach!” balas Kiran.

“Caca kamu inget kan posisi kamu sebagai opposite spiker? Jadi kamu harus inget tempat kamu dimana nanti, ngga usah gugup kalau gugup nanti kamu di omelin sama kak Achel,” ucap Kiran di iringi dengan candaan di akhir kalimatnya.

“Ayo, ayo pemanasan dulu biar gak cedera!” seru Gigi.

Willa dan kawan-kawan baru saja sampai di tribun lapangan dan mencari posisi tempat duduk yang pas agar bisa menonton permainannya dengan puas.

“Gila, gue baru sadar anak-anak volly setinggi itu,” ucap Ray.

“Kenapa lo ngga ikut masuk club volly aja waktu itu, Dith? Secara lo kan tinggi juga?” tanya Willa.

“Males gue sama olahraga yang banyak gerak gitu apalagi harus lompat-lompat,” jawab Yudith.

“Resiko buat cedera juga tinggi ngga sih? Kalau habis lompat terus kaki salah napak kan bahaya juga,” timpal Ray.

“Iya sih,” gumam Willa.

Suara peluit terdengar nyaring yang menandakan bahwa permainan pertama akan segera di mulai. Suara riuh dari penonton pun terdengar saat Mikha melepaskan servis pertamanya.

Permainan berlangsung cukup sengit karena kedua tim saling kejar mengejar skor satu sama lain. Dari 5 set pertandingan sekarang 2 set baru saja selesai dengan skor seimbang 1 : 1. Di set ketiga ini bola servis kembali pada tim SMA Kwangya.

“Ini padahal latih tanding doang tapi kok gue malah tegang,” ucap Ray.

“Sumpah sih ini—”

Buuuk!

Ucapan Yudith terhenti setelah suara benturan bola yang mengenai kepala salah satu pemain terdengar dengan keras, membuat beberapa penonton juga berdiri dari duduknya.

“Wil, anjir itu Kiran!” celetuk Ray sambil menepuk bahu Willa dengan keras.

“Hah? Kiran?!”

Dengan cepat Willa bangkit dari duduknya dan belari turun dari tribun menuju ke tengah lapangan.

“Ran, bangun, Ran! Kiran, lo denger suara gue ngga? Kirana!” tukas Achel sambil menepuk-nepuk pipi Kiran dengan pelan.

“Kiran! Minggir, minggir!” teriak Willa dari belakang kerumunan.

“Astaga, Kiran!” pekik Willa melihat Kiran yang sudah tidak sadarkan diri.

“Mik, bantuin gue! Angkatin Kiran ke punggung gue, cepetan!” sentak Willa.

“A‐ahh, o–oke!” balas Mikha lalu mengangkat Kiran ke punggung Willa di bantu oleh Gigi dan Achel.

Setelah Kiran berada di punggungnya Willa berlari mengikuti salah satu murid SMA Garuda yang mengantarnya menuju ruang UKS.

“Ada minyak kayu putih ngga? Atau aroma terapi apa aja deh,” tanya Willa sambil meletakan Kiran dengan pelan di ranjang UKS.

“Ada kak, bentar saya ambil dulu.”

Sambil menunggu Willa melepaskan sepatu yang di pakai Kiran dan mengipasinya dengan buku yang ada di meja nakas sebelah ranjang.

“Ini kak minyak kayu putih dan air hangat buat kakaknya kalau udah bangun.”

“Ah iya, makasih ya,” ucap Willa.

“Kalau gitu saya permisi dulu.”

Willa tersenyum dan mengangguk.

Dengan telaten Willa menggosokkan minyak kayu putih ke sekitar dahi dan bawah hidungnya lalu kembali mengipasi Kiran.

Sekitar 20 menit kemudian Kiran tersadar dari pingsannya dan kaget saat melihat Willa yang berada di hadapannya saat ini.

“Key, kamu ngga apa-apa?” seru Willa memanggil Kiran dengan nama kecilnya.

“Yang lain mana? Kok kamu sendirian disini?” lirih Kiran.

“Yang lain masih di lapangan, kamu kok ngga hati-hati sih?” balas Willa.

“Minum dulu ya,” Kiran menggeleng pelan.

“Mau aku panggilin Coach Andy? Atau temen-temen kamu aja?”

Lagi dan lagi Kiran hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Wil?”

“Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu? Atau mau langsung balik ke hotel aja?”

“Diem dulu, kepala aku pusing denger kamu ngoceh terus,” tutur Kiran.

“Maaf,” cicit Willa.

“Kepala aku sakit,” ucap Kiran sambil menggenggam tangan Willa.

“Sakit banget ya?” tanya Willa. Kiran mengangguk pelan.

“Geser dikit coba,” ucap Willa kemudian ikut berbaring di sebelah Kiran.

Tangan kirinya di jadikan bantal, lalu menarik Kiran ke dalam pelukannya dan mengelus pelan kepala Kiran.

“Tidur lagi gih, nanti aku bangunin kalau kita udah mau balik ke hotel,” ucap Willa.

“Willa?”

“Hm?”

“Aku boleh nanya ngga?” bisik Kiran.

“Boleh, nanya aja,” balas Willa.

“Kamu tuh sebenernya masih sayang sama aku atau engga sih?” tanya Kiran.

“Terus kita ini sebenernya apa? Kadang aku bingung sama hubungan kita. Kamu tau sendiri kalau kita udah putus, tapi sikap kamu akhir-akhir ini buat aku mikir kalau kita cuman break aja,” lanjut Kiran.

Willa hanya diam karna dia juga tidak tau harus menjawab apa. Memang benar apa yang di katakan Kiran, hubungan mereka terasa seperti hanya break sebentar saja bukan benar-benar berakhir.

“Willa, kalau semua ini cuman buat main-main aku mohon tolong jangan di terusin,” gumam Kiran yang perlahan mulai tertidur di dalam pelukan Willa

Minggu siang ini rencananya tim archery dan tim volly akan pergi mengunjungi SMA Garuda untuk sekedar melihat-lihat saja berhubung ini pertama kalinya untuk mereka.

Semuanya tampak sudah siap di loby hotel sambil menunggu beberapa orang lagi.

“Chel, lo make celana pendek gini lo pikir kita lagi di bali?” celetuk Mikha.

“Panas, Mik, lo nyuruh gue make celana panjang gitu? Yang ada gue keringetan,” dengus Achel.

“Berantem mulu lo berdua,” sambar Gigi.

“Ini kita berangkatnya kapan sih? Nanti makin tambah panas kalau kelamaan.”

Mikha, Achel dan Gigi serempak menoleh ke arah Kirana yang tampak kesal.

“Willa sama temen-temennya belum ada, terus juga Rigo sama yang lain kan masih di atas juga,” ujar Achel.

“Rigo tuh bisa gak sih nyuruh temen se-timnya displin sama waktu, selalu aja gini!” gerutu Kiran.

“Sabar, Ran, marah-marah mulu,” ucap Gigi menenangkan Kiran.

“Loh? Masih belum berangkat?” sahut Ray yang datang bersama Yudith serta kedua adik kelasnya Bella dan Luna.

“Nungguin lo!” ketus Mikha.

Mendengar itu Ray bergidik ngeri dan langsung bersembunyi di belakang Yudith.

“Sorry guys, tadi lagi ada masalah di kamar!” seru Rigo.

“Lain kali jangan telat, ada banyak orang yang nunggu,” ucap Jendra. “Coach Andy sama Coach Hendra udah nunggu di bis, ayo jalan,” lanjutnya.

Kiran yang sedari tadi diam menoleh ke sekitar, tidak ada Willa. Padahal Ray dan Yudith ada.

“Ray, Willa mana?” tanya Kiran.

“Di kamar, katanya sih ngga enak badan. Semalam juga pas gue sama Yudith balik dia mual-mual tuh,” jawab Ray.

“Mual? Kalian balik jam berapa semalam?”

“Eunghh, jam 9 lebih 20 menit sih kayaknya.”

“Terus dia makan ngga? Pagi tadi juga dia ikut sarapan atau ngga?”

“Semalam dia makan tapi sedikit, kalau pagi tadi dia ngunyah roti selai doang habis itu lanjut tidur,” jelas Ray. “Kenapa sih?”

“Ishh, bego!” tekas Kiran yang kemudian langsung berlari kembali ke arah lift.

“Hah? Kok ngatain gue bego sih? Woy Kiran!” teriak Ray.

“Itu Kiran mau kemana? Kok balik lagi?” sahut Mikha.

“Ya mana gue tau? Kenapa gak tanya langsung ke temennya?” balas Ray.

Mikha otomatis menatap Ray dengan tajam lalu menendang kaki cewek itu tepat di tulang keringnya membuat si pemilik kaki meringis kesakitan.

“Anjing!” umpat Ray sambil menahan rasa sakit di kakinya.


Setelah lift sampai di lantai 3 Kiran dengan cepat keluar dari lift dan menuju ke kamar Willa. Kenapa Kiran kembali berlari dengan terburu-buru? Jawabannya adalah Willa itu menderita penyakit maag, mendengar bahwa semalam Willa mual di tambah dengan kedua temannya itu baru kembali ke kamar tepat jam 9 malam membuat Kiran yakin kalau maag Willa kambuh. Karena dia tau jam makan Willa itu seharusnya jam 8 malam dan tidak bisa lebih dari itu.

“Kiran? Kok masih disini?” seru Willa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamar.

Kiran yang melihat Willa berdiri di hadapannya sekarang dengan pakaian yang rapih langsung menarik lengan Willa.

“Kamu mau kemana?” tanya Kiran.

“Ya... ikut bareng yang lain ke SMA Garuda?” jawab Willa.

Kiran menyipitkan kedua matanya, “Ngga, ayo balik ke kamar lagi. Aku udah minta staff hotel buat bawain makanan kesini.”

“Tapi itu—”

“Willa! Aku tau ya kamu semalam mual-mual, aku juga tau kamu telat makan malam, maag kamu kambuh kan?” potong Kiran.

“Anu, itu...”

“Ayo masuk, aku bawa mylanta buat jaga-jaga,” Kiran menarik Willa masuk ke kamarnya bersama Achel, Mikha dan Gigi.

Tidak menolak, Willa menuruti Kiran yang memintanya untuk masuk dan duduk di salah satu ranjang yang ada di kamar itu.

“Kamu sampai bawa mylanta kesini, sekhawatir itu ya sama aku?” sahut Willa menatap Kiran yang sedang menggeledah kopernya.

“Ngga usah kegeeran, Achel sama Gigi juga punya maag jadi aku bawa bukan cuman buat kamu aja,” sangkal Kiran.

Willa terkekeh, “Iya deh.”

“Nih, di minum dulu,” tukas Kiran sambil menyodorkan botol kecil berwarna hijau itu.

“Ini yang tablet atau sirup?” tanya Willa.

“Sirup.”

“Ngga ada yang tablet ya? Kamu kan tau aku ngga bisa kalau minum yang sirup,” pelas Willa.

Kiran mendengus kecil, masih saja sama seperti dulu ternyata.

“Taruh dua tangan kamu ke belakang terus angkat kepalanya ke atas,” pinta Kiran.

“Hah? Buat apa?”

“Ck, udah sih tinggal di lakuin aja!” omel Kiran.

Willa pun menurut sebelum Kiran yang akan memaksanya untuk melakukan hal itu.

“Tutup matanya, jangan berani gerakin tangannya, awas ya kalau berani di gerakin,” ancam Kiran.

Setelahnya Kiran membuka segel penutup botol obat itu, tangan kirinya menutup hidung Willa sebentar lalu menuangkan mylanta sirup itu ke dalam mulut Willa.

“Telan, jangan di muntahin!”

Willa menggeleng dengan keras dan berencana untuk memuntahkan obat cair itu tapi dengan cepat Kiran membekap mulutnya.

“Telan ngga! Kalau kamu muntahin aku bakal lapor ke Coach Hendra dan minta kamu buat di pulangin hari ini juga!”

Mendengar itu Willa dengan terpaksa menelan semua obat cair itu.

Good girl!” seru Kiran.

“Pahit Kiran!” rengek Willa dengan raut wajah yang ingin menangis.

“Buka mulutnya.”

“Hah?”

“Mau permen ngga? Kalau ngga mau yaudah,” ujar Kiran.

“Ihh iya, iya, aaaa...”

Kiran tertawa kecil saat Willa membuka mulutnya lalu memasukan permen dengan rasa jeruk ke dalam mulut Willa.

“Lain kali jangan telat makan malam lagi kalau ngga mau minum obatnya,” ucap Kiran.

“Aku ngga apa-apa sih kalau harus minum obatnya lagi selama kamu yang ngasih, asalkan di lakuin mouth to mouth,” seru Willa.

“Gila ya kamu?! Ngga usah bercanda!” omel Kiran.

“Haha iya, maaf,” tawa Willa. “Peluk dong.”

“Huh? Bu–buat apa?”

“Kepala aku pusing dikit, ngga lama kok bentar aja,” balas Willa lalu memeluk Kiran dan meletakan dagunya di bahu kanan Kiran.

“Makasih ya,” bisik Willa.

Itu hanya bisikan tapi cukup bisa membuat jantung Kiran berdetak lebih cepat dari yang biasanya.

.


.

Senin pagi ini rombongan KIHS bersiap untuk pergi ke SMA Garuda menggunakan bis. Mereka akan melakukan latih tanding hari ini, semuanya sudah berada di dalam bis termasuk Willa yang kemarin sempat tidak sehat.

“Lo yakin udah ngga apa-apa?” tanya Yudith.

“Iya gue udah ngga apa-apa, santai aja elah,” jawab Willa.

“Ya lagian lo gak bilang kalau kemarin maag lo kambuh,” decak Ray. “Ini kalau si Nala tau bisa-bisa gue sama Yudith yang di hajar.”

“Santai aja dih, lagian kemarin juga gue udah di urusin sama Kiran.”

“Emang bisa aja lo nyari kesempatan dalam kesempitan!” desis Yudith.

Perjalanan mereka memakan waktu 20 menit dari hotel menuju ke SMA Garuda. Untuk pertandingan lebih dulu itu di awali oleh archery sementara untuk volly akan di mulai setelahnya.

Saat sampai ada begitu banyak murid SMA Garuda yang menyambut mereka, padahal ini hanya latih tanding tapi terasa seperti pertandingan sungguhan.

“Kalian siap-siap aja ya, saya mau menemui Coach Liam dulu,” ucap Coach Hendra.

“Yang cowok ikut gue, kita sekalian pemanasan dulu,” sahut Jendra.

“Wil, kita yang lain duluan ke tribun ya, arahin tuh anak-anak lo!” seru Gigi.

“Haha okay, Gi!” balas Willa.

“Santai aja ngga usah tegang, kita cuman latih tanding doang kok, justru ini bagus buat ngelatih mental kalian juga biar gak gugup pas pertandingan beneran nanti,” ucap Ray.

“Santai tapi tetep fokus, tim archery dari sekolah kita tuh terkenal sebagai tim terbaik karna sering juara 1 di setiap turnamen, jadi jangan bikin malu nama sekolah sama tim archery kita, paham?” sambung Yudith.

“Paham kak,” balas Vio.

“Yaudah pakai sekarang aja finger tab, arm guard, sama chest guardnya, habis itu kita pemanasan dikit,” ucap Willa.

Ketiga adik kelasnya mengangguk lalu mengikuti arahan dari sang ketua.

Sementara Kiran dan anggota tim volleyball yang lain sudah duduk di tribun bersama para murid SMA Garuda yang juga ingin menonton.

“Denger-denger yang namanya Bella itu pernah ikut kejuaraan panahan dari dia SMP, bener ya?” sahut Mikha.

“Iya kak, kebetulan aku satu sekolah sama Bella. Dia sering ikut kejuaraan panahan mau itu yang dari dalam sekolah atau luar sekolah,” jawab Elena.

“Wuiih, hebat dong kalau gitu, masa depan tim archery sekolah kita udah cerah berarti,” timpal Gigi.

“Eh, itu mereka dateng!” celetuk Achel melihat kedatangan 2 tim putri yang tidak lain adalah tim Willa dan tim dari SMA Garuda.

Jujur saja melihat Willa dengan pakaian tandingnya itu membuat Kiran sedikit salah tingkah, kenapa? Karena Willa terlihat sangat keren dengan pakaian kebanggaannya itu.

Selama pertandingannya di mulai, Kiran hanya terus memperhatikan Willa. Sudah lama dia tidak melihat Willa memegang busur panah itu sudah lama semenjak mereka putus.

“Sumpah itu Bella, Vio sama Luna kok jago-jago banget? Ya gue tau sih mereka lumayan jago tapi gue gak tau kalau bakal sejago ini?” seru Achel.

“Itu tadi juga mereka nyetak angka 10 terus,” tambah Gigi.

“Yang tim cowok juga ngga kalah jago sih,” ujar Mikha.

“Berarti Willa sama Jendra ngga salah pilih anggota baru buat penerus mereka nanti,” ucap Kiran.

“Ayo, giliran kita sekarang. Kita mainnya di lapangan indoor,” tukas Coach Andy.

Kini seluruh penonton dari SMA Garuda tadi berhamburan menuju lapangan indoor untuk menonton pertandingan selanjutnya apalagi kalau bukan volleyball.

Kiran sempat melirik ke arah Willa yang sedang mengobrol dengan tim panahan dari SMA Garuda.

“Ngeliatnya gitu amat, Ran!” ejek Gigi.

“Apa sih, siapa juga yang lagi liatin Willa?” dengus Kiran.

“Loh, gue ngga nyebut nama padahal,” tawa Gigi membuat Kiran mendengus kesal dan meninggalkan Gigi yang sedang tertawa.

“Hey!”

“Gigi gue—”

Calm down, ini aku bukan Gigi,” seru Willa.

“Kenapa?” cetus Kiran.

“Galak banget sih wkwk,” tawa Willa. “Semangat ya mainnya, nanti aku lihatin dari bangku penonton!”

“Wil, bantuin sini anjir!” teriak Ray dari belakang.

“Pokoknya jangan sampai cedera lagi kaki atau tangannya, oke?!” ucap Willa lalu kembali ke lapangan untuk membantu teman-temannya yang lain.

Entah kenapa hal itu malah membuat Kiran tersenyum dan lebih bersemangat dari yang sebelumnya.

Di lapangan volly indoor itu sudah ada banyak murid yang duduk di tribun. Yang bermain lebih awal adalah tim putri, terlihat di depan sana kedua Coach sedang mengobrol dengan seksama sebelum akhirnya kembali ke lapangan masing-masing.

“Oke untuk yang main pertama itu Kirana, Gisela, Mikha, Bianca, Caca, dan Michelle. Inget sama posisi masing-masing, oke?” ucap Coach Andy. “Kirana, kamu yang ambil alih.”

“Iya, Coach!” balas Kiran.

“Caca kamu inget kan posisi kamu sebagai opposite spiker? Jadi kamu harus inget tempat kamu dimana nanti, ngga usah gugup kalau gugup nanti kamu di omelin sama kak Achel,” ucap Kiran di iringi dengan candaan di akhir kalimatnya.

“Ayo, ayo pemanasan dulu biar gak cedera!” seru Gigi.

Willa dan kawan-kawan baru saja sampai di tribun lapangan dan mencari posisi tempat duduk yang pas agar bisa menonton permainannya dengan puas.

“Gila, gue baru sadar anak-anak volly setinggi itu,” ucap Ray.

“Kenapa lo ngga ikut masuk club volly aja waktu itu, Dith? Secara lo kan tinggi juga?” tanya Willa.

“Males gue sama olahraga yang banyak gerak gitu apalagi harus lompat-lompat,” jawab Yudith.

“Resiko buat cedera juga tinggi ngga sih? Kalau habis lompat terus kaki salah napak kan bahaya juga,” timpal Ray.

“Iya sih,” gumam Willa.

Suara peluit terdengar nyaring yang menandakan bahwa permainan pertama akan segera di mulai. Suara riuh dari penonton pun terdengar saat Mikha melepaskan servis pertamanya.

Permainan berlangsung cukup sengit karena kedua tim saling kejar mengejar skor satu sama lain. Dari 5 set pertandingan sekarang 2 set baru saja selesai dengan skor seimbang 1 : 1. Di set ketiga ini bola servis kembali pada tim SMA Kwangya.

“Ini padahal latih tanding doang tapi kok gue malah tegang,” ucap Ray.

“Sumpah sih ini—”

Buuuk!

Ucapan Yudith terhenti setelah suara benturan bola yang mengenai kepala salah satu pemain terdengar dengan keras, membuat beberapa penonton juga berdiri dari duduknya.

“Wil, anjir itu Kiran!” celetuk Ray sambil menepuk bahu Willa dengan keras.

“Hah? Kiran?!”

Dengan cepat Willa bangkit dari duduknya dan belari turun dari tribun menuju ke tengah lapangan.

“Ran, bangun, Ran! Kiran, lo denger suara gue ngga? Kirana!” tukas Achel sambil menepuk-nepuk pipi Kiran dengan pelan.

“Kiran! Minggir, minggir!” teriak Willa dari belakang kerumunan.

“Astaga, Kiran!” pekik Willa melihat Kiran yang sudah tidak sadarkan diri.

“Mik, bantuin gue! Angkatin Kiran ke punggung gue, cepetan!” sentak Willa.

“A‐ahh, o–oke!” balas Mikha lalu mengangkat Kiran ke punggung Willa di bantu oleh Gigi dan Achel.

Setelah Kiran berada di punggungnya Willa berlari mengikuti salah satu murid SMA Garuda yang mengantarnya menuju ruang UKS.

“Ada minyak kayu putih ngga? Atau aroma terapi apa aja deh,” tanya Willa sambil meletakan Kiran dengan pelan di ranjang UKS.

“Ada kak, bentar saya ambil dulu.”

Sambil menunggu Willa melepaskan sepatu yang di pakai Kiran dan mengipasinya dengan buku yang ada di meja nakas sebelah ranjang.

“Ini kak minyak kayu putih dan air hangat buat kakaknya kalau udah bangun.”

“Ah iya, makasih ya,” ucap Willa.

“Kalau gitu saya permisi dulu.”

Willa tersenyum dan mengangguk.

Dengan telaten Willa menggosokkan minyak kayu putih ke sekitar dahi dan bawah hidungnya lalu kembali mengipasi Kiran.

Sekitar 20 menit kemudian Kiran tersadar dari pingsannya dan kaget saat melihat Willa yang berada di hadapannya saat ini.

“Key, kamu ngga apa-apa?” seru Willa memanggil Kiran dengan nama kecilnya.

“Yang lain mana? Kok kamu sendirian disini?” lirih Kiran.

“Yang lain masih di lapangan, kamu kok ngga hati-hati sih?” balas Willa.

“Minum dulu ya,” Kiran menggeleng pelan.

“Mau aku panggilin Coach Andy? Atau temen-temen kamu aja?”

Lagi dan lagi Kiran hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Wil?”

“Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu? Atau mau langsung balik ke hotel aja?”

“Diem dulu, kepala aku pusing denger kamu ngoceh terus,” tutur Kiran.

“Maaf,” cicit Willa.

“Kepala aku sakit,” ucap Kiran sambil menggenggam tangan Willa.

“Sakit banget ya?” tanya Willa. Kiran mengangguk pelan.

“Geser dikit coba,” ucap Willa kemudian ikut berbaring di sebelah Kiran.

Tangan kirinya di jadikan bantal, lalu menarik Kiran ke dalam pelukannya dan mengelus pelan kepala Kiran.

“Tidur lagi gih, nanti aku bangunin kalau kita udah mau balik ke hotel,” ucap Willa.

“Willa?”

“Hm?”

“Aku boleh nanya ngga?” bisik Kiran.

“Boleh, nanya aja,” balas Willa.

“Kamu tuh sebenernya masih sayang sama aku atau engga sih?” tanya Kiran.

“Terus kita ini sebenernya apa? Kadang aku bingung sama hubungan kita. Kamu tau sendiri kalau kita udah putus, tapi sikap kamu akhir-akhir ini buat aku mikir kalau kita cuman break aja,” lanjut Kiran.

Willa hanya diam karna dia juga tidak tau harus menjawab apa. Memang benar apa yang di katakan Kiran, hubungan mereka terasa seperti hanya break sebentar saja bukan benar-benar berakhir.

“Willa, kalau semua ini cuman buat main-main aku mohon tolong jangan di terusin. Kamu sendiri tau segimana sayangnya aku sama kamu walaupun aku sempet kecewa dengan keputusan sepihak kamu waktu itu,” gumam Kiran.

“Jangan sakitin aku buat yang kedua kalinya lagi, Willa.” lanjutnya yang perlahan mulai tertidur di dalam pelukan Willa.

“Maaf kalau udah bikin kamu sakit, Key,” gumam Willa sekecil mungkin.

Minggu siang ini rencananya tim archery dan tim volly akan pergi mengunjungi SMA Garuda untuk sekedar melihat-lihat saja berhubung ini pertama kalinya untuk mereka.

Semuanya tampak sudah siap di loby hotel sambil menunggu beberapa orang lagi.

“Chel, lo make celana pendek gini lo pikir kita lagi di bali?” celetuk Mikha.

“Panas, Mik, lo nyuruh gue make celana panjang gitu? Yang ada gue keringetan,” dengus Achel.

“Berantem mulu lo berdua,” sambar Gigi.

“Ini kita berangkatnya kapan sih? Nanti makin tambah panas kalau kelamaan.”

Mikha, Achel dan Gigi serempak menoleh ke arah Kirana yang tampak kesal.

“Willa sama temen-temennya belum ada, terus juga Rigo sama yang lain kan masih di atas juga,” ujar Achel.

“Rigo tuh bisa gak sih nyuruh temen se-timnya displin sama waktu, selalu aja gini!” gerutu Kiran.

“Sabar, Ran, marah-marah mulu,” ucap Gigi menenangkan Kiran.

“Loh? Masih belum berangkat?” sahut Ray yang datang bersama Yudith serta kedua adik kelasnya Bella dan Luna.

“Nungguin lo!” ketus Mikha.

Mendengar itu Ray bergidik ngeri dan langsung bersembunyi di belakang Yudith.

“Sorry guys, tadi lagi ada masalah di kamar!” seru Rigo.

“Lain kali jangan telat, ada banyak orang yang nunggu,” ucap Jendra. “Coach Andy sama Coach Hendra udah nunggu di bis, ayo jalan,” lanjutnya.

Kiran yang sedari tadi diam menoleh ke sekitar, tidak ada Willa. Padahal Ray dan Yudith ada.

“Ray, Willa mana?” tanya Kiran.

“Di kamar, katanya sih ngga enak badan. Semalam juga pas gue sama Yudith balik dia mual-mual tuh,” jawab Ray.

“Mual? Kalian balik jam berapa semalam?”

“Eunghh, jam 9 lebih 20 menit sih kayaknya.”

“Terus dia makan ngga? Pagi tadi juga dia ikut sarapan atau ngga?”

“Semalam dia makan tapi sedikit, kalau pagi tadi dia ngunyah roti selai doang habis itu lanjut tidur,” jelas Ray. “Kenapa sih?”

“Ishh, bego!” tekas Kiran yang kemudian langsung berlari kembali ke arah lift.

“Hah? Kok ngatain gue bego sih? Woy Kiran!” teriak Ray.

“Itu Kiran mau kemana? Kok balik lagi?” sahut Mikha.

“Ya mana gue tau? Kenapa gak tanya langsung ke temennya?” balas Ray.

Mikha otomatis menatap Ray dengan tajam lalu menendang kaki cewek itu tepat di tulang keringnya membuat si pemilik kaki meringis kesakitan.

“Anjing!” umpat Ray sambil menahan rasa sakit di kakinya.


Setelah lift sampai di lantai 3 Kiran dengan cepat keluar dari lift dan menuju ke kamar Willa. Kenapa Kiran kembali berlari dengan terburu-buru? Jawabannya adalah Willa itu menderita penyakit maag, mendengar bahwa semalam Willa mual di tambah dengan kedua temannya itu baru kembali ke kamar tepat jam 9 malam membuat Kiran yakin kalau maag Willa kambuh. Karena dia tau jam makan Willa itu seharusnya jam 8 malam dan tidak bisa lebih dari itu.

“Kiran? Kok masih disini?” seru Willa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamar.

Kiran yang melihat Willa berdiri di hadapannya sekarang dengan pakaian yang rapih langsung menarik lengan Willa.

“Kamu mau kemana?” tanya Kiran.

“Ya... ikut bareng yang lain ke SMA Garuda?” jawab Willa.

Kiran menyipitkan kedua matanya, “Ngga, ayo balik ke kamar lagi. Aku udah minta staff hotel buat bawain makanan kesini.”

“Tapi itu—”

“Willa! Aku tau ya kamu semalam mual-mual, aku juga tau kamu telat makan malam, maag kamu kambuh kan?” potong Kiran.

“Anu, itu...”

“Ayo masuk, aku bawa mylanta buat jaga-jaga,” Kiran menarik Willa masuk ke kamarnya bersama Achel, Mikha dan Gigi.

Tidak menolak, Willa menuruti Kiran yang memintanya untuk masuk dan duduk di salah satu ranjang yang ada di kamar itu.

“Kamu sampai bawa mylanta kesini, sekhawatir itu ya sama aku?” sahut Willa menatap Kiran yang sedang menggeledah kopernya.

“Ngga usah kegeeran, Achel sama Gigi juga punya maag jadi aku bawa bukan cuman buat kamu aja,” sangkal Kiran.

Willa terkekeh, “Iya deh.”

“Nih, di minum dulu,” tukas Kiran sambil menyodorkan botol kecil berwarna hijau itu.

“Ini yang tablet atau sirup?” tanya Willa.

“Sirup.”

“Ngga ada yang tablet ya? Kamu kan tau aku ngga bisa kalau minum yang sirup,” pelas Willa.

Kiran mendengus kecil, masih saja sama seperti dulu ternyata.

“Taruh dua tangan kamu ke belakang terus angkat kepalanya ke atas,” pinta Kiran.

“Hah? Buat apa?”

“Ck, udah sih tinggal di lakuin aja!” omel Kiran.

Willa pun menurut sebelum Kiran yang akan memaksanya untuk melakukan hal itu.

“Tutup matanya, jangan berani gerakin tangannya, awas ya kalau berani di gerakin,” ancam Kiran.

Setelahnya Kiran membuka segel penutup botol obat itu, tangan kirinya menutup hidung Willa sebentar lalu menuangkan mylanta sirup itu ke dalam mulut Willa.

“Telan, jangan di muntahin!”

Willa menggeleng dengan keras dan berencana untuk memuntahkan obat cair itu tapi dengan cepat Kiran membekap mulutnya.

“Telan ngga! Kalau kamu muntahin aku bakal lapor ke Coach Andy dan minta kamu buat di pulangin hari ini juga!”

Mendengar itu Willa dengan terpaksa menelan semua obat cair itu.

Good girl!” seru Kiran.

“Pahit Kiran!” rengek Willa dengan raut wajah yang ingin menangis.

“Buka mulutnya.”

“Hah?”

“Mau permen ngga? Kalau ngga mau yaudah,” ujar Kiran.

“Ihh iya, iya, aaaa...”

Kiran tertawa kecil saat Willa membuka mulutnya lalu memasukan permen dengan rasa jeruk ke dalam mulut Willa.

“Lain kali jangan telat makan malam lagi kalau ngga mau minum obatnya,” ucap Kiran.

“Aku ngga apa-apa sih kalau harus minum obatnya lagi selama kamu yang ngasih, asalkan di lakuin mouth to mouth,” seru Willa.

“Gila ya kamu?! Ngga usah bercanda!” omel Kiran.

“Haha iya, maaf,” tawa Willa. “Peluk dong.”

“Huh? Bu–buat apa?”

“Kepala aku pusing dikit, ngga lama kok bentar aja,” balas Willa lalu memeluk Kiran dan meletakan dagunya di bahu kanan Kiran.

“Makasih ya,” bisik Willa.

Itu hanya bisikan tapi cukup bisa membuat jantung Kiran berdetak lebih cepat dari yang biasanya.

.


.

Senin pagi ini rombongan KIHS bersiap untuk pergi ke SMA Garuda menggunakan bis. Mereka akan melakukan latih tanding hari ini, semuanya sudah berada di dalam bis termasuk Willa yang kemarin sempat tidak sehat.

“Lo yakin udah ngga apa-apa?” tanya Yudith.

“Iya gue udah ngga apa-apa, santai aja elah,” jawab Willa.

“Ya lagian lo gak bilang kalau kemarin maag lo kambuh,” decak Ray. “Ini kalau si Nala tau bisa-bisa gue sama Yudith yang di hajar.”

“Santai aja dih, lagian kemarin juga gue udah di urusin sama Kiran.”

“Emang bisa aja lo nyari kesempatan dalam kesempitan!” desis Yudith.

Perjalanan mereka memakan waktu 20 menit dari hotel menuju ke SMA Garuda. Untuk pertandingan lebih dulu itu di awali oleh archery sementara untuk volly akan di mulai setelahnya.

Saat sampai ada begitu banyak murid SMA Garuda yang menyambut mereka, padahal ini hanya latih tanding tapi terasa seperti pertandingan sungguhan.

“Kalian siap-siap aja ya, saya mau menemui Coach Randy dulu,” ucap Coach Andy.

“Yang cowok ikut gue, kita sekalian pemanasan dulu,” sahut Jendra.

“Wil, kita yang lain duluan ke tribun ya, arahin tuh anak-anak lo!” seru Gigi.

“Haha okay, Gi!” balas Willa.

“Santai aja ngga usah tegang, kita cuman latih tanding doang kok, justru ini bagus buat ngelatih mental kalian juga biar gak gugup pas pertandingan beneran nanti,” ucap Ray.

“Santai tapi tetep fokus, tim archery dari sekolah kita tuh terkenal sebagai tim terbaik karna sering juara 1 di setiap turnamen, jadi jangan bikin malu nama sekolah sama tim archery kita, paham?” sambung Yudith.

“Paham kak,” balas Vio.

“Yaudah pakai sekarang aja finger tab, arm guard, sama chest guardnya, habis itu kita pemanasan dikit,” ucap Willa.

Ketiga adik kelasnya mengangguk lalu mengikuti arahan dari sang ketua.

Sementara Kiran dan anggota tim volleyball yang lain sudah duduk di tribun bersama para murid SMA Garuda yang juga ingin menonton.

“Denger-denger yang namanya Bella itu pernah ikut kejuaraan panahan dari dia SMP, bener ya?” sahut Mikha.

“Iya kak, kebetulan aku satu sekolah sama Bella. Dia sering ikut kejuaraan panahan mau itu yang dari dalam sekolah atau luar sekolah,” jawab Elena.

“Wuiih, hebat dong kalau gitu, masa depan tim archery sekolah kita udah cerah berarti,” timpal Gigi.

“Eh, itu mereka dateng!” celetuk Achel melihat kedatangan 2 tim putri yang tidak lain adalah tim Willa dan tim dari SMA Garuda.

Jujur saja melihat Willa dengan pakaian tandingnya itu membuat Kiran sedikit salah tingkah, kenapa? Karena Willa terlihat sangat keren dengan pakaian kebanggaannya itu.

Selama pertandingannya di mulai, Kiran hanya terus memperhatikan Willa. Sudah lama dia tidak melihat Willa memegang busur panah itu sudah lama semenjak mereka putus.

“Ayo turun, udah sampai nih!” seru Chaewon seraya melepaskan seatbeltnya. “Ngga usah tegang gitu bisa ngga? Santai aja!”

“Masalahnya aku ngga kenal siapa-siapa disini selain kamu, Chae!”

“Ya ampun Rina, ngga ada yang bakal makan kamu juga! Udah ayo turun.”

Dengan sedikit gugup bercampur takut Rina keluar dari mobil Chaewon dan menyusul temannya itu.

“Aku udah dapat info dari salah satu temen, katanya nanti kelas pertama kita ada di lantai 3 ruangan A-2,” ucap Chaewon.

“Emang kamu tau letak kelasnya dimana?” tanya Rina.

“Tau sih tapi agak lupa-lupa inget.”

Rina menatapnya dengan aneh, sungguh ucapan yang tidak bisa di percaya.

“Mending kita liat-liat gedungnya dulu, kamu kan ngga ikut ospek kemarin,” ucap Chaewon.

“Kamu udah kenal sama beberapa orang yang sejurusan sama kita?”

“Lumayan banyak sih, Rin. Tapi ya ngga semua juga.” Rina mengangguk mendengarnya, dia tidak akan heran sih jika dalam waktu kurang dari sebulan Chaewon akan mengenal semua teman sejurusan dengan mereka.

Jika di pikir-pikir gedung fakultas ini terlalu besar untuk di ingat oleh Rina, dia sangat lemah jika harus mengingat setiap sudut gedung fakultasnya.

“Rin, aku mau beli minum dulu kamu mau nitip sesuatu ngga?” sahut Chaewon.

“Berdua aja kita belinya,” timpal Rina.

“Ngga, kamu disini aja biar aku yang beli. Nanti ribet kalau kamu ikut,” celetuk Chaewon.

Rina mendengus kecil, “Yaudah, apa aja deh terserah kamu.”

“Oke, tunggu disini dan jangan kemana-mana!” tekas Chaewon lalu meninggalkan Rina sendiri tanpa tau apa-apa dan tanpa mengenal siapa-siapa.


Winter sebenarnya sudah sampai sejak 10 menit yang lalu, tapi dia masih berada di depan gedung fakultas karena menunggu Minju dan Ryujin tiba.

“Mereka kejebak macet apa gimana? Kok belum nyampe?” gumam Winter sambil menatap arloji di tangannya.

“Aku masuk duluan aja kali ya?”

Setelah sempat berperang batin akhirnya Winter memutuskan untuk masuk lebih dulu. Menyapa satu persatu mahasiswa yang lewat dan berpapasan dengannya.

Winter jadi sedikit terkenal di kalangan mahasiswa baru dan para senior setelah berkat penampilannya saat ospek kemarin.

“Pagi Winter!”

“Pagi juga kak Arin!” balas Winter sambil tersenyum.

Pandangannya tertuju ke seluruh suduh bangunan gedung fakuktasnya, kemarin dia tidak sempat untuk memperhatikan dengan detail bangunan nan besar ini.

“Huh?” gumam Winter sekecil mungkin saat melihat sosok yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Sesekali Winter menggosok kedua matanya berharap bahwa dia salah lihat dan hanya berhalusinasi saja.

“Kak Karina? Itu serius kak Karina?” lirih Winter.

“Chaewon kok beli minum doang lama banget sih? Dia belinya di bandung apa gimana,” celoteh Rina yang mulai bosan menunggu temannya itu.

“Kak?”

Rina menoleh, “Iya? Eh?!”

Beberapa detik setelahnya Rina tersadar, kenapa dia harus menyahut saat ada seseorang yang memanggil dengan sebutan 'kak'? Dia kan bukan senior.

“Ahh, mahasiswa baru juga ya? Maaf, tapi—”

“Kak Karin?”

“Hah? Karin?” celetuk Rina bingung. Semakin bingung saat mahasiswi di depannya ini tiba-tiba saja menangis sambil menutup wajahnya.

“Loh? Hey, kok nangis? are you okay?” seru Rina. Ia melirik ke kanan dan ke kiri.

“Hey, jangan nangis, nanti orang-orang mikir aku yang bikin kamu nangis.”

Bukannya berhenti mahasiswi di depannya itu semakin menangis, membuat Rina semakin bingung dan memilih untuk menghubungi Chaewon.

Jujur saja, Rina tidak memiliki pengalaman dalam urusan seperti ini.

“Ki–kita duduk dulu, okay? A–ayo duduk dulu.” Rina menuntunnya untuk duduk di gazebo yang tidak jauh dari situ.

Sssttt, udah dong nangisnya, aku ngga tau cara nenangin orang yang nangis. Jadi, ayo berhenti dulu nangisnya terus ngomong kamu kenapa,” ucap Rina berharap bahwa ucapannya itu akan membuat sedikit tenang dan ternyata berhasil.

“Oke, pelan-pelan dulu, udah tenang sekarang?”

Walaupun masih sesegukan Rina bisa melihat bawah dia sudah cukup tenang sekarang.

“Cantik.” batin Rina

“Rinaaa! Mana? Mana cewek yang kamu buat nangis?!” Chaewon berlari ke arah Rina sambil berteriak yang mana membuat beberapa mahasiswa menatapnya.

“Astaga, Chae! Ngga usah teriak juga!” tegur Rina.

“Mana cewek yang—WINTER?!”

“Kim Chaewon, shut up please!”

“Aduh, maaf banget ya kalau temen aku ini buat kamu nangis! Maaf banget soalnya dia masih agak sedikit gila, jadi yah gitu,” ujar Chaewon.

“Gi–gila? Aku?” dengus Rina tidak percaya.

Sementara kedua orang itu berdebat Winter masih terus memperhatikan wajah Rina dengan seksama.

Itu sangat mirip, sangat sangat mirip dengan Karinya-nya.

“Chaewon diem! Sekali lagi kamu ngomong aku pukul loh ya!” ancamnya.

“Hey, kamu ngga apa-apa kan?” seru Rina.

Winter hanya mengangguk kecil membalasnya.

“Eumm, aku minta maaf kalau aku secara ngga langsung buat kamu nangis, tapi lain kali jangan tiba-tiba nangis di depan orang asing lagi ya? Takutnya kamu di sangka penipu atau maling.”

“Rin, astaga mulutnya!” celetuk Chaewon.

“Ma–maaf,” gumam Winter.

It's okay.”

“Maaf kalau bikin kamu kurang nyaman karna aku yang tiba-tiba aja nangis di depan kamu,” ucap Winter.

“Ngga apa-apa, walaupun aku sedikit kaget sih.”

“Ka–kalau gitu aku pamit dulu, sekali lagi maaf!” Dengan cepat Winter berdiri dari duduknya.

Dia ingin percaya jika orang yang berada di depannya saat ini adalah Karina tapi melihat dari sikapnya yang jauh lebih lembut dari Karina membuat Winter kambali menarik pikirannya.

“Hey! Kita belum kenalan!” panggil Rina. Winter berhenti dan kembali menoleh.

“Katarina Shon, just call me Rina.”

Winter hanya diam, semenit kemudian dia pergi meninggalkan Rina dan Chaewon berdua tanpa mengucapkan apa-apa.

Chaewon tertawa geli melihat Rina yang murung dan mempoutkan bibirnya karena tidak mendapat balasan dari Winter.

“Emang aku keliatan semenakutkan itu ya sampai-sampai dia nangis terus ngga ngebales?” tanya Rina dengan wajah sedihnya.

“Hahaha ya aku ngga tau?!” tawa Chaewon dengan puas.

Rina mendengus kesal mendengar balasan temannya itu. Bukannya membantu untuk menghiburnya tapi Chaewon malah tertawa.

Klakson mobil dari depan rumahnya terdengar yang menandakan bahwa Willa sudah sampai. Dengan cepat Kiran segera menuju ke halam rumahnya yang ternyata Willa sudah menunggunya di depan mobil sambil tersenyum.

Kiran memperhatikan Willa yang saat itu memakai baju panjang berwarna putih, celana jeans hitam di padukan dengan sepatu Nike Air Force 1 warna putih dan topi beani yang berwarna kuning.

Bayangkan saja bagaimana kondisi Kiran saat melihat mantan pacarnya ini yang semakin keren setiap harinya.

“Hey, ayo! Kok malah bengong sih?” sahut Willa.

“Hah? Ah iya, ayo!” celetuk Kiran setelah tersadar dari lamunannya.

Willa tertawa kecil melihat ekspresi linglung Kirana itu.

“Btw, kamu cantik kalau dandan kayak gini. Simpel, tapi cantik,” puji Willa setelah keduanya berada di dalam mobil.

Kiran hanya bisa tertawa kikuk mendengarnya. Tapi Willa mengatakan yang sejujurnya. Memang, Kiran hanya memakai baju lengan pendek berwarna hijau dengan bawahan rok berlapis dua warna putih sebetis dan sepatu sneakers putih, tapi bagi Willa itu sudah sangat cantik untuknya apalagi Kiran membiarkan rambut hitam panjangnya terurai bebas.

Selama dalam perjalanan menuju mall, keduanya terus mengobrol hal-hal kecil seperti latihan, pertandingan dan lain sebagainya. Walau lebih sering Willa yang bercerita sih, karena Kiran tidak tau juga apa yang harus dia bahas.

“Karcis parkirnya simpan di kamu aja ya, aku takut nanti hilang,” ucap Willa setelah sampai di parkiran basement.

“Iya, mau sekalian sama handphonenya juga ngga? Biar ngga hilang kayak waktu itu,” ujar Kiran.

Willa tertawa, “Boleh deh, nitip bentar ya.”

Kiran tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Keduanya kemudian memasuki mall yang untungnya tidak terlalu ramai walau ada banyak orang yang berlalu lalang di setiap lantai.

“Kita beli punya kamu dulu deh,” sahut Willa.

“Ngga apa-apa beli punyaku dulu?” tanya Kiran.

“Iya ngga apa-apa. Kamu mau beli apa selain bola?”

“Sepatu, elbowpad, sama kneepad,” jawab Kiran.

Kneepad itu buat yang di lutut kan yah? Terus kalau yang elbowpad buat yang dimana?”

“Iya itu buat lutut, kalau yang elbowpad itu buat yang di siku.”

Willa mengangguk paham mendengar jawaban Kiran. Dia tidak terlalu tau dengan hal-hal yang seperti itu, dia hanya tau menonton pertandingan voli dengan duduk diam dan saat bolanya masuk dia akan ikut berteriak seperti yang lainnya.

“Wil, sini. Kita lihat disini dulu,” ujar Kiran menarik lengan Willa saat cewek itu terus berjalan tanpa henti.

Mereka berhenti di salah satu toko alat perlengkapan olahraga. Mata Willa menelusuri seisi toko itu.

“Willa?” panggil Kiran.

Willa menengok, “Iya, Ran? Kenapa?”

“Bantu pilihin sepatunya.”

“Waaah, kalau soal sepatu khusus buat voli sih aku ngga terlalu ngerti, Ran,” seru Willa.

“Ngga apa-apa, pilih yang mana menurut kamu bagus aja, ini sama semua kok kualitasnya,” balas Kiran.

“O–oke kalau gitu,” gumam Willa.

“Aku mau nyari elbowpad sama kneepad dulu, nanti kasih tau aku kalau kamu udah selesai milih,” ucap Kiran lalu meninggalkan Willa sendirian.

“Terserah gue kan yah? Yang paling bagus menurut gue? Hmm,” monolog Willa sambil melihat sejumlah sepatu voli di depannya.

Setelah hampir 10 menit akhirnya Kiran kembali ke tempat Willa yang tadi, kebetulan Willa juga baru saja selesai memilih sepatunya.

“Udah selesai milihnya?” tanya Kiran.

“Udah, nih!” Willa menyerahkan sepatu pilihannya dengan merk MIZUNO WAVE MOMENTUM 2 MID V1GA2117 White Black US11.

Good choices!”

Sambil tersenyum Kirana menuju meja kasir untuk segera membayar belanjaannya. Selesai dengan itu sekarang Willa yang menuju ke toko langganannya saat ingin membeli beberapa alat untuk panahan.

“Kamu mau beli apa aja?” tanya Kiran.

Riser, stabilizer, sama bowstring, udah rusak soalnya,” jawab Willa. “Ngga lama kok, soalnya aku udah sering beli di toko ini jadi pasti bisa cepet.”

“Ngga perlu buru-buru juga sih, lagian aku suka lama-lama kayak gini,” ucap Kiran.

“Huh?”

“A–anu maksud aku tuh, kita udah lama ngga jalan ke mall bareng jadi...”

“Wkwkwk iya-iya, habis ini kita nyari bola voli terus makan. Kamu belum makan siang kan?”

Kiran hanya mengangguk mengiyakan ucapan Willa.

Saat sampai di toko yang di maksud Kiran terus mengekori Willa dari belakang, melihat cewek itu yang serius menatap satu persatu alat-alat panahan yang ada disana.

“Ini anak panahnya kok keliatan beda-beda, Wil?” celetuk Kiran.

“Iya, anak panah emang ada 3 macam, Ran. Yang terbuat dari kayu, alumunium sama yang dari carbon,” jelas Willa. Kiran kembali mengangguk, dia mendapat sedikit pengetahuan lagi.

Awalnya Willa berniat hanya membeli 3 alat, tapi sekarang dia malah berakhir membeli 1 set alat perlengkapan panahannya termasuk anak panah jenis carbon.

Dan juga berakhir dengan Kiran yang menceramahi Willa sepanjang jalan setelah tau harga 1 set alat yang baru saja Willa beli itu. Mendengar harga anak panah jenis carbon yang mencapai 6 juta perlusin saja Kiran sudah marah apalagi dengan total keseluruhannya.


“Ya ampun masih ngomel aja, udah dari tadi loh? Aku malu di liatin banyak orang,” bisik Willa.

“Biarin, biar sekalian semua orang denger! Dari dulu ngga pernah hilang sifat borosnya,” dumel Kiran.

“Aku beli 1 set juga buat persiapan turnamen, Ran. Lagian aku beli kan tetep aku pakai juga, ngga aku anggurin,” jelas Willa.

“Yaah, terserah apa kata kamu aja!”

Willa tertawa, sudah lama rasanya mendengar Kirana yang mengomelinya karena membuang-buang terlalu banyak uang.

“Biar aku yang bawa ini!” seru Willa yang langsung mengambil alih paperbag besar yang berisi 3 bola volly.

“Willa, kamu capek ngga?” sahut Kiran tiba-tiba.

“Ngga terlalu, kenapa?”

“Kita main pump it up dulu sebelum nyari makan mau ngga? Aku udah lama ngga main,” seru Kiran.

“Ayo aja sih aku, lagian belum terlalu sore juga kan buat nyari makan?”

Dengan senyum yang merekah Kiran menarik lengan Willa dengan penuh semangat menuju lantai atas mall, tempat timezone berada.

Melihat Kiran yang begitu bahagia membuat Willa ikut tersenyum. Sudah lama dia tidak melihat Kiran yang sangat bersemangat dan senang seperti sekarang. Willa mengambil alih semua belanjaan Kiran dan membiarkan Kiran bermain semaunya.

Lumayan lama mereka berada di timezone sampai akhirnya Kiran sudah merasa cukup dan mengajak Willa untuk mencari makan karna jujur saja dia sangat lapar sekarang ini.

Keduanya menuju ke salah satu resto yang berada di mall itu dengan kedua tangan Willa yang penuh akan barang belanjaan.

“Itu aja mas pesanannya, terima kasih!” seru Kiran.

“Kamu keliatan seneng banget sehabis main tadi, seru ya?” ujar Wila.

Kiran tersenyum, “Iya, aku udah lama ngga main soalnya, udah jarang ke mall juga kalau ngga bareng yang lain.”

“Kamu kalau pengen main lagi bisa kok ajak aku, selama aku bisa temenin sih ngga apa-apa.”

“Pengennya sih gitu tapi kan kita sama-sama sibuk latihan buat turnamen-turnamen yang ada,” jelas Kiran.

“Haha, iya sih,” tawa Willa.

Selanjutnya mereka kembali diam sampai makanan yang di pesan datang. Keduanya menyantap makanan masing-masing dengan diam, Kiran memperhatikan Willa yang malah asik bermain dengan ponselnya padahal makanannya belum habis.

“Kebiasaan,” batin Kiran.

Tepat pukul 18.30 WIB Willa kembali mengantarkan Kiran ke rumahnya. Ia ikut turun dari mobil membantu mengeluarkan belanjaan Kiran tadi.

“Nih belanjaannya, yakin ngga mau aku bantu bawain sampai ke dalam rumah?” seru Willa.

“Ngga apa-apa, aku bisa bawa sendiri kok,” balas Kiran.

“Yaudah kalau gitu,” gumam Willa.

“Makasih ya udah nemenin aku buat beli semua ini, makasih juga buat makanannya, lain kali aku yang bayar deh,” ucap Kiran.

“Sama-sama, lagian kan aku juga niatnya mau ngajakin kamu buat temenin aku beli alat-alat yang tadi.” Willa tersenyum manis, “Aku balik sekarang ya?”

“Iya, hati-hati!”

Willa mengangguk lalu berbalik dan berjalan menuju ke mobilnya.

“Willa, tunggu!” celetuk Kiran dengan cepat.

Willa menoleh, “Iya?”

Chuu

Satu kecupan singkat di pipi kirinya cukup membuat Willa terdiam membeku seperti patung.

“Kabarin aku kalau kamu udah sampai rumah, see you tomorrow, Willa!”

Kiran dengan cepat berlari masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Willa yang masih mematung di tempatnya dengan sejuta pertanyaan yang melintas di kepalanya.

Klakson mobil dari depan rumahnya terdengar yang menandakan bahwa Willa sudah sampai. Dengan cepat Kiran segera menuju ke halam rumahnya yang ternyata Willa sudah menunggunya di depan mobil sambil tersenyum.

Kiran memperhatikan Willa yang saat itu memakai baju panjang berwarna putih, celana jeans hitam di padukan dengan sepatu Nike Air Force 1 warna putih dan topi beani yang berwarna kuning.

Bayangkan saja bagaimana kondisi Kiran saat melihat mantan pacarnya ini yang semakin keren setiap harinya.

“Hey, ayo! Kok malah bengong sih?” sahut Willa.

“Hah? Ah iya, ayo!” celetuk Kiran setelah tersadar dari lamunannya.

Willa tertawa kecil melihat ekspresi linglung Kirana itu.

“Btw, kamu cantik kalau dandan kayak gini. Simpel, tapi cantik,” puji Willa setelah keduanya berada di dalam mobil.

Kiran hanya bisa tertawa kikuk mendengarnya. Tapi Willa mengatakan yang sejujurnya. Memang, Kiran hanya memakai baju lengan pendek berwarna hijau dengan bawahan rok berlapis dua warna putih sebetis dan sepatu sneakers putih, tapi bagi Willa itu sudah sangat cantik untuknya apalagi Kiran membiarkan rambut hitam panjangnya terurai bebas.

Selama dalam perjalanan menuju mall, keduanya terus mengobrol hal-hal kecil seperti latihan, pertandingan dan lain sebagainya. Walau lebih sering Willa yang bercerita sih, karena Kiran tidak tau juga apa yang harus dia bahas.

“Karcis parkirnya simpan di kamu aja ya, aku takut nanti hilang,” ucap Willa setelah sampai di parkiran basement.

“Iya, mau sekalian sama handphonenya juga ngga? Biar ngga hilang kayak waktu itu,” ujar Kiran.

Willa tertawa, “Boleh deh, nitip bentar ya.”

Kiran tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Keduanya kemudian memasuki mall yang untungnya tidak terlalu ramai walau ada banyak orang yang berlalu lalang di setiap lantai.

“Kita beli punya kamu dulu deh,” sahut Willa.

“Ngga apa-apa beli punyaku dulu?” tanya Kiran.

“Iya ngga apa-apa. Kamu mau beli apa selain bola?”

“Sepatu, elbowpad, sama kneepad,” jawab Kiran.

Kneepad itu buat yang di lutut kan yah? Terus kalau yang elbowpad buat yang dimana?”

“Iya itu buat lutut, kalau yang elbowpad itu buat yang di siku.”

Willa mengangguk paham mendengar jawaban Kiran. Dia tidak terlalu tau dengan hal-hal yang seperti itu, dia hanya tau menonton pertandingan voli dengan duduk diam dan saat bolanya masuk dia akan ikut berteriak seperti yang lainnya.

“Wil, sini. Kita lihat disini dulu,” ujar Kiran menarik lengan Willa saat cewek itu terus berjalan tanpa henti.

Mereka berhenti di salah satu toko alat perlengkapan olahraga. Mata Willa menelusuri seisi toko itu.

“Willa?” panggil Kiran.

Willa menengok, “Iya, Ran? Kenapa?”

“Bantu pilihin sepatunya.”

“Waaah, kalau soal sepatu khusus buat voli sih aku ngga terlalu ngerti, Ran,” seru Willa.

“Ngga apa-apa, pilih yang mana menurut kamu bagus aja, ini sama semua kok kualitasnya,” balas Kiran.

“O–oke kalau gitu,” gumam Willa.

“Aku mau nyari elbowpad sama kneepad dulu, nanti kasih tau aku kalau kamu udah selesai milih,” ucap Kiran lalu meninggalkan Willa sendirian.

“Terserah gue kan yah? Yang paling bagus menurut gue? Hmm,” monolog Willa sambil melihat sejumlah sepatu voli di depannya.

Setelah hampir 10 menit akhirnya Kiran kembali ke tempat Willa yang tadi, kebetulan Willa juga baru saja selesai memilih sepatunya.

“Udah selesai milihnya?” tanya Kiran.

“Udah, nih!” Willa menyerahkan sepatu pilihannya dengan merk MIZUNO WAVE MOMENTUM 2 MID V1GA2117 White Black US11.

Good choices!”

Sambil tersenyum Kirana menuju meja kasir untuk segera membayar belanjaannya. Selesai dengan itu sekarang Willa yang menuju ke toko langganannya saat ingin membeli beberapa alat untuk panahan.

“Kamu mau beli apa aja?” tanya Kiran.

Riser, stabilizer, sama bowstring, udah rusak soalnya,” jawab Willa. “Ngga lama kok, soalnya aku udah sering beli di toko ini jadi pasti bisa cepet.”

“Ngga perlu buru-buru juga sih, lagian aku suka lama-lama kayak gini,” ucap Kiran.

“Huh?”

“A–anu maksud aku tuh, kita udah lama ngga jalan ke mall bareng jadi...”

“Wkwkwk iya-iya, habis ini kita nyari bola voli terus makan. Kamu belum makan siang kan?”

Kiran hanya mengangguk mengiyakan ucapan Willa.

Saat sampai di toko yang di maksud Kiran terus mengekori Willa dari belakang, melihat cewek itu yang serius menatap satu persatu alat-alat panahan yang ada disana.

“Ini anak panahnya kok keliatan beda-beda, Wil?” celetuk Kiran.

“Iya, anak panah emang ada 3 macam, Ran. Yang terbuat dari kayu, alumunium sama yang dari carbon,” jelas Willa. Kiran kembali mengangguk, dia mendapat sedikit pengetahuan lagi.

Awalnya Willa berniat hanya membeli 3 alat, tapi sekarang dia malah berakhir membeli 1 set alat perlengkapan panahannya termasuk anak panah jenis carbon.

Dan juga berakhir dengan Kiran yang menceramahi Willa sepanjang jalan setelah tau harga 1 set alat yang baru saja Willa beli itu. Mendengar harga anak panah jenis carbon yang mencapai 6 juta perlusin saja Kiran sudah marah apalagi dengan total keseluruhannya.


“Ya ampun masih ngomel aja, udah dari tadi loh? Aku malu di liatin banyak orang,” bisik Willa.

“Biarin, biar sekalian semua orang denger! Dari dulu ngga pernah hilang sifat borosnya,” dumel Kiran.

“Aku beli 1 set juga buat persiapan turnamen, Ran. Lagian aku beli kan tetep aku pakai juga, ngga aku anggurin,” jelas Willa.

“Yaah, terserah apa kata kamu aja!”

Willa tertawa, sudah lama rasanya mendengar Kirana yang mengomelinya karena membuang-buang terlalu banyak uang.

“Biar aku yang bawa ini!” seru Willa yang langsung mengambil alih paperbag besar yang berisi 3 bola volly.

“Willa, kamu capek ngga?” sahut Kiran tiba-tiba.

“Ngga terlalu, kenapa?”

“Kita main pump it up dulu sebelum nyari makan mau ngga? Aku udah lama ngga main,” seru Kiran.

“Ayo aja sih aku, lagian belum terlalu sore juga kan buat nyari makan?”

Dengan senyum yang merekah Kiran menarik lengan Willa dengan penuh semangat menuju lantai atas mall, tempat timezone berada.

Melihat Kiran yang begitu bahagia membuat Willa ikut tersenyum. Sudah lama dia tidak melihat Kiran yang sangat bersemangat dan senang seperti sekarang. Willa mengambil alih semua belanjaan Kiran dan membiarkan Kiran bermain semaunya.

Lumayan lama mereka berada di timezone sampai akhirnya Kiran sudah merasa cukup dan mengajak Willa untuk mencari makan karna jujur saja dia sangat lapar sekarang ini.

Keduanya menuju ke salah satu resto yang berada di mall itu dengan kedua tangan Willa yang penuh akan barang belanjaan.

“Itu aja mas pesanannya, terima kasih!” seru Kiran.

“Kamu keliatan seneng banget sehabis main tadi, seru ya?” ujar Wila.

Kiran tersenyum, “Iya, aku udah lama ngga main soalnya, udah jarang ke mall juga kalau ngga bareng yang lain.”

“Kamu kalau pengen main lagi bisa kok ajak aku, selama aku bisa temenin sih ngga apa-apa.”

“Pengennya sih gitu tapi kan kita sama-sama sibuk latihan buat turnamen-turnamen yang ada,” jelas Kiran.

“Haha, iya sih,” tawa Willa.

Selanjutnya mereka kembali diam sampai makanan yang di pesan datang. Keduanya menyantap makanan masing-masing dengan diam, Kiran memperhatikan Willa yang malah asik bermain dengan ponselnya padahal makanannya belum habis.

“Kebiasaan,” batin Kiran.

Tepat pukul 18.30 WIB Willa kembali mengantarkan Kiran ke rumahnya. Ia ikut turun dari mobil membantu mengeluarkan belanjaan Kiran tadi.

“Nih belanjaannya, yakin ngga mau aku bantu bawain sampai ke dalam rumah?” seru Willa.

“Ngga apa-apa, aku bisa bawa sendiri kok,” balas Kiran.

“Yaudah kalau gitu,” gumam Willa.

“Makasih ya udah nemenin aku buat beli semua ini, makasih juga buat makanannya, lain kali aku yang bayar deh,” ucap Kiran.

“Sama-sama, lagian kan aku juga niatnya mau ngajakin kamu buat temenin aku beli alat-alat yang tadi.” Willa tersenyum manis, “Aku balik sekarang ya?”

“Iya, hati-hati!”

Willa mengangguk lalu berbalik dan berjalan menuju ke mobilnya.

“Willa, tunggu!” celetuk Kiran dengan cepat.

Willa menoleh, “Iya?”

Chuu

Satu kecupan singkat di pipi kirinya cukup membuat Willa terdiam membeku seperti patung.

“Kabarin aku kalau kamu udah sampai rumah, see you tomorrow, Willa!”

Kiran dengan cepat berlari masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Willa yang masih mematung di tempatnya dengan sejuta pertanyaan yang melintas di kepalanya.

Pagi itu Karina memeriksa kembali barang bawaannya sebelum benar-benar pergi ke bandara. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum pesawatnya berangkat.

“Sayang, ayo turun sarapan dulu!” panggil Mami Tiff.

“Iya, Mi. I'm coming!” balas Karina.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan meja belajarnya, Karina menatap bingkai foto dirinya dan Minjeong saat berada di bangku sekolah menengah pertama.

Seulas senyum terpatri di wajah cantiknya itu, sebelum akhirnya dia kembali melangkah keluar dari kamar.

Morning, Mi!” sapa Karina.

Morning, sayang. Udah di periksa lagi kan barang-barangnya?”

“Udah kok, Mi.”

“Kamu yakin ngga mau Mami anterin ke bandara?” sahut Mami Tiff.

“Iya, Mi. Aku ngga apa-apa kok, lagian Mami harus ke kantor kan?” balas Karina.

Tiffany tersenyum, “Yaudah, habisin dulu itu sarapannya.”

“Pagi tante! Permisi ada paket!”

Karina dan Mami Tiff mengerutkan keningnya setelah mendengar suara menggelegar dari depan.

“Selamat pagi tante!” sapa Giselle yang di belakangnya ada Yeji dan juga Nakyung.

“Loh, kalian? Pagi juga sayang, ayo sini ikut sarapan!” seru Mami Tiff.

“Ngga usah tante kita udah sarapan kok, kesini karna mau nemuin Karina sebelum anaknya berangkat,” balas Yeji.

“Gue perginya cuman 2 hari, lo bertiga malah kayak bakal gue tinggal bertahun-tahun aja,” dengus Karina.

“Dih, kita kesini karna ngga bisa nganterin lo ke bandara jadi yaudah sekalian mau ke sekolah kita singgah bentar,” ucap Giselle.

“Nanti kabarin kita kalau udah tiba di Aussie,” timpal Nakyung.

“Gue ke bandara aja belum udah minta buat di kabarin,” tawa Karina.

“Hati-hati deh lo, jangan lupa kabarin Winter dulu sebelum naik pesawat,” ucap Giselle. “Yaudah, kita bertiga duluan ke sekolah ya.”

Karina tersenyum lalu mengantarkan mereka bertiga hingga di depan rumahnya. Sambil melambaikan tangannya Karina terus menatap mobil Giselle yang mulai menghilang dari pandangannya.

“Dasar,” cicit Karina tertawa kecil.

Pukul 9 pagi Karina sudah berada di bandara untuk mengurus beberapa hal termasuk dengan tiket dan pasportnya.

Sambil menunggu giliran untuk melakukan check in Karina membalas pesan dari Winter dan Giselle yang menanyakan apakah dia sudah berangkat atau belum. Kadang Karina tertawa kecil membaca pesan dari kedua orang itu, sampai akhirnya para penumpang tujuan Jakarta–Sydney di panggil Karina menyudahi kegiatannya tersebut dan ikut bergabung dengan beberapa penumpang yang akan menaiki pesawat.


“Ohiya, Win, kata lo kak Karina hari ini berangkat ke Aussie kan?” celetuk Ryujin setelah memasukan seluruh bukunya ke dalam tas.

“Iya, kalau ngga salah pesawatnya udah berangkat jam 11 gitu,” balas Winter.

“Denger-denger kak Karina di terima di salah satu Universitas ternama di London, bener ya?” tanya Minju.

“Katanya sih gitu, Ju.”

“Hebat banget belum selesai semester 1 udah di terima aja di Universitas teratas,” seru Chaeryeong.

“Gak heran sih, kak Karina emang secerdas itu, 11-12 sama Winter!” ucap Ningning.

“Aku ngga secerdas itu, Ning. Btw, aku duluan ya!”

Keempatnya mengangguk mengiyakan ucapan Winter yang kemudian mereka juga ikut berpencar ke mobil jemputan masing-masing.

Dengan senyum yang merekah di wajahnya, selama di tengah perjalanan Winter menatap isi room chatnya bersama Karina.

“Tenang aja, Jeong, aku bakal jagain kak Karin dengan baik,” gumam Winter.

Saat sampai di rumah dia melihat kedua orang tuanya yang juga baru saja kembali dari kantor. Tumben.

“Loh, Mama sama Bunda udah selesai kerjaannya? Tumben jam segini udah di rumah?” ucap Winter.

“Ngga sih, cuman lagi capek aja jadi milih buat pulang lebih awal,” balas Mama Jess.

“Udah makan siang, Win? Kalau belum mau makan di luar aja ngga?” ajak Bunda Taeyeon.

“Engga deh Bun, aku capek mau tidur aja.”

“Yaudah, tapi jangan lupa ganti baju dulu sebelum ketiduran!”

“Iya Bunda!”

Winter berlari kecil menuju kamarnya di lantai 2, sesuai dengan pesan sang Bunda untuk mengganti seragam sekolahnya sebelum tertidur, Winter mengganti seragam sekolahnya. Tidak lupa juga dia mencarger handphonenya agar saat Karina menelfonnya nanti dia bisa berbicara sepuasnya.

Siapa sangka kalau notifikasi yang masuk ke dalam handphonenya saat ia bangun dari tidurnya itu adalah pesan dari Chaeryeong di grup chat mereka. Pesan yang bahkan tidak ingin di ketahui oleh Winter sekalipun.

Winter sempat tertawa kecil setelah membaca pesan dari Chaeryeong. Dirinya seolah menolak kabar yang baru saja di sampaikan oleh temannya itu.

Dengan perasaan takut Winter membuka room chatnya bersama Karina lalu mengirimkan beberapa pesan disana tapi tidak ada satupun yang di baca ataupun balas.

Winter berlari turun ke lantai bawah guna menemui orang tuanya. Tepat di ruang tv dia melihat Mama dan Bundanya tengah menonton sebuah berita.

Berita tentang jatuhnya sebuah pesawat dengan tujuan penerbangan Jakarta—Sydney.

“Halo, Tiff! Aku...aku baru aja nonton beritanya di tv, kata kamu Karina hari ini berangkat ke Australia. Itu...itu bukan pesawat yang di tumpangin Karina kan?”

Winter menatap Mamanya yang sedang menelfon Mami Tiff, dalam hatinya Winter terus berdoa semoga itu bukan pesawat yang di tumpangi Karina. Tapi harapannya seketika pupus saat melihat Mamanya yang jatuh terduduk dengan lemas di sofa.

Kepalanya menggeleng kecil menolak percaya dengan apa yang saat ini terjadi.

“Ma, itu bukan pesawatnya kan? Iya kan? Kak Karin udah janji kok bakal ngasih aku kabar kalau dia udah sampai,” ucap Winter.

“Sayang, kamu tenang dulu ya?” sahut Bunda Taeyeon.

“Bun, itu bukan pesawatnya kok. Kak Karin....dia baik-baik aja...”

“Iya kan, Ma?”

“Sayang...”

“MA! Jangan diem aja dong! Hiks...itu bukan pesawatnya kak Karin kan?”

Jika ini adalah mimpi Winter ingin di bangunkan saat ini juga, tapi mimpinya terasa sangat nyata. Ia terkulai lemas di lantai, menangis tanpa suara.

Padahal Karina sudah janji akan mengabarinya saat sudah sampai, padahal Karina yang memintanya berjanji untuk tidak pergi tapi kenapa malah dia yang pergi bahkan tanpa mengucapkan kata pamit.



2 month later

Winter kini berdiri tepat di depan makam Minjeong, sendiri tanpa di temani oleh siapapun. Tatapannya kosong seolah tidak ada kehidupan di kedua bola mata indahnya itu.

“Ini udah 2 bulan sejak pesawat yang di tumpangin kak Karin jatuh dan udah 2 bulan juga belum ada kabar sama sekali dari pihak maskapai tentang keberadaan beberapa korban termasuk kak Karin,” lirih Winter.

“Kamu...kamu jahat, Jeong. Hiks...kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang kamu bawa kak Karin pergi?” tangis Winter.

“Aku harus gimana sekarang? Hiks...aku hiks aku sekarang sendirian, Jeong. Tuhan kenapa setega ini ke aku sih, Jeong? Hiks...Dia ngambil kalian berdua dari aku hiks Dia ngga ngasih aku kesempatan buat bahagia.”

Winter menumpahkan seluruh tangisannya yang dia simpan selama ini, tangisannya yang bahkan tidak bisa keluar lagi sejak 2 bulan yang lalu.

Tangan kanannya memegang sepucuk surat yang di berikan Giselle padanya beberapa hari yang lalu. Surat yang di tinggalkan oleh Karina untuknya.

“Padahal kamu yang minta aku janji buat ngga ninggalin kamu kak, tapi kenapa malah kamu yang ninggalin aku?” tangis Winter. “Sekarang aku yang takut kak, takut ngga bisa jalanin hidup aku tanpa kamu dan Minjeong, takut ngga akan nemuin seseorang yang bisa gantiin kamu.”

Sambil menahan tangisnya Winter mengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang saat itu terlihat sangat cerah. Kedua matanya tertutup rapat saat angin bertiup dengan lembut ke arahnya.

“Di kehidupan yang selanjutnya kita bisa ketemu lagi kan, Kak? Kalau iya, tolong tunggu aku walaupun itu butuh waktu yang lama.”

'Sependek apapun usia kamu, aku bakal selalu buat kamu ketawa. Aku ngga bakal biarin kamu kesepian'

Karina

Pagi itu Karina memeriksa kembali barang bawaannya sebelum benar-benar pergi ke bandara. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum pesawatnya berangkat.

“Sayang, ayo turun sarapan dulu!” panggil Mami Tiff.

“Iya, Mi. I'm coming!” balas Karina.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan meja belajarnya, Karina menatap bingkai foto dirinya dan Minjeong saat berada di bangku sekolah menengah pertama.

Seulas senyum terpatri di wajah cantiknya itu, sebelum akhirnya dia kembali melangkah keluar dari kamar.

Morning, Mi!” sapa Karina.

Morning, sayang. Udah di periksa lagi kan barang-barangnya?”

“Udah kok, Mi.”

“Kamu yakin ngga mau Mami anterin ke bandara?” sahut Mami Tiff.

“Iya, Mi. Aku ngga apa-apa kok, lagian Mami harus ke kantor kan?” balas Karina.

Tiffany tersenyum, “Yaudah, habisin dulu itu sarapannya.”

“Pagi tante! Permisi ada paket!”

Karina dan Mami Tiff mengerutkan keningnya setelah mendengar suara menggelegar dari depan.

“Selamat pagi tante!” sapa Giselle yang di belakangnya ada Yeji dan juga Nakyung.

“Loh, kalian? Pagi juga sayang, ayo sini ikut sarapan!” seru Mami Tiff.

“Ngga usah tante kita udah sarapan kok, kesini karna mau nemuin Karina sebelum anaknya berangkat,” balas Yeji.

“Gue perginya cuman 2 hari, lo bertiga malah kayak bakal gue tinggal bertahun-tahun aja,” dengus Karina.

“Dih, kita kesini karna ngga bisa nganterin lo ke bandara jadi yaudah sekalian mau ke sekolah kita singgah bentar,” ucap Giselle.

“Nanti kabarin kita kalau udah tiba di Aussie,” timpal Nakyung.

“Gue ke bandara aja belum udah minta buat di kabarin,” tawa Karina.

“Hati-hati deh lo, jangan lupa kabarin Winter dulu sebelum naik pesawat,” ucap Giselle. “Yaudah, kita bertiga duluan ke sekolah ya.”

Karina tersenyum lalu mengantarkan mereka bertiga hingga di depan rumahnya. Sambil melambaikan tangannya Karina terus menatap mobil Giselle yang mulai menghilang dari pandangannya.

“Dasar,” cicit Karina tertawa kecil.

Pukul 9 pagi Karina sudah berada di bandara untuk mengurus beberapa hal termasuk dengan tiket dan pasportnya.

Sambil menunggu giliran untuk melakukan check in Karina membalas pesan dari Winter dan Giselle yang menanyakan apakah dia sudah berangkat atau belum. Kadang Karina tertawa kecil membaca pesan dari kedua orang itu, sampai akhirnya para penumpang tujuan Jakarta–Sydney di panggil Karina menyudahi kegiatannya tersebut dan ikut bergabung dengan beberapa penumpang yang akan menaiki pesawat.


“Ohiya, Win, kata lo kak Karina hari ini berangkat ke Aussie kan?” celetuk Ryujin setelah memasukan seluruh bukunya ke dalam tas.

“Iya, kalau ngga salah pesawatnya udah berangkat jam 11 gitu,” balas Winter.

“Denger-denger kak Karina di terima di salah satu Universitas ternama di London, bener ya?” tanya Minju.

“Katanya sih gitu, Ju.”

“Hebat banget belum selesai semester 1 udah di terima aja di Universitas teratas,” seru Chaeryeong.

“Gak heran sih, kak Karina emang secerdas itu, 11-12 sama Winter!” ucap Ningning.

“Aku ngga secerdas itu, Ning. Btw, aku duluan ya!”

Keempatnya mengangguk mengiyakan ucapan Winter yang kemudian mereka juga ikut berpencar ke mobil jemputan masing-masing.

Dengan senyum yang merekah di wajahnya, selama di tengah perjalanan Winter menatap isi room chatnya bersama Karina.

“Tenang aja, Jeong, aku bakal jagain kak Karin dengan baik,” gumam Winter.

Saat sampai di rumah dia melihat kedua orang tuanya yang juga baru saja kembali dari kantor. Tumben.

“Loh, Mama sama Bunda udah selesai kerjaannya? Tumben jam segini udah di rumah?” ucap Winter.

“Ngga sih, cuman lagi capek aja jadi milih buat pulang lebih awal,” balas Mama Jess.

“Udah makan siang, Win? Kalau belum mau makan di luar aja ngga?” ajak Bunda Taeyeon.

“Engga deh Bun, aku capek mau tidur aja.”

“Yaudah, tapi jangan lupa ganti baju dulu sebelum ketiduran!”

“Iya Bunda!”

Winter berlari kecil menuju kamarnya di lantai 2, sesuai dengan pesan sang Bunda untuk mengganti seragam sekolahnya sebelum tertidur, Winter mengganti seragam sekolahnya. Tidak lupa juga dia mencarger handphonenya agar saat Karina menelfonnya nanti dia bisa berbicara sepuasnya.

Siapa sangka kalau notifikasi yang masuk ke dalam handphonenya saat ia bangun dari tidurnya itu adalah pesan dari Chaeryeong di grup chat mereka. Pesan yang bahkan tidak ingin di ketahui oleh Winter sekalipun.

Winter sempat tertawa kecil setelah membaca pesan dari Chaeryeong. Dirinya seolah menolak kabar yang baru saja di sampaikan oleh temannya itu.

Dengan perasaan takut Winter membuka room chatnya bersama Karina lalu mengirimkan beberapa pesan disana tapi tidak ada satupun yang di baca ataupun balas.

Winter berlari turun ke lantai bawah guna menemui orang tuanya. Tepat di ruang tv dia melihat Mama dan Bundanya tengah menonton sebuah berita.

Berita tentang jatuhnya sebuah pesawat dengan tujuan penerbangan Jakarta—Sydney.

“Halo, Tiff! Aku...aku baru aja nonton beritanya di tv, kata kamu Karina hari ini berangkat ke Australia. Itu...itu bukan pesawat yang di tumpangin Karina kan?”

Winter menatap Mamanya yang sedang menelfon Mami Tiff, dalam hatinya Winter terus berdoa semoga itu bukan pesawat yang di tumpangi Karina. Tapi harapannya seketika pupus saat melihat Mamanya yang jatuh terduduk dengan lemas di sofa.

Kepalanya menggeleng kecil menolak percaya dengan apa yang saat ini terjadi.

“Ma, itu bukan pesawatnya kan? Iya kan? Kak Karin udah janji kok bakal ngasih aku kabar kalau dia udah sampai,” ucap Winter.

“Sayang, kamu tenang dulu ya?” sahut Bunda Taeyeon.

“Bun, itu bukan pesawatnya kok. Kak Karin....dia baik-baik aja...”

“Iya kan, Ma?”

“Sayang...”

“MA! Jangan diem aja dong! Hiks...itu bukan pesawatnya kak Karin kan?”

Jika ini adalah mimpi Winter ingin di bangunkan saat ini juga, tapi mimpinya terasa sangat nyata. Ia terkulai lemas di lantai, menangis tanpa suara.

Padahal Karina sudah janji akan mengabarinya saat sudah sampai, padahal Karina yang memintanya berjanji untuk tidak pergi tapi kenapa malah dia yang pergi bahkan tanpa mengucapkan kata pamit.



2 month later

Winter kini berdiri tepat di depan makam Minjeong, sendiri tanpa di temani oleh siapapun. Tatapannya kosong seolah tidak ada kehidupan di kedua bola mata indahnya itu.

“Ini udah 2 bulan sejak pesawat yang di tumpangin kak Karin jatuh dan udah 2 bulan juga belum ada kabar sama sekali dari pihak maskapai tentang keberadaan beberapa korban termasuk kak Karin,” lirih Winter.

“Kamu...kamu jahat, Jeong. Hiks...kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang kamu bawa kak Karin pergi?” tangis Winter.

“Aku harus gimana sekarang? Hiks...aku hiks aku sekarang sendirian, Jeong. Tuhan kenapa setega ini ke aku sih, Jeong? Hiks...Dia ngambil kalian berdua dari aku hiks Dia ngga ngasih aku kesempatan buat bahagia.”

Winter menumpahkan seluruh tangisannya yang dia simpan selama ini, tangisannya yang bahkan tidak bisa keluar lagi sejak 2 bulan yang lalu.

Tangan kanannya memegang sepucuk surat yang di berikan Giselle padanya beberapa hari yang lalu. Surat yang di tinggalkan oleh Karina untuknya.

“Padahal kamu yang minta aku janji buat ngga ninggalin kamu kak, tapi kenapa malah kamu yang ninggalin aku?” tangis Winter. “Sekarang aku yang takut kak, takut ngga bisa jalanin hidup aku tanpa kamu dan Minjeong, takut ngga akan nemuin seseorang yang bisa gantiin kamu.”

Sambil menahan tangisnya Winter mengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang saat itu terlihat sangat cerah. Kedua matanya tertutup rapat saat angin bertiup dengan lembut ke arahnya.

“Di kehidupan yang selanjutnya kita bisa ketemu lagi kan, Kak? Kalau iya, tolong tunggu aku walaupun itu butuh waktu yang lama.”

Sependek apapun usia kamu, aku bakal selalu buat kamu ketawa. Aku ngga bakal biarin kamu kesepian

Karina

Terhitung sudah seminggu Karina terus menghindari Winter yang ingin mengajaknya bicara. Selain dia belum siap untuk menemui Winter lagi dia merasa sudah tidak ada yang perlu mereka bicarakan karena semuany sudah jelas dan selesai.

'find someone better than her?'

Itu adalah kalimat paksaan yang keluar dari mulutnya saat itu. Tapi memang lebih baik melepaskannya daripada tetap mempertahkan tapi sama-sama sakit bukan?

Karina melangkahkan kakinya memasuki kelas, 2 minggu lagi batas Karina untuk mengirimkan berkas-berkasnya ke Universitas Cambridge di London.

“Lo sama Winter udah selesai main kucing-kucingannya?” celetuk Giselle

“Hah?”

“Lo udah ngobrol kan sama Winter? Soalnya dia gak dateng lagi ke kelas,” ucap Yeji.

“Ngga, gue aja belum ketemu dia dari kemarin atau pagi ini,” balas Karina.

“Loh? Kirain udah,” kata Nakyung.

Karina hanya menggelengkan kepala lalu duduk di kursinya.

“Jangan mentang-mentang lo bakal lanjut kuliah ke UK lo gak mau ngomong sama Winter sampai lulus nanti,” sahut Giselle.

Keempatnya kembali diam dengan pikiran masing-masing.


Jam istrahat kali ini Karina gunakan untuk menemui wali kelasnya guna menguru beberapa berkas miliknya.

Ada kalanya Karina menantikan handphonenya berbunyi notifikasi pesan seperti biasanya, tapi hari ini tidak ada sama sekali. Yah, setidaknya dia bisa sedikit tenang.

“Karina? Maaf ya, Ibu tadi ada sedikit urusan,” seru wali kelasnya.

“Ahh iya bu, ngga apa-apa. Saya juga baru aja sampai kok bu,” balas Karina.

Wali kelasnya tersenyum ramah lalu membicarakan tetang berkas-berkas apa saja yang di butuhkan oleh Karina.

“Winter, taruh disitu aja bukunya. Makasih ya!”

“Iya bu, sama-sama. Ada yang bisa saya bantu lagi ngga bu?”

“Kamu sekelas sama Sieun kan? Ibu minta tolong antarkan buku catatan ini ke dia ya?”

“Oh iya bu, bisa kok!” balas Winter sambil menunggu sang guru mengambil buku catatannya.

Selama menunggu itu matanya tidak sengaja menangkap sosok Karina tidak jauh dari tempat dia berdiri sekarang.

“Saya permisi dulu bu, terima kasih atas bantuannya!” seru Karina.

“Nah, ini dia! Tolong di kasih ya, Winter.”

“I–iya bu, kalau gitu saya pamit dulu!”

Dengan cepat Winter keluar dari pintu yang satunya.

BINGO!

Kini Karina dan Winter saling berdiri berhadap-hadapan satu sama lain. Tidak akan Winter biarkan Karina lari lagi kali ini, mereka harus bicara dengan serius.

“Kak, aku mau ki–KAK KARIN!” Winter melotot tidak percaya saat Karin berbalik dan langsung lari meninggalkannya lagi seperti yang biasanya.

“Ini kok kayak aku yang umurnya lebih tua sih dari kak Karin?” dengus Winter.


Dengan langkah melongosnya Karina membuka pintu rumahnya, dia tidak tau kalau kabur-kaburan seperti ini menguras banyak energinya di tambah lagi dia harus mengurus untuk keperluan kuliahnya.

“Baru pulang, kak?” sahut Mami Tiff yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Mami kapan pulangnya?” tanya Karina.

“Baru pagi tadi sih,” jawabnya. “Kenapa jam segini baru pulang?”

“Ada yang harus aku urus, Mi,” ucap Karina.

“Ohiya, aku keterima di University of Cambridge. Mungkin minggu ini aku bakal balik dulu ke Aussie buat minta beberapa berkas dari sekolah lamaku.”

“Ohya? Congratulation honey!” seru Maminya.

“Mau Mami temenin ke Aussie-nya?”

“Ngga usah, Mi, aku bisa sendiri kok.”

“Yaudah, ganti baju kamu sana. Mami udah masak makan siang tadi, kalau udah selesai ganti baju langsung turun buag makan, Mami mau keluar bentar.”

“Iya, Mi!”

Karina kemudian melangkahkan kakinya menuju lantai atas, yang dia ingin lakukan saat ini adalah mandi untuk menjernihkan pikiran.

Ia membuka pintu kamarnya dan melempar tas ransel miliknya ke sembarang arah.

“Kok lama banget pulangnya?”

Demi apapun Karina kaget bukan main sampai-sampai dia berteriak dan melompat kecil.

“Wi–Winter? Nga–ngapain kamu disini? Kok bi–bisa ada di kamar aku?” cicit Karina.

“Menurut kakak aku ngapain disini?” ujar Winter.

“Aku udah sering nelfon bahkan ngechat kakak loh, tapi kakak terus-terusan lari dari aku.”

Karina berbalik, “Mending kamu pulang sekarang, Mama sama Bunda nanti nyariin kamu.”

“Ngga akan sebelum kita bicara empat mata kak.”

Tanpa berfikir panjang Karina kembali berbalik dan berniat untuk lari lagi tapi tentu saja tidak akan di biarkan oleh Winter begitu saja.

“Mau kemana lagi? Mau kabur? Kak, aku cuman pengen kita bicara,” ucap Winter menghalangi Karina yang akan kabur.

“Ngga ada yang perlu di bicarain lagi, Win!” bentak Karina.

“Semuanya udah selesai, semuanya udah jelas, jadi aku mohon berhenti ngehubungin aku lagi, berhenti temuin aku.”

“Kamu pikir setelah kamu ngomong kayak gitu aku bakal diam aja, kak? Aku ngga tau ternyata kamu sepengecut ini,” lirih Winter.

“Iya! Aku emang pengecut, itu bener! Terus kamu mau apa kalau aku emang pengecut?”

“Kak, please kakak ngga perlu sembunyiin semua rasa sakit kakak cuman demi buat aku baik-baik aja, kalau kakak kayak gini terus justru aku yang ngerasa bersalah karna udah terpaksa buat kakak nanggung rasa sakitnya sendiri,” ucap Winter.

“Kakak bilang kalau kakak sayang sama aku, kalau gitu biarin aku juga bantu kakak. Aku minta maaf karna selama ini ngga pernah mau tau soal ketakutan dan semua rasa sakit kakak, aku minta maaf karna udah egois, tapi tolong jangan minta aku buat tinggalin kakak, hm?”

Winter terus menatap Karina yang hanya melihat lantai terus-terusan.

“Jangan minta aku buat tetap ada di sisi kamu, Win. Jangan minta aku buat terus sama kamu kalau nantinya malah kamu yang pergi sama kayak Minjeong, aku...aku ngga mau.”

Karina menggelengkan kepalanya dengan ketakutan, memikirkan Winter yang mungkin saja ikut pergi sama seperti Minjeong, Ayah, Kakak, dan adiknya.

“Kak, aku ngga akan kemana-mana, aku ngga bakal pergi tinggalin kakak,” ucap Winter lembut.

“BOHONG!” teriak Karina dengan frustasi.

“Mereka juga bilang gitu, Papi, Kakak, Adik aku, Minjeong, mereka juga bilang gitu tapi nyatanya apa? Mereka ninggalin aku sendiri,” tangis Karina.

“Aku mohon, tolong jangan pernah balik lagi, please,” lirih Karina memeluk kedua kakinya.

Winter yang melihat itu ikut berjongkok di hadapan Karina menggenggam kedua tangannya dengan lembut.

“Kak, hey...lihat aku. Baik aku ataupun kita semua mungkin ngga tau kapan kita bakal pergi, tapi kalau kakak terus-terusan kayak gini kakak cuman nyakitin diri kakak sendiri. Aku bisa bantu kakak ngelawan rasa takut kakak, aku bakal terus ada disini jadi tolong percaya sama aku,” ucap Winter.

“Aku...aku takut kamu ikut pergi ninggalin aku, Win. Aku takut,” tangis Karina.

Winter memeluk Karina dan mengusap-ngusap punggungnya agar tenang.

“Oh Tuhan, gimana bisa aku malah peduli sama perasaan dan kemauan aku sendiri sementara aku ngga tau kalau kak Karin punya ketakutan sebesar ini.”

Winter melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata Karin dengan lembut.

“Maaf karna aku terlambat buat sadar soal ini kak, tapi selama aku masih tetap disini kakak mau kan lawan rasa takut kakak itu buat aku?” ujar Winter. “Aku janji aku bakal tetap disini sampai kakak bisa lawan rasa takut kakak, okay?”

“Kita udah sama-sama saling nyakitin selama ini, jadi tolong jangan di tambah lagi.”

Sambil menggenggam kedua tangan Karina, Winter menatapnya dengan teduh. Berharap kalau Karina tidak lari lagi dari rasa takutnya sendiri.

Promise you won't leave me just like Minjeong left,” lirih Karina.

I promise!” balas Winter sambil tersenyum lalu kembali memeluk Karina yang masih sedikit menangis.

“Aku baru tau kakak cengeng,” bisik Winter.

Shut up!” cicit Karina di sela-sela tangisannya.



Eeeeeehhhhh, apakah kalian fikir happy endingnya akan berjalan semulus ini? Tentu tidak kawan hehehe

“Mau kemana lo?” sahut Yeji saat melihat Giselle yang tiba-tiba bangkit dari duduknya.

“Kalau Karina nyariin gue, bilang aja lo berdua ngga tau!” ucap Giselle lalu pergi meninggalkan Yeji dan Nakyung di dalam kelas.

“Kenapa lagi sih mereka berdua? Perasaan berantem terus tiap hari,” cicit Nakyung.

“Kalau mereka berantem sih ada dua kemungkinan, yang pertama Giselle pasti nyari perkara ke Karina dan yang kedua Karina sendiri yang buat ulah lagi,” jelas Yeji seolah sudah paham dengan siklus dari alasan kedua temannya itu bertengkar.

Ngga lama dari itu Karina benar-benar datang mencari Giselle, tepat seperti dugaan.

“Gak tau,” celetuk Nakyung. “Lo pasti mau nanya Giselle kan? Kita berdua gak tau.”

“Giselle, awas aja lo kalau sampai ketemu sama gue,” gumam Karina lalu keluar dari dalam kelas.

“Pusing gue ngeliat mereka berdua,” keluh Nakyung.

“Tapi serius deh, Karina tuh punya trust issue gak sih? Soalnya gue mikirnya juga gitu,” ucap Yeji.

“Gak tau.”


Giselle mengedarkan pandangannya ke suluruh sudut kantin mencari keberadaan Winter dan teman-temannya.

“Emang dasar bangsat aja si Wonjin, gara-gara dia nilai ujian MTK gue jelek!”

Giselle tersenyum, dapat!

Dengan cepat Giselle menghampiri Winter dan teman-temannya di meja kantin paling sudut.

“Hai!” sapa Giselle.

“Eh, kak Giselle? Mau ketemu pacarnya ya?” sahut Minju.

“Ngga, mau ketemu sama Winter. Ada urusan soalnya,” balas Giselle.

Winter mengerutkan dahinya dan menunjuk dirinya sendiri sambil menatap teman-temannya.

“Ayo, Win. Ada yang mau kakak omongin soalnya, penting!” seru Giselle menarik lengan Winter. “Di pinjem dulu ya temennya, gak lama kok.”

Winter yang di tarik hanya diam mengikuti Giselle.

“Ohiya, kalau nanti Karina datang terus nyariin Winter atau gue bilangin aja kalian gak tau, oke?”

Keempatnya hanya menganggukkan kepala mereka dengan kompak.

“Mau ngapain sih?” bisik Ryujin.

“Ya ngga tau,” balas Ningning.

Meninggalkan keempat temannua itu kini Winter di bawa pergi oleh Giselle keluar tidak jauh dari kantin.

“Kakak mau ngomongin apa?” tanya Winter.

“Gini, apapun yang kakak bilang ke kamu mau semustahil apapun itu kamu harus percaya!” tekas Giselle.

“Sebelum itu, kamu masih sayang ngga sama Karina?”

Mendapat pertanyaan itu secara mendadak Winter mengerutkan keningnya dengan bingung.

“Dulu iya, tapi kalau sekarang aku ngga tau lagi,” jawab Winter.

“Udah gue duga,” gumam Giselle sepelan mungkin.

“Kenapa sih kak? Ada sesuatu ya?” tanya Winter.

“Karina....”

She's love you!”

Winter mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya tertawa kecil.

“Kak, aku tau kakak emang se-sayang itu ke aku tapi kakak ngga perlu repot-repot buat bohong biar bisa bikin aku seneng,” ucap Winter.

“Win, kakak ngga bohong! Ini serius, she told me!” seru Giselle.

“Kapan? Kalau emang iya, kakak harusnya punya sesuatu kan buat ngebuktiinnya?” ujar Winter. “Aku cuman ngga mau aja kalau harus ngulang kesalahan yang sama lagi buat sayang ke seseorang.”

Giselle dengan cepat merogoh kantong rok-nya dan mengambil benda pipih persegi itu. Tapi kemudian dia sadar kalau semalam dia baru saja membersihkan semua room chatnya.

“Aiihh, Giselle bego!” rutuk Giselle pada dirinya sendiri.

“Pokoknya kamu harus percaya ke kakak, karna kakak emang gak pernah bohong ke kamu selama ini!” tegas Giselle.

Winter hanya terdiam memikirkan ucapan Giselle itu. Isi hati dan pikirannya saling bertolak belakang satu sama lain.

Ding Dong

Suara bel pulang sekolah itu bergema di seluruh sudut sekolah membuat Winter dan Giselle mengadahkan kepala mereka.

“Udah bel pulang kak, aku duluan ya,” pamit Winter lalu meninggalkan Giselle.

“Bego! Kenapa juga sih gue harus bersihin room chat!” kesal Giselle.

Winter melangkah menuruni anak tangga bersama keempat temannya yang lain, masih memikirkan soal ucapan Giselle yang tadi.

“Win, mau pulang bareng lagi?” sahut Heeseung yang tiba-tiba muncul di depan mereka.

“Ngagetin aja lo anjir!” dengus Chaeryeong.

“Udah kayak orang pacaran aja lo berdua, berangkat sama pulang sekolah bareng terus,” cibir Ryujin.

“Ryujin makannya cari pacar biar ada yang bisa di antar jemput,” timpal Minju.

Winter ingin membuka suara sebelum akhirnya dia melihat Karina yang lewat tidak jauh dari tempatnya berdiri.

“Eumm, hari ini ngga dulu ya, Seung. Aku mau pulang bareng kak Karin,” balas Winter.

“Oh, yaudah kalau gitu.”

Dengan tersenyum kecil Winter pamit pada teman-temannya kemudian menghampiri Karina yang sudah berada di luar gedung sekolah dan sedang menuju ke tempat parkir.

“Kak Karin!” panggil Winter sebelum Karina membuka pintu mobilnya.

“Kenapa?” Karina menaikan salah satu alisnya menatap Winter.

“Ayo pulang,” ucap Winter yang kemudian masuk ke dalam mobil membuat Karina bingung.

“Buruan kak!”

“I–iya,” balas Karina.

Di dalam mobil keduanya hanya diam dengan isi kepala masing-masing.

Winter sesekali melirik ke arah Karina sambil memikirkan ucapan Giselle tadi.

“Ngapain ngeliatin aku terus kayak gitu?” celetuk Karina yang fokus pada jalanan di depannya.

“Tadi sebelum pulang kak Giselle nyamperin aku,” ucap Winter.

“Apapun yang di bilang Giselle ke kamu mending ngga usah di percaya,” timpal Karina dengan cepat membuat Winter bungkam seketika.

“Bener, aku harusnya gak boleh percaya gitu aja kan kalau itu bukan dari kamu sendiri kak,” gumam Winter, memalingkan pandangannya ke jendela.

“Tumben kamu ngga pulang bareng Heeseung, biasanya juga pulang bareng dia,” kata Karina.

“Tadinya sih gitu.”

“Mau makan dulu ngga?”

“Terserah kakak aja,” jawab Winter dengan malas.

“Oke, mau makan seafood ngga? Kamu suka kan? Minjeong juga suka kalau di ajak makan seafood,” jelas Karina.

Winter menutup kedua matanya, lagi dan lagi Karina selalu membawa nama Minjeong di setiap topik mereka.

“Kak, aku bukan Minjeong! Stop terus-terusan nyebut nama Minjeong tiap bareng sama aku!” bentak Winter. “Turunin aku di depan.”

“Kamu kenapa sih? Aku cuman nyebut nama Minjeong aja, emang itu salah?”

“Kakak yang kenapa! Setiap kali bareng aku kakak selalu aja nyebut nama Minjeong! Aku juga capek kak kalau kakak nyebut nama Minjeong terus di setiap topik! Kakak sebenernya nganggap aku ada ngga sih?” teriak Winter dengan kesal.

“Dia pacar aku, apa ngga boleh kalau aku nyebut nama dia?” Winter tertawa miris.

Dia salah, emang seharusnya dia ngga percaya sama omongan Giselle dan dia menyesali itu sekarang.


Sejak pertengkaran mereka di mobil kemarin Winter tidak pernah sekalipun menemui Karina baik itu saat makan malam, sarapan pagi ataupun saat berangkat ke sekolah pagi.

Winter lebih memilih naik taksi untuk pergi ke sekolah, lebih awal dari sebelum Karina keluar. dari kamarnya. Saat di sekolah pun Winter selalu mengambil jalan lain ketika melihat Karina dari kejauhan.

“Seharian ini kamu murung terus, kenapa?” tanya Heeseung.

“Ngga apa-apa, emang lagi ngga mood aja kok,” jawab Winter.

“Ada masalah lagi ya sama kak Karina?” tebak Heeseung. Winter hanya mengangguk kecil.

“Ngga tau kenapa tapi aku lagi ngga mau aja ketemu kak Karin sekarang,” ucap Winter.

“Aku udah nelfon kamu berkali-kali ternyata kamu malah asik bareng dia disini!”

Heeseung dan Winter mengadahkan kepalanya saat mendengar suara seseorang yang menginterupsi obrolan mereka.

Winter memutar kedua bola matanya dengan malas.

“Kak, kalau kakak kesini cuman buat memperkeruh keadaan mending sekarang pergi,” ucap Winter.

“Wow, aku kesini tuh baik-baik loh,” ucap Karina. “Mami siang nanti bakal dateng ke rumah jadi hari ini kamu pulangnya bareng aku.”

“Ngga, hari ini aku bakal pulang bareng Heeseung!”

“Lagi?” dengus Karina.

“Jadi kamu lebih milih pulang bareng dia di bandingkan sama aku?”

“Seenggaknya Heeseung masih bisa ngehargain keberadaan aku di banding kamu kak!”

“Kamu suka kan sama dia? Bahkan kamu selalu milih dia daripada aku.”

“Ada banyak alasan kenapa aku jauh lebih milih Heeseung daripada kamu kak!” potong Winter.

Heeseung yang berada di antara keduanya bingung harus bagaimana, ini di luar kendalinya.

“Ahh, jadi ini alasan kamu buat batalin pertunangannya? Iya?”

“Itu kamu kak! Alasannya itu kamu!” bentak Winter. “Harusnya kamu sadar kalau alasan aku buat batalin itu semua ya karna kamu!”

Yang tadinya hanya ada mereka bertiga kini ada beberapa murid yang menonton pertengkaran itu.

“Sekarang kasih aku satu alasan kenapa aku harus milih kamu daripada Heeseung!”

“Karena aku tunangan kamu!” teriak Karina.

“Aku sebagai tunangan kamu itu pun hanya sebuah status kak! Apa pernah kamu perduli ke aku? Apa pernah kamu perlakuin aku layaknya sebagai tunangan kamu? Ngga pernah kak, sedikitpun gak pernah!”

Para murid yang menonton itu kaget dan saling berbisik satu sama lain.

“Sekarang aku balikin, apa hebatnya dia di banding aku?”

“Heeseung ngga pernah sekalipun nyakitin aku, ngga pernah sekalipun dia bikin aku nangis dan kamu yang nyatanya adalah tunangan aku malah ngelakuin hal yang sebaliknya!”

“Aku udah berusaha berubah buat kamu, aku ngirim kamu makanan, aku bahkan selalu ngajak kamu buat berangkat dan pulang bareng tapi kamu sendiri yang selalu nolak!”

“Kamu ngelakuin itu karna kamu cuman nganggap aku sebagai penggantinya Minjeong kak! Setiap saat kamu selalu nyebut nama dia di hadapan aku, kamu selalu nyangkut pautin semua tentang aku dengan Minjeong, aku benci kak aku benci setiap kali kamu bandingin aku sama Minjeong!”

“Iya aku tau aku ngga akan pernah sekalipun bisa ngegantiin posisi Minjeong di hati kakak tapi tolong kakak hargain perasaan aku juga! Aku muak sama semua tingkah kakak selama ini, kakak bahkan ngga bakal bisa jadi kayak Heeseung jadi stop bertingkah seolah kakak yang sakit disini!”

“Aku ngga mau lagi nerusin hubungan ini, aku ngga mau terikat sama hubungan bodoh ini! Cukup sudah aku pertahanin perasaan aku ke kamu kak, setelah semua ini aku bahkan nyesel pernah sayang sama kamu!”

I hate you more than anything and anyone in this world!” tekan Winter lalu menarik Heeseung untuk pergi dari tempat itu.

Sementara Karina tersenyum dengan lega setelah Winter meninggalkannya.

Giselle, Yeji dan Nakyung yang mendengar kabar bahwa Karina dan Winter bertengkar langsung berlari walaupun mereka sedikit telat.

“Lo...” ucapan Giselle tertahan, mencoba agar dirinya tidak memukul Karina sekarang.

“Demi Tuhan Karina, lo orang yang paling bego gue temuin di muka bumi ini!” kesal Giselle.

Karina masih dengan senyum leganya menatap Giselle, Yeji dan Nakyung secara bergantian.

“Lo masih bisa senyum? Rin...” ujar Yeji.

She told me that she hates me,” ucap Karina.

“Rin, kenapa lo harus kayak gini sih kalau lo emang sayang sama dia?” sahut Nakyung.

Rather than I have to lose her just like I lost Minjeong, wouldn't it be better if I let her go for someone better than me?”

“Gue emang udah nunggu saat-saat dia ngebenci gue, dengan gitu gue bisa lega dan ngelepasin dia sepenuhnya.”

“Gue selalu kehilangan semua orang yang sayang ke gue, Papi, kakak gue, adek gue, Minjeong....semua yang sayang gue pergi ninggalin gue dengan cara yang sama. Kalau kalian jadi gue kalian bakal kayak gimana”

“Dulu gue janji ke Papi bakal jagain adek gue setelah itu gue kehilangan mereke berdua, gue janji ke Mami bakal jagain kakak gue apapun yang terjadi tapi gue lagi-lagi gue kehilangan, gue janji ke Winter buat jagain Minjeong sampai dia balik ke Indonesia tapi gue gagal dan bikin dia kehilangan orang yang paling berharga di hidupnya dia.”

Karina menatap ketiganya sambil tersenyum dengan kedua matanya yang berair.

“Semua yang pergi ninggalin gue itu orang-orang yang sayang sama gue, jadi menurut kalian gue harus ngapain? Tetep bertahan tapi dengan resiko gue kehilangan orang yang sayang ke gue lagi atau milih buat lepasin dia?”