Kita Ini Sebenarnya Apa?
Minggu siang ini rencananya tim archery dan tim volly akan pergi mengunjungi SMA Garuda untuk sekedar melihat-lihat saja berhubung ini pertama kalinya untuk mereka.
Semuanya tampak sudah siap di loby hotel sambil menunggu beberapa orang lagi.
“Chel, lo make celana pendek gini lo pikir kita lagi di bali?” celetuk Mikha.
“Panas, Mik, lo nyuruh gue make celana panjang gitu? Yang ada gue keringetan,” dengus Achel.
“Berantem mulu lo berdua,” sambar Gigi.
“Ini kita berangkatnya kapan sih? Nanti makin tambah panas kalau kelamaan.”
Mikha, Achel dan Gigi serempak menoleh ke arah Kirana yang tampak kesal.
“Willa sama temen-temennya belum ada, terus juga Rigo sama yang lain kan masih di atas juga,” ujar Achel.
“Rigo tuh bisa gak sih nyuruh temen se-timnya displin sama waktu, selalu aja gini!” gerutu Kiran.
“Sabar, Ran, marah-marah mulu,” ucap Gigi menenangkan Kiran.
“Loh? Masih belum berangkat?” sahut Ray yang datang bersama Yudith serta kedua adik kelasnya Bella dan Luna.
“Nungguin lo!” ketus Mikha.
Mendengar itu Ray bergidik ngeri dan langsung bersembunyi di belakang Yudith.
“Sorry guys, tadi lagi ada masalah di kamar!” seru Rigo.
“Lain kali jangan telat, ada banyak orang yang nunggu,” ucap Jendra. “Coach Andy sama Coach Hendra udah nunggu di bis, ayo jalan,” lanjutnya.
Kiran yang sedari tadi diam menoleh ke sekitar, tidak ada Willa. Padahal Ray dan Yudith ada.
“Ray, Willa mana?” tanya Kiran.
“Di kamar, katanya sih ngga enak badan. Semalam juga pas gue sama Yudith balik dia mual-mual tuh,” jawab Ray.
“Mual? Kalian balik jam berapa semalam?”
“Eunghh, jam 9 lebih 20 menit sih kayaknya.”
“Terus dia makan ngga? Pagi tadi juga dia ikut sarapan atau ngga?”
“Semalam dia makan tapi sedikit, kalau pagi tadi dia ngunyah roti selai doang habis itu lanjut tidur,” jelas Ray. “Kenapa sih?”
“Ishh, bego!” tekas Kiran yang kemudian langsung berlari kembali ke arah lift.
“Hah? Kok ngatain gue bego sih? Woy Kiran!” teriak Ray.
“Itu Kiran mau kemana? Kok balik lagi?” sahut Mikha.
“Ya mana gue tau? Kenapa gak tanya langsung ke temennya?” balas Ray.
Mikha otomatis menatap Ray dengan tajam lalu menendang kaki cewek itu tepat di tulang keringnya membuat si pemilik kaki meringis kesakitan.
“Anjing!” umpat Ray sambil menahan rasa sakit di kakinya.
Setelah lift sampai di lantai 3 Kiran dengan cepat keluar dari lift dan menuju ke kamar Willa. Kenapa Kiran kembali berlari dengan terburu-buru? Jawabannya adalah Willa itu menderita penyakit maag, mendengar bahwa semalam Willa mual di tambah dengan kedua temannya itu baru kembali ke kamar tepat jam 9 malam membuat Kiran yakin kalau maag Willa kambuh. Karena dia tau jam makan Willa itu seharusnya jam 8 malam dan tidak bisa lebih dari itu.
“Kiran? Kok masih disini?” seru Willa yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamar.
Kiran yang melihat Willa berdiri di hadapannya sekarang dengan pakaian yang rapih langsung menarik lengan Willa.
“Kamu mau kemana?” tanya Kiran.
“Ya... ikut bareng yang lain ke SMA Garuda?” jawab Willa.
Kiran menyipitkan kedua matanya, “Ngga, ayo balik ke kamar lagi. Aku udah minta staff hotel buat bawain makanan kesini.”
“Tapi itu—”
“Willa! Aku tau ya kamu semalam mual-mual, aku juga tau kamu telat makan malam, maag kamu kambuh kan?” potong Kiran.
“Anu, itu...”
“Ayo masuk, aku bawa mylanta buat jaga-jaga,” Kiran menarik Willa masuk ke kamarnya bersama Achel, Mikha dan Gigi.
Tidak menolak, Willa menuruti Kiran yang memintanya untuk masuk dan duduk di salah satu ranjang yang ada di kamar itu.
“Kamu sampai bawa mylanta kesini, sekhawatir itu ya sama aku?” sahut Willa menatap Kiran yang sedang menggeledah kopernya.
“Ngga usah kegeeran, Achel sama Gigi juga punya maag jadi aku bawa bukan cuman buat kamu aja,” sangkal Kiran.
Willa terkekeh, “Iya deh.”
“Nih, di minum dulu,” tukas Kiran sambil menyodorkan botol kecil berwarna hijau itu.
“Ini yang tablet atau sirup?” tanya Willa.
“Sirup.”
“Ngga ada yang tablet ya? Kamu kan tau aku ngga bisa kalau minum yang sirup,” pelas Willa.
Kiran mendengus kecil, masih saja sama seperti dulu ternyata.
“Taruh dua tangan kamu ke belakang terus angkat kepalanya ke atas,” pinta Kiran.
“Hah? Buat apa?”
“Ck, udah sih tinggal di lakuin aja!” omel Kiran.
Willa pun menurut sebelum Kiran yang akan memaksanya untuk melakukan hal itu.
“Tutup matanya, jangan berani gerakin tangannya, awas ya kalau berani di gerakin,” ancam Kiran.
Setelahnya Kiran membuka segel penutup botol obat itu, tangan kirinya menutup hidung Willa sebentar lalu menuangkan mylanta sirup itu ke dalam mulut Willa.
“Telan, jangan di muntahin!”
Willa menggeleng dengan keras dan berencana untuk memuntahkan obat cair itu tapi dengan cepat Kiran membekap mulutnya.
“Telan ngga! Kalau kamu muntahin aku bakal lapor ke Coach Hendra dan minta kamu buat di pulangin hari ini juga!”
Mendengar itu Willa dengan terpaksa menelan semua obat cair itu.
“Good girl!” seru Kiran.
“Pahit Kiran!” rengek Willa dengan raut wajah yang ingin menangis.
“Buka mulutnya.”
“Hah?”
“Mau permen ngga? Kalau ngga mau yaudah,” ujar Kiran.
“Ihh iya, iya, aaaa...”
Kiran tertawa kecil saat Willa membuka mulutnya lalu memasukan permen dengan rasa jeruk ke dalam mulut Willa.
“Lain kali jangan telat makan malam lagi kalau ngga mau minum obatnya,” ucap Kiran.
“Aku ngga apa-apa sih kalau harus minum obatnya lagi selama kamu yang ngasih, asalkan di lakuin mouth to mouth,” seru Willa.
“Gila ya kamu?! Ngga usah bercanda!” omel Kiran.
“Haha iya, maaf,” tawa Willa. “Peluk dong.”
“Huh? Bu–buat apa?”
“Kepala aku pusing dikit, ngga lama kok bentar aja,” balas Willa lalu memeluk Kiran dan meletakan dagunya di bahu kanan Kiran.
“Makasih ya,” bisik Willa.
Itu hanya bisikan tapi cukup bisa membuat jantung Kiran berdetak lebih cepat dari yang biasanya.
.
.
Senin pagi ini rombongan KIHS bersiap untuk pergi ke SMA Garuda menggunakan bis. Mereka akan melakukan latih tanding hari ini, semuanya sudah berada di dalam bis termasuk Willa yang kemarin sempat tidak sehat.
“Lo yakin udah ngga apa-apa?” tanya Yudith.
“Iya gue udah ngga apa-apa, santai aja elah,” jawab Willa.
“Ya lagian lo gak bilang kalau kemarin maag lo kambuh,” decak Ray. “Ini kalau si Nala tau bisa-bisa gue sama Yudith yang di hajar.”
“Santai aja dih, lagian kemarin juga gue udah di urusin sama Kiran.”
“Emang bisa aja lo nyari kesempatan dalam kesempitan!” desis Yudith.
Perjalanan mereka memakan waktu 20 menit dari hotel menuju ke SMA Garuda. Untuk pertandingan lebih dulu itu di awali oleh archery sementara untuk volly akan di mulai setelahnya.
Saat sampai ada begitu banyak murid SMA Garuda yang menyambut mereka, padahal ini hanya latih tanding tapi terasa seperti pertandingan sungguhan.
“Kalian siap-siap aja ya, saya mau menemui Coach Liam dulu,” ucap Coach Hendra.
“Yang cowok ikut gue, kita sekalian pemanasan dulu,” sahut Jendra.
“Wil, kita yang lain duluan ke tribun ya, arahin tuh anak-anak lo!” seru Gigi.
“Haha okay, Gi!” balas Willa.
“Santai aja ngga usah tegang, kita cuman latih tanding doang kok, justru ini bagus buat ngelatih mental kalian juga biar gak gugup pas pertandingan beneran nanti,” ucap Ray.
“Santai tapi tetep fokus, tim archery dari sekolah kita tuh terkenal sebagai tim terbaik karna sering juara 1 di setiap turnamen, jadi jangan bikin malu nama sekolah sama tim archery kita, paham?” sambung Yudith.
“Paham kak,” balas Vio.
“Yaudah pakai sekarang aja finger tab, arm guard, sama chest guardnya, habis itu kita pemanasan dikit,” ucap Willa.
Ketiga adik kelasnya mengangguk lalu mengikuti arahan dari sang ketua.
Sementara Kiran dan anggota tim volleyball yang lain sudah duduk di tribun bersama para murid SMA Garuda yang juga ingin menonton.
“Denger-denger yang namanya Bella itu pernah ikut kejuaraan panahan dari dia SMP, bener ya?” sahut Mikha.
“Iya kak, kebetulan aku satu sekolah sama Bella. Dia sering ikut kejuaraan panahan mau itu yang dari dalam sekolah atau luar sekolah,” jawab Elena.
“Wuiih, hebat dong kalau gitu, masa depan tim archery sekolah kita udah cerah berarti,” timpal Gigi.
“Eh, itu mereka dateng!” celetuk Achel melihat kedatangan 2 tim putri yang tidak lain adalah tim Willa dan tim dari SMA Garuda.
Jujur saja melihat Willa dengan pakaian tandingnya itu membuat Kiran sedikit salah tingkah, kenapa? Karena Willa terlihat sangat keren dengan pakaian kebanggaannya itu.
Selama pertandingannya di mulai, Kiran hanya terus memperhatikan Willa. Sudah lama dia tidak melihat Willa memegang busur panah itu sudah lama semenjak mereka putus.
“Sumpah itu Bella, Vio sama Luna kok jago-jago banget? Ya gue tau sih mereka lumayan jago tapi gue gak tau kalau bakal sejago ini?” seru Achel.
“Itu tadi juga mereka nyetak angka 10 terus,” tambah Gigi.
“Yang tim cowok juga ngga kalah jago sih,” ujar Mikha.
“Berarti Willa sama Jendra ngga salah pilih anggota baru buat penerus mereka nanti,” ucap Kiran.
“Ayo, giliran kita sekarang. Kita mainnya di lapangan indoor,” tukas Coach Andy.
Kini seluruh penonton dari SMA Garuda tadi berhamburan menuju lapangan indoor untuk menonton pertandingan selanjutnya apalagi kalau bukan volleyball.
Kiran sempat melirik ke arah Willa yang sedang mengobrol dengan tim panahan dari SMA Garuda.
“Ngeliatnya gitu amat, Ran!” ejek Gigi.
“Apa sih, siapa juga yang lagi liatin Willa?” dengus Kiran.
“Loh, gue ngga nyebut nama padahal,” tawa Gigi membuat Kiran mendengus kesal dan meninggalkan Gigi yang sedang tertawa.
“Hey!”
“Gigi gue—”
“Calm down, ini aku bukan Gigi,” seru Willa.
“Kenapa?” cetus Kiran.
“Galak banget sih wkwk,” tawa Willa. “Semangat ya mainnya, nanti aku lihatin dari bangku penonton!”
“Wil, bantuin sini anjir!” teriak Ray dari belakang.
“Pokoknya jangan sampai cedera lagi kaki atau tangannya, oke?!” ucap Willa lalu kembali ke lapangan untuk membantu teman-temannya yang lain.
Entah kenapa hal itu malah membuat Kiran tersenyum dan lebih bersemangat dari yang sebelumnya.
Di lapangan volly indoor itu sudah ada banyak murid yang duduk di tribun. Yang bermain lebih awal adalah tim putri, terlihat di depan sana kedua Coach sedang mengobrol dengan seksama sebelum akhirnya kembali ke lapangan masing-masing.
“Oke untuk yang main pertama itu Kirana, Gisela, Mikha, Bianca, Caca, dan Michelle. Inget sama posisi masing-masing, oke?” ucap Coach Andy. “Kirana, kamu yang ambil alih.”
“Iya, Coach!” balas Kiran.
“Caca kamu inget kan posisi kamu sebagai opposite spiker? Jadi kamu harus inget tempat kamu dimana nanti, ngga usah gugup kalau gugup nanti kamu di omelin sama kak Achel,” ucap Kiran di iringi dengan candaan di akhir kalimatnya.
“Ayo, ayo pemanasan dulu biar gak cedera!” seru Gigi.
Willa dan kawan-kawan baru saja sampai di tribun lapangan dan mencari posisi tempat duduk yang pas agar bisa menonton permainannya dengan puas.
“Gila, gue baru sadar anak-anak volly setinggi itu,” ucap Ray.
“Kenapa lo ngga ikut masuk club volly aja waktu itu, Dith? Secara lo kan tinggi juga?” tanya Willa.
“Males gue sama olahraga yang banyak gerak gitu apalagi harus lompat-lompat,” jawab Yudith.
“Resiko buat cedera juga tinggi ngga sih? Kalau habis lompat terus kaki salah napak kan bahaya juga,” timpal Ray.
“Iya sih,” gumam Willa.
Suara peluit terdengar nyaring yang menandakan bahwa permainan pertama akan segera di mulai. Suara riuh dari penonton pun terdengar saat Mikha melepaskan servis pertamanya.
Permainan berlangsung cukup sengit karena kedua tim saling kejar mengejar skor satu sama lain. Dari 5 set pertandingan sekarang 2 set baru saja selesai dengan skor seimbang 1 : 1. Di set ketiga ini bola servis kembali pada tim SMA Kwangya.
“Ini padahal latih tanding doang tapi kok gue malah tegang,” ucap Ray.
“Sumpah sih ini—”
Buuuk!
Ucapan Yudith terhenti setelah suara benturan bola yang mengenai kepala salah satu pemain terdengar dengan keras, membuat beberapa penonton juga berdiri dari duduknya.
“Wil, anjir itu Kiran!” celetuk Ray sambil menepuk bahu Willa dengan keras.
“Hah? Kiran?!”
Dengan cepat Willa bangkit dari duduknya dan belari turun dari tribun menuju ke tengah lapangan.
“Ran, bangun, Ran! Kiran, lo denger suara gue ngga? Kirana!” tukas Achel sambil menepuk-nepuk pipi Kiran dengan pelan.
“Kiran! Minggir, minggir!” teriak Willa dari belakang kerumunan.
“Astaga, Kiran!” pekik Willa melihat Kiran yang sudah tidak sadarkan diri.
“Mik, bantuin gue! Angkatin Kiran ke punggung gue, cepetan!” sentak Willa.
“A‐ahh, o–oke!” balas Mikha lalu mengangkat Kiran ke punggung Willa di bantu oleh Gigi dan Achel.
Setelah Kiran berada di punggungnya Willa berlari mengikuti salah satu murid SMA Garuda yang mengantarnya menuju ruang UKS.
“Ada minyak kayu putih ngga? Atau aroma terapi apa aja deh,” tanya Willa sambil meletakan Kiran dengan pelan di ranjang UKS.
“Ada kak, bentar saya ambil dulu.”
Sambil menunggu Willa melepaskan sepatu yang di pakai Kiran dan mengipasinya dengan buku yang ada di meja nakas sebelah ranjang.
“Ini kak minyak kayu putih dan air hangat buat kakaknya kalau udah bangun.”
“Ah iya, makasih ya,” ucap Willa.
“Kalau gitu saya permisi dulu.”
Willa tersenyum dan mengangguk.
Dengan telaten Willa menggosokkan minyak kayu putih ke sekitar dahi dan bawah hidungnya lalu kembali mengipasi Kiran.
Sekitar 20 menit kemudian Kiran tersadar dari pingsannya dan kaget saat melihat Willa yang berada di hadapannya saat ini.
“Key, kamu ngga apa-apa?” seru Willa memanggil Kiran dengan nama kecilnya.
“Yang lain mana? Kok kamu sendirian disini?” lirih Kiran.
“Yang lain masih di lapangan, kamu kok ngga hati-hati sih?” balas Willa.
“Minum dulu ya,” Kiran menggeleng pelan.
“Mau aku panggilin Coach Andy? Atau temen-temen kamu aja?”
Lagi dan lagi Kiran hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Wil?”
“Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu? Atau mau langsung balik ke hotel aja?”
“Diem dulu, kepala aku pusing denger kamu ngoceh terus,” tutur Kiran.
“Maaf,” cicit Willa.
“Kepala aku sakit,” ucap Kiran sambil menggenggam tangan Willa.
“Sakit banget ya?” tanya Willa. Kiran mengangguk pelan.
“Geser dikit coba,” ucap Willa kemudian ikut berbaring di sebelah Kiran.
Tangan kirinya di jadikan bantal, lalu menarik Kiran ke dalam pelukannya dan mengelus pelan kepala Kiran.
“Tidur lagi gih, nanti aku bangunin kalau kita udah mau balik ke hotel,” ucap Willa.
“Willa?”
“Hm?”
“Aku boleh nanya ngga?” bisik Kiran.
“Boleh, nanya aja,” balas Willa.
“Kamu tuh sebenernya masih sayang sama aku atau engga sih?” tanya Kiran.
“Terus kita ini sebenernya apa? Kadang aku bingung sama hubungan kita. Kamu tau sendiri kalau kita udah putus, tapi sikap kamu akhir-akhir ini buat aku mikir kalau kita cuman break aja,” lanjut Kiran.
Willa hanya diam karna dia juga tidak tau harus menjawab apa. Memang benar apa yang di katakan Kiran, hubungan mereka terasa seperti hanya break sebentar saja bukan benar-benar berakhir.
“Willa, kalau semua ini cuman buat main-main aku mohon tolong jangan di terusin,” gumam Kiran yang perlahan mulai tertidur di dalam pelukan Willa