⚠️ TW // Accident ⚠️
Sepulang sekolah Keindra mengikuti saran sahabatnya, ia pun membeli minuman untuk Haris ditemani oleh Wira.
“Lu yakin kak Haris mau maafin gua, Wir?” Tanya Keindra saat keduanya berjalan menuju ruang latihan.
“At least lu mencoba Kei, nggak mungkin bang Haris sejahat itu,” jawab Wira santai sambil merangkul Keindra.
Sesampainya di depan ruang latihan, dapat Keindra lihat Haris serius bermain badminton di dalam sana. Ia pun berhenti membuat Wira heran, “kenapa berhenti?” Tanya sahabatnya.
“Takut, ih!” Rengek Keindra, hal itu menimbulkan decakan kesal dari Wira.
“Sekarang atau nggak sama sekali? Lu mau terus-terusan takut ke sekolah?”
“Enggak ....”
“Ya udah, masuk!” Wira menarik paksa Keindra ke ruang latihan, yang ditarik hanya pasrah sambil menunduk dalam berlindung di balik tubuh tinggi Wira. “Bang Haris!” Panggil Wira di tepi lapangan dan menjadi pusat perhatian para senior.
Merasa namanya dipanggil, Haris berhenti bermain dan melihat ke arah Wira, “gua?” Tunjuknya kepada diri sendiri.
“Iya Bang! Ada perlu sebentar, ganggu nggak?”
“Oh enggak kok, santai aja. Gua keluar dulu ya?” Izin Haris kepada rekannya dan menghampiri Wira.
Keindra yang melihat sosok Haris mendekat, membuatnya semakin mengeratkan genggaman pada seragam Wira dan tetap berlindung dibalik tubuh sahabatnya.
“Ada apa? Lu anak badminton baru, 'kan? Kalau nggak salah nama lu Wiri?”
“Wira, Bang hehehe.”
“Oh iya Wira hahaha maaf ya gua masih dikit-dikit ngehapalin nama kalian. Ada apa Wir?” Haris bertanya dengan ramah, tak sengaja matanya melihat sosok lain di balik tubuh adik kelasnya itu.
“Jadi gini Bang, ada temen gua nih pengen ngomong sesuatu sama lu. Sebentar Bang,” Wira menoleh ke belakang, “woi cepet muncul!” Bisik Wira.
“Takut anjir!” Jawab Keindra pun berbisik.
Namun tanpa keduanya sadari, bisikan mereka terdengar oleh Haris. Membuat laki-laki yang lebih tua tersebut menahan tawanya melihat tingkah adik tingkat pertamanya ini.
“Cepet nggak!?” Bentak Wira.
Mau tak mau, dengan rasa takut yang masih menguasai dirinya, Keindra pun menunjukan dirinya. Saat itu juga wajah Haris berubah datar, “oh, dia temen lu?” Tanyanya dengan nada dingin.
“Iya Bang,” tiba-tiba Wira ikut merasa takut, “dia mau ngomong sama lu, jadi gua ajakin ketemu sama lu, Bang,” Wira mendorong Keindra agar berdiri di hadapan Haris.
“H-halo K-kak ...,” sapa Keindra dengan suara yang bergetar.
Tatapan datar Haris membuat Keindra kembali menunduk, ingin rasanya Keindra menangis saat itu juga namun ia tahan.
“Karena kalian udah ketemu, ada baiknya gua tinggal aja, ya? Biar enak ngomongnya. Gua pergi dulu ya Bang Haris!” Wira melambaikan tangannya dan meninggalkan Keindra sendiri.
“Oh iya Wir, makasih ya!” Ujar Haris ramah namun dalam hitungan detik kembali datar.
Melihat Wira pergi dari ruang latihan membuat Keindra panik, “Wir! Wira!” Teriak Keindra kepada sahabatnya yang sudah menghilang di balik pintu. “Oh shit!” Umpat Keindra dalam hati.
“Mau ngomong apa?” Tanya Haris.
Keindra terperanjat, “hah?” ia tampak kebingungan. Botol minuman yang tadi ia beli digenggam dengan erat hingga buku jarinya memutih.
Haris keheranan melihat tingkah Keindra, laki-laki manis dihadapannya ini tampak gugup sambil menggigit bibirnya, “kalau nggak jadi gua balik latihan ajㅡ”
“KAK HARIS AKU MINTA MAAF!!” Teriakan nyaring Keindra memenuhi lapangan badminton.
Semua yang berada di sana mengehentikan kegiatannya, tak terkecuali Haris yang melebarkan matanya, merasa terkejut dengan aksi Keindra.
“Lu ngapain teriak!?” Haris berdecak dan menarik Keindra keluar dari ruang latihan.
“Kenapa sih gua ditarik-tarik mulu hari ini!?” Batin Keindra kesal dan pasrah ditarik oleh Haris.
Badan mungil itu Haris dorong ke dinding, membuat Keindra bersandar pada dinding sekolah dan menatap Haris takut. Jarak keduanya begitu dekat, bahkan Keindra dapat merasakan napas Haris yang memburu.
“Udah cukup buat gua sakit terus, tolong jangan buat gua malu dengan cara lu teriak gitu, Keindra ...,” ujar Haris lirih, mata keduanya saling bertatapan. Melihat mata bergetar Keindra, membuat Haris menjadi luluh. Ia pun mundur dan nengendurkan otot-otot wajahnya menjadi lebih santai. “Gua buat lu takut ...,” bisik Haris.
“E-enggak, nggak, Kak! Aku nggak takut. M-maaf, maaf udah bikin Kakak malu, maaf aku banyak bikin salah sama Kakak, bahkan dari kita masih kecil. Maaf aku udah sakitin Kakak, buat Kakak marah bahkan jengkel sama aku, maafin aku, Kak! Aku enggak maksud begitu, ada sesuatu yang harus aku jelasin, tapi aku terlalu takut ..., ya ..., ya aku ngaku takut sama Kak Haris ...,” Keindra menunduk, jarinya memainkan botol minuman yang sedari tadi belum juga ia berikan kepada Haris.
“Itu air kalau cuma lu tatap tapi enggak lu minum mending buat gua aja deh,” celetuk Haris.
“Eh?” Keindra kembali menatap Haris, seniornya sudah terlihat lebih santai membuat rasa takutnya perlahan menghilang. “Oh! Iya, ini memang buat Kakak!” Keindra memberikan minuman tersebut kepada Haris.
“Aman, 'kan? Nggak ada lu kasih apa-apa?” Haris menatap Keindra curiga.
“Enggak! Baru aja aku beli di kantin, minum aja Kak, pasti haus habis main badminton.”
“Oke gua minum,” Haris mengambil minuman tersebut dan meminumnya hingga tersisa setengah botol. “Thanks, ya!” Haris mengoyangkan botolnya.
“Iya sama-sama, Kak ....”
“Jadi, kenapa takut sama gua?”
“Anu ....”
“Kenapa anu lu? Gua nggak ngapa-ngapain ya.”
“Ih bukan!” Keindra menghentakan kakinya sambil merengek, hal itu membuat Haris terkekeh.
“Ya, terus apa?”
“Aku takut kalau Kakak benci sama aku. Dari kecil aku selalu berpikir, Kakak nggak mau latihan taekwondo lagi karena aku. Aku merasa bersalah banget udah buat Kakak sakit dan nangis waktu itu, aku bahkan belum sempat minta maaf. Sampai sekarang ketemu lagi aku malah buat kesalahan yang sama, aku takut Kakak makin benci sama aku. Pertama kali aku lihat Kakak di depan toilet, aku udah nggak asing sama Kakak tapi aku lupa-lupa ingat, sampai akhirnya Kakak ingatin aku kejadian itu, aku kaget ..., aku nggak tau harus senang atau sedih karena rasa bersalah aku sejak dulu belum selesai.”
“Selama itu Kei? Selama itu lu ngerasa bersalah?”
“Iya Kak ....”
“Oh lord,” Haris mengusak wajahnya, “giliran gua yang merasa bersalah sama lu, Kei. Gua gapapa Kei, seriusan! Gua nggak mau latihan lagi karena taekwondo nggak cocok sama gua, dan gua juga harus pindah ke Singapura ikut orang tua gua.”
“Jadi bukan salah aku?” Tanya Keindra memastikan.
“Bukan, Kei. Gua minta maaf buat lu kepikiran selama ini, gua gapapa, gua nggak dendam sama lu. Gua malah bersyukur karena kejadian itu gua jadi ada kenangan dan cerita masa kecil, hal itu juga buat gua penasaran sama keadaan lu sekarang gimana. Gua berusaha cari lu lagi saat gua balik ke sini, tapi pelatih nggak mau kasih tau.”
“Kakak cariin aku? Ke tempat latihan lama kita dulu!?” Keindra melebarkan matanya.
Haris mengangguk, “pelatih bilang nggak mau kasih tau. Gua nggak tau apa alasannya, tapi semenjak itu gua hanya menerka-nerka, apa kabar anak kecil yang tendangannya jago banget sampai buat gua nangis, apa dia udah jadi atlet nasional? Karena gua ingat pelatih bilang lu atlet junior.”
Mendengar penjelasan Haris, saat itu juga Keindra menunduk dengan raut wajah sedih. Haris yang menyadari perubahan reaksi Keindra mengernyit bingung, “ada apa, Kei?” Tanyanya.
“Sebenarnya aku udah ga bisa jadi atlet lagi, Kak. Aku nggak bisa taekwondo lagi, semuanya udah berakhir.”
Haris mengernyit, “kenapa?” Tanyanya penasaran.
“Aku kecelakaan tiga tahun lalu, ditabrak pengendara mobil yang lagi mabuk, waktu bawa sepeda pulang latihan. Aku ingat waktu itu seminggu lagi ada pertandingan, tapi apa boleh buat? Lutut kanan aku retak dan nggak ada harapan lagi untuk aku jadi atlet,” Keindra tersenyum getir, tatapannya kosong mengingat kejadian yang begitu menyakitkan baginya. “Jangankan jadi atlet, lari dan jalan jauh pun sekarang aku nggak bisa, kadang masih harus minum obat nyeri kalau kambuh dan nggak bisa jalan kalau kecapekan. Semenjak itu pula taekwondo jadi kenangan buruk untuk aku.”
“Kei ...,” panggil Haris lirih, menatap Keindra sedih.
“Jangan tatap aku begitu, Kak. Aku nggak suka dikasihani, walau masih berat untuk lepasin semua kenangan buruk itu tapi aku berusaha untuk ikhlasin segalanya sekarang,” Keindra tersenyum, namun bukan senyum yang tulus melainkan senyum yang dipaksakan. Dapat Haris lihat air mata di sudut mata Keindra.
“Jadi itu alasan kenapa lu kaget dan reflek pelintirin tangan gua, pas gua ngajakin lu masuk ke ruang taekwondo? Karena lu nggak mau kenangan buruk lu teringat lagi?”
“Iya, Kak ..., tapi bukan berarti aku membenarkan sikap aku, aku ngaku salah udah nyakiti Kakak karena Kakak nggak tau apa yang sebenarnya terjadi.”
Pundak Keindra digenggam erat oleh Haris, tatapan mereka kembali bertemu. Tatapan polos dan lugu Keindra semakin membuat Haris tak tega, bahkan Haris tak menyadari debaran jantungnya berdebar kencang sedari tadi.
“Jangan salahin diri lu terus-terusan, semua udah takdir. Gua memang nggak ngerasain di posisi lu, tapi tau keadaan lu sekarang baik-baik aja dan gua bisa ketemu lagi sama lu, itu artinya lu hebat Keindra, lu orang terhebat yang pernah gua temui dari gua kecil sampai udah segede ini. Nggak akan ada yang bisa ngalahin hebatnya lu berjuang sampai dititik ini, gua bangga sama lu, Kei.”
Sudut bibir Keindra naik, hatinya terasa begitu hangat dan tenang mendengar setiap tutur kata yang Haris ucapkan. Kedua tangan Keindra menggenggam tangan Haris yang masih memegang botol minuman darinya, “Kak Haris terima kasih, terima kasih banyak udah ingat aku dan cari keberadaan aku. Maaf, semenjak kecelakaan aku minta pelatih untuk nggak kasih tau informasi keberadaan aku, butuh waktu lama untuk aku pemulihan sampai akhirnya bisa balik lagi jadi Kei yang sekarang.”
Tangan Haris naik mengelus kepala Keindra, “maafin gua udah marahin lu, kasar sama lu, bahkan bikin lu nangis di kantin tadi siang. Gua kebawa emosi karena merasa dilupakan dan diremehkan, kalau dari awal gua tau apa yang terjadi, mungkin dari awal gua udah datang untuk support lu, Kei.”
Pipi Keindra merona samar, berharap tak disadari Haris, “aku gapapa, Kak. Kakak mau dengarin aku aja, aku udah senang banget. Jadi, kita baikan?” Keindra mengulurkan tangannya.
“Of course! Sekalian kita ulang perkenalan kita. Hai Keindra, gua Haris korban tendangan lu dulu masih kecil.”
“Hahaha ..., hai, Kak Haris! Aku Keindra, tersangka yang udah buat Kakak nangis dulu masih kecil.”
Tangan keduanya berjabatan dengan erat, senyum terkembang cerah di wajah keduanya, tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa kesal, takut dan bersalah.
“By the way, udah daftar ekskul?” Tanya Haris.
“Belum, Kak. Nggak tau mau masuk ke mana lagi, mau ke seni tapi katanya pendaftaran seni udah tutup duluan karena penuh, ya?”
“Oh mau masuk seni? Mau jadi anak buah Helmi, ya?”
“Helmi? Ahㅡ ketua ekskul, 'kan?”
“Nah itu tau. Sini gua bawa ke ruangnya Helmi, kebetulan ada anaknya di sana, biar gua bantu daftarin,” Haris kembali menarik tangan Keindra menuju ruang seni.
Sesampainya di ruang seni, Haris menatap heran pintu ruangan tersebut tertutup dan begitu sepi, “kok sepi, biasanya kalau ada Satria bakal rame main gitar,” gumam Haris.
“Kenapa, Kak?” Tanya Keindra bingung.
“Gapapa, masuk aja yuk!” Haris membuka pintu dan membawa Keindra masuk ke ruang seni. Namun, ada hal yang mengejutkan terjadi di dalam ruang seni.
Kedua sahabat Haris ㅡHelmi dan Satriaㅡ, yang selalu menjadi bulan-bulanan ejekannya sedang berciuman di dalam ruang seni. Helmi yang pasrah bersandar disofa dan dikukung oleh Satria, sedangkan Satria begitu ahli dalam menguasai permainan, bahkan salah satu tangannya sudah berada di balik baju Helmi.
“Oh my God!” Teriak Keindra dan bersembunyi di balik punggung Haris.
Sedangkan Haris terbahak melihat keduanya, “hahaha bangsat lu berdua malah zinah! Kunci pintu kali, ketahuan kepsek mampus lu berdua!” Haris melempar botol yang masih berisi air tadi ke arah kedua laki-laki tersebut.
Keduanya gelagapan, Satria langsung berdiri mengusak rambutnya kasar menahan malu. Helmi berusaha terlihat tenang, merapikan bajunya, dan menatap Haris, “ngapain lu ke sini, bukannya latihan? Anak siapa yang lu bawa tuh?” Tanya Helmi.
“Bengkak amat tuh bibir, kalau gua telat masuk mungkin udah habis di makan kali, ya?” Haris senyum mengejek ke arah dua sahabatnya.
Suara decakan dari Satria semakin membuat Haris tertawa, “K-kak, udah makin sore aku mau pulang,” bisik Keindra sambil menarik baju Haris.
“Eh iya lupa gua. Mi, nih tolong bantu dia masuk jadi anak buah lu dong, dia telat nyerahin formulir,” Haris merangkul Keindra, saat itu juga Helmi dan Satria saling bertatapan dan tersenyum tipis.
“Gampang lah, ada bawa formulirnya, nggak?” Tanya Helmi.
“Ada nih, Kak!” Keindra mengeluarkan formulir dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Helmi.
Helmi memeriksa divisi yang Keindra isi, “oh seni rupa terapan, kebetulan kurang satu orang nih, jadi minggu ini langsung masuk ke studio melukis aja, info selanjutnya nanti dikasi tau ke grup angkatan kalian,” jelas Helmi.
“Oh iya, Kak. Terima kasih ya, kalau gitu aku udah boleh pulang, 'kan? Udah sore, takut dicariin.”
“Pulang sama siapa, Dek? Sini gua anterin,” ujar Satria dan mendapat tatapan sinis dari Haris maupun Helmi.
“Hehehe pakai gojek, Kak. Makasih tawarannya, aku permisi dulu. Kak Haris, aku pulang dulu ya, makasih banyak bantuannya,” Keindra menyempatkan diri menggenggam tangan Haris dan pergi keluar dari ruang seni.
“Hati-hati, Kei!” Haris melambaikan tangannya dan dibalas oleh Keindra.
Tanpa sadar Haris terus tersenyum, suasana hatinya menjadi lebih baik setelah menghabiskan waktu bersama Keindra.