taeyangbii


Everything is okay?”

I don't know.”

Dua buah cangkir teh tersaji di atas meja, asap yang tampak menari-nari keluar dari cangkir menarik perhatian Seungwoo. Matanya fokus melihat uap dari teh di hadapannya, hingga mengabaikan sang kekasih ㅡSeungyounㅡ yang sedari tadi menatapnya khawatir.

“Woo, please say something.”

Perhatian Seungwoo teralihkan. Ia menatap pria manis dengan mata rubahnya, dan kulit putih susunya yang menjadi pemandang favorit Seungwoo. Alih-alih berbicara Seungwoo memilih meneruput perlahan teh buatan kekasihnya.

“Tehnya manis, semanis kamu.”

“Bukan saatnya bercanda, Seungwoo.”

“Aku tidak, Sayang.”

“Seungwoo ...!!”

Nada bicaranya pun naik, Seungyoun lelah akan rasa bingungnya. Tengah malam, dikala hujan deras membasahi kota, Seungwoo datang dengan keadaan basah kuyup, membuat Seungyoun panik dan kebingungan di dalam pelukan kekasihnya.

“Ada apa, kamu tak mungkin nekat kemari, dimalam buta dan hujan deras, Woo. Kamu bahkan tidak membalas pesanku dari sore, ada apa?”

“Mungkin kita akan berpisah akhir bulan ini.”

Seungyoun terkesiap, “maksudmu apa?” Tanyanya berusaha terdengar normal, namun wajah memerah tanda emosi tak dapat berbohong.

“Aku diterima kontrak kerja ke Jerman selama dua tahun, tadi sore baru dapat konfirmasi. Kita akan berpisah, jauh, sangat jauh, Seungyoun.”

Tangan Seungyoun di atas meja terkepal erat hingga buku jarinya memutih, “Seungwoo ....”

“Ya?” Seungwoo yang sedari tadi menunduk sembari memainkan cangkir tehnya menatap Seungyoun. “Ada apa? Kenapa wajahmu sinis begitu?” Seungwoo heran.

“Apa kamu tahu seberapa panas teh yang ada di cangkir ini?” Seungyoun mengangkat cangkir teh miliknya.

“Tidak lebih dari seratus derajat aku rasa, kenapa kamu tiba-tiba memberikanku tebak-tebakan?”

“Agar otakmu itu dapat berpikir dengan baik dan benar! Tidak melalukan kebodohan, tengah malam hujan begini dengan nekatnya ke rumah orang lain hanya untuk memberi kabar yang bahkan bukanlah kabar buruk!” Seungwoo menunduk takut saat Seungyoun hampir melemparkan cangkir tersebut ke arahnya.

“TAPI ITU KABAR BURUK UNTUKKU!”

“KATAKAN PADAKU DI MANA LETAK BURUKNYA!? ITU KABAR BAIK SEUNGWOO!”

“AKU AKAN JAUH BERPISAH DENGANMU!”

“ITU HANYA JERMAN!”

“TAPI JAUH! AKU DI EROPA, KAMU DI ASIA! KITA AKAN BERPISAH SEJAUH 8.569 KILOMETER!”

“TEKNOLOGI SUDAH MAJU!”

“TAPI JAM KITA AKAN BERBEDA!”

“ARGHHH!!!” Seungyoun menjambak rambutnya frustasi, “KAMU SENDIRI YANG SUDAH LAMA MENGINGKAN KONTRAK KERJA INI SEUNGWOO!'

“TAPI SAAT MENDAPATKANNYA AKU MENJADI SEDIH MEMIKIRKAN KITA AKAN BERPISAH!”

“KAU SINTING!”

“AKU TIDAK!”

“YA KAU SINTING!”

“KAU TIDAK MENYAYANGIKU LAGI SEUNGYOUN!?”

“BENAR-BENAR SINTING!”

Seungyoun meminum teh yang masih panas itu dengan satu tegukan, membuat Seungwoo membatu.

Gawat! Seungyoun marah!” batin Seungwoo takut, tanpa sadar menelan salivanya dengan berat.

“Ayo bicara lagi, satu kata cangkir ini akan melayang ke arah kepalamu!”

“M-maaf, maafkan aku, Sayang!” Seungwoo berlutut untuk memeluk kedua kaki Seungyoun.

Kepalang kesal, Seungyoun menendang kekasihnya agar melepaskan pelukannya, “lepaskan! Aku kesal kepadamu!” Sinis Seungyoun.

“Kamu tidak sedih aku akan pergi?”

“Kamu hanya bekerja bukan perang!”

“Tapi kan-”

“Seungwoo ..., listen to me! Jangan jadikan aku penghalang kamu untuk pergi ke negara yang sudah lama kamu impikan. Pergilah ke Jerman, kerjalah dengan sungguh-sungguh, jangan pikirkan apapun, dua tahun bukan waktu yang lama, manfaatkan waktu dengan baik. Jika aku ada kesempatan, maka aku akan menyusulmu.”

“Tapi aku ingin ke Jerman bersamamu, Seungyoun!” Seungwoo mengusak wajahnya manja pada paha sang kekasih.

“Tunggu saja! Kita pasti akan ke Jerman bersama!”

“Kamu yakin?”

“Sangat yakin!”

“Jika aku merindukan teh buatanmu bagaimana?”

“Akan aku kirimkan resepnya agar kamu bisa membuatnya sendiri.”

“Tapi rasanya akan beda!”

“Tsk!”

Decakan dari Seungyoun membuat Seungwoo ciut dan memilih kembali duduk di kursinya.

“Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya?”

“Visa dan sebagainya sudah dari perusahaan, aku hanya perlu membawa badan dan kebutuhanku saja.”

“Aku akan membantumu untuk membuat daftar keperluan yang barus kamu bawa. Apartemen?”

“Apartemen.”

Good!”

“Tapi sayang, kamu yakin tidak apa-apa kita berpisah? Dua tahun waktu yang cukup lama.”

“Tentu saja aku akan merindukanmu, tetapi aku sangat senang kekasihku ini mendapatkan kesempatannya untuk mengejar cita-citanya,” Seungyoun menarik gemas hidung lancip Seungwoo.

Tangan itu ditahan oleh Seungwoo, sengaja ia eluskan pada pipinya dan dikecupnya hingga seluruh lengan dalam Seungyoun dijelajahi oleh bibirnya.

“Aku akan merindukan kulit susu kesukaanku ini, wangi vanilamu, suara teriakanmu, omelanmu, masakanmu. Wah- memikirkannya saja aku sudah stress!”

“Hei!” Seungyoun menyentil dahi Seungwoo, “aku berani jamin kamu akan melupakanku saat sampai di Jerman!”

“Aku tidak!”

“Tidak janji maksudmu, hm? Kamu akan tergila-gila dengan keindahan Jerman, aku berani jamin kamu tidak akan sempat untuk bersedih di sana.”

“Ini pertama kali kita menjalani hubungan jarak jauh, Sayang.”

“Lantas kenapa? Aku percaya padamu, bukan kah kamu juga begitu?”

Seungwoo mengangguk, ia berdiri hanya sekedar untuk mencium dahi Seungyoun lembut.

“Aku hanya tidak kuat jika harus berpisah denganmu, aku akan sangat merindukanmu.”

“Aku juga, Seungwoo. Tapi jangan khawatir, okay?”

Keduanya berpelukan erat. Seungyoun melihat jam dinding menunjukan pukul tiga dini hari.

“Habiskan tehmu dan kita pergi tidur setelah ini,” perintah Seungyoun mutlak dan segera dilakukan oleh Seungwoo.

“Besok aku mendapat jadwal masuk siang, jadi izinkan aku malam ini memelukmu hingga pagi, tidak ada penolakan!”

“Ya ya ya tuan manja dan banyak maunya!”

“Hei! Bukankah itu dirimu?” Seungwoo melirik Seungyoun sinis sembari menghabiskan teh miliknya.

“Semua sifat manja dan banyak mauku sudah habis tersedot olehmu, Tuan Han.”

“Jaga bicaramu Tuan soon will be Han.”

“Apa-apaan itu!?”

Seungwoo terkekeh dan membawa Seungyoun ke dalam gendongannya menuju kamar sang kekasih.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ The End


Written by taeyangbii


Haris mengecek arlojinya yang baru menunjukan pukul enam sore, “masih awal nih, mau ke mana lagi?” Tanya Haris sambil berjalan mengelilingi mall.

“Hmm ..., timezone aja gimana?” Keindra menatap Haris.

“Ayo aja!” Si manis pun langsung berlari kecil sambil menarik tangan Haris menuju pusat bermain, “jangan lari Kei!” Tegur Haris, namun namanya Kei selalu saja keras kepala, ia tetap berlari hingga sampai di tempat tujuan.

“Kali ini pakai saldo kartu aku aja ya, Kak? Giliran aku yang traktir main!” Pinta Keindra.

Haris mengangguk sebagai jawaban, mencari aman agar yang termuda tidak merajuk karena keinginannya tidak dituruti.

“Mau main apa, hm?”

“Apa ya ..., aku biasanya main basket, dulu sering main pump tapi sekarang udah nggak bisa hehehe.”

Mata Haris menelusuri tempat yang mereka datang, tak sengaja matanya melihat mesin boneka.

“Saldonya banyak, nggak?”

“Banyak, kenapa?”

“Suka boneka?”

“Suka!”

“Mau boneka?”

“Mau! Mau! Oh- main tangkap boneka, ya!? Ayo!”

Keindra berjalan sambil meloncat-loncat kecil seperti anak kelinci, Haris sedari tadi memperhatikannya hanya dapat terkekeh geli.

Gemes banget astaga, mau peluk!” batin Haris berteriak.

“Nih Kak! Jago nggak?” Tanya Keindra.

“Biasanya sih jago, kita coba sampai saldo terakhir ya, gapapa kan?”

“Gapapa!”

Percoban pertama, Haris ingin mengambil boneka kucing yang terdekat dengan kotak keluar namun gagal.

“Kekecilan kali bonekanya kak jadi nggak bisa!”

“Hmm bener juga, kita mau ambil apa lagi nih?”

“Sini aku mau coba yang kelinci!” Giliran Keindra yang mencoba tapi tetap saja gagal.

“Gua coba kodok sini,” Haris tak ingin menyerah, tapi tetap saja gagal.

Keduanya saling bertatapan satu sama lain kemudian tertawa tanpa sebab.

“Sok-sokan banget kita, Kak!”

“Namanya juga coba hahaha. Ya udah terakhir deh, capek gua,” Haris secara asal menggerakan pencapit boneka, di luar dugaan capitan tersebut berhasil mendapatkan boneka beruang.

“WOAH!! KAK KAK DAPAT KAK!!”

“EH ANJIR!! EH SERIUSAN DAPAT HAHAHA.”

“KAK HAHAHA YA AMPUN!”

Keduanya terbahak, Keindra bahkan memukul-mukul punggung Haris karena merasa kejadian ini lucu.

“Tipsnya adalah kudu pasrah dulu baru dapat, hahaha. Nih untuk lu, jagain ya!” Haris memberikan boneka beruang kecil itu kepada Keindra.

“Makasih, Kak!” Keindra menerima boneka itu dengan senang hati dipeluknya erat sambil meloncat-loncat layaknya anak kecil.

“Kei inget kaki lu-”

“Aduh! Shhh- sakit,” Keindra hampir terjatuh saat merasakan kakinya ngilu, dengan cekatan Haris merangkul pinggang Keindra dan mendekap adik kelasnya itu agar tidak jatuh.

“Nah kan sakit, dari tadi lu lari sama loncat-loncat, sih. Yuk duduk dulu, bisa jalannya?”

“Bisa, pelan-pelan,” Keindra merangkul leher Haris erat, perlahan ia berjalan perlahan menuju kursi yang telah tersedia dalam dekapan Haris.

“Gapapa? Mana yang sakit?” Haris membantu Keindra memijit bagian betis hingga lutut.

“Shh- nah itu yang sakit, biarin aja Kak emang suka ngilu dadakan. Mungkin karena dingin di dalam bioskop juga.”

“Ada bawa obat?”

“Enggak ada hehehe. Gapapa kok, jangan panik gitu mukanya ih!” Keindra menepuk pipi Haris saat melihat wajah laki-laki yang lebih tua itu tampak panik.

“Gimana nggak panik kambuh begini, mana sama gua kambuhnya, ntar nggak dibolehin pergi sama gua lagi gimana? Orang tua lu marah gimana? Kal-”

Tangan Haris digenggam erat oleh Keindra, “Kak ..., it's okay, jangan panik ya? Aku gapapa, sebentar aja ngilunya habis itu udah baikan.”

“Mau minum? Gua beliin minum ya, lu tunggu di sini dulu, ada apa-apa telepon.”

“Iya Kak iya, gih sana ....”

Haris berlari keluar dari timezone, melihat hal itu Keindra tersenyum senang, merasa tersentuh dengan sikap Haris.

Saat ingin kembali dari membeli minum, Haris melihat store aksesoris yang menarik perhatiannya, ia pun masuk untuk melihat-lihat sebentar dan tak sengaja menemukan sesuatu yang lucu, sangat cocok dipakai oleh Keindra.

“Mba mau ini ya,” ujar Haris.

Si ketua badminton itu akhirnya kembali lagi, ke timezone. Dirinya melihat Keindra tersenyum sambil bermain-main dengan boneka yang tadka berikan.

“Ekhem! Nih minumnya,” Haris memberikan air mineral dingin kepada Keindra.

“Makasih, Kak!” Keindra mengambil minuman itu dan meminumnya hingga tersisa setengah.

“Haus apa doyan?” Celetuk Haris.

“Haus tadi teriak-teriak hehehe. Kakak nggak minum?”

“Udah tadi pas jalan ke sini.”

Keindra mengangguk, kemudian memeriksa ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang, “Kak, udah jam setengah delapan, pulang yuk?” Keindra menatap Haris dengan wajah lugunya.

“Enggak mau makan dulu?”

“Enggak usah, di rumah aja mama bilang udah masak nih.”

“Oke deh, bisa berdiri?”

“Bisa kok,” perlahan Keindra berdiri, dibantu oleh Haris dengan menggenggam tangannya dan segera merangkulnya. “Hehehe makasih banyak, Kak Haris.”

“Makasih mulu ah, santai aja kali. Udah yuk pelan-pelan jalannya.”

Hati-hati Haris membawa Keindra menuju parkiran, sebisa mungkin dirinya memastikan jika Keindra tidak terdesak atau tersenggol oleh orang lain, dengan sabar keduanya berjalan perlahan.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Keindra, keduanya begitu sunyi menikmati suasana malam jalanan kota. Tak ada rasa canggung, sesekali keduanya menatap satu sama lain dan tersenyum.

“Gimana, seneng jalannya walau kakinya kambuh?” Tanya Haris.

“Seneng dong! Apalagi di kasi boneka hasil pasrah pasrah berhadiah hehehe.”

“Kapan-kapan jaga diri loh, jangan sampai kambuh!” Haris mengacak rambut Keindra, membuat empunya merona.

“Mungkin karena kemarin kecapekan juga angkut barang ke gudang.”

“Minta bantu temen ya, jangan sendiri.”

“Iya iya, siap Pak Ketua!” Keindra hormat kepada Haris membuat Haris tertawa geli.

“Kei.”

“Hm?”

“Besok mau berangkat sekolah bareng, nggak?”

“Eh- tiba-tiba?”

“Ya nawarin ini, mana kaki lu kambuh gara-gara jalan bareng gua, 'kan. Buat nembus gitu,” Haris menatap Keindra.

Mendapat tatapan yang begitu teduh dari Haris, tanpa sadar kepala Keindra mengangguk, “boleh aja kalau nggak ngerepotin.”

“Oke besok gua jemput.”

Obrolan mereka berakhir bertepatan dengan sampainya di depan rumah Keindra, “makasih banyak buat hari ini ya Kak Haris, udah jajanin aku mekdi, ajakin aku nonton, kasi boneka juga, aku seneng banget!” Ujar Keindra sembari melepaskan sabuk pengamannya.

“Gua yang harusnya bilang makasih, Kei. Udah mau luangkan waktu untuk gua, gua seneng kalau lu seneng,” Haris mengelus kepala Keindra, “yuk gua antar sampai depan pintu.”

“E-eh enggak, enggak usah! Nggak perlu, sampai depan pagar aja, ya?”

“Ada apa sih?”

“Gapapa, pokoknya sampai depan pagar aja.”

Tak ingin bertanya lagi, Haris menuruti perimintaan Keindra untuk mengantarnya sampai di depan pagar saja.

“Pulangnya hati-hati ya, Kak. Jangan lupa kabari kalau udah sampai.”

“Iya Keindra, dah sana masuk. Jangan lupa mandi sama makan ya!”

“Hehehe iya, dadah~” Keindra melambaikan tangannya.

“Dah~” dan dibalas oleh Haris.

Haris pun kembali ke dalam mobil, baru saja dirinya ingin menyalakan mesin mobil dirinya baru ingat ada barang yang ingin ia berikan, namun terlambat Keindra sudah menutup pintu.

“Ya udah lah, masih ada hari besok.” Haris pun menjalankan mobilnya untuk pulang.


Pada kenyataannya Keindra belum bersiap untuk pergi bersama Haris, kamarnya begitu berantakan dengan baju yang bertebaran di setiap sudut kamar.

“IH MANA SIH CARDIGANNYA!?” Teriak Keindra kesal karena tak kunjung menemukan cardigan yang Candra sarankan padanya.

Teriakan Keindra ternyata menarik perhatian sang mami, wanita paruh baya itu pun masuk ke kamar dan begitu terkejut melihat kamar anaknya seperti kapal pecah.

“KEI! KAMU HABIS NGAPAIN NAK!?”

“MAMI! BANTU KEI CARI CARDIGAN KREM!”

“ASTAGA KAMU NIH BERANTAKIN! NANTI MAMI JUGA YANG BERESIN!”

“NANTI KEI BERESIN KOK!”

“NGOMONG AJA!”

Walaupun wanita itu mengomel, namun tetap saja tangan dan matanya cekatan mencari keberadaan cardigan yang diinginkan putra semata wayangnya.

“Nih bukan?” Tanya maminya saat menemukan cardigan berwarna krem.

“NAH IYA! Huhuhu sayang Mami!” Kei mengambil cardigan tersebut dan memeluk erat sang mami.

“Kamu mau pergi ke mana? Sama siapa? Tumben banget sampai begini.”

“Sama temen, Mi.”

“Temen yang mana? Temen kamu cuma Candra, Wira, Yoshep.”

Wajah Keindra merengut mendengar ucapan maminya, “ada kok temen lain, Mi!”

“Temen apa pacar? Anak mami udah pinter pacaran nih!” Pipi berisi Keindra dicolek oleh sang mami.

Semburat merah muncul di kedua pipi tersebut, Keindra tak dapat menahan senyum malunya, “bu-bukan pacar ih! Kakak kelas aku aja, kok!”

“Oh mainnya sama kakak kelas, siapa namanya? Kelas berapa?”

“Hmm ..., namanya Haris, temennya kak Beryl.”

“Loh kelas duabelas dong? Wah- anak Mami hebat!” Kedua pipi itu ditangkup dan ditekan oleh wanita yang sedari tadi tampak senang.

“Hebat apanya sih, Mi? Cuma beda berapa tahun aja. Itu loh Mi yang dulu masih kecil pernah aku tendang sampai nangis di taekwondo!”

“Oalah itu ..., jodoh kamu nggak sih, Kei? Kecil ketemu, gedenya ketemu lagi,” kedua alis mami Keindra naik turun sengaja menggoda putranya.

“Enggak! Nggak jodoh jodoh! Udah ah Mami keluar dong, aku mau siap-siap nih!”

“Hahaha ya sudah, cakep-cakep loh kamu!” Wanita itu pun memilih keluar kamar, namun langkahnya terhenti saat Keindra memanggilnya.

“Mi ....”

“Iya?”

“Jangan kasi tau papi dulu, ya? Ntar kalau tau kak Haris bisa diajakin ngomongin ikan hias mulu.”

“Hahahaha iya iya tenang aja, rahasia kamu aman di tangan Mami.”

“Bener ya?”

“Bener!”

“Ya udah aku mau siap-siap!”

Selang beberapa menit Keindra siap, Haris mengirimnya pesan dan memberitahu jika sudah berada di depan pagar.

“Mami! Kei pergi dulu!” Keindra buru-buru memasang sepatunya.

“Hati-hati, nak!”

“Pergi ke mana, Kei!?” Tanya papinya yang tengah sibuk memberi makan ikan di kolam taman belakang rumah.

“Nonton bareng temen, Pi!”

“Hati-hati, jangan pulang kelewatan malam!”

“Siap!”

Kaki Keindra berlari kecil keluar rumah, dirinya terkejut melihat sosok Haris berdiri di depan pagar rumahnya.

“Jangan lari, ntar kakinya sakit. Gua diem di sini kok nggak kabur.”

“Hehehehe takut Kakak lama nunggu. Kakak pakai mobil?”

Mata Keindra melirik mobil camry putih terparkir di belakang sosok Haris.

“Iya mobil mama, sekalian minta cuciin.”

“Gapapa nih?”

“Gapapa lah, memang kenapa? Udah ada SIM kok gua, tenang aja. Emang elu bocah?”

“Ih aku udah enambelas!”

“Bukannya limabelas?”

“Ngawur!' Keindra memukul lengan Haris dan keluar dari perkarangan rumahnya.

“Di rumah ada siapa? Lu udah izin sama orang tua?”

“Udah kok, santai aja.”

“Gua mau izin juga seka-”

“Nggak usah, langsung pergi aja. Serius deh Kak, mending pergi sebelum kita telat nonton.”

Alis Haris naik, wajahnya tampak bingung, “oke ..., kalau gitu langsung masuk aja ke mobil.”

Keduanya masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt-nya masing-masing. Haris menatap Keindra sekilas, laki-laki manis di sampingnya ini tampak menggemaskan dengan cardigan krem, pipi merona alaminya yang selalu menjadi favorit Haris, tak lupa aroma manis khas dari parfum Keindra semakin membuat Haris jatuh hati secara tidak sadar.

“Kak? KAK!” Keindra menepuk lengan Haris cukup keras.

“HAH?”

“Malah bengong liatin aku, kenapa? Ada yang aneh ya?”

“Oh enggak, enggak kok enggak. Udah siap ya?”

“Sudah!” Jawab Keindra girang.

Mobil pun berjalan dengan kecepatan sedang, keduanya terdiam menikmati suasana jalan yang cukup ramai siang itu.

“Udah makan belum?” Tanya Haris membuka percakapan.

“Udah, Kakak belum?”

“Belum, drive thru mekdi aja ya, mau nggak?”

“Aku sih ayo aja.”

Mobil itu pun berbelok ke arah restoran cepat saji terdekat, Haris pun menyebutkan pesanannya di intercom, kemudian menatap Keindra, “mau apa?” Tanyanya.

“Kentang goreng sama vanilla milkshake aja.”

“Yakin itu aja?”

“Hu'um!”

Akhirnya setelah selesai memesan, mobil kembali berjalan memasuki area pengambilan pesanan mereka.

Selamat siang! Silahkan pesanannya, double cheese burger, iced milo, vanilla milkshake dan french fries. Semua pesanannya sudah lengkap, ada yang bisa saya bantu?

Haris sibuk memberikan seluruh pesanan mereka kepada Keindra, membuat Keindra kebingungan memegang seluruh pesanan yang begitu banyak.

“Sudah, Mbak. Terima kasih!”

Perjalanan menuju bioskop pun berlanjut, Haris yang melihat Keindra kesusahan memangku semua pesanan mereka pun terkekeh geli.

“Ngomong atuh kalau repot, gimana sih?” Haris mengambil milo dingin miliknya dan meletakan di bagian tengah yang sudah terdapat tempat khusus untuk meletakan air.

“Ya ampun ada di sini rupanya!” Keindra mengomel sendiri baru menyadari tempat menyimpan minuman, ia pun meletakan susu kocoknya di sebelah minuman Haris. “Kamu mau makan gimana, Kak?”

“Tolong suapin dong, baunya bikin gua makin laper nih.”

Keindra mengerjapkan matanya bingung, “eh? Bisa emang?” Tanyanya skeptis.

“Ya bisa aja? Tinggal suap.”

“Belepotan ntar, ih!”

“Engga, buruan gih gua laper.”

Walau merasa ragu akhirnya Keindra membuka bungkus burger milik Haris dan menyuapkan kepada pemiliknya, “enak?” Tanya Keindra.

“Enak dong!”

“Lagi?”

“Lagi.”

Sambil menyetir, Haris memakan burgernya disuapi oleh Keindra.

“Mau kentang nggak?”

“Boleh kalau ditawarin.”

Keindra mengambil kentang goreng miliknya dan disuapkan kepada Haris, ia pun juga turut memakan kentang miliknya.

“Ntar uangnya aku ganti ya, Kak.”

“Enggak usah, makan aja.”

“Ih kok gitu!? Enggak ah, nggak enak aku.”

“Santai aja kali, kan gua yang ajak jadi gua aja yang traktir, oke? Aaaa lagi,” Haris membuka mulutnya dan sedikit memajukan ke arah Keindra agar disuap kembali.

“Makasih ya, Kak ....”

Haris tersenyum sekilas, tangannya terulur mengusak rambut Keindra, “sama-sama, Kei.”

Sepanjang perjalanan, keduanya makan dan saling menyuapi hingga tiba di tempat tujuan.

“Ramai banget mall hari ini,” gumam Keindra.

“Kan hari minggu, Kei.”

“Oh iya ya hehehe,” Keindra keluar dari dalam mobil disusul oleh Haris. “Kita langsung ke bioksop aja, Kak?” Tanyanya kepada yang lebih tua.

“Iya, duapuluh menit lagi mulai nih.”

Keduanya memasuki kawasan mall, begitu banyak pengunjung yang datang untuk menikmati waktu liburannya. Keindra berjalan di samping Haris, dengan menggenggam kecil ujung lengan baju yang dipakai oleh kakak kelasnya itu.

“Kenapa pegang-pegang baju gua, ntar melar lengannya heh!” Haris menarik lengannya dari jangkauan Keindra.

“Ya ma-”

Suara Keindra tertahan saat Haris tiba-tiba merangkulnya, “nah gini kan enak, lu kagak hilang, lengan baju gua kagak melar,” ujar Haris santai.

”-af ...,” gumam Keindra kecil.

“Hm apa? Lu mau beli sesuatu?” Haris sedikit menunduk untuk menatap Keindra.

“E-enggak, nggak hehehe. Masih kenyang aku, Kak.” Tangan Keindra terasa dingin, dirinya merasa gugup dalam rangkulan Haris. Jantungnya tidak dapat diajak bekerja sama, membuat Kei khawatir jika Haris dapat mendengar suara detak jantungnya.

Sesampainya di bioskop, ternyata tidak kalah ramai. Bahkan banyak orang yang berfoto di standee karakter dalam film yang akan Haris dan Kei tonton.

“Mau foto situ nggak?” Tanya Haris.

“Ntar aja deh, ramai gitu mesti ngantri. Mending langsung masuk ke studio aja.”

Suasana studio bioskop yang sedikit remang, membuat Haris begitu posesif menggenggam tangan Keindra menuju kursi yang sudah dipesan. Keindra hanya dapat mengulum senyum malunya, sambil mengikuti Haris.

Keduanya duduk di bagian tengah kursi, view yang didapatkan begitu pas dan juga nyaman. Kei yang menyadari posisi duduk mereka begitu strategis pun berseru kagum.

“Woah ..., kok kakak bisa dapat di sini? Padahal penuh loh!”

Preorder dari seminggu sebelum rilis.”

“Ya ampun niat banget! Emang kakak sesuka itu sama Avenger, ya?”

“Banget! Apalagi Iron Man.”

“Oh ..., pantesan aku ada liat sticker Iron Man di motor kakak kemarin.”

“Nah iya! Ada liat, 'kan? Sesuka itu emang gua sama Iron Man, Kei. Kalau lu gimana, suka nonton nggak, atau ada film khusus gitu?”

“Hmm ..., sebenarnya aku lebih suka film comedy, romance gitu. Tapi diajak nonton apapun ayo aja sih hehehe.”

“Jadi nggak masalah kan gua ajakin?”

“Enggak kok, seneng malah. Mau tau juga gimana film yang lagi ramai itu!”

Lampu studio pun mati, tanda film akan dimulai. Mata Keindra tampak berbinar karena antusias menonton film kesukaan Haris.

Sepanjang film keduanya tampak serius, tak ada yang buka suara sedikit pun. Keindra begitu hanyut ke dalam film dan pikirannya sendiri mengenal semua karakter yang ada pada film, tanpa sadar saat adegan beradu kekuatan antar karakter, Keindra menggenggam erat jari telunjuk dan tengah Haris yang berada pada lengan kursi.

Sedikit terperanjat merasakan genggaman tak terduga dari Keindra, Haris pun menatap adik kelasnya yang begitu serius menonton hingga bibirnya maju dan dahinya mengernyit. Seperti biasa, ada saja ide jahil di dalam otak Haris, diam-diam tangannya mendekat pada bibir Keindra dan ditariknya bibir mungil itu, membuat empunya terkejut dan reflek memukul pundak Haris.

Apa sih!?” bisik Keindra kesal.

Haris tertawa tanpa suara takut mengganggu penonton lain, “serius banget nontonnya, emang ngerti?” goda Haris.

“_ Ya ngerti lah! Makanya jangan ganggu konsetrasi aku nonton_!”

Iya iya, astaga galaknya,” Haris kembali duduk dengan nyaman di kursinya, namun dirinya bukan menikmati film yang sedang berlangsung, Haris lebih memilih menatap wajah Keindra yang terkena pantulan cahaya dari layar. “Cantik ...,” batin Haris.

Dua jam berlalu, film pun berakhir. Orang-orang berbondong-bondong keluar dari dalam studio, sedangkan Haris dan Kei memilih untuk menunggu hingga sepi.

“Gimana, seru?” Tanya Haris.

“Seru! Seru banget! Enggak nyesal nontonnya, walau diawal tadi agak bingung ini siapa, itu siapa, tapi ngerti juga.”

“Kenapa enggak nanya?”

“Ntar ganggu kakak nonton hehehe. Udah sepi tuh, yuk!” Keindra menarik tangan Haris beranjak dari kursi mereka, keluar dari studio.

“Jadi foto nggak, sepi tuh!” Haris menunjuk standee yang sudah tidak ada orang lagi dengan tangannya yang digenggam oleh Keindra.

“Jadi! Tapi Kak Haris juga, ya?”

“Iya, iya ....”

Keduanya bergiliran saling mengambil foto satu sama lain, Haris tersenyum tipis saat melihat hasil foto Keindra begitu menggemaskan.

“Bagus nggak, Kak?”

“Bagus kok!”

“Udah ah capek hehehe.”

Mereka pun keluar dari area bioskop dan memilih untuk berkeliling kawasan mall.


“Gua duluan ya, hati-hati kalian! Jangan lupa kunci letakin di ruang OSIS!”

“Siap, Bang!”

Haris bergegas membawa tasnya untuk keluar dari ruang latihan. Akan tetapi, tak sengaja mata Haris menangkap sosok yang beberapa hari ini terus mengganggu pikirannya, lewat ruang badminton membawa berbagai cat untuk melukis.

“Eh- itu Keindra, kok belum pulang?” Monolog Haris. Dirinya segera keluar memastikan apakah itu orang yang tepat, dan benar saja itu Keindra yang sedikit kesusahan menuju gudang ruang seni. “Mumpung sendiri, kerjain ah~” terbesit ide jahil di otak Haris.

Pelan-pelan dirinya mengikuti Keindra dari belakang. Sedangkan Keindra tak menyadari keberadaan Haris dan tetap berjalan lurus menuju gudang ruang seni, untuk meletakan cat.

Sosok Keindra masuk ke dalam gudang, dan Haris buru-buru berlari kecil kemudian bersembunyi di balik pintu gudang. Dirinya melihat Keindra yang fokus mengemasi cat-cat yang tadi ia bawa.

Serius banget dah beresin cat doang,” batin Haris.

Tak lama Keindra pun selesai dan ingin keluar dari gudang, melihat sosok yang ia tunggu mendekati pintu keluar Haris bersiap-siap untuk mengejutkan adik kelasnya.

“DUARR!!!” Teriak Haris sembari memukul pintu.

“AAAAKKK!!! IH JANGAN GITU!!!”” Keindra reflek berteriak dan memukul kepala Haris tanpa ampun.

Pukulan Keindra tidak main-main, Haris kesakitan dan berusaha menghindar, “arghh!! Kei ampun Kei!!” Haris mencoba menangkis pukulan Keindra.

Menyadari orang yang ia pukul adalah Haris, Keindra terkesiap dan memberhentikan aksinya, “KAK HARIS APA-APAAN SIH!?” Teriaknya kesal.

“Hahahaha kaget ya? Ciee ciee takut ya ada hantu gudang?”

“Hantu apaan!? Kakak tuh lebih serem dari hantu!”

Haris terkekeh geli, dirinya mengacak rambut Keindra gemas, membuat empunya terdiam karena perlakuan tiba-tiba Haris.

“Ada-ada aja lu bilang gua lebih serem dari hantu, emang udah pernah lihat hantu?”

“Udah, tuh di belakang kakak ada cewek berdiri dari tadi merhatiin.”

“HAH?!” Haris membalik badannya panik, “ka-kagak ada! Jangan ngada-ngada dong lu, Kei!?” Suara Haris bergetar, dapat Keindra lihat dari tangan Haris jika kakak kelasnya merinding.

Melihat hal itu Keindra tak dapat menahan senyumnya, dan terbahak karena wajah panik Haris menggelitik dirinya.

“Hahahaha ciee kena! Giliran aku yang ngerjain Kakak, blee!!” Keindra menjulurkan lidahnya mengejek yang tertua.

“Wah- lu ya udah berani sama senior? Sini gua hukum!” Haris menarik Keindra, memiting leher adik kelasnya pada ketiaknya dan mengacak rambut Keindra.

“Hahahaha ampun Kak Haris!!”

“Minta maaf dulu!?”

“Maafin Keindra~!” Rengek si manis.

Suara rengekan manja Keindra membuat Haris luluh dan tak ketinggalan jantungnya pun berdetak kencang, hingga Haris takut jika suara detakan itu terdengar oleh Keindra.

“Ekhem!” Haris berdeham untuk menutupi rasa gugupnya, “pulang sama siapa?” Tanyanya, melepaskan Keindra.

“Hm? Pakai gojek, Kak. Kenapa?”

“Mau pulang bareng nggak? Kebetulan gua mau pulang nih.”

Alis Keindra naik, “gapapa, Kak?” Tanyanya terdengar skeptis.

“Gapapa lah, emangnya kenapa? Gua nggak boleh nganterin, ya?”

“Eh boleh kok, Kak! Aku takut ngerepotin aja, padahal aku bisa pesen gojek.”

“Udah biar gua aja jadi gojek lu, yuk?”

“Oke deh! Aku kunci gudang dulu, terus nganter kunci ke ruang OSIS.”

Haris menunggu Keindra menyelesaikan tugasnya, dan mengikuti Keindra masuk ke ruang OSIS.

“Kalau kayak gini kak Beryl nggak datang ke sekolah ya, Kak Haris?” Tanya Keindra setelah meletakan kunci di ruang OSIS.

“Datang kok, cuma mungkin karena udah kelas dua belas, ditambah udah banyak asisten pengganti jadi mungkin dia datang sebentar.”

“Oh gitu ..., kalian kenal udah lama, Kak?”

Keduanya mengobrol sambil berjalan menuju parkiran sekolah.

“Baru masuk SMA ini sih, dulu kami satu kelompok pas masa orientasi. Zaman gua sih ada orientasi siswa gitu, sekarang udah nggak ada, angkatan kami yang terakhir.”

“Loh kenapa gitu?”

“Soalnya pas penutupan kan nginep di sekolah. Malam terakhirnya angkatan kita ada yang kerasukan, jadinya kerasukan masal gitu.” Langkah Keindra terhenti, hal itu membuat Haris mengernyit bingung, “kenapa berhenti?” Tanyanya.

“Kakak serius? Nggak lagi bercanda, 'kan?” Keindra menatap Haris mencari kebohongan di wajah kakak kelasnya, namun nihil.

“Serius lah, Kei! Buat apa bohong?”

“Jadi bener kalau sekolah kita berhantu?” Keindra melanjutkan jalannya, tapi kali ini badannya ia dekatkan pada Haris, bahkan tak sadar sedang menggenggam kelingking Haris.

“Siapa yang ngomong?”

“Wira.”

“Oh Wira dapat cerita dari gua tuh, beneran kok. Penunggu toilet dekat gudang seni tadi tuh, yang kerasukan pingsannya habis dari toilet itu.”

“IHH!! KAK HARIS MAH!! JANGAN DIOMONGIN ATUH!!” Tiba-tiba Keindra berteriak kencang dan menggenggam tangan Haris serta memeluk lengan laki-laki tersebut.

“Hahahaha dih takut?” Haris mendorong dahi Keindra dengan telunjuknya.

“Nggak takut kalau nggak tau! Harusnya jangan dikasi tau!”

“Ya harusnya dikasi tau biar tau, supaya bisa antisipasi.”

“Ntar dia gangguin aku gimana!?”

“Usir aja, susah tuh?”

“Ngada-ngada! Kak Haris bercanda, 'kan!?” Keindra merengut pada Haris.

“Enggak! Seriusan, Kei!”

“Ihh!!” Keindra berjalan sambil menghentakan kakinya kesal, “pokoknya nanti aku nggak mau sendirian ke sana!!” Gerutunya.

Haris terkekeh melihat tingkah laki-laki di sampingnya ini, yang masih setia berjalan sambil menggenggam lengannya. Hingga sampai di parkiran Keindra baru menyadari hal itu, perlahan dirinya melepaskan genggaman tersebut dan menahan senyum malunya pada Haris.

“Udah nggak takut lagi, jadi dilepas?” Ejek Haris.

“Diem! Aku mau ambil helm!” Keindra berlari menuju pos satpam yang menyediakan rak untuk menitipkan helm.

“Lu tunggu di sana aja, Kei!”

“Oke, Kak!”

Motor Haris terparkir tak jauh dari pos satpam, motor vario berwarna biru andalan sang ketua ekskul badminton, motor yang paling banyak di kenal oleh warga sekolah, karena selalu parkir dekat pos satpam dan ada sticker raket badminton di plat motornya.

Melihat Haris menaiki motornya, entah mengapa jantung Keindra berdebar, dirinya merasa malu melihat Haris begitu tampan dengan baju olahraganya dan memakai helm honda biasa. Tanpa sadar Keindra menunduk, tersipu sambil mengelus helm bogo berwarna creamnya.

“Yuk naik!”

“H-huh?” Keindra mendongak dan melihat Haris sudah di depannya, “oh ya tunggu dulu, belum pasang helm!” Buru-buru si manis memakai helmnya, kemudian langsung naik ke motor Haris.

“Diklik dulu itu helmnya Keindra,” Haris menghadapkan ke belakang hanya untuk mengunci helm Keindra dan membetulkan posisi helm yang sedikit terturun menutupi alis adik kelasnya, “nah kan bagus kalau begini, udah siap?”

Mata Keindra mengerjap imut menatap Haris, “u-udah!” Jawabnya gugup.

“Pegangan, ntar jatuh gua kagak nanggung.” Malu-malu tangan Keindra menggenggam ujung baju Haris. “Yakin cuma gitu aja?”

“Yakin!

Namun, bukan Haris namanya jika tidak jahil, dengan sengaja Haris mengegas motornya membuat Keindra nyaris jatuh terjungkal ke belakang karena dirinya. Beruntung reflek Keindra baik, ia segera mengeratkan genggaman pada baju Haris.

“KAK HARIS!!” Helm Haris ia pukul dengan kencang.

“Aduh sakit! Hahaha ya makanya pegangan!” Haris sengaja menarik kedua lengan Keindra agar memeluk pinggangnya.

Debaran jantung Keindra semakin menjadi, dirinya takut Haris akan menyadari hal ini karena dadanya menempel pada punggung lebar Haris. Aroma khas Haris dari keringatnya, bercampur dengan parfum yang ia kenakan semakin membuat Keindra terbuai.

“A-awas ya kalau aku jatuh!” Sergah Keindra gugup.

“Enggak, aman kok ini. Jalan ya!”

Akhirnya Haris menjalankan motornya meninggalkan lingkungan sekolah, sepanjang perjalan Keindra berusaha untuk terlihat biasa saja namun ia tidak dapat menahan senyum tipis dan rona di pipi berisinya. Hal itu tak luput dari pandangan Haris secara diam-diam mencuri pandang dari kaca spion yang sengaja ia arahkan ke Keindra.

“Kenapa selalu pakai gojek, emang temannya mana?” Tanya Haris.

Akan tetapi karena suara kendaraan yang begitu ramai, suara Haris tak begitu jelas di telingan Keindra.

“Hah!? Apa Kak?” Keindra mendekatkan wajahnya pada Haris.

“Kenapa pakai gojek, emang temannya pada ke mana?”

“HAH!? NGGAK DENGER!?”

“KENAPA SELALU PAKAI GOJEK, EMANG TEMANNYA MANA!? MAKANYA NEMPEL SINI BIAR GA KEONG!” Haris berteriak sambil menepuk pundaknya keras-keras.

Keindra terbahak merasa lucu kakak kelasnya tampak emosi karena sedari tadi ia tidak mendengar apa yang Haris tanyakan.

“YA MAAF! JALAN RAME!” Balas Keindra dengan teriakan pula. Ia pun meletakan dagunya pada pundak Haris, membuat posisi keduanya semakin menempel satu sama lain. “Tadi Yoshep buru-buru pulang ada keluarganya datang, rumah aku kebetulan deket sekolah jadi enakan pakai gojek aja.”

“Oh gitu ..., memangnya boleh?”

“Boleh aja sih, kenapa?”

“Ya gapapa, mungkin ada trauma gitu pasca kecelakaan nggak biarin kamu pergi sendirian.”

“Oh ada kok! Tapi aku minta jangan terlalu dimanjain, apalagi udah SMA begini, akhirnya dibolehin hehehe.”

“Ya udah lain kali pakai jasa gojek gua aja!”

“Hah? Emang kak Haris ngegojek? Kan anak SMA nggak boleh!”

“Bukan gitu! Maksudnya biar gua yang antar jemput lu terus!”

“Ih nggak ah! Ngerepotin banget, pasti rumah kakak juga jauh!”

“Tau darimana kalau jauh?”

“Nebak! Hehehehe.”

“Dasar!” Haris menggoyangkan kepala Keindra beserta helmnya.

Motor berhenti saat lampu lalu lintas menunjukan warna merah. Keduanya terdiam satu sama lain, Haris menoleh untuk menatap Keindra sedangkan Keindra yang baru saja menegapkan tubuhnya menaikan alisnya bingung.

“Ada apa?”

“Gapapa, mau liat wajah lu aja.”

“Ih nggak jelas!” Keindra mendorong pundak Haris.

“Gua turunin ya!?”

“Jangan atuh, Kak!” Keindra merengut, takut diancam oleh Haris.

Sudut bibir Haris naik, tak dapat menahan senyum karena tingkah menggemaskan Keindra.

“Kemarin gimana hidungnya, masih mimisan? Lu udah baikan?” Motor kembali berjalan, dan Keindra meletakan lagi dagunya di atas pundak Haris.

“Masih, pas pulang cuci muka tiba-tiba mimisan lagi. Kayaknya sih yang masih sisa di dalam gitu. Tapi gapapa kok, baikan nih! Kalau enggak mana aku turun ekstra, Kak.”

“Lagian waktu itu kenapa di tepi lapangan, sih?”

“Pengen liat Wira olahraga sekalian nyuruh Wira ke kantin.”

“Oh bukan liatin gua?” Haris menyeringai jahil dari kaca spion, membuat pipi Keindra semakin merona.

“Enggak ya! Nggak ada!”

“Santai dong kalau nggak ada, kenapa ngegas? Berarti beneran mau liat gua nih, ngaku nggak?”

“Enggak!” Keindra menusuk pinggang Haris, membuatnya terperanjat dan motor yang ia kendarai oleng.

“Jangan ngagetin! Ntar kita jatuh gimana!?”

“Hehehe maaf!”

Tanpa terasa akhirnya mereka sampai di depan rumah Keindra. Langit semakin berwarna oren, menandakan sebentar lagi akan berubah gelap. Perlahan Keindra turun dari motor Haris, dan menatap kakak kelasnya sambil tersenyum.

“Makasih banyak ya, Kak! Udah repot-repot nganterin aku.”

“Gapapa, sekalian searah kok.”

“Hati-hati ya pulangnya, Kak.”

“Iya, Kei. Tapi sebelumnya lu mau nggak nerima tawaran gojek gua?”

“Hah emang serius?”

“Serius lah! Gua minta ID lu sini, mana tau ntar membutuhkan jasa gua, 'kan?” Haris mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang ia letakan di bagian kaki.

“Hahaha boleh deh kalau gitu, dua puluh empat jam nggak nih?”

“Gampang lah, bisa diatur.”

Senyum tersipu Keindra membuat Haris terpesona dan terus menatap laki-laki di hadapannya, yang sedang sibuk mengetik sesuatu di ponsel miliknya.

“Udah nih, Kak. Kalau mau nawarin tinggal chat aja ya.”

“Bebas waktunya kapan aja gua tawarin?”

“Bebas, ntar bisa bebas juga aku tolak, 'kan?”

No cancel!”

“Hih curang!” Keindra mencubit pundak Haris.

“Hahaha ya udah gua pulang dulu ya, bye Kei!”

“Dadah kak Haris~!” Keindra melambaikan tangannya kepada Haris yang telah meninggalkan rumahnya. Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu yang ganjil, “kok kak Haris tau rumah gua? Kan tadi gua nggak ada kasi tau ...,” sesaat Keindra terdiam di depan pagar. Namun setelah itu ia tak ingin ambil pusing dan memilih segera masuk ke dalam rumah.


Haris yang masih setia menunggu dan mengelus kepala Keindra, mengira laki-laki yang lebih muda ini telah tertidur pulas. Saat dirinya tengah asik membelas pesan di grup, dahinya mengernyit saat merasakan gerakan kecil dari tubuh Keindra. Merasa penasaran Haris pun melihat Keindra lebih dekat, namun yang ia dapati adalah si manis asik bermain dengan ponselnya.

“Katanya ngantuk, kok nggak tidur heh!?” Haris membalik tubuh Keindra menjadi posisi telentang.

Ketahuan telah berbohong, bola mata Keindra melebar dan panik saat melihat wajah datar Haris.

“Anu ... itu ... tadi temen-temenku ngechat nanyain keadaan aku ....”

“Bisa nanti pas balik ke kelas, 'kan?”

“Hmm ... nghh-” Keindra menggigit bibirnya takut.

“Jangan digigit ntar luka,” Haris mengelus dagu Keindra dengan jempolnya, membuat Keindra membeku “santai aja kali, jangan takut sama gua. Gua cuma nanya bukan mau marahin elu, Kei.”

“Hehehe keliatan ya?”

“Dasar bandel! Berani bohong tapi pas ketahuan malah takut!” Haris mengacak gemas rambut Keindra.

“Ih Kak! Jangan diberantakin dong!” Keindra berusaha merapikan rambutnya namun ditahan oleh Haris.

“Jangan dirapikan biar aja, lucu tau berantakan gitu.”

“Lucu apaan!? Emangnya aku badut lucu!?”

“Eh berani ngejawab nih!? Gua hukum ya!?” Haris menggelitik perut Keindra, membuatnya terperanjat dan tertawa geli sambil berteriak.

“Kaaak!! Hahahaha ampun ih!!” Keindra menahan tangan Haris, namun Haris tak peduli dan masih saja menggelitik Keindra. “Hahahaha Kak Haris aku masih pusing ih~!!” Keluh Keindra dan akhirnya Haris mengalah.

“Pusing banget?” Tanya Haris khawatir. Wajah keduanya begitu dekat, dengan tangan Haris yang menangkup kepala Keindra, mengelus pelipis yang termuda dengan jempolnya.

Tatapan Haris begitu dalam, membuat Keindra menjadi gugup, menyebabkan tenggorokannya kering. “E-ekhem! Pusing ... dikit ...,” jawab Keindra lirih.

Kedua mata itu saling bertatapan satu sama lain, baik Keindra maupun Haris tak ada yang buka suara sama sekali. Tiba-tiba Haris mendekatkan wajahnya pada Keindra, jantungnya kembali berdetak, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Tubuh Keindra membeku, tangannya meremas selimut UKS dengan erat.

Wajah itu semakin mendekat, tatapan Haris begitu sayu. Keindra sudah pasrah dengan aksi apa yang akan Haris lakukan kepadanya. Hidung keduanya nyaris bersentuhan, namun tidak seperti dugaannya, Haris tiba-tiba meniup dahi Keindra dan menjauhkan wajahnya sambil tersenyum.

“Ada nyamuk tuh!” Haris terkekeh, “tegang amat muka lu, hayo mikir apa?” Ejek Haris dan menusuk pipi Keindra.

Keindra gelagapan, “m-mikir apa!? Enggak ada tuh!” Jawabnya ketus.

“Bohong, tuh wajahnya merah,” Haris menyeringai.

“Engga ada ih~! Aku mau balik ke kelas aja!” Keindra tiba-tiba bangun membuat kepalanya terasa nyeri kembali. “Shh-” ringisnya sambil memijit pangkal hidungnya.

“Jangan dipaksa, Kei,” ujar Haris sambil menepuk punggung Keindra.

“Gapapa, ini gara-gara langsung bangun. Mau ke kelas aja, di sini terus ntar Kak Haris ada kelas lain, 'kan?”

“Ya udah, mau dianter ke kelas?”

“Sama Yoshep aja, bentar aku chat dia dulu.”

Haris mengangguk mengerti, ia pun menunggu Keindra hingga dijemput oleh sahabatnya.

“Kak Haris.”

“Iya, kenapa?”

“Makasih banyak udah nungguin aku di sini, banyak-banyak terima kasih udah aku repotin.”

“Gapapa, lain kali hati-hati ya. Ntar Satria gua kasi pelajaran.”

“Ih jangan! Bang Satria pasti nggak sengaja, jangan dimarahin lagi, ya?” Keindra menggenggam tangan Haris, memohon kepada seniornya.

“Iya iya, tuh Yoshep udah datang, aku buka pintu dulu,” Haris tersenyum sekilas sambil mengelus rambut Keindra, kemudian beranjak untuk membuka pintu. “Hati-hati ya, tolong jagain Keindra,” pinta Haris kepada Yoshep.

“Siap, Bang! Yuk Kei, bisa bangun sendiri?” Yoshep mendekat.

“Bisa kok. Kak Haris aku balik ke kelas dulu, ya?”

“Iya, hati-hati Keindra ....”

Keindra dan Yoshep pun pergi meninggalkan Haris sendirian di ruang UKS. Sebenarnya Haris juga menahan rasa gugup karena perbuatannya tadi, jantung Haris tak kalah kencang berdetak setelah menyadari apa yang hampir saja ia lakukan.

Bego banget sih lu, Ris!” Batinnya kesal.


Jam istirahat kali ini tidak seperti biasanya, Keindra dan kedua sahabatnya memilih untuk duduk di tepi lapangan memperhatikan Wira yang tengah asik bermain sepak bola bersama senior dan teman-teman sekelasnya, karena baru saja menyelesaikan mata pelajaran olahraga, daripada ke kantin untuk mengisi perut.

“Kita ngapain sih di sini?” tanya Yoshep.

“Lah lu kenapa ngikutin gua sama Keindra? Gua sama Kei kan emang males mau ke kantin, udah sarapan banyak tadi,” jawab Candra.

“Kok lu berdua bisa gitu loh santai duduk di sini, emang nggak laper apa?”

“Biasa aja, haus iya,” kali ini Keindra yang menjawab.

“Udah tunggu Wira aja, pasti tu anak ntar ke kantin beli minum sama makan,” Candra memberi saran.

Yoshep menatap Candra datar, “lu sengaja ya mau numbalin Wira, makanya sok-sokan duduk di lapangan gini?” ujarnya curiga.

Tawa Candra terdengar, Keindra hanya terkekeh merasa rencana keduanya ketahuan oleh Yoshep, “biasalah~!” celetuk Candra dan Keindra bersamaan.

Tidak lama kemudian, Wira datang dengan keringat yang bercucuran dan napas tersengal-sengal, “weh! Pada kesambet apa nih nungguin gua olahraga? Mau dukung gua main bola ya?” Wira mencolek dagu Keindra dan segera ditepis oleh empunya.

“Tangan lu keringetan ya, Wir!” kesal Keindra.

“Dih dasar! Baru gitu doang udah marah-marah. Nih rasain keringat gua!” bukannya berhenti, Wira sengaja memeluk Keindra dan Candra sekaligus, sengaja menempelkan badannya yang basah oleh keringat kepada dua sahabatnya.

“WIRA PENGAP!” teriak Candra kesal dan mendorong Wira menjauh.

Baik Wira maupun Yoshep, kedua laki-laki jangkung itu tertawa bahagia melihat Candra dan Keindra kesal, “makanya jangan ada niat jelek lu. Masa mereka rela duduk di sini, cuma untuk nungguin lu ke kantin Wir!” adu Yoshep.

“Jadi bukan karena mau dukung gua? Dih jahat amat lu berdua, gua kasi ketek ya!?” Wira mengangkat lengannya, saat itu juga Keindra telah menyiapkan kuda-kuda untuk menyerang Wira.

“Berani lu maju gua banting lu ya?” sinis Keindra.

Hati Wira ciut melihat sahabat mungilnya yang sudah siap untuk menyerangnya, “curang lu ah!” kesal Wira.

“Kok bisa ada bang Haris sama Satria main bola di sana, Wir?” tanya Candra, saat menyadari ada dua senior yang tak asing, masih setia bermain bola di tengah lapangan.

“Kelas gua sama kelas mereka kan gabung olahraganya, cuma selama ini beda tempat karena beda materi aja,” jawab Wira.

Mendengar nama Haris disebutkan, Keindra segera menoleh dan menatap para seniornya yang tengah bermain bola. Benar saja ada Haris di sana, asik berlari mengejar bola sambil tertawa, Keindra baru menyadari keberadaan Haris.

“Woi! Malah bengong, liatin siapa lu!?” Yoshep menepuk pundak Keindra lumayan keras.

“Shh- sakit Yosh!” dengan kesal Keindra membalas pukulan Yoshep pada perutnya.

“Lu sih Yosh, pakai ditanya lagi liatin siapa, udah jelas kak Haris tersayang lah!” Candra mulai menggoda Keindra.

“Enggak ada ya!” teriak Keindra melakukan pembelaan kepada dirinya.

Ketiga sahabatnya tertawa puas melihat wajah merah Keindra, “iya paham Kei, cakep kan bang Haris main bola? Coba lu liat doi main badminton, lebih cakep lagi,” Wira menaik turunkan alisnya menggoda Keindra.

“Diem nggak!? Mending lu beliin kita minum sana!” Keindra menendang kesal kaki Wira, namun yang ditendang tertawa puas dan berlari menuju kantin.

Meninggalkan tiga orang yang jadi fokus melihat seniornya bermain bola, “lu yakin ga suka sama bang Haris, Kei?” tanya Candra.

Kedua alis Keindra naik, “tiba-tiba banget?” herannya.

“Ya gapapa tanya aja, mana tau lu ada rasa sama bang Haris.”

“Enggak tau, nggak kali.”

“Belum kali,” sambung Yoshep.

“Dih nyambung aja!” cibir Keindra.

Saat tengah asik mengobrol, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari tengah lapangan.

WOI SAT JAUH AMAT KELUARNYA!

Baru saja Keindra ingin menoleh apa yang sedang terjadi, datang sebuah bola menghantam kerasa wajah Keindra.

“KEI!!” teriakan Candra membuat Yoshep dan seluruh siswa yang berada di tengah lapangan terkejut.

Kepala Keindra terasa pening setelah terkena hantaman bola, bola matanya berputar ke atas dan hidungnya mengeluarkan darah lumayan banyak.

“Guys kok muter ….”

BRUK

Keindra ambruk, menbuat kedua sahabatnya panik, tak terkecuali Haris yang sedari tadi diam-diam memperhatikan Keindra di tepi lapangan saat dirinya asik bermain. Sesaat setelah melihat Keindra jatuh pingsan, Haris menatap sinis Satria dan mengepalkan tangannya tepat di depan wajah laki-laki itu, “gara-gara lu ya, Sat!” geram Haris.

Langsung saja Haris berlari ke tepi lapangan, saat melihat Candra dan Yoshep yang berusaha mengangkat badan Keindra. “Biar gua aja,” tanpa menunggu jawaban, Haris segera mengangkat tubuh Keindra dan mendekap tubuh mungil itu di dadanya. Haris pun berlari menuju UKS, diikuti oleh sahabat Keindra dan tak lupa Satria yang berusaha mengejar.

Wira yang baru saja kembali sambil membawa minuman dibuat bingung dengan keributan yang terjadi, ia melihat Keindra dibawa oleh Haris dengan wajah panik, begitu pula dengan kedua sahabatnya.

“E-eh ada apa nih?” tanya Wira namun tidak digubris. Dirinya melihat Satria yang berlari dan segera ditahan olehnya, “ada apa, Bang? Keindra kenapa?”

“Gua nggak sengaja nendang bola ke luar lapangan, terus kena muka Kei,” Satria memberi penjelasan.

“Anjir!” Wira pun ikut berlari menyusul mereka yang sudah duluan.

Sesampainya di ruang UKS, Haris perlahan membaringkan tubuh Keindra di atas kasur dan buru-buru menyuruh dokter yang berjaga pada hari itu untuk memeriksa Keindra.

“Bu tolong segera diperiksa dan ditangani, ya!” ujar Haris terdengar begitu panik.

“Iya Haris, kamu bisa tunggu di luar dulu sama teman-teman yang lain,” ujar dokter itu tenang.

“Saya mau tetap di sini, mereka aja yang keluar ya, Bu?” tunjuk Haris kepada para sahabat Keindra. Saat itu pula Candra dan Yoshep membulatkan mata mereka dan saling bertatapan satu sama lain. “Kalian tunggu di luar aja, ya? Balik ke kelas aja, sebentar lagi mau masuk, biar gua yang jagain Kei.”

“Tapi gapapa kok Bang-“

“Tunggu di luar, ya?” Haris memotong perkataan Candra, dan meminta dengan nada penuh harap kepada adik kelasnya.

“Udah yuk, kita nunggu di luar aja,” Yoshep menarik tangan Candra agar menunggu di luar.

Saat Candra dan Yoshep keluar, Wira bersama Satria yang baru saja sampai terheran-heran mengapa dua orang ini keluar.

“Kenapa keluar? Ga nungguin, Kei?” Tanya Wira.

“Udah ada bang Haris yang nungguin,” jawab Yoshep.

“Haris?” Kedua alis Satria bertautan menunjukan ekspresi kebingungan, “tumben banget mau nungguin orang sakit begitu?” Tanyanya.

“Nggak tau, Bang. Tadi dia malah nyuruh kita balik kelas aja,” ujar Candra.

“Kenapa ramai-ramai di sini. Kok ada lu, Sat?” Sebuah suara datang menarik perhatian mereka.

“Jo! Lu ngapain di sini?” Tanya Satria melihat Joan yang baru datang.

“Mau ambil minyak kayu putih buat temen gua, kalian kenapa?”

“Anu Kak-” Candra bingung, ingin menjawab jujur tapi takut Joan akan marah.

“Gua habis nendang bola kena muka Keindra, anaknya lagi pingsan di dalam, udah dijagain Haris,” Satria yang buka suara.

“APA LU BILANG!?” Joan ingin membuka pintu UKS namun ternyata dikunci, “Haris! Ris! Buka pintunya, ini gua Beryl!”

Buset dah sampe dikunci,” bisik Wira namun masih dapat didengar.

Pintu UKS terbuka, Haris mempersihlakan Joan masuk. Tak sengaja ia melihat Satria dengan wajah memelas, “gua minta maaf Ris, gua ikut masuk juga dong, ya? Merasa berdosa nih gua,” bujuk Satria.

“Siapa suruh lu nendang bolah kejauhan!? Bahkan sampai bikin anak orang pingsan, lu pikir aja kalau orang tuanya tau, terus nggak terima gimana!? Kalian semua juga, kenapa masih di sini? Balik ke kelas sana!” Nada suara Haris naik, membuat semuanya terkejut. Haris pun kembali menutup pintu dan menguncinya, seakan UKS miliknya sendiri.

“Kok ... serem sih ...,” gumam Candra.

“Mending kita balik ke kelas aja yuk, daripada kena semprot lagi? Serem weh! Urusan Kei kenapa-napa ntar kita kan bisa ketemu” Wira menarik lengan seragam Yoshep.

“Iya iya, ayo. Bang Satria, kita duluan ya? Good luck, Bang!” Yoshep menepuk pundak Satria, dan pergi meninggalkan Satria yang masih meratapi nasibnya di depan UKS.


Sementara di dalam UKS, Joan tampak khawatir melihat keadaan Keindra. Adik kesayangannya masih belum sadar, walaupun pendarahan pada hidungnya telah berhenti.

“Dia gapapa kok, cuma shock aja dihantam bola, darahnya juga udah berhenti. Kalian bisa balik ke kelas, bel udah bunyi tuh,” ujar sang dokter.

“Ga ada efek samping atau apapun kan, Dok?” Tanya Joan.

“Enggak ada, paling cuma pusing aja. Tapi kalau ada keluhan lanjut, suruh periksa ke rumah sakit aja, ya?”

“Baik, Dok.” Joan menatap sendu Keindra, dilihatnya Haris yang duduk di samping kasur Keindra, pun tak berbeda jauh dengan dirinya. “Haris, balik kelas nggak?” Tanya Joan.

“Hm? Nggak deh, lu aja sana, gua jagain Keindra.”

“Mata pelajar siapa lu habis ini?”

“Sejarah, pak kumis.”

“Oh oke deh, gua duluan ya? Gua minta tolong jagain dia.”

“Hmm iya, tenang aja.”

Joan keluar dari UKS, dirinya terperanjat melihat Satria masih setia terduduk di depan ruang kesehatan sekolah itu.

“Jo ....”

“Tunggu ye lu,” Joan menunjuk wajah Satria dengan tatapan sinisnya.

“Astaga Jo maaf banget deh seriusan, gua ga sengaja. Ini gua mau masuk gimana?”

“Urusan lu lah, pergi lu ke kelas sana sebelum gua tampol kepala lu.”

“Joan ih~!” Rengek Satria, membuat Joan merinding dan memilih pergi meninggalkan Satria.

“Ah sial banget sih!” Kesal Satria.


Kembali kepada dua orang di ruang UKS, Haris mengelus kepala Keindra yang masih betah menutup matanya.

“Sadar dong, Kei ....”

Hati-hati Haris memperbaiki letak ice pack kecil di atas pangkal hidung Keindra, untuk memberhentikan pendarahan.

Engg-

“Kei?” Panggil Haris memastikan.

Hm?” mata Keindra terbuka perlahan, dahinya mengernyit saat merasakan benda asing di wajahnya, “apa ini?” Tanya dengan suara parau.

“Kei? Keindra? Lu udah sadar? Gimana perasaan lu? Pusing? Butuh minum?”

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Haris membuat Keindra semakin bingung, mata bulat itu pun sudah terbuka sepenuhnya, terlihat kosong menatap langit-langit, dirinya masih memproses apa yang sedang terjadi.

“Kei?” Panggil Haris, kali ini dengan elusan di kepala.

“Hm? Kita di UKS, ya?” Tanyanya.

“Iya, tadi lu pingsan. Minum dulu, ya?” Haris mengambil sebotol air dan membantu Kei untuk minum.

“Temen-temenku mana, Kak?”

“Gua suruh balik ke kelas, udah bel dari tadi.”

“Kenapa Kakak masih di sini, emang nggak belajar?”

“Gurunya nggak masuk, dari pada gabut mending gua di sini.”

Keindra membulatkan bibirnya tanda mengerti, ia menatap Haris yang juga menatapnya.

“Kenapa, hm? Pusing?” Tangan Haris masih saja mengelus kepala Keindra, membuat jantunya berdetak tak karuan.

“Dikit, aku ngantuk ....”

“Yaudah tidur aja.”

“Gapapa?”

“Gapapa lah, emang kenapa? Lu masih sakit gini.”

Keindra membalik badannya membelakangi Haris. Matanya ia pejamkan erat-erat menahan teriakan, karena perlakuan Haris pada dirinya.

Saat itu juga tiba-tiba Haris menepuk-nepuk kepala Keindra lembut, “tidur yang nyenyak, ntar pas istirahat gua bangunin.”

“Hmmm ...,” dehem Keindra sebagai jawaban. “Kak Haris jangan gini dong, jantung aku ga sehat!!!” teriak batin Keindra.


Menolak ajakan sahabatnya, Keindra memilih pergi ke perpustakaan untuk menyendiri. Jujur saja, kejadian kemarin masih membekas di hati Keindra dan membuatnya sedikit merasa takut bertemu dengan sosok Haris. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, rasanya begitu canggung dan juga menyeramkan bagi siswa baru yang sudah membuat masalah kepada senior tingkat akhir.

Perlahan Keindra masuk ke perpustakaan yang begitu sunyi dan dingin karena pendingin ruangan. Begitu banyak senior yang tengah mengerjakan tugas, dan hanya beberapa siswa tingkat satu yang sekedar membaca.

Dirinya memilih mengelilingi perpustakaan, hingga berada di ujung ruangan di mana terdapat kumpulan novel dengan berbagai genre. Mata Keindra melebar tanda bahagia, kegemarannya membaca novel seakan dimanjakan oleh sekolah ini. Tak ingin menunggu lama, Keindra pun melihat-lihat novel mana yang ingin ia baca, akibat terlalu serius menelusuri novel dirinya tak sadar menyenggol seseorang yang tengah asik membaca dari tadi di lorong tersebut.

“E-eh maaf, maaf Kak!” Keindra sedikit menjauh dan nenunduk sopan meminta maaf.

“Gapapa santaiㅡ Keindra!?”

Mendengar namanya disebut Keindra langsung menatap orang yang ia tabrak tersebut, seketika matanya melebar melihat Haris di hadapannya dengan tatapan tak senang.

“Ohㅡ wow!” Keindra menepuk dahinya, kakinya perlahan mundur menjauh.

“Wow?” Alis Haris naik.

“Wow novel yang Kakak baca keren banget!” Keindra menunjuk buku di tangan Haris kemudian melarikan diri dari perpustakaan.

“Hei! Jangan kabur!” Teriak Haris yang tak sempat menangkap tangan Keindra.

Shuut!!” tegur siswa di perpustakaan pada Haris.

Decak kesal terdengar dari mulut Haris, “bisa-bisanya tuh anak kabur,” ditutupnya kesal buku yang tadi ia baca, kemudian ia simpan dengan kasar pada tempatnya.


Kaki Keindra terus berlari tak tentu arah, dirinya tak menyangka akan bertemu dengan orang yang sangat ia hindari.

“Ah anjir lah! Kenapa sih dia malah di perpustakaan!? Ngerepotin banget!” Kesal Keindra dan memilih duduk di bangku taman sekolah sendirian.

Dirinya mengatur napas karena kabur lumayan jauh, kepalanya mendongak menatap langit yang berawan, kemudian menghela napas keras-keras.

“Jujur gua takut ... gua takut bakal nyakitin kak Haris lagi. Bahkan kejadian kecil aja masih teringat di otak gua, apalagi yang sekarang ini ...,” Keindra bermonolog sambil menatap langit.

Angin berhembus meniup surai lembut Keindra, mata bulat itu terpejam menikmati angin yang membelai wajahnya. Perasaan sedikit lebih tenang, suasana taman sekolah yang tidak begitu ramai karena berada di belakang sekolah ini menjadi tempat yang tepat untuk menenangkan diri.

“Gua bakal minta maaf sama kak Haris secepatnya, gua nggak mau kak Haris salah paham lagi!”

Keindar memeriksa arlojinya, lima menit lagi jam istirahat selesai dirinya beranjak dari taman dan berniat untuk ke toilet terlebih dahulu.

Saat memasuki toilet, saat itu juga bertepatan dengan seseorang keluar dari salah satu bilik toilet. Bagaikan takdir, orang yang baru keluar tersebut adalah Haris. Mata keduanya bertemu, Keindra tampak terkejut, sedangkan Haris tampak biasa saja menatapnya datar.

Tanpa mengatakan apa-apa Keindra mengurungkan niatnya ke toilet dan langsung saja pergi menuju kelasnya. Melihat tingkah adik kelasnya yang kabur lagi, Haris mendengus kesal sambil menyeringai remeh.


⚠️ TW // Accident ⚠️

Sepulang sekolah Keindra mengikuti saran sahabatnya, ia pun membeli minuman untuk Haris ditemani oleh Wira.

“Lu yakin kak Haris mau maafin gua, Wir?” Tanya Keindra saat keduanya berjalan menuju ruang latihan.

At least lu mencoba Kei, nggak mungkin bang Haris sejahat itu,” jawab Wira santai sambil merangkul Keindra.

Sesampainya di depan ruang latihan, dapat Keindra lihat Haris serius bermain badminton di dalam sana. Ia pun berhenti membuat Wira heran, “kenapa berhenti?” Tanya sahabatnya.

“Takut, ih!” Rengek Keindra, hal itu menimbulkan decakan kesal dari Wira.

“Sekarang atau nggak sama sekali? Lu mau terus-terusan takut ke sekolah?”

“Enggak ....”

“Ya udah, masuk!” Wira menarik paksa Keindra ke ruang latihan, yang ditarik hanya pasrah sambil menunduk dalam berlindung di balik tubuh tinggi Wira. “Bang Haris!” Panggil Wira di tepi lapangan dan menjadi pusat perhatian para senior.

Merasa namanya dipanggil, Haris berhenti bermain dan melihat ke arah Wira, “gua?” Tunjuknya kepada diri sendiri.

“Iya Bang! Ada perlu sebentar, ganggu nggak?”

“Oh enggak kok, santai aja. Gua keluar dulu ya?” Izin Haris kepada rekannya dan menghampiri Wira.

Keindra yang melihat sosok Haris mendekat, membuatnya semakin mengeratkan genggaman pada seragam Wira dan tetap berlindung dibalik tubuh sahabatnya.

“Ada apa? Lu anak badminton baru, 'kan? Kalau nggak salah nama lu Wiri?”

“Wira, Bang hehehe.”

“Oh iya Wira hahaha maaf ya gua masih dikit-dikit ngehapalin nama kalian. Ada apa Wir?” Haris bertanya dengan ramah, tak sengaja matanya melihat sosok lain di balik tubuh adik kelasnya itu.

“Jadi gini Bang, ada temen gua nih pengen ngomong sesuatu sama lu. Sebentar Bang,” Wira menoleh ke belakang, “woi cepet muncul!” Bisik Wira.

Takut anjir!” Jawab Keindra pun berbisik.

Namun tanpa keduanya sadari, bisikan mereka terdengar oleh Haris. Membuat laki-laki yang lebih tua tersebut menahan tawanya melihat tingkah adik tingkat pertamanya ini.

Cepet nggak!?” Bentak Wira.

Mau tak mau, dengan rasa takut yang masih menguasai dirinya, Keindra pun menunjukan dirinya. Saat itu juga wajah Haris berubah datar, “oh, dia temen lu?” Tanyanya dengan nada dingin.

“Iya Bang,” tiba-tiba Wira ikut merasa takut, “dia mau ngomong sama lu, jadi gua ajakin ketemu sama lu, Bang,” Wira mendorong Keindra agar berdiri di hadapan Haris.

“H-halo K-kak ...,” sapa Keindra dengan suara yang bergetar.

Tatapan datar Haris membuat Keindra kembali menunduk, ingin rasanya Keindra menangis saat itu juga namun ia tahan.

“Karena kalian udah ketemu, ada baiknya gua tinggal aja, ya? Biar enak ngomongnya. Gua pergi dulu ya Bang Haris!” Wira melambaikan tangannya dan meninggalkan Keindra sendiri.

“Oh iya Wir, makasih ya!” Ujar Haris ramah namun dalam hitungan detik kembali datar.

Melihat Wira pergi dari ruang latihan membuat Keindra panik, “Wir! Wira!” Teriak Keindra kepada sahabatnya yang sudah menghilang di balik pintu. “Oh shit!” Umpat Keindra dalam hati.

“Mau ngomong apa?” Tanya Haris.

Keindra terperanjat, “hah?” ia tampak kebingungan. Botol minuman yang tadi ia beli digenggam dengan erat hingga buku jarinya memutih.

Haris keheranan melihat tingkah Keindra, laki-laki manis dihadapannya ini tampak gugup sambil menggigit bibirnya, “kalau nggak jadi gua balik latihan ajㅡ”

“KAK HARIS AKU MINTA MAAF!!” Teriakan nyaring Keindra memenuhi lapangan badminton.

Semua yang berada di sana mengehentikan kegiatannya, tak terkecuali Haris yang melebarkan matanya, merasa terkejut dengan aksi Keindra.

“Lu ngapain teriak!?” Haris berdecak dan menarik Keindra keluar dari ruang latihan.

Kenapa sih gua ditarik-tarik mulu hari ini!?” Batin Keindra kesal dan pasrah ditarik oleh Haris.

Badan mungil itu Haris dorong ke dinding, membuat Keindra bersandar pada dinding sekolah dan menatap Haris takut. Jarak keduanya begitu dekat, bahkan Keindra dapat merasakan napas Haris yang memburu.

“Udah cukup buat gua sakit terus, tolong jangan buat gua malu dengan cara lu teriak gitu, Keindra ...,” ujar Haris lirih, mata keduanya saling bertatapan. Melihat mata bergetar Keindra, membuat Haris menjadi luluh. Ia pun mundur dan nengendurkan otot-otot wajahnya menjadi lebih santai. “Gua buat lu takut ...,” bisik Haris.

“E-enggak, nggak, Kak! Aku nggak takut. M-maaf, maaf udah bikin Kakak malu, maaf aku banyak bikin salah sama Kakak, bahkan dari kita masih kecil. Maaf aku udah sakitin Kakak, buat Kakak marah bahkan jengkel sama aku, maafin aku, Kak! Aku enggak maksud begitu, ada sesuatu yang harus aku jelasin, tapi aku terlalu takut ..., ya ..., ya aku ngaku takut sama Kak Haris ...,” Keindra menunduk, jarinya memainkan botol minuman yang sedari tadi belum juga ia berikan kepada Haris.

“Itu air kalau cuma lu tatap tapi enggak lu minum mending buat gua aja deh,” celetuk Haris.

“Eh?” Keindra kembali menatap Haris, seniornya sudah terlihat lebih santai membuat rasa takutnya perlahan menghilang. “Oh! Iya, ini memang buat Kakak!” Keindra memberikan minuman tersebut kepada Haris.

“Aman, 'kan? Nggak ada lu kasih apa-apa?” Haris menatap Keindra curiga.

“Enggak! Baru aja aku beli di kantin, minum aja Kak, pasti haus habis main badminton.”

“Oke gua minum,” Haris mengambil minuman tersebut dan meminumnya hingga tersisa setengah botol. “Thanks, ya!” Haris mengoyangkan botolnya.

“Iya sama-sama, Kak ....”

“Jadi, kenapa takut sama gua?”

“Anu ....”

“Kenapa anu lu? Gua nggak ngapa-ngapain ya.”

“Ih bukan!” Keindra menghentakan kakinya sambil merengek, hal itu membuat Haris terkekeh.

“Ya, terus apa?”

“Aku takut kalau Kakak benci sama aku. Dari kecil aku selalu berpikir, Kakak nggak mau latihan taekwondo lagi karena aku. Aku merasa bersalah banget udah buat Kakak sakit dan nangis waktu itu, aku bahkan belum sempat minta maaf. Sampai sekarang ketemu lagi aku malah buat kesalahan yang sama, aku takut Kakak makin benci sama aku. Pertama kali aku lihat Kakak di depan toilet, aku udah nggak asing sama Kakak tapi aku lupa-lupa ingat, sampai akhirnya Kakak ingatin aku kejadian itu, aku kaget ..., aku nggak tau harus senang atau sedih karena rasa bersalah aku sejak dulu belum selesai.”

“Selama itu Kei? Selama itu lu ngerasa bersalah?”

“Iya Kak ....”

Oh lord,” Haris mengusak wajahnya, “giliran gua yang merasa bersalah sama lu, Kei. Gua gapapa Kei, seriusan! Gua nggak mau latihan lagi karena taekwondo nggak cocok sama gua, dan gua juga harus pindah ke Singapura ikut orang tua gua.”

“Jadi bukan salah aku?” Tanya Keindra memastikan.

“Bukan, Kei. Gua minta maaf buat lu kepikiran selama ini, gua gapapa, gua nggak dendam sama lu. Gua malah bersyukur karena kejadian itu gua jadi ada kenangan dan cerita masa kecil, hal itu juga buat gua penasaran sama keadaan lu sekarang gimana. Gua berusaha cari lu lagi saat gua balik ke sini, tapi pelatih nggak mau kasih tau.”

“Kakak cariin aku? Ke tempat latihan lama kita dulu!?” Keindra melebarkan matanya.

Haris mengangguk, “pelatih bilang nggak mau kasih tau. Gua nggak tau apa alasannya, tapi semenjak itu gua hanya menerka-nerka, apa kabar anak kecil yang tendangannya jago banget sampai buat gua nangis, apa dia udah jadi atlet nasional? Karena gua ingat pelatih bilang lu atlet junior.”

Mendengar penjelasan Haris, saat itu juga Keindra menunduk dengan raut wajah sedih. Haris yang menyadari perubahan reaksi Keindra mengernyit bingung, “ada apa, Kei?” Tanyanya.

“Sebenarnya aku udah ga bisa jadi atlet lagi, Kak. Aku nggak bisa taekwondo lagi, semuanya udah berakhir.”

Haris mengernyit, “kenapa?” Tanyanya penasaran.

“Aku kecelakaan tiga tahun lalu, ditabrak pengendara mobil yang lagi mabuk, waktu bawa sepeda pulang latihan. Aku ingat waktu itu seminggu lagi ada pertandingan, tapi apa boleh buat? Lutut kanan aku retak dan nggak ada harapan lagi untuk aku jadi atlet,” Keindra tersenyum getir, tatapannya kosong mengingat kejadian yang begitu menyakitkan baginya. “Jangankan jadi atlet, lari dan jalan jauh pun sekarang aku nggak bisa, kadang masih harus minum obat nyeri kalau kambuh dan nggak bisa jalan kalau kecapekan. Semenjak itu pula taekwondo jadi kenangan buruk untuk aku.”

“Kei ...,” panggil Haris lirih, menatap Keindra sedih.

“Jangan tatap aku begitu, Kak. Aku nggak suka dikasihani, walau masih berat untuk lepasin semua kenangan buruk itu tapi aku berusaha untuk ikhlasin segalanya sekarang,” Keindra tersenyum, namun bukan senyum yang tulus melainkan senyum yang dipaksakan. Dapat Haris lihat air mata di sudut mata Keindra.

“Jadi itu alasan kenapa lu kaget dan reflek pelintirin tangan gua, pas gua ngajakin lu masuk ke ruang taekwondo? Karena lu nggak mau kenangan buruk lu teringat lagi?”

“Iya, Kak ..., tapi bukan berarti aku membenarkan sikap aku, aku ngaku salah udah nyakiti Kakak karena Kakak nggak tau apa yang sebenarnya terjadi.”

Pundak Keindra digenggam erat oleh Haris, tatapan mereka kembali bertemu. Tatapan polos dan lugu Keindra semakin membuat Haris tak tega, bahkan Haris tak menyadari debaran jantungnya berdebar kencang sedari tadi.

“Jangan salahin diri lu terus-terusan, semua udah takdir. Gua memang nggak ngerasain di posisi lu, tapi tau keadaan lu sekarang baik-baik aja dan gua bisa ketemu lagi sama lu, itu artinya lu hebat Keindra, lu orang terhebat yang pernah gua temui dari gua kecil sampai udah segede ini. Nggak akan ada yang bisa ngalahin hebatnya lu berjuang sampai dititik ini, gua bangga sama lu, Kei.”

Sudut bibir Keindra naik, hatinya terasa begitu hangat dan tenang mendengar setiap tutur kata yang Haris ucapkan. Kedua tangan Keindra menggenggam tangan Haris yang masih memegang botol minuman darinya, “Kak Haris terima kasih, terima kasih banyak udah ingat aku dan cari keberadaan aku. Maaf, semenjak kecelakaan aku minta pelatih untuk nggak kasih tau informasi keberadaan aku, butuh waktu lama untuk aku pemulihan sampai akhirnya bisa balik lagi jadi Kei yang sekarang.”

Tangan Haris naik mengelus kepala Keindra, “maafin gua udah marahin lu, kasar sama lu, bahkan bikin lu nangis di kantin tadi siang. Gua kebawa emosi karena merasa dilupakan dan diremehkan, kalau dari awal gua tau apa yang terjadi, mungkin dari awal gua udah datang untuk support lu, Kei.”

Pipi Keindra merona samar, berharap tak disadari Haris, “aku gapapa, Kak. Kakak mau dengarin aku aja, aku udah senang banget. Jadi, kita baikan?” Keindra mengulurkan tangannya.

Of course! Sekalian kita ulang perkenalan kita. Hai Keindra, gua Haris korban tendangan lu dulu masih kecil.”

“Hahaha ..., hai, Kak Haris! Aku Keindra, tersangka yang udah buat Kakak nangis dulu masih kecil.”

Tangan keduanya berjabatan dengan erat, senyum terkembang cerah di wajah keduanya, tak ada lagi dendam, tak ada lagi rasa kesal, takut dan bersalah.

By the way, udah daftar ekskul?” Tanya Haris.

“Belum, Kak. Nggak tau mau masuk ke mana lagi, mau ke seni tapi katanya pendaftaran seni udah tutup duluan karena penuh, ya?”

“Oh mau masuk seni? Mau jadi anak buah Helmi, ya?”

“Helmi? Ahㅡ ketua ekskul, 'kan?”

“Nah itu tau. Sini gua bawa ke ruangnya Helmi, kebetulan ada anaknya di sana, biar gua bantu daftarin,” Haris kembali menarik tangan Keindra menuju ruang seni.

Sesampainya di ruang seni, Haris menatap heran pintu ruangan tersebut tertutup dan begitu sepi, “kok sepi, biasanya kalau ada Satria bakal rame main gitar,” gumam Haris.

“Kenapa, Kak?” Tanya Keindra bingung.

“Gapapa, masuk aja yuk!” Haris membuka pintu dan membawa Keindra masuk ke ruang seni. Namun, ada hal yang mengejutkan terjadi di dalam ruang seni.

Kedua sahabat Haris ㅡHelmi dan Satriaㅡ, yang selalu menjadi bulan-bulanan ejekannya sedang berciuman di dalam ruang seni. Helmi yang pasrah bersandar disofa dan dikukung oleh Satria, sedangkan Satria begitu ahli dalam menguasai permainan, bahkan salah satu tangannya sudah berada di balik baju Helmi.

Oh my God!” Teriak Keindra dan bersembunyi di balik punggung Haris.

Sedangkan Haris terbahak melihat keduanya, “hahaha bangsat lu berdua malah zinah! Kunci pintu kali, ketahuan kepsek mampus lu berdua!” Haris melempar botol yang masih berisi air tadi ke arah kedua laki-laki tersebut.

Keduanya gelagapan, Satria langsung berdiri mengusak rambutnya kasar menahan malu. Helmi berusaha terlihat tenang, merapikan bajunya, dan menatap Haris, “ngapain lu ke sini, bukannya latihan? Anak siapa yang lu bawa tuh?” Tanya Helmi.

“Bengkak amat tuh bibir, kalau gua telat masuk mungkin udah habis di makan kali, ya?” Haris senyum mengejek ke arah dua sahabatnya.

Suara decakan dari Satria semakin membuat Haris tertawa, “K-kak, udah makin sore aku mau pulang,” bisik Keindra sambil menarik baju Haris.

“Eh iya lupa gua. Mi, nih tolong bantu dia masuk jadi anak buah lu dong, dia telat nyerahin formulir,” Haris merangkul Keindra, saat itu juga Helmi dan Satria saling bertatapan dan tersenyum tipis.

“Gampang lah, ada bawa formulirnya, nggak?” Tanya Helmi.

“Ada nih, Kak!” Keindra mengeluarkan formulir dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Helmi.

Helmi memeriksa divisi yang Keindra isi, “oh seni rupa terapan, kebetulan kurang satu orang nih, jadi minggu ini langsung masuk ke studio melukis aja, info selanjutnya nanti dikasi tau ke grup angkatan kalian,” jelas Helmi.

“Oh iya, Kak. Terima kasih ya, kalau gitu aku udah boleh pulang, 'kan? Udah sore, takut dicariin.”

“Pulang sama siapa, Dek? Sini gua anterin,” ujar Satria dan mendapat tatapan sinis dari Haris maupun Helmi.

“Hehehe pakai gojek, Kak. Makasih tawarannya, aku permisi dulu. Kak Haris, aku pulang dulu ya, makasih banyak bantuannya,” Keindra menyempatkan diri menggenggam tangan Haris dan pergi keluar dari ruang seni.

“Hati-hati, Kei!” Haris melambaikan tangannya dan dibalas oleh Keindra.

Tanpa sadar Haris terus tersenyum, suasana hatinya menjadi lebih baik setelah menghabiskan waktu bersama Keindra.


Bel tanda istirahat berbunyi, waktunya para siswa berbondong-bondong menuju ke kantin untuk mengisi perut yang keroncongan, setelah menghabiskan waktu empat jam belajar.

Tak terkecuali Helmi dan Satria, dua sahabat ini tengah kebingungan mencari tempat duduk untuk menikmati pop mie mereka. Tidak seperti biasanya, suasana kantin hari ini begitu penuh, namun karena rasa lapar yang begitu menggangu mau tak mau mereka membeli makan di kantin.

Join sama yang lain aja kali ya, Sat?” Saran Helmi.

“Masalahnya nggak ada yang kosong,” Satria mencari kursi kosong yang tersisa. Akhirnya ia melihat dua kursi kosong yang baru saja ditinggalkan di dekat pintu masuk kantin, “Mi sana Mi deket pintu, buruan!” Satria mendorong Helmi menuju tempat yang ia maksud.

“Pelan-pelan anjir!” Protes Helmi kepada sahabatnya.

“Kalau nggak cepet keburu diambil orang! Permisi, kita boleh join nggak?” Tanya Satria kepada tiga orang yang duduk di meja tersebut.

Ketiga orang yang tengah asik mengobrol dan bercengkrama tersebut langsung menoleh ke arah Satria, “eh? Lu degemnya Haris, 'kan?” Satria menunjuk siswa laki-laki dengan tanda nama Keindra Ardani di seragamnya.

“Eh? Degem?” Keindra menaikan alisnya.

“Jangan didengerin Dek, emang anaknya suka aneh. Kita boleh join?” Tanya Helmi.

“Boleh, silahkan!” Ujar Keindra ramah dan bergeser sedikit membiarkan Helmi duduk di sampingnya, sedangkan Satria duduk di samping Wira.

“Masih inget gua nggak? Kita yang ketemu di toilet itu!” Satria masih berusaha mengobrol dengan Keindra.

“Hahaha masih kok, Kak Satria, 'kan?” Tanya Keindra.

“Widih mantep tau nama gua! Mi, tuh Mi gua bilang juga apa gua tuh terkenal, anak baru tingkat satu aja kenal sama gua!” Ujar Satria menyombongkan dirinya.

“Dih? Bisa aja adek ini tau nama lu dari lihat nametag, bener nggak?” Tanya Helmi kepada Keindra.

“Jujur sih iya, Kak,” Keindra menahan senyumnya.

“Hahaha mampus! Mamam tuh terkenal!” Helmi mengejek Satria, sedangkan yang diejek merengut kepada Keindra.

“Eh kalian berdua temannya dia juga? Kalian semua namanya siapa sih, kenalan dulu sini sama Bang Satria.”

“Wira Bang, tingkat satu IPS tiga.”

“Yoshep, IPS satu, Bang.”

“Keindra, IPS satu, Bang.”

“Pasti kalau Yoshep sama Keindra janjian, Wira yang terakhir tau,” timpal Helmi.

“Bener, Bang!” Jawab Wira bersemangat.

“Kasihan banget anak-anak yang terpisah kelas dengan temannya nih,” sindir Satria kepada Helmi.

“Bacot lu, makan aja situ!” Kesal Helmi. “Kenalin gua Helmi, tingkat tiga IPS dua. Ini Satria, sama juga tingkat tiga, dia IPS satu,” Helmi memperkenalkan dirinya dan Satria kepada adik tingkatnya.

“Gorengannya, Kak,” Keindra mendekatkan tahu isi kepada kedua seniornya.

“Duh nggak usah maksa-maksa lah dek, makasih banyak loh!” Satria mengambil tahu isi tersebut.

“Sat jangan bikin malu ngapa sih!? Dek maaf ya, temen gua emang suka bikin malu,” Helmi menatap adik tingkatnya tak nyaman.

“Hehehe gapapa kok, Kak. Silahkan dimakan, kami tadi sengaja ambil banyak,” jawab Keindra.

Sambil menikmati makanannya, kedua senior tersebut sesekali mengobrol dan bercanda bersama junior mereka. Meja mereka terlihat seru dan ramai, membuat beberapa tatap mata tertuju kepada meja mereka.

“Wahㅡ seru banget nih kelihatannya!”

Tiba-tiba datang seorang laki-laki tingkat tiga lainnya, berdiri tepat di belakang Keindra dan Helmi.

“Eh Haris! Kemana aja lu? Udah makan belum?” Tanya Satria.

Mendengar nama yang Satria panggil, tubuh Keindra seketika menjadi kaku. Baik Yoshep maupun Wira, keduanya hanya dapat bertatapan satu sama lain, “gimana nih?” Tanya Wira tanpa suara, dan Yoshep menggelengkan kepalanya bingung.

“Biasa ketemu pelatih, niatnya tadi mau makan sih tapi pas masuk liat meja ini ramai banget, gua jadi lebih tertarik ke sini buat ngecek ada apa,” Haris meletakan tangannya di atas pundak Keindra, “rupanya ada adik tingkat satu yang asik ngobrol sama kakak tingkat tiganya, seru banget ya, Dek? Sampai lupa sama kesalahannya, nggak minta maaf, dan dengan nggak tau malu asik sama kakak tingkat tiga lainnya. Sopan santun lu mana?” Pundak Keindra diremas oleh Haris kemudian dilepas begitu saja.

“Haris!” Tegur Helmi kepada Haris.

“Kenapa? Gua ngomong fakta kok, gua nunggu itikad baik dia, tapi dia nggak datang buat minta maaf. Malah sok deket sama lu berdua, emang gua lu anggap apa, hm? Kurang ajar banget sama senior,” Haris mendekatkan wajahnya pada Keindra.

Keindra menunduk dalam berusaha menahan air matanya yang telah tergenang dipelupuk mata, tangan dan pundaknya sudah bergetar sedari tadi karena merasa takut. Bibirnya terkatup erat, suaranya tak dapat keluar sedikit pun, lidahnya terasa kelu.

“Diam nggak buat masalah kita selesai, Keindra. Jujur gua kecewa dengan sikap lu, gua nggak nyangka lu begini.”

“Ris, udahan deh. Semua pada ngeliatin,” kali ini Satria turun tangan.

“Beruntung ya semua pada belain lu, jangan nunduk lu, jangan nangis, percuma!”

“Haris cukup! Sekarang kita ke kelas!” Helmi menarik Haris pergi dari kantin, meninggalkan Satria yang menatap Keindra iba.

“Maafin temen gua ya, Keindra. Maafin sikap temen gua juga ya Yoshep, Wira, jadi ganggu suasana begini, gua duluan,” Satria pun menyusul dua sahabatnya tadi.

Kepergian Satria tak membuat Keindra berhenti menunduk, baik Yoshep maupun Wira langsung duduk di samping Keindra dan memeluk sahabat mungilnya.

“Kei ...,” panggil Yoshep.

“T-takut ..., gua takut banget ...,” lirih Keindra dan memeluk Yoshep erat.

Wira mengelus kepala Keindra, “gapapa, kita di sini, nanti kita bantu selesaikan masalah lu ya, udah jangan nangis.”

“Lu harus cepat minta maaf, Kei,” ujar Yoshep.

“Takut ....”

“Shuut ..., udah udah ...,” bujuk Wira.

Ketiga sahabat ini pun segera pergi dari kantin sebelum semakin banyak yang menyadari keanehan dari meja mereka.


Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dibandibgkan saat pergi. Sepasang kekasih ini memutuskan untuk makan malam di apartemen Seungwoo, melanjutkan agenda melepas rindu yang belum juga puas.

Sesampainya di apartemen Seungwoo, sang pemilik apartemen memilih mandi sedangkan Seungyoun menyiapkan bahan-bahan yang ingin dimasak. Seperti biasa tak begitu banyak bahan makanan, sehingga dirinya memutuskan untuk membuat nasi goreng dengan sekaleng kornet dan dua telur yang tersisa di dalam kulkas.

Langsung saja Seungyoun memasak dengan cekatan, aroma harum khas nasi goreng memenuhi seisi apartemen Seungwoo, membuat laki-laki tinggi itu keluar dari kamar dalam keadaan lebih segar sehabis mandi.

“Masak apa, Sayang?”

“Nasi goreng, kulkas kamu kosong, tau gitu tadi belanja dulu.”

“Oh iya ya, lupa aku makanan udah habis. Tapi nggak salah aku di freezer ada ayam kemasan kok.”

“Aku tadi nggak ngecek, emang ada?”

Seungwoo memeriksa freezer dan ternyata ada sebungkus ayam kemasan yang hanya tersisa beberapa potong saja, “ada empat nih!” Ujar Seungwoo.

“Ya udah, panasin aja.”

Keduanya pun bersama-sama menyiapkan makan malam, “makan di depan tv aja, ya?” Tawar Seungwoo.

“Boleh sambil nonton film, ya?”

“Siap!”

Setelah masakan selesai, Seungwoo membantu Seungyoun menyiapkan piring dan peralatan makan lainnya, kemudian ia bawa ke ruang tengah. Sedangkan Seungyoun menyiapkan minuman untuk keduanya, dirinya memilih membuat lemon tea di dalam pitcher.

“Masih butuh bantuan?” Tanya Seungwoo yang telah kembali dari ruang tengah.

“Tolong bawain gelas aja ya, Mas.”

Menuruti permintaan sang kekasih, Seungwoo membawa dua gelas ke ruang tengah. Merasa semuanya sudah siap, sepasang kekasih ini duduk di lantai, menyandarkan tubuh mereka di badan sofa sambil menikmati film dari sebuah aplikasi yang menyediakan berbagai macam film.

“Mama kamu nggak nyariin?” Tanya Seungwoo disela kegiatan makan malam.

“Enggak, aku udah bilang pergi sama kamu, jadi udah paham.”

“Mau pulang atau nginap?”

“Lihat situasi, tapi mama ngerti-ngerti aja sih kalau aku nggak pulang.”

“Ya sudah nginap, aku malas mau ngantar pulang.”

“Dih alasan kamu aja biar aku nginap, 'kan!?” Seungyoun mendorong kekasihnya kesal dan Seungwoo hanya dapat tertawa.

Acara makan malam selesai, setelah membersihkan sisa-sisa dan perlatan makan, keduanya memilih bersantai di ruang tengah. Jam menunjukan pukul delapan malam, masih begitu awal namun Seungyoun sudah merebahkan badannya di sofa dengan paha Seungwoo sebagai bantal, sedangkan empunya mengelus kepala Seungyoun hingga sang kekasih nyaris tertidur.

“Sayang, aku ada sesuatu untuk kamu,” ujar Seungwoo di tengah keheningan.

“Eum? Apa tuh?” Seungyoun bangun dari posisinya menatap Seungwoo penasaran.

“Sebentar aku ambil dulu,” Seungwoo beranjak menuju kamar. Kemudian kembali sambil membawa sebuah buku tebal dengan sampul khusus dari kain dan memiliki rajutan berbagai macam jenis bunga kesukaan Seungyoun di atasnya. Tak ketinggalan setangkai bunga hydrangea berwarna merah muda terselip di tengah buku.

“Apa itu? Kok lucu sih!” Seungyoun segera mengambil buku yang Seungwoo bawa.

“Buka aja, pelan-pelan ya tapi, baca sampai habis.”

Perlahan Seungyoun membuka simpul pita dari benang rajut yang berfungsi untuk mengunci buku tersebut, saat dibuka terdapat tulisan 'Our Journey' dengan foto keduanya yang mengenakan setelan jas berwarna navy, saling berpelukan, dan tertawa satu sama lain, ditempel pada permukaan kertas tersebut.

“Ini foto undangan temanmu waktu itu, 'kan?” Tanya Seungyoun.

“Iya, bagus kan setelah dicetak gitu?”

“Bagus! Fotonya juga bagus, aku suka sih pas kita undangan ini, konsepnya sesuai dengan aku, midnight party ... wah cakep!”

Saat lembar berikutnya dibuka terdapat tulisan lagi yang berisi, “buku ini diciptakan khusus untuk mengenang setiap moment perjalanan yang Seungwoo dan Seungyoun buat. Mohon disimpan dengan baik dan benar hingga mempunyai anak dan cucu,” Seungyoun tertawa geli membaca deretan kalimat yang ditulis oleh tangan Seungwoo, “ada-ada aja kamu, Mas!”

“Gimana, kreatif nggak aku?” Seungwoo menaik turunkan alisnya.

“Kapan kamu bikinnya?”

“Rahasia!”

“Cih! Mainnya rahasia,” Seungyoun kembali membuka buku di tangannya, terdapat foto makanan jepang yang terlihat familiar, “ini ... foto awal kita makan bareng kan?”

“Iya, Sayang.”

“Wahㅡ lama banget, nggak nyangka kamu masih simpan dan ditempel ke sini.”

“Itu termasuk awal mula akhirnya kita kenal, 'kan? Kalau nggak begitu, nggak mungkin kita akhirnya pacaran.”

“Benar juga kamu, Mas.” Lembar demi lembar Seungyoun buka, ada begitu banyak foto dirinya yang Seungwoo ambil secara diam-diam, bahkan foto dirinya di studio Seungwoo pun begitu banyak. Terdapat tulisan seperti keterangan hari dan tanggal kapan foto itu diambil, serta penjelasan kecil yang Seungwoo buat. “Foto kita mana, Mas?” Tanyanya.

“Buka lagi aja,” jawab Seungwoo.”

Halaman berikutnya, terdapat foto Seungyoun berlatarkan bunga-bunga dengan tulisan 'This is when I confess and he starts to be mine'. Seungyoun tersenyum membacanya, lembar demi lembar ia buka kembali, terdapat foto makanan yang pernah mereka makan bersama, tak lupa foto keduanya dari yang normal karena masih malu-malu awal menjalani hubungan, hingga foto yang sudah mulai berani.

“Lumayan banyak ya kita foto bareng,” gumam Seungyoun.

“Semuanya selalu pakai ponsel aku,” ujar Seungwoo, membuat Seungyoun terkekeh.

Lembar selanjutnya membuat Seungyoun tertawa, terdapat foto liburan dirinya yang digendong oleh Seungwoo di punggung bersama pasangan Hongseok dan Kino, dengan Hongseok yang mengendong Kino layaknya pasangan pengantin. Mereka berempat berfoto dengan latar pantai, serta matahari yang terik menyilaukan.

“Kok kamu ada foto ini nggak kasi aku sih, Mas!?” Protes Seungyoun.

“Ya kamu nggak minta?”

“Kan aku mau semuanya!”

“Iya iya iya, nanti aku kasi fotonya, bawel!” Seungwoo menarik gemas pipi Seungyoun.

Seungyoun membaca tulisan di bawah foto tersebut kemudian tertawa lagi.

'First holiday with our bestfriend,

Ps. Hongseok and Kino such a wild couple, don't tell to them about this.'

“Ketahuan kak Hong habis ditonjokin kamu, Mas!”

“Berani tonjok aku, ya aku tonjok balik.”

“Lagian ada-ada aja sih hahaha. Tapi ini fakta sih, nggak bisa disangkal.”

“Nah, 'kan! Aku nggak salah!”

“Tapi nggak begini!”

Buku harian itu Seungyoun buka hingga lembar terakhir, terdapat dua lembar di belakang. Lembar di sebelah kiri terdapat foto Seungyoun dan Seungwoo, bersama keluarga besar Seungwoo. Sedangkan foto satunya, Seungyoun dan Seungwoo yang memeluk mama Seungyoun.

'Our Family♡'

Tangan Seungyoun mengelus dengan lembut kedua foto tersebut, matanya secara tak sadar berlinang merasa terharu. Tak terasa keduanya sudah bersama selama sembilan bulan, begitu banyak yang sudah mereka lewati bersama, baik suka maupun duka.

Mata Seungyoun merasa tertarik membaca deretan kalimat panjang yang berada di lembar sebelah, “semuanya kamu tulis tangan, Mas? Apa nggak pegal?” Tanya Seungyoun.

“Enggak, kamu baca aja dulu.”

♡♡♡

Dear Seungyoun ....

Apa kamu percaya takdir? Awalnya aku nggak percaya adanya takdir, tapi setelah insiden kamu nabrak aku, dari situ aku percaya jika takdir itu nyata. Orang bilang jodoh ada di tangan Tuhan, tapi bagiku jodoh ada di tangan kita sendiri dan Tuhan yang mengatur takdir itu semua. Semakin hari aku sadar dan semakin yakin, bahwa kamu orang yang selama ini aku cari dan akan aku bawa hidup bersamaku dan bahagia bersama.

Aku ingin terus bersamamu, membuat lembaran cerita yang baru dan lebih bahagia lagi dari sebelumnya. Membangun keluarga kecil bersama, mencari matahari terbenam di pantai manapun, mencari pemandangan indah di manapun, berburu makanan enak di manapun, semua akan kita lakukan bersama, baik kamu dan aku, atau pun kita dan malaikat kecil kita nanti.

Dari awal aku memang sudah memantapkan diri untuk membawamu kejenjang yang lebih serius, aku sudah yakin jika kamu lah orang yang selama ini aku cari. Jika kamu tidak keberatan dengan keseriusanku untuk mengajak kamu ke jenjang serius maka, tanda tangani pernyataan di bawah ini ....

Cho Seungyoun, dengan ini Saya Han Seungwoo ingin mengajakmu untuk hidup bersama selamanya, membuka lembaran baru bersama, memulai hidup yang nyata dari awal, berjalan bersama-sama ke tengah masalah hidup yang baru, kemudian hingga akhir kita akan selalu bersama menghadapi dan belajar untuk menyelesaikan masalah itu.

Maka dari itu, Cho Seungyoun apakah kamu mau menikah denganku, Han Seungwoo? Jika kamu mau, mohon untuk tanda tangan di bawah ini sebagai persetujuan. Jika anda setuju dan sudah mentanda tangani persetujuan maka langkah selanjutnya buka lembar terakhir dan tarik benang merah yang ada di pocket sampul buku.

♡♡♡

Seungyoun tak dapat berkata-kata lagi setelah selesai membaca seluruh tulisan tersebut, ia menatap Seungwoo yang telah menyerahkan sebuah pulpen berwarna rose gold yang begitu indah dan mengkilap.

“Mau tanda tangan?” Tanya Seungwoo.

Perlahan dengan tangan bergetar Seungyoun mengambil pulpen tersebut, sebelum membuka tutupnya, tangan Seungyoun digenggam terlebih dahulu, kemudian dikecup oleh Seungwoo, “tenang dulu Sayang ...,” ujar Seungwoo lembut.

“GIMANA AKU BISA TENANG!? KIRA-KIRA AJA KAMU!” Teriakan Seungyoun cukup membuat gendang telinga Seungwoo berdengung.

Akhirnya pulpen ditangan telah terbuka, masih dengan tangan gemetar Seungyoun tanda tangan di kolom setuju tanpa keraguan. Senyum Seungwoo terkulum melihatnya, tangannya terulur mengelus kepala sang kekasih, “ayo di buka lembar terakhir,” ujar Seungwoo lembut.

Sesuai perintah, Seungyoun membuka lembar terakhir dan benar saja terdapat pocket kecil di bagian akhir sampul buku, dengan benang merah menjuntai di dalamnya. Langsung saja Seungyoun menarik benang tersebut dan saat itu juga Seungyoun menangis melihat cincin sederhana yang dihiasi mutiara kecil di bagian tengahnya, begitu sederhana namun terlihat cantik.

“M-mas ...,” dengan bibir bergetar Seungyoun memanggil kekasihnga.

“Seungyoun, karena kamu sudah setuju so, let's get married with me!”

Yes Seungwoo yes! Absolutely yes!” Seungyoun menyerahkan cincinnya kepada Seungwoo dan mengulurkan tangannya agar disematkan cincin itu pada jarinya.

Cincin cantik itu disematkan oleh Seungwoo pada jari manis Seungyoun, namun di luar dugaan cincin yang Seungwoo beli kebesaran di jari manis Seungyoun, “Sayang, kebesaran ...,” keduanya saling bertatapan, kemudian terbahak bersama.

“MAS SEUNGWOO IH!!”

“Hahaha astaga maaf aku enggak tau ukuran kamu, kirain kekecilan!”

“Jari aku nggak gendut!”

“Ya sudah coba di telunjuk,” Seungwoo menyematkan di jari telunjuk dan ternyata muat, keduanya kembali tertawa lagi.

“Ini lamaran apaan sih!?” Seungyoun mengelap air matanya yang mulai mengering.

“Lamaran ala Seungwoo, lain dari yang lain!” Ujar Seungwoo bangga.

Seungyoun berdecih sambil menatap cincin di jari telunjuknya, “cantik ... sederhana tapi elegan, aku suka,” si manis pun memeluk si tampan begitu erat seperti tak ada hari esok.

Pelukan itu dibalas oleh Seungwoo tak kalah eratnya, dikecup kepala Seungyoun berkali-kali, kemudian ia merenggangkan pelukannya untuk mencium bibir pasangannya. Ciuman malam ini terasa berbeda, ada debaran kencang yang memicu rasa bahagia dan manis dalam ciuman keduanya, lengan Seungyoun telah mengalung manja di leher Seungwoo, sedangkan Seungwoo menangkup pipi berisi pasanganya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, namun hanya Seungwoo yang dapat mendengarkan suara tersebut sedangkan Seungyoun masih hanyut dan menikmati ciuman dari Seungwoo.

Perlahan ciuman terlepas, Seungyoun menaikan alisnya bingung menatap Seungwoo, “ada apa?” Tanyanya.

“Kamu lihat ke arah dapur,” ujar Seungwoo.

Saat menoleh ke arah yang disuruh, mata Seungyoun melebar kala melihat mamanya dan kedua orang tua Seungwoo, serta sahabatnya dan sahabat kekasihnya telah berdiri di sana sambil membawa setangkai bunga mawar.

“MAMA!” Teriak Seungyoun tak menyangka, dirinya berlari menghampiri wanita cantik itu dan memeluknya erat, “Mama kok bisa di sini?” Tanyanya.

“Tanya sama calon suamimu,” mama Seungyoun menunjuk Seungwoo dengan dagunya.

“Kalian semua rencanain ini? Tante sama Om juga?” Tanya Seungyoun kepada kedua orang tua Seungwoo.

“Iya, Nak ... kita sudah lama rencanain ini, sebelum Seungwoo ke Singapura,” jawab ibu Seungwoo.

“Bahkan Mama diam-diam ketemu sama orang tua Seungwoo,” lanjut mama Seungyoun.

“Mama ih~!” Seungyoun merengek, kembali memeluk erat mamanya.

“Ya ampun gimana nih mau punya suami kalau masih manja? Nanti Seungwoo kesusahan, loh!”

“Biarin aja! Resiko Mas Seungwoo nikahin aku!” Semuanya tertawa mendengar jawaban Seungyoun.

Semuanya memberikan bunga mawar tersebut kepada Seunyoun hingga menjadi kumpulan bunga yang besar.

“Asik nikah nih, ngalahin Hyunggu!” Celetuk Jamie menggoda Seungyoun.

“Lihat gua udah ada cincin!” Seungyoun menunjukan cincinnya kepada para sahabatnya.

“KAK UYON HUWAAA!!” Hyunggu menerjang Seungyoun dengan pelukan, menyusul Nathan dan Jamie.

“Kenapa nangis!?” Panik Seungyoun.

“Senang akhirnya Kakak bakal nikah benaran!”

“Ya ampun, Hyunggu! Habis ini ntar lu yang nyusul, ya?”

“Hongseok, lamar Hong!” Teriak Sungjoo.

“Yuk habis ini kita lamaran, Ggu!” Ujar Hongseok dan mendapat pukulan kesal dari Hyunggu.

Suasana begitu ramai akan tawa dan saling menggoda satu dengan yang lainnya, Seungwoo menghampiri Seungyoun, menariknya dari pelukan sang sahabat dan merangkulnya.

“Jadi, tanggalnya sudah ditentukan?” Tanya ayah Seungwoo.

“Mengikut Ayah sama Ibu aja, sudah diskusi dengan Tante, 'kan?” Seungwoo menatap orang tuanya dan mama Seungyoun secara bergantian.

“Seungyoun gimana?” Tanya mamanya kepada sang putra.

“Kalau sudah diskusi, aku enggak masalah sih Ma. Apapun yang terbaik buat kami,” jawab Seungyoun.

“Dua bulan dari sekarang ya, Nak. Nanti semuanya kami serahkan ke kalian,” sambung ibu Seungwoo.

“Asik nambah job nih!” Sungwoon menimpali.

“NATHAN LU KOK IKUTAN NANGIS!?” Teriakan Hyunggu membuat mata tertuju kepada Nathan.

“Gua kelilipan!” Sergah Nathan.

Suasana kembali heboh membuat pasangan yang baru saja melakukan lamaran ini menggelengkan kepalanya dan saling bertatapan.

I love you, Baby...,” Seungwoo mengecup dahi Seungyoun.

I love you more, Mas ...,” dibalas dengan kecupan di pipi.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

05-11-2021, The End.


Written by taeyangbii