Hari pertama sebagai siswa SMA nyatanya tak begitu spesial bagi Keindra, pagi-pagi dirinya sudah mendengar suara heboh Maminya menyuruh dirinya segara berangkat agar tidak terlambat, padahal masih ada satu jam lagi untuk waktu masuk.
“Kei! Cepat! Papi kamu udah tungguin!”
“Astaga ... iya Mami iya, ini Kei udah siap!”
“Kamu mau terlambat hari pertama? Jangan ngada-ngada ya, Keindra!”
“Aku berangkat dulu, Mi!” Keindra menyalami tangan Maminya terlebih dahulu sebelum keluar rumah.
“Keindra, kamu belum peluk sama cium Mami.”
Alis Keindra naik, “tapi aku udah SMA, Mi!?” Sergah Keindra.
“Enggak ada, kamu tetap anak bayi Mami, cepat peluk sama cium Mami!”
Menghela napas keras-keras, Keindra masuk ke dalam pelukan sang Mami yang sudah tersenyum jahil, sengaja mengerjai anaknya yang mudah sekali merajuk.
“Baik-baik ya di sekolah barunya, kalau ada apa-apa kasih tahu Mami. Jangan jauh-jauh sama Wira, Yoshep, mereka kan pengawal kamu,” pipi berisi Keindra ditangkup oleh wanita paruh baya yang begitu mirip dengan Keindra, dikecupnya kedua pipi sang anak gemas.
“Iya Mami, lagipula aku udah gede, enggak mungkin sama mereka terus pasti mereka ada kesibukan sendiri.”
“Seenggaknya masih tetap sama mereka, Sayang. Mami berani jamin antara Wira sama Yoshep pasti sekelas bareng kamu, karena mereka jurusannya sama dengan kamu.”
“Hmmm ... Kei pergi dulu ya, Mi. Wish me luck, I love you!” Keindra menyempatkan diri membalas kecupan Maminya di pipi, dan berlari kecil menuju mobil, di mana Papinya sudah menunggu sedari tadi.
Di perjalanan menuju sekolah Keindra sibuk dengan ponselnya, Wira sudah heboh bertanya di mana Keindra dan Yoshep, mengapa kedua sahabatnya ini belum juga datang. Sedangkan Wira dan Candra sudah menunggu di dekat aula sekolah.
“Keindra, kamu gugup?” Tanya sang Papi tiba-tiba.
“Hm? Enggak, Pi. Gimana mau gugup kalau masuk sekolah barengan dengan teman-teman aku lagi.”
“Kalian semua tuh ya sudah seperti anak kembar, kemana-mana barengan.”
“Padahal awalnya enggak ada yang tau loh Pi kami daftar ke SMA yang sama. Kita udah asumsi bakal pisah pas SMA, nyatanya ketemu, malah Yoshep sama Wira sejurusan sama aku.”
“Hahaha ya begitu lah namanya teman, Nak. Lagi pula nanti kalian pasti sibuk masing-masing, kamu bisa dapat teman baru juga.”
“Iya Papi ....”
Sesampainya di sekolah barunya, Keindra tak menyangka akan lebih ramai. Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu dan jas almamater sekolah berwarna merah, memakai berbagai macam jenis motor, ada yang baru turun dari bis sekolah dan ada juga yang diantar seperti dirinya, tanpa sadar Keindra menelan salivanya gugup.
“Sudah sampai, hati-hati ya Nak, jadi anak yang baik, pintar, penurut. Kalau ada senior macam-macam kasi tau, sip?” Kepala Keindra dielus oleh Papinya.
“Sip Pi! Aku masuk sekolah dulu ya, wish me luck Pi,” Keindra menyalami tangan Papinya dan turun dari mobil.
Kaki Keindra berjalan pelan memasuki gerbang sekolah di mana ada satpam dan guru pengawas menunggu.
“Selamat pagi, Pak!” Sapa Keindra kepada dua orang dewasa yang ia lihat.
“Pagi! Anak baru, ya? Langsung ke aula ya, masuk lurus aja,” ujar guru pengawas.
“Baik, Pak. Terima kasih!” Keindra menunduk sopan dan segera berjalan sesuai arahan.
Sambil berjalan Keindra melihat sekeliling sekolah barunya, sesekali ia tersenyum dan menunduk sopan kepada seniornya. Walaupun seragam mereka sama putih abu-abu, namun yang membedakannya terletak pada almamater, untuk senior pada bagian dada kanan terdapat tanda garis sesuai dengan tingkat mereka, dua garis untuk tingkat dua dan tiga garis untuk tingkat tiga, sedangkan Keindra yang masih tingkat satu, memiliki satu garis pada almamaternya.
Dari kejauhan Keindra dapat melihat Wira dan Candra duduk di depan aula, sepertinya menunggu kedatangan dirinya dan Yoshep.
“Keindra! Lama banget lu!” Teriak Wira dari jauh, hal itu sontak menjadi pusat perhatian para senior dan teman seangkatan mereka.
Rasanya Keindra ingin menutup wajahnya saja karena merasa malu, temannya ini selalu saja membuat keributan, ditambah badan Wira yang tinggi menjulang seperti tiang listrik membuat orang-orang semakin mudah melihatnya.
Buru-buru Keindra berlari menghampiri Wira dan Candra, langsung saja ia memukul Wira dengan kesal, “bisa nggak sih jangan bikin gua malu!? Baru hari pertama Wira, udah meresahkan aja lu!” Omel Keindra.
“Ish! Salah mulu gua, lu tuh lama banget sama Yoshep kenapa sih, giliran gua yang datang awal malah keawalan banget, untung ada Can!”
“Seriusan Kei, Wira datangnya udah dari ini sekolah masih sepi tau,” Can menjelaskan.
“Lah tumben lu, kesambet apa?” Keindra heran.
“Gua mau buktiin kalau gua bisa rajin! Tuh Yoshep baru datang,” Wira menunjuk temannya yang berjalan dengan santai sambil tersenyum.
“Pada rajin ya masuk SMA. Rambut lu Wira, beneran kagak lu potong? Sumpah ya,” Yoshep menggelengkan kepalanya.
“Gua bilang kan kagak bakalㅡ”
“Adik-adik yang masih di luar aula silahkan masuk! Acara sebentar lagi dimulai!” Teriak salah satu senior dari depan pintu aula.
“Yuk masuk,” Candra menarik tangan Keindra dan Wira bersamaan masuk ke dalam aula, sedangkan Yoshep mengikuti mereka dari belakang.
Saat memasuki aula, ternyata aula sekolah baru Keindra terlihat besar dan megah. Keindra tidak menyangka jika sekolah barunya ini begitu elit, dirinya mendaftar ke sini hanya karena sekolah ini dekat dari rumahnya.
Dapat Keindra lihat ada sebuah podium di aula tersebut dan jejeran kursi-kursi yang telah diisi beberapa oleh para guru. Kemudian datang laki-laki dengan tubuh mungil, mengenakan almamater berwarna merah dengan tiga garis kuning namun ada lencana bintang berwarna emas, dirinya terlihat tegas dan berwiba naik ke atas podium, “kepada seluruh siswa baru dimohon untuk duduk dengan rapi di kursi yang sudah disediakan di sebelah kiri. Kepada siswa tingkat dua dan tingkat tiga, dimohon untuk duduk di kursi yang sudah disediakan di sebelah kanan. Upacara penyambutan murid baru akan segera dimulai.” Laki-laki tersebut langsung pergi dari podium.
“Itu tadi kak Beril?” Tanya Yoshep.
“Iya, dia ketua OSIS sekolah ini,” jawab Keindra.
“Beda banget ya kak Beril di sekolah sama di rumah,” Candra menimpali.
Empat sekawan ini duduk berjejeran di bagian tengah kursi, sesekali mereka mengobrol dengan teman angkatan lainnya sambil menunggu acara dimulai.
Di sisi lain, tempat para senior duduk ada tiga laki-laki yang juga duduk berjejeran sambil melihat-lihat murid baru yang berdatangan dan mengisi kursi kosong.
“Lu enggak ngerekam, Mi?” Tanya Satria yang tengah sibuk merapikan dasinya, kepada Helmi.
“Udah sama anak buah gua. Ck! Lu nih ya, makanya jangan begadang, udah tau mau masuk sekolah, telat kan lu, ribet lagi pasang dasi!” Helmi membantu Satria merapikan dasi, bahkan kerah seragam dan rambut Satria yang tampak berantakan.
“Gua kira masuknya lusa, rupanya kemarin tuh minggu ya? Gua kira sabtu anjir!” Satria membela diri.
“Halah bilang aja lu memang males mau masuk, Sat. Karena lu pikir ini hari pertama, kan? Coba Beril kagak ngancam lu, pasti sekarang lu masih tidur di kamar,” ujar Haris.
“Hehehe tau aja lu Ris, by the way lu liatin siapa sih? Dari tadi gua perhatiin lu ngeliat ke arah anak baru. Ada dedek gemes yang lu incer ya?” Satria ikut melihat arah pandang Haris yang sedari tadi memperhatikan kumpulan anak baru.
“Kagak, gua cuma lihat ada muka yang nggak asing gitu tadi duduk bareng temennya,” jawab Haris seadanya dan kembali melihat ke arah podium.
“Siapa?” Satria masih penasaran.
“Kepo lu.”
“Dih! PMS lu? Dari pagi keliatan bete mulu, heran gua.”
“Udah lah Sat, jangan ditegur biarin aja kenapa sih, coba lu diem acara udah mau mulai!” Tegur Helmi dan Satria pun diam.
Haris kembali melihat ke arah anak baru, dahinya mengernyit melihat laki-laki manis yang tengah tertawa bersama teman-temannya, “itu lu bukan sih?” batinnya.
Upacara penyambutan murid baru pun telah selesai, sebagian murid sudah keluar dari aula, beberapa siswa baru juga mulai mencari kelas baru mereka. Saat acara tadi kelas mereka langsung dibagikan, dan benar saja prediksi Mami Keindra, dirinya sekelas dengan Yoshep dan Wira berada di kelas sebelah. Seperti takdir, ketiganya tak bisa berpisah jauh sedetik pun.
“Ciee anak IPA kelasnya lain, gedungnya lain, ciee!” Wira menjahili Candra sambil berjalan menuju kelas mereka.
“Diem lu! Lu juga sendirian kali pisah sama mereka,” Candra memukul punggung Wira kesal.
“Tapi jurusan gua sama dengan mereka, at least gua kagak perlu jalan dari gedung B ke gedung A hahahaha!”
“Sumpah lu ya Wir, belum gua lempar bola basket kayaknya belum kapok.”
Wira langsung terdiam saat mendapat tatapan sinis dari Candra, kedua sahabatnya yang lain sedari tadi memperhatikan perdebatan mereka hanya dapat terkekeh geli.
“Udah lah, cuma perkara jurusan doang, pisah kelas, not a big problem, guys!” Keindra merangkul kedua sahabatnya, walau agak kesusahan merangkul Wira karena tinggi mereka yang berbeda duapuluh senti.
Mereka pun berhenti tepat di depan toilet, lokasi ini satu-satunya akses yang memisahkan antara gedung A dan gedung B, Candra memandangi ketiga sahabatnya dan tersenyum lebar, “semangat ya kalian semua hari pertamanya, good luck!”
“You too!” Jawab serentak ketiganya.
Mereka menatap kepergian Candra dalam diam, “kasihan ya, padahal kalau boleh Candra pasti udah sekelas sama gua,” ujar Wira.
“Ya mau gimana lagi, kayak nggak tau Ayah Candra aja,” Keindra menambahkan, “kalian masuk ke kelas dulu sana, Yosh gua titip tas ya, mau ke toilet dulu, kebelet gua.” Keindra memberikan tasnya pada Yoshep dan mendorong dua 'pengawal'-nya agar pergi dari depan toilet.
“Hati-hati ditelan kloset!” Teriak Wira, namun Keindra tak memperdulikannya.
Beberapa menit kemudian Keindra telah menyelesaikan urusannya, baru saja ia ingin keluar dari toilet tiba-tiba dirinya menabrak dada seseorang.
“Aduh maaf!” Keindra mengelus dahinya
“Eits! Gapapa?” Orang tersebut menggenggam kedua pundak Keindra dan menunduk untuk menatap dirinya.
Keindra pun mendongak, dirinya mengerjapkan mata saat melihat wajah orang tersebut begitu dekat dengan dirinya, “ngga- gapapa, aku gapapa kok, Kak!” Ujarnya gugup.
“Lain kali hati-hati ya, kalau jalan jangan nunduk,” kedua pundak Keindra ditepuk oleh orang itu dan keduanya tersenyum.
“Satria! Lu ya gua bilang tunggu malah lari duluan ke toilet!”
Orang yang dipanggil Satria itu menoleh ke belakang, di mana ada laki-laki dengan wajah merengut kesal menghampiri mereka berdua. Keindra menyempatkan diri melihat nama pada almamater laki-laki yang masih mengenggam pundaknya ini, “Satria Mahendra, kayaknya senior deh, ada tiga garis,” batin Keindra.
“Lu sih kelamaan di aula ngomong sama Beril!”
“Eung?” Keindra menaikan alisnya saat mendengar nama yang tak asing baginya.
“Kenapa? Eh sorry sorry malah keterusan pegangnya hehehe,” Satria melepaskan genggaman pada pundak Keindra.
“Hehehe gapapa, Kak,” Keindra menunduk sopan.
“Lu ngapain anak baruㅡ” laki-laki lain yang baru datang seketika terdiam saat melihat Keindra, tatapan matanya terlihat intens menatap Keindra.
Tanpa sadar tatapan seniornya ini membuat Keindra canggung dan dirinya berusaha untuk terlihat biasa saja namun gagal, “e-ekhem! K-kak, saya permisi dulu ya masuk ke kelas.” Perlahan Keindra mundur dan langsung berjalan cepat menunju kelasnya.
“Woi! Ngapain lu tatap anak orang begitu? Kasihan noh ketakutan!” Satria memukul kepala Haris.
“Shhㅡ sakit anjir!” Haris meninju bisep Satria kesal, “lu ngapain tadi sama tu anak?” Tanya Haris.
“Kenapa? Itu dedek gemes lu?” Satria menaik turunkan alisnya.
“Gua cuma tanya, kayak kagak ada tempat bagus aja di depan toilet,” Haris masuk ke toilet terlebih dahulu, sengaja menyenggol pundak Satria.
“Hohoho boleh juga selera lu, Bro!” Ejek Satria kepada temannya yang masuk ke salah satu bilik toilet.
Sebelum menutup pintu, Haris menyempatkan diri mengangkat jari tengahnya kepada Satria, sontak saja laki-laki tinggi kurus itu terbahak puas telah berhasil menggoda Haris.