taeyangbii


Perjalanan menuju pantai nyatanya tidak selancar dugaan Seungwoo, di tengah perjalanan mereka terjebak macet karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Seungyoun yang awalnya masih bersemangat pun tertidur karena begitu lama menunggu, melihat kekasihnya tertidur pulas di sebelahnya membuat Seungwoo merasa tak tega.

“Capek banget ya,” gumam Seungwoo sambil mengusap kepala Seungyoun.

Perlahan tapi pasti, dengan kapasitas kesabaran yang ada Seungwoo melewati macet tak berujung ini. Dirinya berdecak kala melihat ponsel menunjukan pukul empat lewat duapuluh menit, dirinya khawatir tak dapat melihat sunset diwaktu yang tepat.

Please ... please ..., please banget ini mah, jangan gagal dong,” bisik Seungwoo kalut.

Mendengar kekasihnya berbisik, membuat Seungyoun terusik dan bangun dengan wajah kebingungan melihat Seungwoo, kemudian melihat keadaan di luar yang masih macet.

“Belum kelar juga macetnya?”

“Belum Sayang, padahal kita tinggal belok aja ke sana tuh dua ratus meter lagi, tapi lama banget.”

“Ya sudah sabar aja,” Seungyoun melingkarkan tangannya di perut Seungwoo, kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak sang kekasih.

“Kenapa nggak tidur lagi, hm?” Seungwoo mengecup kepala Seungyoun.

“Mau temanin Mas pacarku,” yang lebih muda mengusak hidung bangirnya pada rahang tajam Seungwoo, tak lupa memberikan kecupan singkat di sudut bibir.

Mengerti jika kekasihnya dalam mode manja, Seungwoo mengelus pipi berisi kesayangannya, “sini-sini temanin Mas,” kecupan di pipi dan bibir Seungyoun dapatkan dari kekasihnya.

Keduanya saling mengecup wajah satu sama lain, hingga suara nyaring klakson dari arah belakang mengejutkan mereka. “Mas maju, udah jauh banget!” Ujar Seungyoun panik melihat kendaraan di depan mereka telah berjarak.

Buru-buru Seungwoo menjalankan mobilnya sebelum diberi teguran lagi, “kamu sih gangguin Mas, tidur aja sana!” Seungwoo menyentil dahi kekasihnya.

“Enggak ada, ya! Aku niat temanin, tau!” Seungyoun membalasnya dengan menggigit pundak Seungwoo gemas.

“Eh jangan digigit! Baju aku kotor!”

“Bilang sakit kek!” Seungyoun menampar paha Seungwoo kesal.

Kekehan Seungwoo membuat Seungyoun semakin kesal, dirinya kembali duduk di tempat semula, menatap keluar jendela. Melihat itu, Seungwoo tersenyum dan meraih tangan Seungyoun untuk digenggam, “sudah, jangan ngambek dong. Rugi kalau jalan-jalan begini malah ngambek,” begitu banyak kecupan yang Seungwoo berikan pada tangan Seungyoun.

Sudut bibir Seungyoun naik, dirinya kembali menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo, “kita belok di situ, 'kan?” Tunjuk Seungyoun pada belokan jalan, yang berjarak beberapa meter lagi.

“Iya, habis itu enggak macet lagi soalnya ke arah pantai.”

“Jauh?”

“Tigapuluh menit.”

Seungyoun melihat jam di dashboard mobil, sudah pukul lima, “emabg bisa terkejar ya, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Semoga aja bisa ya, Sayang ....”


Kekhawatiran Seungwoo pun menghilang saat mereka sampai tepat waktu, matahari perlahan mulai tenggelam di arah barat. Seungyoun keluar terlebih dahulu, berlari ke bibir pantai meninggalkan Seungwoo yang memilih berdiri di depan mobil, menyandarkan tubuhnya menatap sang kekasih yang begitu bahagia berlari mengitari bibir pantai.

Mas! Sini!” teriak Seungyoun sambil melambaikan tangannya.

Tak ingin kesayangannya berteriak lagi, Seungwoo menyusul Seungyoun dan duduk di tengah pasir. Pantai terlihat sepi, hanya ada beberapa orang, itu pun penduduk setempat. Pantai yang mereka kunjungi ini bukanlah tempat rekreasi, melainkan pantai biasa tempat nelayan datang dan pergi berlayar menangkap ikan.

“Itu di atas sana apa, Mas?” Tanya Seungyoun menunjuk tempat yang lebih tinggi tak jauh dari rumah penduduk.

“Rumah orang, tempat duduk-duduk, buat lihat sunset tanpa kamu harus turun ke sini.”

“Oh ..., mataharinya bagus ya, Mas?” Seungyoun memilih duduk di samping yang tertua.

“Hmm ..., langitnya bersih, beda kalau di kota,” giliran Seungwoo menyandarkan kepalanya ke pundak Seungyoun.

Seungyoun ikut menyandarkan kepalanya di atas kepala Seungwoo, keduanya diam menikmati pemandang matahari yang perlahan tapi pasti tenggelam.

“Kamu tahu nggak Mas kenapa aku suka sunset?”

“Kenapa?”

“Karena mendiang papa suka pantai dan sunset. Dulu aku sering begini sama papa, jalan-jalan random berdua atau sama mama, hanya untuk cari sunset. Di rumah yang lama dulu dekat pantai, papa sering ke sana ngajakin aku.”

Seungwoo menegapkan tubuhnya menatap sang kekasih, ditangkupnya pipi berisi yang lebih muda, dan dielusnya dengan jempol, “kamu kangen papa?” Tanyanya lembut.

“Kangen, Mas. Setiap hari aku selalu kangen sama papa, setiap lihat tatto aku yang tahun lahir papa, buat aku makin kangen,” Seungyoun menggenggam tangan Seungwoo di pipinya, “tapi aku yakin papa udah tenang di sana, papa selalu ada di sisi aku dan mama.”

Perlahan Seungwoo mendekat dan mengecup lembut dahi Seungyoun, “papa pasti bahagia lihat kamu sekarang, Sayang,” ujarnya lembut.

“Papa pasti lebih bahagia karna datangnya kamu, Mas. Jadi, ada yang jagain aku anak kesayang papa hehehe.”

“Kira-kira kapan kamu ngajakin aku ke makam papa kamu, Youn?”

“Tunggu Mas serius lamar aku.”

“Loh tapi aku kan udah serius, tinggal tunggu lamar aku aja nih?”

“Ah masa, sih?” Seungyoun menyeringai jahil.

“Mulai deh usil, ntar diusilin balik marah!” Seungwoo menggelitik leher Seungyoun, membuat si manis terkekeh geli dan menjauhkan diri dari kekasihnya.

“Hehehe iya iya ampun! Ntar aku ajakin, aku sendiri udah lama nggak ke makam papa. Tahu sendiri gimana sibuknya aku sama kerjaan, Mas.”

“Iya aku paham,” Seungwoo menarik kekasihnya ke dalam rangkulannya.

Langit mulai menggelap, matahari sudah lenyap bagaikan ditelan oleh lautan dan digantikan oleh setengah rembulan. Sepasang kekasih itu masih setia duduk diposisi sebelumnya.

“Pulang, yuk?” Ajak Seungwoo.

“Yuk!”


Perjalanan menuju pantai nyatanya tidak selancar dugaan Seungwoo, di tengah perjalanan mereka terjebak macet karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Seungyoun yang awalnya masih bersemangat pun tertidur karena begitu lama menunggu, melihat kekasihnya tertidur pulas di sebelahnya membuat Seungwoo merasa tak tega.

“Capek banget ya,” gumam Seungwoo sambil mengusap kepala Seungyoun.

Perlahan tapi pasti, dengan kapasitas kesabaran yang ada Seungwoo melewati macet tak berujung ini. Dirinya berdecak kala melihat ponsel menunjukan pukul empat lewat duapuluh menit, dirinya khawatir tak dapat melihat sunset diwaktu yang tepat.

Please ... please ..., please banget ini mah, jangan gagal dong,” bisik Seungwoo kalut.

Mendengar kekasihnya berbisik, membuat Seungyoun terusik dan bangun dengan wajah kebingungan melihat Seungwoo, kemudian melihat keadaan di luar yang masih macet.

“Belum kelar juga macetnya?”

“Belum Sayang, padahal kita tinggal belok aja ke sana tuh dua ratus meter lagi, tapi lama banget.”

“Ya sudah sabar aja,” Seungyoun melingkarkan tangannya di perut Seungwoo, kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak sang kekasih.

“Kenapa nggak tidur lagi, hm?” Seungwoo mengecup kepala Seungyoun.

“Mau temanin Mas pacarku,” yang lebih muda mengusak hidung bangirnya pada rahang tajam Seungwoo, tak lupa memberikan kecupan singkat di sudut bibir.

Mengerti jika kekasihnya dalam mode manja, Seungwoo mengelus pipi berisi kesayangannya, “sini-sini temanin Mas,” kecupan di pipi dan bibir Seungyoun dapatkan dari kekasihnya.

Keduanya saling mengecup wajah satu sama lain, hingga suara nyaring klakson dari arah belakang mengejutkan mereka. “Mas maju, udah jauh banget!” Ujar Seungyoun panik melihat kendaraan di depan mereka telah berjarak.

Buru-buru Seungwoo menjalankan mobilnya sebelum diberi teguran lagi, “kamu sih gangguin Mas, tidur aja sana!” Seungwoo menyentil dahi kekasihnya.

“Enggak ada, ya! Aku niat temanin, tau!” Seungyoun membalasnya dengan menggigit pundak Seungwoo gemas.

“Eh jangan digigit! Baju aku kotor!”

“Bilang sakit kek!” Seungyoun menampar paha Seungwoo kesal.

Kekehan Seungwoo membuat Seungyoun semakin kesal, dirinya kembali duduk di tempat semula, menatap keluar jendela. Melihat itu, Seungwoo tersenyum dan meraih tangan Seungyoun untuk digenggam, “sudah, jangan ngambek dong. Rugi kalau jalan-jalan begini malah ngambek,” begitu banyak kecupan yang Seungwoo berikan pada tangan Seungyoun.

Sudut bibir Seungyoun naik, dirinya kembali menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo, “kita belok di situ, 'kan?” Tunjuk Seungyoun pada belokan jalan, yang berjarak beberapa meter lagi.

“Iya, habis itu enggak macet lagi soalnya ke arah pantai.”

“Jauh?”

“Tigapuluh menit.”

Seungyoun melihat jam di dashboard mobil, sudah pukul lima, “emabg bisa terkejar ya, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Semoga aja bisa ya, Sayang ....”


Kekhawatiran Seungwoo pun menghilang saat mereka sampai tepat waktu, matahari perlahan mulai tenggelam di arah barat. Seungyoun keluar terlebih dahulu, berlari ke bibir pantai meninggalkan Seungwoo yang memilih berdiri di depan mobil, menyandarkan tubuhnya menatap sang kekasih yang begitu bahagia berlari mengitari bibir pantai.

Mas! Sini!” teriak Seungyoun sambil melambaikan tangannya.

Tak ingin kesayangannya berteriak lagi, Seungwoo menyusul Seungyoun dan duduk di tengah pasir. Pantai terlihat sepi, hanya ada beberapa orang, itu pun penduduk setempat. Pantai yang mereka kunjungi ini bukanlah tempat rekreasi, melainkan pantai biasa tempat nelayan datang dan pergi berlayar menangkap ikan.

“Itu di atas sana apa, Mas?” Tanya Seungyoun menunjuk tempat yang lebih tinggi tak jauh dari rumah penduduk.

“Rumah orang, tempat duduk-duduk, buat lihat sunset tanpa kamu harus turun ke sini.”

“Oh ..., mataharinya bagus ya, Mas?” Seungyoun memilih duduk di samping yang tertua.

“Hmm ..., langitnya bersih, beda kalau di kota,” giliran Seungwoo menyandarkan kepalanya ke pundak Seungyoun.

Seungyoun ikut menyandarkan kepalanya di atas kepala Seungwoo, keduanya diam menikmati pemandang matahari yang perlahan tapi pasti tenggelam.

“Kamu tahu nggak Mas kenapa aku suka sunset?”

“Kenapa?”

“Karena mendiang papa suka pantai dan sunset. Dulu aku sering begini sama papa, jalan-jalan random berdua atau sama mama, hanya untuk cari sunset. Di rumah yang lama dulu dekat pantai, papa sering ke sana ngajakin aku.”

Seungwoo menegapkan tubuhnya menatap sang kekasih, ditangkupnya pipi berisi yang lebih muda, dan dielusnya dengan jempol, “kamu kangen papa?” Tanyanya lembut.

“Kangen, Mas. Setiap hari aku selalu kangen sama papa, setiap lihat tatto aku yang tahun lahir papa, buat aku makin kangen,” Seungyoun menggenggam tangan Seungwoo di pipinya, “tapi aku yakin papa udah tenang di sana, papa selalu ada di sisi aku dan mama.”

Perlahan Seungwoo mendekat dan mengecup lembut dahi Seungyoun, “papa pasti bahagia lihat kamu sekarang, Sayang,” ujarnya lembut.

“Papa pasti lebih bahagia karna datangnya kamu, Mas. Jadi, ada yang jagain aku anak kesayang papa hehehe.”

“Kira-kira kapan kamu ngajakin aku ke makam papa kamu, Youn?”

“Tunggu Mas serius lamar aku.”

“Loh tapi aku kan udah serius, tinggal tunggu lamar aku aja nih?”

“Ah masa, sih?” Seungyoun menyeringai jahil.

“Mulai deh usil, ntar diusilin balik marah!” Seungwoo menggelitik leher Seungyoun, membuat si manis terkekeh geli dan menjauhkan diri dari kekasihnya.

“Hehehe iya iya ampun! Ntar aku ajakin, aku sendiri udah lama nggak ke makam papa. Tahu sendiri gimana sibuknya aku sama kerjaan, Mas.”

“Iya aku paham,” Seungwoo menarik kekasihnya ke dalam rangkulannya.

Langit mulai menggelap, matahari sudah lenyap bagaikan ditelan oleh lautan dan digantikan oleh setengah rembulan. Sepasang kekasih itu masih setia duduk diposisi sebelumnya.

“Pulang, yuk?” Ajak Seungwoo.

“Yuk!”


Ternyata walaupun weekday, tempat yang Seungwoo dan Seungyoun kunjungi tetap ramai, banyak pasangan dari kalangan anak muda dan orang tua, bahkan perkumpulan orang-orang yang mengadakan acara.

“Tempat ini biasanya memang ramai ya, Mas?” Tanya Seungyoun yang berjalan sambil menggenggam erat tangan kekasihnya.

“Ramai, tapi weekend aja setahu aku, nggak tahu nih kenapa ramai banget padahal weekday, apa karena cuacanya cerah ya? Jadi enak gitu buat jalan, ngumpul ....”

“Bisa jadi sih Mas, enak banget nih cerah begini lihat pohon-pohon rindang, jarang-jarang kan kita begini?” Seungyoun berjalan mundur, masih menggenggam tangan Seungwoo. Keduanya tersenyum satu sama lain, kemudian terkekeh geli.

“Perasaan aku aja, atau memang kamu juga ikutan berisi?” Tangan Seungwoo terulur ingin mencubit pipi kekasihnya namun segera ditepis oleh Seungyoun.

“Aku diet tau!”

“Diet apa yang tengah malam kemarin makan ayam sampai mabuk?”

“Gara-gara Hyunggu tuh!”

“Malah Hyunggu yang kamu salahin!”

“Hehehehe ...,” Seungyoun berlari kecil menarik tangan Seungwoo.

“Sayang, sebentar deh!” Seungwoo menahan tangan Seungyoun.

“Ada apa?”

Tak menjawab, Seungwoo langsung menarik kekasihnya mendekat dan mengecup pipi berisi itu.

“MAS!” Mata Seungyoun melebar.

“Kamu nggak mau aku cubit, lebih baik aku cium aja, 'kan?”

“TAPI DILIHATIN ORANG!”

“Kamu teriak-teriak gitu makin dilihatin orang Sayang ...,” Seungwoo merangkul kekasihnya, dan lanjut berjalan menuju sungai yang Seungwoo maksud.

Hampir limabelas menit berjalan, namun Seungyoun masih belum melihat atau mendengar tanda-tanda adanya aliran air, “masih jauh ya, Mas?” Tanyanya.

“Kenapa, capek?”

“Iya, mau duduk dulu ....”

“Lihat, sekarang giliran siapa yang udah tua?” Seungwoo mencolek pipi Seungyoun.

“Ih! Aku udah dari tadi ya jalan, semangat terus!”

“Ya sudah, iya iya, seriusan deh kamu bawel banget hari ini!” Seungwoo menekan kedua pipi Seungyoun dengan satu tangannya, sedangkan empunya hanya pasrah sambil memeluk pinggang Seungwoo.

Keduanya duduk di kursi yang sengaja disediakan untuk para pengunjung, Seungyoun menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo dan masih setia memeluk pinggang kekasihnya. Angin berhembus disela-sela ranting pohon, membuat sepasang kekasih ini merasa ngantuk.

“Kenapa ya Mas, kalau habis makan, kenyang, capek, jadi ngantuk?”

“Sifat alamiah manusia, Mas nggak tahu, bukan anak IPA.”

“Aku juga bukan, tapi aku kepo.”

“Ya sudah jangan kepo.” Pukul di dada Seungwoo dapatkan dari kekasihnya, “sakit Sayang!” Kesal Seungwoo.

Bukannya meminta maaf, Seungyoun mengecup pipi Seungwoo, “jangan marah, ntar cepat tua loh!”

“Pintar banget biar aku nggak jadi marah, tuh!” Giliran Seungwoo mengecup kedua pipi Seungyoun dan dahinya. “Lanjut jalan lagi?”

“Ayo!”

Butuh waktu duapuluh tujuh menit untuk pasangan ini sampai di air terjun kecil, kawasan tersebut. Seungwoo melepaskan genggaman pada kekasihnya, membiarkan Seungyoun kagum dengan pemandangan yang ia lihat, “Mas cantik banget ...,” gumam Seungyoun.

“Cantik mana sama Kamu, hm?” Seungwoo memeluk yang lebih muda dari belakang.

“Aku serius, Mas!”

“Aku juga serius, Sayang ....”

Seungyoun menoleh menatap Seungwoo, “ya sudah, cantiknya aku dari satu sampai sepuluh, berapa?”

“Satu dibagi nol.”

“Hah?” Seungyoun keheranan.

“Tak terhingga hehehe.”

“Dih!” Seungyoun menyikut perut Seungwoo.

Sepasang kekasih itu tertawa geli, sambil menatap pemandangan di hadapan mereka. Diam-diam Seungwoo mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kamera ke mereka berdua, “Sayang ...,” panggilnya.

“Hm?”

Chu ~

Seungwoo mengecup pelipis Seungyoun dan menangkap potret keduanya, wajah Seungyoun tampak clueless, namun terlihat begitu imut, dengan Seungwoo yang tersenyum mengecup kekasihnya.

“Eh foto kok nggak bilang-bilang!?” Protes Seungyoun.

“Sengaja, tuh lucu kan kamu?” Seungwoo menunjukan hasil fotonya.

“Mau foto lagi, tampakin air terjunnya!” Pinta Seungyoun setengah merengek.

Akhirnya Seungwoo menuruti permintaan kesayangannya, banyak foto yang mereka ambil, bahkan mereka berjalan lebih dalam mendekat air terjun. Setelah puas keduanya kembali berjalan menuju parkiran, kali ini tak butuh waktu lama karena keduanya memilih untuk berlari dan bertaruh siapa yang terlebih dahulu sampai di mobil.

“MAS SEUNGWOO CURANG!!!” Teriak Seungyoun kesal dari dalam mobil, sesaat setelah berlari.

Napas keduanya berpacu dengan cepat, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, Seungwoo terbahak melihat wajah Seungyoun yang memerah akibat pancaran sinar matahari.

“Kamu saja larinya lambat!”

“Mas tadi tarik hoodie aku!”

“Enggak ada kok.”

“Ada ih curang!”

“Peraturan tetap peraturan, sekarang cium aku!” Seungwoo mendekatkan wajahnya pada Seungyoun.

Wajah Seungyoun merengut, “pokoknya aku anggap curang!” Sinis Seungyoun.

I don't care, and now kiss me!”

Masih dengan perasaan kesal Seungyoun mengecup bibir Seungwoo, saat dirinya ingin melepaskan kecupab itu, dengan cepat Seungwoo menahan tengkuk kekasihnya, dan melumat bibir kesayangannya. Awalnya Seungyoun terperanjat, karena aksi dadakan dari Mas pacar, namun dirinya ikut hanyut dalam ciuman tersebut.

Cukup lama keduanya saling berciuman, hingga Seungyoun yang duluan melepaskan karena membutuhkan pasokan oksigen.

“Tadi nolak, tapi kok ciuman aku dibalas?” Seungwoo menyeringai.

“Tengkuk aku ditahan, ya sudah lanjut aja!”

“Alasan, bilang aja suka!” Seungwoo menarik hidung Seungyoun gemas.

“Hehehehe. Sekarang kita mau ke mana, Mas?”

“Mau lihat sunset di pantai? Jamnya pas banget nih!”

“Mau! Mau! Jauh ya?”

“Sejam setengah aja, nanti di jalan kamu tidur aja kalau capek.”

“Mau karaoke kayak tadi lagi,” Seungyoun menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo, kemudian menyalakan lagu dan melanjutkan perjalanan.


Akhirnya mereka sampai di tempat makan, walaupun restoran tersebut sederhana dan klasik, serta terletak di tengah pasar. Hal itu tak menjadi penghalang bagi para pelanggan untuk datang makan siang. Beruntung kedua pasangan ini mendapatkan porsi terakhir, siang ini pengunjung lebih ramai dari biasanya sehingga persediaan cepat habis.

“Rezeki kamu nih, Youn ...,” ujar Seungwoo setelah memesan makanan mereka.

“Memang anak baik itu selalu dikasi kemudahan, Mas. Hehehehe ....”

Tak perlu menunggu lama, pesanan mereka pun datang. Seungyoun tampak antusias melihat sup tulang yang masih mengeluarkan asap, “wahㅡ segar nih!” Ujarnya.

“Nasinya dua ya, Bu ...,” pinta Seungwoo.

Seungyoun sudah tak memperdulikan orang disekitarnya, dirinya sibuk menatap makanan miliknya. Matanya berbinar, tak sabar ingin menyantap sup tulang yang sudah lama ia inginkan.

“Hati-hati makannya, masih panas, Sayang ...,” Seungwoo memberi peringatan.

“Iya, Mas ...,” jawab Seungyoun lembut dan mulai menyeruput kuah sup tulang yang terlihat bening namun kaya akan rasa dari kaldu daging sapi.

“Gimana?” Tanya Seungwoo penasaran.

Ekspresi Seungyoun tak bisa berbohong, dari wajahnya tergambar jelas jika sup tulang tersebut begitu lezat. Kedua bola matanya melebar, bahkan dirinya secara terus menerus menyeruput kuah sup miliknya.

“Aku nggak perlu bilang apa-apa, Mas pasti udah ngerti. Next time harus ke sini lagi, Mas!”

“Siap laksanakan! Nih nasi punya kamu,” Seungwoo memberikan semangkok nasi kepada Seungyoun.

Keduanya menyantap makanan dengan lahap, sesekali membicarakan pekerjaan dan hal-hal lainnya.

“Habis ini kita ke mana, Mas?”

“Ke sungai yang aku bilang tadi, kamu masih sanggup jalan, 'kan?” Seungwoo terkekeh melihat Seungyoun tampak kekenyang, bersandar pada kursi.

“Masih kok, tenang aja. Enggak lama habis ini aku lapar lagi, masih bisa deh simpan satu minuman lagi di sini,” Seungyoun menunjuka perut bagian kanannya, “kan perut aku ada tiga, tadi pertama udah diisi es, kedua makanan, ketiganya perlu minum.”

“Hahaha ada-ada aja, kamu pikir kamu Appa di Avatar?”

“Itu perutnya lima ya!”

“Oh bukan tiga?”

“Bukan dih! Sok tau Mas Seungwoo nih!”

“Ya kan aku enggak nonton kartun, Sayang ....”

“Tapi nonton Snoopy!” Merasa kalah Seungwoo memilih diam dan beranjak dari kursinya untuk membayar makanan, “ih ngambek ya!?” Panik Seungyoun, menghampir kekasihnya dan memeluk lengan yang menganggur.

“Ngapain, memangnya aku itu kamu?”

“Ish! Selalu nyebelin!” Seungyoun mencubit kesal perut Seungwoo.

“Akh! Iya iya ampun!” Seungwoo menampar pelan tangan Seungyoun, agar lepas dari perutnya.

“Lucunya kalian, baru menikah, ya?” Tanya penjaga kasir sekaligus anak pemilik restoran.

“Eh?” “Eh!” Keduanya sama-sama terkejut dengan pertanyaan wanita yang berusia sekitar tigapuluhan tersebut.

“Eh? Belum menikah?” Tanyanya lagi.

“Hehehe belum, Bu. Dia masih pacar Saya,” jawab Seungyoun diiringi kekehan gelinya.

“Wahㅡ maaf kalau begitu Saya salah paham hehehe. Habisnya kalian tampak serasi satu sama lain, Saya kira sudah menikah. Kalau begitu, semoga segera menikah ya! Ini kembaliannya, terima kasih sudah menikmati hidangan kami!”

“Terima kasih juga doa dan makanan enaknya, Bu! Saya suka sekali! Sup tulang di sini bakal jadi favorit Saya!”

“Kapan-kapan datang lebih awal supaya tidak kehabisan, ya!”

“Siap, Bu! Terima kasih ...,” Seungyoun dan Seungwoo menunduk sopan dan keluar dari restoran.

Keduanya lanjut berjalan menelusuri bagian lain pasar yang belum mereka lewati, “sering-sering ramah gitu dapat diskon loh, Sayang. Anaknya enggak kenal sama aku, kenalnya sama Ayah, Ibu aja.”

“Kalau gitu tunggu aku jadi suamimu aja, Mas. Jadi aku bisa jual nama Ayah sama Ibu kamu!”

“Kreatif banget idemu, tapi harus banget ya jual nama Ayah sama Ibu? Ckckck kebangetan nih!” Seungwoo menyentil dahi Seungyoun.

“Hehehehe maaf Om, maaf Tante!” Seungyoun mengusak wajahnya pada bisep Seungwoo.

Saat keduanya telah keluar dari kawasan pasar, mata Seungyoun melihat càfe kecil tepat di depan mobil Seungwoo parkir.

“Kok aku enggak lihat càfe ini, Mas?” Tanya Seungyoun bingung.

“Aku aja enggak sadar kok, mau masuk?”

Take away minuman boleh juga. Aku lupa tadi kamu janji mau beliin aku es lilin, sengaja kan kamu tadi pilih jalan lain supaya enggak ganti es lilin aku!?” Tunjuk Seungyoun pada wajah Seungwoo.

“Astaga ... enggak Sayang! Jangan khawatir, nanti sama kulkasnya pun aku beli untuk kamu!”

“Benar ya?”

“Iya iya!”

“Aku pegang janji kamu! Sekarang ayo kita ke càfe di sana!” Sambil meloncat kecil, Seungyoun berjalan masuk ke càfe yang berada di tengah-tengah ruko.

Diluar eskpetasi, càfe yang mereka kunjungi tampak bersih, rapi, serta aesthetic seperti pada umumnya tempat yang generasi Z sukai.

“Wangi cookies, Mas.”

“Iya tuh ada cookies, kamu mau?” Tanya Seungwoo setelah menunjuk deretan cemilan di estalase.

“Enggak deh, aku minum aja.”

Alright, aku mau yang ada mangganya, nih uangnya, kamu tolong pesankan ya, aku tunggu di sini,” Seungwoo memberikan selembar uang kepada kekasihnya, kemudian duduk di kursi tunggu dan membiarkan Seungyoun yang memesan.

“Udah encok ya banyak jalan?” Kali ini Seungyoun mendapat kesempatan menggoda Seungwoo.

“Pesan sana!”

“Hehehehe duh seram orang tua marah,” Seungyoun mencolek dagu Seungwoo.

“Aku gigit ya?”

“Enggak!” Seungyoun berlari kecil menuju kasir untuk memesan minuman mereka.

Seungwoo menggelengkan kepalanya, tingkah unik kekasihnya selalu saja membuatnya gemas dan terkadang heran.

“Mas aku stroberi, ya?” Tanya Seungyoun.

“Iya terserah kamu, Sayang.”

“Nanti kita sharing, ya?”

“Aku gigit benaran ya?”

“Hehehehehe ....”

Selesai membeli minum, pasangan ini pun melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan selanjutnya.

“Kamu hari ini bawel banget?” Tanya Seungwoo tiba-tiba ditengah perjalanan.

“Mood aku lagi bagus, makan enak, minum enak, jalan-jalan, sama pacarku juga. Ya masa enggak bawel?” Seungyoun menatap Seungwoo, tangannya mengusap dagu Seungwoo lembut, “aku minta minuman kamu ya!” Ujar Seungyoun dan mengambil minuman Seungwoo yang sedari tadi ia pangku.

“Aku bahkan belum minum loh, Sayang?”

“Aku uji coba dulu takutnya minuman ini ada racunnya, memang kamu mau keracunan?” Seungyoun menyedot minuman Seungwoo hingga setengah cup.

“Heh! Eh! Jangan dihabisin!” Seungwoo menarik tangan Seungyoun agar melepaskan sedotannya.

“Hahaha rasain! Siapa suruh tadi makan es aku banyak-banyak!?” Seungyoun menaikan dagunya seakan menantang Seungwoo.

“Astaga pacarku ini ternyata pendendam ya! Sini sodorin minumannya ke aku!” Seungwoo kembali menarik tangan Seungyoun untuk memberikannya minum.

Seungyoun hanya dapat tertawa saja, keduanya menikmati perjalanan yang menghabiskan waktu empatpuluh menit tersebut, diiringi lagu-lagu kesukaan mereka.


Tak lama Seungyoun siap, bel rumah berbunyi tanda Seungwoo datang. Sang pemilik rumah pun berlari kecil sambil membawa tasnya menuju pintu depan.

“MAS!” Teriak Seungyoun senamg sesaat pintu terbuka, badan berisi itu meloncat untuk memeluk erat sang kekasih.

“Astaga, Sayang!” Seungwoo yang tidak siap, nyaris saja terjatuh menahan tubuh kekasihnya, “kalau jatuh gimana?” Seungwoo menangkup pipi Seungyoun.

“Ya jatuh? Bangun lagi!”

“Ntar sakit dong, Sayang ....”

“Sakitnya kan bareng hehehe,” kecupan singkat Seungyoun berikan pada pipi Seungwoo, “kamu balik dari Singapur kok berisi!?” Tanya Seungyoun heboh, sembari menarik pipi yang tertua.

“Di sana makan enak terus, gimana enggak berisi?”

Make sense sih, kapan-kapan kita yang liburan berdua ke sana dong!”

“Iya nanti, sekalian kita ke Bali bareng, mau?”

“Mau lah!”

Merasa gemas, Seungwoo mengacak rambut Seungyoun, kemudian merapikannya kembali dan mengecup dahi Seungyoun.

“Yuk berangkat, keburu makin siang ntar tempatnya makin ramai.”

“Kita mau makan di mana?”

“Tempat langganan keluarga aku, agak jauh dari sini, tapi kita bisa sekalian jalan-jalan.”

Keduanya berjalan menuju mobil, kemudian memasang sabuk pengaman sesaat setelah masuk ke dalam mobil.

“Kamu sengaja ya rencanain ini jauh-jauh hari setelah pulang tugas?” Seungyoun menatap Seungwoo.

“Kebaca ya? Hehehe,” Seungwoo mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Seungyoun sekilas, “aku yakin kamu bakal suka perjalanan kita hari ini.” Seungwoo pun menyalakan mesin mobil.

“Mas ....”

“Iya?”

Giliran Seungyoun yang memberikan ciuman pada bibir Seungwoo, keduanya saling mencium bibir satu sama lain, seperti tak ada lagi hari esok.

“Tumben?” Tanya Seungwoo setelah ciuman mereka berakhir.

“Kangen hehehe. Yuk pergi!”

Perjalanan pun dimulai, Seungwoo membawa Seungyoun ke suatu daerah yang tak pernah ia datangi sebelumnya.

“Ini deerah mana, Mas? Kok aku baru lihat.”

“Daerah Ibu lahir, pernah di sini juga sebentar tapi aku sama Mba Sunhwa masih kecil-kecil, bahkan aku aja baru bisa jalan.”

“Kok Mas masih ingat?”

“Diceritain Ibu, sering ke sini juga sama Mba Sunhwa. Nah, sop tulang yang mau aku ajakin kamu ini, dulunya Ayah sama Ibu masih pacaran sering ke sini.”

“Wahㅡ kita nostalgia dong, Mas?”

“Iya dong, rasanya juga enak, kamu pasti ketagihan!”

Seungyoun melihat jam tangannya, “enggak kerasa ya Mas udah satu jam, pas banget masuk jam makan siang. Tapi kok nggak macet sih?” Tanyanya penasaran.

“Aku pilih jalan belakang, makanya kamu bingung sama jalannya. Kalau lewat jalan kota sejam nggak bakal sampai, Sayang.”

“Hoalah ... pantasan aja rasanya asing. Eh, ini kita masuk daerah pasar?” Seungyoun tampak heboh melihat suasana klasik dan otentik daerah kelahiran ibu kekasihnya ini.

Kekehan Seungwoo terdengar, merasa geli melihat kekasihnya begitu antusias. Dirinya pun mengendarai mobil perlahan, agar sang kekasih bisa menikmati suasa pasar.

“Nanti kita parkir di tempat khusus, habis itu jalan kaki masuk ke dalam.”

“Oh tempatnya di pasar?”

“Iya, kenapa? Nggak suka?”

“Suka dong! Pasti rasa makanannya asli banget, suasananya juga bagus, kapan-kapan kita jalan ke sini lagi ya, Mas? Aku enggak pernah jalan ke daerah lain selain pantai.”

“Di sini ada semacam danau atau sungai gitu, terus ada air terjunnya, nanti kita ke sana habis makan. Pantai di sini nggak kalah bagus juga loh, Sayang.”

“Mau, mau semuanya! Waktunya sempat kan, Mas?”

“Sempat kok, ini kan weekday jalan nggak begitu ramai.”

Wajah Seungyoun sumringah mendengar agenda yang akan mereka lakukan hari ini, rasanya seperti lahir kembail, setelah sekian lama tak bertemu sang kekasih, ditambah dirinya juga sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan. Perjalanan ini membuatnya bahagia sekaligus healing dari segala penat pekerjaan.

Akhirnya mereka sampai di tempat parkir khusus pasar, Seungyoun segera turun dan mengabadikan berbagai objek.

“Untung aja aku bawa kamera, Mas!”

Sudut bibir Seungwoo naik, dirinya mendekat untuk merangkul Seungyoun dan membawa sang kekasih ke dalam kawasan pasar. Saat masuk, suasana pasar begitu ramai, dan juga begitu banyak barang-barang yang dijual. Mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai jenis daging, makanan laut hingga jajanan khas pasar.

“Pasarnya bersih banget, ini kita jalan sampai ujung luar sana, Mas?” Tanya Seungyoun menunjuk ujung pasar, sambil sesekali menangkap objek dengan kameranya.

“Enggak, tempat makannya di tengah pasar. Bersih, 'kan? Enggak kayak pasar tradisional pada umumnya, malah di sini bagus banget pasarnya. Coba kamu liat ke atas cantik kan ada lukisan langitnya?”

Seunyoun mengikuti arah yang ditunjukan Seungwoo, benar saja cat biru langit dan berbagai komponen langit lainnya seperti burung, awan dan matahari menghiasi langit-langit pasar tradisional ini.

“Cantik banget, aku rela bangun pagi deh demi belanja ke sini! Betah aku, Mas!”

“Ah masa? Kita pindah ke sini aja kalau sudah nikah, mau?”

“Kalau ada rumahnya, kenapa enggak?” Seungyoun menatap Seungwoo, kemudian keduanya tersenyum.

Saat tengah berjalan, mata Seungyoun tak sengaja melihat anak kecil membeli jajanan yang menarik perhatiannya, “Mas, Mas, lihat deh dia jajan apa, tuh?” Tanya Seungyoun, mencolek pundak kekasihnya.

“Hm? Mana?”

“Tuh es yang dimakan, yuk liat! Aku haus nih!” Seungyoun menarik Seungwoo ke toko kelontong terdekat, “siang Pak!” Sapa Seungyoun ramah.

“Siang, Dek! Mau beli apa?” Tanya sang pendagang.

“Es ini Pak, ada rasa apa aja Pak?”

“Ada rasa mangga, semangka, stroberi, melon, vanila sama kacang merah, Dek.”

“Mas kamu mau es pompom yang mana?”

“Eh? Ini namanya es lilin, Sayang.”

Alis Seungyoun naik, “lah bukannya es pompom? Pak, nama es ini es apa?”

“Es lilin, Dek ....”

Seungwoo menahan tawanya, sedangkan Seungyoun sudah memajukan bibirnya merasa malu, “Pak, saya ambil yang mangga ya! Mas, mau apa?” Seungyoun menatap orang di sampingnya.

“Melon aja deh sisa satu tuh.”

Es rasa melon pun di tangan Seungwoo, baru saja Seungyoun ingin membayar es tersebut, Seungwoo sudah mendahului kekasihnya, “terima kasih, Pak!” Ujar Seungwoo ramah.

“Ih kok Mas sih yang bayar? Padahal aku mau traktir!”

Today the bill is on me,” Seungwoo menaikan alisnya.

“Jangan nyesel ya?”

“Enggak!”

Okay then, Pak terima kasih! Yuk, Mas!” Seungyoun menarik Seungwoo, keduanya kembali berjalan menelusuri pasar sambil memakan es yang tadi dibeli. “Seger banget panas-panas makan mangga, punyamu enak nggak, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Enak, mau coba?” Seungwoo menyodorkan es miliknya. Seungyoun pun menggigit sebagian es milik Seungwoo, “hmm enak! Cobain deh punya aku,” giliran Seungyoun menyodorkan miliknya dan dengan jahil Seungwoo menggigit setengah es milik Seungyoun, “MAS SEUNGWOO IH!” Teriak Seungyoun kesal dan mendorong kekasihnya menjauh.

“Hehehehe enak banget, Sayang!” Seungwoo menyeringai jahil.

“Enak lah! Hampir habis nih kamu gigit!”

“Ntar kita beli lagi deh ....”

“Benar ya? Beli lagi ya?”

“Iya Seungyoun sayangku, kasihku, cinta ...,” Seungwoo menarik Seungyoun ke dalam rangkulannya.


Menolak ajakan sahabatnya, Keindra memilih pergi ke perpustakaan untuk menyendiri. Jujur saja, kejadian kemarin masih membekas di hati Keindra dan membuatnya sedikit merasa takut bertemu dengan sosok Haris. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, rasanya begitu canggung dan juga menyeramkan bagi siswa baru yang sudah membuat masalah kepada senior tingkat akhir.

Perlahan Keindra masuk ke perpustakaan yang begitu sunyi dan dingin karena pendingin ruangan. Begitu banyak senior yang tengah mengerjakan tugas, dan hanya beberapa siswa tingkat satu yang sekedar membaca.

Dirinya memilih mengelilingi perpustakaan, hingga berada di ujung ruangan di mana terdapat kumpulan novel dengan berbagai genre. Mata Keindra melebar tanda bahagia, kegemarannya membaca novel seakan dimanjakan oleh sekolah ini. Tak ingin menunggu lama, Keindra pun melihat-lihat novel mana yang ingin ia baca, akibat terlalu serius menelusuri novel dirinya tak sadar menyenggol seseorang yang tengah asik membaca dari tadi di lorong tersebut.

“E-eh maaf, maaf Kak!” Keindra sedikit menjauh dan nenunduk sopan meminta maaf.

“Gapapa santaiㅡ Keindra!?”

Mendengar namanya disebut Keindra langsung menatap orang yang ia tabrak tersebut, seketika matanya melebar melihat Haris di hadapannya dengan tatapan tak senang.

“Ohㅡ wow!” Keindra menepuk dahinya, kakinya perlahan mundur menjauh.

“Wow?” Alis Haris naik.

“Wow novel yang Kakak baca keren banget!” Keindra menunjuk buku di tangan Haris kemudian melarikan diri dari perpustakaan.

“Hei! Jangan kabur!” Teriak Haris yang tak sempat menangkap tangan Keindra.

Shuut!!” tegur siswa di perpustakaan pada Haris.

Decak kesal terdengar dari mulut Haris, “bisa-bisanya tuh anak kabur,” ditutupnya kesal buku yang tadi ia baca, kemudian ia simpan dengan kasar pada tempatnya.


Kaki Keindra terus berlari tak tentu arah, dirinya tak menyangka akan bertemu dengan orang yang sangat ia hindari.

“Ah anjir lah! Kenapa sih dia malah di perpustakaan!? Ngerepotin banget!” Kesal Keindra dan memilih duduk di bangku taman sekolah sendirian.

Dirinya mengatur napas karena kabur lumayan jauh, kepalanya mendongak menatap langit yang berawan, kemudian menghela napas keras-keras.

“Jujur gua takut ... gua takut bakal nyakitin kak Haris lagi. Bahkan kejadian kecil aja masih teringat di otak gua, apalagi yang sekarang ini ...,” Keindra bermonolog sambil menatap langit.

Angin berhembus meniup surai lembut Keindra, mata bulat itu terpejam menikmati angin yang membelai wajahnya. Perasaan sedikit lebih tenang, suasana taman sekolah yang tidak begitu ramai karena berada di belakang sekolah ini menjadi tempat yang tepat untuk menenangkan diri.

“Gua bakal minta maaf sama kak Haris secepatnya, gua nggak mau kak Haris salah paham lagi!”

Keindar memeriksa arlojinya, lima menit lagi jam istirahat selesai dirinya beranjak dari taman dan berniat untuk ke toilet terlebih dahulu.

Saat memasuki toilet, saat itu juga bertepatan dengan seseorang keluar dari salah satu bilik toilet. Bagaikan takdir, orang yang baru keluar tersebut adalah Haris. Mata keduanya bertemu, Keindra tampak terkejut, sedangkan Haris tampak biasa saja menatapnya datar.

Tanpa mengatakan apa-apa Keindra mengurungkan niatnya ke toilet dan langsung saja pergi menuju kelasnya. Melihat tingkah adik kelasnya yang kabur lagi, Haris mendengus kesal sambil menyeringai remeh.


Seperti yang sudah direncanakan tadi pagi, Keindra memisahkan diri dari ketiga sahabatnya yang pergi ke ruang OSIS. Sambil membawa sekotak susu vanila Keindra berjalan-jalan mengelilingi sekolah, sejak hari pertama masuk Keindra belum memiliki kesempatan untuk melihat-lihat kawasan sekolah yang lain.

Kaki Keindra terus berjalan mengikuti nalurinya, hingga tanpa sadar kaki itu berhenti di depan ruang latihan taekwondo. Mata Keindra melebar, tak menyadari bila dirinya sampai di tempat ini.

“Kok bisa di sini sih ...?” Gumamnya pelan.

Mata Keindra menelusuri ruang latihan yang tampak luas dari luar kaca jendela, ada beberapa siswa di dalam sana yang melakukan latihan. Hati Keindra tergerak ingin masuk untuk melihat lebih jelas, namun ia urungkan niatnya dan tetap berdiri di depan pintu ruang latihan.

Hei, kenapa nggak masuk?”

Suara seseorang bertanya di sampingnya membuat Keindra menoleh. Baik Keindra, maupun orang yang tadi bertanya, keduanya melebarkan matanya terkejut.

“Loh kㅡkamu? Keindra, 'kan?”

“Ehㅡ kok Kakak tau?” Keindra terkejut dan sedikit menjauh, segan dengan tatapan orang itu.

“Kenapa menjauh? Aku nggak gigit.”

“Mㅡmaaf kalau tersinggung, Kak. Sㅡsaya takut mengganggu.”

“Enggak, lah! Kenapa diam di sini, kenapa nggak masuk? Bukannya kamu jago taekwondo ya dulu masih kecil?”

Dahi Keindra mengernyit, dirinya kebingungan bagaimana kakak kelasnya tahu jika dirinya jago taekwondo semasa kecil.

“Kok ... tau?” Tanya Keindra ragu.

“Kamu ingat dulu masih kecil pernah tendang anak-anak, terus nangis dan nggak taekwondo lagi?”


Lapangan indoor khusus latihan taekwondo anak-anak tampak ramai seperti biasanya. Keindra kecil begitu antusias dan bersemangat melakukan latihan, karena cita-citanya adalah menjadi atlet taekwondo hingga tingkat internasional.

Kala itu Keindra masih kelas dua di bangku sekolah dasar, namun ambisinya terhadap taekwondo tak dapat diragukan. Dirinya sudah memenangkan medali untuk tingkat junior, sehingga tak heran Keindra menjadi anak didik kesayangan pelatihnya.

Hari ini, hanya jadwal latihan biasa, tidak ada persiapan untuk pertandingan. Keindra melihat ada anak baru datang bersama ibunya, badannya sedikit berisi dan tampak percaya diri memasuki ruang latihan mengenakan baju latihannya.

“Keindra, itu anak baru. Minggu lalu masuk saat kamu tanding, dia lebih tua dari kamu, sudah kelas empat. Latihannya hati-hati sama dia, ya?” Ujar sang pelatih kepada si kecil Keindra.

Mendengar pesan sang pelatih si kecil Keindra tersenyum lebar dan mengangguk semangat, “baik pelatih!” Ujarnya.

Latihan pun dimulai, seperti biasa setelah mempelajari beberapa gerakan, sesi selanjutnya adalah mempraktekan gerakan tersebut. Semua peserta didik sudah dipasangkan, termasuk Keindra dan si anak baru.

“Haris, ini Keindra. Dia jagoan taekwondo di sini, kamu hati-hati sama dia, ya?” Pelatih meberi peringatan kepada Haris ㅡsi anak baruㅡ.

Namun, Haris tampak biasa saja. Sedangkan Keindra telah tersenyum ramah kepadanya, “salam kenal Kak Haris! Aku kelas dua, kata pelatih Kakak kelas empat, ya?”

“Iya, kamu jago banget taekwondonya?” Tanya Haris.

“Aku kemarin dapat medali emas!”

“Wahㅡ”

“Anak-anak! Kita mulai gerakannya ya!” Teriak sang pelatih.

Keindra dan Haris mulai menyiapkan kuda-kuda, keduanya melakukan gerakan yang telah diajarkan. Keindra dapat mengelak serangan Haris, baginya gerakan ini begitu mudah. Giliran Keindra yang melakukan serangan, namun Haris lengah dan dadanya pun terkena tendangan Keindra. Badan berisi Haris jatuh, si kecil Keindra terkejut tak percaya jika haris terlentang di matras karena tendangannya.

“Kak Haris!” Teriak Keindra.

Sang pelatih yang mendengar teriakan Keindra langsung berlari menghampiri keduanya, Haris sudah menangis masih dengan posisinya. Ibu Haris menyusul sang anak dan membujuk Haris agar berhenti menangis. Sedangkan Keindra menahan nangisnya, merasa bersalah karena sudah membuat Haris menangis.

Sejak saat itu, Keindra tak pernah melihat Haris datang latihan lagi. Pelatih mengatakan jika Haris berhenti berlatih taekwondo.


“Ahㅡ Kak Haris, ya?” Tanya Keindra kepada kakak kelasnya.

“Wahㅡ kamu masih ingat?” Wajah Haris sumringah saat namanya disebut.

“Masih, masih banget, Kak! Maaf ya buat kejadian dulu, aku nggak ada kesempatan buat minta maaf, Kakak udah keburu berhenti,” Keindra tampak bersalah menatap Haris.

“Gapapa, aku malah senang akhirnya bisa ketemu kamu. Kamu kelas berapa?”

“Sepuluh IPS satu, Kak. Kalau nggak salah kita pernah ketemu pas hari pertama, 'kan? Di depan toilet sama kak Satria.”

“Kamu kenal Satria?”

“Enggak, aku lihat nametagnya hehe.”

“Ohㅡ kirain hehe. Kamu kenapa diam aja di sini? Mau masuk ambil formulir? Ayo aku temanin!” Tiba-tiba Haris merangkul Keindra, hendak membawanya masuk ke ruang taekwondo.

Namun, karena terkejut Keindra reflek menahan dan menarik pergelangan tangan Haris, kemudian dirinya menggelintir lengan kakak kelasnya tersebut. “Arghh!! Arghh!! Sakit woi!!” Hal itu sontak membuat Haris teriak kesakitan dan mengundang perhatian orang-orang.

Langsung saja Keindra melepaskan lengan Haris, wajahnya tampak panik mendapat tatapan dari beberapa siswa yang ada di sana, “KㅡKak anu ... argh!!” Keindra memilih kabur karena takut dihakimi.

“WOI JANGAN KABUR!!” Teriak Haris tidak terima ditinggalkan begitu saja.

Ah anjir tuh anak, lagi-lagi nyakitin!” batin Haris kesal.


Pagi hari seperti yang sudah dijadwalkan, Keindra datang ke sekolah diantar oleh sang papi. Sesampainya di sekolah, ketiga sahabat Keindra sudah menunggu dirinya di parkiran khusus siswa.

“Keindra buruan!” Teriak Wira sambil melambaikan tangannya melihat Keindra berjalan pelan dari gerbang sekolah.

“Cepat banget datangnya!?” Tanya Keindra dengan nada sedikit naik karena terkejut.

“Lu yang kelamaan! Mentang-mentang sekolah dekat rumah,” rambut Keindra diacak gemas oleh Wira.

“Wira jangan rusak rambut gua, ih!” Tangan sahabatnya ia tepis kasar.

“Udah, udah! Ke lapangan yuk, keburu siang ini mah, di dalam juga udah ramai,” Candra langsung melerai keduanya, merangkul Keindra dan masuk ke lingkungan sekolah.

Benar saja, sesampainya di tengah lapangan sekolah begitu banyak siswa baru yang hanya sekedar melihat-lihat, dan juga berhenti di beberapa stand ekskul yang tersedia di sekolah ini.

“Ini kenapa serasa di pasar malam,” celetuk Wira. Membuat tiga orang yang jalan terlebih dahulu di depannya langsung balik badan sambil menatapnya datar. “Gua salah ngomong?” Tanya Wira dengan wajah bingungnya.

“Serah lu dah Wir. Yosh, lu mau langsung cek ke stand basket?” Tanya Candra kepada Yoshep.

“Ayo! Gua rasa kayaknya udah ramai banget, tuh!” Yoshep melihat stand basket yang tidak jauh di depan mereka.

“Keindra, gua sama Yoshep duluan ke stand basket, ya. Lu mau ikut atau pisah aja nanti kita ketemu di kantin?” Candra menatap Keindra yang masih tampak kebingungan tak ada tujuan.

“Hm? Gua sama Wira aja deh, ya kan Wirㅡ” Keindra terdiam saat tak melihat Wira lagi di tempat ia berdiri tadi, “WIRA MANA!?” Teriak Keindra kesal, hingga menjadi pusat perhatian.

“Shuut! Suara lu itu loh!” dengan gemas Yoshep menarik pipi Keindra, membuat empunya cemberut.

“Noh Wira udah jalan ke mana-mana, kayaknya mau modus tuh anak,” Candra menunjuk sahabat tingginya yang sudah berjalan mengelilingi stand ekskul.

“Yaudah kalau gitu, pisah aja deh ntar kita ketemu di kantin, ya?” Keindra melepaskan rangkulan Candra.

“Beneran gapapa, nih?” Tanya Yoshep memastikan.

“Gapapa kok, enggak bakal diculik gua mah!” Jawab Keindra santai.

“Oke deh, kita duluan ya. Kalau ada apa-apa telepon atau chat gua aja, sip?” Candra menepuk pundak Keindra dan segera pergi bersama Yoshep, sesaat Keindra menjawab dengan anggukan.

Kaki Keindra membawanya mengelilingi lapangan yang luas tersebut, dapat ia lihat Wira ke sana ke mari asik mengobrol bersama teman angkatan lainnya, dirinya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.

“Selamat Pagi di ekskul seni! Silahkan dilihat-lihat dulu, Dek!” Keindra tersenyum ramah kepada senior perempuan yang menawarkannya masuk ke stand seni.

Dirinya pun masuk ke stand tersebut, beberapa alat musik, melukis bahkan set kamera pun dipamerkan. Tak hanya itu, ada deretan piala, piagam dan foto-foto dari anggota ekskul seni.

“Ini band sekolah ya, Kak?” Tanya Keindra menunjuk foto yang dipajang.

“Iya, kami sering ikut lomba dan nampil diberbagai acara. Selain itu ada cinematografi juga, itu spesialisnya ketua ekskul ini namanya kak Helmi. Sering banget ikut lomba film pendek atau lomba fotografer dan selalu jadi juara. Bisa dilihat dulu brosurnya Dek, mana tau kamu minat,” senior tersebut memberikan selembar kertas berisikan informasi ekskul seni.

“Wah keren! Selain itu yang ramai apa lagi, Kak?”

“Melukis juga banyak peminatnya, kalau kamu masuk ke ekskul seni nanti ada sesi wawancara kamu mau masuk divisi apa, untuk divisi melukis biasanya kami ikut lomba membuat poster, pameran tingkat sekolah. Selain itu juga ada menari, tari modern maupun tradisional, Dek.”

Mendengar penjelasan seniornya hati Keindra sedikit tergerak ingin masuk ke dalam ekskul seni. Diam-diam begini, Keindra juga bisa bernyanyi dan gemar melukis, sejak kecil dirinya sangat menyukai melukis.

“Nanti saya pertimbangkan lagi ya, Kak. Terima kasih penjelasannya,” Keindra menunduk sopan dan keluar dari stand seni.

Kemudian ia berjalan lagi, melewati stand ekskul karya ilmiah, di mana Joan selaku ketuanya. Dapat ia lihat Joan tengah sibuk menjelaskan kepada siswa baru yang datang ke stand mereka, mata keduanya bertemu dan Keindra hanya dapat tersenyum sambil melambaikan tangan ke tetangga sekaligus kakak angkatnya tersebut.

Joan melihat Keindra sendiri bertanya dengan menggerakan bibirnya, “sendirian, temannya mana?”

Mencar,” jawab Keindra sambil menunjukan lapangan. Joan mengangguk dan memberi kode kepada Keindra jika dirinya sedang sibuk.

Paham bila Joan tak dapat diganggu, Keindra kembali berjalan hingga sampai di ekskul yang sangat ingin ia masuki, namun hati kecilnya merasa sakit dan sedih saat berdiri di depan stand tersebut, stand taekwondo.

Tubuh Keindra berdiri diam di depan stand tersebut, tak ingin masuk, hanya ingin menatapnya saja. Mata Keindra tampak berlinang melihat deretan medali dan piala para pemenang, serta baju seragam taekwondo. Sudut bibir Keindra naik, menampakan senyum getir yang terlihat menyedihkan.

Di sisi lain, stand badminton yang terletak di sebelah stand taekwondo tampak ramai dengan para siswi-siswi seperti ucapan Satria sebelumnya, yang hanya ingin melihat Haris. Sang ketua ekskul badminton tersebut tampak sedikit kewalahan menangani banyaknya siswa baru yang datang ke stand mereka.

Tak sengaja matanya melihat Keindra yang tampak murung berdiri di depan stand taekwondo, hal itu tentu saja membuat Haris kebingungan, ada apa dengan sosok orang yang selama ini ia cari.

Tak ingin berlama-lama di sana, Keindra pun memutuskan untuk pergi dan pulang saja. Tak ada lagi alasan dia untuk tetap di sini, walaupum bersifat wajib, baginya ini hanya pameran biasa saja untuk mengenalkan ekskul sekolah. Keindra pun pergi meninggalkan lapangan, dan semuanya tak lepas dari pandangan Haris.

“Eh, tolong gantiin gua sebentar dong. Kebelet nih!” Ujar Haris kepada rekannya.

Akhirnya Haris dapat lolos dari kerumunan orang-orang tersebut, ia melihat sekeliling lapangan dan tak menemukan keberadaan Keindra. “Tuh anak ke mana lagi!?” Tanya Haris kepada dirinya.

Haris pun berlari keluar lapangan sekolah menuju lobi, dan ia pun melihat keindra yang sedang berjalan menuju halte bus di depan sekolah. “Kemana tuh anak, mau pulang?” Masih bermonolog, Haris berlari lagi hendak menyusul Keindra.

Namun, baru saja Haris mendekat ke pagar sekolah, sebuah mobil sedan hitam berhenti di halte bus dan Keindra masuk ke dalam mobil tersebut. Membuat Haris terdiam di dekat pagar sekolah, menatap heran kepergian mobil yang menjemput Keindra tadi.

“Sebenarnya ada apa?”


Hari pertama sebagai siswa SMA nyatanya tak begitu spesial bagi Keindra, pagi-pagi dirinya sudah mendengar suara heboh Maminya menyuruh dirinya segara berangkat agar tidak terlambat, padahal masih ada satu jam lagi untuk waktu masuk.

“Kei! Cepat! Papi kamu udah tungguin!”

“Astaga ... iya Mami iya, ini Kei udah siap!”

“Kamu mau terlambat hari pertama? Jangan ngada-ngada ya, Keindra!”

“Aku berangkat dulu, Mi!” Keindra menyalami tangan Maminya terlebih dahulu sebelum keluar rumah.

“Keindra, kamu belum peluk sama cium Mami.”

Alis Keindra naik, “tapi aku udah SMA, Mi!?” Sergah Keindra.

“Enggak ada, kamu tetap anak bayi Mami, cepat peluk sama cium Mami!”

Menghela napas keras-keras, Keindra masuk ke dalam pelukan sang Mami yang sudah tersenyum jahil, sengaja mengerjai anaknya yang mudah sekali merajuk.

“Baik-baik ya di sekolah barunya, kalau ada apa-apa kasih tahu Mami. Jangan jauh-jauh sama Wira, Yoshep, mereka kan pengawal kamu,” pipi berisi Keindra ditangkup oleh wanita paruh baya yang begitu mirip dengan Keindra, dikecupnya kedua pipi sang anak gemas.

“Iya Mami, lagipula aku udah gede, enggak mungkin sama mereka terus pasti mereka ada kesibukan sendiri.”

“Seenggaknya masih tetap sama mereka, Sayang. Mami berani jamin antara Wira sama Yoshep pasti sekelas bareng kamu, karena mereka jurusannya sama dengan kamu.”

“Hmmm ... Kei pergi dulu ya, Mi. Wish me luck, I love you!” Keindra menyempatkan diri membalas kecupan Maminya di pipi, dan berlari kecil menuju mobil, di mana Papinya sudah menunggu sedari tadi.

Di perjalanan menuju sekolah Keindra sibuk dengan ponselnya, Wira sudah heboh bertanya di mana Keindra dan Yoshep, mengapa kedua sahabatnya ini belum juga datang. Sedangkan Wira dan Candra sudah menunggu di dekat aula sekolah.

“Keindra, kamu gugup?” Tanya sang Papi tiba-tiba.

“Hm? Enggak, Pi. Gimana mau gugup kalau masuk sekolah barengan dengan teman-teman aku lagi.”

“Kalian semua tuh ya sudah seperti anak kembar, kemana-mana barengan.”

“Padahal awalnya enggak ada yang tau loh Pi kami daftar ke SMA yang sama. Kita udah asumsi bakal pisah pas SMA, nyatanya ketemu, malah Yoshep sama Wira sejurusan sama aku.”

“Hahaha ya begitu lah namanya teman, Nak. Lagi pula nanti kalian pasti sibuk masing-masing, kamu bisa dapat teman baru juga.”

“Iya Papi ....”

Sesampainya di sekolah barunya, Keindra tak menyangka akan lebih ramai. Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu dan jas almamater sekolah berwarna merah, memakai berbagai macam jenis motor, ada yang baru turun dari bis sekolah dan ada juga yang diantar seperti dirinya, tanpa sadar Keindra menelan salivanya gugup.

“Sudah sampai, hati-hati ya Nak, jadi anak yang baik, pintar, penurut. Kalau ada senior macam-macam kasi tau, sip?” Kepala Keindra dielus oleh Papinya.

“Sip Pi! Aku masuk sekolah dulu ya, wish me luck Pi,” Keindra menyalami tangan Papinya dan turun dari mobil.

Kaki Keindra berjalan pelan memasuki gerbang sekolah di mana ada satpam dan guru pengawas menunggu.

“Selamat pagi, Pak!” Sapa Keindra kepada dua orang dewasa yang ia lihat.

“Pagi! Anak baru, ya? Langsung ke aula ya, masuk lurus aja,” ujar guru pengawas.

“Baik, Pak. Terima kasih!” Keindra menunduk sopan dan segera berjalan sesuai arahan.

Sambil berjalan Keindra melihat sekeliling sekolah barunya, sesekali ia tersenyum dan menunduk sopan kepada seniornya. Walaupun seragam mereka sama putih abu-abu, namun yang membedakannya terletak pada almamater, untuk senior pada bagian dada kanan terdapat tanda garis sesuai dengan tingkat mereka, dua garis untuk tingkat dua dan tiga garis untuk tingkat tiga, sedangkan Keindra yang masih tingkat satu, memiliki satu garis pada almamaternya.

Dari kejauhan Keindra dapat melihat Wira dan Candra duduk di depan aula, sepertinya menunggu kedatangan dirinya dan Yoshep.

“Keindra! Lama banget lu!” Teriak Wira dari jauh, hal itu sontak menjadi pusat perhatian para senior dan teman seangkatan mereka.

Rasanya Keindra ingin menutup wajahnya saja karena merasa malu, temannya ini selalu saja membuat keributan, ditambah badan Wira yang tinggi menjulang seperti tiang listrik membuat orang-orang semakin mudah melihatnya.

Buru-buru Keindra berlari menghampiri Wira dan Candra, langsung saja ia memukul Wira dengan kesal, “bisa nggak sih jangan bikin gua malu!? Baru hari pertama Wira, udah meresahkan aja lu!” Omel Keindra.

“Ish! Salah mulu gua, lu tuh lama banget sama Yoshep kenapa sih, giliran gua yang datang awal malah keawalan banget, untung ada Can!”

“Seriusan Kei, Wira datangnya udah dari ini sekolah masih sepi tau,” Can menjelaskan.

“Lah tumben lu, kesambet apa?” Keindra heran.

“Gua mau buktiin kalau gua bisa rajin! Tuh Yoshep baru datang,” Wira menunjuk temannya yang berjalan dengan santai sambil tersenyum.

“Pada rajin ya masuk SMA. Rambut lu Wira, beneran kagak lu potong? Sumpah ya,” Yoshep menggelengkan kepalanya.

“Gua bilang kan kagak bakalㅡ”

“Adik-adik yang masih di luar aula silahkan masuk! Acara sebentar lagi dimulai!” Teriak salah satu senior dari depan pintu aula.

“Yuk masuk,” Candra menarik tangan Keindra dan Wira bersamaan masuk ke dalam aula, sedangkan Yoshep mengikuti mereka dari belakang.

Saat memasuki aula, ternyata aula sekolah baru Keindra terlihat besar dan megah. Keindra tidak menyangka jika sekolah barunya ini begitu elit, dirinya mendaftar ke sini hanya karena sekolah ini dekat dari rumahnya.

Dapat Keindra lihat ada sebuah podium di aula tersebut dan jejeran kursi-kursi yang telah diisi beberapa oleh para guru. Kemudian datang laki-laki dengan tubuh mungil, mengenakan almamater berwarna merah dengan tiga garis kuning namun ada lencana bintang berwarna emas, dirinya terlihat tegas dan berwiba naik ke atas podium, “kepada seluruh siswa baru dimohon untuk duduk dengan rapi di kursi yang sudah disediakan di sebelah kiri. Kepada siswa tingkat dua dan tingkat tiga, dimohon untuk duduk di kursi yang sudah disediakan di sebelah kanan. Upacara penyambutan murid baru akan segera dimulai.” Laki-laki tersebut langsung pergi dari podium.

“Itu tadi kak Beril?” Tanya Yoshep.

“Iya, dia ketua OSIS sekolah ini,” jawab Keindra.

“Beda banget ya kak Beril di sekolah sama di rumah,” Candra menimpali.

Empat sekawan ini duduk berjejeran di bagian tengah kursi, sesekali mereka mengobrol dengan teman angkatan lainnya sambil menunggu acara dimulai.


Di sisi lain, tempat para senior duduk ada tiga laki-laki yang juga duduk berjejeran sambil melihat-lihat murid baru yang berdatangan dan mengisi kursi kosong.

“Lu enggak ngerekam, Mi?” Tanya Satria yang tengah sibuk merapikan dasinya, kepada Helmi.

“Udah sama anak buah gua. Ck! Lu nih ya, makanya jangan begadang, udah tau mau masuk sekolah, telat kan lu, ribet lagi pasang dasi!” Helmi membantu Satria merapikan dasi, bahkan kerah seragam dan rambut Satria yang tampak berantakan.

“Gua kira masuknya lusa, rupanya kemarin tuh minggu ya? Gua kira sabtu anjir!” Satria membela diri.

“Halah bilang aja lu memang males mau masuk, Sat. Karena lu pikir ini hari pertama, kan? Coba Beril kagak ngancam lu, pasti sekarang lu masih tidur di kamar,” ujar Haris.

“Hehehe tau aja lu Ris, by the way lu liatin siapa sih? Dari tadi gua perhatiin lu ngeliat ke arah anak baru. Ada dedek gemes yang lu incer ya?” Satria ikut melihat arah pandang Haris yang sedari tadi memperhatikan kumpulan anak baru.

“Kagak, gua cuma lihat ada muka yang nggak asing gitu tadi duduk bareng temennya,” jawab Haris seadanya dan kembali melihat ke arah podium.

“Siapa?” Satria masih penasaran.

“Kepo lu.”

“Dih! PMS lu? Dari pagi keliatan bete mulu, heran gua.”

“Udah lah Sat, jangan ditegur biarin aja kenapa sih, coba lu diem acara udah mau mulai!” Tegur Helmi dan Satria pun diam.

Haris kembali melihat ke arah anak baru, dahinya mengernyit melihat laki-laki manis yang tengah tertawa bersama teman-temannya, “itu lu bukan sih?” batinnya.


Upacara penyambutan murid baru pun telah selesai, sebagian murid sudah keluar dari aula, beberapa siswa baru juga mulai mencari kelas baru mereka. Saat acara tadi kelas mereka langsung dibagikan, dan benar saja prediksi Mami Keindra, dirinya sekelas dengan Yoshep dan Wira berada di kelas sebelah. Seperti takdir, ketiganya tak bisa berpisah jauh sedetik pun.

“Ciee anak IPA kelasnya lain, gedungnya lain, ciee!” Wira menjahili Candra sambil berjalan menuju kelas mereka.

“Diem lu! Lu juga sendirian kali pisah sama mereka,” Candra memukul punggung Wira kesal.

“Tapi jurusan gua sama dengan mereka, at least gua kagak perlu jalan dari gedung B ke gedung A hahahaha!”

“Sumpah lu ya Wir, belum gua lempar bola basket kayaknya belum kapok.”

Wira langsung terdiam saat mendapat tatapan sinis dari Candra, kedua sahabatnya yang lain sedari tadi memperhatikan perdebatan mereka hanya dapat terkekeh geli.

“Udah lah, cuma perkara jurusan doang, pisah kelas, not a big problem, guys!” Keindra merangkul kedua sahabatnya, walau agak kesusahan merangkul Wira karena tinggi mereka yang berbeda duapuluh senti.

Mereka pun berhenti tepat di depan toilet, lokasi ini satu-satunya akses yang memisahkan antara gedung A dan gedung B, Candra memandangi ketiga sahabatnya dan tersenyum lebar, “semangat ya kalian semua hari pertamanya, good luck!”

You too!” Jawab serentak ketiganya.

Mereka menatap kepergian Candra dalam diam, “kasihan ya, padahal kalau boleh Candra pasti udah sekelas sama gua,” ujar Wira.

“Ya mau gimana lagi, kayak nggak tau Ayah Candra aja,” Keindra menambahkan, “kalian masuk ke kelas dulu sana, Yosh gua titip tas ya, mau ke toilet dulu, kebelet gua.” Keindra memberikan tasnya pada Yoshep dan mendorong dua 'pengawal'-nya agar pergi dari depan toilet.

“Hati-hati ditelan kloset!” Teriak Wira, namun Keindra tak memperdulikannya.

Beberapa menit kemudian Keindra telah menyelesaikan urusannya, baru saja ia ingin keluar dari toilet tiba-tiba dirinya menabrak dada seseorang.

“Aduh maaf!” Keindra mengelus dahinya

“Eits! Gapapa?” Orang tersebut menggenggam kedua pundak Keindra dan menunduk untuk menatap dirinya.

Keindra pun mendongak, dirinya mengerjapkan mata saat melihat wajah orang tersebut begitu dekat dengan dirinya, “ngga- gapapa, aku gapapa kok, Kak!” Ujarnya gugup.

“Lain kali hati-hati ya, kalau jalan jangan nunduk,” kedua pundak Keindra ditepuk oleh orang itu dan keduanya tersenyum.

“Satria! Lu ya gua bilang tunggu malah lari duluan ke toilet!”

Orang yang dipanggil Satria itu menoleh ke belakang, di mana ada laki-laki dengan wajah merengut kesal menghampiri mereka berdua. Keindra menyempatkan diri melihat nama pada almamater laki-laki yang masih mengenggam pundaknya ini, “Satria Mahendra, kayaknya senior deh, ada tiga garis,” batin Keindra.

“Lu sih kelamaan di aula ngomong sama Beril!”

“Eung?” Keindra menaikan alisnya saat mendengar nama yang tak asing baginya.

“Kenapa? Eh sorry sorry malah keterusan pegangnya hehehe,” Satria melepaskan genggaman pada pundak Keindra.

“Hehehe gapapa, Kak,” Keindra menunduk sopan.

“Lu ngapain anak baruㅡ” laki-laki lain yang baru datang seketika terdiam saat melihat Keindra, tatapan matanya terlihat intens menatap Keindra.

Tanpa sadar tatapan seniornya ini membuat Keindra canggung dan dirinya berusaha untuk terlihat biasa saja namun gagal, “e-ekhem! K-kak, saya permisi dulu ya masuk ke kelas.” Perlahan Keindra mundur dan langsung berjalan cepat menunju kelasnya.

“Woi! Ngapain lu tatap anak orang begitu? Kasihan noh ketakutan!” Satria memukul kepala Haris.

“Shhㅡ sakit anjir!” Haris meninju bisep Satria kesal, “lu ngapain tadi sama tu anak?” Tanya Haris.

“Kenapa? Itu dedek gemes lu?” Satria menaik turunkan alisnya.

“Gua cuma tanya, kayak kagak ada tempat bagus aja di depan toilet,” Haris masuk ke toilet terlebih dahulu, sengaja menyenggol pundak Satria.

“Hohoho boleh juga selera lu, Bro!” Ejek Satria kepada temannya yang masuk ke salah satu bilik toilet.

Sebelum menutup pintu, Haris menyempatkan diri mengangkat jari tengahnya kepada Satria, sontak saja laki-laki tinggi kurus itu terbahak puas telah berhasil menggoda Haris.


Seungyoun, I heard that. Heard What? You broke up again... Ohㅡ hmm yeah... I'll be there. I know you need me right now! It's okay Hyunggu, I'm okay here ...

Panggilan terputus, Seungyoun menghela napas keras-keras. Ia menatap langit kamarnya yang gelap dan menoleh ke arah jendela, menampakan bulan purnama yang begitu indah seakan menerangi perasaannya yang suram.

Pukul 23.30 Seungyoun masih tak dapat memejamkan matanya, pikirannya begitu penuh, perasaannya begitu cemas. Dirinya bingung, semua terasa begitu kosong, namun di sisi lainnya hatinya merasa sakit seperti yang sering ia rasakan sebelumnya. Terlalu sering merasakan sakit hingga sudah begitu kebal.

Memasuki tengah malam dan benar saja. Sahabat kesayangan Seungyoun datang, laki-laki manis bernama Hyunggu ini, merupakan sahabatnya sejak menduduki bangku SMA. Kedekatan keduanya sudah bagaikan saudara kandung, tak heran hanya dengan mendengar kabar putusnya Seungyoun, membuatnya langsung menuju rumah sahabatnya.

“Kali ini kamu nggak nangis?” Hyunggu duduk disudut kasur dengan tatapan bingung kepada Seungyoun.

“Memangnya aku kamu, apa?” Ejek Seungyoun.

“Yak!! Tapi aku putus nggak sesering kamu!!”

“Tapi kamu pernah putus.”

“Hanya sekali!”

“Ya ... ya ... ya ....”

Hyunggu merebahkan badannya di samping Seungyoun. Tempat tidur yang tidak begitu besar tersebut, harus dipaksa untuk digunakan oleh dua orang yang badannya bisa dibilang tidak begitu kecil. Bahkan, pundak keduanya menempel satu sama lain, sambil berbagi selimut bersama, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

“Kenapa harus di tahan, Youn?”

“Aku nggak nahan apa-apa, Ggu ....”

“Lantas, kenapa? Aku tau kamu nggak baik-baik aja.”

I'm okay.”

You are not.”

“Hyunggu ....”

“Mata nggak pernah bisa bohong, Seungyoun.”

Hela napas keras Seungyoun lepaskan. Hyunggu masih setia menunggu sahabatnya untuk mengutarakan isi hatinya.

“Aku bahkan udah nggak bisa nangis, hati aku udah terlalu hampa, semua yang aku rasakan hanya sakit. Namun, sakit ini ... sakit yang sudah terlalu sering aku rasakan, sampai aku berpikir rasa sakit mana lagi yang belum pernah aku rasakan.”

“Youn ....”

You know what, Ggu? Love is not about, you want it, you take it, and then you will be happy.

Then what?”

Love is ... you want it, but you've to give everything for the things you want to be happy. You give all that things for what you want, you think you will be happy, but ... no ... you are not. You forget about the bad things will be happen if you give everything.”

Empty?”

More than that. Empty, sadness, unhappy.”

“Tapi Seungyoun, at least you've been happy with him, you even get back together many times with, Seungwoo.”

It's because I'm afraid to feel empty. Which makes us always come back together, because we both are not ready to feel empty, we are both too stupid to keep this and unable to let each other go.

So, are you ready now?

I don't know ... I just ... I just want to be more serious about this. I won't to getting back again, I'm so fucking tired with this all.”

Tangan Hyunggu menggenggam tangan Seungyoun dibalik selimut, jempol itu mengelus buku jari Seungyoun lembut menenangkan sang sahabat.

“Jangan di tahan, aku tau kamu hanya pura-pura merasa kosong. Sebenarnya masih ada Seungwoo di hatimu, Seungyoun. Seperti yang kamu bilang, kamu memberikan seluruhnya untuk kebahagiaan kamu, hingga kamu merasa kosong karena sudah tak ada yang tersisa bagian dari dirimu. Tapi, apa kamu sadar sesuatu? Bagian dirimu yang hilang itu digantikan oleh, Seungwoo,

“Pikiranmu ...,” Hyunggu mengelus kepala Seungyoun, “hatimu ...,” tangan itu turun ke dada Seungyoun, kemudian mata keduanya bertatapan, “semua sudah diisi oleh Seungwoo, sumber bahagia kamu, yang kamu sendiri sudah lupa tujuan awal mengapa kamu memberikan semuanya itu, demi Seungwoo. Demi bahagia kamu.”

Mulut Seungyoun mengatup erat, terus menatap mata sang sahabat yang begitu teduh dan lembut.

“Cinta itu simbiosis mutualisme, saling memberi dan saling menguntungkan. Namun, jangan lupakan satu hal, disetiap keuntungan pasti ada kerugian. Cinta bukan hanya sekedar rasa bahagia, jika kamu sudah berniat memberikan seluruhnya, itu artinya kamu sudah siap dengan resiko sakit yang akan datang kelak. Karena cinta itu sebuah paket, paket rasa bahagia dan sakit jadi satu, yang harus kamu bawa disepanjang hubunganmu,

“Cinta itu sebuah kesalahan, di mana sebuah kesalahan selalu ada cara untuk memperbaikinya. Seperti aku dan Hongseok, walaupun kita pernah memutuskan berakhir satu kali, pada akhirnya kita kembali lagi karena sudah menemukan cara terbaik untuk memperbaiki kesalahan itu. Nggak mudah dan nggak sebentar. Kita pernah berakhir selama enam bulan asal kamu tau, aku pernah merasa kosong, aku bingung, karena aku denial dengan diriku. Aku denial bahwa Hongseok masih ada di hatiku, dia sebenarnya sumber bahagia aku, hanya saja kami terlalu bodoh tidak mengerti untuk memperbaiki ini.”

“Tapi aku udah berkali-kali coba perbaiki, Ggu!”

“Kamu aja? Bagaimana dengan Seungwoo, apa dia pernah coba? Atau coba kamu pikirkan, mungkin ada yang salah denga cara kalian memperbaiki itu. Bagaikan rumus fisika, semua soal harus dipecahkan dengan cara yang tepat agar mendapatkan hasil yang akurat,

“Seungyoun ... coba jujur dengan diri kamu, apa yang kamu takutkan? Apa yang kamu resahkam? Apa yang kamu pikirkan selama ini. Kamu terlalu banyak menutup dirimu, bahkan Seungwoo pun sama denganmu. Hubungan kalian sudah berjalan dua tahun, tapi kalian masih saja bodoh untuk jujur dan menjadi diri kalian sendiri.”

“Aku nggak tau gimana, Ggu. Aku nggak tau gimana harus menghilangkan semua rasa insecure aku, gimana cara aku buang semua overthingking aku. Setiap aku mencoba, aku selalu merasa gagal!”

No! You're not! Everything takes time, butterflies take time to be beautiful.

But in the end they died in a short time.

But at least they try to be beautiful, they try to be happy even though they know they will die quickly. Then, why you not try it? Not only try it and then give up, but you are really serious try to fix it and then take your real happiness.

Did you and Hongseok get that real happiness?

Otherwise why am I engaged to him? We take risks by stepping into bigger problems in the future, but because we already understand how to fix this, we dare to step in and learn new things in the future.

Seungyoun terdiam, semua deretan kalimat yang Hyunggu ucapkan cukup banyak menamparnya.

Am I wrong? Am I selfish, Ggu?”

Everyone must have made mistakes and being selfish. all of that is normal because we are only human. Now, come back to yourself whether you are sure you want it all to end or are thinking about going back, in a better way no matter how long you have to find the best way,

“Karena akan percuma jika kamu ingin semua berakhir tetapi kamu tidak mau melepaskan Seungwoo dari seluruh hidupmu, hatimu dan pikiranmu. Semua perpisahan akan mudah jika kamu mau melepaskannya, Youn. Jangan memaksakan diri, jika kamu lelah maka istirahatlah, yakinkan hatimu. Ini adalah hubunganmu, bukan hal yang sepele, karena ini demi masa depanmu sendiri. Jika, kamu merasa ini semua tidak dapat diperbaiki, bahkan dengan cara terbaik apapun itu, maka sudahi. Jika, kamu merasa ini dapat diperbaiki, hanya saja karena ketakutanmu membuatmu ragu, maka yakinkan dirimu, melangkah perlahan dan perbaiki bersama,

“Hubungan itu antara dua orang yang harus saling melengkapi, Youn. Kamu tau sendiri bagaimana Seungwoo denganmu, aku yakin Seungwoo sama halnya dengan apa yang kamu rasakan sekarang. Kalian berdua terlalu mencintai satu sama lain, hingga menyakiti satu sama lain. Menurutku, lebih baik kalian istirahat terlebih dahulu, jangan berhubungan satu sama lain hingga saatnya siap,

“Mencari dan mendapatkan bahagia itu tidak mudah, yang kamu anggap sekarang sudah membuatmu bahagia, mungkin ada hal yang lebih besar lagi di masa depan yang dapat membuatmu jauh lebih bahagia, Youn. Ingat, semua membutuhkan waktu.”

Seungyoun membalik tubuhnya untuk memeluk Hyunggu. Badan yang sedikit lebih besar itu mendekap Hyunggu erat, tangan Hyunggu hanya dapat mengelus punggung sahabatnya.

Now ... cry ....

Tangis Seungyoun pecah, tangis yang terdengar sangat lelah, putus asa dan pilu memenuhi kamar yang hanya diterangi oleh lampu tidur dan bulan purnama. Kedua sahabat itu saling menguatkan dan menangis bersama.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii