wjmmmy

Ada rindu yang selalu jatuh di terik sepi yang lupa berteduh – Wira Nagara

Tepatnya dua detik setelah memastikan siaran live instagram-nya sudah mati, lelaki dengan sweater kuning itu setengah berlari menjatuhkan diri dalam pelukan lelaki lain di ruangan itu yang sejak tadi menahan diri tidak bersuara. Ada tetes bening air mata yang ia tumpahkan membasahi kaos hitam lelaki yang kini tubuhnya ia dekap erat, tak ingin ia lepaskan.

“Pu-pu... Jangan sedih ya Mix, ada aku di sini.” Ujarnya seraya tepuk demi tepuk lembut ia daratkan di kepala lelaki yang lebih muda.

Hanya isak tangis yang terdengar di condominium kecil di tengah kota itu, kediaman lelaki ber-sweater kuning, Mix Sahaphap.

“Earth, aku kangen P'Meow.”

“Iya aku tau, P'Meow juga kangen kamu. Sabar ya, kalau keadaan udah lebih baik kalian pasti bisa ketemu. Udah cup-cup nangisnya, malu tuh diliatin Somporn.” Earth meraih kedua sisi wajah Mix dan menghapus basah yang jatuh ke kedua bilah pipi cantik yang biasanya selalu merona kemerahan itu.

Earth tidak bohong, british short hair sewarna salju itu tengah menatap mereka dengan tatapan menilai.

“Kamu denger nggak tadi pesan P'Meow buat kamu?”

“Denger, walaupun tanpa diminta juga aku kan udah jagain kamu selama ini, iya nggak sih?”

Mix mencebikkan bibirnya, mengejek Earth. Walaupun dalam hati sepakat kalau tanpa diminta kakak perempuannya itu pun, Earth selama ini selalu menjaganya, selalu ada untuknya.

“Tapi pesan P'Meow tadi bikin aku merasa punya tanggung jawab lebih untuk jagain kamu, Mix. Mereka udah mempercayakan kamu yang seberharga ini ke aku itu sebuah tanggung-jawab besar yang harus aku pegang sungguh-sungguh.”

“Dan aku janji, ke kamu, ke P'Meow, ke orang tua kamu dan ke Tuhan, kalau aku nggak akan lalai dari tanggung-jawab ini.”

Earth meraih pinggang ramping milik Mix, membawanya semakin erat dalam pelukan hanya untuk mengikrarkan sebuah janji yang terdengar sederhana namun membuat hatinya pelan-pelan menghangat. Ucapan Earth barusan berhasil membawa kembali rona kemerahan yang sejak tadi menghilang tersapu air mata rindu milik lelaki Sahaphap.

Tidak ada satu hari pun Mix tidak bersyukur karena ia memiliki Earth di sisinya. Kehangatan dari untaian perhatian yang selalu Earth curahkan mungkin tidak bisa mengalahkan apa yang selama ini Mix terima dari kedua orang-tua dan kakak perempuannya, tapi presensi lelaki itu lebih dari cukup untuk menutup lubang yang menganga dalam hatinya ketika kesepian mulai mengecam, juga berhasil melunasi kerinduannya akan keluarga dan kampung halaman.

Tanpa sadar, Earth Pirapat dan segala takah penuh kasih dan sayangnya berhasil mencipta rumah lain yang dapat mengobati deru nestapanya tentang rumah.

Fin. – wjmmmy, 11.30 PM, pengantar tidur

“Mix is afraid of water. He doesn’t dare to dare to swim in the sea. So i took him there to walk along the beach instead.” –Earth Pirapat.

Resort, Koh Tao July 21, 2 PM. ㅤ

Hembusan semilir angin terasa menyapu lembut wajah seorang lelaki dengan setelan kaos kuning bergaris yang dipadukan dengan celana jeans biru– tatkala netranya ia bawa lebih dekat untuk menatap keindahan birunya samudra nan luas bertepikan hamparan pasir putih yang membentang di hadapannya. Hawa panas kering khas negara tropis di akhir bulan Juli masih membayangi, namun tidak mengurangi keindahan pesona dari pulau kecil di teluk Thailand yang diberi nama Koh Tao itu. Aroma laut samar-samar dapat tercium dari balkon resort tempat ia berdiri, membuatnya membayangkan olahan seafood apakah yang cocok untuk ia santap malam ini.

“Ehm... kayaknya ada yang kesenengan nih diajak ke sini, padahal sebelumnya nolak mulu.”

Lelaki berkaos kuning itu menoleh dan mendapati kekasihnya sedang mengulum senyum sambil melipat kedua tangannya di depan dada, asik menatapnya sambil bersandar di kusen pintu kamar resort kediaman mereka.

“Earth– aku nggak nolak ya, aku cuma bilang belum siap.” Si baju kuning membela diri.

“Aku kan cuma ngajak kamu jalan-jalan ke pantai, butuh persiapan yang gimana sih Mix?” Tanya pria yang lebih tua itu, gemas.

“Kan kamu bilang mau ajakin aku diving, berenang di laut aja aku nggak berani.”

“Terserah kamu sih mau atau nggak nyoba diving. Tapi pokoknya kalo sama aku harus berani ya, kita udah jauh-jauh sampe sini loh.”

“Ih kamu bilang nggak bakalan maksa.” Lelaki bernama Mix itu mengerucutkan bibirnya karena sebal.

“Maksa... dikit... hehehe.” Jawaban iseng Earth yang dihadiahi sebuah cubitan di lengan, dari Mix.

“Kamu tuh kalo nyubit sakit banget, tau nggak? Liat nih sampe biru...” Earth mengaduh sambil tangannya mengusap-usap lengannya sendiri.

Mix hanya menjulurkan lidahnya dan berlalu dari hadapan sang kekasih, masuk ke dalam kamar resort yang didesain dengan sentuhan rustic coastal cottage itu dan menjatuhkan diri di atas ranjang yang dilapisi seprai berwarna putih bersih. Earth menirunya. Rebah di sisi kiri kekasih mungilnya, merengkuh tubuh itu dalam dekapan.

“Makasih ya udah ajakin aku liburan...” Ujar Mix.

“Sayangnya mana?”

“Iyaaa makasih ya sayangku.”

Earth terkekeh sesaat lalu sebuah kecup ia daratkan di kening pemuda Sahaphap, bentuk rasa sayang untuk lelakinya itu. ㅤ


Sairee Beach, Koh Tao. July 21, 5 PM. ㅤ

Kemunculan Earth membawa paddle board lengkap dengan dayungnya mengagetkan Mix yang tengah duduk terdiam di atas pasir putih, menikmati siraman cahaya matahari sore sambil memandangi ombak yang bergulung-gulung di lautan lepas. Ombak itu jauh di sana, tidak sampai ke bibir pantai tempat kedua sejoli ini bercengkrama menanti sang surya terbenam.

Earth mengulurkan tangannya pada Mix yang disambut dengan kedua manik bulat itu menatapnya dengan ragu.

“Ayo...” Ajak Earth menggugah hasrat yang selama ini bersemayam diam-diam dalam diri pemuda Sahaphap.

Melihat kekasihnya hanya bergeming di tempatnya– Earth meraih tangan Mix, menggenggamnya erat dan membawa pemuda itu mendekat ke air.

“Earth.... Earth bentaaar.... aku nggak berani... “

Earth bisa merasakan telapak yang ia genggam berkeringat dan dingin.

“Mix coba liat aku bentar.” Ucap Earth lembut.

Wajah yang lebih muda dibawa oleh untaian lembut kata-kata untuk menatap raut teduh si pemilik suara.

“Kamu percaya kan sama aku? Ada aku kok, ada aku yang jagain kamu di sini, kamu nggak perlu takut apapun.”

Mix mau tidak mau mengangguk. Karena betul, tiap kali ia bersama Earth selalu ada rasa nyaman dan aman yang apabila ia telusuri lebih jauh sudah pasti asalnya dari timbunan kepercayaan yang sudah jauh lebih dulu ia tanamkan terhadap sosok tegap berkulit tan yang kini menatapnya lembut di bibir pantai Sairee, Koh Tao Island, ditemani oleh riak-riak kecil air laut yang terasa menggelitik di telapak kakinya yang telanjang.

Lelaki manis itu menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya sebelum akhirnya ia berani memutuskan untuk menantang dirinya sendiri, atau... berdamai dengan rasa takutnya selama ini.

“Oke oke... tapi janji ya nggak ninggalin aku.” Mix merajuk.

“Janji! Kalo dilanggar kamu boleh sumpahin aku mules sepuluh tahun.”

“Jelek banget janjinya, mana tega aku biarin kamu mules sepuluh tahun.” Mix melayangkan tinjunya yang tidak terlalu keras ke dada bidang lelaki Pirapat yang tidak terbungkus fabrik apapun itu.

Earth hanya terkekeh geli dan kembali menggandeng tangan Mix untuk masuk ke dalam air yang semakin lama terasa semakin dalam. Air laut sudah menyentuh pinggang ketika matahari senja mulai turun dan guratan cahayanya menyirami wajah mereka dengan semburat oranye kemerahan.

“Mix ayo naik ke sini.” Earth menepuk-nepuk paddle board yang sejak tadi sudah mengapung di dekat mereka.

“Pegangin ya...” Ucap Mix mewanti-wanti sebelum tubuhnya ia bawa naik ke atas paddle board dan merasakan sensasi terapung-apung di lautan lepas.

“Gimana? Nggak seserem yang kamu bayangin kan?”

“Seru sih, tapi aku nggak bakal hanyut kan?”

“Hanyut gimana? Ini ombaknya kecil gini, ombaknya takut sama kamu.”

“Kamu jangan ngajak berantem di tengah laut gini deh!”

“Kalo ngajak berantem mah aku lepasin nih papannya, nggak aku pegangin.”

“EARTHHHHH!!!!” Mix detik itu juga memekik karena Earth melepaskan pegangannya pada papan paddling yang sedang ia tumpangi itu.

Lelaki yang diteriaki itu hanya tertawa terpingkal-pingkal menatap wajah panik kekasihnya.

“Gitu kan caranya paddling sayang, nih dayungnya, kamu dayung buat kendaliin arahnya. Kunci utamanya keseimbangan, kalo udah jago bisa sambil berdiri. Yuk coba dayung...”

Mix menatap dayung itu sesaat, kemudian meraihnya dengan tekat kuat yang menyala di kedua bola matanya. Earth mengusak pelan rambut lelaki yang lebih muda itu penuh sayang. Ia merasa seperti sedang mengajari balita berenang untuk pertama kalinya, bedanya balitanya ini berusia dua puluh dua tahun.

“Berani nggak kalau aku lepas?”

Mix mengangguk, ia perlahan mulai menikmati perasaan bebas dan lepas yang laut tularkan untuknya.

Sedikit demi sedikit Earth melepaskan pegangannya pada paddle board dan membiarkan Mix mengendalikan papan itu dengan keseimbangannya sendiri.

Mix berhasil.

Pemuda itu seperti menemukan permainan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mix mendayung jauh, tidak menyadari kalau ia meninggalkan Earth di belakang.

“Seru kan?” Teriak Earth jauh di belakangnya.

“Earth sini... jangan jauh-jauh...” Mix tiba-tiba panik melihat dirinya kini seorang diri terapung di lautan lepas.

Earth baru saja berniat untuk berenang mendekat ketika tiba-tiba ombak yang lumayan besar datang menghantam paddle board yang Mix tumpangi, Mix– dengan pengalaman minimnya tentang paddling dan kepanikannya– tidak bisa mengendalikan papan itu. Papan itu terbalik dan menjatuhkan Mix ke dalam air.

“Mix...” Panggil Earth kaget, buru-buru berenang mendekat.

Mix tidak akan tenggelam mengingat ia pandai berenang dan kedalaman laut hanya sebatas dada orang dewasa. Earth hanya khawatir pemuda itu shock. Perasaan bersalah menyelimuti hati Earth ketika melihat kepala Mix muncul dari dalam air, wajahnya pucat. Earth merengkuh tubuh itu ke dalam pelukan sembari tangannya memberikan tepukan-tepukan menenangkan di punggung Mix.

“Nggak apa-apa kok Mix cuma ombak doang, tenang ya...”

Mix diam saja, alisnya turun– melengkung ke atas, terlihat seperti anak anjing kecil yang sedih. Earth memegang kedua sisi wajah kekasihnya dan memeriksa keadaannya.

Gimana? Bisa kan kamu ngelawan ombak?”

Mix merengek pelan dan membenamkan wajahnya di perpotongan leher pemuda Pirapat, Earth tau Mix baik-baik saja, ia hanya sedikit– manja. Earth tertawa melihat tingkah bayi besarnya dan memeluk tubuh itu lagi, tak lupa sebuah bonus kecupan di puncak kepala juga ia hadiahkan kepada si bayi karena sudah berani berjuang sejauh ini mengalahkan rasa takutnya akan laut.

“I am proud of you, Mix. Kamu hebat udah berani melawan rasa takut kamu.” Bisik Earth kemudian.

“Tapi tadi aku jatoh.”

“Yah namanya juga baru pertama kali, nggak apa-apa, lama-lama juga kamu jago. Makanya jangan takut laut lagi, laut se-ramah itu ke kamu tau nggak?”

“Ramah apanya?”

“Loh kamu nggak tau? Ombak tadi itu cara laut menyapa kamu.”

“Bisa-bisaan kamu aja itu mah...”

“Serius, liat kan udah nggak ada lagi ombak gedenya. Anggep aja yang tadi itu ucapan selamat ulang tahun dari Koh Tao Island, untuk Mix Sahaphap.”

“Ulang tahunku bahkan masih enam jam lagi.”

“Ceritanya kan early birthday greeting.”

Mix terdiam memandang lautan yang kini sudah setengah gelap, berfikir mungkin benar yang selalu Earth katakan selama ini, laut tidak semenakutkan itu. Memang laut menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak kita ketahui, tapi itu bukanlah alasan untuk menghindari keindahan yang dapat disajikan oleh sang mahabiru itu.

“Makasih ucapan ulang tahunnya, iya udah aku terimaaaa...!!! Salam kenal ya!!!” Mix berteriak ke hamparan laut lepas di hadapannya membuat Earth tergelak menatap tingkah lucu pacarnya.

Gulungan ombak berdebur di kejauhan menghantam batu-batu karang besar yang tersebar di beberapa titik Sairee Beach, seolah merespon ucapan terima kasih dari Mix dan salam perkenalannya.

Laut, please be nice– ucap Mix dalam hati.

“Ayo balapan berenang ke tepi.” Usul Mix tiba-tiba.

“Udah akrab banget nih sama laut sampe berani ngajak balapan?”

“Yang kalah traktir makan lobster.” Mix mencuri start setelah mengumumkan hukuman bagi yang kalah dalam kompetisi renang tingkat pacaran ini.

“Heh– curang ya nyolong start.”

Langit sudah menggelap, hanya segaris nyala keunguan di langit bagian barat yang tersisa ketika kedua insan itu saling tertawa diselingi dengan pertengkaran kecil dengan topik tidak penting yang memang selalu mewarnai hubungan asmara mereka yang tak terasa sudah menginjak tahun ke-dua itu.

Ulang tahun Mix kali ini niscaya menjadi salah satu moment terbaik dalam hidupnya yang tidak akan pernah ia lupakan. Earth bukan hanya mengajaknya berlibur ke Koh Tao, namun lelaki itu mengajaknya untuk memasuki babak baru dalam kisah hidupnya, episode tentang Mix Sahaphap yang sudah berhasil mengalahkan rasa takutnya akan laut.

“You don't overcome challenges by making them smaller, but by making yourself bigger.”

ㅤ Mix sudah menjadikan dirinya jauh lebih berani dari yang ia pikir ia bisa. Itulah yang akhirnya berhasil menghancurkan ketakutan yang selama ini singgah dan bersarang di benaknya. Ia sadar, rasa takut itu hanyalah sebuah perasaan biasa dan ia berjanji tidak akan pernah membiarkan perasaan itu merenggut kendali dirinya, lagi. ㅤ

—-ㅤ ㅤ

Earth dan Mix menghabiskan malam dengan pesta lobster dan beberapa makanan olahan seafood segar lain yang dilanjutkan dengan menghabiskan beberapa kaleng bir di pinggir pantai yang diterangi cahaya kelap-kelip lampu kecil berwarna kuning yang dari kejauhan terlihat bak puluhan pendar kunang-kunang.

Earth yang membayar, ia bukannya kalah dalam perlombaan berenang mereka tadi, baginya ini lima puluh persen bentuk apresiasi atas usaha Mix menantang diri dan sisa lima puluh persennya lagi murni karena sifat bulol yang sudah mendarah daging dalam diri lelaki itu. ㅤ


Tw 🔞: vanilla sex, explicit sex scene, sexual intercourse, nipple play, fingering, anal sex. ㅤ

Resort, Koh Tao July 21, 11.30 PM.

Mix yang baru selesai mandi sedang mematut-matut diri di depan cermin, mengamati wajahnya yang terbakar matahari karena lupa menggunakan sunscreen ketika lengan kokoh lelaki Pirapat tiba-tiba melingkari pinggang rampingnya dan menghujani pipi gembilnya dengan ciuman.

Harum banget sih pacar siapa??”

Jomblo nih, nggak punya pacar.” Mix tersenyum melihat pantulan wajah cemberut Earth di cermin usai mendengar penuturannya.

Aku gigit mau huh???”

Mau aja....” Mix menoleh menatap kekasihnya itu dengan tatap seduktif.

Earth yang tiba-tiba mendapat lampu hijau itu menyeringai, tangannya menarik lepas tali bath robe putih yang sedang Mix kenakan. Jemarinya segera ia bawa menyelusup ke dalam bath robe– yang bagian depannya sudah terbuka– untuk bermain di dua noktah kecoklatan di dada sang kekasih sambil kecupan demi kecupan ia daratkan di leher putih itu. Sentuhan yang Mix terima di kedua putingnya membuat kedua belah bibir itu meloloskan desah tertahan yang membawa sang dominan semakin gencar menggesekkan ibu jarinya di sana dan membuat benda kecil coklat itu mengeras.

Pantulan tubuhnya yang tengah dikerjai oleh sang kekasih yang dapat Mix liat melalui cermin di depannya membuat wajahnya memerah. Ia malu melihat wajah penuh kenikmatan yang ia tampilkan ketika lelakinya mulai menurunkan fabrik putih itu dari pundaknya dan menyesap kulit bahunya yang putih hingga berubah warna menjadi kemerahan.

Earth... m–malu...” Racauan tidak jelas yang terselip diantara desahan itu menyebut nama Earth.

Kamu keliatan sexy sayang.” Bisik Earth sembari lidahnya menjilati daun telinga Mix. Ia mengerti apa maksud dari kata malu yang diucap kekasihnya, namun ia menikmati menonton adegan yang tengah mereka lakukan lewat pantulan cermin.

Mix menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mau ke kasur...” Rengeknya.

Permintaan sederhana dari Mix yang tentu saja dikabulkan oleh Earth. Dengan mudahnya Earth membopong tubuh itu, kemudian meletakkannya hati-hati di atas ranjang, memastikan tubuh lelaki yang ia cintai itu senyaman mungkin rebah di sana bahkan merapihkan bantalnya terlebih dahulu. Kemudian ia mengungkung tubuh yang lebih muda itu di bawah kuasanya, menatap setiap inci wajah yang selalu membuatnya tergila-gila, sepasang manik bulat yang tengah balas menatapnya dengan sayu, pipi chubby yang kini memerah karena sengatan matahari dan bibir tebalnya yang merekah setengah terbuka seolah mengundang untuk ia kecap manisnya.

Mix mengusap pelan rahang kokoh yang menopang wajah tegas milik lelaki Pirapat yang tengah tertegun menatapnya.

“Kenapa kok liatin aku kayak gitu?”

“Nggak apa-apa, kamu cantik.” Earth meraih tangan Mix dan mengecup punggung tangannya singkat.

Wajah yang sudah merah karena tersengat panas matahari itu mungkin saat ini sudah semakin bersemu merah tak karuan ketika Earth memujinya cantik, bukan hal baru pujian-pujian seperti itu lolos dari mulut Earth tapi tetap saja Mix selalu memerah dibuatnya.

“5....4....3....”

Mix menautkan kedua alisnya keheranan mendapati Earth yang tiba-tiba mulai berhitung. Baru saja bibirnya terbuka untuk bertanya, Earth membungkam bibir itu dengan bibirnya, ciuman itu lembut dan tidak menuntut.

“Happy Birthday, Mix.” Ucap lelaki itu selanjutnya, sambil tersenyum manis.

Mix kaget. Ujung matanya mencuri lihat jam dinding yang terpajang di salah satu sisi dinding kamar resort.

Ah iya– ulang tahunnya sudah tiba.

Ia tersenyum, begitu lebarnya. Senyuman terlebar yang bisa ia buat walaupun rasanya masih tak cukup luas untuk menggambarkan perasaan bahagianya saat ini.

“Thanks Earth, aku seneng banget ulang tahun kali ini aku abisin waktu yang bener-bener berharga sama kamu. Makasih buat semuanya ya.”

“I love you, Mix.”

“No!!! I love you first!!!”

Selanjutnya mereka ribut memperdebatkan siapa yang lebih mencintai siapa dalam hubungan saling jatuh cinta yang mereka jalani berdua. Malam itu berlanjut dengan keduanya yang kini saling bergumul di atas ranjang dengan tubuh yang tak berlapis sehelai benang pun.

Mix suka. Ia suka ketika kekasihnya melesakkan lidahnya dan mengabsen deretan gigi miliknya dan mengejar kenikmatan dengan saling menautkan lidah mereka. Earth melumat bibir tebal itu membawa Mix ke dalam ciuman yang membuat seluruh tubuhnya panas. Ciuman Earth turun dan berpindah pada bagian favorit lelaki itu, kedua puting Mix yang sejak tadi sudah mengeras berbarengan dengan bagian selatan miliknya yang sudah tegak namun belum terjamah. Earth dengan lihainya membawa tonjolan kecil kecoklatan itu ke dalam mulutnya dan menghisapnya kuat-kuat membuat lelaki dibawahnya melenguh tak berdaya di bawah permainan yang ia kendalikan.

“Aaaahh– Earthh....” Mix melengkungkan tubuhnya sembari tangannya meremas surai hitam sang dominan yang masih asik bermain-main dengan putingnya yang kini sudah mengkilap berlumur saliva.

Kecupan-kecupan ringan Earth daratkan di sepanjang torso dan perut milik pemuda Sahaphap sampai ke bagian paling sensitif miliknya yang sejak tadi sudah mengeras. Kejantannya tenggelam dalam genggaman tangan besar Earth dalam upaya laki-laki itu memberi kepuasan dengan mengocok penis kepunyaan Mix dengan tempo sedang hingga cepat. Earth membawa penisnya sendiri yang sudah tegak ke dalam genggamannya dan mengocoknya berbarengan dengan milik Mix membuat Mix terperanjat menyadari betapa berbedanya ukuran kelamin mereka. Milik Earth memang berukuran di atas rata-rata dengan urat-urat yang menonjol ketika tengah ereksi sempurna, benda yang seringkali membuatnya kelabakan ketika sudah dibawa masuk memenuhi liang kenikmatannya. Hanya dengan membayangkan batang penis besar itu memasukinya saja sudah membut cairan precum miliknya menyembur keluar membasahi tangan Earth.

“Earth... jangan mainin lagi, mau dimasukin aaahhmm....”

Hal yang Earth sukai adalah ketika Mix memohon-mohon untuk ia setubuhi seperti ini. Libidonya semakin naik membuatnya ingin menghancurkan tubuh fragile di bawahnya lewat permainan sex yang memabukkan.

“Sebentar ya sayang, aku ambil lube sama kondomnya dulu.” Earth berbisik di telinga Mix dan beranjak mencari kedua benda itu di dalam tasnya yang ia letakkan di atas nakas.

“Earth cepetan....” Mix merengek lagi, membuat lelaki yang lebih tua itu tersenyum melihatnya.

“Aku siapin dulu lubang kamu biar nggak sakit ya.” Ujarnya sambil membasahi dua jarinya dengan cairan lubricant yang kemudian ia oleskan di sekitar cincin anal kekasihnya.

“Aku masukin jari ya?” Earth meminta ijin yang dibalas dengan anggukan kepala tanda setuju.

Mix merasakan sesuatu memasukinya, satu jari milik Earth. Tak lama berselang tambahan satu jari lagi Earth bawa masuk ke liangnya dan dengan sukses mengobrak-abrik kewarasan Mix karena sensasi gatal yang ia rasakan di bawah sana, mengharapkan penis Earth-lah yang segera memasukinya alih-alih kedua jemarinya. Earth menggerakkan jemarinya di sana, keluar masuk memastikan milik kekasihnya siap untuk dimasuki benda yang lebih besar dari ukuran dua buah jari.

Setelah dirasa liang senggama kekasihnya sudah siap, Earth segera menyarungkan kondom tipis itu pada penisnya dan memposisikannya untuk segera menerobos masuk. Mix menahan nafasnya ketika jemari Earth digantikan oleh benda keras, tebal dan panjang yang membuat analnya terasa sesak dan penuh.

“Aaaahh....shhh Mix.... kamu sempit banget sayang.” Racau Earth tak karuan ketika dinding anal kekasihnya terasa mencengkeram batang penisnya dengan ketat.

“Nghh... gerakin Earth...”

Earth mengangkat kedua kaki Mix dan meletakannya di bahunya kemudian ia mulai bergerak memompa kejantannya keluar masuk berulang-kali. Suara hentakan penyatuan kulit bertemu kulit dari aktifitas seksual yang tengah mereka geluti memenuhi ruangan, disertai dengan rintihan dan rengekan yang keluar dari belah bibir lelaki yang lebih muda saling bersahutan dengan desahan dan suara deham rendah milik yang lebih tua, larut dalam kenikmatan mengejar kepuasan birahi milik mereka.

Penis Earth berkali-kali menghantam titik paling sensitif milik Mix yang membuat lelaki manis itu menggila di bawah dominasi lelaki Pirapat yang masih terus menggagahi analnya bertubi-tubi. Kejantanan Earth terus menumbuk tepat di sweet spot membuat tubuh Mix mengejang karena kenikmatan yang dihasilnan dari persetubuhan mereka.

“Earth aku mau cum...” Ucap Mix setelah beberapa saat tubuhnya bolak-balik terhempas ke belakang karena hentakan yang Earth lakukan ketika penisnya bergerak keluar-masuk cincin analnya.

“Keluarin aja ya jangan ditahan...”

Mendengar kekasihnya segera mencapai puncak pelepasan, Earth kembali mengocok penis Mix untuk membantunya segera mencapai orgasmenya sementara kejantannya sendiri terus membengkak di dalam liang anal yang kini terasa memijit dan meremas-remas penisnya.

Dengan beberapa kali hentakan keras, Earth mencapai putihnya dibarengi dengan Mix yang mencapai pelepasannya dan memuncratkan spermanya di perut Earth. Tubuh Earth ambruk menimpa tubuh di bawahnya yang berbuah omelan dari lelaki Sahaphap.

“Earth kamu beraaat...”

“Bentar doang... capek yang.”

Mix tertawa kecil.

“Segitu doang stamina kamu???”

“Kamu ngeremehin ya? Mau aku genjot lagi nih??” Earth sengaja menggerakan penisnya yang masih tertanam di dalam liang Mix membuat lelaki Sahaphap seketika panik.

“Aaahh Earth jangan ih masih ngilu, lagian aku capek, ngantuk.”

“Tadi nantangin.”

“Bercanda doang sayangku.” Mix meraih kedua sisi wajah Earth dan memberi kecupan hangat di kedua pipinya.

Earth mencium bibir Mix berkali-kali, ciuman ringan dan singkat, membuat Mix tertawa di tengah-tengah ciuman mereka.

“Kamu tidur gih, besok bangun pagi kan kita mau diving.”

“Lengket banget gak betah...” Ucap Mix dengan manjanya.

“Nanti aku yang bersihin, udah kamu merem aja.” Earth mengusak surai hitam lelaki yang dicintainya itu.

Mix menatap Earth dengan sorot mata persis seperti anak anjing menggemaskan andalannya. Merasa bersyukur Tuhan memberinya lelaki seperti Earth Pirapat.

“Aku bersih-bersih bentar ya.”

Sekembalinya Earth dari kamar mandi, ia menemukan kekasihnya sudah terlelap, wajahnya dihiasi senyuman dan terlihat damai. Ia tersenyum melihat bayi besar itu mendengkur pelan. Menggemaskan. ㅤ


Sai Daeng Beach, Koh Tao July 22, 11 AM.

Matahari sudah mulai tinggi ketika mereka mengapung di tengah lautan di atas perahu motor milik Phoenix Diving. Setelah menjalani training singkat dan percobaan selam pertama di kolam renang pagi tadi, kini Mix siap menjalani percobaan pertamanya di laut. Perlengkapan diving sudah siap terpasang pada tubuh Mix ketika ia menceburkan dirinya ke permukaan air dan berkecipak di sana, mengadaptasikan diri dengan suhu air. Karena ini pengalaman pertama untuknya maka ia akan didampingi oleh seorang instruktur dari Phoenix Diving, kenalan Earth.

“Mix... kalo tiba-tiba nanti panik dan nggak kuat minta udahan aja ya, kita berenang biasa aja.” Earth khawatir Mix terlalu memaksakan diri.

“Berani kok! Aku pasti bisa.” Mix membulatkan tekatnya.

*“Untuk percobaan diving pertama kali kita akan lakukan lima belas menit pertama percobaan ya.” Ujar instruktur diving bernama Thee itu.

“Thee titip Mix ya...”

“Tenang Earth, percaya sama dia. Dia udah yakin gitu.”

Mix menghilang ke dalam air usai melambai-lambaikan tangannya ke arah Earth yang akan menunggunya di atas perahu sampai lima belas menit percobaan selam pertamanya bersama Thee.

Lima belas menit terlama dalam hidup Earth karena ia khawatir sesuatu mungkin terjadi pada Mix di dalam air. Tapi ia berhasil menyadarkan dirinya sendiri dan yakin kalau Mix tengah bersenang-senang di bawah sana. Hingga akhirnya Mix dan Thee kembali muncul ke permukaan air, Mix langsung membuka kacamatanya, menatap matahari dan menghirup udara dengan bebas. Wajahnya berseri-seri bahagia.

“Earth aku berhasil!!!!!” Pekik Mix bahagia.

Earth tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya ke arah Mix.

“Karena Mix udah lulus percobaan pertama selamnya, kita bakalan pindah ke Hin Ngam Bay, spot coral reef di sana lebih bagus, kalian pasti terpesona sama pemandangan bawah lautnya.” Ujar Thee.

“Earth nanti kamu diving kan bareng aku???”

“Iya nanti kita berdua ya.”

Mix terlihat bersemangat, membuat Earth tidak bisa berhenti tersenyum.

“Nanti waktu menyelam di Hin Ngam Bay kita berpotensi ketemu Blacktip Reef Sharks sama Turtle Sea juga loh.” Lanjut Thee berceloteh tentang spot diving yang lumayan populer itu.

Hah??? Hiu???” Mix kaget.

Tenang, nggak berbahaya kok Mix hehehe.” Ucap Earth sambil cengegesan.

Mereka menghabiskan hari itu dengan mengeksplor laut Koh Tao, mengagumi keindahan terumbu karang yang tumbuh di sana dan ikan-ikan yang mereka temui saat menyelam.

Ketakutan Mix akan laut mulai sirna digantikan dengan kekagumannya karena laut yang seringkali terlihat tenang itu dapat menyimpan begitu banyak cerita. Dua puluh dua juli kali ini terasa berbeda karena ia menghabiskan hari ulang tahunnya dengan cara yang berbeda pula, ditambah ia melaui momen-momen yang berharga ini dengan orang yang tak kalah berharga di sisinya, Earth Pirapat.

Once again, happy birthday Mix. Aku harap kamu selalu bahagia.” Ucap lelaki Pirapat itu di penghujung hari sambil mereka bergandengan tangan menyusuri pantai kembali ke resort.

Kalau gitu jangan pernah tinggalin aku, Earth. Pasti deh aku selalu bahagia.” Jawab Mix sambil tersenyum lebar.

Earth merengkuh pinggang Mix, membawanya semakin dekat dalam dekapannya, lalu mengecup bibir kekasihnya dengan lembut. Ciuman mereka sore ini terasa begitu manis, semanis kisah yang mereka jalani selama ini, termasuk di dalamnya dua hari yang mereka habiskan di Koh Tao.

“Happy Birthday Mix.” Ucap Mix dalam hati, kepada dirinya sendiri di penghujung senja itu.

Fin.

wjmmmy, 2021.

14 Februari.

Formelab Cafe, 9.30 AM.

Bincang ringan diselingi tawa renyah pasangan ayah dan anak itu terpaksa terhenti ketika mereka sampai di sebuah cafe yang dipilih langsung oleh si anak, Phuwin. Senyum sumringah yang sejak tadi menghiasi wajah manis sang ayah, Mix Sahaphap seketika berubah menjadi raut yang tak terdefinisi manakala netranya menangkap wajah tegas seorang lelaki, paras yang dulu sempat menjadi alasan dalam untaian senyum dan tawanya, namun juga pernah menjadi penyebab dari rentetan derai air mata dalam setiap tangisnya. Earth Pirapat. Nama yang mustahil untuk ia lesap dari benak walaupun sudah jungkir-balik ia coba, mantan suaminya.

Pandangannya beralih pada sosok cantik, gadis berambut panjang di sebelah Earth yang tengah menatapnya dengan sorot berbinar. Putri kecilnya yang perlahan tumbuh menjadi gadis remaja, Prim.

“Papi.....”

“Ini Prim princessnya papi???”

Gadis itu mengangguk-angguk mengingat kembali sosok papi yang dulu seringkali memanggilnya dengan sebutan princess. Ada peluk yang selanjutnya saling bersambut di sana, Mix dan Prim saling peluk begitu eratnya seolah takut apabila pelukan itu dikendurkan, sosok dalam pelukan itu akan luruh.

Satu pasang ayah dan anak lainnya di tempat itu─ Earth dan Phuwin─ hanya saling bertukar pandang dengan ekspresi kikuk.

“Sudah besar ya kamu.” Earth menepuk bahu Phuwin, sambil memperhatikan anak lelakinya yang sudah tumbuh mengungguli tinggi badan ayahnya.

“Tinggi kamu aja sudah melebihi Papa, udah punya pacar pasti ya Phu?” Kali ini tepukan di bahu itu terasa lebih keras setengah mengancam dengan tersirat awas ya jangan pacaran dulu.

Phuwin meringis.

“Belum Pa, nggak dibolehin pacaran dulu sama si Papi, kuno banget Papi emang.”

Earth mengulum senyumnya ketika tak sengaja menangkap sosok Mix membelalak ke arah Phuwin karena ucapan anak itu barusan.

Cerita mengenai kunonya sang papi mengalir begitu saja dari mulut Phuwin, mencairkan suasana yang semula kaku menjadi sedikit asyik antara mereka berdua. ㅤ


Dua pasang mata kelam sewarna obsidian milik si kembar bolak-balik mengerjap, menatap penuh harapan ke arah kedua orang tua yang bahkan belum berani saling bertukar tatap sejak detik pertama pertemuan mereka hingga di detik ke tiga ribu enam ratus ini.

“Papa, Papi, valentine ini, bisa kita habisin waktu bareng-bareng lagi?”

Permintaan sederhana yang membuat sepasang wali si kembar tidak tahu harus menjawab apa. ㅤ


Dufan, 11.30 AM.

“Padahal kamu nggak harus iya-in permintaan anak-anak kayak gitu loh Earth, jawab aja 'nggak' kalo emang keberatan.” Ujar Mix ketika mereka berdua sedang menunggu Prim dan Phuwin selesai menaiki wahana pertama mereka hari ini, Komidi Putar.

“Aku nggak pernah bilang 'nggak' ke Prim.

Baru saja Mix hendak membuka mulutnya untuk komplain─

“Lagian aku nggak keberatan. Kamu keberatan?”

Untuk pertama kalinya di hari itu, Earth menatap mata Mix. Manik hitam yang pekatnya pernah menenggelamkan ia di kedalaman palung renjana, milik seseorang yang presensinya pernah menjadi sumbu dunianya berputar.

Mix tampak seperti player dalam permainan catur ketika lawan mainnya menyerukan skakmat ketika Earth melontarkan pertanyaan itu. Sementara lelaki itu sendiri terlihat santai, bahkan sempat melambaikan tangan dan tersenyum ke arah anak-anak ketika komidi putar itu bergulir di hadapan mereka yang menunggu di luar pagar pembatas.

“Aku nggak bilang aku keberatan ya, lagian semuanya juga demi anak-anak.” Mix mencoba membela diri setelah beberapa saat yang lalu ia terdengar seperti orang tua yang sedikit.... jahat.

Demi anak-anak.

Earth tersenyum lagi, kali ini ada pahit nan getir yang tergambar jelas di senyumnya. Disusul oleh anggukan-anggukan yang dilaku lelaki Pirapat itu untuk dirinya sendiri.

“Ya, demi anak-anak.”

Jujur, Mix tiba-tiba merasa tidak nyaman dan tidak enak hati karena ucapannya sendiri. Walaupun ia hanya mencoba menjadi dirinya saat ini. Mix memang begitu, ia blak-blakan tentang sesuatu yang ia suka, atau ia tidak suka. Mengenai hal yang seharusnya begini atau seharusnya begitu. Tentang prinsip hidup saklek yang ia genggam erat yang tidak ada seorang pun yang bisa menggoyahkannya, termasuk Earth Pirapat.

“Papa sama Papi abis ini harus ikut naik wahana ya pokoknya!!!” Ucap Prim yang baru kembali setelah usai bermain dengan komidi putarnya.

“Abis ini kita naik kora-kora ya!!!” Phuwin mencetuskan sebuah ide.

“Phuwin!!!” Untuk kesekian kalinya hari ini Mix harus memelototi Phuwin.

Earth tersenyum sekilas, membuat Mix semakin sewot dibuatnya. Earth tahu betul bahwa Mix takut ketinggian dan ia benci wahana-wahana permainan yang memicu adrenaline seperti ini.

“Papi takut yaaa???” Anak lelaki itu malah makin menggoda ayahnya.

“Papi jangan takut!!! Kan ada Papa jagoan yang jagain kita semua, iya kan Pa???” Prim dengan segala kekagumannya akan sosok ayahnya terus saja mempromosikan Earth hari ini, sampai Mix pikir gadis itu memiliki bakat tersembunyi di bidang promosi.

“Udah deh Papi jangan malu-maluin Phuwin, ayo kita cus.” Phuwin menarik tangan Mix untuk secepatnya menuju wahana Kora-Kora. ㅤ


“Kita duduk di paling ujung ya...”

“Di sini aja Phu, Prim.” Mix mengusulkan posisi dua spot sebelum spot paling ujung.

“Mana seru Papi, paling seru tuh di ujung. Nggak ah, kita mau di sini.”

“Yaudah biar Papa di sini temani Papimu.” Earth yang tiba-tiba muncul di belakang Mix terasa kurang mengagetkan jika dibandingkan dengan kata-kata yang barusan dia ucapkan.

“Kamu di belakang aja tuh sama anak-anak.” Ucap Mix dengan nada mengusir.

“Beneran kamu berani sendirian? Oke....” Earth sudah bergerak menuju posisi kedua anaknya berada ketika tangan itu menahan lengannya.

“Kamu di sini aja deh, tapi jangan deket-deket duduknya ya, jauhan.” Mix menghindari kontak mata dengan Earth dan menunduk menatap sepatunya sendiri saat mengucapkannya.

Mix tidak melihat ada senyum yang demikian lebarnya sedang diulas oleh lelaki di hadapannya itu.

Earth merasa kembali ke masa-masa remaja ketika mereka mengecap manisnya cinta pertama, tanpa perlu memikirkan hari esok dan segala permasalahannya. Cinta yang membuat mereka memiliki keberanian menapaki dunia yang menganggap cinta mereka berbeda─ bahkan salah. Cinta yang mempersatukan mereka dalam ikatan suci pernikahan beberapa tahun silam dan cinta yang membuat mereka berkomitmen untuk mengadopsi si kembar dan memberikan dunia baru untuk anak-anak mungil yang kurang beruntung itu.

Namun ketika rumah tangga mereka terpaksa kandas karena perbedaan prinsip yang mendasarinya, Earth harus ditampar kenyataan bahwa cinta mereka tidak cukup untuk menanggung segala komitmen yang ada dalam biduk rumah tangga seumur jagung milik mereka.

Perahu besar yang disebut Kora-Kora itu mulai berayun perlahan berbanding terbalik dengan detak jantung Mix yang semakin cepat. Ia ketakutan. Wajahnya terlihat seputih kertas dan buku-buku jarinya yang menggenggam erat besi pegangan turut memutih.

“Mix, kalau takut boleh pegangan aku ya.” Ucap Earth sebelum wahana berbentuk perahu itu mengayun semakin dan semakin kencang.

Mix tampak memejamkan matanya rapat-rapat, membuat Earth tertawa geli melihatnya.

“Jangan ketawa di atas penderitaan orang!!!” Ucap Mix setengah berteriak karena suaranya kabur terbawa hembusan angin.

“Ayolah berani kan demi anak-anak.” Balas Earth setengah meledek.

Hingga akhirnya Mix menyerah pada mentalnya sendiri dan memilih mencengkeram besi pegangan sembari tangannya yang lain mencengkeram lengan Earth dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang mantan suaminya itu.

Deg.

Ada yang berdesir dalam dada Earth Pirapat ketika lelaki yang pernah ia cintai hidup dan mati itu menyentuhnya. Jantungnya berdetak cepat bukan karena adrenaline yang dipicu oleh wahana permainan. Jantungnya sepertinya mengenali sosok di hadapannya ini dan sisa-sisa debar yang Earth pikir selama ini sudah padam, tiba-tiba menyala kembali. ㅤ


“Ehem...” Phuwin berdeham mencurigakan setelah mereka berempat meninggalkan arena bermain Kora-Kora.

Prim menatap Papa dan Papinya dengan senyum yang tidak kalah mencurigakan.

“Phu jangan ajak-ajak Papi lagi naik wahana kayak ginian ya!!!! Kamu aja sama Prim!!! Jantung Papi mau copot.”

“Kenapa cuma sama Prim, kan ada Papa juga. Papa nggak perlu diajak biar nemenin Papi aja gitu?”

Mata Mix sudah memancarkan tatapan ingin membunuh kepada anak lelakinya yang bukannya membuat anak itu takut tapi malah membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

“Oke...oke... damai ya kita Pi, udah dong jangan melotot gitu serem.”

“Papa, Prim mau beli cotton candy.

“Kamu biasanya nggak suka makan itu, kan bisa bikin gigi bolong.”

“Nggak apa-apa deh sekali-kali, boleh ya??”

“Iya boleh, sana beli dua, buat Papimu satu tuh biar nggak ngomel-ngomel mulu.”

Mix baru saja akan protes namun Earth─ sang target amarahnya─ sudah pergi menghampiri Phuwin, target amarahnya yang lain.

“Phu ayo sama Papa naik halilintar.”

“Siaaaaap!!!!“ ㅤ


Dufan, 17.30 PM

Earth mengulurkan sebotol air mineral dan sebuah plastik ke hadapan Mix yang tengah duduk di depan wahana Ontang-Anting, menunggu kedua anaknya selesai bermain. Ia sedang meluruskan kakinya yang terasa lelah karena seharian bermain segala macam wahana yang ada di arena bermain ini.

Earth duduk di sebelahnya dan membukakan tutup botol air mineral itu untuknya.

“Thanks. Kamu nggak minum?”

“Udah nih.” Earth menunjukan botol air mineral lain di tangannya.

“Ini apa?” Mix bertanya tentang kantong plastik yang ia terima dari Earth.

“Baju kamu basah tadi abis main Niagara, ganti dulu gih, nanti flu.”

Mix mengintip kantong plastik berisikan kaos bertuliskan Dufan dengan gambar burung bekantan maskot khas pusat rekreasi Dunia Fantasi itu.

Ia tertawa.

Tawanya yang pertama setelah rentetan omelan sepanjang hari ini.

“Nggak ada Dior di sini, kalau ada nggak bakal aku beliin kaos Dufan.”

“Makasih ya, Earth.” Mix tersenyum sembari mengucapkannya, membuat Earth salah tingkah.

Langit mulai menggelap, tapi wajah dan senyuman itu seperti berpendar dalam temaram suasana senja. Semburat cahaya matahari berwarna jingga mewarnai langit bagian barat. Ronanya menyebar hingga langit sore ini berubah sewarna nila. Lampu-lampu di area bermain mulai menyala, pantulan cahayanya berkilau di wajah dan bola mata bulat milik lelaki Sahaphap itu. Nostalgia akan perasaan cinta yang pernah mereka jalani bersama seperti wangi bunga semerbak di udara, dalam tatap mata keduanya tak ada hal lain selain cinta.

“Mix, mungkin aku nggak pernah punya kesempatan untuk ngomong ini sebelumnya─ but i am really sorry for the past me.”

“Aku yang dulu bodoh, egois, berantakan dan segala hal yang kamu benci dan akhirnya bikin kamu capek dan mutusin buat berhenti mencintai aku.”

“Walaupun hidupku sempat makin berantakan waktu kamu pergi, at least aku belajar banyak hal Mix. Setelah kamu pergi aku janji sama diriku sendiri dan Prim, kalau aku pasti bisa berubah. Kalau aku pasti bisa jadi lebih baik dari aku yang saat itu. Tujuanku cuma satu, aku cuma mau jadi ayah yang bisa dibanggain sama anakku kelak. Aku udah cukup hancur waktu kehilangan kamu dan Phuwin, aku takut suatu hari Prim juga bakalan benci Papanya, bakalan ninggalin aku juga, aku nggak mau itu. Makanya aku mati-matian berusaha jadi orang yang lebih baik.”

Mix tidak ada rencana menangis hari ini─ terlebih di depan mantan suaminya. Akan tetapi ia tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh ke pipi mendengar penuturan Earth tentang perjuangannya memperbaiki diri selepas kepergiannya dan Phuwin.

“Aku bersyukur hari ini tiba Mix, aku bisa ngeliat kamu lagi, kamu baik-baik aja dan bahagia sama Phuwin. You doing great in life dan kamu masih sama kayak kamu yang dulu.”

“Kamu sebaliknya Earth, aku bisa ngerasain kamu banyak berubah, tentu aja jadi lebih baik dari kamu yang dulu.”

“Kamu masih Mix yang sama, kamu masih Mix yang bikin aku jatuh cinta bertahun-tahun yang lalu. Entah hatiku yang nostalgia atau gimana tapi jujur aku masih ngerasain debar-debar itu ada, Mix.”

Mix tergelak.

“Kita udah nggak muda lagi, Earth.”

“Ya, kita udah nggak muda lagi untuk mengenal orang baru dan jatuh cinta. Yang aku mau tau, apakah sudah terlambat untuk memperbaiki dan membangun kembali apa yang pernah ada diantara kita Mix?”

Mix membisu. Mencoba melihat kesungguhan dari setiap tutur yang keluar dari belah bibir lelaki itu.

“Mau coba kita ulangi lagi kisah kita dari awal? Tolong kasih kesempatan aku menampilkan aku dalam versi terbaikku di depan kamu Mix.”

Earth menautkan jemarinya dengan milik Mix, menggenggamnya erat. Dalam keremangan cahaya sore itu, di depan gemerlapnya lampu wahana Ontang-Anting, Earth dapat melihat sosok Mix yang mengangguk.

Ia setuju.

Ia setuju untuk mengulangi kisah mereka dari lembar pertama dan Earth berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat kesalahan dan coretan yang tak berarti lagi.

“It's not about being the best of you, Earth. It's about being better than you were yesterday. Just promise me you won't do it again. Mistakes are meant to be corrected, not to be repeated.”

wjmmmy, 2021.

Paparan sinar sang surya yang mulai terjaga merambat masuk melalu celah tirai kamar sewarna ivory di pukul delapan lewatnya lima belas menit pagi ini.

Sosok manis pemuda Sahaphap masih terlelap ketika seekor scottish fold dengan corak stripes abu-kehitaman itu naik ke tubuhnya dan mulai menjilati wajahnya.

“Edin.... stop.” Mix menggeram pelan, masih menutup matanya.

Jilatan-jilatan basah hasil karya kucing kecil itu lamat-lamat menghilang berganti dengan kecupan kecil di sisi wajahnya yang tadi belum terjamah Edin.

“Earthhh... oh please! Edin berhenti- sekarang bapaknya yang gangguin aku.”

Dapat Mix dengar, lelaki itu tertawa renyah sambil berusaha menarik bantal yang Mix gunakan.

“Bangun sayang, aku mau masakin sarapan nih buat kamu.”

“Nggak usah aneh-aneh! Yang ada dapur bisa kebakaran kalo kamu masak.”

“Cuma mau bikin french toast ala-ala doang, buruan bangun sebelum aku ngebakar rumah.” Earth menepuk-nepuk bokong kekasihnya itu, gemas.

“Rumah kan rumah kamuuu, bakar aja kalo mau, aku mau tidur ih capek.”


Tidak sampai sepuluh menit Mix kembali membuka matanya karena hidungnya mencium aroma telur goreng dari arah luar. Membuat perutnya mau tak mau berteriak minta diisi. Pemuda itu akhirnya bangun dari tidurnya.

Usai mencuci muka dan menggosok gigi, Mix menemukan kekasihnya tengah sibuk di mini pantry rumah itu. Mix bersyukur, tidak ada yang gosong dan terbakar hari ini, hal biasa yang terjadi ketika Earth mulai menyentuh kompor dan kuali.


Earth merasakan sebuah lengan melingkari pinggangnya ketika ia tengah fokus menghadap kompor, disusul dengan tubuh pacar mungilnya mendekap erat di sana.

“Katanya masih mau tidur....” Earth mencibir.

“Mau tidur di punggung kamu aja kaya gini.”

“Jadi cuma pindahan tidur doang nih?? Kirain mau bantuin masak.”

“Tadi harum banget apaan ya? Telor dadar bukan? Aku pengen ih laper.”

Earth memutar balik tubuhnya, menghadap pria yang lebih muda itu.

“Anak manis duduk di situ dulu ya... aku selesain ini bentar

Dengan mudahnya Earth membopong tubuh Mix dan mendudukkanya di meja pantry. Mix melingkarkan lengannya ke leher pemuda Pirapat dengan erat, tidak mengijinkannya kembali memasak.

“Katanya laper. Lepasin bentar dong...”

“Mau mam kamu aja, boleh?”

Earth terkekeh pelan sambil mengusak pelan surai hitam lelakinya itu.

“Tadi katanya mau telor dadar.

“Nggaa, ngga mau telor dadar.

“So, how do you like your eggs in the morning sweetie?”

“Fertilized.”

Earth menautkan kedua alis tebal yang senantiasa menghiasi wajah tampan itu sambil menyembunyikan senyumnya, lalu menjitak kening Mix.

“Tadi ngomong sendiri kamu capek ya, sekarang minta ngadi-ngadi...”

“Bercanda kok! Aku pengen sayang-sayangan aja gak mau lepasin.” Mix mendekap makin erat tubuh itu.

“Ini french toastnya kapan kelarnya, tunggu di sofa sana sama Edin, sambil repost-repostin igs.”

“Mau tium dulu.

Earth mengecup bibir Mix kilat. Membuat pemuda itu merengut sebal.

Sedetik kemudian, Mix berinisiatif untuk memulainya. Ia meraih kedua sisi wajah Earth dan mengecup bibirnya beberapa kali yang dilanjutkan dengan menghujani bibir itu dengan lumatan-lumatan pelan. Earth menikmati setiap lumat dan hisap yang dilaku kekasihnya pagi itu sambil sesekali balas melumat plumps lips yang selalu mengundang untuk ia kecap manisnya.

Sebuah ciuman hangat selalu bisa memberi semangat.

“Mix sayang Earth.”

“Iya aku tau.

*“Ihhh jawab sayang balik gitu dong.”

“Sayang balik.”

“Mau kupukul ya???!!!”

“Hehhehe ampun baginda! Earth sayang sayang sayang sayang Mix banyak banget.”

“Semana sayangnya?”

“Se-provinsi Lampang sayang aku buat kamu doang.”

“Dikit amat.”

“Bawel....” Earth mencubit hidung Mix sepuasnya.

-

Mereka tengah menyantap french toast buah karya Earth- yang untungnya enak- di meja makan minimalis rumah bangna.

“Sebel banget kenapa sih ada aja yang screenshoot aku pas nangis tadi malem.”

“Lucu tau.”

“Masa aku dibilang lebih cengeng dibanding Somporn!”

“Lah emangnya nggak?

Mix sudah siap melempar si pemilik rumah dengan garpu stainless kalau saja Earth tidak menutupi kepalanya dengan tangan.

“Tapi Mix, yang kamu bilang semalem itu serius?”

“Yang mana?”

“Yang mau jadi brother who i can't find one better than you?

“Bener...”

“Brother banget nih????”

“Kalo aku bilang pacar apa nggak takut gempar?

“Hmmm jadi brother ya.”

“Aku make istilah brother biar lebih single friendly aja. Nggak usah baper, kamu pacar aku dan nggak ada yang bisa merubah fakta itu.

“Siapa yang baper.”

“Kamu tuh bukan cuma sekedar pacar cinta-cintaan buat aku, kamu bisa jadi segalanya termasuk jadi kakak tempat aku bersandar, tempat aku berlindung. You're my safe place, Earth.”

Jemari Mix mengamit kepunyaan Earth sembari belah bibirnya mengucap kalimat demi kalimat.

“I love you, Mix.”

“Aku tau.

“Nggak apa-apa nggak usah di I love you-in balik juga. Aku tetep sayang kamu.” Ujar Earth sambil mengulum senyuman di bibirnya.

Safe Place.

Tidak ada istilah lain yang terasa lebih mewakili hubungan keduanya ketimbang dua kata ini. Earth is forever being Mix's safe place and vice versa.

Buku harian usang berwarna keabuan kembali terbuka di pangkuan gadis elok si empunya kamar. Warna kelabu itu ada di sana, entah karena termakan usia atau terpapar abu-abunya kisah yang tergores di tiap lembar demi lembarnya . Kalau bisa berteriak, rasanya buku itu pasti akan protes karena terlampau seringnya dibuka.

Secarik foto diselipkan di salah satu halaman, seolah helaian kertas kekuningan itu dapat membingkainya alih-alih menyembunyikannya dari dunia.

“Prim, teman-teman kamu sudah datang. Ayo keluar.”

Ketukan sebanyak tiga kali di pintu kamarnya yang disambung dengan suara berat seorang lelaki menyadarkan si gadis Prim Chanikarn dari lamunan. Segera ia simpan buku harian tua itu di salah satu laci nakas di sisi tempat tidurnya dan menyeka butiran kristal air mata yang belum sempat luruh, jatuh ke pipinya.

“Iyaaa, Pa.”


“Happy Birthday to You... Happy Birthday to You... Happy Birthday... Happy Birthday... Happy Birthday to You.”

Prim memejamkan matanya sesaat sebelum meniup lilin dengan angka tujuh-belas itu. Hari ini hari ulang tahunnya. Ayahnya, Earth Pirapat mengadakan pesta mewah di kediaman mereka, berharap putri semata wayangnya akan bahagia di hari yang istimewa ini. Pria itu tidak pernah tau bahwa segala gemerlapnya pesta sweet seventeen bukanlah hal yang diinginkan gadis itu di hari ulang tahunnya yang ketujuh-belas. Ada hal lain yang selalu gadis muda itu usung di setiap doa-doanya, hari lepas hari, tak terkecuali di hari yang spesial ini.


Mix mengemas kembali kue ulang tahun berwarna merah muda itu setelah puas memandanginya seharian tanpa menyentuhnya sama sekali. Di penghujung sore itu ia duduk diam tepekur mencoba mereminisensi bagaimana rupa terakhir anak perempuan kecilnya yang dia tinggalkan bertahun-tahun silam. Ingatan itu lamat-lamat redup, tapi belum kabur. Gadis kecil itu menangis dalam gendongan lelaki jangkung dengan kulit sewarna tan, lelaki yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang pernah membuatnya mengecap manisnya cinta layaknya madu, sekaligus sakitnya hati seolah tersayat sembilu. Lelaki yang pernah bersamanya, berdua, mereka saling jatuh cinta.

“Pi, dimakan aja yuk cakenya.”

Lamunan Mix buyar ketika anak laki-lakinya, Phuwin muncul.

“Enggak....nggak... kamu makan aja bolu lapis yang tadi Papi beli.”

“Kenapa sih Prim dibeliin kue ulang tahun terus? Dia nggak akan pernah tiba-tiba muncul di depan pintu rumah kita, Pi.”

Lelaki yang Phuwin sapa dengan sebutan Papi itu hanya diam.

“Kamu jangan iri ya Phu, kan kamu sendiri yang nggak mau Papi beliin kue tiap ulang tahun.”

“BUKAN IRI... Phuwin pengen makan aja itu kue daripada akhirnya kebuang.”

“Kamu emang nggak kangen adikmu Phu?” Mix iseng bertanya pada putranya.

“Nggak, lagian udah lupa juga mukanya.”

Mix mencebikkan bibirnya mendengar jawaban yang Phuwin lontarkan, memang remaja lelaki yang sedang tumbuh seperti dia seringkali jaim. Lelaki Sahaphap itu tahu pasti bahwa Phuwin juga merindukan adik kembarnya.

“Kalo Papi, kangen juga nggak?”

“Kangen banget Phu, kayak apa ya Prim sekarang? Pasti dia cantik.”

“Bukan kangen Prim, Pi. Tapi Papa, Papi kangen juga nggak sama Papa?”

“NGGAK.” Mix menjawab singkat, seolah diakhiri tanda titik, tersirat tanda ia tidak ingin memperpanjang obrolan mengenai sosok lelaki yang disebut 'Daddy' itu.

“Jaim amat sama anak sendiri juga.”

“Kamu jangan godain orang tua ya!!!”

“Yaelah Pi, cuma gitu doang.”


“Anak Papa lagi mikirin apa nih kok abis ulang tahun manyun????”

Prim merasakan lengah kokoh lelaki itu menyelimuti tubuhnya dengan selimut hangat.

Earth keheranan mendapati malaikat kecilnya duduk memeluk lutut di salah satu kursi gazebo pinggir kolam renang rumah mereka, tenggelam dalam temaram minimnya cahaya lampu taman.

“Nggak mikirin apa-apa Pa, sumpek aja di dalem.”

“Papa temenin ya, biar nggak ada nyamuk-nyamuk yang berani gigit kamu.

Gadis itu tersenyum kecil.

“Iyaaa makasih Papa jagoanku!”

Earth Pirapat duduk di sana, tapi tidak sepenuhnya di sana. Raganya ada menemani Prim, tapi tidak dengan fokusnya. Ia beberapa kali berbicara di telefon dengan kolega bisnisnya, sepasang manik gelapnya mencurahkan penuh perhatian pada layar tablet dan beberapa kali berguman pelan mengomentari kendala bisnisnya.

“Pa......” Panggil Prim pelan.

“Hm???” Earth menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.

“Prim mau ngomong...

“Halo? Selamat malam Pak Krist.”

Detik selanjutnya Earth kembali menjawab telefon entah dari kolega bisnisnya yang mana lagi dan memberikan gestur “kita bicara setelah ini ya” kepada Prim.

Prim hanya menatap kecewa pada punggung ayahnya yang pergi menjauh.

“Prim nemuin Papi sama Phuwin, Pa.” Gadis itu bicara pada punggung yang semakin lama semakin menjauh itu.


Siang itu awan kelabu seolah betah menggantung di seantero langit, membawa aura suram dan mengancam karena sewaktu-waktu kelamnya bisa saja berubah menjadi hujan.

Suara bel tanda mata pelajaran berakhir berdering diselingi dengan riuh-rendah semarak para pelajar di sekolah itu yang bahagia menyambut waktunya pulang. Tak lama gerombol demi gerombol pelajar dalam balutan seragam putih-abu-abu sudah memenuhi jalanan, semuanya tampak terburu-buru, takut keburu hujan.

Kecuali seorang gadis berkulit pucat dengan rambut hitam panjang, ia berdiri bergeming di sana, bahkan sebelum bel tanda pulang berbunyi. Matanya bergerak-gerak gelisah memperhatikan tiap pelajar laki-laki yang lewat di hadapannya, berharap salah satu dari sekian banyaknya pelajar yang lewat adalah sosok yang ia maksud.


Phuwin berjalan terburu-buru meninggalkan kelasnya, sama halnya dengan siapapun hari itu- dia tidak ingin terjebak hujan. Malang baginya, tetes demi tetes rintik hujan mulai turun bersamaan dengan langkahnya keluar dari gerbang sekolah. Setengah berlari ia melindungi kepalanya dengan tangan mencoba menghalau rintik air yang mulai jatuh membasahi, namun tentu saja sia-sia.

Detik selanjutnya Phuwin terpaku pada tatap gelap manik mata sewarna obsidian yang persis dengan miliknya. Manik itu tengah menatapnya dari jarak yang begitu dekat, mengunci tatapannya. Tak ada lagi tetes air hujan yang membasahi tubuh karena kini ia terlindung di bawah payung merah jambu milik si pemilik mata itu.

Seketika ia merasa kerongkongannya kering dan lidahnya kelu karena kehadiran sosok dengan wajah yang masih membekas jelas dalam ingatannya, seperti baru saja kemarin ia melihatnya. Di tengah sendu rintik hujan, di bawah payung merah jambu, Phuwin akhirnya bisa kembali memanggil nama itu setelah sepuluh tahun berlalu.

“Prim.......”

Ada wajah pucat yang akhirnya merona kemerahan dan sebuah tangis yang akhirnya pecah. Entah siapa yang akhirnya jatuh lebih deras, rintik hujan ataukah air mata sepasang kakak-beradik itu.


“Kamu ijin pulang katanya sakit, tapi kamu nggak pulang ke rumah. Baru pulang jam segini. Semua pesan dan telefon Papa nggak kamu jawab. Kamu bolos Prim? Jawab Papa ya... jangan diem aja.”

Prim sampai di rumah pukul tujuh malam, masih dengan seragam sekolahnya. Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu dengan cemas. Prim tau Papa pasti marah besar, tak urung membuatnya gentar juga- walaupun ia tidak pernah tahu bagaimana wujud ayahnya ketika marah, karena Earth tidak pernah memarahinya barang sekali pun seumur hidup.

Malam ini pun sama, nada bicara Earth selalu lembut. Tapi Prim tahu ayahnya kecewa.

“Bilang sama Papa... kamu abis dari mana hm? Papa nggak marah kok.”

Diamnya gadis itu membuat Earth berasumsi sendiri bahwa putrinya takut ia akan marah apabila mengatakan yang sesungguhnya.

Prim menatap ayahnya. Mencoba menyusun kalimat yang tepat untuk ia sampaikan pada lelaki itu.

“Prim abis ketemu Phuwin, Pa.”

Aku menemukannya di tengah cahaya oranye matahari senja yang menjalar dari celah-celah dedaunan pohon eukaliptus. Kami berbincang perihal ini dan itu sampai tak kenal waktu. Bola matanya menari seiring ia berbicara, membuatku meletakkan angan setinggi-tingginya hingga aku lupa bertanya, memangnya aku siapa?

-Ditulis oleh Segara Biru, untuk Binar Jingga.


“Halo, nama gue Jingga.”

Namanya Jingga. Sore itu, di selasar bangunan tua gedung fakultas seni rupa dan desain, suaranya yang renyah menyapaku di tengah hiruk-pikuk bubaran mahasiswa orientasi hari pertama.

Aku menatapnya dengan kikuk, memang aku bukan orang yang mudah berinteraksi dengan orang baru, ditambah hari itu hari yang sangat melelahkan sehingga introvert satu ini seperti sudah kehilangan semua energi. Bahkan hanya untuk saling bertukar sapa pun lidah ini kelu.

“Nama lo siapa?”

Jingga tidak menyerah. Ia gigih. Entah gigih ingin mengenalku atau sekedar gigih ingin membunuh rasa bosan yang mencekiknya sore itu sambil berdiri seorang diri di sudut sana menunggu jemputannya.

“Biru......”

“Wah.... nama kita mirip.” Jingga memekik bahagia.

Aku baru ngeh, Biru dan Jingga. Warna.

“Kita sama-sama warna yang sekarang ada di langit, liat tuh...”

Seperti terhipnotis, mataku mengikuti kemana arah jemari itu menunjuk.

Betul, kali pertama kami bertemu sore itu saat sang langit tergurat senja, ronanya merekah mewarnai anggunnya angkasa.

“Langit selalu indah ya...”

Aku beralih menatapnya.

“Iya indah...” Ucapku mengiyakan.

Entah apa yang indah, Jingga atau langit yang tengah menjingga itu.

“Lo suka liatin langit juga?”

“Nggak sih... “

“Kenapa? Padahal nama lo Biru.”

“Yang biru kan bukan cuma langit, laut juga biru.”

“Jadi lo suka laut?”

“Nggak juga.”

“Aneh...”

Jingga mengerlingkan mata bulatnya yang sewarna obsidian.

“Lo suka langit?”

Aku terkejut dengan diriku sendiri yang balik bertanya, setengah mengira aku hanya mencoba bersikap sopan alias basa-basi belaka atau memang jauh dalam sudut paling rahasiaku mendesak untuk tahu lebih banyak tentangnya.

“Cuma langit sore yang warnanya jingga...”

“Kenapa?”

“Karena gue lahir waktu senja.”

Aku hanya mengangguk di tengah ketidakmampuanku menemukan kata-kata yang terasa pas untuk menanggapi perkataanya.

“Lo kenapa namanya Biru?”

“Katanya pas lahir badan gue biru-biru, sampe semua orang kaget. Mereka pikir gue meninggal.”

Kalimat terpanjang yang ku ucapkan sore ini.

Jingga tertawa. Terbahak-bahak. Aku menatapnya bingung, apanya yang lucu?

“Eh lo serius??? Sorry... gue kira bercanda, lo tau nggak lo lucu banget pas cerita tadi... Maaf ya maaf.....”

Aku hanya mengangguk. Aku tidak marah, senyum dan matanya yang berbinar-binar saat ia bicara dan menatapku, mengaburkan segala niat untuk marah.

Tidak percaya?

Coba saja, tatap mata dan wajah itu sendiri.

Aku tidak melebih-lebihkan ketika kubilang wajah dan senyum itu mempesona. Paling tidak buatku. Matanya yang besar dan kelam seolah menenggelamkanku tiap kutatap maniknya.

Jingga terus saja berceloteh tentang ini dan itu, mostly tentang kegiatan ospek hari ini yang melelahkan dan menyebalkan diselingi beberapa umpatan yang keluar dari bibirnya, lucu. Baru pertama kali aku tahu bahwa orang bisa mengumpat dengan cara selucu ini. Tidak banyak ucapannya yang kudengar, tidak sebanding dengan banyaknya tawa dan senyumannya yang kurekam.

Jingga terlihat semakin indah di kala senja menyapa, ketika cahaya matahari jatuh menimpa wajahnya dari celah pucuk-pucuk daun eukaliptus yang banyak tumbuh di sepanjang selasar bangunan itu.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa berbagi nasib dengan langit. Senja ini, aku dan sang langit, keduanya sama-sama jatuh menjingga bersamamu.

Earthmix 🔞 Tw: mature content, car sex, blowjob, harsh word.

“Earth ayo pulang......”

Pemuda manis itu merengek sembari tangannya menarik-narik sweater biru yang dikenakan kekasihnya, Earth Pirapat.

Earth yang tengah duduk santai bermain ponsel di salah satu kursi di GMM building malam itu mengalihkan atensinya dan menatap wajah si manis kesayangannya, Mix Sahaphap.

“Kamu udah nggak ada urusan lagi?”

Pemuda Sahaphap itu menggeleng.

“Bentar ya, urusan aku belum kelar, ini lagi nunggu P'Aof.....” Ujar Earth dibarengi dengan usapan-usapan lembut yang ia daratkan di punggung tangan Mix, membuat yang diusap hanya mengerucutkan bibirnya, merengut.

Earth tersenyum melihat perangai manja si manis yang selalu muncul tiap pemuda itu kelelahan. Seperti saat ini, setelah aktifitas padat mereka seharian, Mix bisa bersikap seribu kali lebih manja dari dirinya yang biasanya.

“Jangan cemberut gitu dong jelek......” Earth kembali mencurahkan seluruh perhatian pada ponselnya.

Mix semakin sebal karena Earth mengabaikannya di saat ia merasa sangat lelah dan mengantuk seperti ini.

Lelaki Pirapat itu terkejut bukan main ketika yang lebih muda tanpa babibu tiba-tiba naik pangkuannya, tidak peduli pada banyaknya bangku kosong di sekitar mereka yang bisa dipilih untuk disinggahi atau beberapa pasang mata milik staff yang menatap sambil mesam-mesem akibat ulah pasangan ini.

“Berat sayang......” Earth berbisik di telinga kekasih manisnya.

Mix tidak peduli dan malah menghenyakkan punggungnya ke tubuh Earth, membuat Earth tidak bisa lagi bermain ponsel. Dalam diam, Mix tersenyum penuh kemenangan. Earth mengalah, ia menyimpan ponselnya dan memutuskan untuk bermain-main dengan bayi besar di pangkuannya.

Pelukan erat dilaku pemuda tampan itu diiringi dengan genggaman hangat dengan tujuan menyalurkan afeksi agar Mix tidak rewel lagi.

“Capek ya kamu jadi rewel gini? Persis bayi.”

Mix mengangguk “Emang aku bayi!!”

“Sabar sebentar lagi ya....” Earth mengecup pundak Mix pelan.

Mix bermain dengan jemari panjang Earth yang bertaut dengan miliknya. Tiba-tiba ide nakal terbesit dari otaknya.

“Earth.....”

“Hm......?”

Mix menengok menatap wajah Earth- di belakangnya -dan tersenyum kecil.

“Kenapa tiba-tiba senyum kaya gitu?” Earth menyipitkan matanya, curiga.

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Mix malah sibuk menggerakan tubuh bagian bawahnya dalam pangkuan Earth. Ia menggerakan pinggulnya hingga pantatnya menggesek milik Earth di bawah sana yang tengah ia duduki.

“Mix........” Earth berusaha menghentikan polah itu.

Tapi bukan Mix namanya kalau ia dengan mudah dapat dihentikan.

Mix terus menggerakan pinggulnya, membuat belahan pantatnya berkali-kali menggesek milik Earth yang ia rasakan mulai mengeras di balik fabrik celana yang ia kenakan. Mix menggengam tangan Earth dan melanjutkan aktifitasnya.

Earth merespon dengan normal, lelaki mana yang tidak terangsang ketika pacarnya melakukan tindakan seperti itu, terlebih lagi di tempat umum. Ia merasakan kejantanannya mengeras karena aksi nakal Mix, pemuda Pirapat meraih pinggang ramping kekasihnya itu dan membantunya bergerak lebih teratur dari yang sebelumnya. Earth mulai mengecupi bahu dan perpotongan leher Mix sampai ke telinganya.

Mix kena batunya.

Niatnya untuk menggoda Earth kini berbalik arah menyerang dirinya sendiri. Ia merasakan tubuhnya memanas dan menginginkan Earth untuk menyentuhnya, lebih lagi. Ia menggigiti bibirnya sendiri untuk menahan desahannya.

Tapi ia tidak tahan lagi.

“Aahh....Earth...” Desahan pelan itu lolos juga dari belah bibirnya.

“Ssshhh.....” Earth menyuruhnya diam.

“Mix mau pulang.... nggh...” Mix merengek.

Mata sayu itu menatap, memohon untuk Earth menuntaskan hasratnya. Ia terus menggigiti bibirnya sendiri.

“Mau pulang hmm...?” Earth berbisik di telinga Mix sambil terus mencumbu bagian sensitif kekasihnya itu.

Mix mengangguk-angguk, wajahnya memerah.

“Tapi aku belum kelar sayang.....”

“Please......”

Earth paling tidak bisa menolak kalau Mix sudah memohon padanya.

Apalagi sekarang, Mix memohon untuk dijamah.

Earth buru-buru menggandeng tangan Mix keluar dari ruangan itu, Mix tidak peduli kemana Earth berniat membawanya. Yang dia tau, hasratnya harus segera dituntaskan.

Earth membawa Mix ke area parkir dan menemukan lokasi parkir mobil miliknya. Ia mendorong Mix untuk masuk ke kursi belakang mobilnya, lalu menyusulnya.

“Mau coba main di mobil?”

Earth menawarkan cara bercinta yang belum pernah mereka coba sebelumnya sambil menarik lepas sweaternya dan menyajikan pemandangan tubuh berotot di hadapan Mix. Mix menyukainya, kekasihnya terlihat sangat menggairahkan dan membuatnya bergetar ingin buru-buru disetubuhi.

Mix hanya bisa mengangguk pasrah, tidak sempat menjawab karena detik berikutnya Earth sudah melumat habis bibir ranum itu dan melesakkan lidahnya ke dalam mulut Mix, mengabsen setiap inci rongga mulut dan giginya, selanjutnya menautkannya dengan milik Mix. Hanya suara desahan dan decakan yang terdengar dari aktifitas saling memakan itu.

Earth melucuti pakaian yang Mix kenakan dan melemparnya sembarangan. Selanjutnya ia mencumbu tubuh polos Mix, menyesap tiap permukaan kulit mulus pemuda itu dan meninggalkan beberapa bekas kemerahan tanda kepemilikan Earth atas tubuh Mix.

Mix tidak mau kalah, ia mendorong tubuh Earth hingga terjajar mundur dan memulai aksinya menjilat-jilat seperti anak kucing. Mix menjilati setiap lekukan otot perut Earth, jilatannya semakin turun dan semakin turun ke area yang masih terbungkus celana.

“Aku keluarin boleh?”

Earth tersenyum ketika si manis meminta ijin untuk mengeluarkan penisnya yang sudah sesak di dalam celana. Ia hanya mengangguk sembari mengusap pelan sebelah sisi wajah Mix.

Segera saja Mix menurunkan zipper celana Earth dan mengeluarkan benda yang sejak tadi sudah mengeras dan meronta minta dibebaskan.

Kejantanan Earth sudah menegang sempurna akibat ulah nakalnya, urat-uratnya menonjol seakan mengintimidasi dan menambah kesan gagah. Mix mulai menggenggam penis itu dan mengocoknya dengan tangan mungilnya, walaupun ini bukan yang pertama untuknya tapi ia masih saja terpana setiap kali melihat penis kekasihnya ereksi sempurna, membayangkan benda itu memasuki tubuhnya membuat miliknya ikut berkedut-kedut terangsang.

Ujung penis Earth dijilati perlahan, sesekali mengemut kepala penisnya dan ia sedot lubang kencingnya membuat Earth mengerang dan makin melesakkan penisnya semakin dalam ke mulut kecil Mix- mengejar kenikmatan yang lebih banyak lagi -membuat pemuda itu terbatuk-batuk.

Kejantanan Earth yang mengkilap karena saliva milik Mix, terlepas dari mulut dan menghantam wajahnya. Air liur menetes ke dagu Mix ketika ia merasakan benda itu menepuk-nepuk wajahnya.

Earth tidak tahan lagi.

“Mix..... ride me....” Earth menepuk bokong Mix pelan.

“Earth... lubang aku masih kering takut sakit......” Mix menolak permintaan Earth untuk memasukinya tanpa foreplay.

“Buka celananya sayang....” Titah Earth.

Mix menurunkan celananya, butuh waktu yang cukup lama karena sulit memarik lepas celananya di mobil yang sempit ini.

“Buka dulu kaki kamu yang lebar....”

Mix menurut. Ia membuka kedua kakinya lebar-lebar di hadapan Earth, membuat Earth memiliki akses untuk menatap penis Mix yang sudah menegang dan cincin kerutnya yang berkedut ingin digagahi.

Earth membasahi dua jarinya dengan liurnya dan mulai mengusapkannya di sekitar lubang Mix, Earth meludahinya beberapa kali dan menyiapkan lubang Mix untuk dimasuki karena mereka tidak memiliki pelumas di mobil.

Earth mulai mendorong kedua jarinya untuk memasuki kekasihnya.

“Kalau kerasa sakit bilang ya sayang, aku janji bakalan pelan-pelan.”

Mix memejamkan kedua matanya ketika ia rasakan dua buah jemari panjang milik kekasihnya mulai mengoyak dan memasukinya.

“Arrrrrhhhh.....Earrthhh sakiittt......” Mix merintih.

Walaupun sudah berkali-kali Earth setubuhi, Mix masih sangat sensitif di setiap penetrasi yang Earth lakukan, ia akan terus merintih kesakitan dan membuat Earth semakin bernafsu menggempur lubang itu.

“Baru jari sayang belum penis aku.”

“Pelan-pelan hmmm...” Mix mencengkeram lengan Earth kuat-kuat yang menyisakan bekas kemerahan di sana.

Earth terus menggerakan kedua jarinya dengan pola menggunting membuat Mix makin berantakan dibuatnya.

“Earthh mau dimasukin.... aku nggak tahan.....” Mix sudah tidak kuasa menahan birahinya ingin segera digagahi oleh penis besar milik kekasihnya.

“Dimasukin apa hmm? Ini kan lagi dimasukin.” Sempat-sempatnya Earth menggoda.

“Nggak mau pakai jari, nggak enak.”

“Nggak ada kondom nggak apa-apa?”

Nafas Mix sudah tidak beraturan, ia mengangguk asal.

“It's okay i want it raw.”

Earth tersenyum miring melihat kelakuan binal kekasihnya ini.

“As your wish, baby.”

Earth mengecup kening Mix, berpindah ke kedua kelopak matanya yang sudah basah karena air mata, pipi gembilnya dan terakhir bibirnya sebelum ia menggantikan kedua jarinya di dalam lubang Mix dengan penisnya yang sudah tegak.

Tubuh mungil Mix terhentak ke belakang ketika kejantanan Earth sudah terbenam sempurna di dalamnya. Mix merasa sangat penuh. Ia menggerakan pantatnya dan merasakan sensasi nikmat ketika ujung penis Earth mengenai prostatnya.

“AAAHHH.... EARTHH aaahhh fuckk aaahhh....” Belum seberapa tubuh Mix menegang, tanda ia akan segera orgasme.

“Enak aku penuhin gini hm? Mix jawab...”

“Enakhh... aaahh pengen pipis...”

“Belum juga aku genjot udah mau muncrat aja kamu.”

Earth memulai permainannya dengan menggempur lubang Mix tanpa ampun. Earth memegang kendali atas pinggul Mix, penisnya keluar-masuk dengan tempo sedang hingga cepat membuat Mix kelabakan di bawahnya.

Mau gila rasanya ketika lubang Mix terasa menyempit dan memijit-mijit penisnya di dalam sana. Earth pusing merasakan nikmat ini. Mix sendiri sudah kewalahan mengimbangi hentakan-hentakan penis kekasihnya, ia kesakitan, tapi juga keenakan.

Peluh membanjiri kedua tubuh yang dikendalikan nafsu itu. AC mobil yang sudah diset dengan suhu paling rendah pun tak ada artinya karena panasnya permainan mereka. Lenguhan dan desahan nikmat menjadi musik alami nan merdu yang mengiringi keintiman kedua insan dimabuk asmara itu.

“Earth keluarin di dalem aja...”

“Beneran nggak apa-apa? Aku bisa keluarin di tissue.”

Mix menggeleng.

“Di dalem aja...”

Hingga akhirnya mereka mencapai pelepasan di waktu yang bersamaan. Mix menyemburkan spermanya ke perut Earth dan Earth melepaskannya di dalam, sekali lagi ia memenuhi Mix, kali ini dengan cairan orgasmenya.

Keduanya rebah saling tindih di kursi mobil yang sempit, kelelahan.

“Earth kamu berat ih nimpa aku.”

“Bentar aja yang, masih lemes.”

Mix terkekeh. Tangannya ia bawa untuk mengusak surai hitam kepunyaan lelakinya itu.

“Buruan ayo pulang ih, lengket pengen mandi.”

“Mandi bareng nggak?

“Nggak ih ntar kamu macem-macem lagi.”

“Kamu tuh yang macem-macem, tadi juga kamu yang mulai.” Earth mencubit hidung Mix, gemas.

“Ayo pulaaaang...”

“Pake bajunya dulu ya...”

“Baju aku kamu lempar ke mana tadi? Geseran dulu...”

Detik-detik selanjutnya diisi dengan mereka berdua yang sibuk mencari ke manakah potongan-potongan pakaian yang semula mereka kenakan lalu mereka lemparkan sembarangan.

️️

𝚆𝙹𝙼𝙼𝙼𝚈, 2021

Baru enam puluh menit waktu berlalu sejak Earth bersumpah demi Tuhan dan segala isi semesta kalau ia tidak akan membalas pesan singkat yang masuk ke telefon genggamnya.

Tapi apa daya yang bisa ia perbuat ketika sosok manis itu berdiri di depan pintu kamar kosnya. Menatap Earth dengan manik bulat yang tampak memerah dan sisa-sisa jejak air mata— aksesoris yang paling Earth benci —menghiasi wajah cantik si pemilik nama Mix Sahaphap. Wajah bak candu yang sudah setengah mati Earth tampik dari angan-angan liar tak pada tempatnya yang tak pernah absen bersarang di benak.

Satu sumpah yang ia bangun sendiri terpaksa ia robohkan lagi, karena saat ini lengan kokohnya tengah berekreasi mendekap hangat tubuh pemuda Sahaphap di atas ranjang sempit dan lawas, kamar kos Andante nomor 12. Sekedar mengingatkan— ini bukan kali pertama sebuah ikrar bertukar menjadi ingkar karena degup dan detak yang melonjak di dalam sana telah menang, terlebih dahulu merenggut fungsi otak.


Bayi besar itu terpejam namun tidak terlelap. Earth tahu pasti.

“Ngantuk?”

Sahabatnya yang entah sejak kapan telah menyesaki setiap bilik ruang hatinya bahkan di tempat yang paling tersembunyi sekalipun itu, menggeleng pelan.

“Mata gue cuma pegel aja, capek.”

“Ya udah tidur aja.”

“Kalo cuma mau tidur ngapain juga gue ke sini, mendingan gue pulang ke rumah.”

“Terus ngapain ke sini kalo gue ditinggal merem?”

Akhirnya kelopak itu terbuka, menatap pemilik dada bidang yang kini menjadi tumpuan kepalanya dan merengkuh tubuhnya dalam sebuah pelukan.

“Berantem lagi sama pacar lo?”

Belum sempat belah bibir Mix terbuka, Earth mendahuluinya seolah tau apa yang akan Mix ucapkan.

Ya, hal ini bukan pertama, kedua, atau ketiga kalinya terjadi. Earth sampai lelah sendiri. Ada harap dalam setiap keluh yang Mix utarakan setiap pertengkarannya dengan sang kekasih.

“Kenapa sih dia nggak bisa memperlakukan gue sebaik lo???” Harapan yang selalu melambungkan Earth.

“Kenapa lo pacaran sama dia? Bukan sama gue?”

“Earth, kita udah bahas ini berkali-kali ya. It's doesn't work between us.”

Tapi kita belum pernah nyoba, Mix. Harapan itu pula yang membuatnya kembali jatuh.

“Disakitin mulu tapi lo nggak kapok-kapok.”

“Serius kali ini gue capek.”

“Gue yang lebih capek.”

“Lo beneran capek sama gue?”

“Liat tuh bekas ingus lo kebanyakan nangis.”

“Pokoknya malem ini mau bobo sama lo.” Mix merapatkan diri ke tubuh sahabatnya, mengejar friksi nyaman yang selalu ia dapatkan dari tiap sentuhannya dengan Earth.

Tanpa memikirkan di sana ada hati yang mati-matian diperjuangkan agar tidak semakin jatuh. Ada hasrat yang sebisa mungkin ditahan agar tidak meluap. Milik Earth.


Earth menyerah. Amarahnya tumpah-ruah sudah. Sebuah sumpah kembali diikrarkan untuk tak lagi sudi dibodoh-bodohi atas nama cinta tai kucing.

Banyak kekecewaan yang telah ia tuai seolah mengelaborasi bahwa hati dan perasaanya tak pernah dihargai, namun pemuda Pirapat ini terlalu sibuk menempatkan intensi di tempat yang terlalu tinggi.

Sejatinya berharap pada suatu hal itu sah-sah saja, namun ia harus tau kapan waktunya untuk berhenti.

Langit abu-abu senja itu menjadi saksi bisu dari hati yang patah, dari asa yang melebur, pupus dan hancur milik pria bodoh yang menyandang nama Earth Pirapat.

Aftermath

𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆 ㅤ

Earth itu ibarat awan, bebas dan tenang, dan aku ibarat angin, seringkali menggebu dan dinamis. Aku mendambakannya, seperti bumi menentang awan kemarau, dalam rahasia aku berharap ia berubah menjadi hujan.

Earth itu ibarat payung, bukan karena dia kuat menahan gigilnya hujan dan sengatnya panas, tapi karena dia selalu membiarkan aku berteduh di hatinya.

Earth itu ibarat langit, langitku yang biru, yang selalu meneduhkan dan menenangkan hatiku. Namun hari tak selamanya siang dan Earth pun tidak selamanya biru.

Earth itu ibarat senja, selalu menjadi akhir yang indah dari lelah dan panjangnya hari. Ketika senja berganti malam, senja tetaplah indah, walaupun dia sudah berlalu.

Senja yang mengajari aku definisi dari sebuah rela, bahwa apa yang ada bersama kita, tak mesti selamanya.

—𝓂𝒾𝓍. ㅤ


Mix terbangun ketika cahaya hangat mentari pagi merayap masuk ke kamar dengan cat dinding sewarna aprikot itu, kilauan pendar kuning keemasan menerobos lewat celah tirai kamar bermotif bunga-bunga kecil berwarna putih, tirai yang ia pilih sendiri untuk mendekorasi kamarnya.

Sesosok tubuh lain berbaring bersisian dengannya, masih terlelap dalam tidurnya yang pulas. Mix menatap sosok yang tengah terpejam di hadapannya, mengagumi tiap detail pahatan hasil karya sang maha pencipta pada paras tampan lelaki yang amat ia cintai, dia yang sudah tiga tahun menjadi pendamping hidupnya, Earth.

Tiap kali Mix menatap wajahnya, tiap kali itu pulalah Mix kembali jatuh cinta pada sosok di depannya ini. Alisnya yang hitam legam, manik mata kelam yang selalu menatapnya penuh kehangatan, tawa lepasnya yang telah menjadi aliran musik baru yang Mix gandrungi dan tak lupa senyum lebarnya yang selalu terulas manis di setiap kali ia berbicara, milik lelakinya seorang.

Mix tersenyum ketika Earth membuka matanya, terbangun.

“Selamat pagi sayang.” Ujar Mix ceria, yang tidak dijawab oleh Earth, terabaikan begitu saja.

Earth beranjak dari ranjang mereka.

“Earth mau sarapan apa? Nasi atau roti?” Tidak menyerah, Mix memberondong Earth dengan pertanyaan tentang menu sarapan apa yang ia inginkan pagi ini.

Pertanyaan yang dijawab Earth dengan suara dentuman pintu kamar mandi yang terbanting menutup.

Earth biasanya selalu hangat, Mix bertanya-tanya ada apakah dengan suasana hatinya belakangan ini yang begitu kelabu. Sudah seminggu belakangan ini Earth tidak bicara padanya, tidak menganggap segala hal yang Mix lakukan untuknya, bahkan seperti menganggapnya tidak ada.

Seperti pagi ini, Mix sudah memilihkan dasi berwarna navy bermotif garis yang serasi dengan kemeja biru muda yang Earth kenakan, tapi Earth mengabaikan pilihannya dan memilih dasi hitam polos monoton yang dua hari lalu baru ia kenakan untuk ke kantor. Biasanya Earth akan membiarkan Mix mengikatkan dasi dan merapikan kemejanya, tapi kini tak ada lagi momen itu di pagi demi pagi yang mereka lalui setiap hari.

Pagi ini, Earth mengikat dasi sendiri dan bahkan tidak mau repot-repot merapikan lipatan kemejanya. Menyisakan Mix yang bergeming menatap sepotong dasi di tangan. Ingatannya melayang jauh ke peristiwa satu tahun silam saat ia menghadiahkan dasi yang kini ia genggam erat di tangannya itu, untuk Earth di hari ulang tahunnya.

“Earth... kita perlu ngomong...” Mix menyusul suaminya ke luar kamar dan mendapatinya sedang menuangkan susu pada semangkuk sereal di meja makan.

Dalam diam, Earth menyantap sereal padahal di meja makan sudah Mix sediakan sandwich dengan scrambled egg dan segelas kopi pahit dengan satu sendok teh gula, favoritnya.

“Mix jangan lupa kopi aku ya, inget gulanya satu sendok teh aja, soalnya suami aku udah manis. Aku nggak mau diabetes.” Ucap Earth suatu hari di awal-awal kehidupan pernikahan mereka, Mix hanya bisa tersenyum mengenang momen itu sekarang.

Hingga pagi ini Earth pergi meninggalkan rumah, tak ada satu patah kata pun yang dia ucap untuk Mix. Ia pergi begitu saja. Tanpa kata. Tak ada lagi senyum dan lambaian tangannya, tak ada lagi kecupan manis yang biasa lelaki itu daratkan di puncak kepala. Mix bersikeras menanamkan dalam benaknya bahwa tidak ada yang berubah diantara mereka, tapi suara dalam kepalanya seperti tidak mau diam, terus saja mendesaknya bertanya di manakah letak kesalahannya sehingga membuat lelaki yang dicintainya berubah. Apakah Earth tidak mencintainya sebanyak dulu lagi? Apakah tiga tahun waktu yang cukup untuk membuat cinta mereka pudar termakan usia? ㅤ


Mix menyirami deretan tanaman kerdil di dalam pot yang dia dan Earth pelihara sejak awal pernikahan mereka. Kini jumlahnya ada tiga buah, setiap potnya melambangkan jumlah tahun yang mereka lalui bersama dalam ikatan suci yang disebut pernikahan. Entah mengapa tanaman itu layu dan mengering, padahal Mix menyiraminya setiap hari, merawatnya dan memberinya pupuk, tanpa terlewatkan satu hari pun. Walaupun sudah kering, Mix tetap merawat tanaman itu, dengan harapan pucuk-pucuk hijau yang telah menguning itu esok hari akan kembali menghijau, itu harapannya setiap hari.

Herannya, bukan hanya tamanan pot kerdilnya saja yang mengering, petak kecil yang Earth siapkan untuk Mix menyalurkan hobi bercocok-tanamnya di pekarangan depan rumah juga turut mengering. Petak-petak mawar kesayangan Mix kini layu, teronggok menyedihkan.

Earth yang tidak menyukai bunga mawar pernah tersenyum bahagia ketika petak bunga itu merekah dipenuhi warna merah. Aroma semerbak khas bunga perlambang cinta tersapu hembusan angin dan menyapa lembut indra penciuman ketika mereka berdua duduk-duduk di teras sambil menyesap teh hangat, di suatu malam di tahun pertama pernikahan mereka.

“Earth!!! Mawar aku berbunga semua tuh liaat....” Mix pernah dengan bangganya memamerkan kuncup-kuncup mawar di kebun mungilnya ketika suaminya pulang kantor sore itu.

“Baru kuncup doang...”

“Nanti juga mekar, sabar.”

“Yang keliatan nggak sabar tuh kamu ya Mix, bukan aku.”

“Hehehe makasih yaaa udah ijinin aku tanam bunga mawarnya walaupun kamu nggak suka.”

“Asal kamu suka, aku nggak keberatan.”

Begitulah Earth, suaminya yang hangat dan penyayang. Bahkan ia pernah mendapati Earth menyirami tanamannya dengan penuh perhatian ketika suatu hari ia pulang terlambat karena mengunjungi orang tuanya di luar kota.

Begitulah Earth, suaminya yang manis.

Bunga-bunga mawarnya mendadak layu, sama halnya dengan tanaman-tanaman kerdil miliknya, walau Mix tidak pernah absen menyiraminya setiap hari. Kini, kelopak demi kelopak mawar jatuh berguguran. Tak ada lagi rona merah menyala yang biasa mewarnai sudut itu, tak tercium lagi semerbak harumnya di udara. ㅤ


Jam dinding menunjukkan waktu sudah memasuki pukul sebelas malam, tapi Earth belum juga sampai di rumah. Jam kerjanya di kantor berakhir di pukul empat sore, biasanya paling lambat pukul enam sore dia sudah tiba di rumah. Tapi hari ini tidak, tidak ada pesan atau pun telefon dari suaminya yang mengabari bahwa dia harus lembur di kantor, sebagaimana Earth selalu lakukan setiap kali ia terpaksa lembur. Mix khawatir dengan kondisinya belakangan, yang selalu terlihat pucat dan lesu.

Mix duduk memeluk lututnya di sofa ruang tengah, menanti Earth tiba. Hingga akhirnya pukul sebelas lewat dua puluh menit, suara mesin mobil Earth terdengar dari luar rumah. Mix buru-buru berlari keluar menyambut kedatangan sang suami.

Earth muncul dengan keadaan berantakan, tiga buah kancing kemeja paling atasnya terbuka, dasinya sudah tidak karuan bentuknya, bau alkohol tercium dari tubuhnya. Earth mabuk, hal yang yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya, Mix tahu itu. Ia mengenal Earth bahkan lebih baik daripada ia mengenal dirinya sendiri.

“Earth kamu mabuk?” Mix bertanya sembari mencoba meraih lengan Earth untuk membantunya yang tengah berjalan sempoyongan, tapi Earth menepis uluran tangan itu.

Earth menjatuhkan dirinya di lantai dan menyembunyikan wajahnya di balik lututnya. Tak lama, isak tangis tertahan terdengar memenuhi ruangan itu.

Earth menangis.

Mix menyaksikan bagaimana bahu yang selama ini terlihat kokoh lamat-lamat berguncang karena pemiliknya tengah berurai air mata.

“Earth kamu kenapa? Ada apa? Cerita sama aku ya...?” Mix membawa tubuhnya mendekat, memeluk Earth dan meraih kepala lelaki itu dalam pelukannya.

“Mix...” Earth menyebut namanya di sela-sela isak tangisnya.

“Iya ini aku, aku di sini Earth.”

“Mix....” Hanya namanya yang Earth sebutkan berulang-ulang dibarengi dengan air matanya yang tumpah.

“Kenapa kamu ninggalin aku Mix....”

“Aku nggak ninggalin kamu Earth, aku di sini.” Mix bingung, apa yang Earth bicarakan? Apakah efek alkohol membuatnya meracau?

Earth memandangi layar handphonenya yang menampilkan foto kemesraan mereka berdua ketika sebuah notifikasi pesan masuk membuat tangisnya semakin pecah. Bunyi pesan yang tidak hanya menghancurkan hati Earth, tapi juga hatinya, yang ada di sebelah Earth.

Mix dapat melihat, itu pesan dari Ibunya.

“Earth, besok 7 hari meninggalnya mix, kamu ikut mama ke makam ya? Kita penuhi makamnya dengan mawar merah kesukaan dia, biar mix bahagia di sana. Ikhlasin mix ya earth...”

Butiran kristal air mata lolos dari pelupuk mata Mix. Kini ia mengerti. Dialah alasan di balik wajah pucat dan lesu milik suaminya satu minggu belakangan dan tangisannya yang pecah malam ini. Dialah penyebab pot tanaman kerdilnya layu. Dia jugalah yang menyebabkan petak-petak mawar kesayangannya mengering.

Satu minggu belakangan ia merasa dirinya masih ada di rumah ini seperti biasanya, berinteraksi dengan Earth seperti dia yang biasanya, merawat rumah dan tanaman seperti dia yang biasanya, seolah jiwanya masih bersama dengan sang raga, seolah raga itu masih miliknya, nyatanya raganya sudah bersemayam di tengah dinginnya tanah dengan kedalaman dua meter yang kini menjadi rumah abadinya.

Mix menangis di sana, memeluk tubuh Earth sebisanya. Memeluk suaminya yang tidak bisa lagi ia kecup setiap pagi, tidak bisa lagi ia pilihkan dan ikatkan dasi sebelum berangkat ke kantor, tidak bisa lagi ia buatkan sarapan dan seduhan kopi pahit dengan satu sendok teh gula.

Suaminya yang malang, Earthnya yang malang. Nasib mereka yang malang. Cinta mereka yang malang.

“Maafin aku Mix karena belum bisa ikhlasin kamu, harusnya aku nggak kaya gini. Aku janji kalau hari ini akan jadi hari terakhir aku kayak gini Mix, aku janji. Kamu harus bahagia di sana sayang, kamu punya tempat yang lebih baik di sisi Tuhan, aku ikhlas Mix, aku ikhlas. Kamu juga harus ikhlas ya, aku baik-baik aja, kamu bisa tenang di sana.”

Fin. ㅤ

-wjmmmy.

Davikah & Ferna

Memorial Park 8.30 AM

Memorial Park pagi itu begitu tenang dan sunyi, hanya terdengar suara cicit burung yang mungkin sedang bercengkrama dengan sesamanya di kejauhan dan suara beberapa tim kebersihan yang sedang melakukan tugas rutin mereka menyapu area pemakaman.

Hanya segelintir orang yang datang berziarah pagi itu, termasuk diantaranya Mama Earth dan kedua putranya, Earth dan Mix.

“Ma, kenapa kita ke sini? Katanya kita mau ketemu Mama?”

Mix benar-benar clueless kenapa Mama malah mengajaknya ke pemakaman alih-alih menemui ibunya.

Mama menghentikan langkahnya di depan sebuah nisan sewarna obsidian berukirkan nama Davikah Sahara. Beliau diam sejenak lalu menatap Mix, ada kepedihan dalam tatapan itu dan Mix bisa merasakannya. Intuisinya mengatakan bahwa yang akan di sampaikan Mama setelah ini adalah kabar yang tidak ia harapkan.

“Iya Mix, di sinilah Mama kamu selama ini, Nak. Inilah alasan kenapa selama ini Mama kamu tidak pernah datang menjemput, bukan karena dia tidak menginginkan kamu lagi sayang, itu karena memang dia nggak bisa datang, karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini.”

Mama mengucapkannya pelan-pelan, agar Mix bisa mendengarnya dengan baik.

Mix terdiam. Ia menatap kosong ke arah nisan kelabu itu.

Davikah Sahara, betul itu nama ibunya. Satu-satunya hal tentang wanita yang telah melahirkannya- yang masih melekat dalam ingatan Mix selain wajah ayunya. Mix mendekat ke arah nisan berukirkan nama Davikah dan mengusapnya perlahan, lalu memeluknya.

“Saat menitipkan kamu di rumah kami, Davikah sudah sakit Mix, lalu ia meninggal satu tahun kemudian.”

Mix tidak bisa menahan, tangisnya pecah saat itu juga, di atas makam ibunya. Ia menangisi hari demi hari yang ia habiskan untuk berprasangka pada ibunya. Menyesali waktu-waktu kesepian yang ia habiskan untuk menyalahkan ibunya. Merutuki diri sendiri atas jutaan menit sia-sia yang ia gunakan untuk membenci wanita itu.

“Maafin Mama ya Mix karena baru sekarang bisa memberi tahu kamu, selama ini Mama pikir kamu belum cukup dewasa dan belum siap untuk mengetahui semuanya, tapi ternyata yang belum siap itu Mama, bukan kamu.”

Mix menangis semakin menjadi ketika Mama memeluknya, rasa bersalah Mama karena terlambat memberitahukan segalanya pada Mix turut membebani dirinya. Mereka berdua menangis di atas nisan Davikah. Earth mendekat ke arah mereka dan membawa keduanya dalam pelukannya, dua orang yang paling ia cintai dan paling berharga untuknya di muka bumi ini. Dua orang yang demi merekalah Earth rela mengorbankan segalanya.

Keluarganya.


Flashback Tahun 1985

Hari itu Davikah terlihat sangat ceria, lain dari biasanya, walaupun memang ia sehari-hari adalah gadis yang ceria, tapi kali ini lain. Ia memasuki perpustakaan kampusnya mencari sosok yang sudah ia kenal dengan baik, sahabatnya sejak SMA yang kini sama-sama berada di tahun kedua universitas yang sama dengannya, namun berbeda program studi, Ferna.

Davikah menemukan Ferna di meja paling belakang, dengan setumpukan buku. Dasar kutu buku satu ini....

“Hey kutu buku!!!”

“Sst!!!” Ferna memberi isyarat Davikah untuk tenang karena beberapa mata pengunjung perpustakaan mulai memperhatikan mereka.

“Nanti sore aku nggak jadi mampir ke rumah ya...” Ujar Davikah.

“Kenapa??”

“Mau ngedate.”

“Hah? Sama siapa?”

“Tau kan Putra gebetanku yang anak bisnis itu?? Nanti sore pulang kampus dia bilang mau ketemu mau ngomong sesuatu, duh deg-deg-an nih jangan-jangan dia mau nembak.”

“Wah asyik banget, coba aku punya gebetan juga. Kalau kamu udah pacaran sama Putra pasti nanti aku kesepian deh.”

“Hehehe tenang... nanti aku cariin pacar buat kamu, mau yang kaya gimana?”

“Yang kayak Putra juga.”

“HEEEH JANGAN DONG, DIA KAN LIMITED EDITION.”

“Bercandaaaaa hehehe.”

Sore itu, ternyata harapan Davikah menguap begitu saja. Putra tidak menyatakan perasaanya pada Davikah, boro-boro mengajaknya berkencan. Putra menemui Davikah sore itu, meminta bantuannya untuk mendekati Ferna, karena wanita yang selama ini Putra sukai adalah Ferna, sahabatnya, bukan dirinya.

Davikah terluka, tapi ia ikhlas melepaskan Putra untuk sahabatnya, paling tidak pria yang selama ini dia sukai jatuh ke tangan sahabatnya, bukan ke orang lain. Sore itu, Davikah setuju untuk membantu Putra mendekati Ferna.

“Vika, aku nggak mungkin sama Putra. Kan kamu suka sama dia.” Ferna berulang-kali menolak tawaran Davikah untuk “pedekate* dengan Putra.

“Nggak apa-apa Fern, santai aja. Laki-laki kan masih banyak di dunia ini. Lagian aku kan cantik, pasti bisa dapat yang lebih dari Putra. Lagian katanya kamu mau pacar yang kaya dia kan?”

“Tapi aku tetap nggak enak sama kamu.”

“Aku beneran nggak apa-apa, asal itu kamu... aku ikhlas sungguh.”

Davikah tidak basa-basi ketika ia bilang ia mendukung penuh hubungan Putra dan Ferna. Putra dan Ferna akhirnya resmi menjalin hubungan, semua itu tidak lepas dari peran aktif Davikah sebagai mak comblang.

Hingga akhirnya Putra dan Ferna menikah tiga tahun setelah mereka lulus kuliah, Davikah masih setia berada di sisi mereka, sebagai sahabat baik untuk Ferna.


Flashback Tahun 1993

Tahun ketiga pernikahan Ferna dan Putra, mereka hidup bahagia seperti layaknya sepasang suami-istri yang saling mencintai. Namun badai mulai menghantam rumah tangga mereka, bukan karena hadirnya orang ketiga, melainkan karena keluarga Putra terus-menerus mendesak mereka untuk memiliki keturunan secepatnya. Mereka berdua sudah mencoba segala cara agar dapat memiliki anak, namun tiga tahun usaha mereka berdua masih nihil.

Hingga usia pernikahan mereka yang ke delapan tahun, Ferna belum juga mengandung. Keluarga Putra mulai ikut campur terlalu jauh.

“Putra, untuk apa kamu selama ini menikahi perempuan yang tidak bisa punya anak seperti dia, lebih baik kamu cari perempuan lain yang bisa punya anak.”

Suatu hari, ucapan Ibu Putra benar-benar melukai Ferna. Ferna dan Putra sudah berusaha semampu mereka untuk menghasilkan keturunan, tapi mereka bisa apa kalau ternyata Tuhan belum berkehendak?


Flashback Juli, 1997

Ferna sudah tidak tahan dengan caci-maki yang setiap hari ia terima dari keluarga Putra, hingga akhirnya hari itu ia memantapkan hatinya, membulatkan tekatnya.

Ferna mempertemukan suaminya dan Davikah di ruang keluarga mereka dan dengan berat hati menyampaikan keputusannya.

“Mas Putra, ambillah Davikah jadi istrimu Mas. Mungkin dengannya kamu bisa memiliki keturunan.”

“Vika, menikahlah dengan Mas Putra ya, demi aku. Dulu aku pernah merebut Mas Putra dari kamu, mungkin ini karma yang harus aku terima, sekarang aku kembalikan apa yang memang menjadi hak-mu sejak dulu.”

Karena permohonan Ferna tersebut, akhirnya Putra setuju untuk menikahi Davikah dan menjadikannya istri keduanya.

Tiga bulan setelah Putra dan Davikah menikah, mereka mendapat kabar bahagia bahwa Davikah telah mengandung. Hal ini membuat Putra dan keluarganya sangat bahagia, Davikah-pun seketika menjadi primadona di keluarga Putra, seluruh perhatian tercurahkan pada Davikah, baik perhatian Putra maupun perhatian keluarga itu. Hal ini membuat Ferna semakin lama semakin terlupakan dan kesepian.

Hingga akhirnya Davikah melahirkan seorang bayi laki-laki sehat dan lucu yang mereka beri nama Mix, Ferna semakin menjadi orang asing dalam keluarga itu. Ia memutuskan untuk tinggal terpisah di rumah yang lain, dan mengadopsi seorang anak laki-laki untuk menemani kesehariannya yang sepi, anak itu Ferna beri nama....... Earth.