wjmmmy

We shouldn't continue this, Mix. Let's stop it.

Perubahan sikap Earth yang tiba-tiba pasca kejadian gelas pecah beberapa hari yang lalu sungguh membuat Mix bingung. Pasalnya Earth menjadi sangat pendiam, ia hanya bersuara ketika ada orang yang mengajaknya bicara, begitu pula sikapnya pada Mix menjadi berbeda. Earth seperti berubah menjadi orang lain yang tak Mix kenal.

Asing.

Mix mulai merindukan Earth yang dulu, Earth yang hangat bak cahaya matahari pagi. Matahari-nya Mix.

Mix berulangkali memikirkan saran ngaco bin sesat yang ia dapatkan dari Khao- sampai kepalanya pusing. Sekitar enam puluh persen dari dirinya jelas langsung menentang ide gila itu, tapi sisanya sebanyak empat puluh persen cenderung ngambang sehingga membuatnya gamang. Ada rasa penasaran dan keinginan untuk ngetes seperti yang Khao sebut dalam chat mereka tadi, tapi Mix ragu-ragu.

Semakin lama ia berfikir, sisi minoritas sebanyak empat puluh persen itu terus bergeser hingga akhirnya seimbang dengan akal sehatnya. Akhirnya, Mix pikir.... let's give it a try.

Tapi namanya juga Mix, bermodalkan zero experience dalam hal pacaran dan skinship apalagi tentang teknik seductive– seperti biasa- ia tidak tau bagaimana caranya memulai. Tapi ya sudah, nekat saja.


“Kakak... boleh masuk?”

Kepala Mix menyembul dari balik pintu kamar Earth yang tidak dikunci. Earth mendongak sejenak dari layar laptopnya dan mengangguk singkat.

“Iya, masuk aja.”

Mendapatkan lampu hijau, Mix buru-buru masuk seolah takut Earth bisa saja sewaktu-waktu berubah pikiran dan malah mengusirnya dari sana. Ia naik ke atas kasur, menempati posisi di sebelah Earth yang tengah duduk memangku laptopnya.

“Udah malem, kerjanya besok lagi aja...” Ujar Mix ketika ia melihat yang lebih tua masih memeriksa beberapa rancangan denah bangunan.

Earth menutup layar laptopnya dan menyimpan perangkatnya itu ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lalu ia menatap Mix.

“Kenapa?”

Earth bertanya kenapa.

Padahal sebelumnya, Mix tidak pernah membutuhkan alasan untuk datang ke kamar Earth, berbaring di sisinya, bahkan mendapat bonus kecupan dan pelukan hangat.

“Kangen, mau peluk.”

Mix mengistirahatkan kepalanya di bahu Earth dan memeluk tubuh lelaki itu. Earth tetap bergeming di posisinya, tidak bergerak sedikit-pun. Tidak menyambut pelukan Mix, seperti yang biasa Earth lakukan.

“Yuk tidur aja.”

“Nggak mau!”

“Gue mau tidur.”

“Nggak boleh!”

“Mix??”

Mix menyibukkan diri dengan membenamkan wajahnya di ceruk leher Earth, memberinya kecupan-kecupan kecil yang ia harap dapat membangkitkan afeksi yang beberapa hari belakangan ini terasa padam.

Earth masih diam.

“Erdddd... Lo nggak kangen gue? Berapa hari ini lo diem mulu, kita udah jarang ngobrol.”

“Kangen kok.” Ucap Earth datar.

Mix mengerutkan keningnya, kangen apaan kayak begitu.

Putus asa, sepertinya inilah saatnya mengikuti saran sesat dari Khao. Tiba-tiba Mix mendaratkan ciumannya di bibir Earth, awalnya hanya sebuah kecupan ringan, lalu Mix mulai melumat perlahan bibir lelakinya itu, berharap kali ini Earth akan bereaksi. Namun harapannya harus ia kubur dalam-dalam. Earth sama sekali tidak membalas ciumannya.

Mix diam. Mencoba menahan air matanya yang sudah siap untuk menetes ketika dirasa Earth tidak berniat meladeninya. Segala pikiran buruk berkecamuk dalam benak Mix, ia mencari-cari kesalahan dan kekurangan dalam dirinya yang mungkin membuat Earth berhenti mencintainya. Insecurities hit him hard.

Air mata Mix jatuh juga. Earth dapat merasakan pipinya basah, karena air mata Mix.

Earth tahu. Earth sangat tahu kalau Mix terluka karena sikapnya. Ia bukannya tidak tahu tentang apa yang sedang Mix coba untuk lakukan, ia secara sengaja menahan dirinya.

IA HARUS MENAHANNYA.

Mix adalah adiknya, bagaimana mungkin Earth bisa melanjutkan hubungan seperti yang selama ini mereka jalani setelah mengetahui fakta bahwa Mix adalah saudara kandungnya.

Malam itu Mix menangis dan Earth bahkan tidak berani mengusap air mata itu dari pipinya. Earth mendorong pelan bahu Mix menjauh, mengakhiri sentuhan bibir mereka.

Tell me what I did wrong?” Ucap Mix menuntut penjelasan.

We shouldn't continue this, Mix. Let's stop it.

“Stop... what?”

Mix perlu meyakinkan dirinya sendiri mengenai apa pastinya yang Earth minta untuk mereka hentikan.

“Hubungan kita.” Jawab Earth, suaranya bergetar.

“Lo bercanda kan? Ayo bilang lo bercanda... Gue nggak marah kok kalo lo ngeprank doang, ya kan???”

“Gue serius, Mix.”

“Tapi kenapa? We're doing fine.”

“Nggak Mix, we should be brother, that's all.

“Nggak... Gue nggak mau! Gue nggak mau udahan, Earth gue sayang lo, gue sayang lo bukan sebagai kakak, gue nggak bisa Earth please jangan kaya gini.”

“Kita harus berhenti, Mix. Sebelum semuanya terlalu jauh.”

“Nggak mau, gue janji bakalan jadi anak baik setelah ini, gue nggak akan gangguin lo kerja lagi, gue bakalan nurut semua kata-kata lo, gue nggak mau udahan please bilang di bagian mana gue harus berubah biar kita bisa tetep bareng-bareng???”

“Nggak ada yang perlu lo rubah Mix, gue baru sadar kalo perasaan gue ke lo nggak lebih dari sekedar kakak-adik.”

Earth bohong.

Mix menangis sejadi-jadinya. Ia terluka.

“Lo bisa tidur di sini malem ini, gue tidur di luar aja.”

Earth buru-buru beranjak pergi sebelum benteng pertahanannya rontok.

“Kak Earth jangan tinggalin gue...” Mix memeluk punggung lelaki itu, mencegahnya untuk pergi.

“Maaf Mix...”

Dengan mudah, Earth melepaskan dekapan Mix dari tubuhnya dan meninggalkannya, begitu saja.

Dunia Mix tiba-tiba terasa jungkir balik, ketika orang yang selama ini menjadi pusat semestanya pergi. Ketika matahari di tata suryanya tiba-tiba berhenti menyinari. Ketika cinta pertamanya menjadi patah hati yang pertama pula.

Gelap. Sesak.

Lagi dan lagi, Mix harus merasakan rasanya tidak diinginkan dan ditinggalkan, oleh orang yang paling berarti untuknya, oleh orang yang kepadanya ia menitipkan hatinya. Kali ini bahkan terasa seribu kali lebih sakit. Luka lama yang sudah terobati seperti kini terkoyak lagi.


Earth duduk di lantai beralaskan karpet di ruang tengah, dalam kegelapan. Dia diam, hanya suara isak pelan yang terdengar dari sosok yang selama ini selalu terlihat kuat dan tangguh itu.

Dia juga terluka. Ia juga merasakan sakit yang sama besarnya dengan Mix. Earth juga sehancur itu, malam ini. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ingin rasanya protes kepada Tuhan atas scenario takdir yang tidak menyenangkan tetapi tetap harus ia perankan ini. Namun inilah hidup, hidup tidak seperti pertunjukkan drama kacangan di mana kita bisa memilih peran yang kita sukai dan menolak peran yang kita benci. Ketika Tuhan sudah memberimu suatu peran dalam kehidupan, maka opsimu hanya satu, menerima dan menjalaninya. Itulah yang sedang Earth lakukan.

Earth sudah menanti Mix di depan pintu rumah mereka ketika Mix turun dari mobil First dan melambai-lambaikan tangan- salam perpisahan pada rombongan itu.

Mix membuka pagar rumah dan mendapati Earth merentangkan lengannya lebar-lebar, siap menyambut Mix ke dalam pelukannya. Mix tertawa kecil, menengok ke kanan dan kiri, malau kalau teman-temannya tiba-tiba kembali dan melihat adegan ini.

“Apaan sih...???” Ucap Mix malu-malu menepis lengan Earth.

“Pelukkk...”

“Malu ih nanti ada yang liat.”

“Biarin aja.”

Tanpa persetujuan dari yang lebih muda, Earth memeluk tubuh Mix. Mendekapnya erat-erat seolah takut akan ditinggal pergi lagi, lalu mengecup pipi chubbynya, gemas.

“Heh... nanti Mama liat!!!”

“Ngga ada Mama, lagi pergi sama Mba Ija.”

“Serius???”

“Iyaa.....”

Mengetahui keadaan rumah yang kosong, hanya mereka berdua, Mix balas memeluk Earth erat-erat. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik lelakinya itu.

“Tadi aja dipeluk nolak hadeehh....”

“Ehe ehe ehe... gue capek ihhh kaki pegel banget sempit-sempitan di mobil nggak bisa tidur!!!” Mix memulai sesi curhatnya.

“Yaudah langsung mandi air anget ya nanti gue pijitin.”

“Awas kalo boong ya!!”

Earth mengambil alih ransel yang sejak tadi Mixe gendong, membawakannya untuk Mix. Sambil masih berpelukan, sepasang makhluk kasmaran itu masuk ke dalam rumah.


Earth tengah duduk di ranjang kamar Mix, mengeringkan rambut sang pemilik kamar dengan handuk sementara yang baru selesai keramas itu duduk santai di karpet sambil menyantap dessert box yang Earth belikan untuknya.

“Aaa.....” Mix menyuapi Earth sesendok penuh red velvet cake.

“Sekali aja ya....”

“Kenapa?? Kan gue mau suapin...” Mix mendongak menatap Earth.

“Nggak suka makanan manis, kecuali lo...”

“Hah? Gimana...gimana?? Gue makanan?”

“Kan bisa dimakan?”

“Ngaco ah udah nih makan...”

Kali ini Earth menurut.

“Urusan sama Boom udah clear?”

“Kalo dari sisi gue sih udah, nggak tau kalo dari sisi dia.”

“Kasih dia waktu aja, nanti juga kalian masih bisa temenan.”

“Gue masih boleh temenan sama Boom?”

“Lah kenapa nggak boleh?”

“Kan kirain lo cemburu...”

“Gue nggak cemburuan orangnya.”

“Jalan sama dia berarti boleh???”

“Heeeem......” Earth melemparkan handuk yang tengah ia gunakan untuk mengeringkan rambut Mix hingga menutupi wajah pemuda itu.

“ERDDDDD!!!!!! Mana katanya gak cemburuan....!!!”

Earth sudah menanti Mix di depan pintu rumah mereka ketika Mix turun dari mobil First dan melambai-lambaikan tangan- salam perpisahan pada rombongan itu.

Mix membuka pagar rumah dan mendapati Earth merentangkan lengannya lebar-lebar, siap menyambut Mix ke dalam pelukannya. Mix tertawa kecil, menengok ke kanan dan kiri, malau kalau teman-temannya tiba-tiba kembali dan melihat adegan ini.

“Apaan sih...???” Ucap Mix malu-malu menepis lengan Earth.

“Pelukkk...”

“Malu ih nanti ada yang liat.”

“Biarin aja.”

Tanpa persetujuan dari yang lebih muda, Earth memeluk tubuh Mix. Mendekapnya erat-erat seolah takut akan ditinggal pergi lagi, lalu mengecup pipi chubbynya, gemas.

“Heh... nanti Mama liat!!!”

“Ngga ada Mama, lagi pergi sama Mba Ija.”

“Serius???”

“Iyaa.....”

Mengetahui keadaan rumah yang kosong, hanya mereka berdua, Mix balas memeluk Earth erat-erat. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik lelakinya itu.

“Tadi aja dipeluk nolak hadeehh....”

“Ehe ehe ehe... gue capek ihhh kaki pegel banget sempit-sempitan di mobil nggak bisa tidur!!!” Mix memulai sesi curhatnya.

“Yaudah langsung mandi air anget ya nanti gue pijitin.”

“Awas kalo boong ya!!”

Earth mengambil alih ransel yang sejak tadi Mixe gendong, membawakannya untuk Mix. Sambil masih berpelukan, sepasang makhluk kasmaran itu masuk ke dalam rumah.


Earth tengah duduk di ranjang kamar Mix, mengeringkan rambut sang pemilik kamar dengan handuk sementara yang baru selesai keramas itu duduk santai di karpet sambil menyantap dessert box yang Earth belikan untuknya.

“Aaa.....” Mix menyuapi Earth sesendok penuh red velvet cake.

“Sekali aja ya....”

“Kenapa?? Kan gue mau suapin...” Mix mendongak menatap Earth.

“Nggak suka makanan manis, kecuali lo...”

“Hah? Gimana...gimana?? Gue makanan?”

“Kan bisa dimakan?”

“Ngaco ah udah nih makan...”

Kali ini Earth menurut.

“Urusan sama Boom udah clear?”

“Kalo dari sisi gue sih udah, nggak tau kalo dari sisi dia.”

“Kasih dia waktu aja, nanti juga kalian masih bisa temenan.”

“Gue masih boleh temenan sama Boom?”

“Lah kenapa nggak boleh?”

“Kan kirain lo cemburu...”

“Gue nggak cemburuan orangnya.”

“Jalan sama dia berarti boleh???”

“Heeeem......” Earth melemparkan handuk yang tengah ia gunakan untuk mengeringkan rambut Mix hingga menutupi wajah pemuda itu.

“ERDDDDD!!!!!! Mana katanya gak cemburuan....!!!”

Khao melihat Boom muncul di area BBQ party di pinggir kolam renang dengan senyum di wajahnya. Dia terlihat sepenuhnya baik-baik saja terlepas dari fakta bahwa mata dan hidungnya memerah, tak bisa membohongi anak SD sekalipun kalau ia baru saja menangis.

“Lo abis nangis bro? Nih makan sosis dulu...” First menjejalkan sepotong sosis ke mulut Boom yang tidak sempat mengelak.

“Nggak, gue gak nangis.”

“Halah bullshit lo ngaca dulu lah liat muka lo kaya gimana.” Ucap Pond.

“Ini tadi kena angin laut kenceng banget men... lo coba aja duduk berjam-jam di pinggir laut.”

“Ogah, ngapain juga gue jadi sad boy begitu...”

“Nggak jadi sad boy juga anjeeeng.”

“Yaudah... berhubung lo nggak lagi sedih berarti lo yang manggang nih daging, gue pegel.”

First menyerahkan penjepit daging pada Boom.

“Emang brengsek lo!!!”

Mau tak mau Boom melanjutkan pekerjaan First membakar daging sementara First asyik ngobrol dengan rombongan gadis.

Boom mengedarkan pandangan ke seluruh area, mungkin mencoba memindai keberadaan Mix. Yang ia dapati malahan Khao yang tiba-tiba menyerahkan gelas berisi cola dingin kepada Boom. Boom keheranan. Biasanya Khao bahkan tidak mau repot-repot bersikap baik pada Boom.

“Mix udah tidur.” Tutur Khao, tanpa ditanya, sambil menyesap cola dari gelasnya sendiri.

“Dia baik-baik aja kan?”

Khao mengangguk. Boom terlihat puas hanya dengan mengetahui fakta bahwa Mix baik-baik saja. Kemudian wajahnya mendung lagi.

Khao tau, di depan sahabatnya tadi Boom hanya berpura-pura kuat dan terlihat baik-baik saja. Tapi di dalam sana, Boom tetap seorang pria dengan hati yang koyak.

“Udah jangan dipikirin... malam ini kita makan-makan aja...” Khao menepuk-nepuk pundak Boom.

Dia iba pada nasib pemuda itu, tapi juga tidak bisa menolongnya.

“Percaya deh... hari inilah yang bakalan bikin lo lebih kuat di hari-hari berikutnya, Boom.”

Khao mendapati Mix duduk memeluk lutut di ranjang kamar mereka di villa, malam itu.

“Mix...” Khao mendekati sahabatnya, duduk di sebelahnya dan mengusap-usap kepala Mix.

“Lo kenapa? Ada masalah apa?”

Mix menggelengkan kepalanya singkat.

“Nggak laper?”

Mix menggeleng lagi.

“Jangan gini dong Mix, gue sama temen-temen lain kan jadi khawatir. Earth juga tuh, kalo lo nggak bales chatnya kayaknya bentar lagi dia bakalan nyusul ke sini deh.”

“Khao tolong bilang aja ke Earth gue nggak apa-apa dan gue udah tidur ya...”

“Lo kenapa sih??? Coba deh cerita dulu...”

“Gue barusan jujur sama Boom... Kalo gue nggak akan pernah bisa bales perasaanya, gue ngerasa jahat selama ini, kayak yang lo pernah bilang.”

“Lo minta dia berhenti suka sama lo?”

Mix mengangguk.

“Nggak semudah itu Mix, lo tau sendiri gimana usaha lo waktu lo coba buat berhenti suka sama Earth kan?”

“Terus gue harus gimana ke Boom... gue nggak tau Khao...”

At least lo udah jujur tentang perasaan lo ke dia, dia pasti sakit sih, tapi suatu hari dia pasti sembuh. Nggak ada orang yang bisa menghapus perasaan cinta mereka Mix, kita cuma bisa mengikhlaskan dan lambat-laun melupakan... dan Boom pasti akan sampai di fase itu kok.”

“Gue takut dia benci gue...”

“Nggak, dia nggak akan benci lo. Kalaupun setelah ini dia menjauh atau menghindar itu bukan karena dia benci lo, Mix. Lo minta dia lupain lo dan itu yang dia lagi usahain. Lo harus ngertiin dia juga ya...”

Mix menghapus air mata dengan punggung tangannya.

“Udah ya cup cup anak buna sini peluk...”

Khao memeluk bayi besarnya sambil terus mengusap-usap punggung Mix.

“Sekarang lo bales dulu itu chat Earth ya jujur gue takut banget besok pagi dia beneran udah sampe sini...”

Boom berlari-lari kecil di sepanjang bibir pantai senja itu, mengejar sesosok anak manusia lain yang memang biasanya ia kejar dalam definisi yang berbeda, Mix.

Sosok Mix yang mungil di kejauhan masih dapat tertangkap oleh indra penglihatannya walaupun waktu-waktu seperti ini seringkali membuatnya rabun ayam.

Mix berjalan menikmati senja ditemani oleh guratan jingga sang surya yang mulai terbenam. Tampak sesekali langkahnya terhenti untuk sekedar mengambil beberapa selfie atau megabadikan betapa intimnya interaksi mentari dan ufuk barat sore itu dengan kamera handphone miliknya.

Setelah tertinggal demikian jauh, Boom akhirnya bisa mensejajarkan langkahnya dengan Mix dan melingkarkan lengannya merangkul pundak si manis. Kelihatan sekali berusaha mengatur nafasnya yang tersengal.

“Boom?? Lo lari ngejer gue sampe sini??” Mix kaget melihat Boom yang tiba-tiba muncul.

Boom tidak menjawab, masih ngos-ngosan.

“Kenapa nggak manggil sih??? Kan gue bisa berhenti nungguin lo.”

It's okay gue udah biasa. Lo nggak perlu nunggu hehehe.”

“Udah biasa lari?”

“Udah biasa ngejer lo.”

Boom menyunggingkan senyum yang mau tidak mau membuat Mix tersenyum juga.

“Emang lo doyan liatin matahari terbenam juga?”

“Gue doyannya liatin lo sih, gue harap lo nggak terbenam secepat matahari.”

“Kenapa sih ngegombal mulu...”

“Ini nggak gombal, Mix.”

Boom kali ini serius. Tapi niat serius Boom sepertinya tidak pernah sampai pada Mix karena yang diajak serius hanya mencebikkan bibirnya.

“Boom...”

“Iya??”

“Kebetulan lo nyusulin gue kesini, ada yang pengen gue obrolin.”

“Tentang?”

“Tentang lo dan gue.”

“Tentang kita???”

Saat itu insting Boom mengatakan bahwa obrolan setelah ini tidak sama dengan obrolan-obrolan mereka biasanya. Boom tertawa sendiri, lebih tepatnya menertawai diri sendiri. Mix menatapnya bingung.

Boom menertawai kebodohannya menggunakan istilah kita sebagai kata ganti saat dirinya-lah yang paling tahu bahwa lo dan gue dalam hubungan yang mereka berdua jalani tak akan pernah berubah menjadi kita.

“Boom....”

“Kalau gue minta lo berhenti suka sama gue, bisa-kah?”

Boom menatap Mix- yang tengah menatapnya tepat di manik matanya.

Boom menggelengkan kepalanya.

“Gue nggak akan move on dari Earth, Boom. Gue nggak akan berenti sayang dia.”

“Begitupun gue ke lo, Mix.”

“Gue nggak bisa biarin lo nungguin gue kaya gini selamanya, Boom. Gue percaya lo bisa nemuin orang lain yang sayang sama lo, lo pasti bisa. Ada banyak kesempatan buat lo di luar sana please jangan sia-siain waktu lo buat gue.”

Boom melempar pandangannya jauh ke arah ombak yang bergulung-gulung di laut. Tidak mau menatap Mix.

Boom terluka.

Ia baru tau ternyata begini pedihnya ketika orang yang kita cintai meminta kita berhenti untuk mencintainya.

“Mix maaf gue nggak bisa....” Ucap Boom setelah terdiam beberapa saat.

“Gue cuma bisa nyakitin lo Boom. Lo deserved dicintai dengan sama besarnya, tapi bukan oleh gue...” Mix menggenggam kedua tangan Boom, memohon hal yang tidak mungkin pada lelaki itu.

“Mix dengerin gue...”

“Lo yang dengerin gue...”

Boom lupa kalau Mix itu keras kepala.

“Mix....” Boom balas menggenggam erat kedua tangan Mix.

“Ini perasaan gue, tanggung jawab gue, biar gue yang urus perasaan gue sendiri. Lo bisa jalani hidup lo kayak lo yang biasanya, nggak usah pikirin gue.”

“Boom... gue... gue yang biarin lo hidup dalam harapan kosong selama ini, gue jahat. Harusnya gue nggak bersikap kaya gitu ke lo sejak awal. Gue... kayak cuma manfaatin lo selama ini.”

“Enggak Mix, lo nggak jahat. Lo nggak boleh mikir kaya gitu.”

“Boom maafin gue... Pada akhirnya gue tetep nggak bisa balas perasaan lo.”

Boom terluka lagi.

Pria yang ia cintai menangis di hadapannya, mungkin menangisi nasib buruknya dalam kisah ini. Kisah yang Boom pikir adalah kisah mereka, tapi ternyata ini hanya tentang dia dan perasaan-perasaan mendambanya.

Seketika Boom tau bahwa harapannya harus pulang. Ia tau jalan mana yang harus ia telusuri dan ia tau, kemana akhir dari rasa ini.

Inikah rasanya menjadi yang satu-satunya? Iya, yang satu-satunya jatuh cinta. Jatuh cinta tidak pernah terasa sesalah ini sebelum kau keliru menjatuhkannya, namun Boom tidak menyesalinya, tidak menyesali cintanya yang salah membidik target sehingga tak pernah terbalas, yang Boom tau jatuh cinta pada Mix membuat ia nyaman.

Jatuh cinta ini akan tetap menjadi jatuh dan cinta yang ia simpan sendiri.


Boom membiarkan Mix kembali lebih dulu ke villa setelah obrolan mereka.

“Gue masih pengen di sini dulu...”

Alasan yang Boom gunakan agar Mix mau meninggalkannya seorang diri.

Saat itu langit sudah gelap, matahari sudah sepenuhnya tenggelam digantikan dengan bulan sabit yang bersinar menerangi langit malam itu. Udara terasa kering, panas dan beraroma khas laut. Tapi angin terasa dingin menusuk kulitnya, tidak seberapa dibandingkan luka menusuk di dalam sana, di hatinya.

Boom duduk seorang diri di tepian pantai, berkali-kali melemparkan batu kerikil kecil ke laut, berkali-kali mencoba memecahkan rekor yang ia buat sendiri dalam kompetisi tunggal ini.

Lucu rasanya, Boom merasa kehilangan, padahal tidak ada yang benar-benar pernah menjadi miliknya. Boom merasa hancur, sebelum ia mampu menjadi sosok kuat yang mampu menghalau badai. Kini Boom bukan hanya tau apa jawaban Mix akan perasaanya, tapi juga tau bahwa kebersamaanya dengan Mix selama ini hanyalah waktu yang ia pinjam dari Earth dan sekarang harus ia kembalikan.

Nada dering panggilan masuk terdengar berkali-kali dari handphone Boom yang dengan sukses tak diindahkan oleh pemiliknya. Boom butuh sendirian.

Sejak awal ini memang salahnya. Dengan percaya dirinya selama ini ia bertahan dengan keyakinan-keyakinan yang ia bangun. Berdiri kokoh seolah tak pernah terluka, percaya bahwa suatu hari Mix akan memiliki rasa yang sama dengan miliknya.

Ini bukan patah hati pertama untuk Boom, ia pikir ia sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Tapi patah hati selalu terasa baru layaknya cinta pertama. Tetap saja ia kesulitan menemukan penawarnya.

Mix keluar dari kamar yang disinggahinya bersama Khao di villa karena merasa haus sore itu, sambil berbicara dengan seseorang via telepon, Earth.

“Lagian panas banget ih gue males ikut mereka ke pantai, yaudah di villa aja tidur.”

“Bawel... iya ntar sore gue liat laut kok mau liat sunset....”

“Apa? Belum juga sehari gue tinggal udah kangen... apaan sih cupu.”

Setelah membekali diri dengan segelas air dingin, ia berniat bersantai di ruang tengah. Mix kaget ketika mendapati Boom duduk di sana sendirian, Pond-teman Boom tampak tengah menelefon seseorang di luar sana.

“Earth udahan dulu yaa, temen-temen gue udah balik, dadaaah.”

Mix menyimpan handphone-nya di saku celana dan duduk di sofa, di sebelah Boom.

“Boom, gue kira lo ikut anak-anak ke pantai.”

“Lah gue kira juga lo ikut.”

“Males ih panas banget.”

“Gue sama Pond ada bimbingan via zoom tadi nggak bisa diganggu gugat, baru kelar. Itu dia lagi konsul sama dosbingnya.”

“Hmmm budak skripsi nggak ada libur ya??”

“Abis wisuda puas-puasin dah gue libur hehehe.”

Tak lama berselang, rombongan teman-teman mereka kembali dari pantai dengan paras terbakar matahari yang khas. Mereka semua mengeluh kepanasan dan berebut air dingin dari kulkas.

“Pantes aja ini pasangan nggak mau ikut ke pantai ya asyik di sini rupanya.” Ledek First.

“Pasangan ape...” Mix mengelak.

“Mix kan pasangan gue ya nggak Mix???” Khao memeluk sahabatnya yang terlihat ogah-ogahan dipeluk itu.

“Khao lo bau matahari ih....”

Guys malam ini jangan lupa kita bakalan ada BBQ party yuhuuu...”

Ucapan First disambut riuh-rendah tepuk tangan dan sorak-sorai makhluk-makhluk kelaparan yang tidak bisa menolak pesona buffet BBQ yang sudah disediakan oleh pengurus villa milik First.

“Masih sebel nih ceritanya???”

Earth tersenyum kecil sambil menyetir mobil sepanjang perjalanan pulang sore itu, melihat Mix yang sejak tadi merengut di bangku sebelah.

Mix diam saja. Bete.

“Udah dong cemberutnya, jelek tau.”

Earth mengusak surai hitam milik pemuda manis di sebelahnya itu dengan lembut, Mix menggemaskan. Earth membelokkan arah kemudi mobilnya memasuki antrian drive thru McDonalds terdekat yang mereka lewati.

“Nggak usah nyogok gue pake makanan!” Mix melotot.

“Nggak ada yang mau nyogok lo, ini mama nitip buat makan malem.” Ucap Earth yang memang sedang scrolling chat room-nya dengan Mama.

Mix diam lagi, kali ini dia malu karena sudah kepedean. Ia hanya mengotak-atik handphone-nya tengah memikirkan kalimat cercaan apa yang paling cocok ia kirimkan untuk Khao.

Earth menyodorkan ice cone coklat ke hadapan Mix, sesaat setelah mengecek ulang dan meletakkan ayam pesanan Mama ke kursi belakang.

“Katanya nggak nyogok?”

“Ini bukan sogokan.”

“Terus?”

“Emang nggak boleh kalo gue mau beliin lo es krim?”

“Mmmm... boleh sih.”

“Yaudah terima ya... atau gue makan nih.”

“EH JANGAAN!!! IKHLAS GAK SIH??? BURU-BURU AMAT.”

Earth terkekeh. Lucu saja melihat Mix malu-malu begitu.

Mix menerima ice cone-nya dengan riang gembira. Persis seperti bocah tujuh tahun yang pertama kali Earth kenal lima belas tahun yang lalu.

“Kalau dikasih sesuatu sama orang tuh harusnya bilang apa ya?”

Mix melirik Earth sesaat, tersindir.

“Terima kasih kakak ganteng.” Mix sengaja memberikan penekanan pada kata ganteng.

“Sama-sama adik manis... itu belepotan makannya...”

“Elapin...”

“Gue lagi nyetir ya ini bisa-bisa nabrak jangan ganggu dulu.”

“Pokoknya elapin...”

Maksudnya Mix bercanda sih. Emang asyik gangguin Earth kan.

“Yaudah mau dielap pake tissue apa pake bibir gue?”

“HEH...!!!” Mix spontan memukul lengan Earth.

Belum biasa dengan guyonan explisit dari Earth, kedua belah pipi milik Mix segera saja merona. Membuatnya senyum-senyum sendiri memikirkan skenario entah apa yang berkembang dalam benaknya.

“Senyum-seyum sendiri mikir jorok ya?”

“ENGGAAAA!!!!”

Mix buru-buru mengambil tissue dan membersihkan bibirnya sendiri, salah tingkah.

Earth baru saja memarkirkan mobilnya di garasi ketika ia mendengar samar-samar suara mesin motor mendekat. Itu pasti Mix dan Boom. Earth turun dari mobilnya dan memperhatikan mereka berdua dari pintu pagar yang terbuka, tanpa mereka sadari.

Earth kesal perihal Mix yang pulang terlalu malam tanpa memberi kabar dan bahkan handphone-nya tidak bisa dihubungi.

“Makasih ya Boom udah nganterin gue muter-muter nyari ini...” Mix cengengesan sambil mengayun-ayunkan totebag hitam di tangannya.

“Iya sama-sama, eh sini helmnya gue lepasin....”

Mix menurut, ia diam membiarkan Boom membantu melepas helmnya.

“Hehehe maaf ya gue gak punya mobil jadi lo basah kehujanan.” Boom merapihkan rambut Mix yang basah dan lepek karena sempat kehujanan tadi.

“Nggak apa-apa kehujanan dikit doang...”

Earth semakin kesal melihat dua remaja ini lovey dovey di depan pagar rumahnya pukul sebelas malam.

“EKHEM.”

Earth sengaja berdeham, membuat Mix dan Boom terperanjat ketika mereka menyadari kehadirannya yang sejak tadi tersamarkan.

“Jam berapa ini, Boom?” Tanya Earth singkat, padat, dan galak.

“Jam sebelas Kak...” Boom cengar-cengir salah tingkah.

“Tadi gue.... itu...” Mix mencoba menjelaskan alasan kenapa mereka berdua pulang selarut ini, tapi Earth memotong kata-katanya.

“Mix masuk....”

Nada bicara Earth tegas dan dingin membuat siapa saja tidak akan berani mencoba membantahnya. Mix memilih tidak membantah Earth dalam situasi seperti itu dan melambaikan tangan salam perpisahan pada Boom secara diam-diam sebelum ia masuk ke dalam rumah.

Earth menatap Boom sesaat sebelum akhirnya berpaling dan menutup pintu pagar tanpa sepatah kata-pun.


“Kan gue bilang Boom nganterin gue nyari barang yang gue cari, bukan dia ngajak gue yang engga-engga, lagian hujan ya makanya kita gak bisa balik. Ini aja balik nekat.”

Nada suara Mix meninggi ketika Earth komplain akan sikapnya malam ini.

“Emang sesusah itu buat ngabarin??”

Handphone gue lowbat Earth, lagian yaudah sih gue kan baik-baik aja.” Mix yang kesal melempar tasnya sembarangan ke atas ranjang.

“Lo pernah mikir nggak ada orang lain yang nungguin dan khawatirin lo, Mix?”

“Ya nanti juga gue minta maaf dan jelasin ke Mama. Udah deh jangan memperumit keadaan.”

“Memperumit keadaan?”

Earth tidak terima kepeduliannya disebut memperumit keadaan, oleh Mix. Mix menyadari ucapannya keliru detik itu juga.

“Earth... maaf maksud gue nggak gitu. Iya gue tau gue salah, tapi kan ya semuanya udah terjadi mau gimana lagi.......”

“Lo gak tau khawatirnya Mama sama gue karena nggak bisa ngehubungin lo dan lo bilang gue memperumit keadaan?”

I already said soryyyy

But you aren't feel sorry..... AT ALL.

Mix diam lagi. Nada bicara Earth bahkan tidak meninggi, seperti dirinya. Earth selalu tenang, namun dingin. Membuat Mix tidak nyaman berada di situasi sedingin ini karena Earth yang biasanya ia tau adalah seseorang yang hangat.

“Maaf..... beneran gue nggak ulangin lagi, janji.” Mix merengek, cara ampuh yang biasa untuk meluluhkan Earth.

“Udah sana mandi, keramas, abis kehujanan nanti lo sakit. Nanti gue bikinin coklat panas.”

Mix rasanya mau menangis, saat itu juga.

Silaturahmi dengan orang tua Namtan sebenarnya hanya alasan yang Earth buat sendiri karena yang sebenarnya adalah dia perlu bertemu Namtan untuk membicarakan kelanjutan obrolan mereka di coffee shop sore itu tapi Earth tidak tau bagaimana cara memulainya.

Beruntung siang itu ia menerima pesan singkat dari Namtan berisikan ajakan mampir ke rumah yang langsung saja diiyakan oleh Earth.

Selesai makan malam dan mengobrol sebentar dengan kedua orang tua Namtan, Namtan mengajak Earth melihat-lihat ruang kerja baru milik ayah Namtan yang mostly berisikan furnitur yang ia pilih berdasarkan seleranya, Earth merasa puas. Namtan dengan apiknya memadupadankan segala aspek dalam ruang kerja kecil itu sehingga segalanya terlihat serasi.

“Gimana? Keren kan?”

Good job, as expected lah from SuitteHome designer.”

“Bawa-bawa kerjaan lagi lo, ini tuh pure karya seorang anak buat ayahnya, bukan karya designer buat client.

Earth mengangguk-anggukan kepalanya setuju, Namtan itu family oriented dan Earth sependapat dengannya dalam hal ini.

“Lo juga gitu nggak sih Earth waktu lo bikin taman bunga buat nyokap lo, bikin kolam ikan, rombak balkon kamar Mix, lo kerja sebagai arsitek atau sebagai seorang anak dan kakak? Kayak saat lo ngelakuin sesuatu buat orang yang lo sayang, yang lo pake itu hati kan ya... lebih ke feel aja gitu.”

Earth diam. Bukan melamun, ia hanya sedang memikirkan kalimat Namtan.

“Earth....?? Kok diem aja?”

“Enggak, gue lagi mikir aja sih.”

“Mikir apa?”

“Ada deh, mau tau aja hehehe.”

“Dih malesin....”

Namtan berjalan mengitari ruang kerja itu sambil menatap tiap sudutnya dengan ekspresi puas.

“Nih sofa pilihan lo... nyokap gue demen banget minta dibeliin buat ruang tengah kan gak cocok ya...”

Earth menyusul Namtan, duduk di sebelahnya, di sofa biru tua itu.

“Tan, gue mau ngomong sesuatu.” Akhirnya Earth berhasil mengucapkannya setelah daritadi mereka-mereka kalimat untuk mengawalinya.

Awal mula itu selalu sulit bukan?

Namtan mengangguk.

Earth menggenggam kedua tangan Namtan.

“Gue udah mikirin obrolan kita seminggu yang lalu dan udah dapet jawabannya, gue harap ini waktu yang tepat untuk sampein ke lo.”

Namtan mencoba tersenyum, walaupun Earth tau dia gugup.

“Lo siap nggak dengernya?” Earth masih sempat bercanda.

“Siap nggak siap, karena sebenernya gue udah tau kok jawabannya apa Earth, gue cuma masochist yang pengen menyiksa diri lebih lagi dengan denger semuanya langsung dari mulut lo.”

“Tan.... lo cewek baik.”

“Lo juga baik Earth. Jangan pakai alasan gue terlalu baik buat lo karena itu cliche banget, basi, kreatif dikit lah.”

“Nggak, gue nggak akan pakai alasan itu. Kita sama-sama orang baik, jadi nggak ada istilah lo terlalu baik untuk gue atau gue nggak pantes untuk lo karena semua orang bisa berusaha menjadi lebih baik dan bisa berusaha memantaskan diri, kalau dia mau.”

Namtan menatap Earth, menantikan apa yang selanjutnya akan diucapkan olehnya.

“Tapi yang baik belum tentu selalu yang tepat kan? Kayak sofa ini, sofa ini bagus... tapi lo sendiri bilang kalo sofa ini nggak akan cocok kalau di taruh di ruang tengah.”

“Mungkin lo adalah orang yang tepat buat gue Tan, tapi gue yang nggak tepat buat lo.” Imbuh Earth sambil menggenggam erat tangan gadis itu.

Sebutir kristal air mata menetes ke pipi Namtan, ia buru-buru mengusapnya.

“Maaf ya, karena bahkan gue nggak bisa mencoba untuk ngejalanin semuanya dulu sama lo.”

It's okay Earth nggak perlu minta maaf. Kita bebas jatuh cinta ke siapa aja dan orang itu nggak berkewajiban untuk membalas cinta tersebut kok. Gue ngerti.”

“Terus kenapa nangis?” Tanya Earth lembut sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipi Namtan.

“Gue hidup bertahun-tahun dengan perasaan ini Earth dan ketika hari ini gue tau kalo gue nggak punya kesempatan dan harus ngelepasin semuanya... i can't help my self from crying and it's normal.”

Earth memeluk Namtan, mengusap-usap punggung sahabatnya itu.

“Gue nggak mau kehilangan sahabat cantik gue.”

“Udah nggak usah gombal lo itu abis nolak gue ya.”

“But, makasih udah berani jujur tentang perasaan lo ke gue Tan, gue tersanjung.”

“Lo sendiri... kapan mau jujur sama diri lo sendiri Earth?”

Earth menatap Namtan sambil mengerutkan kening.

“Maksud lo?”

“Jujur sama hati lo Earth.... sebelum lo kehilangan orang itu. Walaupun nggak tau bakal kaya gimana akhirnya, gentle lah be brave.”

“Gue nggak ngerti maksud lo apa... orang itu?? Siapa?”

“Kalau lo udah bisa jujur sama diri lo sendiri, lo bakal tau orang itu siapa. Saat itu lo harus inget gue ya....”