We shouldn't continue this, Mix. Let's stop it.
Perubahan sikap Earth yang tiba-tiba pasca kejadian gelas pecah beberapa hari yang lalu sungguh membuat Mix bingung. Pasalnya Earth menjadi sangat pendiam, ia hanya bersuara ketika ada orang yang mengajaknya bicara, begitu pula sikapnya pada Mix menjadi berbeda. Earth seperti berubah menjadi orang lain yang tak Mix kenal.
Asing.
Mix mulai merindukan Earth yang dulu, Earth yang hangat bak cahaya matahari pagi. Matahari-nya Mix.
Mix berulangkali memikirkan saran ngaco bin sesat yang ia dapatkan dari Khao- sampai kepalanya pusing. Sekitar enam puluh persen dari dirinya jelas langsung menentang ide gila itu, tapi sisanya sebanyak empat puluh persen cenderung ngambang sehingga membuatnya gamang. Ada rasa penasaran dan keinginan untuk ngetes seperti yang Khao sebut dalam chat mereka tadi, tapi Mix ragu-ragu.
Semakin lama ia berfikir, sisi minoritas sebanyak empat puluh persen itu terus bergeser hingga akhirnya seimbang dengan akal sehatnya. Akhirnya, Mix pikir.... let's give it a try.
Tapi namanya juga Mix, bermodalkan zero experience dalam hal pacaran dan skinship apalagi tentang teknik seductive– seperti biasa- ia tidak tau bagaimana caranya memulai. Tapi ya sudah, nekat saja.
“Kakak... boleh masuk?”
Kepala Mix menyembul dari balik pintu kamar Earth yang tidak dikunci. Earth mendongak sejenak dari layar laptopnya dan mengangguk singkat.
“Iya, masuk aja.”
Mendapatkan lampu hijau, Mix buru-buru masuk seolah takut Earth bisa saja sewaktu-waktu berubah pikiran dan malah mengusirnya dari sana. Ia naik ke atas kasur, menempati posisi di sebelah Earth yang tengah duduk memangku laptopnya.
“Udah malem, kerjanya besok lagi aja...” Ujar Mix ketika ia melihat yang lebih tua masih memeriksa beberapa rancangan denah bangunan.
Earth menutup layar laptopnya dan menyimpan perangkatnya itu ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lalu ia menatap Mix.
“Kenapa?”
Earth bertanya kenapa.
Padahal sebelumnya, Mix tidak pernah membutuhkan alasan untuk datang ke kamar Earth, berbaring di sisinya, bahkan mendapat bonus kecupan dan pelukan hangat.
“Kangen, mau peluk.”
Mix mengistirahatkan kepalanya di bahu Earth dan memeluk tubuh lelaki itu. Earth tetap bergeming di posisinya, tidak bergerak sedikit-pun. Tidak menyambut pelukan Mix, seperti yang biasa Earth lakukan.
“Yuk tidur aja.”
“Nggak mau!”
“Gue mau tidur.”
“Nggak boleh!”
“Mix??”
Mix menyibukkan diri dengan membenamkan wajahnya di ceruk leher Earth, memberinya kecupan-kecupan kecil yang ia harap dapat membangkitkan afeksi yang beberapa hari belakangan ini terasa padam.
Earth masih diam.
“Erdddd... Lo nggak kangen gue? Berapa hari ini lo diem mulu, kita udah jarang ngobrol.”
“Kangen kok.” Ucap Earth datar.
Mix mengerutkan keningnya, kangen apaan kayak begitu.
Putus asa, sepertinya inilah saatnya mengikuti saran sesat dari Khao. Tiba-tiba Mix mendaratkan ciumannya di bibir Earth, awalnya hanya sebuah kecupan ringan, lalu Mix mulai melumat perlahan bibir lelakinya itu, berharap kali ini Earth akan bereaksi. Namun harapannya harus ia kubur dalam-dalam. Earth sama sekali tidak membalas ciumannya.
Mix diam. Mencoba menahan air matanya yang sudah siap untuk menetes ketika dirasa Earth tidak berniat meladeninya. Segala pikiran buruk berkecamuk dalam benak Mix, ia mencari-cari kesalahan dan kekurangan dalam dirinya yang mungkin membuat Earth berhenti mencintainya. Insecurities hit him hard.
Air mata Mix jatuh juga. Earth dapat merasakan pipinya basah, karena air mata Mix.
Earth tahu. Earth sangat tahu kalau Mix terluka karena sikapnya. Ia bukannya tidak tahu tentang apa yang sedang Mix coba untuk lakukan, ia secara sengaja menahan dirinya.
IA HARUS MENAHANNYA.
Mix adalah adiknya, bagaimana mungkin Earth bisa melanjutkan hubungan seperti yang selama ini mereka jalani setelah mengetahui fakta bahwa Mix adalah saudara kandungnya.
Malam itu Mix menangis dan Earth bahkan tidak berani mengusap air mata itu dari pipinya. Earth mendorong pelan bahu Mix menjauh, mengakhiri sentuhan bibir mereka.
“Tell me what I did wrong?” Ucap Mix menuntut penjelasan.
“We shouldn't continue this, Mix. Let's stop it.“
“Stop... what?”
Mix perlu meyakinkan dirinya sendiri mengenai apa pastinya yang Earth minta untuk mereka hentikan.
“Hubungan kita.” Jawab Earth, suaranya bergetar.
“Lo bercanda kan? Ayo bilang lo bercanda... Gue nggak marah kok kalo lo ngeprank doang, ya kan???”
“Gue serius, Mix.”
“Tapi kenapa? We're doing fine.”
“Nggak Mix, we should be brother, that's all.“
“Nggak... Gue nggak mau! Gue nggak mau udahan, Earth gue sayang lo, gue sayang lo bukan sebagai kakak, gue nggak bisa Earth please jangan kaya gini.”
“Kita harus berhenti, Mix. Sebelum semuanya terlalu jauh.”
“Nggak mau, gue janji bakalan jadi anak baik setelah ini, gue nggak akan gangguin lo kerja lagi, gue bakalan nurut semua kata-kata lo, gue nggak mau udahan please bilang di bagian mana gue harus berubah biar kita bisa tetep bareng-bareng???”
“Nggak ada yang perlu lo rubah Mix, gue baru sadar kalo perasaan gue ke lo nggak lebih dari sekedar kakak-adik.”
Earth bohong.
Mix menangis sejadi-jadinya. Ia terluka.
“Lo bisa tidur di sini malem ini, gue tidur di luar aja.”
Earth buru-buru beranjak pergi sebelum benteng pertahanannya rontok.
“Kak Earth jangan tinggalin gue...” Mix memeluk punggung lelaki itu, mencegahnya untuk pergi.
“Maaf Mix...”
Dengan mudah, Earth melepaskan dekapan Mix dari tubuhnya dan meninggalkannya, begitu saja.
Dunia Mix tiba-tiba terasa jungkir balik, ketika orang yang selama ini menjadi pusat semestanya pergi. Ketika matahari di tata suryanya tiba-tiba berhenti menyinari. Ketika cinta pertamanya menjadi patah hati yang pertama pula.
Gelap. Sesak.
Lagi dan lagi, Mix harus merasakan rasanya tidak diinginkan dan ditinggalkan, oleh orang yang paling berarti untuknya, oleh orang yang kepadanya ia menitipkan hatinya. Kali ini bahkan terasa seribu kali lebih sakit. Luka lama yang sudah terobati seperti kini terkoyak lagi.
Earth duduk di lantai beralaskan karpet di ruang tengah, dalam kegelapan. Dia diam, hanya suara isak pelan yang terdengar dari sosok yang selama ini selalu terlihat kuat dan tangguh itu.
Dia juga terluka. Ia juga merasakan sakit yang sama besarnya dengan Mix. Earth juga sehancur itu, malam ini. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingin rasanya protes kepada Tuhan atas scenario takdir yang tidak menyenangkan tetapi tetap harus ia perankan ini. Namun inilah hidup, hidup tidak seperti pertunjukkan drama kacangan di mana kita bisa memilih peran yang kita sukai dan menolak peran yang kita benci. Ketika Tuhan sudah memberimu suatu peran dalam kehidupan, maka opsimu hanya satu, menerima dan menjalaninya. Itulah yang sedang Earth lakukan.