wjmmmy

Boom baru saja menyelesaikan urusannya ketika ia mendapati Earth berdiri di sana, menunggunya, di depan toilet. Boom kira Earth menunggunya untuk bergantian menggunakan toilet, jadi dia cuek-cuek saja, sampai Earth memanggilnya.

“Boom gue mau ngomong bentar, bisa?”

Boom tertegun. Sedikit khawatir tentang topik yang ingin Earth bicarakan dengannya.

“Iya bisa.” Boom mengangguk.

Earth mengajak Boom untuk bicara di teras belakang rumahnya, di depan kolam ikan kecil yang airnya bergemericik, membuat suasana terasa nyaman dan damai. Entah mengapa Earth memilih tempat ini, mungkin selain karena sepi- Earth pikir suara gemericik air kolam dapat membantu menenangkan jiwa Boom yang gelisah malam itu.

“Mau ngomong apa ya, Kak?”

Padahal Boom tau pasti hal apa yang ingin Earth bicarakan, pasti tentang Mix. Karena mustahil kalau tiba-tiba Earth bicara tentang harga saham hari ini.

“Duduk aja santai hehehe jangan tegang gitu.” Earth duduk di salah satu kursi di pinggir kolam, disusul oleh Boom.

Boom berfikir apakah dia terlihat setegang itu sampai-sampai ia bisa merasakan bahwa nada suara Earth berubah, cenderung melunak.

“Panik-panik ajaib nih Kak kayak mau pertama kali ketemu calon mertua.” Boom masih sempat bercanda, membuat Earth terkekeh.

“Tapi emang gue mau ngomong serius sih.”

“Iya Kak ngomong aja.”

“Lo serius sama Mix?”

Nah kan. Serius banget topiknya. At least ini serius untuk kehidupan percintaan Boom kedepannya.

“Serius kak masa bercanda.” Boom menjawab dengan mantap.

“Lo sayang Mix?”

Yaelah yang beginian aja ditanya segala.

“Sayang lah...”

“Lebih dari gue sayang dia?”

Boom yang sudah siap menjawab semua pertanyaan Earth dengan mantap dan gamblang seperti layaknya pengantin pria di depan penghulu dan saksi saat ijab qobul mendadak harus mengerem lidahnya.

Bukan, bukan tidak yakin rasa sayangnya tidak akan menang jika dibandingkan dengan milik Earth, tapi siapa yang mau percaya kalau ia bilang rasa yang ia miliki dari interaksi dua bulannya dengan Mix bisa mengalahkan lima belas tahun kebersamaan Earth dan Mix.

Boom jelas kalah telak.

“Nggak yakin?”

“Dalam hal ini kayaknya nggak ada yang bisa ngalahin lo, Kak.”

“Jadi lo mau berhenti?”

“NGGAK LAH...... gue nggak akan berhenti kecuali Mix yang nyuruh gue berhenti.”

“Oke, kalo gitu gue bakal bikin Mix nyuruh lo berhenti.”

Apa-apaan ini. Boom clueless. Tidak mengerti ucapan Earth ini mengarah kemana. Apakah ini cara halus Earth memintanya untuk berhenti pedekate dengan Mix atau bagaimana?

MUTUAL FEELINGS

“Udah dibilangin jangan mabok juga... payah nih om-om satu, untung Mama udah tidur.”

Kalimat pertama yang Mix ucapkan ketika netranya menangkap sosok Earth di tengah cahaya seadanya karena lampu ruang tengah sudah dipadamkan berjam-jam yang lalu. Saat itu pukul setengah satu dini hari.

“Siapa yang mabok, gue cuma minum dikit.”

Mix mencibir.

Dek ambilin air es dong.” Earth menjatuhkan dirinya di sofa ruang tengah.

“Dih kok nyuruh-nyuruh.”

“Kan gue ulang tahun.”

“Sadar ya bapak...ini udah ganti hari...”

“Oiya hehe hehe.”

“Dia bilang gak mabok tapi kelakuan udah kaya orang stress.” Mix menggerutu sambil menyerahkan gelas berisi air es ke hadapan lelaki yang lebih tua itu.

“Makasih adek manis.”

Mix berjengit melihat tingkah Earth yang tidak biasa.

Merinding.

By the way, mana kado buat gue?”

Ohiya, Mix hampir lupa. Ia sudah menyiapkan hadiah untuk Earth.

“Yuk ikut gue...” Mix menarik lengan Earth.

“Kemana?”

“Ikut aja ya bawel!!!”


Mix membawa Earth ke kamarnya.

“Ayo duduk sini....”

Mereka berdua duduk berhimpitan di single bed milik Mix.

“Ngapain sih??” Earth bingung.

“Liat tuh....”

Mix telah mengubah kamarnya menjadi sebuah bioskop mini- khusus malam ini. Berbekalkan proyektor, sebuah klip berhasil ditampilkan di salah satu sisi dinding kamarnya.

Klip video itu menampilkan seorang bayi lelaki yang sedang belajar merangkak di karpet bulu sebuah ruangan yang terasa familiar- ruang tengah rumah mereka. Si bayi lelaki beberapa kali terjatuh dan berhasil bangkit kembali, terdengar samar-samar suara seorang wanita di balik kamera yang merekam momen ini.

“Itu Earth umur 1 tahun....” Ucap Mix.

“Emang itu gue???”

“Ya siapa lagi coba?? Masa bayi tetangga... jelas-jelas mukanya mirip lo kan...”

“Dapet darimana videonya?”

“Minta Mama ehe ehe...”

Klip video itu terus menampilkan transisi dari masa ke masa. Sekarang menampilkan Earth kecil yang menangis tersedu-sedu karena es krim yang tengah dia makan jatuh ke lantai, terdengar suara Mama mengomel “Beresin es krimnya sendiri.... kan udah mama bilang kalau makan sambil duduk Earth, kenapa lari-lari???”

“Dasar cengeng.”

“Ya namanya juga balita, lo sampe umur segini-pun kalo es krim jatoh lo masih nangis kan???”

“Engga ya fitnah banget!!”

Proyektor selanjutnya menampilkan video Earth kelas 3 SD, dalam balutan seragam sekolah, mengikuti lomba menyanyi.

Earth dan Mix tertawa terbahak-bahak mendengar suara Earth kecil dan ekspresi wajahnya yang sangat menjiwai lagu yang menceritakan tentang pahlawan tanpa tanda jasa itu.

“Apa sih judul lagunya??? Coba masih inget nggak? Nyanyiin dong sekarang.” Pinta Mix.

“Nggak inget lah... apaan ya....”

Earth mencoba mengingat-ingat sambil bersenandung kecil, menyanyikan penggalan-penggalan lagu yang ia nyanyikan dulu sambil me-reminiscing ekspresi wajahnya sekaligus yang sukses membuat Mix tertawa terpingkal-pingkal. Mix tertawa sampai keluar air mata.

“Sst....sst... nanti Mama bangun Mix jangan kenceng-kenceng ketawanya.”

“Lagian lo kenapa sih reka ulang adegan segala.”

“Lo yang nyuruh nyanyi kan tadi.”

“Iya tapi nggak usah pake ekspresi, ya Tuhan gue mules.”

“Tuh tuh ada lo sekarang.”

Earth menunjuk ke arah dinding yang tengah menampilkan video saat Earth mengajari Mix naik sepeda untuk pertama kalinya.

“Sampe sekarang lo nggak bisa juga naik sepeda, udah capek-capek gue ngajarin tuh.”

“Bisaaa.....”

“Bisa apa? Bisa jatoh?”

“Beneran gue udah bisa.”

“Paling baru lima meter jatoh kan? Tuh kan beneran jatoh...”

Mix kecil- di dalam klip video itu- jatuh dari sepeda dan menangis. Earth tampak menghiburnya dengan iming-iming akan dibelikan jajanan kalau Mix berhenti menangis yang sukses membuat bocah itu diam.

Earth tertawa keras.

“Dari dulu sampe sekarang sama aja ya, dirayu pake makanan langsung sukses.”

“Diem lo!!!”

“Lagian lo sering banget nangis pas kecil Mix, yang cengeng itu lo.”

“Ya tau sendiri lah gue kan ada luka batin pas kecil.”

Mix mengatakannya seolah luka itu hanyalah luka biasa untuknya. Not a big deal.

“Udah udah nggak usah dibahas nanti lo nangis lagi....” Earth memeluk Mix penuh kasih sayang dan mengusap-usap punggungnya.

Mereka menghabiskan kurang lebih empat puluh menit untuk menonton kompilasi video masa pertumbuhan Earth mulai dari bayi sampai dewasa, beberapa momen membuat Earth tertawa dan beberapa momen membuat mata pemuda itu berkaca-kaca, terharu.

Happy belated birthday, Kak Earth. Terima kasih udah tumbuh dengan baik sampai hari ini, gue bersyukur banget lo ada di hidup gue. Tujuan gue bikin klip ini karena gue harap lo juga nggak lupa bersyukur untuk semua fase yang udah berhasil lo lalui dengan baik sampe sekarang.” Ucap Mix tepat setelah video berakhir.

“Makasih Mix, makasih udah ngingetin gue tentang hal ini, hal yang penting tapi sering terlupakan. Makasih juga udah jadi bagian dari memori-memori gue . Thank you adik kecil.”

Detik selanjutnya mereka saling menatap sambil tersenyum lebar. Lewat enam puluh detik, Mix menyadari bahwa ada yang berubah dari sorot tatap mata Earth.

“Earth...?”

“Mix....” Earth mengusap lembut pipi Mix.

“Hmmm?”

Can I kiss you?

Mix tidak bisa memproses pertanyaan Earth, ia hang seperti komputer lama yang kelebihan muatan. Ketika Earth mulai mengikis jarak diantara wajah keduanya, Mix tidak bisa berfikir. Mix tidak menolak, tapi ia juga tidak mampu untuk mengiyakan. Ketika hembusan nafas hangat Earth menyentuh pipinya, Mix memejamkan matanya rapat-rapat. Ia merasakan bibir Earth menyentuh bibirnya. Bodohnya, Mix tidak tahu harus merespon sebuah ciuman dengan cara bagaimana.

Ini ciuman pertamanya selama 22 tahun hidup di dunia. Ciuman itu singkat dan kilat. Terlalu cepat, untuk Mix. Bagaimana cara mengatakan pada Earth kalau ia ingin lagi.

Earth masih menatap Mix sambil menautkan jemarinya ke jari-jemari Mix. Menggenggamnya dengan erat.

“Mix.... jangan pacaran sama Boom ya, nggak boleh.” Ucap Earth tiba-tiba.

Mix lebih kaget lagi dibuatnya. Kemudian Mix ingat, malam ini Earth memang setengah mabuk, makanya Earth bisa bersikap se-straightforward ini.

Orang mabuk biasanya selalu jujur kan?

Mix tersenyum mendengar ucapan Earth yang melarangnya dan Boom berpacaran. Jadi inikah isi hati Earth selama ini??

“Emang kenapa nggak bo....leh?”

Belum selesai Mix menanyakan alasan di balik permintaan itu, Earth membungkamnya dengan ciuman kedua. Ia merebahkan tubuh Mix dan mengurung sosok mungil itu di bawah kuasanya.

Ciuman Earth yang kedua kali terasa berbeda, terasa lebih agresif, mengintimidasi dan menuntut. Mix masih tidak tau harus bagaimana merespon ciuman ini sampai akhirnya ia memberanikan diri membuka mulutnya dan membiarkan Earth melesakkan lidah dan menautkannya dengan miliknya.

Mix pusing.

Ia tidak pernah tahu kalau berciuman memiliki efek yang memabukkan seperti ini. Mix kini lebih berani membalas ciuman Earth dengan melumat bibirnya perlahan. Ia mengalungkan lengannya di leher Earth.

Tak lama, Mix kehabisan napas. Earth melepaskan ciuman mereka agar Mix bisa mengambil nafas. Earth memandangi sosok cantik di bawahnya dengan kagum.

“Mix lo cantik... cantik banget.” Earth sepertinya melantur.

Tapi Earth tidak bohong ketika ia bilang Mix cantik. Terlebih malam ini, ketika kedua belah pipinya merona merah, mata bulat Mix menatap Earth dengan tatapan sayu penuh damba, belum lagi ditambah bibirnya yang terlihat membengkak akibat aktifitas ciuman mereka yang cukup panas.

Mix menarik kerah kemeja Earth, membawa wajahnya mendekat.

“M-mau cium lagi...” Bisik Mix malu-malu. Rona merah di pipinya semakin menjadi-jadi.

Mix menggemaskan. Membuat Earth ingin menggigit pipinya yang seperti buah peach.

Earth mengecup bibir Mix sekilas. Earth bisa melihat Mix kecewa, Earth tahu si manis ini menginginkan ciuman lain yang basah dan panas. Tapi bukan Earth namanya kalau tidak gemar menggoda adik manisnya.

“Pagi ada kelas nggak?”

Mix mengangguk.

“Bolos aja ya...”

Yang terjadi selanjutnya Earth sudah sibuk mencumbu salah satu bagian sensitif Mix, telinganya.

“Aahhh....Kakkh...” Mix mendesah ketika Earth melumat cuping telinganya.

Ciuman Earth turun ke area leher, bahu dan dada Mix, sweater belel dengan potongan v-neck yang kebetulan Mix kenakan malam ini memudahkan aksi Earth.

Mix tau bekas ciuman Earth di leher dan bagian tubuhnya yang lain akan menimbulkan tanda kemerahan esok hari, tapi ia tidak peduli. Yang Mix peduli, dia menikmati kebersamaanya dengan Earth malam ini, andai saja ia bisa menghentikan waktu, ia ingin menghentikannya sekarang juga agar kebahagiaan ini bisa berlangsung selamanya.

Earth merebahkan diri di sisi Mix sambil menopang kepalanya dengan tangan, agar bisa menatap wajah manis kesayangannya.

“Kok udahan?” Tanya Mix polos.

“Besok pagi lo ada kelas, gue juga kerja, ini udah jam tiga pagi.”

Mix mengerucutkan bibirnya, merengut.

“Emang udah siap kalo gue lanjut hm?”

Mix kicep dibuatnya. Lanjut apanya nih???

Earth tersenyum lagi.

“Udah gih tidur, gue liatin.”

“Earth... gue sayang lo....”

“Gue juga Mix, nggak pernah sedetik-pun dalam hidup gue nggak sayang lo.”

“T-tapi kan ini sayangnya beda.”

“Iya ngerti kok. Your feeling is mutual.”

“Ini nggak karena lo lagi setengah mabok doang terus ntar pagi lo lupa kan??”

“Liat nanti pas pagi deh....”

“Ihhh sebel dah lah gue tidur aja.”

Mix mengubah posisi tidurnya jadi memunggungi Earth. Kesal. Earth memeluk tubuh Mix dari belakang dan mengistirahatkan dagunya di bahu Mix.

“Earth sayang Mix, bukan kakak sayang adek. Ngerti kan?” Bisik Earth di telinga Mix tak urung membuat Mix tersenyum juga.

Kali pertama dalam hidup Mix, ia tidur dengan Earth tanpa embel-embel label kakak-beradik, tapi sebagai dua insan yang dimabuk cinta.

“Mas Earth tuh lagi galau habis ditolak cewek apa gimana toh dek? Udah berapa hari Mba lihat ngelamun mulu.”

Mba Ija muncul sambil melontarkan pertanyaan mengejutkan pada Mix yang sedang menghabiskan segelas susu di meja makan.

Lah emang dia kenapa?”

Mba mau ngunci pintu, tapi dia di halaman nggak masuk-masuk, udah malem juga, coba diajak ngomong itu masnya takut kenapa-napa dek.” Mba Ija curhat.

“Yaudah coba bentar aku lihat...”


Flashback, Earth & Namtan IKEA date.

Sesuai janji Namtan untuk mentraktir Earth minum kopi karena menemaninya mencari perlengkapan untuk design ruang kerja ayahnya, sore itu mereka berdua duduk-duduk di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari IKEA, kedai kopi favorit Earth. Sebenarnya tidak bisa disebut favorit juga sih, hanya karena pekerjaannya menuntut Earth seringkali bolak-balik IKEA, dia selalu mampir untuk membeli kopi di sana.

“Earth... Lo lagi nggak deket sama siapa-siapa kan? Cewek gitu?”

Earth menggeleng.

“Tumben tiba-tiba tanya...”

Jujur saja Earth kaget mendadak ditanyai Namtan perihal seperti ini.

“Nggak, takutnya nanti tau-tau ada yang marah kalo lo pergi sama gue begini kan...”

“Hehehehe santai. Lo sendiri? Kenapa nggak pacaran? Yang mau sama lo kan banyak, Tan.”

“Yeee kata siapa...”

“Lo beken ya di forum alumni kampus, pas lo masih study abroad aja banyak yang suka nanyain lo ke gue.”

So what do you think about me?

As man? Or as your friend?

As man lah....”

“Lo tau jawabannya, Tan. Lo cantik, pinter, baik, mandiri, have a good attitude, keluarga lo terpandang, apa lagi deh yang kurang? Semua kriteria wanita ideal tuh ada di lo.”

“Jadi menurut lo gue menarik, Earth?”

Of course...”

“Tapi kenapa lo gak tertarik sama gue?”

Earth kicep ditembak pertanyaan tidak disangka-sangka seperti itu.

“Nggak bisa jawab kan lo...” Namtan hanya tertawa kecil.

“Tan dengerin ya, ini bukan karena lo yang nggak menarik kok, ngerti kan? It's me and my self, masalahnya ada di gue, bukan di lo.”

Earth menatap Namtan sungguh-sungguh saat mengucapkan ini, ia tidak ingin Namtan merasa dirinya tidak menarik hanya karena tidak bisa membuat Earth tertarik.

Namtan mengaduk-aduk kopinya dalam diam.

“Lo temen baik gue, Tan. Temen terbaik gue.”

Can't at least we try it first, Earth? Kalau emang nggak works i promise to give up on you...”

Earth menghela nafas. Berfikir. Sebenarnya tidak ada salahnya mencoba, tapi dia tidak yakin perasaanya pada Namtan bisa berubah. Earth hanya khawatir malah akan melukai Namtan lebih dalam lagi pada akhirnya.


“Erdddd!!! Kan bunganya udah disiram sama Mama tadi sore kenapa disiram lagi sih...”

Yang dikira Mba Ija sedang galau itu tengah asik melamun sambil menyirami tanaman bunga kesayangan Mama, teriakan Mix mengembalikan benaknya yang berkelana kembali ke raganya.

“Oh... kirain belum.” Jawab Earth, linglung.

“Mana mungkin Mama lupa, nyiram ini bunga udah kayak ngasih makan anak...”

Earth akhirnya mematikan kran air yang terhubung dengan selang untuk menyiram tanaman.

“Lagian mana ada orang nyiram bunga jam sebelas malem...” Mix ngomel.

Earth duduk di teras rumah mereka, masih memandangi tanaman yang baru saja ia siram.

“Liat tuh jadi becek...”

Earth masih diam. Kali ini Mix benar-benar heran. Sejak kapan Earth jadi kalem begini. Berapa hari belakangan memang Mix disibukkan dengan UAS, membuatnya jarang berinteraksi dengan Earth karena dia mengurung dirinya di kamar untuk belajar.

“Masuk yuk udah malem...” Mix meraih lengan Earth, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Lo duluan aja, Mix. Gue bentar lagi...”

Bukan Mix namanya kalau semudah itu ia menuruti perkataan Earth untuk masuk duluan, Mix duduk di sebelah Earth alih-alih melaksanakan perintah lelaki yang lebih tua itu.

“Kak Earth lo kenapa? Ada masalah? Cerita ke gue yuk...”

Earth tersenyum mendengar nada khawatir dan peduli dalam suara adiknya.

“Nggak ada apa-apa kok adek, cuma ada yang lagi gue pikirin aja...”

“Apa???”

Kepoooo...

Ish gue peduli sama lo ya!!!” Mix memukul lengan Earth sekeras-kerasnya.

“Serius anak kecil nggak boleh tahu.”

“GUE UDAH GEDE.”

“Anak bandel...” Earth mengusak kepala Mix, membuat rambutnya berantakan.

“Mau gue peluk?” Mix menawarkan.

Earth menatap Mix sesaat. Lalu ia menganggukkan kepala ragu-ragu. Mix meraih tubuh itu dalam pelukannya tanpa menunggu anggukan ragu-ragu itu berubah menjadi lebih jelas.

Malam itu, disaksikan oleh sepetak tanaman bunga, Mix menghibur Earth dengan sebuah pelukan, seperti yang selama ini sering Earth lakukan untuknya. Pelukan itu terasa hangat, di tengah-tengah udara malam yang dingin. Begitu pula hati mereka.

“Mas Earth tuh lagi galau habis ditolak cewek apa gimana toh dek? Udah berapa hari Mba lihat ngelamun mulu.”

Mba Ija muncul sambil melontarkan pertanyaan mengejutkan pada Mix yang sedang menghabiskan segelas susu di meja makan.

Lah emang dia kenapa?”

Mba mau ngunci pintu, tapi dia di halaman nggak masuk-masuk, udah malem juga, coba diajak ngomong itu masnya takut kenapa-napa dek.” Mba Ija curhat.

“Yaudah coba bentar aku lihat...”


Flashback, Earth & Namtan IKEA date.

Sesuai janji Namtan untuk mentraktir Earth minum kopi karena menemaninya mencari perlengkapan untuk design ruang kerja ayahnya, sore itu mereka berdua duduk-duduk di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari IKEA, kedai kopi favorit Earth. Sebenarnya tidak bisa disebut favorit juga sih, hanya karena pekerjaannya menuntut Earth seringkali bolak-balik IKEA, dia selalu mampir untuk membeli kopi di sana.

“Earth... Lo lagi nggak deket sama siapa-siapa kan? Cewek gitu?”

Earth menggeleng.

“Tumben tiba-tiba tanya...”

Jujur saja Earth kaget mendadak ditanyai Namtan perihal seperti ini.

“Nggak, takutnya nanti tau-tau ada yang marah kalo lo pergi sama gue begini kan...”

“Hehehehe santai. Lo sendiri? Kenapa nggak pacaran? Yang mau sama lo kan banyak, Tan.”

“Yeee kata siapa...”

“Lo beken ya di forum alumni kampus, pas lo masih study abroad aja banyak yang suka nanyain lo ke gue.”

So what do you think about me?

As man? Or as your friend?

As man lah....”

“Lo tau jawabannya, Tan. Lo cantik, pinter, baik, mandiri, have a good attitude, keluarga lo terpandang, apa lagi deh yang kurang? Semua kriteria wanita ideal tuh ada di lo.”

“Jadi menurut lo gue menarik, Earth?”

Of course...”

“Tapi kenapa lo gak tertarik sama gue?”

Earth kicep ditembak pertanyaan tidak disangka-sangka seperti itu.

“Nggak bisa jawab kan lo...” Namtan hanya tertawa kecil.

“Tan dengerin ya, ini bukan karena lo yang nggak menarik kok, ngerti kan? It's me and my self, masalahnya ada di gue, bukan di lo.”

Earth menatap Namtan sungguh-sungguh saat mengucapkan ini, ia tidak ingin Namtan merasa dirinya tidak menarik hanya karena tidak bisa membuat Earth tertarik.

Namtan mengaduk-aduk kopinya dalam diam.

“Lo temen baik gue, Tan. Temen terbaik gue.”

Can't at least we try it first, Earth? Kalau emang nggak works i promise to give up on you...”

Earth menghela nafas. Berfikir. Sebenarnya tidak ada salahnya mencoba, tapi dia tidak yakin perasaanya pada Namtan bisa berubah. Earth hanya khawatir malah akan melukai Namtan lebih dalam lagi pada akhirnya.


“Erdddd!!! Kan bunganya udah disiram sama Mama tadi sore kenapa disiram lagi sih...”

Yang dikira Mba Ija sedang galau itu tengah asik melamun sambil menyirami tanaman bunga kesayangan Mama, teriakan Mix mengembalikan benaknya yang berkelana kembali ke raganya.

“Oh... kirain belum.” Jawab Earth, linglung.

“Mana mungkin Mama lupa, nyiram ini bunga udah kayak ngasih makan anak...”

Earth akhirnya mematikan kran air yang terhubung dengan selang untuk menyiram tanaman.

“Lagian mana ada orang nyiram bunga jam sebelas malem...” Mix ngomel.

Earth duduk di teras rumah mereka, masih memandangi tanaman yang baru saja ia siram.

“Liat tuh jadi becek...”

Earth masih diam. Kali ini Mix benar-benar heran. Sejak kapan Earth jadi kalem begini. Berapa hari belakangan memang Mix disibukkan dengan UAS, membuatnya jarang berinteraksi dengan Earth karena dia mengurung dirinya di kamar untuk belajar.

“Masuk yuk udah malem...” Mix meraih lengan Earth, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Lo duluan aja, Mix. Gue bentar lagi...”

Bukan Mix namanya kalau semudah itu ia menuruti perkataan Earth untuk masuk duluan, Mix duduk di sebelah Earth alih-alih melaksanakan perintah lelaki yang lebih tua itu.

“Kak Earth lo kenapa? Ada masalah? Cerita ke gue yuk...”

Earth tersenyum mendengar nada khawatir dan peduli dalam suara adiknya.

“Nggak ada apa-apa kok adek, cuma ada yang lagi gue pikirin aja...”

“Apa???”

Kepoooo...

Ish gue peduli sama lo ya!!!” Mix memukul lengan Earth sekeras-kerasnya.

“Serius anak kecil nggak boleh tahu.”

“GUE UDAH GEDE.”

“Anak bandel...” Earth mengusak kepala Mix, membuat rambutnya berantakan.

“Mau gue peluk?” Mix menawarkan.

Earth menatap Mix sesaat. Lalu ia menganggukkan kepala ragu-ragu. Mix meraih tubuh itu dalam pelukannya tanpa menunggu anggukan ragu-ragu itu berubah menjadi lebih jelas.

Malam itu, disaksikan oleh sepetak tanaman bunga, Mix menghibur Earth dengan sebuah pelukan, seperti yang selama ini sering Earth lakukan untuknya. Pelukan itu terasa hangat, di tengah-tengah udara malam yang dingin. Begitu pula hati mereka.

“Mas Earth tuh lagi galau habis ditolak cewek apa gimana toh dek? Udah berapa hari Mba lihat ngelamun mulu.”

Mba Ija muncul sambil melontarkan pertanyaan mengejutkan pada Mix yang sedang menghabiskan segelas susu di meja makan.

Lah emang dia kenapa?”

Mba mau ngunci pintu, tapi dia di halaman nggak masuk-masuk, udah malem juga, coba diajak ngomong itu masnya takut kenapa-napa dek.” Mba Ija curhat.

“Yaudah coba bentar aku lihat...”


Flashback, Earth & Namtan IKEA date.

Sesuai janji Namtan untuk mentraktir Earth minum kopi karena menemaninya mencari perlengkapan untuk design ruang kerja ayahnya, sore itu mereka berdua duduk-duduk di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari IKEA, kedai kopi favorit Earth. Sebenarnya tidak bisa disebut favorit juga sih, hanya karena pekerjaannya menuntut Earth seringkali bolak-balik IKEA, dia selalu mampir untuk membeli kopi di sana.

“Earth... Lo lagi nggak deket sama siapa-siapa kan? Cewek gitu?”

Earth menggeleng.

“Tumben tiba-tiba tanya...”

Jujur saja Earth kaget mendadak ditanyai Namtan perihal seperti ini.

“Nggak, takutnya nanti tau-tau ada yang marah kalo lo pergi sama gue begini kan...”

“Hehehehe santai. Lo sendiri? Kenapa nggak pacaran? Yang mau sama lo kan banyak, Tan.”

“Yeee kata siapa...”

“Lo beken ya di forum alumni kampus, pas lo masih study abroad aja banyak yang suka nanyain lo ke gue.”

So what do you think about me?

As man? Or as your friend?

As man lah....”

“Lo tau jawabannya, Tan. Lo cantik, pinter, baik, mandiri, have a good attitude, keluarga lo terpandang, apa lagi deh yang kurang? Semua kriteria wanita ideal tuh ada di lo.”

“Jadi menurut lo gue menarik, Earth?”

Of course...”

“Tapi kenapa lo gak tertarik sama gue?”

Earth kicep ditembak pertanyaan tidak disangka-sangka seperti itu.

“Nggak bisa jawab kan lo...” Namtan hanya tertawa kecil.

“Tan dengerin ya, ini bukan karena lo yang nggak menarik kok, ngerti kan? It's me and my self, masalahnya ada di gue, bukan di lo.”

Earth menatap Namtan sungguh-sungguh saat mengucapkan ini, ia tidak ingin Namtan merasa dirinya tidak menarik hanya karena tidak bisa membuat Earth tertarik.

Namtan mengaduk-aduk kopinya dalam diam.

“Lo temen baik gue, Tan. Temen terbaik gue.”

Can't at least we try it first, Earth? Kalau emang nggak works i promise to give up on you...”

Earth menghela nafas. Berfikir. Sebenarnya tidak ada salahnya mencoba, tapi dia tidak yakin perasaanya pada Namtan bisa berubah. Earth hanya khawatir malah akan melukai Namtan lebih dalam lagi pada akhirnya.


“Erdddd!!! Kan bunganya udah disiram sama Mama tadi sore kenapa disiram lagi sih...”

Yang dikira Mba Ija sedang galau itu tengah asik melamun sambil menyirami tanaman bunga kesayangan Mama, teriakan Mix mengembalikan benaknya yang berkelana kembali ke raganya.

“Oh... kirain belum.” Jawab Earth, linglung.

“Mana mungkin Mama lupa, nyiram ini bunga udah kayak ngasih makan anak...”

Earth akhirnya mematikan kran air yang terhubung dengan selang untuk menyiram tanaman.

“Lagian mana ada orang nyiram bunga jam sebelas malem...” Mix ngomel.

Earth duduk di teras rumah mereka, masih memandangi tanaman yang baru saja ia siram.

“Liat tuh jadi becek...”

Earth masih diam. Kali ini Mix benar-benar heran. Sejak kapan Earth jadi kalem begini. Berapa hari belakangan memang Mix disibukkan dengan UAS, membuatnya jarang berinteraksi dengan Earth karena dia mengurung dirinya di kamar untuk belajar.

“Masuk yuk udah malem...” Mix meraih lengan Earth, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Lo duluan aja, Mix. Gue bentar lagi...”

Bukan Mix namanya kalau semudah itu ia menuruti perkataan Earth untuk masuk duluan, Mix duduk di sebelah Earth alih-alih melaksanakan perintah lelaki yang lebih tua itu.

“Kak Earth lo kenapa? Ada masalah? Cerita ke gue yuk...”

Earth tersenyum mendengar nada khawatir dan peduli dalam suara adiknya.

“Nggak ada apa-apa kok adek, cuma ada yang lagi gue pikirin aja...”

“Apa???”

Kepoooo...

Ish gue peduli sama lo ya!!!” Mix memukul lengan Earth sekeras-kerasnya.

“Serius anak kecil nggak boleh tahu.”

“GUE UDAH GEDE.”

“Anak bandel...” Earth mengusak kepala Mix, membuat rambutnya berantakan.

“Mau gue peluk?” Mix menawarkan.

Earth menatap Mix sesaat. Lalu ia menganggukkan kepala ragu-ragu. Mix meraih tubuh itu dalam pelukannya tanpa menunggu anggukan ragu-ragu itu berubah menjadi lebih jelas.

Malam itu, disaksikan oleh sepetak tanaman bunga, Mix menghibur Earth dengan sebuah pelukan, seperti yang selama ini sering Earth lakukan untuknya. Pelukan itu terasa hangat, di tengah-tengah udara malam yang dingin. Begitu pula hati mereka.

“Mas Earth tuh lagi galau abis ditolak cewek apa gimana toh dek? Udah berapa hari Mba lihat ngelamun mulu.”

Mba Ija muncul sambil melontarkan pertanyaan mengejutkan pada Mix yang sedang menghabiskan segelas susu di meja makan.

“Lah emang dia kenapa?”

“Mba mau ngunci pintu, tapi dia di halaman nggak masuk-masuk, udah malem juga, coba diajak ngomong itu masnya takut kenapa-napa dek.” Mba Ija curhat.

“Yaudah coba bentar aku lihat...”


Flashback, Earth & Namtan IKEA date.

Sesuai janji Namtan untuk mentraktir Earth minum kopi karena menemaninya mencari perlengkapan untuk design ruang kerja ayahnya, sore itu mereka berdua duduk-duduk di kedai kopi yang terletak tidak jauh dari IKEA, kedai kopi favorit Earth. Sebenarnya tidak bisa disebut favorit juga sih, hanya karena pekerjaannya menuntut Earth seringkali bolak-balik IKEA, dia selalu mampir untuk membeli kopi di sana.

“Earth... Lo lagi nggak deket sama siapa-siapa kan? Cewek gitu?”

Earth cuma menggeleng.

“Tumben tiba-tiba nanya...”

Jujur saja Earth kaget tiba-tiba ditanyai Namtan perihal seperti ini.

“Ngga, takutnya nanti tau-tau ada yang marah kalo lo pergi sama gue begini kan...”

“Hehehehe santai. Lo sendiri? Kenapa nggak pacaran? Yang mau sama lo kan banyak, Tan.”

“Yeee kata siapa...”

“Lo beken ya di forum alumni kampus, pas lo masih study abroad aja banyak yang suka nanyain lo ke gue.”

So what do you think about me?

As man? Or as your friend?

“As man lah....”

“Lo tau jawabannya lah, Tan. Lo cantik, pinter, baik, mandiri, have a good attitude, keluarga lo terpandang, apa lagi deh yang kurang? Kayak ya semua kriteria wanita ideal tuh ada di lo.”

“Jadi menurut lo gue menarik, Earth?”

Of course...”

“Tapi kenapa lo gak tertarik sama gue?”

Earth kicep ditembak pertanyaan tidak disangka-sangka seperti itu.

“Nggak bisa jawab kan lo...” Namtan hanya tersenyum kecil.

“Tan dengerin ya, ini bukan karena lo yang nggak menarik kok, ngerti kan? It's me and my self, masalahnya ada di gue, bukan di lo.”

Earth menatap Namtan sungguh-sungguh saat mengucapkan ini, ia tidak ingin Namtan merasa dirinya tidak menarik hanya karena tidak bisa membuat Earth tertarik.

Namtan mengaduk-aduk kopinya dalam diam.

“Lo temen baik gue, Tan. Temen terbaik gue.”

Can't at least we try it first, Earth? Kalau emang nggak works i promise to give up on you...”

Earth menghela nafas. Berfikir. Sebenarnya tidak ada salahnya mencoba, tapi dia tidak yakin perasaanya pada Namtan bisa berubah. Earth hanya khawatir malah akan melukai Namtan pada akhirnya.


“Erdddd!!! Kan bunganya udah disiram sama Mama tadi sore kenapa disiram lagi sih...”

Yang dikira Mba Ija sedang galau itu tengah asik melamun sambil menyirami tanaman bunga kesayangan Mama, teriakan Mix mengembalikan benaknya yang berkelana kembali ke raganya.

“Oh... kirain belum.” Jawab Earth, linglung.

“Mana mungkin Mama lupa, nyiram ini bunga udah kayak ngasih makan anak...”

Earth akhirnya mematikan kran air yang terhubung dengan selang untuk menyiram tanaman.

“Lagian mana ada sih orang nyiram bunga jam sebelas malem...” Mix ngomel.

Earth duduk di teras rumah mereka, masih memandangi tanaman yang baru saja ia siram.

“Liat tuh jadi becek...”

Earth masih diam. Kali ini Mix benar-benar heran. Sejak kapan Earth jadi kalem begini. Berapa hari belakangan memang Mix disibukkan dengan UAS, membuatnya jarang berinteraksi dengan Earth karena dia mengurung dirinya di kamar untuk belajar.

“Masuk yuk udah malem...” Mix meraih lengan Earth mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Lo duluan aja, Mix. Gue bentar lagi...”

Bukan Mix namanya kalau semudah itu ia menuruti perkataan Earth untuk masuk duluan, Mix duduk di sebelah Earth alih-alih melaksanakan perintah lelaki yang lebih tua itu.

“Kak Earth lo kenapa? Ada masalah? Cerita ke gue yuk...”

Earth tersenyum mendengar nada khawatir dan peduli dalam suara adiknya.

“Nggak ada apa-apa kok adek, cuma ada yang lagi gue pikirin aja...”

“Apa???”

“Kepoooo...”

“Ish gue peduli sama lo ya!!!” Mix memukul lengan Earth sekeras-kerasnya.

“Serius anak kecil nggak boleh tahu.”

“GUE UDAH GEDE.”

“Anak bandel...” Earth mengusak kepala Mix, membuatnya rambutnya berantakan.

“Mau gue peluk?” Mix menawarkan.

Earth menatap Mix sesaat. Lalu ia menganggukkan kepala.

Malam itu, disaksikan oleh sepetak tanaman bunga, Mix menghibur Earth dengan sebuah pelukan, seperti yang selama ini sering Earth lakukan untuknya. Pelukan itu terasa hangat, di tengah-tengah udara malam yang dingin. Begitu pula hati mereka.

𝐀𝐖𝐀𝐋 𝐌𝐔𝐋𝐀 𝐁𝐄𝐑𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀

Aku berhenti di persimpangan, ku putar arah untuk kembali ke kota ini, mengurungkan segala pesan yang tadinya ingin disampaikan dan berharap yang di atas sedang menuntun ke arah yang sudah ditentukan. Memang, katanya selalu ada sesuatu di kota sana, tapi nampaknya untuk hati ini di sini saja baiknya. Ku harap, kau membaca pesan yang kukirimkan tadi malam, memang mungkin kurang berarti, bagimu, memang aku tak pernah berarti.

— Antologi Puisi, Awal Mula.

𝐀𝐖𝐀𝐋 𝐌𝐔𝐋𝐀 𝐁𝐄𝐑𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀

Aku berhenti di persimpangan, ku putar arah untuk kembali ke kota ini, mengurungkan segala pesan yang tadinya ingin disampaikan dan berharap yang di atas sedang menuntun ke arah yang sudah ditentukan. Memang, katanya selalu ada sesuatu di kota sana, tapi nampaknya untuk hati ini di sini saja baiknya. Ku harap, kau membaca pesan yang kukirimkan tadi malam, memang mungkin kurang berarti, bagimu, memang aku tak pernah berarti. Antologi Puisi, Awal Mula.

Suara ketukan perlahan di pintu kamar Earth membuat fokusnya teralih sesaat dari rancangan design dua dimensi sebuah bangun di tabletnya.

Penasaran siapa yang mengunjungi kamarnya malam-malam begini, tak lama kepala Mix menyembul dari balik pintu. Earth mengernyitkan alisnya, heran.

“Belum tidur? Masih kerja ya?”

Mix bertanya dengan mata berbinar-binar seperti anak anjing ingin diajak bermain majikannya.

“Belum, nggak kerja sih, cuma ngecek design dikit.... lo kenapa belum tidur?”

“Mau bobo di sini.... boleh?”

Mix menyeringai, menunjukkan bantal kesayangannya yang sudah ia gendong sedari tadi. Earth menjawab dengan menepuk space kosong di kasur sebelahnya berbaring.

“Yeaay....” Mix masuk ke kamar Earth dan segera mengambil posisi di sebelah sang pemilik kamar, kegirangan.

Kamar Earth yang didominasi warna hitam itu selalu nyaman, karena beraroma sama seperti Earth. Bagi Mix, Earth sendiri adalah definisi nyaman dalam wujud yang nyata. Suara musik mengalun pelan dari speaker mungil berbentuk bumi di atas nakas di sebelah ranjang, musik pengantar tidur kesukaan Earth.

Dia selalu tidur dengan musik pelan seperti ini. Alasannya karena membuat ia lebih rileks dan dapat memperbaiki kualitas tidurnya. Mix sih setuju-setuju saja.

“Kenapa sih seharian random banget?? Chat bilang sayang lah.... sekarang mau tidur di sini??”

Earth melepas kacamata dan meletakkannya bersama tabletnya di nakas, menengok ke arah adik manisnya, memberi perhatian penuh kepada Mix.

“Nggak random itu, gue juga chat mama bilang sayang ya bukan chat lo doang....”

Mix menarik selimut Earth, menutupi tubuhnya.

“Ada yang mau lo omongin ya?” Earth menebak, curiga.

“Enggaaa gue mau tidur....”

“Gue juga mau tidur.”

Earth buru-buru menyandarkan kepalanya di pundak Mix, sebelum Mix sempat protes.

“Earth berat ih..... pundak gue bukan bantal.”

Mix protes, tapi tidak menolak. Earth tidak ambil pusing, tetap pada posisinya.

“Kalo besok pagi gue sakit pundak lo tanggung jawab ya...”

“Heeem....”

Tidak ada lagi diantara mereka yang bersuara, hanya suara alunan musik lembut dan suara nafas mereka berdua mengisi ruangan.

“Earth??? Tidur???”

Mix tidak bisa melihat jelas apakah Earth benar-benar terlelap karena minimnya cahaya di kamar Earth.

“Sebenernya emang ada yang mau gue omongin sih... tapi lo tidur...”

Ngomong aja, gue denger kok....”

Yang dikira tidur itu menyahut tiba-tiba.

“Inget gak yang malem-malem kita omongin di balkon kamar gue??”

Earth mengangguk alih-alih menjawab kalau dia ingat percakapan itu.

“Gue udah tau jawabannya.”

Earth mendongak menatap wajah Mix, Mix tersenyum ke arahnya. Terlihat seperti senyum yang dia paksakan, karena Earth bisa merasakan perjuangan di balik senyum itu. Perjuangan Mix untuk menyampaikan semua ini padanya.

Dan Earth seketika tahu makna dibalik senyum itu, tanpa Mix harus mengucapkannya.

“Maaf kalo lo kecewa sama gue....” Lanjut Mix.

“Kenapa gue harus kecewa? It's okay Mix....”

Earth mengusap-usap lembut kepala adiknya.

“Makasih udah jujur ke gue walaupun gue tau ini sulit kan??”

Mix mengangguk-angguk sambil terus memaksakan senyumnya yang getir. Ia tidak menjawab, tidak berani membuka mulutnya karena takut tangisnya-lah yang akan pecah. Ia khawatir emosinya akan membawanya mengungkap fakta bahwa.... ya.... dia menyukai Earth, kakaknya.

Mix menundukkan kepalanya, tidak berani menatap yang lebih tua.

“Mix liat gue....”

Mix mengangkat wajahnya dengan takut-takut, bukan... bukan takut Earth marah, dia takut kalau harus menatap sorot mata itu kecewa, lagi. Ketakutan Mix sia-sia, ia mendapati Earth menatapnya dengan hangat.

When i said nothing's gonna change us, i really meant it, Mix.”

Even if i say i love you more than brother......? Pertanyaan yang hanya berani Mix utarakan dalam batinnya.

Earth tersenyum di tengah keremangan cahaya kamar, kali ini Mix bisa melihatnya dengan jelas, dia menyukai senyum itu dan bersedia mengorbankan apa saja miliknya agar senyum itu tetap ada di sana, di wajah Earth.

“Gue sayang lo Earth.....”

“Iyaaa gue tau, gue juga sayang lo anak bandel, yuk tidur sini gue kelonin....”

“Nggak mau ih lepasin....”

Walaupun Mix tau makna sayang yang dia dan Earth ucapkan mungkin memiliki maksud yang berbeda, tapi Mix merasa cukup. Ia ingin merasa bahagia dan disayangi seperti malam ini di malam-malam selanjutnya seumur hidupnya.

Suara ketukan perlahan di pintu kamar Earth membuat fokusnya teralih sesaat dari rancangan design dua dimensi sebuah bangun di tabletnya.

Penasaran siapa yang mengunjungi kamarnya malam-malam begini, tak lama kepala Mix menyembul dari balik pintu. Earth mengernyitkan alisnya, heran.

“Belum tidur? Masih kerja ya?”

Mix bertanya dengan mata berbinar-binar seperti anak anjing ingin diajak bermain majikannya.

“Belum, nggak kerja sih, cuma ngecek design dikit.... lo kenapa belum tidur?”

“Mau bobo di sini.... boleh?”

Mix menyeringai, menunjukkan bantal kesayangannya yang sudah ia gendong sedari tadi. Earth menjawab dengan menepuk space kosong di kasur sebelahnya berbaring.

“Yeaay....” Mix masuk ke kamar Earth dan segera mengambil posisi di sebelah sang pemilik kamar, kegirangan.

Kamar Earth yang didominasi warna hitam itu selalu nyaman, karena beraroma sama seperti Earth. Bagi Mix, Earth sendiri adalah definisi nyaman dalam wujud yang nyata. Suara musik mengalun pelan dari speaker mungil berbentuk bumi di atas nakas di sebelah ranjang, musik pengantar tidur kesukaan Earth.

Dia selalu tidur dengan musik pelan seperti ini. Alasannya karena membuat ia lebih rileks dan dapat memperbaiki kualitas tidurnya. Mix sih setuju-setuju saja.

“Kenapa sih seharian random banget?? Chat bilang sayang lah.... sekarang mau tidur di sini??”

Earth melepas kacamata dan meletakkannya bersama tabletnya di nakas, menengok ke arah adik manisnya, memberi perhatian penuh kepada Mix.

“Nggak random itu, gue juga chat mama bilang sayang ya bukan chat lo doang....”

Mix menarik selimut Earth, menutupi tubuhnya.

“Ada yang mau lo omongin ya?” Earth menebak, curiga.

“Enggaaa gue mau tidur....”

“Gue juga mau tidur.”

Earth buru-buru menyandarkan kepalanya di pundak Mix, sebelum Mix sempat protes.

“Earth berat ih..... pundak gue bukan bantal.”

Mix protes, tapi tidak menolak. Earth tidak ambil pusing, tetap pada posisinya.

“Kalo besok pagi gue sakit pundak lo tanggung jawab ya...”

“Heeem....”

Tidak ada lagi diantara mereka yang bersuara, hanya suara alunan musik lembut dan suara nafas mereka berdua mengisi ruangan.

“Earth??? Tidur???”

Mix tidak bisa melihat jelas apakah Earth benar-benar terlelap karena minimnya cahaya di kamar Earth.

“Sebenernya emang ada yang mau gue omongin sih... tapi lo tidur...”

Ngomong aja, gue denger kok....”

Yang dikira tidur itu menyahut tiba-tiba.

“Inget gak yang malem-malem kita omongin di balkon kamar gue??”

Earth mengangguk alih-alih menjawab kalau dia ingat percakapan itu.

“Gue udah tau jawabannya.”

Earth mendongak menatap wajah Mix, Mix tersenyum ke arahnya. Terlihat seperti senyum yang dia paksakan, karena Earth bisa merasakan perjuangan di balik senyum itu. Perjuangan Mix untuk menyampaikan semua ini padanya.

Dan Earth seketika tahu makna dibalik senyum itu, tanpa Mix harus mengucapkannya.

“Maaf kalo lo kecewa sama gue....” Lanjut Mix.

“Kenapa gue harus kecewa? It's okay Mix....”

Earth mengusap-usap lembut kepala adiknya.

“Makasih udah jujur ke gue walaupun gue tau ini sulit kan??”

Mix mengangguk-angguk sambil terus memaksakan senyumnya yang getir. Ia tidak menjawab, tidak berani membuka mulutnya karena takut tangisnya-lah yang akan pecah. Ia khawatir emosinya akan membawanya mengungkap fakta bahwa.... ya.... dia menyukai Earth, kakaknya.

Mix menundukkan kepalanya, tidak berani menatap yang lebih tua.

“Mix liat gue....”

Mix mengangkat wajahnya dengan takut-takut, bukan... bukan takut Earth marah, dia takut kalau harus menatap sorot mata itu kecewa, lagi. Ketakutan Mix sia-sia, ia mendapati Earth menatapnya dengan hangat.

When i said nothing's gonna change us, i really meant it, Mix.”

Even if i say i love you more than brother......? Pertanyaan yang hanya berani Mix utarakan dalam batinnya.

Earth tersenyum di tengah keremangan cahaya kamar, kali ini Mix bisa melihatnya dengan jelas, dia menyukai senyum itu dan bersedia mengorbankan apa saja miliknya agar senyum itu tetap ada di sana, di wajah Earth.

“Gue sayang lo Earth.....”

“Iyaaa gue tau, gue juga sayang lo anak bandel, yuk tidur sini gue kelonin....”

“Nggak mau ih lepasin....”

Walaupun Mix tau makna sayang yang dia dan Earth ucapkan mungkin memiliki maksud yang berbeda, tapi Mix merasa cukup. Ia ingin merasa bahagia dan disayangi seperti malam ini di malam-malam selanjutnya seumur hidupnya.