jumil edition
.
.
.
Lima tahun jadi anak baik-baik cuman karena business trip hubungan profesionalitas mereka balik kanan, bubar jalan
Warning : girl!hyunjae; office!au; ceo!juyeon; mau bikin hyunjae kayak isyana (super random) tapi ternyata juga sangean (hyunjae di help me doctor); bahasa non baku; banyak candaan garing (karena aku receh hehe)
teruntukmu anon cc yang request gs jumil, semoga suka <3
.
.
.
“Ngapain Pak?”
Siku Juyeon nyaris terpleset dari pijakan saat mendengar nada penghakiman sosok familiar, ia cukup terkejut pada kemunculan mendadak sang sekretaris kesayangan di balik pintu ruangan berbahan baja ringan.
“Kamu ngapain kayak maling gitu?”
Hyunjae menyengir, mata mengerling-ngerling jenaka sebelum berdiri tegak penuh percaya diri seraya menyelipkan badan langsing melewati celah pintu yang baru saja dia buat. “Tanda tangan.” ujarnya tanpa basa-basi menyodorkan sebuah map berisi dua lembar kertas putih tepat ke arah Juyeon. Dimana banyak potongan-potongan sedotan berserakan di meja sang atasan, entah hendak membuat apa.
Manik menelisik setiap paragraf, bukan per kata, sehingga alis pria lebih tua mengerut, “Ini apa, Jae?”
“Laporan pertanggungjawaban, Pak.’
“Loh? Bikin sekarang?”
Kali ini giliran si gadis yang menyeringitkan dahi, menganggap pertanyaan tersebut sangat menggelikan bagi indra pendengaran, “Pak.. kan mau business trip? Nggak mau uangnya cair?” Juyeon menatapnya bahkan sampai kepala termiring-miring, Hyunjae menatap balik, lebih menuntut supaya bos paling lemot ini paham.
Heran. Kok bisa jadi pemilik perusahaan ya? Apa karena ganteng?
Dih. Gantengan juga kakaknya di kampung halaman.
“Oh.” Gadis surai cokelat tersebut menghembuskan napas lega, sedikit tenang setelah melihat pergerakan tangan Juyeon di atas kertas. “buat orang keuangan ya?”
“Iya.”
Juyeon melirik sekilas, mendapati figur karyawan sedang bergoyang-goyang sesekali menggigiti kulit dalam mulut. Dia menyerahkan balik, buru-buru Hyunjae mengambil kembali map berwarna merah tersebut sembari mengulas senyum manis, tapi ada unsur jahil di setiap tarikan sudut bibir, “Makasih Pak,”
“Kamu sibuk nggak?”
“Kenapa?”
“Tahu caranya bikin bunga dari ini?” tanya Juyeon lagi memperlihatkan sedotan-sedotan yang berserakan, Hyunjae menipiskan bibir, tampak sekali hendak menahan tawa namun berusaha agar tak menyinggung perasaan si bos.
“Maaf Pak nilai kerajinan tangan saya di bawah KKM,” jawabnya seraya meringis, map penting didekap erat-erat, masih memaku di tempat yang sama, memandang Juyeon bagai anak polos. Sedangkan pria rambut cepak itu mengerjap-ngerjapkan mata macam tengah memikirkan sesuatu. “buat apa sih Pak?”
“Buat Karina supaya nggak ngambek karena saya tinggal 5 hari,”
Pada akhirnya Hyunjae tak dapat menahan lebih lama, langsung aja tuh tawa halus meluncur cuma-cuma, ia membulatkan mata sambil tergesa-gesa menutup mulut, takut dipecat mendadak lantaran menertawakan kebucinan bos sendiri. “Maaf Pak.”
Juyeon hanya menggumam, betul tidak merasa tersinggung sama sekali, sebaliknya ia merasa konyol sudah berbuat kayak gini. “Yaudahlah, saya belikan bunga biasa aja,”
“Lagian Bapak ngide banget mau bikin bunga dari sedotan,” cetus si gadis geleng-geleng kepala, “jomblo nggak relate, Pak,”
“Makanya cari pacar,”
“And making my life miserable twice than this, I rather not, Pak,” balas Hyunjae tidak lupa menyampirkan cengiran khas kemudian pamit undur diri sebab masih ada yang harus dia kerjakan untuk persiapan liburan berkedok bisnis seminggu lagi, meninggalkan Juyeon tersandar di kursi megah sekarang.
Benar juga kata asistennya, Lee Juyeon sangat niat sekali membuat kerajinan supaya Karina tidak merajuk ketika ia berangkat ke luar kota. Padahal mereka hanya sebatas tunangan, itupun dijodohkan pula. Untuk apa dia susah-susah meninggalkan impression terbaik buat wanita cantik itu?
Juyeon menghela napas panjang dan menggerakkan jemari di ponsel demi mengirimkan sebuket bunga segar kepada sang tunangan di tempat kerjanya. Mudah-mudahan Karina paham dan tidak merongrong perhatian sampai ia kembali dari business trip lima harinya.
***
Ketika hari keberangkatan sudah di depan mata, Hyunjae benar-benar mempersiapkan segala hal yang akan mereka butuhkan, mulai dari transportasi mereka ke bandara sampai ke hotel tempat menginap. Juyeon tinggal duduk mengekori langkah sang sekretaris, diam-diam anteng seperti anak ikut ibunya liburan. Hyunjae sendiri sibuk ke sana kemari sembari menyeret koper, mengoceh ke beberapa oknum agar rencana berjalan sesuai harapan.
Dari seminggu lalu dia menguras energi cuman buat rapat tahunan kayak gini. Hyunjae mulai kelelahan padahal acara belum juga terlaksana.
“Pak, nanti kalau ada apa-apa, hubungin saya ya! Ingat kita di kota orang, nggak boleh sembarangan-“
“Jae, saya ngerti..” keluh Juyeon memutar mata malas, iya dia tahu dia punya otak yang lamban, tapi bukan berarti dia diurusin sampai segitunya kan? Terutama oleh seorang gadis berusia enam tahun lebih muda darinya. Namun kalau dilihat-lihat sekilas, memang dia mengakui cara kerja Hyunjae nan cekatan, berhasil memikat sejuta umat yang pernah berurusan dengannya, memudahkan mereka dalam bergerak terutama di bidang ekspansi penjualan. Juyeon menatap Hyunjae sekali lagi, menemukan adanya kerjapan mata setelah pembicaraannya terpotong tak etis. “saya nggak kemana-mana kok,”
“Emang Bapak nggak makan?”
“Ada room service, Hyunjae,” si gadis mengendikkan bahu, menempelkan kartu kamar ke slot pintu.
“Baiklah, saya masuk duluan Pak,” Juyeon hanya menggumam sebelum ikut menerobos ke ruangannya sendiri, begitu pintu tertutup otomatis barulah dia menapak di lantai maple sebelum terjun bebas ke kasur besar sesuai permintaannya. Rasa empuk dan nyaman menyelubungi tubuh menyebabkan rasa kantuk menyerang seketika, ia menghentikan beberapa pemikiran, merogoh ponsel di kantong celana jeans, sekadar menelepon sang tunangan nun jauh di sana.
“Iya Sayang?” Juyeon tak kuasa menahan senyum, lebar sampai-sampai pipinya terasa sakit akibat terlalu naik, suara Karina sangat lucu, menggemaskan malahan, meskipun memiliki fitur wajah dingin seperti yang sering dibicarakan orang-orang sekitar.
“Hey, aku cuman mau ngasih tau aku udah di hotel,”
“Eung..” itu saja jawaban dari gadisnya, menyebabkan keruntuhan ekspresi berseri-seri beberapa detik lalu, “kamu udah makan?” oh, dia hanya berpikiran aneh, mungkin efek kelelahan setelah berjam-jam duduk di pesawat.
“Ntar agak larut malam aja baru makan,” pemuda surai cepak melirik ke jam tangan, waktu menunjukkan pukul 8 malam waktu setempat, dimana langit kelam menghiasi pemandangan di luar jendela bertirai tipis. Karina menggumam, tidak biasanya dia kehabisan bahan, walau sama-sama pendiam tapi si gadislah yang paling banyak cerita di antara keduanya.
“Yaudah kamu istirahat ya Sayang, makasih loh bunganya,” ujar Karina sembari tertawa geli, Juyeon jadi ikut merefleksikan, suasana hati menjadi hangat, melupakan segala kegelisahan sejenak. Mereka saling bertukar pesan sebagai pengingat, hingga Karina memutuskan sambungan, meninggalkannya dalam kesenyapan ruangan di tengah kesendirian.
Tiba-tiba ide gila terlintas, ia menekan tombol darurat yang langsung mengarah ke nomor telepon sang asisten di seberang kamar.
“Opo Pak?”
Bukan senyum yang tersampir, melainkan tawa renyah yang tertampil, “Ngapain Jae?”
“Guling-guling, Pak.”
“Babi kali,”
“Heh sembarangan! Mentang-mentang saya gendut,” ia dapat mendengar nada merajuk dari sang sekretaris, menyebabkan ia tambah menaikkan intensitas tawa, geli pada tingkah konyol si gadis.
“Siapa bilang kamu gendut, huh? Bukannya kamu sering ikut zumba di kantor?” goda pemuda itu membiarkan cengiran terdengar nyata di koneksi telepon, mengundang dengusan di kamar lain.
“Pak, kalo nggak ada kerjaan mending cari deh,”
“Saya yang punya perusahaan kenapa harus nyari?”
“Pak sudah malam mau saya kelon kah?” Juyeon buru-buru tersedak terhadap tawaran, kini giliran Hyunjae yang menertawakan nasib bosnya di ruangan, lagian ada-ada aja kelakuan, besok acara mau dimulai sebagai pembukaan rapat tahunan, Lee Juyeon yang mustinya bobo ganteng malah melantur menelepon dirinya.
Kecuali dia punya urusan penting baru dia melesat ke sana.
“Saya laper,”
“Tadi katanya ada room service,”
“Kamu udah makan belum?”
Hyunjae terdengar menghela napas, “Sudah Pak,” jawabnya sopan, ia sangat paham pada Juyeon yang kadang-kadang bisa aneh ketika mereka ke luar negeri, entah tingkahnya menjadi kekanakan atau terlalu sering membutuhkan sesuatu yang tidak perlu dibutuhkan.
Nah loh gimana tuh bahasanya.
“Temanin dong,”
“Room service kan di kamar doang, nggak perlu saya temanin, Pak,” sebetulnya Hyunjae kepingin tidur sejak tadi, dia tidak ingin kantung hitam membuat sarang di bawah mata cantiknya, ntar nggak ada yang tertarik sama pesonanya di acara nanti.
“Please..” mohon Juyeon menjulurkan bibir, berusaha membuat asisten kesayangan sejagad raya luluh akan permintaan. Mungkin Hyunjae sedang menahan geraman jika didengar dari bunyi aneh di kerongkongan, “kayaknya saya homesick,”
“Pak, ingat umur.”
“Baru kepala 3 kok,”
“Iya, homesick juga pilih-pilih umur, Pak,”
Juyeon tergelak, sedikit-sedikit perasaan aneh di sanubari lenyap hanya karena mendengar celetukan Hyunjae, terkadang sekretarisnya ini bisa dijadikan teman curhat sekaligus moodbooster kala dia sedang dilanda kegelisahan. Yang dia juga nggak tahu kenapa mendadak muncul. Apalagi semenjak menelepon Karina lima menit lalu.
“Ah udahlah sini dulu temanin saya makan,”
“Kalo di restoran saya temanin, kalo di kamar ogah, saya nggak mau kena fitnah,”
“Oke, kita ke restoran sekarang,”
“Pak saya bercanda, saya mau bocaaaannn!”
“Kamu sendiri yang ngomong ya,” pria surai hitam tergesa-gesa bangkit dari pembaringan, menarik dompet serta kartu kunci kamar tanpa menutup sambungan, mendengarkan serentetan permohonan ampun dan alasan kenapa dia tak hendak menemani. Juyeon nampak tidak peduli, saat ia sudah di luar, jari telunjuk langsung menekan bel kamar di hadapan.
“Bapaaaaakkkk!” rengek Hyunjae kemudian koneksi pembicaraan mereka terputus, membuahkan seringaian kemenangan sambil ia menyusupkan benda elektronik di saku celana. Menunggu dengan sabar pada pintu penghubung di depan. Tidak sampai semenit, Hyunjae menampakkan diri, piyama satin membaluti tubuh, rambut cokelat panjang diikat menggulung serta tak lupa tersampir jaket denim untuk menyelimuti lengan pendek si kain, raut tersungut-sungut, menggerutu di bawah kecepatan napas. “Bapak ini loh saya mau bobo cantik,”
“Katanya tadi kalau ada apa-apa saya hubungin kamu,” balas Juyeon membalikkan kalimat Hyunjae sebelum mereka sama-sama berlalu ke kamar, makin turun tuh sudut bibir si asisten, mengutuk dalam hati kenapa dia berkata seperti itu.
“Tapi kata bapak mau pakai room service,”
“Nggak mau ah sendirian, mending saya ajak kamu,” Juyeon melengos duluan mengambil langkah, tergesa-gesa Hyunjae mengekor di belakang sesudah memastikan pintu kamar tertutup rapat. Atasan dan sekretaris tersebut sejenak melenyapkan perang mulut kecil-kecilan lalu membahas masalah perusahaan, entah menggosipi karyawan baru, membicarakan naik-turunnya penjualan mereka, tidak terasa tiba di restoran hotel tersebut.
Beberapa pelayan menganggukkan kepala santun, menjamu kedua insan dengan berbagai macam variasi hidangan mewah, Hyunjae yang awalnya bilang sudah makan, merasakan isi perut bergejolak menghendaki ronde kedua.
“Pfft, tadi ada yang bilang sudah makan,”
“Bapak godain saya terus, tinggal angkat pantat nih,” ancam gadis cantik itu melotot, Juyeon malah cengengesan, menganggap ancaman adalah kekonyolan semata. Geli aja melihat sikap Hyunjae bagaikan anak kecil. Ya makin semangatlah dia menggoda.
Mereka mulai menyantap makan malam sesuai pesanan, gemerincing sendok dan garpu mendenting bersama piring saling beradu, percakapan ringan terus mengalir, entah Hyunjae sedang berkeluh tentang kelambatan kerja asisten Juyeon yang lain atau Juyeon menanyakan laporan beberapa pabrik di kota-kota terpencil.
Hubungan antara keduanya benar-benar strict bin profesional. Meskipun wajah Hyunjae tidak kalah ayu dari Karina, tetap saja Juyeon tak pernah tertarik. Dia hanya menyukai bagaimana Hyunjae bekerja, walau mulutnya suka berbisa. Sopan sih cuman nyelekit ke ulu hati.
But, that’s her charming though. Being a 27 years old single woman, Juyeon kadang terpikir kenapa dia belum menikah hingga sekarang? Harusnya banyak pria yang mengambil antrian kan? Tapi tak pernah sekalipun ia melihat Hyunjae bepergian bersama pria selain dirinya.
Atau jangan-jangan Hyunjae nggak suka cowok?
“Pak!”
“Heum?”
Hyunjae menghela napas, “Daritadi saya ngomong nangkep nggak?”
Juyeon membuat gerakan menangkap sesuatu, lebih tepatnya udara di sekitar, tak lupa ia cengengesan sebagai isyarat tidak merasa bersalah sama sekali. Hyunjae benar-benar diombang-ambing sama bos sendiri, memutuskan untuk menghembuskan napas panjang berupaya menenangkan diri, ia mengulas senyum, pipi tembamnya sedikit menggembung sesekali mengerjap-ngerjapkan mata.
“Baik, Pak. Bapak sudah selesai? Saya mau balik ke kamar, ada kasur yang pingin dibelai,”
“Kasihan,” komentar pria lain sembari menyesap anggur putih sedikit demi sedikit, “saya kadang suka mikir kamu kok belum punya cowok, Jae?”
“Karena nggak ada yang mau sama saya, Pak,” jawab Hyunjae random, jari-jemari memilin serbet di meja, tiada terlintas kesedihan maupun kesengsaraan sehabis mengutarakan, Juyeon malah menemukan kekehan. “bercanda Pak, saya mau jadi wanita karir dulu biar punya sugar baby,”
“Edan.”
“Yee Bapak nggak bisa relate kan udah punya tunangan,” balas Si Manis balik sambil menjulurkan lidah, berniat mengolok komitmen yang Juyeon miliki.
“Saya pikir kamu suka cewek,”
“Bapak astagfirullah bisa-bisanya mikir kayak gitu!” air muka Hyunjae terkejut pakai sangat, ia memandang Juyeon tak percaya setelah mendengar pengakuan dari sang atasan, “ya suka cewek nggak masalah sih, tapi saya seratus persen suka batang, Pak,”
“Batang apa?”
“Batang kangkung, Pak,” Juyeon tergelak, sementara Hyunjae menatap datar. “Bapak ngajak basa-basi dalam rangka apa nih? Kenaikan gaji?”
“Uang mulu di otakmu,” si Manis mengendikkan bahu, mengatakan kalau jaman sekarang segala-segalanya dibeli pakai uang, jadi wajar saja ia bertanya seperti itu. “ya nggak apa, saya gabut, harusnya saya ngobrol sama Karina sambil makan, tapi dia kayak social distancing sama saya,”
“Hooo..” Hyunjae mengangguk-ngangguk paham, “mungkin Mba Karina kena covid, Pak, makanya jaga jarak,”
“Kita telponan, Jae, bukan tatap muka,” heran deh Juyeon, punya asisten kok banyak banget celetukannya. Tapi dia nggak protes sih, ada kepuasan tersendiri mendengar ocehan Hyunjae setiap mereka ketemu, meskipun kadang-kadang muak juga hehe.
Sshh, she doesn’t need to know.
Menghabiskan waktu selama satu jam mengobrol hal acak selayaknya berteman, akhirnya Hyunjae memohon sekali lagi untuk undur diri, mengatakan jika Juyeon masih memaksa menahannya tinggal lebih lama maka jangan salahkan kalau dia tiba-tiba tertidur di restoran. Yang hanya diketawakan Juyeon lalu memberi izin agar mundur ke kamar. Wajah si gadis berseri-seri, mengucapkan terima kasih tak lupa membungkuk sopan sebelum melesat kabur, oh bahkan sempat melompat-lompat riang bagaikan anak dihadiahi mainan.
Diam-diam Juyeon mematri senyum tipis ketika melihat tingkahnya, menganggap sang asisten sangat menggemaskan, sempat mendesirkan jantungnya sedikit.
Ah- apa nih? Apa ini bentuk pelampiasan karena Karina tidak menghiraukannya?
***
Nilai seratus buat Lee Hyunjae hari ini karena berhasil menjalankan misi yaitu acara pembukaan rapat tahunan di ballroom megah hotel tempat mereka menginap. Berpuluh-puluh pasang mata kini menaruh minat ke arahnya, senyuman manis mengembang bak adonan kue, terpesona pada pembawaan ketika tampil sebagai pemandu acara.
“Terima kasih kepada seluruh jajaran yang menjadi peserta di acara ini, saya harap kita dapat bersenang-senang sampai tiga hari ke depan,”
Sebenarnya Hyunjae agak susah menjelaskan dalam bentuk apa acara ini diadakan kalau bukan karena membahas perkembangan anak perusahaan dari EL-Corp sendiri. Sebagai kantor utama, mereka harus tahu apa-apa saja yang sudah dijalankan di perusahaan cabang, terutama Lee Juyeon selaku direktur teratas.
Mari kita lewatkan bagian pembukaan yang dimeriahkan oleh bintang tamu papan atas, beralih sebentar ke tokoh utama kita yang tengah sibuk menampilkan senyum menawan di balik pundak kokoh sang atasan.
“Sampai berapa lama kita kayak gini, Jae?” bisik Juyeon sangat pelan disebabkan banyaknya manusia berlalu lalang di hadapan sambil menyapanya riang. Hitung-hitung cari muka sedikit.
“Setengah jam lagi, Pak,”
“Shit, kok lama banget?” sebelum Hyunjae dapat membalas umpatan, Juyeon sudah beralih ke mode ‘direktur’, menjabat beberapa tangan kolega-kolega familiar sesekali melempar basa-basi. Hyunjae di belakang ikut mengulas senyum sopan, mendapat pujian picisan lantaran telah mempersiapkan kematangan acara hingga tiga hari ke depan.
“Nggak ada niat bikin cabang baru, Pak? Buat Hyunjae,”
Asyik. Keinginan menjadi sugar mommy mungkin akan terwujud dalam waktu dekat.
“Saya yang repot nyari pengganti dia, dapat dimana lagi yang cekatan dan tahan sama omelan saya,” jawab Juyeon menyelipkan kekehan jenaka, melirik Hyunjae sekaligus menaik-turunkan alis menggoda.
Huft, pupuslah harapan punya sugar baby.
Sesuai janji si asisten, setengah jam terlewat barulah Juyeon dapat keluar dari kerumunan manusia, bersama Hyunjae yang senantiasa mengekor, ia berniat mengajak si Manis makan siang di salah satu restoran kota.
“Tapi Bapak temanin saya ke Mall,”
“Baru juga hari pertama malah shopping, harusnya habis acara, Lee Hyunjae,”
Hyunjae memasang wajah cemberut, “Takutnya saya teler selesai acara dan pengen bergulat sama selimut, ayolah Pak! Sekaliiiiii-“
“Oke fine, jangan lama-lama, saya nggak mau nungguin kamu belanja,” Hyunjae memberi tanda penghormatan lalu mengikuti Juyeon memasuki kendaraan yang sudah ia siapkan apabila si bos mau jalan-jalan, mendiktekan nama restoran serta lokasi dengan bahasa inggris belepotan, mengundang Juyeon menahan tawa sehingga mendapat cubitan.
“At least he knows where to take us.”
“Kamu harus les, Jae, bahasa inggrismu benar-benar payah,”
“Bapak ngomong kayak gitu saya tinggalin nih,” ancam si Manis berkilat-kilat marah namun jatuhnya imut sekali. Juyeon refleks tertawa geli, mengulurkan tangan demi mencubit bantalan pipi nan tembam gemas.
“Kamu mau ninggalin saya, yang ada kamu sesat di kota orang,”
“Jaman sekarang ada teknologi namanya Google Maps, Pak,”
“Jaman sekarang ada kejahatan namanya pemerkosaan, Hyunjae,”
Gadis surai cokelat hanya merengut lantaran kalah dalam debat, ia memalingkan wajah walau samar-samar masih menangkap tawa khas Lee Juyeon di indra pendengaran.
Makan siang berlangsung seperti pada umumnya. Melalui perang mulut tiada habisnya, mengghibahi peserta-peserta arogan di acara pembukaan, serta terkadang membicarakan penduduk-penduduk di sekitar restoran. Juyeon tetap anteng menghadapi keantusiasan sang asisten, sesekali mematri senyum lembut sewaktu melihat pancaran sinar berkilauan di manik rusa Hyunjae.
Getting know her better is not a bad idea.
“Kita mau makan malam di mana?”
“Pak, baru juga nurunin perut kok sudah tanya makan malam,”
Juyeon mengangkat bahu, pandangan tersita ke layar ponsel yang menayangkan beberapa rekomendasi makan malam ala restoran untuk waktu malam hari. “Kayaknya steak bukan ide buruk,”
“Ingat Bapak musti nemanin saya shopping,”
“Huft, kenapa nggak belanja online?”
“Karena saya selalu zonk setiap beli baju tanpa lihat barangnya, Pak!” Hyunjae bergerak memperlihatkan pinggang, “lihat nih lemak saya nggak terkontrol, kan nggak lucu udah beli mahal-mahal eh malah nyangkut,”
Sambil menyesap minuman, Juyeon sama sekali tidak melihat adanya lemak yang dikatakan Hyunjae. Sebaliknya, ia hanya memandangi lekukan bak gitar Spanyol, berterima kasihlah pada dress cocktail yang membalut bentuknya.
Mungkin mata Juyeon jauh berbeda dengan mata Hyunjae sehingga ia tak mendapati lemak yang dimaksud.
“Berarti zumbamu kemarin sia-sia dong,”
Hyunjae merah padam, malu nggak ketulungan sebab ketahuan ikut zumba sama karyawan wanita di kantor, tepatnya setiap senin dan kamis sore, di studio tak jauh dari kantor mereka. Padahal niatnya cuman iseng, tapi lama kelamaan keterusan.
“Ya nggak tahu, Pak, ini gara-gara saya makan malam terus,” jawabnya berusaha mengalihkan, pipi tembamnya masih merona, nggak tahu kenapa. Juyeon tersenyum lebar, sukses menyembunyikan berbarengan ia menyesap minuman, memperhatikan si gadis tengah makan secara lahap, kembali mendesirkan perasaan di rongga dada.
“Kamu nggak gendut kok, Jae..”
“Bapak bilang kayak gini supaya saya senang kan?”
“I just tell you the truth, from my view, from man’s view, kamu nggak gendut, berisi iya, but not that bad,” gadis cantik itu terhenyak sebentar, mencerna baik-baik apa yang sudah dikatakan bosnya, perasaan aneh sempat terselip, ditepis secara langsung daripada membuahkan kecanggungan. Juyeon tak mengacuhkan balasan selanjutnya, nggak peduli juga sih, dia hanya mengungkapkan fakta, bahwa Hyunjae tidak seperti yang dia ucapkan.
“Tsk, kenapa kamu jadi mendem gitu? Yuk cabut ke Mall,” lama kelamaan Lee Juyeon gusar pada atmosfer kikuk di khalayak keramaian, makanan telah habis ditandas hingga tak bersisa, ia pun bergegas bangkit dari tempat duduk menuju kasir untuk membayar tagihan. Tidak tahu air muka Hyunjae berbentuk bagaimana sebab masih memikirkan perkataannya dua menit lalu.
Sebuah langkah mengikuti sosok tinggi terbalut kemeja biru, dasi dilonggarkan beserta kancing teratas dibuka supaya tidak mencekik leher, Hyunjae setia mengatupkan mulut, menyebabkan Juyeon menghentikan anggota jalan seraya menoleh ke belakang.
“Kok diem?”
“Saya males ngomong,”
“Oh ho bisa males juga kamu?” goda Juyeon menyeringai, Hyunjae mengulum bibir, menggigiti kulit mulut dalam secara kikuk, “kenapa? Masih mikirin omongan saya tadi?”
“Nggak kok,”
“Kalo nggak ya ngoceh dong, saya nggak mau jalan sama tiang,” ujar pria lebih tua kemudian melanjutkan perjalanan, meninggalkan Hyunjae terpaku beberapa detik sebelum menggerutu mengikuti tak jauh. Dengan mempercepat langkah tentu saja.
Apa yang dipikirkan Hyunjae? Apa benar dugaan Juyeon soal ia yang masih memikirkan perkataan si bos? Kelemahan Hyunjae selalu berputar di bagian fisik. Dia cukup insecure terhadap hal ini. Kenapa semua perempuan yang olahraga rutin mendapat tubuh kurus nan langsing sementara ia malah jadi daging? Membuatnya nampak bongsor dan sulit mengenakan pakaian minim. Hyunjae sering mengatakan kegendutan yang dimiliki di hadapan Juyeon, biasanya tuh manusia tak menimpali, tapi lihatlah tadi ia membahas dari sisi pandangannya, seakan-akan Hyunjae tidak nampak seperti yang ia utarakan.
“Hyunjae? Melamun terus saya tinggal ya?”
“Tinggal aja, Pak,” cicitnya sangat pelan, mendadak ogah-ogahan padahal tadi niatnya hendak bersenang-senang di pusat perbelanjaan. Juyeon menghela napas, mengulurkan lengan panjang untuk menepuk kepala sang asisten kesayangan.
“Don’t think too much about it, you should say it to yourself that you’re not fat, you’re hot okay? Coba kamu ngaca deh nanti di kamar pasnya LV, pasti kamu nggak kelihatan gendut,” sebelum Hyunjae menepis dengan sahutan berkedok kesewotan, Juyeon telah membisikkan kalimat selanjutnya agar tidak terdengar siapapun.
“Instead you’ll look sexy with those dress on you,”
Oh shit.
Shit.
Hyunjae’s doomed, isn’t she?
***
Mood si gadis rambut cokelat berangsur-angsur membaik, setelah Juyeon memberikan kartu di setiap kasir tempat ia shopping. Hyunjae sangat menyayangi atasannya lebih dari apapun, demi dia kembali sedia kala, mengoceh bak kereta, membicarakan hal tidak jelas yang terjadi di sekitar mereka.
Waktu menunjukkan pukul setengah 7, tepat sekali jam ideal makan malam berlangsung. Steak pilihan Juyeon betul tidak terlalu buruk, meskipun bukan di tempat yang ia mau.
“Pak, makasih loh sudah traktir dari tadi siang,”
“Oh nggak masalah, soalnya saya pakai bonus kamu buat tahun depan,”
Hyunjae tidak tahu harus melakukan apa sembari memegangi pisau dan garpu di masing-masing tangan, menimang-nimang keputusan apakah lebih bagus mencolok mata Juyeon atau langsung menghujam jantung pria di hadapan.
“Sabar.. sabar Hyunjae anak baik..” gumamnya menenangkan hati serta pikiran, diselingi tawa renyah Juyeon dengan mata kucing menyipit penuh canda. “Ya Allah kalau bukan Hyunjae yang mukul, biar Engkau yang membalas,”
“Bercanda, Hyunjae.. itu murni uang saya,”
“Ya Bapak mainnya pake bilang itu bonus tahun depan, kandas dong harapan saya jadi Sugar Mommy,” protes gadis manis tersebut mengerucutkan bibir, Juyeon tak begitu mengindahkan, sebaliknya ia menyuruh Hyunjae menyelesaikan santapan. Si Manis pun patuh menuruti suruhan, sementara ia menatap sekeliling restoran, hanya memandangi suasana namun menemukan sesuatu mengejutkan.
Fuck.
Mungkin diakangen berat sama Karina. Mungkin mata dia masih kena jet-lag walaupun lagi segar bugar, karena nggak mungkin gadis rambut hitam nan sangat tidak asing di ujung sana adalah tunangannya.
Juyeon bilang dia mau ke kota A sebelum berangkat, sewaktu mereka telponan pun dia memberitahukan kepergian lima harinya, entah diacuhkan atau tidak, Karina pun iya aja, janji tidak akan merajuk serta merengek rindu di tengah-tengah kesibukan.
Yet, she still has the nerves to link her arm around someone’s arm.
Pria itu memperhatikan gerak-geriknya dari jauh, mengenali senyum, kilau mata, bahkan tahi lalat di bawah bibirnya. Dia belum dapat mendeskripsikan, gerakannya menjadi impuls, sebuah refleks normal saat melihat kasihnya berselingkuh. Juyeon mengabaikan tatapan penuh tanda tanya sang asisten lantaran ia terfokus hendak melabrak Karina tepat di situ-situ.
Semua berlangsung cepat dan telinga mendadak pengang akibat teriakan Juyeon. Hyunjae terbelalak melihat amukan bosnya, bergegas menghampiri pria lebih tua, lebih tepatnya memegangi figur yang kaku tersebut.
“How dare you, Karina!”
Karina tidak bergeming, menatap Juyeon sangat dingin. Seakan tawanya tadi malam tidak berarti, seakan ucapan terima kasih atas kiriman bunga sehari sebelum Juyeon berangkat lenyap tiada arti. Gadis cantik itu diam saja, membiarkan Juyeon mengamuk dan membuat keributan, mengatakan sesuatu tentang keberanian dia bermain api di belakang.
“Sialan! Kamu wanita sialan!”
Hyunjae berusaha menarik si pria, tapi tenaganya nihil pemirsa. Ibaratnya berurusan dengan orang emosi, seluruh anggota geraknya mematung di posisi, sibuk mengerahkan teriakan pada objek yang membuat naik pitam.
“Pak, ayo ah pulang! Bikin malu aja.”
Juyeon benar-benar terluka terutama ketika Karina tidak menanggapi kemarahan besarnya di tempat keramaian, berpuluh-puluh pasang mata hanya melihat mereka, bahkan ada yang menghakimi juga perihal turis membuat kegaduhan. Rongga dadanya sesak, ingin segera angkat kaki. Masih beruntung Karina tidak kena tampar lantaran Juyeon bukan pria ringan tangan. Dia tega menepis kasar pegangan Hyunjae kemudian membalikkan diri meninggalkan kejadian.
“Maaf Mba,” ucap si asisten sempat membungkuk terlebih dahulu, Karina menggumam.
“It’s okay Jae, udah saatnya dia tahu,” sehabis siluet Juyeon menghilang, ia kembali lagi ke pria yang ketakutan, sedangkan Hyunjae cengok sebentar lalu menyadari dia harus membayar makanan mereka sebelum mengejar derap langkah sang atasan.
Astagaaaa acara baru juga mulai, ada-ada aja yang ia dapatkan!!!
***
“Pak..”
Tiada jawaban.
Tok tok tok
“Bapak…”
Masih nggak ada jawaban. Hyunjae gusar seraya menggigiti bibir, memutuskan menekan bell kamar brrulang-ulang sekadar mengetahui kabar terkini bos kesayangan.
Nihil, lama kelamaan dia gondok lalu melesat ke resepsionis, berniat meminta kunci cadangan karena dia tak ingin menemukan Juyeon mati lemas di dalam.
Lampu hijau menerangkan pintu dapat diakses, ia tergesa-gesa masuk menemukan kamar super duper gelap disertai suhu yang sangat dingin. Hyunjae mengaturnya menjadi normal, menyalakan salah satu yang tak terlalu terang supaya tidak mengagetkan Juyeon.
“Pak..” dia mencoba lagi, memandangi buntelan di balik selimut, meringkuk menyembunyikan diri dalam tebalnya material, tidak ingin berurusan dengan siapapun. Hyunjae akhirnya duduk di ruang kosong, tergerak mengusap Juyeon secara hati-hati, menyalurkan ketenangan, isyarat kalau dia bisa jadi orang yang diandalkan.
Kesenyapan menerpa ruangan selama setengah jam, bagai seorang ibu menghadapi amukan anak, Hyunjae tak berhenti mengelus sampai buntelan kaku perlahan-lahan melemas, rambut kehitaman sedikit demi sedikit muncul, sepasang mata merah mengadu pandang dengannya.
Tidak. Simpan ejekanmu dulu, Lee Hyunjae. Jadilah manusiawi sebentar.
“Sini Pak.”
Dia nggak tahu apa yang merasukinya sewaktu menawarkan rentangan tangan, menyandarkan punggung di kepala ranjang bersamaan Juyeon bergerak menyusup di dekapan. Napas berat terdengar tajam di dada, serta hangatnya badan lelaki itu melingkupi seluruh permukaan. Juyeon menghirup aroma tubuh yang ditangkap indra, berhasil mengusir kemarahan dan kesedihan semata.
“Saya kurang apa Jae?” tiba-tiba ia bersuara, intonasinya sedih, bak merengek, tercekik oleh tenggorokan, tidak menyangka akan perbuatan tunangan sendiri.
“Hmm..” Hyunjae juga nggak paham kenapa Karina begitu santui menampilkan kemesraan dengan pria lain, dimana tunangan dia tidak kalah gagah, tampan, rupawan, kaya, walaupun sering tidak peka. “jujur Pak, saya nggak merasa Bapak kurang,”
Juyeon terhenyak sebentar, mengeratkan pelukan, Hyunjae tentu saja mengusap punggungnya lagi, sesekali memberikan pijatan kecil di kepala bersurai hitam nan tebal.
“Is it me or her?”
“Her maybe,” jawab si Manis tanpa pandang bulu. Juyeon diam lagi, entah memikirkan apa, tapi ia senang mendapat pelukan, layaknya diberi keyakinan kalau seratus persen bukan dia yang menyebabkan goyahnya tali pertunangan.
“Insting saya kuat berarti,” gumamnya teredam dada Hyunjae, gadis cantik tersebut hanya samar-samar menangkap patah kata, tidak mengindahkan telinga Juyeon yang menempel di rusuk sebelah kanannya. “shit, I hate this,”
“Tidur aja Pak, siapa tahu besok lupa,”
Si Tampan mendongak demi mengadu tatap, menemukan manik rusa nan cantik semakin berkilau di antara keremangan kamar. “Will you stay?”
Hyunjae mengulas senyum, kepala mengangguk sekali, “Of course, saya harus memastikan Bapak baik-baik aja karena besok kita punya agenda penting,”
“Kerja mulu yang ada di pikiranmu,” protes Juyeon mengerucutkan bibir, kegemasan tersebut nyaris merenggut napas Hyunjae, hendak menampol dan mencium beda-beda tipis.
Heh! Jablay, bosnya baru kena masalah dia malah mikir aneh!
“Can’t help it, Sugar Mommy is my passion, Sir,” jawabnya sambil menyengir. Menaikkan mood Juyeon hanya karena melihat raut wajah sang sekretaris, dia menyamankan posisi kepala kembali, memeluk sangat posesif. “tidur Pak, saya nggak kemana-mana,”
“Makasih Jae,”
Sebuah elusan di puncak kepala sebagai balasan, Juyeon mendadak melupakan semua kejadian yang berhubungan dengan Karina setelah menenggelamkan hidung mancung di ceruk leher gadis di sebelahnya.
***
Di tengah malam uzur, Juyeon tiba-tiba terbangun secara paksa, mimpi buruk yang dialaminya otomatis menyuruh otak segera terjaga. Sejenak ia bingung kenapa ada kehangatan lain melingkup di sampingnya, beberapa saat ia berpikir keras barulah ia mengerti akan kehadiran Hyunjae jatuh tertidur di kasur yang sama dengannya.
Satu kata terlintas di benak Juyeon begitu manik mendarat di pahatan wajah si gadis, cantik. Mungkin desiran jantungnya, senyum kecil terukir tanpa sebab, adalah sebuah peringatan bahwa ia menyadari ketertarikan secara diam-diam terhadap asistennya, meski mulut setajam silet, kelakuan terlalu enerjik, semua runtuh ketika yang bersangkutan terlelap nyenyak.
Semakin lama ia memandangi, sesuatu bergejolak di dalam diri. Oh, tidak. Juyeon baru memutuskan hubungan dengan Karina, kenapa sisi liarnya bangkit hanya karena memandang fitur manis gadis yang mendekapnya.
Juyeon mengangkat kepala sedikit, memastikan bahwa si asisten jahil ini tertidur sangat pulas sampai-sampai tidak menyadari pergerakan kalut bosnya di samping. Bibir tipis terbuka sedikit, menandakan Hyunjae sedang asyik bermimpi, di otak Juyeon bukan begitu, ia sibuk memandang penuh minat membayangkan ranum yang dimaksud meregang akibat ia menyusupkan kejantanan.
Fuck. Fuck. Apa yang dia pikirkan hah?! Juyeon bergerak kembali, lebih halus bagaikan kucing di malam hari, cekatan menyamankan posisi sekaligus meraba gundukan sendiri. Dia bertumpu siku, merayapkan telapak besar di balik jeans demi mengusap si adik, terasa keras, mengacung lantaran dirangsang hanya karena menatapi gadis lain. Membangun visualisasi rengekan, erangan yang tersimpan di memori, membayangkan Hyunjae tersedak penisnya, menambah kecepatan mengocok batang di genggaman.
Sesaat dia melupakan rasa malu, terbuang jauh-jauh, terjun bebas ke jurang terdalam, tergantikan gambaran Hyunjae memohon minta disentuh, dengan manik rusa berkaca-kaca, tubuh yang katanya ‘gendut’ merintih di atas kasur, bibir merah muda bergetar menahan nikmat ketika Juyeon berhasil menumbuk titik sensitifnya.
Sial. Juyeon merasa tamak seketika, begitupula kocokan tangan di kejantanan. Pergelangan memutar, meremas sedikit memberikan tekanan, ia memejamkan kelopak, menambah bayangan samar-samar menjadi lebih nyata, tentu saja dia harus menggigit bibir walau rasanya tidak memungkinkan. Objek fantasi masturbasi helat beberapa centi, bahu saling bersentuhan, bahkan napas teratur Hyunjae pun terdengar merdu mengetuk gendang. Menaikkan imajinasi Juyeon ke tingkat selanjutnya.
Genggaman mengetat seiring pergerakan naik turun, Juyeon sebisa mungkin merekatkan pinggul supaya tidak menghentak, mempertahankan posisi sejak dia memulai onani. Kini penisnya bebas dari material sempit, mengacung setinggi-tinggi langit sambil terus mengocok agar cepat sampai sebelum oknum lain menyadari kelakuan bejatnya.
“Ssh-“ geligi makin menancap dirasa ada sedikit lolosan desahan, napas Juyeon memburu di setiap helaan, perut mengencang siap melepaskan hingga ia berhasil meraih orgasme dengan menutup lubang kemih demi tidak meninggalkan jejak. Detik per detik berlalu, Juyeon menenangkan jantung sejenak, memompa kencang sejak memulai kelakuan tidak bermoral. Dia menatap telapaknya nanar, terlukis untaian putih di permukaan. Tergesa-gesa ia bangun dari pembaringan, segesit tapi jangan sampai melenyapkan kenyenyakan si perempuan. Tisu ditarik berlembar-lembar, memperbaiki letak celana, sosoknya menghilang dari balik pintu kamar.
How will he faces her tomorrow?
***
Baiklah. Ini aneh.
Sekali lagi Hyunjae seharusnya sudah maklum sama sikap tertidak jelas bosnya. Yang mana ia pernah bilang entah Juyeon akan bersikap manja atau membutuhkan sesuatu yang nggak diperlukan. Namun kali ini berbeda. Juyeon nampak sedang menahan diri, tega memalingkan wajah apabila manik mereka bertemu. Menyebabkan alis Hyunjae mengerut hendak menanyakan tapi susah untuk dilakukan lantaran acara mendekati penutupan berlangsung lebih meriah dan super riweuh.
Dan mengesalkan lagi, eksistensinya semacam diabaikan oleh sang atasan. Ketika ia mencoba bertanya, Juyeon seakan menjauh, pura-pura terlibat obrolan dengan direktur lain, ketika ia memanggil, Juyeon seakan menulikan pendengaran, lama-lama geram juga dia.
Hingga pada suatu malam, Hyunjae menantang dirinya menerobos kamar pria lebih tua setelah memegang kunci cadangan yang tiga hari lalu ia minta kepada resepsionis.
“ANGKAT TANGAN PAK!”
Juyeon tersedak dari gin yang sedang diminum, terperanjat melihat kemunculan out of nowhere sang asisten dengan netra berkilat-kilat marah. Dia mengikuti instruksi sesudah meletakkan gelas kaca di atas meja, mengangkat kedua tangan tanpa menghentikan batuk mendera.
Gadis surai cokelat memicingkan mata, belum mengucapkan sepatah dua patah kata akan tetapi bulir keringat sudah mengepul di kening pria tertua. Bagai membiarkan Juyeon menyelesaikan acara batuk dramatisnya hingga ia dapat melabrak ulang.
“Bapak kenapa ngehindarin saya?!”
“H-huh?”
Hyunjae berdecak keras, kali ini sembari mengacak pinggang, hidung kembang-kempis mengeluarkan napas nan memburu. “Kenapa hah? Dari kemarin saya lihat kayak nahan berak seminggu, saya punya salah apa gimana?!”
Memang pada dasarnya mulut si Hyunjae suka ceplas-ceplos sembarangan, entah kenapa pada saat itu dimaafkan oleh si Bos. Ibaratnya kedekatan mereka yang telah terjalin selama lima tahun sudah sebatas kakak adik meski masih terselip profesionalitas dalam hubungan keduanya.
Namun, jalinan tersebut mendadak berubah setelah Juyeon berbuat hal tidak senonoh di tiga hari lalu.
Juyeon gelagapan, dia beranjak berdiri berupaya mengatur jarak, sulit mengeluarkan suara sebab tenggorokan dirasa menyempit apalagi bila disuruh mengakui perbuatan. Hyunjae melangkah maju, ia spontan mundur teratur. Begitu terus sampai si gadis akhirnya memerangkapnya pada jendela kamar bertirai ungu.
“Kalau Bapak nggak jawab, saya kurung Bapak di sini,” bisik Hyunjae tajam nan menutut, mata rusa yang biasanya berkelap-kelip menawan kini jadi menyeramkan penuh ancaman. Juyeon menegak ludah, hendak menggerakkan badan tapi mendadak kaku di bawah tatapan, ia berulang kali membuka-menutup mulut, nihil mengutarakan jawaban.
“M-maaf Jae..”
“Hmm?”
Juyeon memejamkan mata, berbicara sangat cepat langsung mengakui dosa yang telah ia lakukan tiga hari lalu, “Maafsayasudahmasturbasisambillihatinkamutidur,” rapalnya melebihi kecepatan kereta api express, kelopak terekat kuat-kuat karena tak ingin menemukan raut kekecewaan dari sang asisten. Ah, dia benci keheningan, dia benci tidak mendengar apapun yang terlontar, kenapa Hyunjae tak kedengaran memakinya?
Gadis lain di ruangan mengerjap-ngerjapkan mata, hanya menangkap kata-kata ‘masturbasi’ dan ‘tidur’ secara acak. Dia belum merespon lantaran berusaha mencerna dua makna tersebut. Menyebabkan Juyeon memberanikan diri membuka mata perlahan, samar-samar beradu pandang pada manik rusa yang tengah berpikir keras.
“Maksudnya Bapak onani sambil tidur?”
“Bukan!” sergah Juyeon kemudian menutup mulut disaat Hyunjae terlonjak kaget, “saya onani sambil lihat kamu tidur,” lanjutnya berintonasi sangat pelan, kalau bisa jangan sampai terdengar, semburat merah muda membuncah di pipi tirus, kontras sewarna dengan bibir plump, tak sengaja Hyunjae menangkap pemandangan bantalan kenyal yang sudah diliriknya sembari mengulum ranum sendiri.
Hm. She has doomed from the first time they slept together. Lebih baik terobos dibanding kehilangan kesempatan sama sekali.
Secercah senyum miring terpampang, si gadis nampak meremehkan pengakuan, but there’s hint of wanted if you can see her motions, “Oh gitu..” ia melebarkan tarikan sudut bibir, menaikkan intensitas detak jantung sang atasan serta berdirinya adik di balik celana pendek ketat. “kenapa saya nggak dibangunin?”
“Hah?”
Betul-betul Lee Hyunjae dan mulut macam kapas! Enteng banget bertanya seperti itu. Juyeon melecehkannya saat dia tidak sadar diri, mengapa si gadis tidak menyumpahi?
“Iya, kan saya bisa bantu,” tangan Hyunjae terangkat gemulai, manik mengedip-ngedip halus tanpa meruntuhkan senyuman, jemari lentik bertengger di bahu sebelum membelai perlahan, merasakan Juyeon mematung entah menikmati atau tidak.
“Saya nggak tahu kalau kamu pingin juga,” bunyi ludah terteguk terdengar jelas, sedikit demi sedikit kepercayaan diri Juyeon muncul ke permukaan, sekejap ia berhasil mengembalikan sikap wibawanya. Mata melirik ke pergerakan jari, menangkap pergelangan mungil tersebut seraya menarik gadis di hadapan supaya mendekat lebih rapat.
“All you have to do is ask, Sir,” bisik Hyunjae begitu napas mereka menerpa wajah satu sama lain, pandangan menaruh perhatian ke netra dan bibir bergantian sebelum Juyeon menempelkan dengan perasaan menggebu-gebu. Gemuruh di dada langsung tercipta, bersamaan Hyunjae melingkarkan lengan di tengkuk, merekatkan tubuh bak prangko sambil melumat bantalan masing-masing lumayan kasar.
“Shit, kenapa kamu seksi banget hm?” gumam Juyeon di sela-sela pagutan dan ikut merengkuh pinggang sang karyawan, telapak otomatis bertengger di pantat, tak lupa memberi remasan gemas sehingga pekikan kaget terlontar. Terdrngar lucu tapi menggairahkan bersamaan.
“Am I?”
Si Tampan mengangguk, menaikkan Hyunjae agar berpegangan bak koala, mengundang tawa geli meluncur di pita suara tanpa melepaskan sambungan. Keduanya memagut lebih ganas, menciptakan hawa panas di sekitar sesekali saling menggesekkan permukaan yang masih berlapis kain. Juyeon dengan perkasa berjalan sambil menggendong lalu menghempaskan sekretarisnya di atas kasur. Mereka bergerak saling menindih, melucuti pakaian terlekat, menyisakan kulit polosan. Sejenak Juyeon terpana melihat apa yang selalu disembunyikan si Manis di balik material. Kulit seputih susu membuncahkan warna kemerahan, diafragma dada naik turun pertanda mengambil napas cepat-cepat, dengan kelenjar besar dihiasi puting yang tak kalah menawan.
“Fuck.. nggak salah saya bilang kamu seksi, Hyunjae,”
Gadis itu refleks menutup wajah, malu tidak ketolongan namun Juyeon berhasil menahan dua pergelangan tangan agar tidak mengganggu pemandangan. Dia mengecup bibir Hyunjae berulang-ulang, masih mencengkram tulang di atas kepala, membubuhi bercak ke leher tanpa noda.
“Ngh! P-Pak..”
“Oke peraturan pertama saya nggak mau dipanggil Pak.”
Si Manis mangap-mangap sebentar, pikiran mendadak terhenti akibat terputusnya permainan, kepalanya mulai meleleh setengah bagian sehingga tak kuasa menjawab sahutan.
“Hyunjae.”
“Mmhh..”
“Jangan panggil saya Pak, okay?”
“Yaaa..” jawab gadis itu sekenanya seraya menekukkan tungkai ke atas dada, rela memamerkan barang kebanggaan bersifat sangat pribadi kepada sang atasan, “pingin dimakan sama Mas..” desahnya setengah merengek. Juyeon bagai ditampar bolak-balik secara kasat mata, kejantanan menggeliat terhadap tawaran, lidah terjulur menbasahi parasan ranum nan kering. Disuguhi cuma-cuma kayak gitu tentu saja tak mungkin ditolak mentah-mentah, Juyeon sigap membungkuk menemukan bibir, menapaki bagian vulva terlebih dahulu. Hidung mancung menggelitiki rambut kemaluan, membuncahkan tawa geli dari Hyunjae sendiri.
Juyeon ikut menyeringai, gemas melihat respon tersebut, ia mendaratkan kecupan kecil lalu beranjak menemui bibir Hyunjae lagi. Kedua bukan sejoli sibuk memakan bantalan satu sama lain, selayaknya pasangan saling bermesraan. Kemaluan menggesek, membasahi parasan membuahkan desahan di mulut masing-masing.
“Mass.. mmh.. makann..”
“Kamu nggak sabar banget,” pria surai hitam tega melayangkan gigitan gemas di hidung si gadis, Hyunjae memekik pelan, menarik rahang tegas di atasnya agar terus bertautan. “how long have you been wanting to kiss me, hm?”
“Tiga hari lalu,” gumam gadis itu menatap sungguh-sungguh, Juyeon mengerjapkan mata, cukup terkesiap akan pengakuan sepihak. “it’s troublesome, I know,”
“It’s okay,” lelaki yang mengukung mencoba meyakinkan, “aku bukan milik siapa-siapa lagi, you can do what you want,”
Senyum tipis merekah seiring Hyunjae menggigiti kulit dalam mulut, “Then eat me now,” bisikan halus bin sensual tersebut menggelitik gendang telinga, berdentum-dentum melarikan diri ke otak supaya Juyeon dapat segera melaksanakan. Sang atasan menyeringai, mengecup bibir tipis merah muda yang mulai membengkak kemudian menapaki seluruh inchi kulit susu di kukungan.
Hyunjae bergerak ke sana kemari, merasakan aliran darah berjalan menghampiri satu titik, menyebabkan liang sendiri meneteskan lendir bak merespon setiap sentuhan di titik-titik sensitif. Bibir Juyeon sangat panas layaknya membakar kulit, pentil makin mencuat begitu lelaki itu mengulum sedikit, memainkan dada sebelah kanan, sesekali menarik-narik si puting.
“Ah! Aahh.. Mas nooo..”
“Kenapa?” geligi melepaskan mainan di mulut, menatap ekspresi keenakan gadisnya, “geli?”
“Ihh! Mau dimakaaann..” rengek Hyunjae berusaha mengapitkan dua kaki jenjang di badan bongsor, Juyeon cengengesan, malah mengabaikan permintaan, sebaliknya ia menangkup kelenjar menggantung tempat telapak menangkir sesekali meremas bagai squishy, mulut kini mengemut pentil macam permen, terkadang menghisap agak kuat menyebabkan Hyunjae menjerit mencengkram seprai. “nghh! Aahhh Masss..”
“Untung kamar kita kedap suara, Jae,” komentar Juyeon melepaskan kuluman, memperhatikan bagaimana rongga pernapasan Hyunjae bergerak naik turun secara cepat. Ia melayangkan kecupan dari bawah dada menuju pusar, memainkan lidah sebentar lalu turun lagi menuju vulva yang ditumbuhi rambut halus. “what a beautiful pussy you have,”
“Fuck, it’s embarrassing!” erang si Manis hendak menutup organ intimnya, Juyeon berdecak memperingatkan, sengaja menepis tangan nakal, menggerakkan jempol di balik labia untuk bertemu ranah paling rentan perempuan kebanyakan, “fuck Mas!!”
“Why so eager huh? Udah lama kamu nggak main?”
“Months,” jawabnya sembari bersemu merah, tiba-tiba menenggelamkan separuh wajah pada bantal, “nggak tahu kenapa sensitif banget malam ini,” pengaruh hormon menjadi salah satu pemicu keadaan dia sekarang.
Juyeon jadi bangga sama pencapaian dirinya, apa mungkin hanya dia yang bisa membuat Hyunjae sekacau sekarang dengan sentuhan kecil, parasan ibu jari masih mengusap-ngusap acak, merasakan basahnya seprai kasur akibat liang bawah mengeluarkan cairan.
Hyunjae is a mess only from his touch on her clit. Bagaimana ketika ia menggoyang nanti? Apakah gadisnya akan memancur bak air terjun? Juyeon tidak sabar hendak segera mengeksekusi. Terutama imajinasi-imajinasi liar kemarin makin mengeraskan batang sendiri.
Pria surai cepak mengabulkan permintaan si perempuan, menguji coba menempelkan bibir tepat di klitoris, mengirimkan listrik menghasilkan Hyunjae menggelinjang ke sana kemari, oleh karena itu, Juyeon memegangi kedua paha dalam kuat-kuat sembari melanjutkan santapan di area intim.
“U-uwah.. Mas.. cepett.. cepet..”
Juyeon tak membalas lantaran sudah melesakkan lidah melewati pertahanan, ujung indra membentuk gerakan memutar, mengikuti garis pintu masuk, menyesap apa yang dikeluarkan, menyapa dinding-dinding yang berdenyut di sekujur benda lunak. “Mmmh..”
“Fuck! J-Juyeon oh god! Juyeon m’ close!” teriak Hyunjae menangkirkan jari lentik di rambut hitam, ubun-ubun menjadi pedas terhadap jambakan, bersamaan punggungnya membusur menyemburkan air. Juyeon tak menghindar, membiarkan wajahnya terkena pancuran sambil melanjutkan kegiatan makan. Biar mampus asistennya dilanda kerentanan disaat dia menyantap bagaikan hidangan.
Si Manis merebahkan badan, lemas tiada tara mengalami klimaks pertama bersama orang lain setelah hampir 10 bulan tidak berhubungan, peluh berlomba-lomba turun tidak dapat diusir oleh pendingin kamar. Tangan-tangan masih tremoran apalagi kedua kakinya, dia tersengal-sengal seraya memandangi bintang-bintang samar di langit-langit ruangan.
“Jae masih hidup?” Juyeon tergelak begitu disodorkan jari tengah nan lemah, ia duduk sebentar seperti memberi waktu untuk rehat mengembalikan energi, memberi penisnya perhatian sembari mengocok malas, untaian liur dikerahkan agar tidak terlalu kering saat hendak menyusup. “aku nggak bawa kondom,”
“Nggak papa, Mas,” racau Hyunjae berusaha tetap sadar, “masa suburku udah lewat,”
Oh my. Sejak kapan panggilan mereka berubah jadi aku-kamu? Sejak Hyunjae memanggil Mas tentu saja. Dan lagi kenapa dia ringan banget berhubungan tanpa pengaman walaupun ovulasinya sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Kan tetap tidak menutup peluang.
“Kamu yakin?”
“Mas cari deh plastik buat bikin kondom sendiri,” ketus Hyunjae sewot, mengundang kekehan terhadap amukan tersebut, jengah disangsikan mululu. “siapa tahu besok aku haid kalau dirangsang terus,”
Tidak masuk akal tapi layak buat dicoba.
“Oalah pantes moodmu naik turun dari kemarin-kemarin,” kata bosnya sembari mengumpulkan anak mani di puncak, Hyunjae hanya mendengus sebagai balasan sebab mau menyamankan diri terutama liangnya sendiri, abdomen mulai terasa kram sedikit sambil memperhatikan Juyeon mengurut kejantanan, mata rusa berkilat-kilat penuh keinginan dan menghentikan aksi berlutut di depan liang surgawi.
“Mas bentar..”
“Hm?” ia mematung di posisi, memperhatikan Hyunjae bangkit susah payah lalu menungging menghadap si adik. “mau apa?”
“Mau kulum juga,” kini tangan lebih mungil membantu kocokan kemudian tergantikan oleh genggaman sang sekretaris, Juyeon semakin tegang, berat saat dipegang, melihat bagaimana puncak gemuk keluar masuk dari lubang genggaman yang terbuat, berusaha tak menghentakkan pinggul. Rambut panjang Hyunjae disampirkan ke pundak kanan begitu pemiliknya memasukkan, perlahan-lahan, setiap centi, merasakan betapa hangatnya rongga makan si Manis. Kepala berhasil menyodok tenggoroka barulah Hyunjae mulai menggerakkan naik turun.
“Shit.. mmhh.. that’s it Jae.. kulum punya Mas kayak es krim, hmm..” Hyunjae melakukan perintah, meniruskan pipi berupaya menghisap kumpulan precum di lubang kencing, pahit basa tak diindahkan, pikiran dia meleleh berbarengan liang menitikkan lendir kebeningan.
Juyeon terdengar menggeram nikmat, memuji mulut Hyunjae menyebabkan si empunya merona dan bersemangat memainkan. Lidah menjalari urat nadi, menusuk-nusuk lubang kecil tepat di mahkota. Dirasa simpulan hendak meronta minta lepas, ia menarik keluar si batang panas.
“Ah kenapaa?”
“Need to come inside you, Sweetie,” otak Hyunjae ditemukan melting seutuhnya setelah dilontarkan panggilan, mereka mengaitkan bibir secara menuntut maupun ganas, berpagutan tidak sabar, melebarkan untaian saliva di dagu atau sudut. Juyeon menindihi gadis cantik itu kembali dengan tangan kiri siap menuntun penis menuju sarang baru.
“MMFF!” Manik rusa terbelalak terhadap invasi benda asing, ingin rasanya Hyunjae menggigit ranum kenyal milik bosnya demi menghilangkan perih di sekujur bibir vagina. Nggak, sepertinya memang dia yang lama tidak main mengakibatkan si kelamin sulit membiasakan diri. “fuckk ngh sakit..”
“Hah? Sakit? Mau berhenti?” ayolah, meskipun dia terangsang setengah mati bukan berarti Juyeon lelaki tidak tahu diri, ia nampak sangat khawatir pada perubahan wajah si Manis, membuatnya hendak menarik penisnya. Akan tetapi, ia menemukan kalungan serta kuncian mata kaki di tulang ekor, menerima gelengan cepat dari pihak kedua, menyulitkannya mundur di tengah permainan.
“Ng-nggak! Lama nggak dimasukin aja..” keluh gadis tersebut mencoba merilekskan liang, kepala gemuk baru juga menyangkut masa Juyeon malah mundur, nggak asyik dong namanya! Setiap kali pria itu memajukan pinggul, Hyunjae meringis, membuat gerakan tangan seakan memanggil si lelaki agar mendekat, spontan diiyakan Juyeon. Selagi menunggunya terbiasa, mereka berciuman lembut, menikmati kaitan bantalan empuk, atas dan bawah, lidah tak lupa bertemu sesama, jari-jari bebas bergerilya membuai kulit.
Saat tautan terlepas di situlah keduanya dapat menyelami manik masing-masing, sama seperti perkataan Juyeon, mata Hyunjae terlalu cantik buat dilewatkan, banyak makna tersirat, banyak emosi terpancar oleh kilaunya. Bagai menampilkan kerapuhan si Manis, menumbuhkan sikap posesif dari dirinya setelah tenggelam dalam orbit hazel tersebut.
“Kamu cantik, Hyunjae,”
Rona merah kesukaan Juyeon selalu menangkir setiap ia melontarkan pujian, bukan terdengar picisan melainkan dari lubuk hati terdalam. “Mas juga..”
“Juga apa? Cantik?”
Sebuah pukulan kecil menerpa punggung atletis menyebabkan Juyeon mengaduh sekaligus tertawa geli, kerucutan bibir tipis mengundang untuk dikecup berkali-kali seperti telah terobsesi pada obat adiktif.
“Nyebelin.”
Juyeon mengusel pipi tembamnya, menghirup aroma khas tubuh montok di kukungan melalui ceruk leher yang berkeringat banyak, “Nyebelin tapi kamu suka kan?”
“Suka kalo Mas mulai genjot aku,” ujar si gadis menjulurkan lidah, Juyeon menerima jawaban itu. Langsung saja pinggul bergerak mundur perlahan-lahan, menginginkan mulut rahim maupun dinding vagina mengingat bentuk kejantanan Juyeon, yang berhasil meregangkan beberapa menit, memberikan rasa kebas nan pedih tapi menyalurkan kenikmatan berlebih. Juyeon menjadi tamak, macam orang kehausan di Sahara, mencari mata air demi melegakan dahaga di sanubari.
“Aah! Aahh.. nggh!” desahan dan geraman bercampur menjadi satu membentuk harmoni, memantul ke segala penjuru ditemani kasur berdecit merdu, menyamakan tempo gerakan dua manusia yang saling beradu. Juyeon memegangi pinggang berlekuk tanpa menghentikan genjotan, sementara Hyunjae mencengkram kepala ranjang di belakang, menerima hujaman di selaput sensitif, menyuruhnya mencapai pancuran kedua dari lubang kemih.
Beruntung penyatuan mereka tidak terlepas sehabis ia menjerit nyaring, Juyeon masih melanjutkan goyangan meski gadis lain sensitif berlebihan, dapat dilihat dari kuku yang menggores di punggung kokoh.
“M-Mas mmhh too much!”
“I’m not done, Hyunjae,” geram Juyeon makin menghentak kuat-kuat, mungkin akan membuahkan memar tetapi tidak ada yang peduli ketika sedang diambang kenikmatan seperti ini.
“Please-please-please nghh dekeeet..” rengekan panjang terdengar diselingi pancuran ketiga, tidak hanya sekali melainkan tiga membasahi seluruh badan Juyeon. Pria lebih tua tidak tahu musti berbangga atau tetap melanjutkan aksi karena dia pun sebentar lagi juga akan sampai.
Jangan tanya keadaan Hyunjae. Sudah pasti nyaris kehilangan kesadaran setelah berkali-kali meraih klimaks, otot abdomennya terasa mengencang, mungkin ada benarnya perkataan dia tadi, tentang rangsangan mempercepat datang bulannya. Dia memasrahkan segalanya pada sang atasan, membiarkan lelaki tampan tersebut mengubrak-ngabrik isi liang hingga memerah dan berkedut di sekujur batang tebal.
Sumpah serapah berkedok kepuasan lolos dari tenggorokan, sekaligus melukis putih di dalam gadis manis. Juyeon menggoyang pelan-pelan kemudian berdiam diri mengatur pasokan udara, menarik si adik sangat hati-hati dan menegak ludah begitu liang berdenyut-denyut akan kekosongan. Untaian putih menemukan jalan keluar, menetes kecil melalui lubang kemerahan yang melonggar.
“Tendang saya kalau lanjut ronde dua,” Hyunjae tertawa kecil, menyantaikan organ intim sehabis berlama-lama digesek benda asing.
What a night. Sebuah pengakuan berujung tawaran gila. Juyeon tidak menyangka di balik image anak baik-baik yang selama lima tahun ia lihat dari Hyunjae tiba-tiba runtuh hanya karena pelukan mereka di malam sesudah pertunangannya berakhir.
What if he didn’t catch Karina cheated on him?
What if he didn’t hug Hyunjae all night?
What if he didn’t jerk off while watching his assistant asleep?
Apakah mereka tetap akan bersikap profesional satu sama lain seperti yang biasa mereka jalani?
Juyeon tersentak dari lamunan begitu sebuah telapak hangat mendarat di pipi, mendapati wajah ayu Hyunjae tersenyum tipis seakan menanyakan apa yang membuatnya banyak berpikir.
“What are we, Jae?”
Si Manis membulatkan mata, ranum mungil kesukaannya terbuka ragu untuk menjawab, mendadak takut apabila hanya dia yang berharap, “Whatever you want to be.” tuturnya pelan sembari memilin-milin jemari, menandakan kecemasan mendera batin. Juyeon melirik, mengambil digit-digit lentik agar berkaitan dengan jari miliknya, bahkan meremasnya lembut selayaknya memberi keyakinan semu.
Sesuatu teelintas cepat di benak Hyunjae saat menaruh perhatian pada cocoknya jemari mereka yang menyatu bersamaan.
“Kamu kepingin ini kan?”
Hyunjae mengangguk, sekilas menemukan kelegaan di muka bosnya, membuatnya berpikir kalau perasaan mereka tidak berujung sepihak. “Bapak.. mau saya kan?”
“Hm, cuman orang bodoh yang nolak kamu,” mereka kembali mencairkan suasana seperti biasa, tapi kali ini jarak mereka sangat dekat sampai-sampai bisa mendengar detakan jantung satu sama lain. Kehangatan pun menguar menyelimuti, Juyeon tak mau menahan diri sewaktu hatinya ingin mencium bibir Hyunjae lagi. Asistennya terkesiap kecil, membalas hati-hati. “kalau begitu saya nggak mau ngelepas kamu dari sisi saya,” ucap Juyeon setengah berbisik sambil menyunggingkan senyum lembut, mata kucingnya menyipit, menambah ketampanan pria itu menjadi berkali-kali lipat.
“Setuju, asal Bapak kabulkan cita-cita saya jadi Sugar Mommy-“ Hyunjae belum selesai menjawab sudah keburu diserang Juyeon duluan. Atasan dan bawahan tersebut terlibat gelak tawa serta letupan api nafsu yang tidak mungkin padam untuk malam ini. Padahal Juyeon tadi menyuruh Hyunjae menendangnya apabila berupaya melakukan ronde kedua. Tapi sepertinya si sekretaris begitu mendamba setiap sentuhan yang dilayangkan di kulit sehingga lupa pada pengingat terakhir.
Membicarakan perasaan masing-masing masih dinilai sulit, lebih baik fucking each other first like bunnies in heat😉.
.
.
.
©️Finn
catatan kecil dari penulis
Maafkan aku anon kalau PLOTNYA SUNGGUH MELENCENG DARI YANG KAMU KASIH T.T karena aku tuh nggak bisa langsung bikin based on someone's prompt, harus dikaji ulang, didiskusikan terutama minta pendapat sama nonem dan neti, harus dibayangkan, harus diimajinasikan, harus tahu kenapa dia begini, kenapa dia bisa begini, gimana seks mereka nanti, pokoknya ribet banget dah. Aku sangat-sangat kagum sama penulis yang bisa menuangkan idenya setelah dikasih request dari pembaca sementara aku harus bertapa dulu dua mingguan sambil nunggu ilham *you know me so weeeeeeell (gak)
And you have to thank nonem karena udah nyemangatin aku dalam pembuatan jumil gs kedua ini :”
Nih ya kutipan kalimat Nonem Saputri :
“PAKE AJA UDAH GAUSAH BAYAK MIKIR LU NTAR LAMA-LAMA JALAN JUGA TU OTAK” baik Yang Mulia baik.
bubye~