rymafein

place to reveal myself

JUMIL

you turned me on like a light switch

///////////////////////////

Jam dinding berdetak memecah kesunyian, tidak berhasil membangunkan tidur-bagai-mayat seseorang di atas ranjang. Apalagi ditemani kelembutan bantal sebagai alas kepala, guling sebagai teman cuddle, dan kehangatan selimut ketika suhu turun membaluti ruangan. Lee Juyeon sedang terlelap, benar-benar tidak menyadari apapun, seolah jarum detik jam bukan sesuatu yang akan mengganggu mimpi.

Terkecuali satu.

Dering notifikasi familiar.

Kelopak mata Juyeon terbuka, bola putih sedikit kemerah-merahan sebab bergerak terlalu cepat, dia yang semula menghadap ke dinding, otomatis berbalik ke meja kecil sebelah ranjang. Menemukan layar ponsel berkelip-kelip menandakan pesan masuk.

'Jaehyun'

Nama pemuda tempat ia melabuhkan cinta sepihak dicerna perlahan oleh otak. Tiba-tiba semua terasa segar, terasa tidak pernah kelelahan sehabis mengerjakan tugas setumpuk. Lee Juyeon bangun tanpa mengucak mata, bangkit setengah badan setelah membaca isi pesan.

'Gue horny, otw ya ;)'

Sialan.

Baru juga dibilang gitu, adik Lee Juyeon udah bersemangat aja. Dia melirik ke jam yang seakan tersenyum menggoda padanya, menunjukkan pukul 11.30, dimana ini sudah larut malam dan orang normal seharusnya mencumbu bed cover sambil bermimpi. Tapi apakah Lee Jaehyun normal? Tentu saja tidak, dan Lee Juyeon tergila-gila padanya. Jadi, ya.. hal tersebut sudah lumrah baginya.

Memeriksa penampilan, menghilangkan belek, menampar-nampar pipi, Juyeon merapikan kasurnya sedikit, supaya lebih sex-able aja gitu dilihat. Ia juga membersihkan diri sebentar, termasuk menyabuni seluruh tubuh agar tidak terlalu bau khas orang tidur, which is gimana tuh maksudnya? Yaudahlah, this is Juyeon we talked about.

Pintu apartemen terbanting keras. Sudah dapat menduga siapa yang melakukan. Dia mengusak rambut setengah basah menggunakan handuk dengan jantung berdetak cepat, sangat mengharapkan kehadiran pemuda lain. Pintu kamar terbuka menampilkan Jaehyun berdiri memasang cengiran manis dan menerjang ke dalam. Juyeon buru-buru menangkap, merasakan dua kaki melingkar di pinggang begitupula lengan, tak lupa bibir menyatu satu sama lain, tidak sabar melakukan permainan inti.

Ketika sisi rasional Juyeon aktif, ia akan bertanya kenapa dia mau melakukan ini disaat Jaehyun sendiri sudah punya Younghoon. Dan biasanya itu muncul sewaktu dia sudah balls deep di dalam Jaehyun yang membusungkan dada penuh bercak kemerahan, mengerangkan namanya sesekali ikut menggoyang pinggul untuk mendapat kenikmatan lebih.

fuck. he's pathetic, isn't he?

//////////////////////

lanjut apa tidak

Jiel and Nesya

bbangnyu lokal🔞

What you see it's not what you think. The different between inside out of relationship

. . .

“Kak..”

“Hmm?”

“Kemaren Kak Jerry tanya aku, apa kakak pernah makan aku,”

Jiel berhenti menulis catatan setelah mendengar kalimat terlontar dari mulut kekasihnya, menolehkan kepala berbarengan alis naik satu, menemukan ekspresi polos terpancar di sana. “Hah?”

Nesya mengangguk, mengayun-ngayunkan kaki antusias, “Iya! Katanya Mas Joel lagi suka begitu sama dia, terus dia tanya ke aku, aku jawab aja iya..”

“Nes, kamu kan tahu Kakak nggak pernah nyentuh kamu lebih dari ciuman,”

Si Cantik menggigit mulut dalam, melupakan fakta bahwa sebenarnya pacar tampan berhati kutub ini belum sama sekali melayangkan sentuhan intim seperti yang ia ceritakan pada Jerry. Paling banter ya ciuman, itupun kalo Jiel lagi down atau emosi sama agenda perkuliahan.

“Tapi-”

“Lain kali nggak boleh bohong gitu ya, apa salahnya sih bilang nggak pernah,” jawab Jiel kemudian membalikkan badan, meninggalkan Nesya termangu-mangu sendirian di atas ranjang dengan hati terasa kosong.

Right, he loves him not for the intimacy. Setidaknya dia harus bersyukur Jiel mau sama dia, meskipun ada rasa iri mendengar pengalaman Jerry atau Icha yang hanya dia tanggapi dengan bualan agar sama dengan kakak-kakaknya.

Perasaan ingin itu ada, lumrah dong bagi manusia, terutama yang punya pacar ganteng. Dia hampir jalan setahun sama Jiel tapi ciuman mereka cuman bisa dihitung jari. Jiel emang baik kalau sama dia, gentle malahan, suka bikin meleleh dan melting di setiap tatapan lembutnya. Cuman ya itu- sampai kapan dia harus begini sama Jiel?

Apa tunggu serius banget? Lagian, mereka tetep nggak bisa nikah meskipun sudah dilegalkan di negara manapun. Otomatis, stay as lover doang kan paling banter.

Nesya benar-benar kelu terhadap permasalahan ini. Di kala teman-temannya membicarakan tentang keadonisan kekasih masing-masing, di situlah ia mengarang perlakuan Jiel di ranjang, mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber (porno lebih tepatnya) setidaknya ketika ditanya dia dapat menjawab secara natural. Walau keadaan tidak seindah harapan.

“Kakak masih lama ya? Aku pulang dulu ya..” gumamnya bangkit kemudian memeluk Jiel dari belakang, menahan isak tangis entah kenapa. Kekasihnya menggumam tanpa melepaskan pandangan, menyodorkan pipi untuk diberi kecupan. Which is he did, dan tersenyum tipis meninggalkan ruangan.

“Oh, Nes mau pulang?”

Nesya tidak sanggup menahan laju air mata, sebut dia cengeng karena dilahirkan sebagai bungsu nan manja, begitu mendapati sapaan lembut dari Jayden, bibirnya gemetar tak keruan. Tentu saja si Sulung Andrean panik, hendak meneriaki Jiel namun ia mencegah.

“Jangan Kak! Kak Jiel lagi sibuk nugas,”

Kurang ajar. Baik hati amat pacarnya Jiel sewaktu keluar dari kamar sambil nangis. Jayden ingin menampol kepala adik tengahnya dikarenakan tidak mengetahui tangisan pilu pemuda cantik ini.

“Yaudah, Kakak antar pulang ya..”

Nesya tidak menolak, menganggukkan kepala pelan mengikuti langkah Jayden penuh kekecewaan. Sesampai di mobil pun, mereka tak mengeluarkan suara. Hanya ada feromon Jayden yang menenangkan hati selama perjalanan. Dia menatap luar jendela, tiba-tiba malu menangis tanpa sebab, di hadapan kakak pacarnya pula. Namun, semenjak berhubungan dengan Jiel, dia ikut dekat juga dengan saudara lain.

“Nes, kalo masih sedih, nangis aja,”

“Nggak kok Kak, udah mendingan.. maaf ya Kak Jayden jadi liat Nesya gini,” jawabnya berusaha menahan getaran bibir bawah, Jayden tersenyum meyakinkan, mengusak surai hitam sang adik perlahan.

“Kamu dah Kakak anggap adek sendiri, nggak usah sungkan gitu,”

Mereka saling melontarkan candaan agar suasana hati Nesya membaik sedikit. Dia mendengarkan beberapa curhatan Jayden mengenai pasangannya dan kecekcokan kecil dalam hubungan mereka. Mengingatkannya akan permasalahan yang melanda sekarang.

“Makasih Kak,”

Jayden melempar senyum tulus tak lupa menganggukkan kepala, “Salam sama Andra Shea ya!”

Nesya merefleksikan anggukan seraya melambaikan tangan, masih berdiri di sana memaku posisi sampai kendaraan roda empat sedan tersebut menghilang dari pandangan, barulah ia balik ke rumah dengan bahu lunglai.

“Adik Manisssss..”

“Nesya lagi capek, Kak..”

Andra menyeringitkan dahi, “Kenapa lo?”

Si Cantik hanya mengibaskan tangan, tak menghentikan langkah menuju kamar, menutup pintu rapat-rapat lalu menangis dalam diam.

Is it a big deal to him longing for his boyfriend's touch?

. . .

Oh my! Nesyaaa kamu kenapaaa?”

Di suatu hari saat ia berkunjung ke kafetaria teknik seperti biasa karena disuruh Jiel makan siang bersama, Nesya menampakkan diri dengan mata bengkak tapi lumayan tertutupi oleh eyeliner entah gimana caranya. Jerry gercep menariknya ke dalam pelukan sambil mempertanyakan keadaan.

“Gapapa, abis nonton drama tadi malam,”

Bohong. Yang benar dia menangis sepanjang waktu hingga tak terasa sudah waktunya berangkat kuliah. Bahkan Papa dan Mama panik ngeliat anak bungsunya keluar kamar kayak zombie.

“Drama apaan? Sedih banget ya?” celetuk Icha khawatir. Nesya hanya mengangguk, menyesapi kehangatan terkuar dari dada bidang Jerry. Hm.. Joel pasti merasa nyaman kalo pelukan sama pemuda manis ini.

“Kamu nungguin Kak Jiel?”

“Iya..”

Icha menatap Jerry, memberi kode-kode yang tidak dimengerti. Si Manis menggumam, mengusap kepala adik mereka lembut. “Oke, nih comot dulu nugget daripada kamu kelaparan,”

“Udah makan kok,”

Payah. Nesya kayaknya lagi nggak bisa diajakin ngobrol. Dia hanya menyamankan posisi dalam dekapan sambil mendengarkan kedua sekawan melanjutkan cerita yang sempat terpotong karena kehadirannya.

Sejujurnya dia nggak mau ketemu Jiel hari ini.

Kalimat kekasihnya soal tidak boleh berbohong tentang kehidupan seks mereka which is none– terus membekas sampai ke alam bawah sadar. Bahkan mimpi pun samar-samar menayangkan itu juga, seolah menampar Nesya pada kenyataan kalau mereka tidak akan pernah menggapai ke sana.

“Nes, ayo!”

Pemuda cantik berhenti memeluk Jerry saat mendengar suara berat Jiel di dekat mereka. Kakak tingkatnya menatap tidak suka pada titahan tersebut tetapi ia berusaha mengabaikan. Melempar senyum sangat kecil ke mereka berdua sebelum mengekor langkah Jiel entah kemana sambil berpegangan tangan.

“Ada masalah kayaknya,” bisik Icha usai pasangan pergi. Jerry mengangguk cepat.

“Tunggu aku korek dari Nesya,”

Sementara di tempat lain, tokoh utama kita hanya duduk diam memperhatikan Jiel makan. Dia menggelengkan kepala begitu ditawari, mengatakan kalau dia masih kenyang setelah sarapan tadi.

“Kamu yakin?”

“Iya Kak, nggak ada kelas lagi kok, nanti kalo laper Nesya makan,” ujarnya pelan, Jiel hanya menatap sedih, mengusap punggung tangan sang kekasih sangat pelan.

“Sama nih, Kakak juga abis ini kosong, kita kencan aja gimana?”

Ah. Jiel Andrean menyebalkan. Nesya tuh bukan pingin kencan! Dia pingin cuddle berdua berakhir dengan seks! Dia pingin merasakan kulit sesama kulit bertemu dan raut wajah Jiel saat orgasme melanda. Dia pingin itu tapi Jiel nggak pernah mau lebih dari sekadar ciuman.

Percuma kencan sampai mampus kalau ujung-ujungnya dia diantar pulang ke rumah tanpa melakukan permainan menyenangkan lainnya.

“Nesya mau pulang aja, Kak..”

“Nes.. kamu sakit?”

Dia menggeleng, “Nggak,”

Jiel menghentikan makan, memandang netra cantik tersebut dalam-dalam, menggeliatkan seluruh tubuh Nesya karena takut dibaca terlalu banyak. “Kakak perhatiin matamu bengkak, kamu habis nangis?”

“Iya, nonton drama tadi malam,”

“Kan Kakak udah bilang nonton dramanya setiap weekend aja, kasihan matamu Sayang,”

Hah. Peduli amat. Nesya jengah lama-lama didiktator dari awal pacaran. Nggak boleh ini itu, nggak usah begini begitu. Dia pengen teriak kencang-kencang memaki Jiel tapi nggak bisa karena sudah terlanjur sayang sama manusia di hadapan.

“Dramanya seru, sayang dilewatin,”

Betul. Drama mereka belum pernah making love.

“Nggak apa kalau Kakak nggak bisa anter, Nesya pulang sama Justin aja,” mendengar nama pria lain, tatapan Jiel menggelap bagai ada amarah tersulut, kekasihnya mengerutkan kening pertanda kesal.

“Kakak nggak ada bilang nggak bisa nganter ya, Nes. Kok kamu sampai situ mikirnya,”

Nesya membungkam mulut, tak ingin memperpanjang masalah hanya karena nama sahabat yang dicemburui Jiel terlontar dalam percakapan. Dia mengangguk pelan, meminta maaf.

“Pokoknya kita kencan abis ini,”

“Iya Kak..”

Ya Allah tolongin Nesya please. Dia nggak mau berlama-lama bersama Jiel ketika perasaannya sedang terombang ambing kayak gini.

***

Alright spill!”

Pemuda yang tengah tengkurap seraya mencari drama terbaru di iPad terkesiap ketika pintu kamar terbuka menampakkan pemuda lain. Netra berkilat-kilat kecurigaan sehingga ia mundur sedikit. “Ha?”

Spill kamu kenapa akhir-akhir ini,” ujar Jerry menutup benda penghubung lalu menguncinya, berjalan cepat ke kasur, menerjang sang adik tanpa peduli.

“Nggak ada, Kak,”

Sialan. Sejak kapan suaranya mencicit kayak tikus. Nesya berdeham, memperbaiki letak pita suara agar tidak terdengar tercekik. Jerry memandang tidak suka, memicingkan netra lalu mendekatkan wajah.

“Kamu bisa bohongin Jiel tapi kamu nggak bisa bohongin aku,”

Nesya mencoba memasang raut natural, menggeleng supaya terlihat meyakinkan, “I'm okay,”

No, you're not, I can feel it,” desak Jerry gregetan, jari jemari meremas guling di sana, menyorotkan pancaran kekhawatiran. “kamu ada masalah sama dia?”

Mendengar kata masalah, pemuda cantik tiba-tiba murung. Tentu saja sang kakak panik, menemukan adik tingkatnya berkaca-kaca kemudian bibir bergetar pilu, diikuti air mata beserta isakan kecil. Waduh, sebesar itu hah?

“Eh.. cup cup.. Nesyaaa..”

It's.. hiks.. it's huaaaaaa..”

Selama lima menit Jerry membawa ke dalam dekapan, mengusap kepala bagian belakang, membiarkan kaos oblong kesayangan basah akan air mata, selagi Nesya menumpahkan kesedihan daripada kelamaan ditahan. Pikiran berkecamuk menerka-nerka apa yang menjadi masalah di antara kedua sejoli. Padahal Jiel meruntuhkan sikap dingin dan tempramennya ketika bersama Nesya, memperlihatkan sisi baru di hadapan orang lain saat kekasihnya menampakkan diri. So what's the problem, huh?

Merasa Nesya sudah tenang, Jerry menjauhkan badan mereka sedikit, untuk memeriksa keadaannya, ekspresi sedih masih ada, tetapi mungkin lebih mendingan dari 5 menit lalu.

Do you feel better?”

Nesya mengangguk, menarik ingus kuat-kuat. Astaga gemes banget sih! Seandainya Jerry seorang top pasti dia yang akan menggaet Nesya duluan instead of Jiel.

“Mau cerita?”

Si Cantik mengangguk lagi, mengatur napas karena terlalu sesak akibat isakan. Menyamankan diri di dada bidang Jerry, ia mulai berkisah.

“Kakak nggak boleh kasih tau siapa-siapa,”

Even with Joel?”

“Terutama Mas Joel,”

Jerry menggumam, “Oke, oke, aman,”

Pemuda beda dua tahun menatap sungguh-sungguh, sebelum benar-benar menjelaskan kelakuan dia akhir-akhir ini. “Jadi, sebenarnya Nesya sama Kak Jiel belum pernah gitu, Kak,”

Tunggu.

Tunggu dulu.

Pemuda lain memandang tidak paham, antara mencerna sama tak percaya beda-beda tipis, dia ingin membentuk sebuah kalimat tetapi tiada yang keluar selain, “Hah?”

“Semua yang Nesya pernah ceritain ke Kakak sama Kak Icha itu bohong, Nesya cuman ngarang,” dia tambah sedih, seperti menyesal telah berbuat jahat demi kesenangan semata, “aslinya kami nggak pernah lebih dari ciuman,”

“Wah!” Jerry mengumpat, “emang bajingan tu manusia kutub!”

“Engga Kak! Bukan gitu, tapi-” tapi apa Nes? Apa Jiel pernah ngomong soal ini sewaktu mereka sedang berduaan? Apa mereka pernah mengungkit alasan Jiel nggak nyentuh Nesya lebih dari itu? Sekarang kamu mau menjelaskan apa sama Jerry?

Kemarahan sang kakak tingkat mungkin makin naik ke ubun-ubun, dan dia tidak ingin Jerry berurusan sama Jiel hanya karena ketidaksukaannya pada sikap pemuda lebih tua. Dia memohon pada Jerry agar tidak meledak.

“Nes, kalian udah hampir setahun pacaran masa belum sampai situ?!”

“Nesya nggak ngerti, Kak, Nesya juga nggak berani tanya, Kakak tahu kan emosi Kak Jiel kayak mana? Kemarin Nesya bohong soal rimming aja dia marah dan bilang harus jujur apa adanya, tapi Nesya malu Kak kalo orang-orang tahu kami nggak pernah ngapa-ngapain sedangkan teman-teman Nesya tiap hari cerita soal pacar mereka,” air mata mengancam turun lagi sementara Jerry menenangkan diri, dia memeluk adiknya lebih erat, bahkan mendaratkan kecupan kecil di puncak kepala supaya tidak menangis.

“Kamu nggak salah, Nes, itu hakmu mau ngarang selagi nggak ketahuan, Jiel goblok banget anjing, bisa-bisanya kamu ditelantarin kayak gini,”

“Nesya capek, Kak..” keluh si Cantik lemah, “Nesya nggak mau ngelepas Kak Jiel tapi Nesya juga lagi nggak pengen ketemu dia,”

Jerry memutar otak, berpikir keras apa yang harus dia lakukan sebagai solusi. Satu ide terlintas di benak, tapi dia nggak yakin apakah akan berhasil. Pelan-pelan ia mencoba memberitahu sang adik.

“Nes gimana kalo kita bikin dia mabuk?”

“Kak Jiel nggak suka minum, Kak,”

Shit iya juga,” si Manis memainkan kulit bibir, memikirkan kemungkinan lain, Nesya setia membungkam mulut sembari menatap penuh harap, menambah beban di pundak secara kasat mata. “Kita campur aja minumannya,”

“Bisa sih,” Nesya mengangguk, “terus habis tu?”

“Habis tu kamu godain, kamu ajakin begitu, kita bangunkan sisi liar dalam dia, biar dia tahu rasanya seks gimana,”

Nesya memandang sangsi, di sisi lain dia tertarik tapi di bagian logisnya dia tak mau berhubungan intim sama Jiel bila kekasihnya sedang mabuk. He wanted his first time become special and gentle.

First time Kakak dulu gimana?” Jerry mengerjapkan mata sejenak kemudian menyengir lebar, mendadak lucu sama pengalaman seks dia dan Joel dua tahun lalu. “Believe it or not, kita dulu juga nggak pernah nyentuh lebih dari ciuman, sampai aku tidur digonceng Joel, nggak sadar udah megang adeknya,”

“Sepanjang jalan?”

“He eh, mana kutau bakal kayak gitu,” pemuda lebih tua cengengesan lagi, “but thanks to that we're already like bunnies in heat,”

Nesya mendengus, “Good for you,”

“Eyy, nggak usah iri gitu, that's why we planned how to make Jiel do more than just a kiss,” Nesya diam mendengarkan, lebih tepatnya berpikir menimang-nimang. Dia berdoa dalam hati supaya ide gila Jerry dapat terealisasikan dengan baik. Meskipun dianya tidak rela digagahi dalam keadaan mabuk.

Okay..” akhirnya ia mengalah, “oke Kak, I'm in,” Jerry tersenyum lebar, mendekap erat sang adik kembali.

“Leave it to me, hehe,”

***

Jiel dapat kabar burung kalau malam ini di hunian Andrean bakal ada acara triple date alias kencan tiga antara Jayden dan pasangannya, si Jacob, Joel dan Jerry, beserta ia bersama Nesya. Dimana pacar kakaknya akan memasak makan malam enak ditemani oleh Jayden sendiri, entah memuaskan atau tidak.

Sebagai anak rantauan, tentu saja isi kulkas tidak sesuai harapan. Jacob harus menahan diri untuk tak mengomeli Jayden saat menangkap betapa merista tempat pendingin makanan tersebut. Alhasil kedua sejoli tertua memutuskan berbelanja terlebih dahulu meninggalkan dua pasangan lain menjaga rumah.

“Alkohol Kak!” sahut Joel cengar-cengir, hanya diberi jari tengah oleh Jayden tanpa sepengetahuan Jacob yang sudah berlalu duluan. Jiel menaikkan satu alis mendengar sahutan adik bungsunya.

“Sejak kapan lo minum?”

“Sejak jaman jahiliyah,” begitu saja jawaban si adik sebelum menarik Jerry ke pangkuan lalu mengganyang wajah manisnya, Jiel memandang tak suka sedangkan Nesya duduk anteng kayak anak perawan.

Emang perawan sih.

Melihat gerak-gerik macam kemasukkan cacing kremi menarik perhatian Jiel, ia melingkarkan lengan di sekujur pinggamg ramping yang terkesiap, “Nes?”

“I-iya Kak?” Jiel tersenyum lembut, seolah meyakinkan sang kekasih agar tidak perlu takut menghadapi makan malam mendadak ini, bibir sedingin es menyentuh sisi pipi merambat ke sudut bibir sendiri. Menyebabkan Nesya semakin mengecil.

“Kamu kenapa, heum?”

“Nggak ada,” cicitnya pelan, menikmati bagaimana hidung mancung mendusel permukaan pipi tembam sebelah kanan dimana ia memperhatikan kemesraan dua sejoli lain di ruangan. Jiel melirik ke sana juga, menekan ujung hidung supaya mendapat perhatian.

“Gitu amat liatin mereka,”

Nesya diam saja, mendengking iri karena ingin diperlakukan seperti itu jua. Melihat bagaimana Joel mengecup bibir Jerry berulang kali diselingi tawa geli dan pekikan kecil. Mereka tidak berciuman panas, hanya saling mengecup satu sama lain. Berbanding terbalik dengan ia yang menerima endusan tidak jelas dari sang kekasih.

Tiba-tiba ia sudah bangkit berpamitan ingin ke kamar mandi, meninggalkan Jiel termangu-mangu kebingungan dan menghentikan kemesraan Joel Jerry, ikut memandang punggung langsing menghilang ke dalam ruangan lain, keduanya refleks mengarah ke Jiel.

“Gak usah liatin gue.”

“Lo nyeremin sih, makanya Nesya takut ama lo,” Joel buru-buru menutup mulut si Manis, apalagi melihat gelagat sang kakak yang hendak naik pitam akibat sahutan itu. After all, they’re Tom and Jerry in real life. Akan terus terlibat dalam perang kata setiap hari.

“Akhir-akhir ini dia aneh banget,”

“Mungkin karena kuliah, Kak,” bungsu Andrean memberi hipotesa, setia menangkup bibir sang kekasih supaya tidak mengoceh macam-macam. “Kakak nggak pernah tanya dia kenapa?”

“Ya dia selalu jawab nggak papa terus gue harus apa?”

Joel menghela napas, sementara Jerry melototkan mata, akhirnya ia melepaskan.

“Biar aku yang urus, oke? Bottom only,” kata pemuda manis beranjak berdiri, mengecup pipi Joel sebentar sebelum melesat mengekori langkah Nesya. Dia tahu adik mereka pasti sedang mental breakdance di kamar karena takut rencana mereka gagal maning. Namun, bukan Jerry namanya kalau membiarkan worst case terjadi, ini demi hubungan Nesya dan musuh bebuyutan.

“Nes?”

“Y-ya?”

Suara gugup di balik pintu kamar mandi tak sengaja memunculkan senyum lembut keibuan si Jerry. Pemuda kelahiran september itu menempelken telinga, mendengarkan dengan seksama sambil menerka-nerka apa yang tengah diperbuat adiknya. “Ngapain Nes?”

“Meditasi, Kak,”

Jerry menahan tawa, tapi ujung-ujungnya ketawa juga, “Kakak nggak boleh ikutan?”

“Kakak kan nggak punya masalah,”

“Siapa bilang heum? Setiap orang punya masalah Nes, cuman ada aja yang berhasil nyembunyikan,” Jerry terdiam sejenak, menghembuskan napas panjang, “mau cerita sama aku?”

Pintu ruangan terbuka perlahan, menampilkan separuh wajah sang adik. Si Manis tersenyum lagi, menyusupkan badan hingga mereka berdua berada dalam satu ruangan. “Kamu gugup?”

“Banget. Gimana kalo nggak berhasil?”

“Yakin sama aku, pasti berhasil,”

“Percaya sama Kak Jerry nggak bikin musyrik kan?”

“Sialan! Dibantu kok malah bilang gitu,” gerutuan sang kakak berhasil meruntuhkan ketidakpastian dalam diri Nesya, sedikit demi sedikit ia mau menerima dan terbuka pada rencana gila tersebut. Menetralkan detak jantung terlebih dahulu, barulah ia mengangguk.

“Oke Kak, Nesya udah tenang dikit,”

Jerry mengusak surai hitamnya gemas, “Gitu dong, kamu nggak usah khawatir, tetep natural aja lah, ntar dia curiga kalau kamu kaku gini,”

Kedua bottom sekaligus primadona kampus kembali ke peraduan pasangan masing-masing setelah melakukan ted-talk selama beberapa menit. Nesya mau dijinakin Jiel ketika ia datang lalu duduk di samping lagi, bahu saling bersentuhan walau masih ada halal gape, sementara Joel Jerry aduh nggak usah ditanya, nempel kayak prangko.

What’s matter heum?” tanya Jiel agak berbisik mendekatkan jarak antarwajah, Nesya nyaris deg-degan lagi, takut rahasia terbongkar, tapi ia malah salah fokus sama ketampanan sang kekasih.

“Nesya gugup aja,”

“Soal makan malam?” Jiel tidak berniat menjauhkan, mendusel hidung mungil di hadapan bak anak kucing, dia juga dapat mendengar detak jantung Nesya, namun tak berkomentar apa-apa. “kan udah sering,”

“Iya..” Nesya memilin jemari, memainkan kuku-kuku lentik, “ya gimana sih Kak namanya juga nervous,”

Jiel tertawa kecil, kali ini menyandarkan kepala di bahu landai, menikmati aroma vanila terkuar di sekitaran, “Kamu gemes banget, bikin Kakak tambah sayang,”

Senyum pahit terpatri di bibir si Cantik, menggigit lidah sendiri karena hendak mengutarakan perasaan gundah ini. Dia mengubah sudut bibir menjadi tipis tak bermakna saat Jiel memandang penuh cinta.

Sialan.

Sialan. Dia terlalu bucin. Nesya takut.

“Iya, Nesya juga sayang Kakak,”

Si Tampan mengangguk, seakan sangat paham akan pengakuan tersebut. Mereka terlibat dalam keheningan yang tidak canggung, meresapi kehadiran satu sama lain, menunggu sejoli lain di perjalanan pulang.

Makan malam berlangsung meriah. Ya bayangin ajalah 6 laki-laki dewasa, oke coret maksudnya 2 pria dewasa, 1 pria dingin sok dewasa, 1 pemuda kalem, dan 2 pemuda cantik yang cerewet nggak ketulungan selama acara. Jayden benar-benar membawa dua botol gin dalam tas belanjaan, mendapat izin dari sang kekasih yang awalnya melotot karena tahu minuman tersebut diharamkan.

Self reward, Babe,” itu aja jawabannya sambil nyengir.

Lagian, mereka nggak muslim-muslim amat.

Hanya Jiel yang tidak menyentuh barang haram sang kakak, dia hanya meneguk cola dingin sesekali menyuap masakan Jacob seraya mendengarkan Jerry berceloteh.

Pacar adiknya emang nggak pernah kehabisan energi kalau sudah menyangkut ngomong, apalagi gosip. Berbanding terbalik sama pacarnya sendiri yang sedari tadi makan dan melontarkan tawa manis sebagai respon untuk Jerry.

Tapi lama-lama kenapa dia pusing ya?

Jiel tidak mengindahkan, semakin semangat menuang cairan rasa karamel ke gelas, meneguk sampai tandas tanpa mempedulikan tatapan melayang ke arahnya.

“Yel?” Jayden menegur, Jiel menaikkan alis, aneh, kenapa wajah Kakaknya jadi dua? “lo mabuk?”

“Ya nggak lah!” sahutnya agak berkumur-kumur, mana ada orang mabuk gara-gara minum cola doang, sejak kapan mereka memproduksi alkohol di dalamnya.

Jerry memainkan mata ke Jayden, beruntung si tetua langsung paham kemudian mengalihkan pembicaraan. Nesya di sisi lain merasa gugup kembali, apalagi melihat gurat-gurat nadi bermunculan di kerutan dahi sang kekasih. Menandakan Jiel sedang berusaha mencerna pembicaraan meski berkabut.

“Bentar deh, kepala gue sakit banget,” keluhnya memegangi sisi sebelah kanan, “lo racunin minum gue ya Jer?”

“Heh, suuzon terus lo!” sahut Jerry tidak terima, Joel buru-buru mengukung pemudanya, tidak mau terjadi keributan saat makan malam sedang berjalan.

“Nes, udah selesai? Bawa gih Jiel ke kamar,” Jacob bersuara sangat lembut, benar-benar ibu banget deh, kayak malaikat, si Cantik mengangguk, merangkulkan lengan panjang di bahu tegap Jiel sambil membujuk dalam bisikan.

“Kita ke atas aja yuk, Kak,”

Beruntung Jiel mau diajak kompromi, membuat Nesya bersorak dalam hati. Membantu memapah pemuda lebih tinggi beberapa centi, kedua sejoli melangkahkan kaki menapaki tangga, meninggalkan dua pasangan di meja makan, larut dalam pembicaraan baru.

Sesampai di kamar, Jiel didudukkan di kasur, sedangkan ia diam-diam mengunci pintu. Jiel menggeram sambil memegangi kepala, dan Nesya memberi perhatian dengan mengukung kekasihnya bertumpu lutut. “Sakit ya?”

Jiel mengangguk, mendengking bagai anjing kesakitan, kepala terantuk di dada Nesya, menyebabkan pemuda cantik tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya gaes. Akhirnya dia pecah telor malam ini.

Sebuah kecupan mendarat, di kening terlebih dahulu, turun ke kedua kelopak yang refleks tertutup, membuai secara sensual di bagian pipi sampai ke bibir, mengecup tipis, memberi rasa, menguji pengetahuan Jiel sebelum bibir merah muda menyatu dengan bibir lain, diselingi lenguhan halus.

“N-Nes..”

Nesya menggumam, mengusap tengkuk Jiel seraya mengemut belahan ranum bagian atas dan bawah, hendak membangkitkan sisi liar kekasihnya. Jiel membalas pelan-pelan, merengkuh pinggang ramping lalu membuka mulut, mempersilakan lidah saling bertemu.

“Ngh..” Nesya mengeluarkan lenguhan lagi, bersemangat mengeksplor rongga mulut, dinding mukosa bahkan langit-langit ruangan, mengabsen gigi satu persatu, merasakan tekstur basah di sana, saliva menitik di setiap sudut, hingga bertukaran tidak ingin melepaskan.

“Nes..” bisik Jiel dengan mata menyayu, pemuda cantik mendudukkan diri tepat di kejantanan yang setengah tegang di balik jeans, bersorak dalam hati akan kesuksesannya. “Nes.. stop..”

Nggak. Nesya nggak mau berhenti, dia berani menggesekkan kelamin mereka, mengerang di sela-sela tautan, tak ingin mendengar atau mengindahkan apapun. Dia benar-benar haus akan sentuhan terutama dari Jiel. Sudah lama dia menanti ini, dan siapapun dilarang mengganggu.

Tapi gimana kalau Jiel sendiri yang mendorong Nesya hingga terantuk ke ranjang. Manik berkilat-kilat marah dan tidak menyangka, sementara pemuda lain terdiam dengan jantung memompa sangat cepat.

“Kamu mau ngapain hah?!”

Nesya tidak dapat berkata-kata selain menegak ludah, kerongkongan terasa kering kerontang bak terdampar di gurun sahara. “A-anu Kak..”

“Kamu manfaatin aku disaat nggak sadar gini?!”

Mendengar tuduhan bersifat faktual tersebut, menyulut amarah terpendam si Cantik, dengan rahang mengeras ia berteriak di hadapan Jiel. “IYA! AKU MANFAATIN KAKAK! KENAPA?! AKU JUGA PENGEN SEKS SAMA KAKAK! TAPI KAKAK NGGAK PERNAH NGASIH AKU! AKU KURANG APA SIH KAK?! KAKAK NGERTI NGGAK SAMA PERASAANKU SELAMA INI?! HAH? KAKAK NGERTI NGGAK SAKITNYA DENGERIN CERITA TEMAN NESYA SOAL PACAR MEREKA SEDANGKAN AKU SENDIRI NGGAK PERNAH DIGITUIN SAMA KAKAK!” Napas terputus-putus, ia tersengal-sengal, air mata mengancam turun, sekali kedipan dipastikan pipi bakal basah, ia menatap Jiel penuh kebencian, menantang respon dari si Tampan yang belum menjawab.

“Nggak semua hubungan selalu tentang seks, Nesya!”

“Kenapa?! Kasih Nesya alasan logis kenapa Kakak nggak mau nyentuh Nesya lebih dari ciuman? BAHKAN KITA AJA JARANG CIUMAN KAK!”

THAT’S NOT IMPORTANT FOR ME!”

Nesya bagai disetrum raket listrik, sakit anjir. Rambut-rambut halus di badan berdiri tegak mendengar penurutan tersebut. Dia benar-benar tidak percaya kalau Jiel memandang remeh hubungan mereka. “Ha.. haha..” tawanya pahit lebih dari jamu. “kenapa hah? Impoten?” tanyanya sarkas. Jiel melotot marah, mengacungkan telunjuk ke depan muka sang kekasih.

“Jaga bicaramu.”

Si Cantik mendengus remeh, “Oke baik, Nesya pikir hubungan kita emang sampai sini doang, Kak,” ujarnya percaya diri. Padahal hancur banget, hancur sehancur-hancurnya! Dia hendak bangkit namun Jiel seketika menahan pergelangan tangan, mencengkram sangat kuat begitu dia minta lepas.

“MAKSUD KAMU APA NES?!”

“PUTUS KAK! AYO PUTUS DARIPADA AKU SAKIT!”

“APA DI KEPALAMU CUMAN SEKS DOANG, HAH?!” cecar Jiel marah, “JADI KAMU MUTUSIN AKU CUMAN KARENA SEKS?”

“CUMAN KAKAK BILANG?” Nesya berhasil menyingkirkan tangan Jiel dirasa cengkraman melemah sedikit, mendadak naik pitam karena tuduhan maupun kesimpulan tidak logis yang diungkapkan Jiel, ia jadi tambah sakit hati dan akhirnya berteriak lebih nyaring, “BUT IT’S FINE IF YOU THINK I’M LOVING YOU FOR SEX ONLY, THAT MEANS WE’RE NOT MEANT TO BE, RIGHT?!” Dia buru-buru membuka pintu kamar lalu melangkahkan kaki keluar, sempat membanting benda penghubung tersebut tepat di muka mantan kekasihnya, aw, mantan, Nesya rasanya masih nggak sanggup nyebut gitu, air mata berlomba-lomba turun walau tiada isakan, tangan merogoh ponsel dan menekan tombol darurat.

Yes Adik Manis?”

Mendengar suara ceria Andra, meruntuhkan pertahanannya, ia menangis bagai bayi ingin dijemput secepat mungkin. Kakak sulungnya sudah pasti panik, tergesa-gesa mengambil kunci mobil dan mengajak Shea tanpa memutuskan sambungan. Menenangkan Nesya yang terisak nyaring di lorong hunian Andrean nan remang-remang.

Ketika ia menuruni anak tangga, Jerry sigap menghampiri, mulut gatal hendak menanyakan namun Joel menggeleng, membuat si Manis berbalik berniat menghajar Jiel sampai mampus. Nesya juga tidak ngomong apa-apa, mendiamkan diri dalam pelukan hangat sang kakak, menunggu tak sampai lima menit.

“NES??!!!”

Andra dan Shea menghambur masuk, melihat adik mereka di dekapan Jerry, mereka langsung menarik figur langsing kesayangan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ketiga bersaudara Nuswantoro pergi begitu saja meninggalkan tempat kejadian.

Looks like your plan failed, Jerry,” Jayden membuka suara setelah sekian menit senyap. Jerry menghela napas panjang.

You should have mixed his drink with aphrodisiac instead,” sahut Jacob sangat kalem. Seperti tidak terjadi apa-apa, berbeda dari Jerry yang panik karena merasa bersalah.

“Bukan salahmu, Hun,” ucap Joel melihat kekasihnya menggigiti kuku sambil bolak-balik.

“Bukan salahku gimana? Nesya pasti marah banget sama aku, Yel!” si Manis terduduk pasrah di sofa, mengumpati diri sendiri sehingga Joel memeluknya erat, meredam segala kosakata kasar tentang kebodohan ide gilanya.

“Kamu udah bantu semampumu, Hun, don’t blame yourself only, Kak Jiel tuh yang otaknya nggak bisa ditebak,”

“Seratus buat lo, Jo,” celetuk kakak pertamanya, “mau dikasih jajan berapa?”

Joel memutar mata malas, bisa-bisanya Jayden bercanda di saat kayak gini. Dia membisikkan kata-kata keyakinan di telinga Jerry agar pemuda surai cokelat tidak terus menerus menyalahkan dirinya.

Sebuah langkah kaki cepat berderap bak kuda tertangkap indera pendengaran, mereka sudah tahu pelakunya, siapa lagi kalau bukan Jiel. Panik dan pucat pasi mendera raut wajah, berhenti mendadak melihat 4 pemuda lain di ruang tamu.

“NESYA MANA?!”

“Nggak usah teriak.”

Jiel semakin gusar, “Gue mau ketemu Nesya!”

“Lo mabuk anjir, sana tidur!” titah Jayden melototkan mata. Jiel bersikeras ingin pergi, bahkan menompakkan kaki seperti anak kecil.

“GUE MAU KETEMU NESYA!”

“NGGAK! LO MABUK!”

“GUE NGGAK MABUK! GUE SEHAT!”

Jayden sudah siap hendak melayangkan pukulan, beruntung punya pacar malaikat kayak Jacob yang telah menahan duluan. Air mata Jiel turun, dada menjadi sesak, hati terasa perih karena kehilangan pemuda yang dicintainya.

“Tidur.”

Jiel menggeleng, berlutut di depan sang kakak, “Please please gue mau ketemu Nesya,”

“Nesya udah pulang sama Kakaknya, dan lo pasti bakal diusir kalo maksa ke sana,” Joel angkat bicara, memang sih nadanya santai kekaleman tapi isinya menusuk rusuk Jiel sehingga pemuda itu mengeraskan tangisan.

“Kak pleasee gue.. gue mau minta maaf sama Nesya,..”

“Jiel..” Jacob menghampiri, memberikan elusan lembut di kepala berupaya menenangkan, “masih ada hari besok, kamu datangin dia besok aja ya? Malam ini kalian berdua capek, kalau besok kan capeknya udah hilang,” tak lupa senyum terulas berusaha melelehkan hati dingin sang adik pacar.

“Kak..”

“Kamu tidur dulu, okay? Nesya juga butuh istirahat, yuk kita ke kamar,” Jayden benar-benar lucky banget punya pasangan super duper perhatian even with his brothers sekalipun. Dia membantu Jacob memapah Jiel ke kamar, sekaligus membantu anak tengah merehatkan diri sejenak. Meninggalkan Joel dan Jerry tenggelam dalam opera sabun di rumah pemuda surai hitam.

“Yel..”

Joel mencium pipi kirinya, tersenyum lembut, “You’ll be fine, kita minta maaf sama orangnya besok, okay?”

Lambat laun Jerry mengangguk setuju walaupun sisi jahat dalam diri masih meneriaki dan menyalahkannya terhadap keretakan hubungan si adik.

. . .

Sementara kesenyapan penuh tekanan menyelimuti kendaraan roda empat yang dipacu oleh injakan pedal gas putra sulung. Di kursi penumpang di samping terisi dua saudara lain dimana si Bungsu meringkuk dalam dekapan kakak tengahnya.

“Nes?” bisik Shea mengelus kepala sang adik sayang, pemuda yang terpanggil masih sesenggukan walau berusaha ditahan, menyembunyikan wajah tepat di dada bidang. “are you okay, Baby?”

No..” sahutnya serak, tahu sangat kalau dia diam terus, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ajaran ibu mereka. Dilarang membungkam perasaan disaat sedang dilanda sesuatu, lebih baik diutarakan. “Adek baru putus sama Kak Jiel,”

CIIIITTTTT

Mobil terhenti mendadak beruntung jalanan sedang tidak begitu ramai dikarenakan sudah terlalu larut, Shea beruntung mendekap sang adik kuat karena ulah ceroboh kakaknya.

“Jiel pacarmu yang sok dingin itu?” tanya Andra setelah sadar pada perbuatan impulsif. Nesya mengangguk pelan, memeluk Shea lebih erat. “sialan! Emang lo kenapa, Dek?”

He doesn’t want to have sex with me so we fight over it,” gumam pemuda cantik pelan. Andra mengusap permukaan wajah kasar, benar-benar tidak menduga soal kejadian ini. Pantas saja adiknya minta jemput meraung-raung padahal seingatnya sebelum acara, Nesya mengancam semua orang untuk tidak mengganggu malam spesial ini.

Hah. Malam spesial apa kalau berubah petaka, huh?

Andra menggertakkan gigi, dapat dilihat dari cara dia menggenggam stir kemudi kalau dia betul-betul marah besar! “And he broke up with you?”

No, I did,” jawab Nesya lagi, helaan napas sangat jelas terdengar, “Adek gamau ngomongin,” mendengarnya membuat Shea dan Andra saling berpandangan kemudian menutup mulut sepanjang mereka melanjutkan perjalanan. Hati Nesya terasa remuk jika mengingat kembali, bagaimana gurat-gurat kemarahan tersampir di raut wajah Jiel atau kerasnya suara pemuda itu di gendang telinga. Dia menenggelamkan hidung sambil menutup mata, mengusir sekelebat rasa penyesalan yang tersesap di sanubari, dia tidak mau dihantui rasa bersalah, dia mau Jiel berada di posisinya selama beberapa pekan terakhir.

. . .

Nihil. Tiada jawaban, tiada sapaan, batang hidung pun tidak nampak. Berulang kali Jiel menyampir ke fakultas sospol terutama gedung jurusan IP setiap kelas Nesya berakhir tapi tak menemukan pemuda kesayangan. Dia hampir frustasi, stress naik menjadi depresi. Menyebabkan tidak fokus. Sudah dua minggu dia bolak-balik sospol-teknik, sama sekali nggak lihat Nesya di antara kerumunan.

“Hey, um, kenal Nesya Putra?”

“Adeknya Mas Shea? Kayaknya udah pulang,”

Jiel tersenyum pahit, mengangguk sebelum pamit undur diri setelah diberi harapan palsu. Dia berjalan lagi, ke tempat yang lebih mengenal sang mantan kekasih yaitu teman sekelasnya yang menangkir di lorong.

“Nesya udah pulang ya?”

“Eh, Kak Jiel.. iyaa tadi dia bareng sama Justin,”

Shit. Justin lagi Justin lagi. Pusat kecemburuan serta penghalang baikan di antara mereka. Kalau keduanya sedang marahan, pasti sosok Justin selalu muncul di saat Jiel nggak ada.

Sialan.

Jadi nyesel nggak minta kontak Justin.

“Lo punya nomor Justin?”

“Punya, Kak, mau dikirim-“

“Sebutin aja.”

Jiel konek kalo cewe yang ditanya ini modus minta nomor hp-nya, ia cepat-cepat menyahut dengan tampang sangat dingin, berhasil menggetarkan seluruh bulu kuduk. Si cewe juga buru-buru menyebut nomor, kikuk setengah mampus. Setelah dapat barulah pemuda tampan undur diri, langsung menelepon.

“Halo?”

“Ini Justin? Nesya mana?” Hening melanda beberapa detik, “Haloo?”

“Ngapain nyari?”

Kurang ajar.

Jiel menggertakkan gigi, “He’s my boyfriend, of course I’m looking for him,”

Terdengar dengusan remeh, menaikkan tingkat kemarahan pemuda itu, menggenggam benda elektronik kuat-kuat sudah siap hendak membentak.

You mean ex- boyfriend,”

Shut your fucking mouth and tell me where he is!” teriaknya marah mengagetkan beberapa mahasiswa di sekitar. Jiel berkilat-kilat emosi, berhasil menyebabkan kerumunam menjauh sambil menutup mulut.

Justin berdecak, “If you’re his boyfriend, you should have known where he was at the first place,” kemudian sambungan terputus sepihak, Jiel menggeram kesal, nyaris membanting ponsel ke tanah semen kalau amarah telah menguasai kesadaran. Dia tergesa-gesa memasukkan alat telepon lalu pergi angkat kaki dengan kepala mengarah ke satu tujuan.

Hunian Nuswantoro.

. . .

Bel berdering nyaring menggema di seluruh dinding rumah pada siang bolong. Deringan terus menerus ditekan sehingga membuat penghuni pun jengah mendengar nadanya. Andra gondok setengah mampus saat acara menonton drama terganggu karena bunyi menyebalkan tersebut. Dia hendak menyuruh Nesya, namun sekejap ia mengurungkan niat lantaran adik kesayangan tengah bermurung di kamar.

Dan sumber kemurungannya berani menampakkan wajah tepat di balik pintu.

Andra menggeram, hendak membanting benda penghubung namun Jiel lebih kuat.

“Kak, please..”

“Gak ada, gak ada, sana pulang!”

“Kak..” mohon Jiel memasang raut minta dikasihani, sedikit menyelipkan rasa iba dalam batin pemuda lebih tua, sebab tidak pernah melihat mantan adiknya seperti itu, namun ia harus bersikap tabah demi Nesya. “Kak.. Please gue mau ketemu sama Nesya,”

“Nesya gak mau ketemu ama lo!”

“Gue mau minta maaf sama dia, Kak..” si Dingin berlutut tanpa melepaskan dorongan terhadap pintu, Andra kikuk sekaligus bingung ingin mendorong balik, dia rada menyesal jarang ikut work out sama teman-temannya, kekuatan Jiel lumayan juga bro! “Kak Andra..”

Ah sial! Nes, mohon maap nih pacar lo terlalu ganteng buat dihantam pakai pintu. Jadinya, ia menghembuskan napas kasar lalu menarik pintu ke belakang, membiarkan Jiel limbung tetapi berhasil menahan diri seakan mempersilakan masuk.

“Kalo lo bikin adek gue nangis abis ini, siap-siap lo gak balik ke Andrean,”

Jiel mengangguk cepat, membersihkan debu tak kasat mata di bagian lutut kemudian mengucapkan terima kasih. Tanpa menunggu balasan, langkah panjang tersebut menapak di lantai keramik rumah keluarga Nuswantoro, hapal mati sama denah lokasi hunian ini. Ketika mata berpendar menemukan pintu berwarna soft pink dia mendadak deg-degan, berantisipasi juga sih, takut Nesya beneran nggak nerima dia.

TOK TOK TOK

Pemuda itu menggigiti kuku, kebiasaan buruk yang selalu ditegur sang kasih bila sudah gugup. Hatinya menghangat dan celos bersamaan, mengingat betapa Nesya sangat memperhatikan bahkan memahami sifat dinginnya selama mereka berpacaran. Dapat dimana lagi orang sebaik Nesya hah? Bodoh banget Jiel nyia-nyiakan hanya karena ketidaktertarikannya terhadap hubungan intim.

“Adek gak mau diganggu, Kak!” sahut Nesya dari dalam, suaranya serak, seolah menandakan dia sehabis menangis, hati Jiel sakit lagi, mengutuk diri karena sudah bertingkah laku terlalu keras pada kesayangan. Dia menempelkan telinga, hanya diam belum menjawab. Mungkin hal ini menggerakkan Nesya untuk bangkit karena penasaran. Biasanya Andra atau Shea setelah dibilang gitu ada aja sahutan, kok yang ini nggak ada.

Perlahan ia membuka pintu kamar dan terperanjat dari tempat pijak begitu netra miliknya dan Jiel bertamu. Tangan lentik refleks ingin membanting, insting yang sama seperti Andra namun pemuda lebih tua sigap menahan, berhasil menyusup ke dalam ruangan familiar seraya menendang pintu agar tertutup. Nesya mundur teratur, mata tak lepas dari pandangan Jiel, mengoyak-ngoyak memori kebersamaan mereka sampai belakang lutut terantuk ranjang, mengakibatkan ia terduduk seketika.

“Nes..”

“Ngapain ke sini?!”

Pemuda rambut hitam buru-buru berlutut, menangkupkan kedua telapak tangan memohon maaf. Nesya menatap tidak mengerti, atas dasar apa sang kakak berlaku menyedihkan kayak gini? Bukankah dia manusia paling benar sedunia.

“Kak-”

“Nes, Kakak minta maaf, Kakak nggak mau kita putus, please Nesya can we be together again? I’m sorry if I hurted you these weeks, maaf, maaf..” suara Jiel tercekat akan air mata yang bergumul di kerongkongan, dia benar-benar menyesali perbuatan buruknya beberapa pekan akhir. Nesya menelan ludah, jantung berdetak kencang selain tidak percaya dia juga luluh melihat Jiel meruntuhkan segala ego demi dia kembali ke pelukan. “please Nesya, I need you, I need you so much, I can’t live without you, please come back to me,”

Mungkin beberapa dari kalian yang membaca ini, ada tebersit rasa cringe atau mual mendengar Jiel sedesperate itu memohon pada Nesya. Tapi bagi Nesya tidak sama sekali, dia malah tambah sayang sama pemuda tersebut. Seorang Jiel Andrean, si manusia kutub kampus Teknik, yang nggak pernah dekat sama cewek, nggak pernah dekat sama cowok, selalu sendirian, jarang berinteraksi sama makhluk sosial, tiba-tiba meruntuhkan sikap dingin hanya karena kehadiran Nesya sendiri. He started to think he’s the only one for him.

“Nes.. Hiks...”

Oh, he’s so cute. Nesya lama-lama tidak kuat juga menahan diri untuk cengok. Dia memberanikan diri bangkit dari alas kasur lalu menghambur pelukan sangat erat. Membiarkan Jiel membalas tak kalah kuat sambil terus terisak di bahu landai beraroma vanila kesayangan. “Nesya.. Nesya I’m sorry..”

“Ssh.. Shh.. Iya iya Nesya maafin, Kak,” bisik pemuda cantik seraya mengusap rambut hitam tebal tersebut, bibirnya menyapu di puncak kepala turun ke permukaan kening, Jiel memejamkan mata, menikmati sapuan halus nan lembut milik sang kekasih.

“Nesya..”

Nesya tertawa geli, mengganyang pipi tembam pemuda itu sayang, “I’m yours, I’m yours..”

“You’re mine,” balas Jiel posesif, lengan panjang mengalung di pinggang, mendudukkan Nesya tepat di pangkuan, hidung bangir menyusup di leher, menghirup aroma memabukkan, “you’re mine and I’m yours,”

Pemuda cantik mengangguk dengan bibir bawah tergigit menahan desahan, helaan napas di sana seakan membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Nggak lucu dia terangsang di saat baru baikan gini, yang ada mereka putusan lagi hedeh.

Kedua sejoli kembali memadu kasih di atas kasur, dimana Jiel menyusupkan kepala di ketiak Nesya, mengecilkan diri meski tetap kelihatan bongsor sih. Kekasihnya mengalungkan lengan, masih tidak percaya pada kejadian ini.

“Kamu tahu kenapa Kakak nggak mau nyentuh kamu?”

Jantung Nesya berdetak tidak keruan, astaga, please, please jawabannya jangan mengecewakan.

“Kenapa Kak?” He heard himself asking.

Jiel mendongak, memadu pandangan dan terdapat keseriusan di sana, “Because I think it’s not important in the first place,”

Dahi Nesya mengerut, tidak memahami konteks dibalik jawaban itu. “Why?”

“Karena kamu terlalu berharga buat dikotorin kayak gitu,” aneh, tidak masuk akal, entah kenapa Jiel banget. Pemuda kelahiran April masih tidak mengerti sama jalan pikiran sang pacar, apa terlalu polos atau begimana?

“Kak..” dia memulai, Jiel menggumam penuh harapan, “that’s it? Just because you think I’m too precious, you hate... sex?”

It’s not that I hate, okay? I just thought it’s not important,”

You mean we’re in platonic relationship?” tanya Nesya menaikkan satu alis. Berbeda dari Jiel yang memiringkan kepala.

What’s platonic?”

Ya Allah, Nesya punya pacar beneran polos kayaknya. Heran deh, Jayden sama Joel kok kelihatan berpengalaman tapi berbanding terbalik sama Jiel. Penelitian memang benar, kalau anak Tengah pasti keluar dari jalur keturunan. Contohlah si Shea. Nesya berusaha menahan tawa, tapi lama-lama lepas juga, Jiel makin tidak paham, hanya menikmati bagaimana pemuda cantik tersebut mendekap lebih erat.

“Kakak belum ngerasain, makanya Kakak bilang gitu,”

Jiel mengendikkan bahu, “Gak ada keinginan buat ngerasain,”

Even with me?” ucap Nesya pelan, kali ini mengelus rahang tegas sang kekasih secara lembut, sudut bibir naik sedikit dengan kelopak mata dipermainkan. Jiel terpana sesaat, menatap lurus terhadap kecantikan tersebut. “how did you feel when we kissed, Kak?”

Jiel menegak ludah, mengerjap-ngerjapkan mata, agak gugup mendapat pertanyaan, apalagi Nesya kini mengusel wajah menggunakan hidung, bibir tak luput dari setiap permukaan, “It..” sial suaranya mana anijr?! “it feels nice..”

“Heum.. Just nice?” pria lebih muda menjadi lebih berani membalikkan posisi mereka. Mengukung pergerakan si Kutub di bawah figur langsing. Jiel otomatis melayangkan genggaman di pinggang, meremat ragu-ragu.

Honestly, when we kissed there’s something inside of me wanted to explode,” bisik pemuda itu sangat pelan. Nesya menumpu badan menggunakan siku, mendekatkan jarak antarwajah hingga deru napas saling menerpa.

Is it?”

Jiel mencoba mengangguk, terpesona pada setiap pergerakan Nesya di atasnya, entah kenapa ia menyukainya, merasa bodoh karena telah melewatkan momen keintiman selama setahun. “Like I want to touch you so bad, but a part of me said no,”

Nesya menunduk, menempelkan bibir sangat tipis, tetapi sudah berhasil menjatuhkan jantung Jiel ke selangkangan. Pemuda cantik menggerakkan selatan, menemukan sesuatu menyembul di balik jeans. Dia tersenyum lebar, menggoda rona merah di parasan sang kasih. Haha. What a virgin.

Heh. Ngaca ya Nes.

“Oh so you want to touch me?”

“Y-Yes..” erang Jiel dirasa Nesya menggesekkan organ intim. Apa yang salah dengannya? Kenapa tiba-tiba dia tidak bisa bergerak? Mendadak kaku dalam kekangan pemuda kesayangan, memasrahkan segala logika yang tertendang oleh kilatan nafsu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Nes..”

Easy, Big Boy,” Nesya menyengir, menyapukan lidah di rahang bawah lalu menggigit perlahan. Pinggul masih setia mengadu kejantanan, padahal dalam hatinya ia tak sabar melakukan lebih dari ini. “Kakak percaya sama Nesya kan?”

Jiel mengangguk lagi, “Percaya,”

Will you runaway if you see me naked?”

“Ya enggak lah!” Walaupun belum pernah membayangkan Nesya telanjang, Jiel tidak sebrengsek itu main kabur hanya karena kekasihnya polosan. Dia tidak berpikir sejauh itu saja, dan menganggap seks sebagai topik tabu terutama antarlaki-laki.

Nesya menempatkan bokong tepat di gundukan, dia gemetaran sendiri menikmati batang tertutup kain melesak di belahan pipi. “S-shit.. ngh.. y-you trust me right?”

Tangan Jiel yang berada di pinggang meremat lembut pertanda meyakinkan, dia berusaha bangkit menyejajarkan mereka. Kali ini ia bergerak duluan, menyosor leher si Cantik dengan beberapa kecupan kecil, mengakibatkan tawa geli membuncah diselingi rematan pada surai hitam. Jiel tersenyum lembut, memagut bibir tebal di hadapan candu.

“K-Kak..”

“Iya Sayang..”

Nesya menangkup kedua pipinya, menatap dalam-dalam penuh keseriusan, “Are you sure you want to take this step?” Dia menerima sebuah anggukan dan kecupan manis, sukses melelehkan seluruh persendian.

I’m sure, Nesya,”

“Kakak nggak bakal kabur kalau kita masuk permainan inti?”

Si Tampan menggeleng, “Teach me, Nes, teach me everything about you,” pemuda April sebenarnya masih terselip keraguan, namun memutuskan untuk melangkah perlahan.

Do you know that I’m the one who will get fucked?”

Do you want to?” tanya Jiel lagi. Sepertinya agak lama mereka akan masuk ke tingkat yang sebenarnya dikarenakan kakak kesayangan tidak tahu cara berhubungan sesama pria. “Kakak dengar itu sakit, Nes,”

“Dengar dari siapa?”

“Jerry? Kamu tahu kan omongan dia nggak pernah disaring?” Nesya tergelak sambil menutup mulut, kebiasaan kalau lagi ketawa, Jiel bahkan tersenyum melihatnya, rongga dada terasa menghangat padahal mereka sedang dalam posisi menjanjikan. “do you think you can take it?”

Nesya mengangguk, “Do you want me to show you how I’ll take it?” tanyanya malu-malu, terlihat dari semburat merah muda mengapung di parasan pipi tembam. Jiel mengerang saat kejantanan menggeliat, meminta segera dilepaskan.

“Will you?”

Of course, Baby,” jawab si Cantik tak lupa mendaratkan ciuman di sudut bibir, “only if you’re willing to watch,” Jiel mengangguk sangat cepat, otaknya tidak sabar ingin melihat rupa kekasihnya merintih di atas kasur sambil mempertontonkan bagaimana ia memuaskan diri.

Pasangan itu kembali memadu kasih dengan jari jemari cekatan melucuti pakaian. Membebaskan kulit dari panas material kain, sampai tak bersisa apa-apa. Sesama warna porcelain beradu satu sama lain membuat Jiel terpana sejenak.

“Woah.. Nes..” ia berdecak kagum, telapak tangan besar merayap dari pundak landai menuju dada sampai ke perut datar, mendengarkan ringisan kecil terlolos dari mulut Nesya. “kamu cantik banget..”

“K-Kak..” erangnya tertahan, menarik tengkuk jenjang agar mempertemukan bibir mereka. Lumatan tercipta terlihat tidak sabar, lidah bergelung saling mengenal, Jiel melesakkan indra pengecap begitu rongga terbuka, mengabsen geligi putih, menyalurkan saliva di setiap celah, Nesya tak berhenti mengeluarkan erangan, tidak ada keinginan untuk menahan.

“Nes.. ngh..” Jiel memutus tautan dirasa pasokan oksigen menipis, mereka terengah-engah diiringi tawa menggemaskan dan dekapan kasih sayang. Pemuda dingin bergerak menindihi pemuda lain, menyerang titik-titik sensitif secara acak, terkadang menggigit bagian tersebut. Nesya melolong keenakan, badan gemetar hebat semakin membuat Jiel terpesona.

Dia tidak menyangka kalau setitik kecil perbuatan bisa mengakibatkan hal yang besar pada Nesya.

Nesya tidak tahan lagi, ia mendorong Jiel agar duduk di tengah selangkangan saat melipat kaki. Jantung berdegub kencang antara malu dan percaya diri terutama saat melihat kilatan nafsu tersampir di netra tajam Jiel. “Kakak bisa ambilin botol di laci situ?” tanyanya menunjuk ke arah benda yang dimaksud. Pemudanya mengangguk, bergerak cepat menuju meja sebelah kasur, mengacak isinya sebentar lalu menemukan botol berukuran sedang berwarna merah muda.

Nesya and his obsession over pink.

Okay, don’t freak out.” ujar si Cantik setelah mengeluarkan cairan bening dari tempat. Jiel tidak menjawab, dia bukan freak out melainkan speechless karena tak tahu hendak mengatakan apa. Dia memposisikan diri tepat di antara kedua kaki Nesya, memandang lurus ke gerakan tangan kanan sang kekasih. Manik tak lupa melirik ke penis kekasihnya sendiri, mengacung tegak padahal belum diapa-apain.

Jari tengah lentik mengitari liang, Nesya sebisa mungkin rileks, walau rasanya nggak mungkin terlebih lagi ditatapin lapar kayak gini. Namun, begitu kuku maupun parasan menyusup sedikit, ia dapat meloloskan sampai buku jari, manik terpejam erat, tangan kiri mencengkram seprai. Dia berusaha menjaga keseimbangan kaki agar tetap membuka mengekspos semua.

Jiel menegak ludah dirasa tenggorokan mengering, melihat sebuah jari bergerak maju mundur melewati anal entah kenapa membangkitkan nafsu hendak mengambil alih, seperti ingin menggantikan posisi tersebut, dia tidak menyangka kalau Nesya tak sepolos yang ia pikirkan. Apa selama setahun ini pemuda itu menyembunyikan semua dari dia?

Pemuda yang dipikirkan sibuk merintih seperti yang dibayangkan beberapa menit lalu, kain seprai menjadi kusut akibat pergerakan punggung mengikuti ritme jari. Bertambah menjadi dua, terasa kebas meregangkan lubang. Nesya sudah pernah mencoba, dua minggu lalu ketika acara makan malam. Dia diajarin Jerry tentang kebersihan bagian sana, dipersiapkan sedemikian rupa karena akan ada benda asing yang masuk. Beruntung ia selalu membersihkan kalau-kalau ada kejadian mendadak seperti sekarang.

Fuck.. Fuck.. Kak Jieeelll..” desahnya menegang sewaktu ujung digit mencolek selaput sensitif, adik kecil mengeras menggeliat di abdomen, ujung kepala mengeluarkan bulir putih, membasahi kulit membuat Jiel menjilat bibir bawah, dia merayapkan tangan ke milik sendiri, mengelus perlahan, menambah ketegangan. Telinga menangkap desahan demi desahan mempercepat genggaman.

“Ah.. ah.. Nes..” bunyi apa yang keluar dari mulutnya secara tiba-tiba? Lenguhan panjang beserta napas memburu ketika ia mengusap puncak kepala kejantanan dengan ibu jari. Nesya berhenti sejenak, menarik oksigen seraya menarik tiga digit, liang berkedut hampa saat ia menopang badan menggunakan lengan kiri.

“Masukin Kak..”

“S-sekarang?” tanya Jiel panik. Nesya mengangguk, bangun sebentar merangkak menghadap Jiel yang kelabakan melihat pergerakannya, apalagi ketika pemuda cantik tersebut mendekatkan diri seraya bernapas di adiknya. “Nes..”

“Boleh ya?”

“Mau ngapain?”

Nesya tertawa renyah, menggenggam pangkal yang mengeras di telapak tangan mendapati lenguhan halus, “Mau kulum,”

Jiel terbelalak, “Emang bisa?”

Watch me,” si Cantik menjulurkan lidah untuk memberi jilatan bak kucing di kulit batang, merasakan geliatan kecil serta Jiel yang mendadak merinding, ia menyengir kesenangan, menyapu benda lunak dari tengah hingga ke puncak, sangat-sangat pelan, kontras sekali dengan kerasnya milik Jiel. Mengumpulkan ludah di mulut, ia menjatuhkan setetes tebal tepat di lubang, mendengarkan desisan berat.

“Nes ya Tuhan..”

Nesya tidak menjawab, melainkan membiarkan air liur menitik membasahi kepala sebelum ia mengocok perlahan agar licin, ia meludah lagi, dan Jiel mengeraskan erangan, jari-jemari mencengkram seprai sebab tidak tahu hendak kemana. “Kak, tarik rambut Nesya,”

“Huh? O-ohh..” pemuda itu mendongak saat tiada angin hujan Nesya bergerak memasukkan. Dia dapat merasakan kehangatan rongga basah melingkupi sekujur batang, bagaikan memotong sirkuit kesadaran di otak. Tangan bergerak memegangi Nesya, yang kini menghisap naik turun tak lupa meniruskan pipi tembam. Bunyi campuran saliva maupun bulir keputihan di puncak terdengar panas di gendang telinga keduanya, perut Jiel terasa mengencang akibat stimulasi berlebihan.

Ya. Namanya juga perjaka. What do you expect other than coming undone?

“Nes.. ah.. Nes..” cengkraman di surai hitam menguat begitu pula pinggul yang hendak menghentak ke atas, meminta lebih. Nesya menjauhkan sedikit supaya tidak tersedak, menahan paha Jiel erat.

Do you wanna come?”

Jiel tidak tahu harus bilang apa selain mengangguk, Nesya mengocok batang lebih cepat sambil mendengarkan desahan lolos dari mulut sang kekasih. “Ah! Ngh.. Nes!” pemuda cantik tidak menghindar begitu untaian putih menyapa pandangan, mendarat di sisi kanan kiri hingga ke bibir. Dia setia memainkan lembut, menghabiskan sisa-sisa pelepasan. Jiel kagok setelah klimaks, mendadak kosong hanya terisi oleh aroma memabukkan pemuda kesayangan.

“Sayang..”

Nesya mencolek benih di pipi kemudian membawanya ke mulut, menyesap rasa mani milik kakaknya seraya mengerang nikmat, “Shit.. nggak sabar dipenuhin ugh..”

“Kamu belajar darimana sih?”

Research for a year,” Nesya mengendikkan bahu, kini menuangkan cairan pelumas di atas batang, mengakibatkan Jiel gemetar lagi akibat sensasi dingin setelah dihangati mulut, jemari lentik menggenggam sesekali mengocok pelan, melumuri setiap nadi, “and listen to other people’s experiences of course,”

Perasaan menyesal dan bersalah menggrogoti sanubari, Jiel menaruh telapak di atas punggung tangan, menghentikan kocokan Nesya yang membuat si Cantik bertanya-tanya, manik kedua sejoli bertemu, dan barulah ia paham yang dimaksud kakaknya.

“Maaf Nes,”

Hey, stop saying sorry okay? Nesya lagi ngocokin Kak Jiel loh, kita udah sejauh ini masa Kakak minta maaf lagi?” gerutu pemuda surai hitam menggembungkan pipi, Jiel menariknya ke dalam pelukan erat, tidak mau melepaskan. “Kakakkkk..”

It’s just.. I’m fucking stupid, right?”

Yes, and a jerk,” balas kekasihnya gemas, mencuri kecupan di bibir yang menyatu, Nesya mengalungkan lengan di tengkuk, menatap dalam demi menyalurkan rasa sayang yang berlebihan, “tapi Nesya terlalu cinta sama Kakak, sampe Nesya tutup mata sama semua kelakuan Kak Jiel dari awal kita pacaran,” lanjutnya kemudian mempertemukan bibir mereka tanpa mendengarkan balasan si Dingin. Lidah saling beradu kali ini dalam mulut Jiel, giliran Nesya memimpin dominansi dan terjengit saat tangan besar mengocok kejantanan di bawah. “fff-“

I can kissed you all day, Nesya..” bisik Jiel berat di sela-sela tautan.

Nesya menggeleng, “Nu uh, you have to fuck me now, Big Boy, I can’t wait to be filled by you,” balasnya tak kalah kotor, menyebabkan Jiel merengek tidak sabar sementara ia menertawakan. Nesya merebahkan diri senyaman mungkin, menaruh bantal tepat di bawah pinggul supaya tidak encok mendadak bila Jiel menggoyang kasar.

“Ini buat apa?”

“Nggak paham, biar punggungnya nggak sakit pas Kak Jiel genjot,” segala kalimat yang meluncur di pita suara Nesya benar-bensr mengaktifkan saraf di seluruh nadi Jiel, berkumpul di satu titik yaitu penisnya, ia mendengking bagai anak anjing, tak berhenti digodai kekasih. “Kak ayooo!”

“Nes kamu yakin?” adiknya sudah mengangkang selama beberapa menit tapi Jiel masih juga ragu ingin memasuki walau pingin. Dia menjilat bibir saat memandang liang Nesya yang berdenyut-denyut minta diisi, tak percaya mereka akan melakukan ini.

“Ya Allah Kak Jiel! Nesya teriak ya!”

“Eh.. jangan! Nanti Kakak diusir Kak Andra,”

Si Cantik memutar mata malas, melipat kaki di atas dada seraya melototkan mata, “Come on, Jiel Andrean.” Terburu-buru pemuda yang dipanggil dengan intonasi dalam memposisikan diri tepat di lubang, tangan kanan memegangi pangkal, menuntun menuju sarang. Precum lengket tersemai di sekitar, mengakibatkan sang kasih melenguh tak sabar, ia mencoba menyusupkan ujung mahkota, namun malah meleset ke atas, menyentuh bola Nesya.

“Ya Allah, Kak!”

“Susah ini Nes..” keluh Jiel diambang menyerah, Nesya menggeram gregetan kemudian bangkit setengah badan, meraih batang panjang nan tebal tersebut, mengarahkannya ke liang, dia harus rileks, mengingat pesan Jerry untuk tetap santuy meski diterobos benda tumpul. “ngh.. Ness..”

“Ssh diem!” Nesya menarik napas, melihat ke bawah pada penyatuan pertama mereka, dia jadi berpikir seharusnya ia mengambil 4 jari kalau ternyata adik Jiel sebesar ini. Kakaknya masih meringis, sedikit-sedikit merasakan miliknya dilahap perlahan. “fuckk.. tahan Nes!” jerit pemudanya tiba-tiba, sumpah ini nggak ada enaknya sama sekali how on earth Jerry can take it hah?! Isi otak Nesya diaduk oleh rasa sakit akibat peregangan, dia ada rasa mual juga menyampir tapi berusaha ditahan. Dia sudah nunggu 1 tahun buat begini, masa mundur gitu aja?

“Sayang? Hey..” Jiel menangkup pipi tembam, memeriksa keadaan kesayangan, sebercak kristal bening menutupi pandangan, ia pun menenangkan meski penisnya diselimuti kesempitan. “kalau sakit nggak usah dipaksa ya?” Nesya menggeleng, menyandarkan kening di bahu tegap, mengatur napas berusaha mengalihkan perih.

“Bisa kok, bisa!”

“Oke, oke, take your time, kita punya banyak waktu kok,” bujuk Jiel kembali kini melayangkan kecupan di leher, menggigiti area sensitif hingga tercipta bercak kemerahan, sepuluh jari merayap menggrayangi titik ero lainnya, mengingat puting Nesya belum disentuh sama sekali. Parasan digit menekan sedikit, memainkan bak tombol remote, menemukan pemuda lain bergetar nikmat dan berhasil menyusupkan batang sampai setengah.

“Ah.. Kak.. bentar..” Jiel mengangguk berhenti menghisap begitu Nesya rebahan lagi. Dia mencoba bergerak menindihi, tak sadar gerakannya semakin menanam organ. “fuck! P-penuh..” gumam Nesya menarik napas, perih tidak lagi dipedulikan, terganti oleh keenakan. Apalagi saat memandang ekspresi Jiel dari bawah.

“Nes.. ugh.. sempit..”

“Y-ya iya..” Nesya berusaha bercanda, padahal meregang nyawa, “k-kan perawan,”

“B-bukan itu Sayang..” mereka berkomunikasi terbata-bata disebabkan cepatnya mengisi udara. Mata bertemu bersamaan bibir memagut mesra. Bagian selatan diam sebentar agar terbiasa.

Helai demi helai rambut Nesya disingkirkan karena menutup wajah, Jiel mematri senyum lembut dengan jantung berdetak kencang mendapati rupa sempurna milik pacar. “Kakak beruntung banget bisa milikin kamu, Nesya,”

Semburat malu merebak di pipi keduanya, terasa seperti kembali ke masa-masa pendekatan, awal-awal pacaran, dimana Nesya sendiri tidak menyangka kalau ia berhasil menggaet manusia kutub seantero kampus.

“Nesya juga beruntung bisa dapetin Kakak,”

Be mine forever, okay?”

Sebuah anggukan dan kecupan lembut menjadi tanda keyakinan Jiel, Nesya membalas tak kalah sendu sembari mengisyaratkan untuk mulai menggoyang. Pemuda tampan tersebut memundurkan pinggul, sangat pelan, penuh kehati-hatian, takut gesekan mendadak merobek dinding si adik. Nggak lucu first time mereka berakhir di rumah sakit. Dia menahan napas begitu kepala masih tertanam, lalu bergerak maju hingga pangkal lenyap.

“AH!” Nesya mendesah nyaring, meremat lengan kekar di sisi badan, punggung membusur indah. Jiel tidak menunggu lama, ia mundur setengah dan menggenjot kecil-kecilan. Menyamakan ritme napas masing-masing. Nesya berulang kali merasa kepalanya berputar akan nikmat, ujung penis menubruk lebih jauh, melesat ke selaput rentan. Kejantanannya sendiri sudah mengeluarkan cairan, membentuk kubangan kecil di abdomen mungil.

“Aah.. ah.. Kak Jiel..”

Jiel hanya membalas dengan geraman dalam, terengah-engah bak dikejar anjing galak tepat di telinga pemudanya, menambah keseksian serta rangsangan terhadap mereka berdua.

“Kak.. f-fuckk.. ngg..” dia menampar-nampar pundak Jiel agar berhenti sejenak, tidak dapat menahan lebih lama lagi pada orgasme yang melanda. Ini bahkan lebih hebat dari dia mastubasi sebelumnya. Jiel juga tidak kuat, selang beberapa detik setelah Nesya tiba, dia menggoyang sekali dan klimaks di dalam. Pinggulnya gemetaran oleh stimulasi berlebihan. Menyebabkan keduanya sampai meski permainan tidak mencapai lima belas menit.

“Haah.. haaah Kak Jiel..”

“Nes maafff..”

Nesya tertawa keras, suaranya parau karena kebanyakan teriak, nggak habis pikir kalau first time mereka seamatir dan terlalu sebentar. “Kak Jiel lucuuu..”

“Kelakianku patut dipertanyakan,” erang si Dingin kesal, dia tidak dapat menduga kalau dia keluar secepat itu, dua kali pula. Nesya menariknya ke dalam pelukan, menempelkan badan lengket bersamaan. Tiada niat melepas tautan. Kedua sejoli sibuk menikmati kehadiran satu sama lain.

“Namanya juga pertama kali,”

“Tapi malu Nes!”

“Wajarlah.. Kakak kan masih perawan,”

“Perjaka ya bukan perawan,”

Si Cantik mengusak surai tebal itu gemas, menemukan kerucutan bibir dari sang kekasih sangat sayang jika dilewatkan. “Next time kita pakai cock ring,”

Cock apa?”

“Ya Allah Kak Jiel, otak aja encer tapi masalah ginian aja nggak paham!” cetus Nesya sebal, Jiel hanya menyengir, mendaratkan kecupan di bantalan ranum pemudanya yang merengut-rengut.

“Nanti kita explore bareng,”

Manik Nesya berbinar-binar semangat, merasa senang ketika Jiel mengajaknya menelusuri keintiman mereka bersama, ia mengangguk antusias kemudian memeluk erat. “Yess okay, let’s explore it till the end,”

Jiel membalas dekapan tidak kalah kuat sambil menghirup lamat-lamat aroma familiar nan nyaman milik Nesya. Dalam hati ia bersyukur masih dikasih kesempatan kembali ke pelukan tersayang walau sempat dua minggu dilanda kegalauan. Dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan pemuda cantik ini hanya karena hal sepele atau hal besar lainnya.

Dia harus lebih peka, dia harus lebih memahami perasaan Nesya. After all, he’s the one that willing to be with him right?

. . .

“Nes.”

“Iya Kak?”

“Jangan kasih tau Jerry ya kalo kita keluar nggak sampe lima belas menit.”

Tawa keras kembali membahana di seluruh penjuru ruangan putra bungsu Nuswantoro.

. . .

©️finn

Joel and Jerry

jumil lokal🔞

berisikan konten rimming and ass eating

. . .

Pertanyaan yang akhir-akhir ini ingin diungkapkan oleh Jerry sehabis pulang kuliah ataupun berkencan adalah kenapa Joel sering membuatnya mengangkang dan menyantapnya bagaikan sebuah makanan mewah bintang lima.

Dimanapun.

Kapanpun.

Dalam kesempatan apapun.

Hal ini ia utarakan kepada sahabat masa kecilnya kala kedua sekawan menempatkan diri di salah satu bangku kafetaria kampus teknik.

“Lo pernah dimakan nggak sih?”

Icha tersedak dari makan siang, mata melotot memandang sahabatnya yang tampak tidak tahu menahu. Posisi kantin sangat ramai, tapi Jerry cuek sama sekali.

“Jerry, you do know this isn't the right place to spill your issues, don't you?”

Jerry menghela napas, mengetuk-ngetukkan jari, “But..” bahu agak lunglai sedikit sambil memainkan bibir, menatap sekeliling hanya mendapat kerlingan menggoda dari beberapa mahasiswa, terutama kakak tingkat. “aku heran banget sama Joel, masa setiap kita mau begitu, nggak pernah ngelewatin rimming,”

Gadis rambut cokelat tersebut berhenti menyuap daripada dia dibuat mual oleh penuturan, mengangguk pertanda menyiapkan telinga terhadap segala curhatan. “Fine, go on, and for your question, yes, I ever,”

“Berapa kali?”

Icha memandang langit-langit kafetaria, mengingat-ingat seberapa banyak frekuensi dia dan Shea berhubungan intim selama beberapa minggu terakhir. She has a wild sex life too, you know.

Everytime?”

“Dan lo nggak jijik?”

“Eng.. hmm..” bagaimana cara menjawabnya, Icha menggaruk tengkuk kikuk, “it feels good, Baby,

Jerry menaikkan satu alis, “How about ass?”

“Ew, no, I have pussy why would he want my ass?” balas sang kawan lebih cepat dari kereta ekspres. Pemuda manis itu menghela napas panjang, benar-benar tidak tahu harus curhat pada siapa lagi, yang lebih nyambung atau lebih relate sama situasinya.

Seandainya ada pemuda gay berstatus bottom di sini…

Speaking of the devil, seseorang familiar muncul celingak-celinguk dari arah kiri, Jerry menajamkan pandangan sebelum bangkit berdiri melambaikan tangan penuh semangat. “NESSS!!!”

Pemuda yang terpanggil menolehkan kepala, mata membulat kemudian berlari menghampiri. “Kak Jerry!”

“Astaga kamu ngapain sesat ke teknik?” tanyanya langsung merangkul tubuh langsing kekasih kakak Joel, menghirup aroma vanila yang tak kalah harum dari dirinya. Jikalau dia primadona Teknik maka Nesya di sini primadona Sospol, dimana kedua-duanya telah digaet oleh Andrean bersaudara. Nesya pun adik dari ketua BEM Teknik, kakak tingkat Jerry di jurusan Teknik Sipil.

“Tadi Kak Jiel suruh aku ke sini tapi daritadi nggak ketemu,” Nesya menjulurkan bibir bawah, tak sengaja beralih pandangan ke gadis lain di sana. “Eh Kak Icha!”

“Sombong, yang dilihat cuman Jerry doang,” gerutu si gadis memutar mata malas, sementara Nesya menghambur pelukan, ikut duduk di samping calon kakak ipar.

“Nes, mumpung kamu di sini aku mau tanya deh,”

“Tanya apa, Kak?”

Brace yourself,” bisik Icha mengedipkan satu mata kemudian melanjutkan makan, Nesya masih tidak mengerti dan Jerry hanya menyengir.

“Kamu sama Jiel, sudah sampai mana?”

Belum ada respon melainkan kerjapan mata kebingungan. “Maksudnya?”

Your sex life-“

“Ewwhh Kak!” pekik si Cantik menyeringitkan wajah, Icha sudah tertawa keras nyaris mencekik tenggorokan karena ekspresi dari adik tingkat mereka. Jerry mengerucutkan bibir, tampak menunggu jawaban. “what on earth-“

Something’s bothering me with Joel,” jawab pemuda itu, “dia suka banget rimming sampai dia nggak pernah masukin lagi,”

Nesya menatap Icha, dan kekasih kakaknya menganggukkan kepala, “Jadi Kak Jerry minta pendapat aku sesama pihak yang dimasukin?”

“Bener! Apa Kak Jiel pernah gitu juga sama kamu?”

“Eng.. gak sih, I mean he likes eating me out but not that extend,” tutur pemuda rambut hitam itu mulai mencomot kentang goreng, mengabaikan air muka Icha bagai diperas lemon, asem nggak ketulungan. “kayaknya biasa aja,”

Do you think he’s weird just because he likes it?”

As long as you cleaned-“

Oh my god shut up I’m feasting my lunch, okay? Jerry, kalo lo merasa down gara-gara Joel kebanyakan makan lo, mending omongin deh sama yang bersangkutan,” omel Icha pada akhirnya menghentikan diskusi omong kosong ini. Nesya menutup mulut menahan kekehan sedangkan Jerry bersungut-sungut.

“Cha, this is serious matter, don’t you get it?”

And then? Ada yang berubah dari lubang lo? Masih tetep rapet kan?”

Kali ini si adik tingkat tertawa lebar, menandak-nandak akan kekejaman mulut gadis di samping, Jerry duduk pasrah sebab tak bisa melawan. Oke baik, lubangnya nggak kenapa-kenapa, tapi apa Icha pernah merasa geli dengan semua itu?

Bayangin, lidah bermain di sana, mengitari seluruh permukaan liang, lalu pelan-pelan menembus- oh shit, Jerry dapat merasakan lubangnya berkedut perlahan, membuat ia terjengit dari tempat duduk.

“Jer?”

It feels weird, okay?! Coba lo bayangin dijilatin di bagian paling intim sedunia,”

“Lo keluar gak?” tanya Icha penuh penekanan, Jerry menegak ludah, sedikit takut pada ekspresi menyeramkan tersebut.

“Dua kali,”

“Ha? Only from rimming?” kali ini Nesya ikut menimpal, tidak percaya pada indra pendengaran sendiri.

That’s because he’s only doing it from the start, Nesya..” balas Jerry gemas, tangan sudah siap hendak meremas muka tembam si adik, apalagi dia sedang cengengesan tanpa dosa, seperti tak pernah bertanya sebelumnya.

Icha menggumam, “Talk about it, will ya? Nggak ada gunanya kamu tanya begini ke kita, itu sama aja kamu bocorin kehidupan seks kalian berdua,” ucapan sang sahabat berhasil menyebabkan dengusan Jerry, ditambah bola mata memutar sinis.

Says the one who talked about her cock-warming to me,”

Dua sekawan terlibat ajang jambakan rambut yang dimana Nesya panik menciptakan kegaduhan di kantin sampai Jiel datang melerai.

Oh, ada Joel juga baru selesai kuliah. Menyeringitkan dahi keheranan usai menemukan sang kekasih membentuk sarang burung di kepala sambil merengut menggemaskan. Dia hanya mengulas senyum manis sambil merapikan helaian demi helaian tanpa mengacuhkan tatapan banyak makna di tempat tongkrongan tersebut.

“Kok bisa sampai jambakan gitu?”

Jerry menghela napas keki, benar-benar deh hari ini sudah berapa banyak dia bernapas senyaring itu. Tidak tahu karena kegundahannya yang tersimpan, atau bekas cakaran kuku Icha yang masih terasa di ubun-ubun.

Kedua sejoli memadu kasih di kasur si Manis. Dengan ia berbaring menatap langit-langit sementara Joel menyusup di antara dua kaki, menumpu dagu tepat di perut, menunggu jawaban seperti anak baik.

“Aku juga punya pertanyaan,” ucap pemuda rambut cokelat mensejajarkan pandangan, cukup terpana melihat ketampanan kekasihnya meski dari bawah sekalipun. Tidak, tidak, bukan waktu yang tepat.

Shoot.”

“Kenapa sih kamu suka makan aku?”

There. He said it.

Kening Joel berkerut, bibir plump termaju, isyarat sedang berpikir dan mencerna arti pertanyaan. Jerry masih menatap, giliran menunggu respon. “As you mean?”

Don’t you think you’re rimming me too much?” bisik Jerry sangat pelan ketika mengulas balik perlakuan Joel pekan terakhir, mengakibatkan kedua telinga merebus disertai semburat merah muda di pipi. Bagi Joel, dia terlalu cantik buat dilewatkan, terlalu sayang buat diabaikan. Jadinya, pemuda tampan itu malah menyamankan dagu untuk mengadu pandang.

I.. don’t?”

“Oyel, aku bukannya nggak suka rimming, tapi-“ ya Jerry apa yang membuatmu mengeluh? Bukankah that’s part of the fun? Bahkan membantu dalam persiapan sebelum dimasukkan benda besar macam adik Joel. Apa yang membuat ketidaksukaan itu muncul, Jerry? “don’t you think it’s dirty? Like.. kamu makan pake mulut, pake lidah, tiba-tiba kamu taroh semua itu di.. situ..” dia hendak menebas wajah tampan Joel yang sedang menahan tawa, memicingkan mata karena dianggap candaan.

“Loh? Lanjutin, Hun..”

“Kamu ngolok!”

“Engga Ya Allah, engga Sayang, yuk yuk dilanjut aku mau denger keluhanmu sampai habis,” kata Joel mengangguk meyakinkan, netra memancarkan kelembutan disertai cinta sehingga mau tak mau Jerry mendadak meleleh melihatnya.

Sial. Senjata Joel nih.

“Ya pokoknya intinya rimming itu jorok, Oyel! Terus kamu nggak pernah masukin aku lagi semenjak suka makanin aku, am I like a food? Apa aku keliatan kayak hidangan? I’m starting to miss my Little Oyel,” beberapa kata terakhir hanya digumamkan tidak jelas oleh Jerry yang menutup wajah menggunakan lengan, tidak sanggup melanjutkan protesan karena di sisi lain, tidak ada yang salah dengan eating out or anything relate to that. Dianya saja yang tidak menyukainya. Pemuda manis tak begitu menyadari pergerakan kecil si Joel, merangkak tepat di atas, tapi tak berniat menindihi, satu tangan menarik hati-hati dari permukaan, tersenyum tipis mendapati sang kasih terisak kecil.

“Sayang?” bisiknya pelan, mendusel hidung tepat di pipi tembam.

“Maaf Yel, aku tahu ini nggak penting,”

“Siapa bilang heum? Harusnya kamu ngomong gini daripada nahan diri kayak kemarin-kemarin, this is serious matter cause you don’t like it, Hun, aku nggak boleh bilang ini nggak penting,” jawab Joel setia mematri senyuman, hatinya celos juga lihat pacarnya nangis gara-gara kesenangannya, “aku minta maaf, okay? Aku janji nggak ngulangin lagi,”

“Ish!” sanggah Jerry kesal, “bukan itu maksudku! Aku cuman tanya kenapa kamu suka makan aku hah? Sampai nggak pernah masukin little Oyel lagi? Apa little Oyel udah bosen sama lubangku?”

“Hah?” Joel nampak kaget dengan semburan tersebut, bingung mau membalas, takut terjadi kesalahpahaman. “engga gitu Sayang, aku suka makan kamu ya karena aku lagi senang aja, bukan berarti Little Oyel bosen, it’s just..” kalimat menggantung bersamaan rona merah sampai ke telinga menyebabkan Jerry termangu-mangu. Tidak biasa menemukan manusia paling gombal sedunia semalu sekarang.

It’s just????”

I kinda want you to sit on my face though..”

Hening.

Detik jam dinding berdetak-detak memenuhi kesenyapan ruangan. Dua netra beradu sama-sama menyesapi makna dan maksud sebelum koneksi otak Jerry tersambung.

WHAT?!”

Joel mengerang, menggulingkan diri di samping figur montok itu sambil menarik selimut, hendak menenggelamkan diri semungil mungkin agar rasa memalukan ini terhapus dari memori siapapun.

“Yel, are you serious?”

Stop it!”

Jerry tertawa keras, dada mendadak sesak karena keimutan dan kegemoyan si pemuda lebih tinggi. Siapa sangka Joel Andrean yang dikenal kalem se-antero kampus punya keinginan tentang Jerry duduk di mukanya? Isn’t it kinky and porn things?

Hun dieeemmm..”

“Haha.. wahahaha.. hahaha..”

Hun Ya Allah..”

Si Manis berusaha menahan tawa, menenangkan napas beserta degupan jantung yang terkejut-kejut akibat terbahak-bahak. Setelah tenang sedikit, ia memeluk sosok kurus tersebut dari belakang seraya tersenyum lebar. “Jadi ini yang bikin kamu makan aku terus? Karena kamu dapet kink baru?”

“I..ya..” cicit Joel teredam bantal, Jerry mengecup sisi kepala penuh kasih sayang sesekali memainkan helai rambutnya. Ya Tuhan punya pacar ngegemesin macam Joel yang ada buat dia mati kena serangan jantung!

Amit-amit, lulus aja belum, nggak dulu Tuhan.

“Kamu liat dimana emang?”

“Situs porno,”

“Hmm.. straight?”

Nope, gay,

“Yel, balik dulu masa aku ngomong sama dinding?” tegur Jerry dirasa sang kekasih tak ada niatan menampakkan diri, dia sudah mencium-cium setiap celah di ubun-ubun bersurai hitam tersebut namun Joel tetap menyembunyikan figur.

“Nanti kamu ngejekin aku,”

“Engga Sayang, demi Tuhan,”

Akhirnya Joel menyibak selimut, mengerucutkan bibir sampai Jerry mendekap kepalanya erat bagaikan berurusan dengan anak kecil. Bibir tipis itu mengecupi dimulai dari jidat hingga ke bantalan ranum kesayangan. “Ogu ogu, kamu imut banget sih..”

HUUNNNN..”

“Haha iyaa iyaa, Joel Andrean, I’m sorry okay, aku nggak jadi marah kalo lihat kamu secomel ini,” Joel setia merengut, menandakan bahwa ia menuntut permintaannya direspon. “oh.. hm.. sit on your face? Kamu yakin? Kalo kegencet gimana?” sumpah Jerry tak dapat menahan godaan yang meluncur dari mulut, membuat Joel merengek lagi hendak menarik selimut, beruntung keburu ditahan.

I know you’ll make fun of me,”

I have no idea how to do it, Baby,” sahut Jerry mengukung pergerakan Joel, supaya material laknat tidak menutupi wajah tampan di bawah, “tapi kalo kamu maunya gitu, ya oke..”

“Katanya tadi nggak suka rimming,”

I do hate it, but, how can I reject my Baby’s wish huh?” tanya pemuda manis tersebut menyentuh lembut si rahang tegas, mendapati pemuda lain menutup kelopak demi merasakan lebih, kecupan kecil mendarat, diselingi gigitan halus. “if my Baby wants it, he’ll get to do it, right?”

Shit jangan bikin aku sange, Hun!”

Jerry menyeringai, merayapkan tangan menuju selangkangan, meremas gundukan di balik jeans secara acak, mendengarkan erangan nikmat terlolos dari rongga makan. “How about I sit on your face and then I’ll ride Little Oyel next?”

Kepala Joel mendadak pusing tujuh keliling setelah ditawari seperti itu.

***

Matahari masih menukik di cakrawala, bersinar terik meresapi gorden-gorden tipis di balik jendela. Kehangatan yang terpancar tidak dapat menghentikan kesenangan pasangan, dimana mereka sudah terjerat dalam eksistensi satu sama lain.

Napas saling menerpa, saliva berkecipak mendendang gendang telinga, tawa geli membuncah diselingi gigitan maupun rayuan menggoda. Jerry tidak kuat lagi menahan serangan, dia mendorong tubuh bongsor Joel agar dapat mendudukkan diri di perutnya.

Fuck..” erangnya pelan mulai menggerakkan pinggul, menyapa kejantanan kekasihnya yang sudah tegang entah sejak kapan. Apa karena perkataannya beberapa menit lalu? Joel terengah-engah, meremat pinggang berlekuk lalu menampar bantalan empuk di belakang. “AH!”

C’mon Baby, sit on my face will ya?” baru juga beberapa menit Jerry melihat keimutan Joel tiba-tiba berubah dominan aja pemuda ini. Dia berasa kecil banget kalau sudah dimainkan kayak gitu. Ingin patuh sepenuhnya pada apa yang Joel minta.

Baby mandi dulu,”

Huunnn!”

Terlambat, Jerry keburu melesat meninggalkan tempat pijakan favorit meskipun Joel meronta kecewa. Dia membanting pintu kamar mandi sekeras mungkin lalu menyalakan shower nyaring-nyaring. Meninggalkan Joel terlentang pasrah memandang sticker lampu di langit-langit ruangan dengan penis mengacung tegak.

“Sabar Little Oyel..” gumamnya mengocok perlahan, menarik-narik bagian kulit kepala, mendesis akibat setruman listrik di seluruh kulit. Membayangkan pemudanya sedang membersihkan diri sampai ke dalam hanya untuknya malah mengeraskan milik sendiri. “shit.. ngh..”

“YEL GA BOLEH SOLO YA!”

Sialan.

Teriakan ancaman dari ruang lain menghentikan genggaman Joel. Dia menaruh telapak tangan jauh dari adiknya seraya menggembungkan pipi. Jangan sampai dia mendadak layu karena Jerry kelamaan di kamar mandi.

Belum menunggu lima belas menit tapi telah frustasi hingga ke ubun-ubun, pacarnya menampakkan diri. Sempat berpose menggoda, menampilkan tubuh semi kering dengan air sedikit menetes menuju kaki. Joel tak bisa mengucap selain menyebut nama Tuhan pada ciptaan-Nya. Membuat Jerry tertawa geli lalu melangkah menghampiri.

I’m ready, Daddy,”

Please sit now,” geram Joel meremat pipi bokong si Manis yang baru juga merangkak di atasnya, mendekatkan bagian selatan sedikit di wajah namun Jerry malah memundur sebentar.

“Sabar, good Daddy deserves a treat,” balas kekasihnya menahan kukungan, sebenarnya buat mengulur waktu aja sih karena dia MALU ANJING! Sepertinya dimakan kayak kemarin-kemarin nggak terlalu buruk, lebih mending malahan!

“Ayo ayo..” rengek Joel tidak sabar, Jerry musti mencubit hidungnya dulu hingga suaranya menjadi bindeng. “pleasee.. puhlease..”

“Yel, behave nggak?” ancam Si Manis melotot, kekasihnya mendengking bagai anak anjing ditendang majikan, sementara ia mengatur napas sekaligus detak jantung sendiri.

I can’t wait for my treat, Eyi..” Dih. APA-APAAN?! Jerry tambah membulatkan mata ketika menangkap panggilan menggelikan itu, dia nyaris kabur walau penisnya menggeliat merespon. “Yel stop!”

“Oke, oke aku diem.”

Jerry masih sangsi, sumpahlah dia ini nggak enak banget mau dudukin Joel. Kasihan dong muka ganteng pacarnya penyok gara-gara dia nggak bisa nahan diri sewaktu di makan. Dan lagian.. bukannya kelihatan.. Aaaahh intinya dia malu sampai ke ujung rambut, makanya sedari tadi membuang-buang waktu.

“Tuhan maafin Jerry,” gumamnya menutup mata, Joel malah tergelak di bawahnya, meremas-remas bantalan benar-benar siap memakan. “Yel, kamu punya kink nggak bisa apa lebih rasional dikit?” ia bertanya seraya menatap sang kekasih, dua tangan menggenggam kepala ranjang, dimana lutut sudah menumpu badan di sisi Joel.

“Itu rasional, Hun! Yang nggak rasional itu kalo aku minta kamu salto keliling kamar sambil aku nyolo,”

Mulut Joel emang minta disambar. Bisa-bisanya berpikir sejauh itu. Jerry menarik napas panjang berniat menenangkan hati, terkesiap begitu lidah menyapa testis. “YEL!”

“Kamu lama amat ngapain sih? Tinggal duduk doang,”

“Aku malu, anjing. Kamu nggak malu apa?”

“Apasih yang dimaluin? Hun, aku dah makan kamu berulang kali, little Oyel juga udah keluar masuk di situ, katanya lubangmu diciptain buatku, perkara duduk bentar masa masih malu?”

Sialan. Double sialan. Joel has a point.

Jerry bimbang setengah mati tapi yaudahlah dia turutin. Bukannya tadi dia percaya diri banget ya? Kenapa sekarang overthinking? Semua yang dia pikirkan di otak nggak bakal terjadi kan?

“Oke fine-aaah!” genggaman pada kasur mengerat seiring liang berkontak langsung dengan lidah, Jerry refleks menutup mata begitu bibir Joel menyentuh bagian paling intim. Mengecupi di sekitaran otot, lalu menghisap nyaring. “aah.. Y-Yeell..”

Joel tidak menjawab, hanya melebarkan pipi bokong untuk menjangkau lebih, Jerry mengeratkan pegangan tanpa menghentikan desahan, buku jari mulai memutih supaya tidak ambruk menduduki betulan. Pemuda rambut hitam menarik pinggangnya, melesakkan dalam-dalam sesekali meludah ke sana.

“Ah! Nghh!” si Manis menggerakkan pinggul, sementara Joel mempertahankan lidah, membiarkan kekasihnya menunggangi indra pengecap seolah-olah hidupnya hanya bergantung dari situ. “fuck.. aah.. Yel..” lidah berputar kembali, menembus berulang kali, menyapa dinding-dinding ketat, hidung mancung menabrak bola berkali-kali, menghirup aroma candu bekas sabun mandi. Joel makin ganas menyantap, meremat, memberi tamparan sampai bergoyang bak jeli kemudian meremat lagi, begitu terus hingga Jerry menegang mencapai klimaks.

“YEL.. nggh.. Yeeell..” tubuh bergetar menyemburkan untaian, simpulan erat dalam abdomen mendadak terlepas mengotori kepala ranjang. Joel masih menjilat, tidak mengindahkan saliva mendarat di bibir maupun dagu. “Yel udaahhh..” lima kali usapan barulah kekasihnya berhenti, ia dapat bergerak menjauhi, duduk di perut Joel kembali. Tatapan Joel sangat liar ketika mereka beradu, membuat dia menggigil ingin segera digagahi, pemuda lain bangkit setengah badan untuk mempertemukan bibir.

“Kalo kamu gak tunggangin aku sekarang little Oyel bakal meledak bentar lagi,”

Jerry tertawa geli, mencium tak kalah menuntut seraya menyapukan lidah di langit-langit rongga, merasai dirinya sendiri. Ada rasa pelumas menempel di parasan, mengingatkan tentang persiapan setengah jam lalu. “Then be my guest, Daddy,”

Jari merambat menggrayangi pipi, mengelus tulang ekor turun ke belahan, menyapa liang yang sedikit terbuka akibat kegiatan tadi. “Did you finger yourself?” Jerry menggeleng, eh selang beberapa detik mengangguk, merapatkan lubang saat jari telunjuk bertamu.

“Aahh.. want your.. cock..”

Nope,” celetuk Joel kemudian menggerakkan digit, bibir menemukan puting cokelat mencuat, memainkan perlahan. “not yet,”

But you said-“

“Sshh..” gumam si Tampan menggoreskan geligi, mengemut-emut bak bayi tidak menghentikan gerakan jari. “I’m not satisfied yet, Baby,”

Pemuda manis tak dapat meloloskan kata selain desahan, pinggul mengikuti ritme jari yang sekarang menjadi tiga menyebabkan penuh seketika. Ujung kuku menggores bundelan sensitif nan membengkak sedikit. “AH!”

“Hehe.” Rematan di ekor surai hitam menguat, bersamaan Jerry menjatuhkan rahang, kelopak tertutup hanya diisi dengan kelincahan empat digit, “still tight for me, Baby~”

“Aah.. i-iyaa.. mmhh..”

Ketidaksabaran menguasai sebagian menyebabkan Joel melepaskan tautan, menggigiti celah kulit dada sampai ke leher menciptakan tanda kepemilikan. Biar semua orang tahu kalau Primadona dambaan mereka sudah ada yang punya. Keposesifan ikut andil, ia menggenggam pangkal kejantanan berniat menuntun menuju sarang.

Jerry terbelalak, berpegangan sangat erat namun membiasakan lubang. Menerima setiap centi dari mahkota hingga setengah batang, bangga pada pencapaiannya selama berpacaran dengan Joel. “Daddy.. ngh.. penuh..”

“Jangan salahin little Oyel dong, kamunya sempit gimana sih?” balas kekasihnya tak mau kalah, telapak menampar pipi bokong membuat Jerry terjengit ke atas dan penyatuan terlepas. “fuck..” dia cepat-cepat memboyong kembali, menarik bantalan empuk sebelah kanan lalu membantu menurunkan badan si Manis.

Dad..” erang pemuda rambut cokelat setelah kejantanan tertanam seutuhnya, menyandarkan pipi yang basah akan air mata kenikmatan diikuti deru napas memburu, “Dadd.. capek..”

You said you wanna ride me, didn’t you?” Jerry mengangguk akan pertanyaan retoris, melemaskan lubang yang terasa kebas akibat gesekan dan regangan bersamaan. Dia mendongak memajukan bibir minta dicium. Beruntung Joel paham dan sigap memagutnya. Menggoyang kecil-kecilan sebagai stimulasi awal.

Pagutan terlepas dan tempo Jerry menjadi cepat. Dia mengalungkan lengan di leher sambil menggigit bibir mendongakkan kepala, mengizinkan Joel menjamah bagian selangka untuk diberi bunga semerah darah. Membuktikan pada orang-orang bahwa dirinya telah dimiliki oleh Joel Andrean. Manik cokelat menatap bibir sang kasih, mencari celah agar bertautan karena sampai kapanpun bibir Joel adalah bagian terbaik pertama dari pemuda tersebut.

Udara kembali menginvasi ruang bernapas, pinggul tak henti bergerak naik turun, menumbuk titik sensitif berulang-ulang sehingga ia merasa terlalu dalam, paha menjadi kram akibat bekerja mencapai maksimum menyebabkan pemuda manis itu berdiam diri menyandarkan dagu. “Nghh Dad seriously..”

Joel menggeram gemas, meremas acak pipi kesayangan kemudian membaringkan pacarnya di atas kasur, menaikkan kedua kaki di pundak sebelum menggenjot brutal. Jerry mulai kehilangan kesadaran sambil menjerit keras-keras, bodo amat sama keadaan sekitar or lebih buruknya didengar orangtua. Lubang berdenyut di sekujur batang yang keluar masuk, menumbuk selaput tanpa ampun.

Fuck.. enak Baby?”

“Banget.. aah! Aahh kangen banget..” racau Jerry tersedak ludah di sela-sela kegiatan. Suara Joel menjadi serak tapi berat menambah intensitas keseksian tersendiri baginya. “please please.. mau keluar..”

“Keluarin Baby, cum for Daddy,” Joel menghentakkan pinggul kuat-kuat berhasil menumpahkan untaian kedua dari Jerry. Kekasihnya meremat seprai sangat kencang saat dilanda puncak, mengotori sebagian tubuh atas dengan putih. Hal ini malah memicunya untuk menyusul, karena jepitan erat membungkus little Oyel. Bahasa kasar lolos di setiap genjotan, menyemai benih yang tertahan di dalam lubang.

Jerry melenguh begitu merasa penuh, isi perut menghangat setelah Joel menghabiskan pelepasan, tetap menggoyang kecil, membiarkan layu di sarang. Kedua sejoli tiada niat saling melepaskan, tetap bertengger di sana, memandang satu sama lain penuh kasih sayang.

Pemuda surai hitam bergerak mundur, mengundang rengekan kecewa namun tak diindahkan, ia menegak saliva tebal di mulut seraya menatapi hasil sendiri menetes keluar secara perlahan.

“A-aah..” Jerry tidak sanggup melawan atau protes saat benda lunak familiar menapaki kerutan otot liang, telinga mendengarkan bagaimana bunyi hisapan antara cairan dan air liur bercampur menjadi satu disebabkan oleh seseorang. Joel kembali menjilat merasai benihnya, membersihkan sisa-sisa yang menempel di setiap dinding sejauh yang dapat dijangkau. “Y-Yel..” gumam si Manis lemah, hanya meremat surai hitam di selangkangan.

“Slrrpp..”

“Oh god Oyel..” entah ini sebuah keluhan atau desahan, mungkin pilihan kedua lebih baik. Joel membalas dengan gumaman pula, menghisap nyaring-nyaring. Jerry menarik segenggam helaian rambut di tangan agar kekasihnya berhenti sejenak. “Yel stop it! Isn’t it enough?”

Bibir Joel tampak membengkak, saliva dan sperma membasahi area mulut seperti anak kecil belepotan makan es krim. Jerry benar-benar nggak habis pikir sama libido tinggi pacarnya termasuk kink yang baru saja mereka eksplor bersama.

Can’t help it, you look like five star meal,”

Jerry mendengus, “Orang mana mau makan di restoran kalo kamu samain lubangku sama makanan bintang lima,”

“Oke berarti ten star meal,” sebelum Si Manis protes, Joel menenggelamkan bibirnya kembali, menyesap kuat-kuat sampai tidak bersisa lagi, seandainya nyawa Jerry ada di sana bisa jadi ikut terhisap mulut Joel yang kayak vacuum cleaner.

“Ya Tuhan aku punya cowo,” Joel menyengir manis, menjilati belahan ranum dan sudut-sudutnya, tidak ada tanda kejijikan sama sekali, sebaliknya rasa senang dan bahagia telah mendapat apa yang ia impikan. “Hehe..”

“Gausah haha hehe!”

“Seenggaknya kamu nggak perlu bersihin lagi, Hun!”

Si Manis memutar mata malas, meluruskan kaki yang terangkat terlalu lama dengan Joel masih berada di tengah-tengah. “Lengket banget, Yel..”

“Nanti aja mandinya,” ucap sang kekasih lalu bergerak memeluk menindihi figur montok, Jerry memekik tega memukuli punggung berotot tersebut. “awww- aww!”

“Sakit bangke! Jangan main tindih dong!” Joel mengerucutkan bibir, manyun kayak bebek membuat Jerry tidak dapat berlama-lama larut dalam kemarahan, ia tersenyum lebar menampakkan geligi kecil menggemaskan kemudian menarik rahang tegas sang kekasih supaya mempertemukan bibir mereka. Joel langsung luluh seraya membuka belahan, menyatukan lidah bergelud bersamaan.

Ketika ciuman terputus karena pasokan udara menipis, kedua sejoli menempelkan kening, menikmati aroma tubuh terkuar dari kehadiran masing-masing. Manik kecokelatan beradu manik kehitaman, jari jemari lentik mengusap helaian surai secara lembut.

“Istirahat dulu ya makannya,” goda Jerry menyengir, Joel hanya memandang sedih, seperti anak yang tidak dibelikan permen.

“Emang kenapa sih Hun? Bukannya enak ya?”

“Iya enak, cuman kalau keseringan aku nggak suka, Yel,” jawab Si Manis tersipu tapi tak memalingkan wajah, tetap mensejajarkan pandangan. “do you know it feels weird when something slippery trying to breach yourself?”

Joel menggeleng sebab ia memang nggak tahu rasanya. Jerry menghela napas. “That’s what I felt these days you ate me, Oyel, kamu nggak aneh apa habis makan aku terus makan makanan?”

“Kan sikat gigi dulu,”

O.. kay he has a point, again.

“Ya tapi itu kan kotor,”

“Kamu bersihin kan?”

Doesn’t change the fact that the place isn’t edible, Andrean,” balas kekasihnya gregetan, sedangkan pemuda yang diomelin hanya menaruh kepala tepat di belahan dada sembari bernapas perlahan. Mendengarkan detakan halus di balik tulang rusuk.

Fine, I’ll stop,”

“Bukan. Bukan stop, tapi istirahat,”

“Yayaya istirahat,”

Jerry tertawa kecil, mendaratkan kecupan di pucuk kepala berupaya memberi ketenangan. Tangan mengusap surai hitam legam nan lebat sesekali memijat ubun-ubun, “That’s my Baby,”

“Diem, atau aku goyang lagi.”

Seringaian tercetak tidak dilihat oleh Joel, mahasiswa Teknik Sipil tersebut mengalungkan kaki di sekujur pinggang ramping lalu menggesek hati-hati sambil berbisik, “Yuk.”

Jangan kaget apabila Jerry berjalan pincang keesokan hari. . . .

KYEOPMUDA VERS.

. . .

“JI CHANGMINNNN!!!”

“Hehehe..”

“Kenapa lagi?” Sangyeon menaikkan satu alis begitu melihat siluet salah satu anggota berlari keluar ruangan kemudian menahan pintu yang tergedor-gedor. Changmin masih menyengir sementara Chanhee berteriak memukuli papan.

Hyung, do me a favor,”

What favor?”

“Pinjem mainanmu,” Changmin mengerlingkan mata, Sangyeon memasang raut jijik, tidak memahami konteks yang dimaksud.

“Mau ngapain?”

Changmin tak menjawab, menyerukan nama Sunwoo untuk terus memegangi ganggang pintu. Sangyeon benar-benar nggak habis pikir sama kelakuannya. Memutuskan untuk menatapi dari posisi sejauh mana ketiga anggota bersenang-senang.

“Kenapa Hyung?”

“Hihi, kamu tahan dulu supaya Chanhee nggak keluar, aku mau ke kamar Sangyeon hyung,” Sunwoo terbengong-bengong tapi menggantikan pijakan tangan, tak bertanya lebih dikarenakan Changmin sudah melesat menuju kamar tetua pertama. Dia mengalihkan pandangan ke Sangyeon dan pemuda itu mengendikkan bahu.

“CHANGMIN!”

“Sebentar Hyung..”

Chanhee menggedor sekali, “Bukain Nu!”

“Kata Changmin hyung nggak boleh dibuka,”

Si Cantik menggeram dalam, menyerah dalam hitungan detik kemudian melangkah menjauhi pintu. Dia duduk di kasur, mengayun-ngayunkan kaki menunggu apa lagi yang akan direncanakan Ji Changmin kali ini.

It's not a big deal. Just another day of usual things that happened in their house. Changmin mengerjai Chanhee, Chanhee mengamuk tujuh turunan, Sunwoo tukang nontonin. Dan selanjutnya akan berakhir dengan dia menungging digoyang salah satu dari mereka serta mulut terbungkam organ intim.

“Sayaaaanggg..”

Tuhkan. Baru juga dipikirin. Chanhee menolehkan kepala seraya menatap malas, Changmin menyengir lebar tapi karena lesung pipinya tertampak, mau dimaafkan. Terlebih ada Sunwoo mengintip takut-takut, membuat dirinya melembut.

Look what I've brought,”

Please not Jeje hyung's,”

Changmin menimang-nimang beberapa benda laknat di tangan, choker merah muda, vibrator berbentuk telur berwarna yang sama, serta bola-bola kecil entah mau digunakan untuk apa. “Kayaknya bukan..” dia menatap Chanhee lagi, “Jeje hyung warna apa?”

Hanya dibalas dengan gendikan bahu. Sunwoo menahan tawa, menyenggol Changmin agar memberi jalan menemui Chanhee. Si Maknae kedua mendudukkan diri di samping kemudian menggelayut manja.

“Heh Kim Sunwoo! Aku kan nggak nyuruh kamu masuk!”

Sunwoo menjulurkan lidah, meraih pipi tembam Chanhee yang masih memusatkan pandangan kesal pada pemuda lain lalu menciuminya lembut, menggumam tentang keimutan.

“Ji Changmin udahan dong, aku capek..”

Nope, not today, aku mau main, Hee!”

“Nanti aja mainnya, besok kita latihan, bodoh!” sahut Chanhee gregetan, dia melirih begitu Sunwoo mengecupi bagian rahang, mau ditabok kasian, mau terbuai nanti sahabatnya dapat kesempatan.

“Sebentar aja..” pinta Changmin berlutut di hadapan, mendengking-dengking bagai anak anjing agar dikasihani. Chanhee bimbang setengah mampus, mereka udah main sih beberapa hari lalu, baru ini pemuda sigung meminta lagi, dan lama juga mereka tidak melibatkan mainan dalam hubungan.

“Iya Hyung, kapan lagi coba?” bisik si rapper kini turun menciumi leher. Chanhee merintih pelan, kelopak mata merem melek ingin terus digoda, Changmin menahan seringaian, menaruh barang-barang di lantai lalu menyusup di antara kedua kaki jenjang, meraba-raba paha yang tidak terbaluti apapun.

“K-kalian..”

“Kalian kenapa, Choi Chanhee?” tantang pemuda di tengah, menunduk mendaratkan bibir di gundukan celana. Chanhee menjerit kaget, refleks merapatkan diri. Sunwoo meraih dagu untuk mempertemukan bantalan ranum, seakan mengalihkannya dari godaan Changmin.

Tiba-tiba dia sudah ditemukan polos oleh jemari cekatan si main dancer. Melorotkan celana sekali hentak, membebaskan kejantanan hingga menampar abdomen. “Changminn..”

“Iya Sayang?”

Tautan terlepas bersamaan terputus koneksi saliva, “Cuciin sepraiku, okay?”

Akhirnya seringaian tercetak termasuk lesung pipi makin dalam. “As you wish, Chaniiii..” jawabnya langsung mengukung si Cantik di kasur. Sunwoo hampir terjengkal dari sana, menggeram pada kelakuan Changmin sementara Chanhee tertawa seraya menutup mulut.

“Chani Chani..”

“Mabuk lagi kamu?”

“Engga,” pemuda manis tersenyum lebar, mendapati Sunwoo memandang penuh penghakiman, “apa kamu!”

“Eh eh kok malah kelai,” Chanhee buru-buru menengahi, Changmin memang seperti itu bila ada Sunwoo di antara mereka, bersikap kekanakan memperebutkannya bak permen lolipop, sedangkan Sunwoo hanya diam manut-manut tapi tetap saja dapat lubang duluan. Hahaha.

Berbeda jika mereka hanya berdua, dominansi Ji Changmin nyaris menyamai Sangyeon sendiri. Chanhee benar-benar patuh pada sahabatnya.

“Pokoknya hari ini aku masukin,”

“Loh kok gitu?”

Changmin melototi sang adik, “Kamu udah masukin berapa kali huh?!”

Sunwoo hanya membalas dengan cengiran khas, “Baik, baik Paduka, silakan dinikmati sampai tumpah-tumpah,” kali ini giliran Chanhee yang menampar lengannya pelan, membuat ia cengengesan menyosor ke arah si Cantik.

Pemuda surai dua layer menyusup di tengah-tengah tanpa berkata apa-apa, Chanhee dapat merasakan hembusan napas berat di sekeliling tubuh begitupula detak jantung yang memompa kencang. Sunwoo mengambil alih di bagian atas, memainkan puting secara hati-hati, menarik-narik perlahan, menimbulkan rangsangan pada batang Chanhee.

Fuck.. nghh...”

Siapa yang peduli bagaimana kaos mereka terbengkalai di seberang kasur, siapa yang peduli bagaimana celana sudah terbang melanglang buana entah di pojokan mana. Dua pasang mata terfokus ke satu titik, dimana pahatan indah bersemu merah karena kilatan cahaya keinginan, sangat cantik dan menyilaukan pandangan.

Shit..” gumam Changmin memejamkan mata sejenak, Chanhee tidak paham, dia tidak paham kenapa sahabat paling mengerti dia mengumpat seakan sedang menenangkan diri. Sunwoo diam saja, tahu sangat kalau kakaknya tidak kuat untuk tidak melayangkan telapak.

“Changmin.. wae?”

Pemuda berlesung pipi membuka kelopak, tersenyum kecil sembari menggeleng, “Kamu terlalu cantik buat orang kayak aku,”

Chanhee mengerutkan wajah, bangkit mensejajarkan tatapan, kedua tangan menangkup dua pipi tembam di hadapan, menyalurkan kehangatan. “Aniyaa.. aku milih kamu kan? Terus kenapa kamu ngomong gitu? Aku nggak suka loh pacarku ngomong gini,”

Pacar.

Baik Sunwoo maupun Changmin sama-sama kena serangan jantung. Tidak menyangka akan pernyataan mengejutkan itu. Semenjak Chanhee berhubungan dengan Younghoon beberapa pekan lalu, tak ada yang berubah dari mereka. Seperti tak pernah melakukan hal tidak bermoral, seperti tak pernah dihukum Sangyeon sebelumnya.

“Hee..”

Si Cantik menarik wajah yang ditangkup agar bibir saling bertemu, netra cantik menutup perlahan ingin meresapi lebih jauh, berbeda dari Changmin yang diam-diam menghitung jumlah bulu mata sang sahabat sesekali melirik Sunwoo.

Maknae kedua ada perasaan ingin angkat kaki, ingin meninggalkan momen keduanya karena takut mengganggu. Sekarang mereka sudah terikat hubungan, dan dia tidak bisa ikut bermain-main lagi. Namun, baru juga dia bergerak, netra Changmin menatap tajam. Mengisyaratkan jika dia menjauh secenti sambil overthinking maka siap-siap menerima sesuatu mengenaskan. Mau tidak mau Sunwoo sigap duduk di samping Chanhee sangat rapat.

Begitu tautan terlepas, seiring mata Chanhee beradu pandang, ia menghela napas panjang. “Don't ever think about that again, okay?”

Changmin mengangguk pelan, masih memandang Chanhee sangat lembut diselimuti rasa menyesal karena membuatnya malah membalas perasaan sepihak. Pemuda surai hitam mengecup bibirnya lagi, kemudian beralih ke Sunwoo sambil tersenyum jahil.

“Liat kakakmu, Nu, masa gitu doang insecure,”

Sunwoo mencebik, “Kalo kalian pacaran terus aku gimana?”

“Kenapa? Kamu kan udah punya pacar?” tanya Chanhee menipiskan bibir menahani tawa, Changmin tak dapat lama-lama diam, cengiran terpampang menggoda adik mereka yang termanyun-manyun.

Hyung, bukan itu maksudku,”

“Aku ngerti,” si Cantik mengulas senyum meyakinkan, “kita tetap bakal kayak gini kok, status aku sama Changmin pacaran nggak akan merubah hubungan kita, Sayang,”

Meski masih tebersit perasaan ragu, Sunwoo mau menerima keputusan tersebut. Dia menganggukkan kepala setuju lalu mendaratkan kecupan di pundak mulus, direspon dengan ringisan geli.

“Tapi ingat, dari sekarang kamu dapat lubang atas,”

“JI CHANGMIN!”

“Yeyeye terserahmu, Paduka..” ejek Sunwoo memutar mata malas, mendiamkan perseteruan kecil dua sejoli karena penisnya tidak tahan lagi. “ayo ayo aku mau kencan sama Haki hyung habis ini,”

“YAK KIM SUNWOO!”

“Ssshh.. diam Sayang..” Changmin menyambar leher jenjang, menggigit pelan ingin menciptakan tanda kepemilikan, Sunwoo di sisi lain, membuat bercak di sekujur bahu dengan tangan merayap ke puting.

“Nghh!”

“Nu, ambil mainan,”

Chanhee merebahkan diri setelah Sunwoo beranjak berdiri, menyamankan posisi mengekspos kaki di depan Changmin. Dapat dilihat sangat jelas kekasihnya menjilat bibir, pupil bergerak-gerak kecil karena ia memainkan miliknya.

Vibrator berbentuk telur berwarna merah muda mendesing di telinga Chanhee, ia memandang penuh antisipasi berusaha rileks saat Changmin mengelus pintu masuk. “S-Sayang..”

Sunwoo tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk ke kejantanan Changmin, menggeliat keras akibat panggilan mesra dari si Cantik. Chanhee menahan suara yang ingin keluar, menemukan Changmin memicingkan mata ke arahnya.

The power that Chanhee hyung's hold..”

Shut up!” desis pemuda manis tersebut kemudian memfokuskan pada lubang di hadapan. Tangan sudah dilumuri pelumas begitu juga dengan si barang. Dia tersenyum jenaka, memainkan cairan di jemari, membentuk untaian lengket. “fingers or toy first, Baby?”

“F-fingers..” jawab pemuda cantik pelan, menegak ludah takut-takut akan kilatan cahaya yang terpancar di netra Changmin.

Jari jemari bergerak seperti ular, luwes nggak ketolongan. Meraba kerutan otot, mengais menggunakan kuku, sebelum menerobos sangat pelan. Chanhee sering berpikir kalau dia nggak akan pernah terbiasa dirinya dimasuki, even with tiny things like fingers as well. Pikiran berkabut mengingat permainan mereka kemarin, dimana kedua pemuda memenuhi seluruh ruang terbuka termasuk Juyeon di mulut.

It feels so fucking good!

“Ngh.. fuck.. Sayanggg..” teriak Chanhee meremat seprai, Sunwoo menggenggam jari lentik itu agar tidak merusak material, membiarkan eratan kuat meremukkan tulang. “aah.. C-Changmin..”

Not Changmin.”

Si Cantik menyenggol sedikit menggunakan kaki, benar-benar tidak habis pikir atas sahutan itu. Sunwoo tertawa geli, menunduk mengecup bibirnya berulang-ulang lantaran gemas.

Tiga digit sudah berusaha melebarkan akses, memijat-mijat lembut supaya tidak kaku bila disusupkan mainan nanti. Ujung vibrator menekan-nekan sebelum masuk sepenuhnya, Chanhee mengerang keras, terutama ketika Changmin memajukan benda pemuas nafsu mendekati prostat.

Sialan kan. Siap-siap deh.

“Sayang too deep!”

“Bentar,” kedua pemuda mengelilingi tubuh yang tak berdaya, tangan kanan Changmin menyalakan sebuah tombol remote, mengakibatkan bunyi getaran menderu di telinga masing-masing. Chanhee terbelalak seraya mengejang, kaki menandak-nandak dengan mulut mengeluarkan jeritan. Changmin dan Sunwoo menyengir kesenangan, menontoni terlebih dahulu sambil mengocok kejantanan mereka.

“AAH! JI CHANGMIN!” mungkin teriakan pemuda itu terdengar memantul sampai keluar kamar. But who cares guys? Anggota sudah terbiasa terhadap kelakuan immoral. Pasti dianggap angin lalu malahan.

“Sayang.. AH.. AAAH!” Perut Chanhee nampak mengencang sesaat mengeluarkan untaian kental, mendarat tepat di sana, melukis putih. Changmin mengumpat tanpa menghentikan kocokan, bulir precumnya juga menyembul di lubang kecil.

“Chanhee maaf,” dia tidak paham kenapa sang kekasih meminta maaf, ingin mengutarakan pertanyaan tetapi langsung terbungkam begitu Changmin melesakkan penis, sumpah Ji Changmin! How dare he-

“CHANGMINNNN!!!”

“Maaf maaf aku nggak tahan lagi,” rengek pemuda lesung pipi memajukan pinggul dalam-dalam, mempertemukan kulit sesama kulit, betul-betul tidak memperdulikan kemaslahatan Chanhee yang masih gemetaran setelah klimaks.

Oh, jangan lupakan si telur sialan.

Hyung.. aku juga ya..” terdengar Sunwoo bersuara putus-putus, Chanhee hanya mengangguk seraya bangkit untuk memposisikan wajah sejajar selangkangan sang adik. Pemuda rambut cokelat mendesis, mata memejam erat merasakan Chanhee menggenggam pangkal lalu memasukkan kepala ke dalam mulut, melilitkan lidah di sana. “shit shitt Chanhee hyungg..”

“Yang, aku gerak?”

Chanhee melirik sadis, rongga makan bekerja ekstra memuaskan adik mereka sementara Changmin telah bergerak tiada ampun. Pemuda cantik berusaha mengimbangi genjotan, melingkarkan lengan kiri di pinggang Sunwoo dan tangan kanan memberi kocokan.

Dua pemuda menggoyang secara bergantian. Chanhee tidak dapat memikirkan apapun lantaran penis yang keluar masuk menumbuk telur di dalam, menahan getaran mengenai selaput di balik dinding. “Unghh.. mmfff!”

Tak sampai dua menit Changmin menggenjot, ia meringis keenakan akibat dijepit rapat, kekasihnya tiba kedua kali meluncur bak air mancur membasahi badan atas. Sunwoo terkagum-kagum, membiarkan Chanhee berbaring lemas melepaskan kejantanan dari mulut. Mengambil napas sebanyak-banyaknya untuk mengisi persediaan.

“N-Nu.. ngh.. nggak kuat..”

Hyung matikan mainannya,” titah maknae kedua, Changmin menggeleng, perlahan menyengir.

“Nggak mau..”

Hyung!”

“Kamu onani aja sanaa..” balas pemuda tengah lalu mempercepat tusukan, menumpu badan menggunakan dua lengan di sisi kepala Chanhee. Memperhatikan bagaimana wajah di bawah bersemu merah, mulut terbuka mengeluarkan rintih serta udara. Mengecupi permukaan pipi tembam, menggigit gemas tanpa menghentikan goyangan. Ujung penisnya mendeteksi getaran lumayan kuat bersemayam di sarang.

“Nu.. Nu..” desah Chanhee putus-putus, hendak memberitahu sang adik kalau ia bisa saja memuaskan meski distimulasi habis-habisan. Sunwoo menatap sangsi tetapi tidak ada waktu lagi. Dia bergerak di belakang Chanhee, menyandarkan kakaknya pada perut supaya dapat sejajar kembali.

“Ah.. Sayang..” erang Changmin mencengkram dua paha si Cantik, sedangkan sang kekasih sudah sibuk menjilati batang, membiarkan kepala naik turun menghisap bulir-bulir di puncak. Sunwoo mencengkram surai hitam sedikit kuat sambil mendesah, memuji betapa nikmatnya mulut kakak kesayangan. Menambah rasa percaya diri serta perhatian dalam Chanhee.

Ketiga pemuda menghancurkan satu sama lain untuk meraih klimaks bersamaan. Sunwoo keluar lebih dulu dengan menyebut nama Chanhee setelah menguras habis pelepasan, mengaliri kerongkongan tiada rasa tersedak. Changmin menyusul usai tiga kali tusukan, menyentak miliknya sejauh mungkin hingga Chanhee gemetaran melepaskan untaian bening.

Pemuda yang digagahi tak bisa mengutarakan kalimat, apalagi penisnya masih mengeluarkan cairan. Mengotori dirinya beserta barang-barang sekeliling.

Getaran berhenti, akhirnya Chanhee dapat bernapas lega. Anggota gerak mendadak kaku, dan tidak bisa diapa-apain. Dia hanya terbaring pasrah memandang langit-langit kamar sambil mengambil napas.

“Yang?”

“Diem Ji Changmin.”

Sunwoo mengelus surai hitamnya lembut, mendaratkan ciuman manis di kening. “Mau minum?”

“Bentar..”

Changmin menarik si telur pelan-pelan, benihnya berlomba-lomba keluar, meninggalkan lubang terbuka dan berkedut pada kehampaan. Chanhee mau menyumpah tapi dia juga keenakan. Jadi, ia hanya diam saja selain melenguh.

Mereka membersihkannya penuh kehati-hatian, kelembutan, pokoknya tiada duanya deh. Chanhee terenyuh sangat atas perlakuan mereka. Memutar kilas balik tentang dia yang begitu disayang ketika mengatakan bahwa dia menyukai Younghoon dan tidak bisa membalas perasaan. Namun, Changmin dan Sunwoo tak peduli, malah semakin mendekap Chanhee erat-erat.

Terutama bagian Younghoon yang ternyata menaruh hati pada Hyunjae, musuh bebuyutannya.

Time will heal, he believes that. Semenjak dia dan Hyunjae dihukum Sangyeon, semua kembali menjadi normal. Balik kepada kubu masing-masing dan bersikap profesional di depan kamera, seakan mereka adalah pria-pria normal yang tinggal satu asrama tanpa mengetahui rahasia terbesar yang disembunyikan rapat-rapat.

“Hey..”

Oh. Saking lamanya melamun, Chanhee tidak menyadari kalau kekasihnya berbaring di samping, melingkarkan lengan di perut. Dia memberi senyum manis, menikmati guyuran penuh cinta dari netra Ji Changmin.

“Hey..”

“Capek?”

Chanhee mengangguk pelan, menyusupkan kepala di ketiak, membalas pelukan, “Dikit, tapi nggak apa..”

“Baru juga satu ronde,”

Sebuah cubitan mendarat menyebabkan tawa geli terlontar, Changmin mengecup puncak kepala, mengusap punggungnya sayang.

“Sunwoo mana?”

“Udah kuusir, kan dia mau kencan,”

“Oh iya..” jawab si Cantik kemudian diam sebentar, menghirup aroma badam Changmin yang tidak pernah berubah dari dulu. “Sayang?”

Pemuda lain menggumam.

“Jangan mikir aku jadiin kamu pelampiasan ya?”

Belum ada sahutan. Jantung Chanhee berdetak tak keruan. Takut Changmin mengamuk.

“Sejujurnya, aku mikir gitu,” kekasihnya beradu pandang, sebelum tersenyum lembut, “tapi habis kamu ngomong gini, pikiran itu langsung lenyap,”

Chanhee menghela napas lega, makin merapatkan dekapan hingga tak ada ruang bagi siapapun untuk menembus mereka. “Changmin-ah, gomawo,”

“Buat apa, heum?”

“Makasih udah mau pacaran sama aku, padahal aku udah dipakai sama anggota lain,”

Changmin buru-buru mencium bibirnya, membungkam perkataan menyedihkan tersebut lalu menggeleng setelah terlepas. “Nggak, aku tahu kamu orangnya gimana, dan it's just one time thing right? They're back to Hyung and you're back to us, to me,” Chanhee mendadak meleleh disertai denyut jantung memompa lebih kencang, dia mengangguk pelan, menyetujui jawaban meyakinkan tersebut.

Thank you for loving me, Ji Changmin.”

Thank you for staying with me, Choi Chanhee.”

. . .

©️Noname

Joel and Jerry

jumil lokal au🔞

. . .

Awal pertama Joel sama Jerry pacaran. Masih malu-malu kucing, masih takut buat pegang sana-sini. Pas perjalanan ke kampus, Jerry nggak sengaja nyentuh milik Joel yang berakhir tegang sepanjang perkuliahan dan meminta tanggung jawab waktu pulang.

. . .

Kita kembali flashback ke waktu dimana Jerry ditembak Joel pertama kali. Putra tunggal Winata itu memang punya segudang pesona ketika dia memasuki ranah perkuliahan. Bersama teman kecilnya, Anastasia Estella, atau bisa kita panggil Icha, sudah dinobatkan sebagai bestie of the year di ITB(usan). Siapa sih yang tidak kenal mereka? Seorang anak dokter dan si Bungsu keluarga kedutaan. Tsk, everyone knows them even if you’re blind.

Lantas, Joel itu siapa? Adik bungsu dari alumni Jayden Andrean dan adik beda setahun Jiel Andrean. Yang kebetulan masuk di kampus yang sama hanya beda jurusan.

Jayden alumni teknik industri, Jiel di teknik mesin, sementara Joel teknik informatika. Yeah. Keluarga teknik. Semua orang memanggil mereka “The Engine Brothers”.

Can you see the dot here? They’re both famous in their own way. Jerry is from rich family and Joel is one of the smartest Andrean’s siblings.

Bagaimana mereka bertemu? Cukup simple. Kafetaria adalah ranah mencari pasangan, terutama bagi kalian yang satu fakultas diisi banyak jurusan. Kalian pikir Jerry mengikuti jejak ayah dan ibunya? Tentu tidak, dia justru melawan dan berbelok menjadi mahasiswa teknik sipil. Tidak tahu kalau ternyata dia akan berpacaran dengan salah satu pelajar terpintar di sana.

They’re both extrovert. Hanya saja Joel lebih kalem dan santai, sementara Jerry ribut bukan main. Icha terlalu sering menepuk dahi apabila sahabat kecilnya berulah, dan suka mencari perhatian, oh jangan lupakan keributan.

Bitch, whore, slut, tukang caper, tukang carmuk, adalah santapan Jerry sehari-hari apalagi jika di teknik. Dimana perempuan bisa dihitung jari dan kebanyakan murid laki-laki, otomatis saingan mereka yang terkuat adalah dia seorang.

Straight people? Meh. Banyak ketika Jerry belum masuk. Setelah pemuda manis itu menginjakkan kaki sambil menebar senyuman menggemaskan saat orientasi siswa, di situlah orang-orang mempertanyakan orienstasi seksual sendiri.

Apakah kami gay? Apakah kami masih suka perempuan? Apakah kami hanya menyukai Jerry? No one can answer that selain menjalani sampai mana perasaan ini berakhir.

Awalnya Jerry tidak memperhatikan Joel. Dia cukup tahu dari Icha kalau ada mahasiswa seangkatan jurusan teknik informatika yang ganteng abis tapi tidak culun. Well, berkacamata sih, tapi sumpah deh menyilaukan dibanding teman-temannya.

Jerry, being an ignorant person he is, bodo amat sebelum melihat dengan mata kepala sendiri. Mungkin itu cuman salah satu crush Icha, gadis itu cukup tidak tahu diri ketika menyukai seseorang. Apabila ganteng, ya dia suka. Berbeda darinya yang belum ada kepingin memberikan hati pada siapapun.

Kantin sangat ramai. Bayangin mahasiswa enam jurusan menyantap makan siang di sana, mengerjakan tugas atau sekadar menongkrong dengan selinting tembakau di antara bibir.

Dia bersama teman sekelas tanpa sahabatnya, Icha sedang menemui dosen penasihat sudah pasti ia ditinggal. Rasanya aneh tidak makan bersama Icha, tapi bukan Jerry namanya kalau canggung bersama orang lain.

“Oh.. itu Joel!” Rissa berbisik terpukau membuatnya menoleh ke arah yang ditunjuk. Seorang pemuda tinggi berahang tegas tetapi menyorotkan mata penuh kelembutan sukses menghentikan denyut nadinya sebentar. Hah. Apa ini. Itu kah Joel Andrean? Yang dibicarakan Icha beberapa bulan lalu? Jerry tak dapat berkedip, retina masih bergerak mengikuti pergerakan Joel.

“Jer! Earth to!”

Matanya berkedip cepat, memandang ke teman-temannya lagi, kini saling cengengesan menggoda.

“Haaa.. kepincut Joel ya lo?”

“Apaan sih? Enggak.”

“Halah, gak usah munafik lo!” sahut Hendri melempar beberapa kentang goreng, beruntung ia berhasil menghindar seraya melototkan mata. “Joel Andrean emang seganteng itu bro,”

“Tapi bukannya dia udah punya pacar ya?” sahut Mina memiringkan kepala, “terakhir aku dapet rumor doi pacaran sama anak fakultas sebelah, si Ranya,”

Lah. Baru digosipin kok hati Jerry memanas? Pelet Joel bener-bener manjur sampai ke tulang.

Pembahasan tentang kedekatan Joel hingga mendiskusikan seksualitas lurus yang dia miliki menyebabkan tokoh utama kita diam saja sepanjang makan siang.

Lesu, letih, lunglai, lemah, loyo padahal dia baru saja bertemu dengan pemuda yang dibicarakan. Icha datang memeluk bahkan memberi kecupan di pipi pun dia tetap bungkam, menatap sahabatnya sedih sehingga putri bungsu Estella-Dewantara mencecar satu meja.

Mereka nggak salah kok, Jerrynya saja yang baperan.

The next thing he knew. Setelah berulang kali melirik Joel di kantin, menyimpan rasa dari semester 1 mereka bertemu hingga menuju semester 3 tanpa berniat melakukan apa-apa, disitulah keajaiban menjadi nyata.

Joel menyapa pertama kali.

Dan Jerry gemetaran kayak orang menggigil.

“Eh? Lo nggak apa?”

Time to go. Jerry mengambil ancang-ancang ingin kabur tetapi dia malah jatuh melukai pergelangan kaki.

Sial dua kali.

Joel langsung membantu, bahkan mengangkat tubuhnya seperti pengantin. Menambah gigilan serta semu merah menyerbak di pipi. Belum lagi ia menatap muka Joel sedekat ini, menghirup aroma maskulin yang terkuar dari kemeja kasual pakaian sehari-hari.

Mungkin tiba di ruang kesehatan dia bakal pingsan.

Untung tidak.

Sayang dong.

“Lo Jerry angkatan 16 kan?”

Jerry mengangguk, bangga sekali karena pujaan hati mengenali. Dia memainkan kulit dalam mulut, meringis kecil saat Joel membantu mengurut bagian yang sakit.

Sorry kalo gue kayak sksd sama lo,”

“Eng.. gak..” cicit Jerry malu-malu, MALU BANGET DIA ANJING! Masa tiba-tiba menggigil terus malah keseleo sih di depan crush! Apa kata orangtuanya kalau dia cerita hah?!

“Nak, kamu uncool sekali.”

Joel tersenyum lebar, ada lesung di pipi kanan, berarti dia lagi senang kan ya? “Soalnya gue tertarik sama lo dari ospek,”

Boom.

WOY CEPET BANGET!

Kepala Jerry mendadak pusing tujuh keliling (kenapa musti tujuh? Kenapa nggak sepuluh? Entahlah), langit-langit ruangan berputar mengikuti kepusingan. Dia memejamkan mata erat-erat, mengatur napas yang memburu, serta jantung berdetak kencang.

Dia tidak bisa menjelaskan. Dia panik. SEORANG JERRY WINATA PANIK AKAN PENGAKUAN MULUS JOEL ANDREAN.

“Jer? Jerry??”

Oh, bahkan nama Jerry saja terdengar sangat lembut ketika terlontar dari mulutnya.

“Jerry? Lo nggak apa?”

Nggak apa matamu! Coba lihat kondisi dia sekarang!

“Oh..” Jerry mulai membuka mata, memandang lurus pada netra kucing Joel yang khawatir, ia bingung ingin menjawab gimana, selain mengulum bibir bawah. “oh.. okay..”

“Kecepatan ya?” Joel menggaruk tengkuk kikuk. Jerry mau jawab 'ENGGAK KOK! AYO KITA PACARAN SEKARANG!' tapi pasti jatohnya nggak keren kan? Tapi kalau digantungin juga, Jerry nggak mau Joel pindah hati.

“Engga.”

“Oh syukurlah,” si Tampan menghela napas lega, tertawa sedikit menghilangkan kecanggungan. Tangan kanan masih bertengger di pergelangan kaki, menyalurkan kehangatan nan tulus. “jadi gue bisa deketin lo?”

Jerry mengangguk pelan, pelan banget anjir! Entah dilihat Joel apa tidak. “Bisa,”

“Berapa lama?” tanya pemuda itu. Si Manis menaikkan satu alis.

“Apanya?”

“Berapa lama lo kasih waktu sampai kita jadian?”

Joel Andrean, you’re smooth as uler.

“Eum.. sekarang?”

Kali ini Joel yang menatap tidak mengerti, sedangkan Jerry sudah merasakan jantungnya mau loncat ke selangkangan. “Maksud gue, jadian dari sekarang aja,”

“Lo serius?”

Sudah berapa kali dia mengangguk? Dia suka sama Joel dan Joel mau dekatin dia, apa salahnya kalau langsung jadian? Jerry bukan tipikal orang (mostly woman) yang harus dikasih candi dulu supaya jatuh hati, dia juga bukan tipe yang dijajanin sampai bertekuk lutut. Kalau dia suka dan orang itu suka dia, kenapa nggak jadian aja? Life must go on, cyin.

“Lo tertarik sama gue kan? Ya gue suka sama lo, kenapa kita nggak langsung jadian,” sahutnya santuy. Wow Jerry kamu juga smooth kek uler. Cocok aja kalian berdua.

Raut wajah Joel benar-benar kayak ditabrak truk. Syok nggak ketulungan. Mendapati pemuda manis incaran satu kampus sangat santai membicarakan perasaannya terhadap Joel mengakibatkan sirkuit otak yang penuh kodingan menjadi buyar membentuk bahasa baru. Belum lagi senyum tipis terpatri, serta mata bulat menarik dirinya masuk ke dalam.

“Oke..” balas Joel breathless. Jerry melebarkan senyum, menyilaukan pori-pori kulit. “oke we’re dating now,”

Si Manis tertawa kecil, dan ia bersumpah suaranya membangkitkan sisi liar di dalam diri Joel. Ya Tuhan Joel, jangan kayak orang mesum gitu deh! Baru juga beberapa detik. Mereka saling bertukar nomor telepon sembari melempar sedikit cerita tentang satu sama lain. Menemukan kesamaan serta hobi, ataupun memaklumi beberapa perbedaan.

After all, what problem will we get?

. . .

Masih di awal-awal pacaran. Mereka sudah memasuki bulan ketiga. Tidak terasa bukan? Joel sering mengajak makan siang, entah di kantin atau di warung luar kampus, kadang mengantar jemput dirinya apabila mereka punya jam yang sama. Bahkan dia sudah mengenal keluarga Winata yang terdiri dari Papa dan Mama kekasih barunya.

Jerry sendiri sudah dipertemukan dengan Jiel. Kakak beda setahun Joel yang dingin setengah mampus. Punya sifat protektif karena masih memandang adiknya sebagai anak kecil, tapi Joel seperti sudah terbiasa, menganggap perlakuan kakaknya angin lalu.

Brother complex kakak lo, Yang,” Joel tertawa seraya mengusak surai cokelat Jerry terhadap protesan tersebut.

Panggilan mereka? Masih sebatas ‘Yang’ or if Joel in softie mode he will calls Jerry ‘Sayang’ which is turns him on and Joel doesn’t have to know that.

Cukup. Dia cukup dihantui oleh beberapa mimpi basah bagaimana perlakuan Joel di ranjang ketika mereka melakukan ‘itu’.

Dia paham mereka tergolong pasangan muda. Dini lah pokoknya. Belum bisa masuk ke ranah ‘dewasa’, belum bisa menggapai keintiman dalam hubungan. Tapi, apakah salah kalau Jerry mendamba sentuhan? Mendamba bibir Joel di atas bibirnya, atau telapak tangan besar tersebut melayang di setiap celah kulitnya?

Call him pervert because yes he is! For his boyfriend only!

Si Manis sering memberi kode-kode ketika mereka sedang bersama. Saat ia menemani Joel mengerjakan kodingan, tiba-tiba tanpa tahu-menahu, dia mendudukkan pantat di pangkuan. Merebahkan kepala di pundak, menatapi rahang tegas membentuk sempurna dari bawah.

Joel? Diam saja. Tidak terkejut, tidak mengelak, lebih sibuk memperhatikan susunan huruf yang tidak diketahui Jerry daripada merasakan gerakan acak sang pacar di pelukan. Nilai dosen lebih penting btw.

Saat mereka menonton film di rumah Jerry. Mumpung orangtua lembur, mereka menghabiskan waktu berdua bergelung di sofa, saling memeluk satu sama lain, walau ada halal gape di tengah-tengah yaitu boneka kesayangan. Jerry started to hate his plushy because it prevents them to do more than just a cuddle. Dan pengantar makanan yang membunyikan bel pintu ketika wajah mereka sudah secenti.

Begitu banyak ujian-ujian awal kencan sehingga Jerry memasrahkan semua kepada Tuhan. If god wants him to do it, then they’ll do it. As simple as that.

“Yang, maaf aku jemput pakai motor,” suatu pagi sekitar jam 10 dimana kedua sejoli sama-sama melangsungkan perkuliahan, Joel menyampir di depan rumah, memberikan helm kepada manusia kesayangan dengan air muka menyesal.

“Emang biasa kamu jemput aku pake apa? Helikopter?” tanya pemuda manis tersebut memutar mata malas mendapat gelak tawa renyah dari si penjemput. Dia sigap menaikkan diri di belakang Joel kemudian melingkarkan lengan di pinggang ramping.

“Kan kemaren janjinya naik mobil,”

“Motor mobil sama aja kali, ah! Yuk berangkat! Aku telat nih,”

“Ay-ay, My Love!” sahut si Tampan langsung menancap gas, Jerry memeluk dari belakang dengan jantung berdebar kencang. Menikmati seluruh perhatian yang diberikan Joel. Ternyata jadian secara langsung tidak buruk juga. Kalau saling menyukai, tidak ada celah untuk berakhir cepat.

Kecuali seks.

Jerry bersumpah kalau sampai setahun hubungan mereka tidak ada seks di dalamnya, dia akan memulai duluan. Lebih ganas dari yang Joel pikirkan.

Semilir angin ditambah sinar matahari mulai menukik ke langit menambah esensi kenyamanan ketika mereka berdua berada di motor. Kelopak mata Jerry jadi berat banget, pengen tidur sebentar tapi helm menahan kepalanya supaya tidak bersandar di punggung lebar. Kedua lengan melemah, tidak sadar bertengger di bagian selatan Joel. Menimbulkan ketegangan bagi sang pengemudi yang diam-diam terjengit namun tidak dapat mengucapkan sepatah kata selain menikmati sentuhan.

Jerry Winata! Bisa-bisanya kamu tertidur dengan tangan menangkup adik kecil Joel. Kalau terbangun di saat perkuliahan gimana huh? Kan tidak mungkin dia izin ke kamar mandi untuk menidurkan.

Si Manis masih belum ngeh, karena kantuk menyerang menyebabkan netra terpejam erat, telapak tak sengaja meremas pelan membuat Joel terjungkit dari jok. Wah. Dikasih hati minta ote-ote.

Adik kecil pun lama-lama terbangun dan mengeras, dan itu sangat tidak nyaman! Joel mencari posisi terenak, tangan setia menggas motor, sekejap kemudian telah sampai di parkiran kampus.

“Yang?” bisiknya tertahan sembari menggoyangkan pundak yang disandari Jerry. Pemuda manis terbangun lalu menatap sekeliling, terkesiap karena sudah dilihat banyak orang. Oke, dia nggak ileran kan ya?

“Kok kamu baru bangunin sih!” akhirnya jemari nista tersebut lepas dari si adik, protes menggemaskan meluncur sehingga Joel berdoa dalam hati supaya tidak memperkeruh suasana. Dia hanya tersenyum dalam penderitaan mendengarkan misuh-misuh sang kekasih. Memandang mata bulat tersebut lembut, membantu melepaskan kaitan helm.

“Pulangnya tungguin aku, ya!” ujar Jerry kemudian mengecup pipi Joel secepat kilat sebelum melesat meninggalkan. Benar-benar tidak peduli terhadap situasi yang dialaminya sekarang.

Jerry oh Jerry, kalau saja seks di keramaian tidak menimbulkan masalah, sudah pasti kamu bakal membungkuk di motor ini. Joel memejamkan mata sejenak, berusaha membayangkan hal-hal pembuat turn off agar kejantanan mereda. Sedikit demi sedikit adiknya melayu meski masih menyembul di balik jeans.

Tangan Jerry memang punya efek yang luar biasa.

Bahkan sampai mata kuliah selesai pun, penisnya setia mengacung, ia menutupi gundukan dengan jaket yang biasa dipakai, mengatur posisi duduk akibat sempit, dan mendapat tatapan aneh dari teman-teman sekitar.

“Wasir lo?”

Kurang ajar. Nyaris mulut Rendi kena slipet.

Joel memutar mata malas, melanjutkan ketikan walau otak terpecah ke sana kemari. Ya sentuhan Jerry, remasan kecilnya, serta bibir tipis senantiasa terbuka saat sedang pulas. Dia ingin mencicipi, menyesap rasa, bagaimana adiknya meregangkan dua belahan ranum tersebut, atau mahkota kejantanan menyodok tenggorokan.

Oh tidak.

JOEL ANDREAN! CURSED YOU, PERVERT!

Beruntung dewi fortuna tengah berpihak padanya. Usai Pak Charles menyelesaikan pertemuan, Joel buru-buru membereskan laptop serta peralatan lain, tidak mengindahkan panggilan kawanan sebab tak sabar ingin menemui si Manis. Untuk tanggung jawab of course. Dia hapal mati kalau kekasihnya tidak ada kelas habis ini. Berbeda dengannya di jam 2 siang nanti.

Membalutkan jaket di depan jeans, Joel bersumpah dia macam gadis-gadis yang mengotori celana saat mens. Bedanya dia di depan, sementara mereka di belakang. Tentu saja ia mendapat tatapan aneh tapi siapa yang peduli disaat pikiranmu terpatri pada satu orang.

Pemuda tampan itu mengutuk sepanjang jalan ketika mata jelalatan mencari sosok Jerry di kantin, kemudian berlari ke seluruh kelas teknik sipil yang mulai ramai dipenuhi mahasiswa lain.

Jerry ditemukan keluar dari salah satu ruangan tak jauh dari tempat ia berpijak. Tergesa-gesa sebelum kekasihnya menghilang di antara kerumunan, ia langsung menyambar pergelangan menariknya pergi.

“Eh? Yang??”

“Kita pulang bentar!”

Si Manis menatap tidak paham, mengikuti langkah cepat pemuda rambut hitam, “O..ke? Kamu nggak makan dulu?”

“Nanti aja di rumah,” itu saja sahutan Joel bagai memutus pembicaraan mereka. Jerry menutup mulut rapat-rapat, cukup bingung terhadap sikap sang kekasih. Terutama bagian dia didorong agar segera menaiki motor, dipasangkan helm secara paksa lalu Joel menancap gas. Dia berdoa dalam hati supaya nyawanya masih ada saat tiba di rumah.

Joel tidak dapat menahan lebih lama lagi. Dia sudah jadi manusia mesum sewaktu mereka pertama kali bertegur sapa, dan cukup tahu diri selama menjalin hubungan 3 bulan ini. Kalian pikir dia tidak peka sama semua kemodusan Jerry beberapa pekan akhir? Tentu dia super duper peka, cuman tidak punya timing saja untuk melakukannya.

“Joel, kamu kenapa?” teriak Jerry teredam suara angin mendesing di telinga masing-masing. Yang ditanya diam saja, rahang mengeras sembari terus meliuk-liukkan motor menuju hunian. Jayden sedang kerja dan Jiel juga tidak ada di rumah dari kemaren otomatis they have the house for themselves.

Si Manis benar-benar tidak mengerti dengan tingkah laku kasar pemuda yang diekori. Ketika tiba di rumah Andrean pun, mereka tergesa-gesa membuka sepatu tanpa menghentikan langkah kaki. Mata Jerry sedikit pusing karena terlalu banyak bergerak hingga ia tiba-tiba sudah terhempas di kasur.

“Joel!”

Deru napas Joel nampak memburu, netra menggelap bagai bola hitam pekat, ada letupan nafsu di sana membuat Jerry menyadari sesuatu. “Ehh? Eeehh?” apa-apaan nih?! Mau terjadi? Apakah keajaiban selanjutnya bakal terjadi? Jerry berusaha menahan badan tinggi tersebut, berhasil mendudukkan sang kekasih di kasur bersamaan ia di pangkuan. “hey.. hey? Joel?”

“Tanggung jawab..” lirih si Tampan mengerucutkan bibir.

“Tanggung jawab kenapa?” tanya Jerry lembut, menaruh telapak di pipi tegas lalu mengusap perlahan seolah sedang menenangkan anak kecil. Joel mengalungkan lengan di pinggang, menikmati sentuhan. Beberapa detik mereka saling berpandangan, barulah pemuda lain mengambil tangan Jerry, mengarahkannya tepat ke selangkangan, membuat Jerry membulatkan mata lucu. “h-hah?”

“Tanggung jawab udah bikin aku sange sepanjang kuliah,”

“L-lohh kok aku?”

“Kamu tidur di motor nggak sadar apa sambil remasin adekku?”

Jerry terbelalak sembari menggeleng cepat, “Ya nggak tahu, Yel,” Joel menekan tangannya lebih dalam, merasakan organ di balik jeans menggeliat “Y-Yel..”

I want you, Jerry..” bisik pemuda itu pelan, mengakibatkan jantung si Manis berdegub kencang, memompa tidak keruan. Kepala mengangguk kecil, memberikan remasan kembali, “shit.”

Do you have any idea how I want this to happen, Joel?” balas Jerry tidak kalah sendu. Napas kedua sejoli menerpa ruang masing-masing, sedikit dorongan bibir mereka akan bertemu. Tidak berlangsung lama, Joel memulai permainan. Menekan bantalan empuk di atas milik Jerry, merasakan pecah di kepala akan ciuman pertama mereka.

Terdengar lirihan Jerry serta menutupnya kelopak mata. Bergerak saling mengeratkan pelukan, memperdalam tautan. Belah membuka mengenalkan lidah satu sama lain, bergelud sesekali meloloskan tawa geli karena percampuran air liur. Joel bergerak menindihi sang kekasih tanpa memutuskan koneksi, jari jemari bebas melucuti kain yang melekat di diri.

“S-Sayang..” desah Jerry menggelinjang sebab Joel menyerang leher berulang-ulang, menjilat berbentuk lingkaran lalu geligi ikut bergabung, menarik secenti, mengemut menciptakan warna merah, beralih ke celau lain. “god Joel..”

Joel mengecup bibir bengkak itu sekali, menyengir lebar terhadap semburat merah muda maupun merah keunguan, bangga pada hasil pencapaian. “You look so beautiful, Baby..” panggilan menyebabkan Jerry mengerang halus, mendekatkan kejantanan agar bergesekkan, mengundang desisan tajam serta deru napas keluar dari mulut.

“Udah lama aku nungguin ini, Joel,” bisik Jerry mengalungkan lengan, pemuda di atas mengangguk paham, mendaratkan kecupan di bibir sekali lagi sebelum melorotkan celana bersamaan. Penis mengacung menampar perut dan saling bersentuhan. “make a love to me, Joel..”

Will do, Baby,” balas Joel tak kalah terangsang. Segala hal tentang Jerry termasuk sisi binalnya yang ditampakkan siang ini selalu menggunjang-ganjing pikirannya. Dia mengambil dua batang di tengah-tengah, mengenggam erat, mengocok perlahan. Jerry meremat kain seprai, mendesis bak orang kepedasan, menyebut nama Joel tiada henti seolah bumi hanya berputar di sekeliling kekasihnya saja.

“J-Joel.. ngh.. aku..”

“Kenapa Sayang?”

Jerry menggigit bibir, gemetaran ketika jempol besar itu melingkup di lubang kencing, kuku mengorek sedikit hingga ia nyaris keluar, “Aku.. udah prepare..”

“Hah?” ulang Joel tidak paham, setia mengais-ngais bulir keputihan yang kini membentuk di puncak.

Si Manis meredam jeritan, penis mengeras dibanding dia main solo ataupun mimpi basah sebelumnya. Dia baru dimainkan kecil-kecilan tapi kepingin klimaks beneran. “Y-Yangh.. aahh.. fuckk..”

“Ngomong yang jelas, Jerry..”

I already prep myself last night!” pekik pemuda cantik tersebut langsung menutup wajah. Pacarnya diam sejenak, mengerjapkan mata berusaha mencerna, ya sekaligus memandangi tubuh montok yang memerah malu. Mendengar kalimat terlontar itu menabrak sirkuit otak, menyebabkan dia menyeringai lebar.

“Ah.. jadi kamu udah..”

I was so pent up, okay? Kamu pikir gampang punya pacar ganteng tapi nggak pernah nyentuh lebih dari pelukan?” keluhnya menggembungkan pipi, mata berkilat-kilat kesal karena dianggap candaan oleh Joel. Namun, sedetik kemudian ia mendapatkan perlakuan sangat hati-hati, dimana Joel menyusupkan diri di antara dua kaki, menekuk halus sesekali mengelus paha dalamnya.

Thank you, Sayang,” ucap si Tampan tak lupa mengecup tungkai jenjang tersebut. Jerry menggigit bibir, menahan desahan saat liang merespon pada tatapan serta kelembutan bagai downy. Dia jadi mempertanyakan apakah pasangan Joel sebelumnya diperlakukan seperti ini juga? Beruntung banget nggak sih?

You’re my first, by the way,”

Jantung berdetak cepat setelah menerima pengakuan, terlebih netra Joel mengisyaratkan cinta di dalamnya, menghipnotis Jerry untuk tenggelam mengarungi pandangan. Bibir plump kembali menyentuh kulit, memberi kecupan panjang sehingga adiknya bergoyang. Joel tertawa kecil, mempersempit jarak dirinya dengan selangkangan.

“J-Joel..”

“Kamu cantik, okay? Kamu pikir aku nggak sadar sama kelakuanmu akhir-akhir ini huh?” Si Tampan menciumi bagian paha dalam, menaikkan rambut-rambut kasat mata di parasan, Jerry merintih pada material, menginginkan lebih. “you’re like my wet dream ever since we met for the first time, Baby,”

“Ngh.. please.. please.. give it to me, Oyeell..” rengek Jerry bergerak ke sana kemari. Joel mengecup pangkal penis di hadapan kemudian menarik pelumas dalam nakas, tak lupa sekotak pengaman ikut bertengger. Tergeletak tidak jauh dari posisi mereka.

Jangan tanya kenapa barang-barang itu sudah dimiliki Joel karena cepat atau lambat akan berguna suatu hari nanti. Seperti saat ini contohnya.

Joel memberikan botol tersebut kepada Jerry, cengiran menggoda terpampang membuatnya menyadari apa yang dimaksud sang kekasih. “Hah?”

“Bantu aku fingering?”

“J-Joel!”

C’mon Baby, show me how you pleasure yourself,” Joel mengerling jenaka sedangkan Jerry masih terkejut-kejut, tapi kalau dipikir-pikir mau sampai kapan dia malu sama pacarnya? Bukankah dalam sebuah hubungan harus ada eksplorasi berdua? Untuk melihat seberapa compatible mereka satu sama lain. Jadi, buat apa dia menolak terus? Toh, Joel minta izin kok, and consent is a must.

“Tapi kamu jangan jijik,” pemuda lain menaikkan satu alis, tidak langsung menjawab melainkan menggigit gemas batang kejantanan yang setia mengeluarkan precum.

Do I look disgust?”

“N-no..” jawab Jerry setengah mengerang, dia bersumpah sekali lagi Joel menggoda adiknya, maka jangan salahkan bila ia tiba-tiba ejakulasi dini. “o..ke.. hufff..” melumuri lima jari kanan dengan pelumas, ia berusaha menarik napas, menghembuskan pelan-pelan, telunjuk mengarah ke pintu, meraba-raba kerutan otot di sana, membiasakan liang agar tidak terkejut ketika diinvasi, di bawah tatapan Joel, semua terasa lebih ringan dibanding dia sendirian.

Fuck!” terdengar umpatan setelah parasan berhasil melalui lingkaran, Joel tak henti menatapi, menjilat bibir melihat pemandangan erotis dimana satu jari telah dilahap habis, seakan menginginkan lebih dari itu. Dia juga melumuri jari sendiri, hendak mencoba merasakan, menemukan pemudanya mengerang nyaring sambil menggenggam alas kepala, mulut terus membuka diiringi gerakan pinggul.

Tiba-tiba sudah penuh saja dirasa Jerry. Entah berapa digit yang menerobos tapi peregangan amat perih dan cukup memuaskan baginya. Apalagi jari-jemari Joel menelusuri dalam-dalam, menyapa bundelan saraf di balik dinding sehingga ia mendadak klimaks melukis perut comel tersebut dengan untaian putih. Kekasihnya menganga dulu, berdecak kagum bak menonton sebuah pertunjukan hebat.

Tentu saja hebat, dia keluar hanya karena jari Joel. Semantara sewaktu solo kemarin, dia harus menungging membayangkan pemuda rambut hitam menggenjot kasar serta mengocok si adik cepat.

“Joel.. aah.. Joel.. ayoo..”

“Kamu yakin, Yang?”

“Aku udah nggak tahan lagi..” desah Jerry menandak-nandakkan kaki, Joel menangkap pergelangan itu lalu melingkarkan ke pinggang seraya memasang kondom secara hati-hati. Dia sudah pernah belajar sebelumnya, biar tidak amatiran dikit, hehe.

“Yang, kalo sakit kamu cakar aku oke?”

Oh.. how sweet of him. Jerry Winata meleleh mendengar pernyataan itu, membuatnya menjadi pria paling dicintai seluruh dunia. Dia mengangguk, menyiapkan fisik dan mental, lubang berkedut menanti, mendadak menutup saat kepala berbungkus lateks menyapa. “Ah takut!”

Joel mengusap surai kecokelatannya, menciumi kening sampai ke bibir, membisikkan kalimat cinta penuh keyakinan, Jerry terbuai sejenak, mau rileks demi melanjutkan penyatuan. Kuku menancap di punggung pemuda di atas, menjerit kesakitan saat diterobos sangat pelan. Si Tampan panik, ingin memundurkan pinggul bermaksud melepaskan, namun yang ia dapat hanyalah gelengan serta air mata merembes membasahi pipi.

Is.. is okay.. is- okay..” gumam si Manis terisak, astaga Joel berasa menjadi monster yang merenggut paksa keperjakaan Jerry. Dia menyesali dirinya yang membawa sang kekasih sampai sejauh ini, dan hendak menyudahi daripada Jerry tambah menangis. “no.. no.. Joel.. please..”

“Tapi kamu-“

“E-entar lama-lama hiks terbiasa kok..”

Akhirnya Joel mendiamkan bagian selatan selama beberapa detik, membiarkan kepala menyangkut sebab tak berani memajukan pinggul. Nggak lucu kalau tiba-tiba Jerry pendarahan, dan dia harus menghadapi amukan sepasang dokter ternama Kota Jakarta.

Nope. Thank you very kamsa.

Bibirnya kembali bermain di bibir Jerry, menyesap sari-sari di permukaan, mencicipi isi mulut secara perlahan. Mengecupi celah yang terlihat, menyapa puting mencuat. Jerry mendesah putus-putus, melupakan keperihan di lubang, berkontraksi bagai menarik adik Joel agar bergerak ke dalam.

“Joeeeelll..”

“Huh? Apa Yang?” sahut pacarnya terlalu sibuk memperhatikan tonjolan mungil sehingga tidak menyadari pinggul bergerak sedikit. Jerry meringis seraya memegangi lengan kekar pemuda lain.

“B-boleh gerak..”

“Yakin?”

Kepala si Manis bergerak naik turun pelan, meraih tengkuk Joel agar mendekatkan wajah mereka. “Iya Sayang,” erangnya merdu. Joel menegak ludah, langsung menyerang bibir tipis tersebut sembari memajukan pinggul, hampir menggigit bantalan ranum karena sempit yang membungkus, berdenyut-denyut di sekujur batang, dia melepaskan tautan, bernapas lewat mulut menerpa muka.

“S-Sayang..” kali ini giliran ia merengek, menyebabkan tawa mengalir dari pita suara. Jerry ikut menyamakan gerakan, membusungkan dada sejenak saat ujung mahkota kejantanan menumbuk selaput rentan. “Sayang..”

I’m here Oyel..”

“Kamu sempit, Yaangg..” Jerry menyengir, mencoba mengetatkan pintu, menemukan Joel merengek lebih keras. “ohh shit aku mau keluar,”

“Lah belum Yel! Kamu belum goyang aku..”

Joel memundurkan bagian selatan, melirik ke tempat dimana hanya kepala penis yang tertanam, mengaliri tenggorokan dengan ludah, “Fuck it’s hot..”

“Unggh.. y-yeah..” si Manis melenguh pelan, lubang dirasa berkedut minta diisi, membuat Joel langsung memajukan organ. “AH!”

“Yaangg maaf… aah..”

“Is.. ngh nggak papa ah.. O-Oyel..”

Kedua sejoli saling bergerak menuju kepuasaan sesaat. Mulut bertemu mulut, jari jemari menggenggam satu sama lain, Joel menusuk berulang-ulang, mengarah ke titik yang sama, menyebabkan kepala memutar ditambah pandangan menjadi putih. Pikiran dipenuhi teriakan nama maupun kehadiran masing-masing.

Perut Jerry mengencang, dan dia memekik minta digenjot lebih cepat. Apa kata dunia kalau dengar? Nggak peduli sih, yang penting dia dan Joel bisa klimaks berbarengan.

“Aahh! Aah! YAANGGG!”

“Jerry.. ya Allah..”

Tipikal Joel ketika sudah di ujung tanduk. Nggak lupa sama Tuhannya. Jerry pun juga menyebut dalam hati, memohon ampun pada perbuatan zina pertama ini. Seuntai cairan putih menyembur di atas perut Jerry, lumayan banyak memenuhi setiap bentukan permukaan kulit. Joel tidak lama menyusul beberapa detik setelah menekan pinggul sejauh mungkin, mengejang menghabiskan pelepasan memenuhi lateks pengaman.

Oksigen dan karbondioksida berlomba-lomba bertukaran di paru-paru. Diafragma dada membesar mengecil memompa udara sebagai pengganti kegiatan semi-olahraga ini. Joel mencabut si adik perlahan-lahan, melepaskan kondom sambil mengikat ujung dan berjalan membuangnya ke tong sampah sebelum merebahkan diri di samping sang kekasih.

“Sayang..” gumam Jerry memandang langit-langit kamar, ia mendadak berkabut usai digagahi pemuda lain. Joel menggumam, menolehkan kepala menatapi fitur wajah sebelah kiri. “makasih..”

“Aku yang harusnya makasih sama kamu, kalo bukan karena tanganmu yang nakal, kita nggak bakal ena kayak sekarang,”

Jerry beradu tatap, tertawa geli menikmati betapa gagahnya sang pacar yang berbaring. He’s so lucky and in love at the same time. “Emang sampai kapan kamu nggak mau nyentuh aku, Yel?”

Joel mengendikkan bahu, “Nggak tahu, sampai adekku meledak?”

Si Manis hanya meremas rahang tirus tersebut gemas kemudian mendaratkan kecupan basah di sudut bibir. “I love you, Joel..”

Pemuda Januari menebar senyum manis, meraih bibir Jerry lembut lalu berbisik mesra, “I love you too, Jerry, please stay with me forever,”

Memberi sebuah anggukan, Jerry membalas tak kalah candu, “Will do.”

Siang itu menjadi momen paling bersejarah di hubungan asmara Joel dan Jerry sebab semenjak itulah kehidupan seks mereka menjadi lebih liar dan bervariasi seperti yang pernah kalian baca sebelumnya.

. . .

©️finn

KyuNyu

. . .

“Hai Sayang..”

Mas, if I found out you're drunk don't get to me tonight,” balas seseorang setengah merajuk di seberang sambungan. Pemuda yang dipanggil hanya terkekeh, menampilkan lesung pipi sehingga mendapat godaan dari teman-teman di sekitar.

“Kamu lagi dimana?”

Eng.. masih lembur,”

Changmin menaikkan satu alis, meskipun dia sedang 'naik', tidak menutup kemungkinan ia tak mengetahui jadwal kerja sang kekasih.

“Ini sudah jam 12, Choi Chanhee.”

Iyaa aku tahu,” erang pemuda cantik, “tapi bosku menumpuk pekerjaan di atas meja,” Changmin menghela napas gusar, ia memandang kawanan di sekitar yang sekarang menaruh minat.

“Hati-hati pulangnya,”

He um, kamu juga jangan nyetir,”

“Ada Juyeon kok,”

“Hey!” bantah temannya tidak terima, sementara Changmin terkekeh pelan seraya mengedipkan mata jahil. Ia mendengar Chanhee mendengus kemudian berpamitan karena kertas-kertas takkan bisa berjalan sendiri tanpa adanya dorongan.

Okay, take care Baby, love you~”

Love you too, Mas~”

Changmin menggeram dalam hati sebelum memutus sambungan, benar-benar Choi Chanhee menguji kesabarannya malam ini. Tidak keren kalau si adik mendadak bangun hanya karena bayangan samar sang kekasih menyebut panggilan secara manja.

“Ji Changmin dan kebucinannya,”

“Ya mau gimana? Pacarku gemesin sih,” sahutnya tidak mau kalah. Tangan mengangkat sloki kosong bekas minum untuk ditambah sekaligus meramaikan suasana makan-makan mereka kali ini.

The point is.. he's drunk and high tonight dan Chanhee tidak tahu apa yang akan dia hadapi setelah ini.

***

Kediaman nampak sunyi senyap bahkan gelap tidak ketolongan. Changmin berusaha berjalan meraba-raba ganggang pintu untuk menekan tombol passcode. Begitu bunyi mendesing menandakan pintu sudah terbuka, ia masuk perlahan, menggumamkan beberapa patah syair lagu yang masih melekat di kepala.

“Sayang?”

Tidak ada jawaban. Dia menyeringitkan dahi saat jari berhasil menyalakan saklar. Cahaya menerangi ruang tamu bersambung ruang keluarga sembari menyeret kaki menuju kamar.

“Sayang?”

Sayup-sayup bunyi gemericik air mendarat di lantai keramik, ia menghembuskan napas lega setelah tahu manusia kesayangan sedang berada di kamar mandi. Mencoba memutar knob, ia mengintip sedikit, mendapati sang kekasih berdiri di bawah guyuran shower dingin.

“Hey..”

Chanhee nyaris terpeleset mendengar suara dalam tersebut. Dia buru-buru menoleh sambil melotot, “Kamu ni kayak hantu!” Changmin tertawa kecil, menyusupkan badan ke dalam sebelum bersandar di dinding terdekat.

“Katanya tadi lembur,”

Pemuda itu terdiam, tiba-tiba membeku sejenak kemudian langsung mematikan keran. Mata berkilat-kilat seperti tertangkap basah mencuri permen. “Baru pulang..”

“Hmm..” Changmin menggumam, menyilangkan lengan di atas dada. Memperhatikan punggung berlekuk nan bersih belum ternoda secara lamat-lamat, menaruh perhatian sehingga Chanhee mendadak merinding. Dia berjalan sangat pelan, berhenti tepat di belakang figur langsing, jari jemari segera menempel di permukaan, mengundang desisan. “kamu nggak bohong kan, Sayang?”

“Eng.. enggak kok!” jawab si Cantik cepat, mengepalkan tangan di tembok seraya menahan desahan. Geligi mendarat halus, menggesek parasan menyebabkan ia menggigil kedinginan. “ngh..”

“Kayaknya mobilmu tadi nggak ada gerak dari garasi waktu aku pergi,” gumam Changmin kali ini mengecup kulit di dekat bahu, Chanhee tidak dapat melihat jelas bagaimana rupa sang kekasih sekarang, tapi dia sangat tahu manik pemuda lain menjadi menakutkan kalau menyangkut kebohongan.

“Aaaahhh..” lenguhnya saat ujung gigi menancap di tepat di perpotongan leher, bulu kuduk terasa berdiri begitupula adik kecil bergantung di selangkangan. “M-Masss..”

Bad boy.” bisik Changmin pelan nan berat, mengundang rengekan kekecewaan meski tergantikan oleh desahan kembali begitu ia menancapkan geligi sedalam mungkin. Dia tidak tahu kalau ternyata pacarnya menyukai hal ini, kalau aja tahu, sudah habis badan si Cantik belar-belar.

“Aaah! AHH SAKIT!”

Changmin mabuk = Changmin berkekuatan super. Tiba-tiba tubuh setengah kering milik Chanhee sudah digotong macam karung beras di pundak. Darah langsung mengalir turun ke kepala sehingga penglihatannya mengabur. Dia tidak berani meronta-ronta sebab takut menghadapi keganasan mas pacar.

“MAS!”

“Diam di situ.”

Chanhee terbaring pasrah, mengerucutkan bibir seraya menatap Changmin membuka pakaian satu persatu. Oke, dia akui pacarnya memang ganteng dan seksi bersamaan. Terutama manik ketajaman yang mengadu pandang dengannya sukses membuat menggigil.

Oh, adiknya juga ikut terpana ngomong-ngomong.

Setelah dua insan telah polos, Changmin bergerak bagai macan, menerjang si Cantik, mengekang kedua pergelangan tangan. Mata hitam menggelap menyebabkan Chanhee mengerang patuh. “What have I told you about lying?”

“Aku nggak bohong!”

“Choi Chanhee..”

Pemuda rambut hitam menjulurkan bibir, meminta pengasihan, “Aku beneran baru pulang, Mas,” balasnya lagi memohon. Changmin menatap datar manik berkaca itu kemudian mendaratkan geligi tepat di leher. “aaahh..”

Chanhee berusaha melepaskan kukungan, selain dia kesakitan akibat gigitan sepihak, dia juga tidak suka ditahan-tahan. Dia ingin menyentuh sang kekasih, membalas segala perlakuan, tetapi sepertinya Changmin punya ide untuk menghukumnya.

“Ngh.. not– ngh.. Mas!” nihil. Jeritan maupun pekikan harapan agar dilepaskan tidak diindahkan. Pemuda di atas tetap kekeuh mempekerjakan gigi-gigi tupai tersebut di setiap celah kulit yang ia temukan. Dimulai dari leher, kedua pundak seputih susu, bahkan dada pun tak luput.

Dia hanya berhenti untuk melihat maha karya. Seringaian tercetak lebar, kemudian menjilat bibir bawah. Chanhee memang sangat cantik ditambah bekas geligi menyebar di setengah permukaan tubuh.

“Sakit, Mas..”

“Nggak sesakit dimasukin, Chanhee,” balas Changmin agak sewot. Pengaruh alkohol bersemayam di alam sadar sehingga ia tidak dapat mengontrol emosi maupun perasaan hati. Menemukan kekasihnya telah berbohong tentang keberadaannya entah kenapa membuat dia kesal dan ingin melukai si Cantik. Chanhee masih terisak, walau penis mengatakan sebaliknya. Changmin memberi perhatian pada batang berdiri tegak itu dengan sentilan halus. “heh.. liat adikmu,”

“Hiks..”

Changmin menyengir lebar, melepaskan cengkraman di sekujur pergelangan tangan kemudian beranjak turun pada kejantanan. Chanhee berdebar tidak keruan, dia membayangkan apa yang selanjutnya terjadi jika Changmin tetap terus menggigitnya bagai berang-berang. “M-Mas?”

Pemuda lain tidak menjawab, senyumannya menyeramkan bagi Chanhee seorang. “Mas woy!”

Ketakutan si Cantik benar terjadi. Changmin sudah menggores gigi di setiap urat nadi, membuatnya bergetar nikmat sekaligus berantisipasi di setiap pergerakan pemuda itu. “Mas.. nghh.. nanti putus!”

“Ngawur kamu!” sahut pacarnya kemudian menggigit gemas, mengundang pekikan kaget bercampur enak.

“Ih tapi kamu gigit-gigit terus!”

“Aku gemes sama kamu,” jawab Changmin menyengir lalu mempertemukan bibir mereka. Chanhee meleleh mendengarnya, menautkan kedua lengan di leher panjang, membalas ciuman tersebut. “tapi aku lebih gemes lagi sama yang ini,” bisikan bernada rendah sedikit serak menyebabkan si Cantik melenguh di sela-sela tautan, bagian selatan berusaha digesekkan.

“Mas..”

“Heum?”

“Maaf..”

Changmin hanya mendengus pelan, menggigit bantalan ranum berwarna merah muda kesayangan lalu menyesap perlahan bak makan permen. Chanhee diam saja, pasrah. Daripada Si Mas makin ngamuk, iya aja dia mah. Membiarkan bibirnya dimainkan di sela-sela gigi hingga tak sadar membengkak.

“Ji Changmin..” geramnya mendapat cengengesan kecil. Ya Tuhan untung pasangannya tidak kalah ganteng dari Juyeon. Jadi, setidaknya mencairkan amarah sedikit.

Sedikit loh ya.

Kedua sejoli bergelung kembali seperti biasa. Menikmati kehadiran maupun kehangatan yang membuncah dari pori-pori kulit. Diiringi gigitan-gigitan selanjutnya, mendarat di sisi lain. Chanhee meremat surai hitam sang kekasih begitu sosok itu mengecupi setiap tanda yang telah berbekas, menciptakan tanda-tanda kedua, mengembangkan memar demi memar di kulit putih. Seperti mencemari kanvas suci dengan berbagai macam warna karena menurut Ji Changmin, berani kotor itu baik.

“Sshh.. Mas...” desah Chanhee mengeratkan jambakan, punggung merintih di seprai hingga menjadi kusut. Bercak kemerahan telah mengembang sepenuhnya, sedikit darah merembes keluar dari pori-pori dan Changmin tidak melewatkan untuk menjilat. Pikiran dia berkabut, gin dan nafsu menguasai alam sadar.

Si Cantik menahan perih, siapa yang tidak perih digigit sampai berdarah? Walaupun tidak banyak, tetap saja sakit woy! Dikira badan Chanhee mainan pengerat apa? Seenaknya ditancap geligi. Namun, ia tak dapat berbuat apa-apa selain mendesahkan panggilan berulang-ulang, karena posisi ngilu berbanding sama dengan kenikmatan dunia.

Terbukti dari penis yang mengacung tinggi, mengeluarkan bulir putih, menetes di atas rambut kemaluan. Changmin melirik ke sana, malah makin mengeras, bergoyang sedikit hingga ia menyeringai, lidah menjulur menyentuh sisi kepala, mendengar pekikan Chanhee. “Aahh Mas!”

“Sabar..” gumamnya menyusuri bentuk mahkota tersebut, menghilangkan bulir yang terus menerus mengepul di lubang kencing. Chanhee menelan ludah saat cengiran terpampang, wah, siap-siap.

“AH!”

Chanhee buru-buru mengatup mulut saat miliknya dilahap habis. Penggoresan geligi di batang menyebabkan pinggul bergetar. Rahang bawah terjatuh tapi ditahan oleh telapak tangan. Gigi seri, gigi taring bertahan agak lama di sana, mengadu tatap sehingga ia merinding lagi. Arghh punya pacar seksi itu menyusahkan akal sehat!

“M-Mas..” cicitnya menghentakkan pinggul, Changmin mengeratkan geligi, melepas lalu menjilat bekasnya. Dia dibikin gila sama kelakuan sang pacar. Liang berkedut-kedut pada kekosongan, ingin sekali diisi. “Mas Ya Tuhan daripada kamu gigitin mending kamu kulum sekalian- fucckkk!” Baru juga disaranin langsung dieksekusi. Chanhee merasa kehangatan melingkupi organ intim, menyodok tenggorokan berbalik menuju indra pengecap. Surai hitam kembali diremat, mempertahankan kepala namun Changmin mencengkram pergelangan tangan.

Hands off.”

“Enggg..”

Dia melotot sedikit, menyebabkan Chanhee mendengking sedih. Changmin menghisap kuat-kuat, mengecap rasa manis yang tercipta. Pipi tembam menirus, menikmati bagai batang permen. Gigi terus dimainkan, menghilangkan kewarasan.

Daddy pleaseee..”

Changmin berhenti sejenak, melepaskan kuluman, membunyikan 'pop' di antaranya. “Apa?”

“D-Daddy?” ulang Chanhee takut-takut. Changmin berdecih.

Nice try, Sayang,”

“Mas ayolah just do me already..” pinta pemuda cantik tersebut memohon, mata berkaca-kaca ditambah kedipan berulang-ulang. Bahkan ia memegangi pipi bokong, melebarkan pelan-pelan, menampilkan lubang kemerahan. “kamu mending gigitin ini dibanding adikku,”

Wah. Choi Chanhee. You do have a death wish, don't you? Karena setelah ia bilang begitu, Changmin tidak menghiraukan penisnya. Tangan mendorong paksa paha dalam Chanhee agar menekuk lutut di dada seraya menjilat bibir bawah.

“MAS SEREM IH!” teriak pemuda lain saat melihat kilatan cahaya memancar dari manik gelap Changmin. Dia sudah suuzon organnya nyaris putus, sekarang sang kekasih malah menatap lapar pada liang.

Changmin mabuk = Changmin siko.

“Aah.. fuck.. M-Mas!!” Rintihan demi rintihan terdengar sepanjang pemuda berlesung pipi menggigiti sekitaran otot, menggunakan lidah agar basah sedikit kemudian benar-benar menarik seinchi kulit. Lubang berkontraksi terhadap indra pengecap, twitching into nothing. Chanhee merasakan abdomen menguat, tanda ingin keluar. “Mas.. aku.. ngh.. Mas..”

“Mau keluar?” tanya Changmin menjauh sebentar sambil mengulum dua jari, membasahi digit menggunakan liur, Chanhee merengek frustasi, kepala mengangguk cepat. “belum juga mulai, tahan dikit, Yang,”

“Ih nggak bisa!”

“Tsk, bisa pasti bisa, ayo tahan dulu aku baru mau makan,”

“Mas kamu jahat banget sumpahhh!!” protes Chanhee merajuk. Changmin memberi tatapan serius, membungkam segala kekesalan, membuat ia mengalah. “n-nanti kalo yang keluar bukan mani gimana?”

“Yaudah keluarin, emang kamu ngarepin apa? Anak?” sahut Changmin cuek, tangan terulur membuka nakas, menarik sebotol pelumas.

“Kamu tu kalau mabuk gini nyebelin!”

“Siapa yang suruh bohong hah?”

Chanhee tidak dapat membalas, hanya memalingkan wajah sesekali menahan perih di bagian testis. Kurang ajar, kurang ajar! Drunk Ji Changmin is sucks.

Tapi seksi gimana dong? Berkali-kali lipat malahan dibanding normal Ji Changmin.

Akhirnya Chanhee pasrah di tempat tidur. Membiarkan permainan intim dikendalikan sang kekasih. Dia hanya bisa melenguh, memanggil sebutan dengan suara lirih, menikmati benda lunak nan basah bersamaan pergerakan dua jari menggores dinding anal.

Tolong jangan tanyakan kondisi kulitnya sekarang gimana. PERIH!

Changmi menyantap sajian bagai makanan restoran bintang lima. Tidak henti-hentinya menggumam, menggigit gemas terkadang meludah menciptakan bunyi kotor. Di sisi lain Chanhee sudah menangis keenakan, hendak sekali dimasuki.

“Mas please pleaseeee..”

Tak begitu menghiraukan tetapi memang ada niat, Changmin melumuri telapak tangan kemudian mengocok milik sendiri. Desahan Chanhee mengeraskan adik kecil di selangkangan. Tidak sabar bertemu sarang. Walau belum puas, ia menjauh sejenak, menatapi tubuh kebiruan itu sembari memainkan penis.

“Kamu cantik, Yang..”

“Lebih cantik lagi kalau Mas masukin aku.”

Dia hanya menahan tawa, melirik ponsel Chanhee di atas meja sebelah kasur lalu menarik benda elektronik tersebut. Chanhee langsung siaga, membulatkan mata tak percaya.

“Mas mau apa?”

“Foto bentar,”

“EH BUAT APA?”

“Kenang-kenangan,” jawabnya pendek kemudian mengarahkan kamera tepat di hadapan Chanhee. Pemudanya refleks menutup wajah, malu tidak ketolongan. Changmin berdeham agak keras, membuat si Cantik melepaskan lengan namun menenggelamkan muka di bantal.

Tunggu aja dia hapus setelah seks ini selesai.

Ponsel ditaruh kembali, Chanhee dapat bernapas lega. Mempersiapkan diri dengan tahap selanjutnya. Changmin menuntun penis mengitari liang, menghindar apabila lubang berusaha melahap.

“MAS!” teriak kekasihnya kesal. Ya Tuhan, dia sudah di ujung tanduk, tinggal nunggu keluar dan pemuda rambut sigung itu main-main sedari tadi. Changmin mengecup bibirnya, netra menatap penuh cinta hingga ia meleleh kembali.

Sialan! Dia terlalu bucin sama Ji Changmin.

“Harus pelan-pelan, Sayang,” bisik Changmin menjilat cuping telinga, Chanhee tertawa geli, tapi sedetik kemudian berganti menjadi pekikan sakit. “tarik napas,” pinggul bergerak maju setelah kepala berhasil menerobos masuk, mengarah ke selaput yang sudah sering dihapal. Chanhee melakukan apa yang disuruh, muka mengerut menahan sakit.

“Punyamu kebesaran,”

“Besaran punya Juyeon,”

Chanhee menampar lengannya halus, “Memangnya aku pernah main sama Juyeon?”

Changmin mengendikkan bahu, menggoyang kecil-kecilan setelah pangkal lenyap, “Kevin yang bilang,”

“Ssshh nggak usah bawa-bawa sex life orang di sini,” tukas si Cantik menarik tengkuknya, mengaitkan bibir mereka bersamaan. Saling melumat lembut untuk mengalihkan rasa sakit. Lidah menyapa langit-langit, bergelud dengan sejenis. Pinggul mereka bergerak searah, sangat pelan agar terbiasa.

“Aku nggak boleh bilang kamu cantik, Hee?”

“Boleh, tapi jangan keseringan,”

“Kenapa?” tanya Changmin seraya menggigit pipi tembamnya, Chanhee mengeratkan kalungan di leher, menjawab putus-putus.

“Nanti aku kepedean,”

“Bukannya bagus ya?”

“Sshh, move already!”

Tempo genjotan berlangsung cepat, berhasil menumbuk bundelan saraf, menyebabkan Chanhee klimaks duluan karena kelamaan ditahan. Changmin hendak marah, namun menahan diri sebab kekasihnya sangat menawan ketika menyemburkan cairan.

“Haaa.. ha.. aku nggak tahan..” erang pemuda surai hitam itu tersengal-sengal. Changmin mengangguk saja, menciumi permukaan pipi sang kekasih tanpa berhenti menggenjot. Liang sempit membungkus adik mengetat saat pemudanya sampai, ia jadi ingin bergabung melukis mani di dalam.

“Tungguin aku,”

“Gimana caranya?!”

Changmin tertawa saja, melajukan gerakan pinggul sembari menerpa napas maupun geraman di wajah Chanhee. Manik kedua sejoli saling bertemu, menyelami perasaan masing-masing, mengaitkan belahan ranum diselingi lenguhan.

“Mau dimana?” tanya pemuda lesung pipi berbisik, merasa hendak sampai. Chanhee mengunci tumit di tulang ekor, memandang penuh harap. Changmin mengangguk lalu menguras habis pelepasan tanpa memutus penyatuan. Pemuda di bawah kukungan tersedak kecil merasakan aliran hangat memenuhi diri, benar-benar mengapit sang kekasih agar tidak kemana-mana.

Semenit dua menit, pernapasan kembali normal. Changmin mulai setengah sadar dari keadaan mabuk tetapi tetap mengemut tulang selangka Chanhee. Si Cantik membiarkan, pasrah dia mah dari awal. Mungkin kekasihnya bakal syok keesokan hari ketika melihat kondisinya nanti. Dia mengusap surai lebat di dada, memberikan kecupan manis di pucuk kepala. Hanya direspon dengan dengkuran halus.

This is why I don't want you to get drunk, Mas,” gumamnya menghela napas panjang.

Tapi separuhnya kesalahan dia juga sih. Siapa suruh berbohong di saat Ji Changmin sedang bersenang-senang dengan alkohol?

. . .

“CHANHEE KAMU HABIS DIMAKAN SIAPA?”

Teriakan Kevin menggema di seluruh penjuru ruang keluarga. Malam itu, keempat sekawan berkumpul di hunian Ji-Choi. Menemukan sahabat sebaya dipenuhi gigitan sampai memar kebiruan di seluruh badan.

“Tanya Ji Changmin.” itu saja jawaban Chanhee sambil memutar mata malas. Sementara pemuda yang dimaksud hanya menyengir, mengatakan pada dua temannya bahwa ia tidak ingat sama sekali kenapa kekasihnya seperti mayat hidup.

You should endure your tolerance, dude, you literally eat him out,” sahut Kevin geleng-geleng prihatin.

“Oh, he did eat me out though,”

“TMI ya anjing!”

Chanhee hanya tertawa keras seraya menenggelamkan tubuh dalam dekapan Changmin, menikmati perhatian dan kecupan-kecupan permintaan maaf serta penyesalan karena sudah menodai kulitnya dengan luka.

Well, dia tidak marah kok. Dia bahkan menyukainya. Sangat malahan.

Mungkin selanjutnya bisa dicoba lagi, hehe.

. . .

©️Noname

NoRen

Part 5

. . .

Berbeda dari keadaan Jeno, situasi di rumah Renjun pun harusnya tenang-tenang saja. Usai membacakan dongeng sebelum tidur untuk Reno, yang dimana putranya langsung terlelap padahal beberapa jam lalu dia baru bangun tidur siang, Renjun menemukan dirinya termenung sembari memutar gelas berisi sisa anggur merah minggu lalu.

Seteguk berusaha menenangkan pikiran kalut, ia menyandarkan kepala di sofa lalu memijat kening perlahan. Wow. Ini baru satu hari Reno bersama Jeno, bagaimana hari-hari berikutnya? Atau ia harus meminimalisir kontak mereka supaya perasaan ini tidak kembali?

Seharusnya dia menyukai Jaemin kan? Buktinya dia tidak pernah sekalipun melewatkan kiriman-kiriman dari pria lebih tua itu meski masih sebatas chatting. Namun, dia tidak mengerti kenapa respon Jeno begitu dingin ketika ia bertanya apakah dia cemburu, seakan memang cemburu.

Itu hanyalah omong kosong bagi Renjun. Mereka berpisah tanpa paksaan, tidak dalam keadaan baik juga sih, setidaknya bukan salah satu di antara mereka yang menderita, tetapi dua-duanya. Tetap saja Jeno tidak perlu merasa cemburu. They divorced for years, itu masuk kategori terlama. Renjun sendiri mungkin tidak mempermasalahkan apabila suatu hari nanti, which is not today, not too soon please, mantan suaminya punya pelabuhan baru yang lebih darinya.

What? Renjun, did you just-

Dia kembali meneguk isi dalam gelas sampai tandas, menaruh benda kaca tersebut di atas meja kemudian meringkuk di sofa lagi bak anak kecil. Apakah dia akan baik-baik saja jika seseorang menggantikan posisinya di relung hati Jeno?

Ya tentu saja! Renjun berusaha berpikir positif. Sekali lagi dia seharusnya membenci pria itu, bukan mengorek-ngorek kilas balik mereka. Tetapi, semakin membayangkan pria lain di samping Jeno, disitu juga jantungnya memompa cepat. Oh, he’s too old to be jealous. Lalu, bagaimana dengan Reno? Jika mereka berdua memiliki pasangan masing-masing dan anak mereka mengetahui identitas asli Jeno, apakah Reno akan kecewa? Dimana seharusnya Reno merasa senang jika Daddy dan Mommynya bersatu bukan dengan orang lain.

Tapi apakah dia mau bersatu lagi demi Reno? Bukankah itu termasuk egois?

Mungkin Jeno ada benarnya, they’re not compatible, they didn’t match for each other. Mereka tidak cocok meski dipaksa bersanding sekalipun, Renjun punya ego lebih tinggi dari kepalanya sementara Jeno punya harga diri yang tidak bisa diturunkan.

Segala bentuk macam overthinking malam ini harus dihentikan secepatnya dikarenakan Renjun masih punya kehidupan besok. Jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh agar tidak terlibat dalam kerumitan adalah sebisa mungkin membuat Reno sibuk sehingga tak punya waktu untuk bertemu Jeno.

But, that was kind of.. mean right? Reno tampak sangat bersemangat bila menyangkut ayahnya, seperti menemukan kepingan puzzle yang selama ini ia cari di sana. Who is Renjun to steal that piece away? Especially, his son’s piece.

Memandangi figur yang terlelap pulas di atas kasur, Renjun mengulas senyum tipis tiada arti, membatinkan kata maaf dalam hati sembari mengecup kening sang putra sangat pelan agar tak terbangun. He really loves this little guy more than anything. Terkadang ia mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia hanya butuh Reno dalam kehidupan setelah perceraian. That’s why he closed himself for good.

Lalu kenapa sekarang dia malah membuka ruang untuk Jaemin?

Pertanyaan Haechan di malam-malam sebelumnya kembali mengingatkan.

“Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Jeno menjadi tetanggamu kan Jun?”

Lee Haechan, you’re really fucking right this time. He’s a mess again after he met Jeno. Dia ingin melempar sesuatu tepat di wajah mantan suaminya agar pria yang dimaksud merasa kesal karena Renjun mendapatkan manusia sempurna sebagai penggantinya. And that guy is Na Jaemin. Dia ingin Jeno menyesal, merasa terpuruk, bahkan lebih worst, iri setengah mati karena tidak bisa membahagiakan Renjun sedia kala.

Is it really worth to try though?

Malam itu Renjun terjaga agak lama dari biasanya, menikmati kebisingan di kamar sebelah, tidak terlalu ribut dari awal-awal, seolah-olah Jeno tahu kalau malaikat kecil mereka sedang tertidur. Pria manis itu menggigit bibir, mencoba mencari perhatian dengan menepuk tembok sedikit agak keras setelah senyap menerpa. Menyebabkan Reno bergerak sehingga ia buru-buru menepuk-nepuk menenangkan.

“Jeno?”

Tidak ada sahutan, tapi ia tahu Jeno ada di sana.

“Kau belum tidur?” ia menahan rasa gejolak aneh begitu Jeno bertanya, semakin menancapkan geligi di atas bibir.

“Aku tidak bisa tidur,”

“Bukankah kau bekerja besok?”

“Hm,” Renjun menggumam, mengusap permukaan tembok pemisah mereka, “kau sendiri kenapa masih bangun?”

“Melukis.”

“Have you ever got tired?”

“Deadlines are my boss, Renjun,”

Renjun tertawa kecil, berusaha tidak membangunkan Reno, “Yeah I can relate to that,”

Tidak ada balasan, hanya ada bunyi-bunyi lain yang menyahuti. “Jeno?”

“Hn?”

Pertanyaan menggumpal di kerongkongan, si manis bimbang ingin menanyakan atau tidak, tetapi karena ia penasaran, tetap melanjutkan, “Do you have someone now?”

“Why? Since when do you care about that?”

Dia menegak saliva, diam sebentar, “I’m just asking,”

“No, I don’t and if I do you’re the last one to know,” jawab pria surai hitam tersebut bersyukur mereka sedang tidak bertatap muka. Kalau iya, Renjun dapat melihat perasaan dia sekarang. Lagian, dalam rangka apa mantan istrinya kepo tentang siapa yang ia temui?

“Probably because you have stupid pride so nobody take a liking on you,”

Jeno rasa tidak ada guna melawan ejekan bodoh tersebut, ia hanya mendengus sambil melanjutkan pekerjaan melukisnya, “I know someone, his name is Huang Renjun, he knew I have pride but he still wanted to marry me, I don’t know why,” Renjun tidak langsung membalas, menyebabkannya ikut terdiam. Apakah itu terlalu menggebu-gebu?

“He liked your painting first, then your enthusiasm towards art, then your idiot face, then your big dick-“ Jeno tak dapat menahan senyuman sebelum mendengar lanjutan, “then your habit over your shitty personality,” dia sangat tahu kalau Renjun tidak memikirkan sifatnya saat mereka pertama dekat, begitupula dengannya.

Sementara di dinding lain, si manis berusaha tidak menangis seusai menjawab, sialan. Apakah sebenarnya dia masih mencintai Jeno walau membenci pria itu?

“Renjun, you there?”

“I-I am,” responnya cepat-cepat, “thanks for the ted talk, Oprah, I’m sleepy now,”

Si tampan menggumam mengiyakan, “Okay, good night, kiss Reno for me please,”

“I will,” bisik Renjun kemudian terdengar gemerisik ia masuk ke dalam selimut di samping figur Reno, mengecup halus kening putranya untuk Jeno. Masih memikirkan percakapan mereka tadi, Renjun tidak bisa menyangkal lebih jauh kalau Jeno memang masih punya sedikit peran di dalam hati.

Ah, god, what to do. Ini lebih rumit dibanding hubungan mereka 9 tahun lalu.

***

Hari-hari berjalan seperti biasa. Menurut Huang Renjun. Setelah mendaftarkan Reno di sekolah taman kanak-kanak yang terbaik di daerah sana, -yang pasti dekat dengan gedung kantor juga-, mereka harus menunggu selama dua bulan karena belum ada pemberitahuan tahun ajaran baru. Beruntung sekolah masih mau menerima Reno. Yah, the power of money pun tak luput dari sana.

Reno meminta pada Renjun agar dapat menghabiskan waktu bersama Jeno, tetapi pria tersebut bersikukuh mengantarkan sang anak ke tempat penitipan dengan alasan tetangga mereka sedang tidak bisa diganggu.

Mungkin sebagian, sementara di sisi lain, ia tak ingin bergantung pada pria itu. Khawatir perasaan lalu terbawa kembali.

“Mommy! Kapan Uncle Jeno tidak sibuk lagi?” di sore hari seusai menjemput Reno di tempat penitipan, anak laki-laki berambut hitam tersebut mengerucutkan bibir seraya menyilangkan lengan di dada, Renjun menggigiti kulit bibir.

It’s been two weeks since the last time he’s with Jeno.

Pastilah dia bertanya-tanya kenapa dia tidak punya waktu bermain dengan tetangga mereka. Renjun diam dulu tak langsung menjawab, dia juga fokus mengemudi agar tidak terjadi aneh-aneh.

“Reno merindukan Uncle Jeno?”

Putranya mengangguk cepat, “Ya, Mommy! Reno ingin melukis lagi bersama Uncle Jeno,” jawaban polos menyebabkan telapak tangan menggenggam stir mobil agak kuat, bingung hendak mencari alasan. “apa Uncle Jeno tidak menyukai Reno?”

“No, no, it’s not like that, Baby,” balas Renjun langsung, “dia bilang pada Mommy kalau dia sangat sibuk bekerja akhir-akhir ini sehingga Mommy harus menitipkanmu di tempat kemarin,”

“Oh, aku pikir dia membenciku,”

“Who in the world dares to hate my precious Baby, huh?” sebuah senyum tipis terukir ketika ia melirik sang anak, “dia tidak membencimu, hanya saja, Uncle Jeno punya bos yang sangat galak,”

“Apa aku boleh memukul bosnya?”

Renjun tertawa, mengacak surai hitam sang anak gemas, “You’re so funny, Little Reno! Mungkin Uncle Jeno akan berterima kasih padamu suatu hari nanti,” Reno menyengir kesenangan sebelum menghentikan bahasan tentang si tetangga, mereka larut dalam topik lain soal keseharian Reno di tempat penitipan.

Si manis terdiam membeku ketika keduanya keluar dari lift, melihat siluet seseorang familiar depan pintu apartemen membuat ia melongo sebentar.

“Jaemin hyung?”

Jaemin menolehkan kepala kemudian tersenyum cerah, sangat menyilaukan bagi matanya sendiri, menambah detak jantung berdentum-dentum antara kaget serta gembira menjadi satu. “Hey, Baby..”

Reno mendongak penuh tanya, mengeratkan genggaman pada Renjun lalu bersembunyi di belakang figur sang ibu karena takut. Jaemin terlihat antusias.

“Hi! You must be Little Reno..”

“Who is that, Mommy?” bisik sang anak pelan. Renjun mengusap kepalanya sayang, mempersilakan untuk berkenalan.

“This is Mommy’s friend, Uncle Jaemin, say hi to him, Baby..” Reno menatap Jaemin yang masih menyunggingkan senyum lebar, menggumam meski masih berada di balik Renjun.

“Halo Uncle..”

“Oh my god, you’re so cute~”

Renjun mengalihkan pandangan Jaemin dari Reno, “Jadi kau sudah bebas?”

Pria tampan tersebut menyengir, “Aku mengambil cuti tiga hari dan ingin mengejutkanmu, makanya aku tidak memberitahu kalau mampir ke sini,” si manis mengangguk mengerti seraya membukakan pintu, menyuruh teman kencannya masuk. Jaemin mendudukkan diri di sofa ruang keluarga seperti menganggap rumah sendiri. “oh I miss this place,”

“Ini kali kedua kau ke sini, Hyung,”

“Ya, tapi aku merasa ini seperti rumahku, Injun-ah,” jawab Jaemin menyandarkan kepala, memperhatikan bagaimana Reno mengekori ibunya bak anak bebek. Sangat menggemaskan sekali. “Kau sudah makan?”

“Belum, kenapa? Kau ingin memasak?” tanya Renjun balik, Jaemin bergerak cepat menghampiri pria manis itu, memberikan pelukan dari samping secara acak, menempelkan dagu tepat di atas pundaknya. “Hyung~”

“I miss you, Baby,”

“Reno’s here, remember?”

Sang anak memicingkan mata pada Jaemin, “Apa Mommy yakin Uncle ini bukan kekasih Mommy?”

Renjun tiba-tiba tersedak sesuatu kasat mata, sementara Jaemin tertawa geli. Siapa sangka anak tunggal teman kencannya punya pemikiran cerdas dan peka terhadap keadaan.

“No, he’s not.. yet?” si manis mendelik sebentar, “he’s just touchy around Mommy,”

“Yeah, I will be your Mommy’s boyfriend soon,” tambah si dokter bedah cengengesan, menambah kerutan di dahi Reno.

“Then how about Uncle Jeno?”

Nama yang meluncur sukses membekukan persendian, termasuk Jaemin. Pria surai hitam tersebut menatap Renjun bagaikan menuntut penuturan.

“Dia hanya tetangga kita, Baby,” jawab Renjun kurang yakin, “how about you take a bath first while Mommy and Uncle Jaemin make dinner?”

Masih memandang pria di samping sang ibu, Reno tidak merespon apa-apa selain melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kedua belum sejoli itu tak tampak membuka percakapan, tetapi hembusan napas Renjun memecahkan keheningan.

“Dia tetangga kami di sebelah rumah,”

Jaemin mengangguk paham, “Yang selalu menganggumu setiap malam minggu?” si manis menggumam, menyelami manik hitam pria di hadapan, menikmati detak jantung yang tidak sesuai irama hanya karena berada dalam dekapan hangat ini. “I think he’s fond of him,”

“Ya, Jeno mengajarinya melukis, makanya Reno menyukainya,” jawab Renjun masih menatap netra Jaemin dan bibirnya bergantian, “hyung I want a kiss,”

Pria lebih tua tertawa kecil, tanpa basa-basi langsung menundukkan kepala mengabulkan permintaan Renjun. Dua bibir saling menyatu perlahan, menikmati setiap detik mereka bergerak. Si manis memejamkan mata, membuka bantalan merah muda dengan tangan menekan tengkuk Jaemin agar lebih leluasa. Kalau saja alarm di kepala tidak berbunyi, mungkin Reno akan menemukan mereka melakukan hal tak senonoh di dapur.

“I miss you, Renjun..” bisik Jaemin di bibirnya, Renjun menggigit sedikit, melepaskan perlahan kemudian mencium pria itu lagi, agak menuntut. “gosh, bibirmu sangat candu, Injunnie,”

“Jika aku masih single dan tidak punya buntelan kesayangan yang harus diurus, aku rela digoyang di atas meja ini, Hyung,” jawab Renjun setelah tautan terlepas tanpa menjauhkan jarak. “I’m a responsible father, indeed,” Jaemin menyeringai, tidak ingin menjauhkan lengan yang melingkar di sekujur pinggang.

“Let’s make dinner, shall we?” Renjun mengangguk terhadap ajakan itu, memberikan kecupan kecil di bibir Jaemin sekali lagi supaya mereka tidak terbawa suasana. Ada anak di bawah umur yang masih berada dalam pengawasan. Dia tak ingin Jeno mendengar aduan Reno soal ibunya yang berciuman tak tahu tempat bila mereka bertemu.

Ya ampun, Jeno lagi Jeno lagi. Stop bringing him back, Renjun!

Mereka makan malam bagaikan keluarga pada umumnya. Jaemin melontarkan candaan-candaan lucu sehingga berhasil membuat Reno tertawa lebar, sedangkan Renjun melihat interaksi mereka seperti menghangatkan perasaan kosong. Namun, entah kenapa tidak sama ketika Jeno berada di antara mereka.

Kenapa dia biasa saja saat Jaemin berada di sini? Kenapa dia merasa tidak ingin menggantikan posisi Jeno dengan Jaemin? Huang Renjun, sebenarnya kau suka siapa sih?

“Uncle bisa melukis?”

Jaemin memasang ekspresi sedih, “Unfortunately, I can’t Reno-ya, I’m sorry,”

“It’s okay! Kalau Reno sudah jago melukis seperti Uncle Jeno, Reno akan mengajari Uncle Jaemin,” jawab Reno sungguh-sungguh, Jaemin pun tampak senang mendengarnya, berbeda dari Renjun yang diam saja.

“Uncle boleh tanya? Uncle Jeno itu siapa?”

“Tetangga sebelah rumah kami,” jawab Reno sambil menyuap makan malam, dia sempat memuji keahlian teman kencan ibunya soal memasak, “dia punya banyak lukisan dan semuanya sangat bagus! Reno ingin menjadi Uncle Jeno suatu hari nanti kalau Mommy mengizinkan,”

Si dokter bedah melirik Renjun, sedikit menyenggol betisnya agar mendapat perhatian, “Ya?”

“Mommy sakit?”

Renjun menggeleng, tak lupa mengulas senyum tipis, “Mommy sedang memikirkan kerjaan Mommy, tapi sudah tidak lagi kok,” mungkin Reno mengerti akan jawaban itu tetapi tidak dengan Jaemin.

Bel berbunyi menandakan seseorang di balik pintu, Renjun bergegas berdiri untuk membukakan dan terpaku saat Jeno berdiri canggung di sana. “Hai! Aku sebentar saja ingin memberikan sesuatu untuk Reno,”

Si manis mengangguk pelan, membuka pintu lebih lebar, tidak paham akan isi kepala yang memperbolehkan mantan suaminya masuk, pria tampan tersebut mengikuti langkahnya ke ruang makan. Tempat dimana Reno dan Jaemin masih bercengkrama bersama.

Jeno ingin minggat begitu melihat sosok lain, tetapi teriakan kebahagiaan Reno tidak memperbolehkan pergi. Bahkan anak usia enam tahun tersebut langsung melompat ke arahnya sehingga mengharuskannya menggendong putra mereka.

“OH MY GOD! UNCLE JENO DATANG!”

Pria surai hitam tersenyum kecil, mengusak rambut anaknya secara lembut, “Uncle membawakan sesuatu untuk Reno,”

“BENARKAH?”

Seraya menaruh sang putra menapak di atas lantai, Jeno menyerahkan tas kain berisi kanvas berukuran kecil dan peralatan lukis, “Uncle baru saja belanja, dan ingat tentang Reno yang ingin melukis di kanvas,” Renjun benar-benar tidak tahu harus melakukan apa di saat otak masih memproses bahwa mantan suami sedang berada satu ruangan dengan teman kencannya.

“TERIMA KASIH UNCLE JENO!!” Jeno mengangguk sambil tersenyum manis hingga mata menyipit, membuat jantung Renjun nyaris jatuh ke selangkangan. “Reno sayang Uncle!”

“Uncle juga sayang padamu,” jawabnya kemudian menatap Renjun dan Jaemin bergantian. “ah, maaf kalau aku menganggu makan malam kalian,”

Renjun menggeleng, “Tidak, aku yang seharusnya minta maaf karena merepotkanmu soal Reno,” jawab si manis agak cepat, “kau sudah makan?”

Jeno mengangguk lagi, tak lupa memberikan senyum sopan pada Jaemin yang masih menatap dalam. Okay, dia benar-benar ingin kabur sekarang, tetapi Reno malah mengaitkan diri di samping bak anak koala. “Ehm, Uncle pulang dulu, okay?”

Reno mengerucutkan bibir, “Uncle tidak mau makan bersama kami?”

“Little Reno, Uncle sangat sibuk dan bosnya sangat galak, remember?” ujar sang ibu, putra mereka masih merengut, menggenggam kemeja Jeno lebih kencang.

“Uncle? Bolehkah Reno memukul bos Uncle?” pertanyaan tersebut membuat Jeno tertawa dan sesak akan kehangatan ini. Oh betapa dia sangat merindukan putranya, meski harus berstatus sebagai tetangga sebelah rumah.

“Kalau Reno memukul bos Uncle, nanti Uncle tidak bisa melukis,” jawab Jeno mengusap surai sang putra sayang, “bagaimana kalau hari sabtu kita melukis lagi?”

“SERIUS UNCLE?” sebuah anggukan didapatkan Reno sehingga ia menoleh kepada ibunya agar dapat izin. Renjun menghembuskan napas kecil lalu mengangguk, anak mereka tampak berteriak kesenangan sambil memeluk Jeno erat, akhirnya mau melepaskan figur sang tetangga. Dia melambaikan tangan kemudian melanjutkan makan malam yang tertunda.

Sementara si tuan rumah mengantarkan Jeno ke pintu.

“Thank me later,” Jeno menyengir ketika sudah di luar. Renjun hanya menampar lengannya main-main. “you should treat me dinner sometimes, I miss your cooking,”

“Shut up and go home, Lee Jeno,”

“He seems.. nice?” pria itu menyandarkan badan di ambang benda penghubung, Renjun menggigit bibir dalam pelan, bingung hendak merespon apa, “a bit of scary I guess?”

“Since when do you care about my date?”

“So it’s a date?” pria cantik itu diam menatapnya, “since I know Reno is my son,”

“He’s better than you,” Renjun ingin menampar mulutnya keras-keras karena sudah melontarkan kalimat tetapi semua telah terlambat apalagi melihat perubahan ekspresi sang mantan suami.

“Yeah, I know.” Figur tersebut berbalik mengambil langkah seribu lalu menghilang dari pandangan. Renjun mengutuk dalam hati. Kenapa sih dia suka membuat Jeno terluka? Kenapa sih dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti mantan suami?

But he hates Jeno, right? Seharusnya dia tidak perlu memikirkan perasaan pria itu. Tapi kenapa dada menjadi sesak setelah mengucapkannya? Seperti ingin menahan Jeno kemudian meminta maaf atas kalimat tersebut.

Renjun kembali memakan sajian yang nyaris dingin, hanya mendengarkan celotehan Reno tanpa mengindahkan beberapa lirikan dari Jaemin. Dia sibuk dengan dunia sendiri, tenggelam dalam kehampaan ini.

Saat ia mencuci piring, Jaemin memeluk dari belakang, terasa posesif terutama bagian dagu yang bertengger di atas pundak. Renjun tersenyum kecil, mencolek hidung teman kencannya pelan.

“He’s.. the ex that you’re talking about?”

Mematung sesaat dengan mata terbelalak. Bagaimana bisa-

“Orang asing pun bisa melihat kalau Jeno dan Reno sangat mirip,” bisik Jaemin terdengar sedih. Kalungan pun semakin erat. “Injun, apa aku benar?”

Walau tak ingin mengakui, Renjun mengalah juga. “Ya, Hyung, he’s Reno’s other father,”

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau tetanggamu adalah mantan suamimu?”

“Karena aku pikir kalian tidak akan bertemu,” jawab Renjun sangat pelan, “sudah enam tahun, Hyung, aku tidak memikirkannya lagi,” bohong. Kau pendusta terhebat, Renjun.

Jaemin masih memeluk, menghela napas hingga menerpa leher si manis, “I’m jealous,”

“Don’t be jealous,” pria manis tersebut menolehkan kepala, mengecup pipi si dokter bedah secara lembut, “there’s nothing more between us, bahkan Reno saja tidak tahu kalau Jeno adalah ayahnya,”

“Bagaimana kalau dia tahu? Apakah aku masih punya kesempatan?”

“Jeno menjamin akan terus merahasiakan identitasnya sebagai ayah Reno, so you don’t have to worry, I know him for awhile, if he said so, he’ll do it,” menggesekkan hidung mereka bersamaan supaya Jaemin tidak larut dalam kecemburuan, “besides we have to thank him for giving us time to do something fun,” mau tak mau pria lebih tua menyengir mendengar lanjutan, mencuri kecupan di bibir merah muda itu.

“Can’t wait for that day to come,”

“Hmm, so can’t I,” Renjun menyunggingkan senyum kecil sebelum melanjutkan pekerjaan tertunda, masih ditemani sosok Jaemin yang mulai menceritakan kegiatan dia selama mereka berpisah berminggu-minggu.

Renjun harap dia tidak memberikan harapan palsu pada Jaemin. Dia benar-benar harus meyakinkan dirinya kalau ia hanya terbawa perasaan dengan Jeno. Bukan jatuh cinta lagi.

. . .

NoRen

Part 4

. . .

Semenjak Reno tinggal di apartemen, banyak kebiasaan Renjun yang harus diubah. Terutama barang-barang sensitif di kamar. Selebihnya tidak ada yang berbeda dari aktivitas sehari-hari.

Tentang Jeno mau menjaga anak mereka bila Renjun ada kesibukan pun terealisasikan. Pria manis tersebut sudah sibuk di pagi hari menyiapkan sarapan untuk keduanya sementara sang anak saja belum bangun. Renjun menata beberapa piring di atas meja kemudian berlari menuju kamar. Berniat membangunkan Reno yang mendengkur di atas kasur, menyebabkan senyuman terukir di bibir.

“Little Reno..” bisiknya menepuk-nepuk bokong si putra perlahan, terdapat pergerakan kecil serta rengekan, Renjun melebarkan cengiran, menghujami beberapa kecupan tepat di kening anaknya. “hey, ayo bangun! Sebentar lagi Mommy berangkat ke kantor,”

“Kenapa Mommy meninggalkan Reno?”

“Mommy tidak meninggalkan Reno, Mommy harus ke kantor hari ini, bagaimana kalau Reno main sama Uncle Jeno?”

Mendengar nama tetangga sebelah rumah, badan Reno bagaikan disiram air dingin, langsung bangkit membuka mata secara cepat seraya menyengir kesenangan. “Benar Mom?”

Ah, kapan coba Renjun mendapat kebahagiaan seperti ini? Baru pertama kali ia melihat Reno begitu antusias setelah mendengar nama Jeno. Apakah sebenarnya ada kontak batin di antara keduanya sehingga Reno tampak senang sekali.

Renjun mengangguk, mengelus puncak kepala sang anak penuh kasih sayang, “Maka dari itu, Reno mandi terus sarapan baru kita ke rumah Uncle,”

Reno menyelesaikan semua perintah dalam waktu beberapa menit. Melahap seluruh santapan di atas meja sehingga Renjun menegur kalau-kalau ia kesedakan. Setelah memastikan rumah bersih, ibu dan anak tersebut pergi mengunjungi apartemen sebelah.

Bel telah dibunyikan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Sang putra mendongakkan kepala meminta penjelasan sementara si manis mengetuk-ngetukkan ujung sepatu di atas lantai sembari menekan bel berulang kali.

Lee Jeno dan kebiasaan mengebo-nya!

Sudah hampir sepuluh menit mereka berdiri di depan pintu, menguras kesabaran Huang Renjun yang mulai menipis serta Reno yang bingung apakah Jeno tidak mau main dengannya.

Benda penghubung terbuka kasar disertai rentetan sumpah serapah, Renjun melototkan mata sembari menutup kedua telinga Reno, “For god’s sake Jeno! Ada anak kecil di sini!”

Jeno mengucek mata malas, setelah netra sipit menangkap figur Reno yang sedikit ketakutan, ia tersenyum lebar. “Hai Reno!!”

“Aku titip Reno selagi aku ke kantor, okay?”

Pria tampan yang bertelanjang dada tersebut mempersilakan Reno masuk seraya mengangguk, “He’s safe with me,”

“You better.” dengus Renjun macam tak ingin melepaskan anak mereka. Dia bertumpu lutut menghadap Reno kemudian mengusap pipi putranya lembut. “ingat pesan Mommy, jadi anak baik dan tidak boleh merepotkan Uncle Jeno, janji?”

“I promise, Mommy!”

Renjun mengulas senyum senang seraya mengacak surai hitamnya gemas, “That’s my boy, now give Mommy a kiss,” anak mereka mengecup pipi si manis sebelum ia bangkit berdiri, memandang Jeno tajam.

“Urus anakku baik-baik, okay?”

Si tampan malah menyunggingkan senyum miring, “Only if you give me a kiss,” mendengar permintaan absurd itu nyaris menyebabkan gedung apartemen bergetar. Renjun ingin melayangkan tinju sedangkan Jeno terbahak-bahak. “relax, Renjun! Your lips is poisonous,”

“Lee Jeno!”

“But if you insist, how can I resist?” ujar pria itu sembari menyandarkan diri di ambang pintu, Renjun bersemu merah, benar-benar payah menyembunyikan ekspresi, ditambah dada bidang mantan suaminya tidak membantu sama sekali. Dia memberanikan diri menutup kedua mata Reno kemudian berjinjit menempelkan bibir mereka. Jeno membulatkan mata sesudah tautan terlepas. Renjun masih semerah tomat masak mendadak berbalik meninggalkan apartemen, tidak peduli pada respon pria itu.

Jeno membeku beberapa detik tetapi berhasil mendapat kesadaran begitu Reno menarik-narik boxer bermaksud mencari perhatian. “Uncle? Kita tidak jadi melukis?” si tampan tersenyum lembut, menutup pintu lalu menggiring Reno masuk lebih dalam. Pikiran menjadi kacau seketika hanya karena Renjun berani menciumnya setelah 6 tahun berlalu.

Di dalam mobil, si manis membenturkan kepala di stir kemudi. Menjerit tertahan akan tingkah bodoh bin konyol yang baru saja terjadi. He. Kissed. Lee. Jeno. On. His. Lips! Untuk apa Renjun?! Untuk apa?! Pria surai hitam kepirangan tersebut menarik rambutnya hingga ubun-ubun ikut berteriak. Huang Renjun! Kau bisa saja pergi atau menghajarnya betulan atau tidak menghiraukan sama sekali!

Why did you kiss him you stupid human!

Dan lebih mengherankan lagi, tidak ada penyesalan setelah ciuman sepihak mereka. Bibir Jeno masih sama seperti dulu, sedikit lembut dan kering akibat jarang minum air putih atau entahlah, Renjun tidak mengerti. Tetapi, nostalgia seakan kembali sedetik ia menempelkan bibir, membuatnya hampir terbuai.

He used to think their lips are made for each other.

Dan mungkin sampai sekarang.

Sekali lagi kepalanya terantuk stir seiring helaan napas. Ya ampun Renjun benar kata Haechan, how can you be so desperate… and shameless?

Daripada membuang waktu yang dapat menyebabkan terlambat, ia segera menginjak pedal gas kendaraan berusaha mengusir sekelebat kilas balik maupun rasa nostalgia sejak berakhirnya tautan sepihak. Dia akan menenggelamkan diri pada pekerjaan sampai-sampai nama Lee Jeno tidak muncul lagi dalam pikiran.

Menjelang sore hari, setelah berkutat terlalu lama di depan komputer, bahkan dia tidak mengindahkan ajakan Haechan soal makan siang, takut kalau-kalau figur mantan suami menghantui, dia hanya meminta sang sahabat untuk membawakannya kimbab atau cemilan pengganjal perut dengan alasan terlalu sibuk menghadapi project baru.

Haechan hendak protes tetapi kenyataan mengatakan fakta.

Seraya meregangkan badan, melemaskan persendian jari jemari nan tegang, Renjun menolehkan kepala begitu telinga menangkap notifikasi, tersenyum lebar sesaat melihat nama terpampang.

Jaemin hyung

I miss you, Injun L hospital’s been hectic after we end our date

Me

Miss you too, hyung. Do you want to come over this week?

Jaemin hyung

I wish I can, baby, but this damn hospital needs me, I only have ten minutes break just to text you T^T

Melihat emoji yang dikirim Jaemin benar-benar membuat tawa gemas mengalir dari bibirnya, dia dapat membayangkan infamous pout si gebetan nun jauh di sana hanya karena mendapat waktu tak banyak untuk menghubungi.

Me

Awww who’s the baby now?

Jaemin hyung

You’re my baby

Me

I’m 28 and definitely NOT close to the term

Jaemin hyung

ㅋㅋㅋ you always be my baby no matter what age you are

Me

.____. anyway hyung, Reno is staying with me

Jaemin hyung

Really? So I can officially meet him now?

Me

…..yeah? I mean we cant do something fun if my only baby is there

Jaemin hyung

You can always come over, my door 24/7 opened for you and Reno ;)

Me

That’s a good idea too, but we cant leave him alone in the house right? He’s only six

Besides, Renjun membatin dalam hati, tetanggaku adalah ayah kandung Reno, sudah pasti aku tidak mungkin menitipkannya ke orang lain. Unless Jeno juga sibuk. Tapi Jaemin tak perlu tahu kan?

Jaemin hyung

Or we can just chill out and cuddle between three of us while enjoying some movie night or eat dinner together, I want him to taste my cooking skill

Me

Hyung, when I want 🍆 I get 🍆

Jaemin hyung

Shit, not now baby, I’m on my duty 😫😫😫

Me

You better make it up to me after you’ve done with those shits :) now focus on your job, hyung~ see you when you’re not busy

Jaemin hyung

Hate to say this but yeah I’ll do my best to see you soon, bye baby injun😘

Renjun tersenyum lembut, baru kali ini setelah enam tahun menutup hati, ia dapat merasakan euforia jatuh cinta lagi. Sepertinya bersama Jaemin tidak masalah, dia pria yang sangat sempurna, bahkan baginya sekalipun. Terkadang ada rasa insecure terselip di sanubari ketika diam-diam memperhatikan Jaemin.

Sisi lain berteriak kecil, ‘How about Reno? And Jeno?’

Pria manis tersebut memijat kening, mata melirik ke jam dinding menyatakan sudah sejam karyawan pulang dari gedung meninggalkan ia sendirian bersama kesunyian. Masih ada waktu, sebaiknya ia pulang lalu mampir berbelanja sesuatu untuk makan malam mereka. Reno sangat menyukai bossam wrap dengan kimchi, dan ia berniat akan membuatkan satu porsi lain sebagai tanda terima kasihnya pada Jeno.

Damn Renjun. Bukankah kau membenci pria ini.

Mungkin sementara waktu, mereka harus berdamai walaupun memiliki masa lalu tragis. Semua demi kenyamanan anak mereka, yang sampai detik ini tidak mengetahui identitas ayah kandung selain Renjun. Si manis pernah terlintas di benak apakah Reno menyimpan pertanyaan tetapi tak ingin diutarakan? Takut menyinggung perasaan ibunya, karena dimana-mana definisi orangtua adalah dua orang bukan sendiri sehingga lebih baik ia menelan entah sampai kapan.

Tak terasa dia sudah tiba di apartemen Jeno. Menderingkan bel lalu menunggu selama beberapa menit barulah pintu terbuka, Jeno nampak mengantuk dilihat dari gerakan mengucek mata.

“Hey..” sapanya canggung, apalagi kilas balik ciuman mulai kembali, “mana Reno?”

“Masih tidur, mungkin kelelahan sehabis melukis,” jawab mantan suaminya kemudian menguap, “kau mau masuk? Atau menunggu di rumah sampai dia bangun?”

Renjun nampak menimang-nimang, waktu hampir memasuki jam makan malam, dia terpikir membuat makan malam di rumah Jeno saja. “Boleh aku pinjam dapurmu?”

“Believe me, my refrigerator is coughing right now,” canda Jeno ingin menakuti, sedangkan ia hanya tertawa kecil, menggoyangkan tottebag yang dipegang.

“Not today, I guess?”

Jeno pun mempersilakan masuk, memberikan jarak pada Renjun agar tidak ada kekakuan di antara mereka. “Feel free to ravish my kitchen,”

“Jeno your mouth!”

“Relax,” ujar pria itu membuka kaleng bir baru di dalam kulkas lalu meneguk setengah. “our baby is sleeping very soundly,”

Renjun mendengus, “Our baby, huh?”

“Okay, YOUR baby,”

“Stop with the useless fighting will ya?” si manis mulai mempersiapkan bahan-bahan di atas meja dapur, tak ingin terlibat argumen tidak jelas. Jeno memperhatikan betapa lincah sang mantan istri ketika sudah sibuk memasak. Kilas balik menampar perlahan, sehingga dia harus berhenti sejenak.

“Aku di kamar mandi kalau kau membutuhkanku,”

Terdengar dengusan diiringi bunyi pisau memotong, “In your dream, Lee Jeno,” Jeno mengendikkan bahu sebelum memasuki ruangan lain untuk mandi. Renjun menyibukkan diri di dalam dapur, memasakkan makan malam untuk mereka bertiga. Sesaat ia tersadar kalau ini termasuk kegiatan domestik. Dimana ia sama sekali tidak berpikiran akan mewujudkan bayangannya sekarang. Perlahan ia menyingkirkan pisau, mengerjapkan mata.

“One time,” bisiknya tidak kepada siapa-siapa, “hanya malam ini Renjun,”

“Mommy sudah pulang?” suara Reno mengagetkan sehingga ia nyaris menjatuhkan pisau, untung segera menggenggam ganggang besi tersebut.

“Hai, Little Reno!”

Reno tersenyum lebar meski mata menatap sayu sebab masih mengantuk, melangkahkan kaki lalu memeluk sang ibu dari belakang. “Do you have fun with Uncle Jeno?” Renjun dapat merasakan anggukan kepala.

“Yes Mommy! Uncle Jeno taught me how to draw with pencil first,”

Renjun mengacak surai hitam legam milik anaknya, gemas dan rindu secara bersamaan, “Glad to hear that, Baby, but tomorrow you’re coming with Mommy because I want to enroll you to a school,”

“Lalu? Kapan Reno bermain ke rumah Uncle Jeno?”

“Kalau Reno punya waktu luang, Mommy akan mengantar Reno lagi ke sini,” Reno mengangguk setuju dan Renjun beruntung memiliki anak cerdas serta pengertian, tidak pernah ia melihat anaknya memberontak kecuali kemarin ketika ia memutuskan untuk tinggal bersama Renjun bukan Kakek dan Nenek di Jilin lagi. “sekarang Reno mandi, dan makan malam bersama Mommy dan Uncle, okay?” bertepatan dengan titahan, bunyi kuncian pintu terdengar menyebabkan ibu dan anak menoleh ke asal suara. Jeno tampak keluar hanya dengan lilitan handuk, tampak segar dan… seksi?

Oke, tampar Renjun sekarang!

“Oh, Reno sudah bangun?” Jeno memberikan senyuman manis, malah Renjun yang diam-diam bersemu tetapi berhasil menyembunyikan. “kau bisa pakai kamar mandinya, Reno-ya..” setelah berkata seperti itu, pria tampan tersebut memberikan handuk baru kepada putranya, yang langsung disambut antusias.

Kapan lagi melihat Reno sesenang ini pada orang asing? Okay, half stranger karena setengah lainnya merupakan orang yang mendonorkan sperma sehingga terbentuklah Huang Reno. Renjun bahkan tidak bisa relate dengan tingkah laku anaknya sesudah bertemu Jeno. Seperti telah mengenal bertahun-tahun. Keasyikan melamun, dia tidak sadar kalau sang mantan berdiri di samping, membuka rak atas mencari sesuatu sebelum menegur.

“Earth to Huang Renjun!”

Si manis sedikit tersentak, membulatkan mata begitu dada bidang Jeno yang masih menitikkan air bekas pemandian terpampang jelas. “W-what?!”

“Kalau kau terus melamun, makan malam tidak akan bergerak sendiri, Renjun-ah,”

“Aku sedang melakukannya kok!” kilah si manis buru-buru melanjutkan kegiatan membungkus beberapa helai daging di atas daun bossam. “kau tidak pakai baju, huh?”

“Kenapa? Kecewa tidak bisa lama-lama memandangiku?”

“Fuck you, Lee Jeno!”

“No, sweetie, it’s the other way round, I fucked you,” Renjun melayangkan ujung pisau padanya sehingga Jeno tertawa kecil. “kau masih saja mengancam seperti dulu,”

“Itu karena kau mengangguku terus-menerus!”

“I can’t help it, who told you to be this cute?”

Renjun membeku sejenak, tak begitu menduga pada kalimat terlontar dari Jeno, dia bingung harus melakukan apa karena otak mendadak konslet. “Shut up.” geramnya dalam. Jeno menaikkan satu alis.

“If I don’t wanna?”

“I stab you,”

“With your love?”

“Ya Tuhan Lee Jeno! Berhentilah menggangguku!” Jeno malah tertawa terbahak-bahak, menyandarkan pinggang pada meja dekat kompor, merasa puas akan kemarahan sang mantan istri yang sudah lama tidak ia hadapi. “If you keep bothering me then dinner’s canceled,”

“It’s okay, I can order take out, didn’t tell you to cook for me,”

Si manis melongo beberapa detik sebelum menggertakkan gigi, tetapi Jeno langsung menenangkan. “I’m sorry it was too harsh, thank you Renjun, I appreciate it,” ujarnya sambil mengusap kedua lengan pria di samping. Mereka saling bertatapan sebentar sebelum Renjun memutuskan kontak, melanjutkan memasak tanpa mengatakan apa-apa. Sedangkan Jeno lebih memilih pergi sekadar mengenakan baju supaya tidak membuat kondisi menjadi canggung.

Saat makan malam, Reno tak henti-hentinya bersorak gembira ketika ibunya menghidangkan beberapa potong bossam wrap di atas piring. Diikuti sup ayam, kimchi segar, serta kimbab tuna melengkapi santapan mereka bertiga di meja seadanya milik Jeno.

“Tetap the best seperti biasanya,” gumam pria tampan tersebut setelah lidah mengecap kuah sup, Renjun nyaris menyunggingkan senyum tetapi ditahan, tak ingin membesarkan ego Jeno. Ada rasa bangga menyeruak dalam diri ketika mantan suami masih menyukai masakannya.

“Reno rindu sekali dengan masakan Mommy,”

Renjun tampak iba, mengusap kepala Reno sekali lagi, “Benarkah? Kalau begitu, besok-besok Mommy akan memasakkan Reno apapun yang Reno mau,”

“Memang selama ini Reno tidak tinggal dengan Mommy?” tanya Jeno membuka percakapan, secara tidak langsung ingin mengetahui latar belakang sang anak. Renjun memandangnya namun tak diubris.

“Reno tinggal bersama Kakek dan Nenek di Jilin dari lahir, Uncle,” ujar si anak mulai bercerita dan Renjun berharap semoga ia tidak menceritakan hal-hal aneh. “Mommy sangat sibuk bekerja sehingga Reno terakhir bertemu Mommy waktu umur tiga tahun,”

Jeno menatap Renjun tidak percaya seolah menuntut penjelasan, dimana si manis hanya menipiskan bibir sembari menutup mata perlahan. Baru saja dia berharap. Dia mengisyarakatkan sesuatu pada pria di hadapan yang akhirnya Jeno menyanggupi. “Jadi Reno akan tinggal bersama Mommy selama-lamanya?”

Reno mengangguk seraya mengunyah makan, ingin menjawab tetapi Renjun menegur agar ia menelan apa yang ada di mulut. “Iya Uncle, karena Reno kangen Mommy,”

Si tampan mengulas senyum kecil, mengelus kepala putra semata wayangnya penuh kasih sayang, “Reno bisa berkunjung ke rumah Uncle kalau Reno mau,”

“Tentu saja Reno mau, Uncle!”

Renjun merasakan sesak lagi, entah sudah keberapa kalinya perasaan mendadak penuh ketika menghadapi interaksi ini. Seakan-akan mengatakan kepadanya kalau dia tidak boleh seenaknya merusak momen kebersamaan Reno dan Jeno. Terutama membawa Jaemin di tengah-tengah mereka.

Tapi bukankah ini urusan Renjun? Jeno pasti tidak akan peduli siapa yang ditemuinya sekarang. Mereka membuat perdamaian secara tidak langsung dan memutuskan untuk berhenti saling membenci karena kehadiran Reno.

Selesai makan malam, anak laki-laki itu disuruh Renjun menonton televisi atau melanjutkan kegiatan menggambar. Sementara mereka berdua terlibat dalam kegiatan cuci piring dimana kesempatan bagi Jeno untuk meminta penjelasan.

“Setelah sidang kita selesai,” Renjun memulai, tangan sigap menyabuni peralatan makan, “aku tidak berhenti sakit kepala selama satu minggu, aku pikir aku begitu sedih akibat perceraian kita, tetapi begitu pagi menjelang, morning sickness itu datang,” Jeno diam mendengarkan, ikut membantu membilas satu persatu. Si manis menghela napas.

“Cek ke dokter, ternyata aku hamil,”

“It was the most intense moment I’ve ever had, Jeno,” gumamnya menerawang masa lalu, “aku ingin memberitahumu, tetapi kau sudah pergi ke Incheon dan mungkin karena pertengkaran terakhir kita membuat aku benci berhubungan denganmu lagi,”

Jeno tidak merespon, dia tahu ceritanya masih panjang.

“Jujur, aku ingin sekali membuang Reno, tetapi Mama menamparku ketika tahu aku menyembunyikan hasil pemeriksaan,” si manis diam sebentar, menggigit kulit bibir sedikit, “beliau bilang, kau sudah bodoh menceraikan Jeno hanya karena ego kalian yang seharusnya bisa diselesaikan, dan kau malah berniat membuang buah hati kalian? Lebih baik kau tidak usah jadi anakku daripada membuat hatiku sakit dua kali,”

“Perceraian kita bukan sepihak, Renjun,” balas Jeno pelan, “kita berdua menyetujuinya,”

Renjun mengangguk, “Ya aku tahu, tetapi Mama terlanjur sayang padamu, unfortunately,” jawabnya agak bercanda, untung Jeno hanya tersenyum tipis sehingga ia melanjutkan, “sewaktu aku mengandung, aku sering memikirkan untuk memberi Reno pada orang lain, namun, seiring berjalannya waktu, I’m in love with him,” ia mengulas senyum kecil ketika mengingat bagaimana kecilnya Reno dalam dekapan saat putranya lahir. “he’s so beautiful, meskipun sangat mirip denganmu,”

Jeno mengerucutkan bibir, “Is that bad?”

Pria cantik tersebut tertawa kecil, memukul lengannya main-main, “Yeah, bad for me, because he reminds me of you,” Jeno masih merengut sehingga Renjun tanpa sengaja mencubit pipi agak tembam pria di samping. “tapi kau tahu waktu memang menyembuhkan, aku tidak terlalu sering bersama Reno, karena aku tidak ingin lama-lama memandangnya,”

“Kau konyol, Renjun,”

“I know, I can’t help it, hidupku baik-baik saja selama enam tahun sebelum pertemuan kita dua bulan lalu,”

Si tampan menggumam, “Jadi kau menyalahkanku?”

Renjun menyelesaikan cucian, mengeringkan jari jemari pada kain yang digantung dekat sana, “Hm, maybe?”

“Tapi kan kau sudah punya kekasih baru,”

“Kau cemburu?”

“Tsk, tentu saja tidak,” balas Jeno cepat kemudian menata piring serta gelas ke dalam rak, tidak menyadari cengiran khas Renjun terukir di bibir si mantan istri.

“Berhentilah mengelak, Lee Jeno..”

“Kalau aku bilang ‘Iya aku cemburu’, kau akan membalas apa?”

Si manis mengendikkan bahu, “Terima kasih? Karena aku berhasil membuat mantan suamiku menderita?”

Jeno mendorong Renjun main-main sehingga pria cantik itu tertawa kecil, tidak mengambil perasaan. “Seriously Jeno, what’s with the girls? As long as I know you forever, you prefer ass over pussy,”

Pria surai hitam memutar mata malas, beruntung anak mereka agak jauh dari wilayah mereka sekarang. “Entahlah? Mencari suasana,”

Renjun menyeringit jijik, “I don’t know you’re that desperate,”

“Oh, said someone who screams “yes Jaemin I need your cock” two weeks ago,” balas Jeno membuat si manis buru-buru membekap mulutnya bersamaan dengan semburat merah muda di pipi. Mata tajam sang mantan suami hanya menatap dingin, terlihat sekali ada sedikit kecemburuan di sana, tetapi bukannya ingin menggoda, malah muncul rasa bersalah.

“I’m not sorry for being loud because your partner did the same, and that was my first time after six years,” desis Renjun pelan nan menusuk. Jeno menaikkan alis.

“Is he good?”

“Of course,”

“More than me?”

Pria surai kepirangan tidak menjawab, mengatupkan bibir lebih rapat. Apakah Jaemin lebih dari Jeno? Renjun saja tidak ingat kapan terakhir mereka melakukan seks. Yang jelas seks tersebut membuahkan hasil.

“I can’t recall our sex, that was ages, Jeno,”

Jeno menggumam saja, “Neither can I, maybe we’re not that compatible,” kalimat itu berhasil menghujam jantung Renjun, dia terlihat sedih bercampur marah karena pernyataan pria rambut hitam. Seperti menyepelekan kebersamaan mereka selama 3 tahun. Kerongkongan terasa tercekik hingga tak bisa mengeluarkan apa-apa, Jeno juga tidak peduli, menghampiri Reno karena tak mau berlama-lama membahas masa lalu mereka.

Reno berjanji padanya untuk mengunjungi jika punya waktu luang saat ibu dan anak tersebut berpamitan pulang. Renjun tidak menatapnya, hanya menganggukkan kepala kemudian menggiring putra mereka menuju apartemen. Meninggalkan Jeno sendirian lagi di sini. Ditemani lukisan-lukisan abstrak terpajang di beberapa celah dinding.

Dia bersandar sebentar, ada rasa kecewa mendengar penuturan Renjun tentang mereka. Jeno juga tidak mau hidup dalam bayang-bayang perceraian kemarin, tetapi dia juga tidak mau merusak rumah tangga untuk kedua kalinya. Dia hanya ingin ikut membesarkan Reno meski berstatus sebagai tetangga sebelah rumah. Namun, kehadiran Renjun semakin membuat hatinya merumit. Bagai benang kusut karena terlalu banyak diurai.

He’s still lovable like he used to know.

He still holds the world Jeno owns.

He still remain the same. Mungkin lebih dewasa dibanding saat mereka menikah. Itu semua tiba-tiba merasuk di pikiran. Tertancap seolah mengatakan kalau pertemuan mereka terus berlanjut, Jeno akan jatuh cinta lagi.

Lalu selanjutnya? Bagaimana dengan si Jaemin yang diteriakkan Renjun? Jika mengungkap kejujuran, setelah mendengar teriakan mantan istrinya, Jeno berhenti melakukan seks dengan perempuan yang ia bawa pada waktu itu. Bahkan mengusirnya tanpa belas kasihan dan menenggelamkan diri dengan sebotol gin sampai ia tidak ingat kenapa tiba-tiba tertidur di atas lantai dapur.

Ya, Renjun. Jeno cemburu. Dia cemburu karena kau terlihat bahagia dengan pria itu padahal dia hanya mengenalmu sekali, tidak seperti dirinya.

Does he like painting too? Does he even know Renjun really loves art museum so much? Can he paints like Jeno does?

Setitik air mata mengancam turun. Tidak, tolong, kembalilah ke tempat semula. Jeno doesn’t wanna bathe in self-pity right now. Renjun berhak mendapat yang terbaik dan itu sudah sangat jelas Jeno tidak ada di dalam bingkai kehidupannya.

Yeah. He clearly knows his place.

And it fucking hurts.

. . .

NoRen

Part 3

. . .

“J-Jaemin-sshi..”

“Call by name, Sweetheart,” bisik Jaemin candu di sela-sela ciuman mereka. Renjun melenguh ketika benda tak bertulang itu menerobos ke dalam mulut, mengajaknya menari di sana, mengeksplor seluruh dinding mulut, menyebabkan setitik air liur menetes dari sudut bibir.

He’ s a good kisser!

Renjun menekan tengkuk Jaemin lebih dalam, mungkin sebentar lagi bibirnya agak bengkak, but he doesn’t give a shit. How on earth people didn’t find Jaemin attractive? Even Renjun wants to get into his pants quickly. “J-Jaemin.. nhh.. let me open the door,” Jaemin tidak mengindahkan, malah semakin mengukungnya di antara pintu.

Si manis dapat mendengar bunyi gemerisik lain, Jeno dan seorang perempuan bergelayutan manja di lengan melewati dirinya. Mereka saling berpandangan tetapi mantan suaminya memandang dingin. Jaemin ingin menoleh kenapa Renjun tiba-tiba terdiam tetapi pria cantik tersebut malah menarik rahangnya untuk melanjutkan ciuman panas.

“Baby, Baby, hey, you said you want to open the door,” Renjun terengah-engah, mengusap pipi Jaemin sembari menatap sayu. Jaemin tersenyum kecil, mengecup bantalan empuk sekali, sebelum membalikkan badan mungil Renjun agar dapat membuka benda penghubung.

Dia gemetaran saat mencoba mengetikkan pin, ditambah sesuatu menabrak bokong terus menerus mengatakan ia sudah cukup terangsang setelah ciuman mereka.

“Little guy can’t wait, huh?” bisik Renjun cengengesan ketika pintu telah terbuka, Jaemin menendang agar tertutup kembali sementara Renjun langsung menerjangnya. Mereka tertawa geli dan melanjutkan tautan panas mereka. Jari jemarinya bertengger di surai hitam, tangan kanan Jaemin menjaga keseimbangan, tangan kiri meremas bokong Renjun hingga ia menggigit bibir teman kencannya.

“Shit.. Jaemin-ah.. go to bed~” rengek si manis menggesekkan kelamin mereka bersamaan. Jaemin mendesis sembari membawa Renjun masuk rumah lebih dalam, seperti mengetahui letak-letak ruangan. Pria surai blonde itu terhempas di atas kasur familiar sesekali menyeringai.

Buru-buru keduanya saling menanggalkan pakaian masing-masing diselingi ciuman panas, saliva merembes kemana-mana membasahi sekitar mulut. Renjun melongo begitu dada bidang menyapa pandangan terutama bagian otot perut yang berpetak-petak. Tangan menggerilya merasakan di bawah kulit jemari, mengakibatkan miliknya bergerak. “J-Jaemin.. ugh I swear..”

Jaemin tertawa kecil, membuat otot perut berkontraksi menambah intensitas rengekan Renjun, “Well, you like it?”

“Very much!” jerit Renjun bagaikan betina in heat. “pants off, Jaeminnn..”

Pria tampan itu berdiri bertumpu kedua lutut, menurunkan celana jeans yang menggembung, membebaskan seluruh tension terdapat di sana. Jantung Renjun berdebar-debar, telapak tangan terasa gatal ingin memegang, menyentuh, apapun!

“Jaemin it’s so big..” ia merasa air liur menetes terus menerus. Look at that cock! Setelah pria di hadapan menurunkan celana dalam, penisnya langsung menampar abdomen, kepala jamur berwarna sedikit kemerahan, bahkan berurat di sekitar batang. “fuck.. fuck.. my dildo can’t relate,”

“You have dildo to pleasure yourself, honey?” Jaemin menarik kedua kaki Renjun untuk berbaring, si manis mengangguk lemah, tak sadar kalau liangnya berkedut mencari perhatian, pria itu tersenyum miring, mengecupi betis Renjun lembut.

“I can show you later, but right now I need that little guy in me,” desah si manis membusurkan punggung, perlu disentuh sekarang. Jaemin mengangguk, memposisikan diri di antara kedua kaki Renjun.

“Do you want me to eat you?” bisik pria tampan mengulas senyum, Renjun mengerang, rambut di kulit otomatis berdiri. “I see you cleaned right here..”

“Yes.. yes.. only for you, nghh..” Jaemin mulai dari paha dalam terlebih dahulu, menelusuri kulit sedikit lebih gelap darinya menggunakan lidah, menarik secenti membuat bercak kemerahan. Renjun mencengkram seprai, menikmati benda lunak tersebut mengitari bagian liang, “J-Jaemin.. fuckk..”

“Hold on, Baby,” Jaemin menjilat kembali dari pangkal penis sampai kepala, mendapati tubuh di bawahnya bergetar nikmat sebelum mengulum ke dalam mulut.

“FUCK! SO GOOD!” teriak Renjun meremas surai hitam Jaemin yang kini menabrakkan ujung penis pada kerongkongan. “J-Jaemin.. aahh! Shit.. I’m close!” si tampan berhenti menghisap, melepaskan kuluman kemudian menyeringai puas ketika Renjun membelalakkan mata akan orgasm denial.

“Don’t come yet, Baby.. we just got started,” gumam dokter bedah tersebut mengukung Renjun di bawahnya, menggesekkan kemaluan mereka bersamaan, mengundang erangan keras teman kencannya. “you’re so beautiful, Renjun-ah..”

“Injun.. call me Injun please..”

Tawa renyah mengalir dari mulut Jaemin, mengecup pipi Renjun secara hati-hati, menggigit sedikit, “Where’s your lube, Baby?”

“Third drawer,” balas Renjun mengalungkan lengan di pinggang pria yang mengukungnya. Jaemin meregangkan badan, membuka laci dimaksud, menarik salah satu botol lalu melumuri ketiga jari. Si manis mengatur napas, agar lebih rileks, sebuah suara melengking serta getaran di dinding terdengar dari sebelah kamar. Damn. Sepertinya Jeno tidak mau kalah. Oke, let the fun begin.

Jari tengah menembus pertahanannya, Renjun meloloskan desahan, mencoba natural dibanding perempuan di sebelah. Jaemin memutar sedikit, menyolek bagian yang dirasa sensitif sehingga Renjun gemetaran. “J-Jaemin!” sejari menjadi dua menjadi tiga hingga ia dirasa sudah siap.

“You’re so tight, Injun Baby..” ucap Jaemin menggerakkan tiga jari agar dapat melebarkan akses. Renjun himself is a mess beneath him. Berulang kali mencengkram seprai ikut menggerakkan pinggul mengikuti irama. “do you want more?”

“YES JAEMIN! I NEED YOUR COCK!”

“Easy Baby,” Jaemin membawanya ke dalam ciuman, Renjun merasa kehilangan saat ketiga jari melepaskan diri, leaving him gaping at nothing. Pria surai hitam tersebut menjilat bibir, benar-benar telah bernafsu sepenuhnya melihat kondisi pria lain. Terengah-engah, setitik precum sudah mencuat dari ujung penis, dan liang membuka menutup menantikan sesuatu. “save rimming for later, will you?”

Renjun mengangguk, menaikkan kaki sampai ke dada lalu menekuk pelan-pelan. Dia cukup bangga akan kelenturan dirinya, berterima kasih pada latihan balet selama 2 tahun terakhir. Jaemin melumuri penis dengan cairan, mengocok perlahan seraya menggigit bibir menahan desahan. Sedangkan Renjun mengerang nyaring because it’s so sexy!

“You ready?”

Si manis mengangguk, berusaha rileks begitu Jaemin menuntun batang panas tersebut melewati liang, Renjun menarik tengkuk Jaemin, mempertemukan bibir mereka untuk meredam jeritan, penis pria ini tidak sebanding dengan tiga jari. Kepala baru merobek sedikit, Renjun sudah ngos-ngosan. “F-fuck.. Jaem..”

“You’re so tight, Baby, ugh..”

“It’s been.. awhile..” erang pria cantik tersebut memegangi Jaemin. Pria surai hitam melesakkan lidah ke dalam mulut terbuka Renjun sambil memajukan pinggul. “fuck! Jaemin!”

“Half way through, Baby,”

Dia mengangguk, membiasakan diri pada stretch dari penis yang berusaha masuk. Terasa membakar, perih, ah ia tak bisa menjelaskan satu-satu, dia hanya ingin Jaemin cepat-cepat menabrak titik sensitifnya di dalam supaya rasa ini teralihkan. “Jaem.. kiss me..”

Jaemin menundukkan kepala menyatukan bibir mereka lagi, melilitkan lidah di dalam mulut Renjun seraya menggenjot perlahan. Renjun membulatkan mata, mengerang tertahan, sebab Jaemin berhasil mengenai selaput di sana. “Is it here?”

“Yes.. yess.. fuck me Jaemin..”

“I’m on it,” ujar pria surai hitam mempercepat gerakan pinggul, memegangi pinggang si manis yang sudah melolong nyaring. Dia sendiri juga mendesah, menyembunyikan kepala di ceruk leher Renjun sesekali menggigit leher pria itu. “fuck.. baby..”

Renjun meremat rambut pria di atas sembari mengalungkan kaki di sekitar Jaemin lalu menekankan tumitnya pada celah punggung si dokter bedah agar semakin dalam. “Shit.. I’m close, nghh..”

“Come for me then,” Jaemin menyeringai menambah keinginan klimaks Renjun menjadi-jadi. Seuntai cairan putih menyembur di atas perut. Si manis gemetaran, tiba-tiba pikiran telah kosong hanya ada kabut nafsu di sana. Dia benar-benar tidak menyangka dapat orgasme tanpa disentuh.

“Jaem.. ah..” Renjun memegangi lengan Jaemin agar tetap hidup, dia menggigit bibir saat pria tampan itu menyusul. Kedua sejoli sama-sama mengatur napas, menyelami manik satu sama lain sebelum bibir menaut kembali, lembut, tidak terlalu menuntut. Jaemin mengeluarkan miliknya, sedangkan Renjun meringis ketika cairan di dalam merembes keluar

“I’m sorry,”

Pria cantik itu menyengir, menepuk-nepuk pipi Jaemin main-main, “It’s okay, best sex ever,”

“I can help you clean out, though,”

“You want to take care of me?” Renjun tampak berbinar-binar, apa salahnya kalau dia manja sedikit. Jaemin mengendikkan bahu, menghirup aroma dari leher teman kencannya. “you don’t need to feel burden, Jaemin-ah,”

“I want to, Baby, let me take care of you,”

“I’m twenty eight, not a baby,” bibir mungil tersebut mengerucut, mengakibatkan tawa renyah mengalir serta kecupan gemas mendarat.

“So? I’m twenty nine, and want to spoil my baby so much,”

Kali ini Renjun membulatkan mata kaget, “You’re older than me?”

“Probably?”

“I should dress you as hyung!”

“We’ve been speaking english since we met, Baby,” Jaemin memperbaiki helai-helai kepirangan yang menempel di kening Renjun. “or do you want us to talk in korean?”

“Yeah, I think you sound sexy when you speak korean,”

“Serius?”

Renjun mengerang, “Aku benar kan?”

Jaemin tertawa kecil, mencuri kecupan berulang kali hingga si manis merengek. “Hyungg..”

“Damn Injun-ah, kau ingin menggodaku lagi?”

“Kau bilang ingin memanjakanku,” balas si manis mengalungkan lengan di leher, menarik Jaemin sehingga hidung mereka bertubrukan. “sejujurnya aku merasa insecure sekarang,”

“Kenapa? Karena ini first time?” Renjun mengangguk, menipiskan bibir. “we can go slowly before going steady, I’m not going anywhere,”

“Yeah,” pria rambut hitam kepirangan melempar senyum kecil, “yeah we can do that,”

Apakah dia menginginkannya? Bagaimana dengan Reno? Apakah dia akan senang apabila tahu kalau ibunya memiliki seorang kekasih? Atau lebih mengerikan lagi, menjadi ayah barunya? Renjun tidak bisa memikirkan semua kemungkinan tersebut.

***

Minggu telah terlewat. Huang Renjun kembali ke aktivitas biasa setelah menghabiskan semalam bersama Jaemin. Dimasakkan sarapan, sampai mereka berpisah sesudah makan siang karena pria itu dipanggil ke rumah sakit. Bahkan mendapat ciuman manis di bibir serta kening.

A great guy, isn’t he?

Renjun menutup pintu rumah kemudian berjalan ke arah lift, memulai hari senin yang sangat monoton sambil terus berharap sabtu datang lagi.

“How’s your date, Widow~”

Mulut Haechan harus terbekap oleh telapak tangan ketika mereka sedang menikmati istirahat di kantin perusahaan. Pria tembam tersebut merengut karena pelototan dari Renjun. “Bisa diam tidak?”

“Kenapa? Kan bukan rahasia umum lagi!”

“Aku dikenal sebagai hot widower di sini, Haechan-sshi. Kau ingin merusak reputasiku, huh?” cecar si manis masih setia melototkan mata. Haechan mendengus.

“Hot widower macam apa yang selalu menolak ajakan kencan teman sekantor,”

“A very expensive hot widower,” Renjun mengerling, membuat Haechan pura-pura hendak muntah. “tapi kalau kau memang mau detail, aku akan memberitahumu,”

“Beneran?”

“Yeah, malatang,”

Haechan nyaris menampar sahabatnya, sempat-sempatnya manusia ini meminta imbalan. “Baiklah, apapun untukmu, Injun-ah, tapi aku minta spoiler sekarang juga,”

Renjun memutar mata malas, “Tsk, sudah kuduga,”

“One spoiler and dinner’s on me,”

“Call. I had sex with him,”

Spoiler tersebut sukses menyetrum Haechan. Beruntung dia tidak sedang menelan atau meneguk sesuatu. Dia hanya menganga mendapati Renjun menyunggingkan senyum miring setengah bangga pada prestasi minggu lalu.

“Kau baru saja bertemu dengannya, Injun! How can you be this desperate?”

Renjun mengendikkan bahu, “Kau minta satu spoiler dan itulah yang kau dapatkan,”

“When I said don’t bite him, then don’t,”

“He bit me first,” buru-buru si manis mengatupkan mulut, tidak ingin membeberkan lebih supaya menambah rasa penasaran sahabat sekaligus teman kantornya. Haechan tidak bisa menyembunyikan rasa syok, sedangkan Renjun hanya cengengesan tak bersalah. “that was best fuck since 6 years,”

“Stop or your malatang flies away,”

Pria cantik tersebut hanya tertawa keras melihat kekesalan Haechan.

Tiba saat makan malam, Mark menjemput mereka. Suami Haechan selama 7 tahun ini bekerja sebagai manajer hotel dengan jarak beberapa blok dari gedung kantor istrinya. Haechan memberitahu sang suami kalau Renjun akan bergabung dalam acara makan malam mereka dikarena sedang berutang sesuatu.

“Long time no see, Mark Hyung~”

Mark terkekeh pelan sembari fokus menyetir, “How’s your weekend, my baby widower?”

“Hyung berhenti mengataiku!”

“Kan memang seperti itu kenyataannya, Injunnie,” Renjun menggembungkan pipi lalu menyandarkan punggung di kursi penumpang. Menikmati cengkrama pasutri di depan sesekali melirik ke luar jendela.

Dia pernah berpikir. Bagaimana kalau dia dan Jeno di posisi Haechan dan Mark. Jeno menjemputnya dari studio bersama Reno, bercanda sepanjang perjalanan menceritakan keluh kesah selama berpisah karena pekerjaan masing-masing. Atau Reno berlomba-lomba mengisahkan apa yang ia lakukan selama di sekolah. Tak sadar pria manis itu merasakan sesak. Aneh. Bukankah ia tertarik pada Na Jaemin? Kenapa malah Lee Jeno yang dibayangkan?

“Njun? Kita sudah sampai.”

Renjun tersadar dari lamunan dirasa kendaraan telah terparkir di salah satu halaman restoran oriental. Kegundahan di dada tiba-tiba lenyap digantikan keinginan hendak menghirup sup malatang panas. “Asyik!”

“Kita seperti membawa anak kita makan di restoran kesukaannya, Haechan-ah,” sahut Mark memberikan senyum lembut, sedangkan Haechan mencebik.

“Dia sudah 28 tahun, Sayang, tidak mungkin bisa menjadi anak kita,”

“Hey! Aku dengar ya!”

Sebelum pertengkaran terjadi, Mark buru-buru menengahi lalu merangkul bahu keduanya, menggiring menuju pintu masuk. Resepsionis menerima, mempersilakan ketiga pria tersebut menuju ruang makan lebih private. Keuntungan restoran mahal.

“Now, you got your malatang, I get your story,” ujar Haechan sesudah pelayan pergi, Renjun melirik Mark yang tidak tahu menahu, sedangkan sahabatnya melambaikan tangan seperti mengisyaratkan kalau suaminya tidak begitu peduli.

“Oh, kau sudah bertemu Jaemin kan, Jun?”

Yang ditanya mengangguk, “Sudah, Hyung. Sabtu kemarin,”

Mark tersenyum miring, “How is it? Any progress? I know he won’t let you down,”

Renjun menggigiti kulit bibir, memikirkan jawaban pasti, “Eum, yeah maybe? We talked, drank wine, and… had sex?”

Suami Haechan menganga, tidak dengan Haechan sendiri. Pria tembam tersebut mengetuk-ngetuk jari di atas meja jati. “That’s it?”

“He took care of me after sex, had sex in the shower, slept with me-“

“Wow wow, not so detail, Huang Renjun,” Mark menyeringitkan wajah, Renjun tertawa geli.

“Something like that? Kami bangun tidur, dia memasakkanku sarapan, I swear to anyone, he’s good in cooking! Lalu, menonton televisi sebelum makan siang, makan siang di luar, dan dia harus pergi karena rumah sakit menelepon,”

“And leave his princess hanging,” sahut Haechan mengulas senyum kepada pelayan ketika dia datang membawakan makanan mereka. Renjun mendesis saat asap mengepul memenuhi rongga hidung, tak sabar hendak menyantap.

“Aku tidak digantung, okay? Aku bukan Chenle,”

“Chenle?” ulang Mark menaikkan satu alis, “Chenle digantung Jisung?”

“You tell him, Honey,” jawab sang istri kemudian meniup-niup daging yang masih panas. “setidaknya itu yang dikatakan uri maknae,”

Renjun benar-benar terasa di surga begitu potongan daging melumer di atas indra pengecap, ia sangat berterima kasih pada sahabatnya yang pengertian dan tahu apa yang ia suka. “Haechan, kau memang sahabat terbaikku!”

“Label sahabat Renjun hanya seharga malatang,” Mark tertawa kecil, ikut menyuap diiringi canda.

“Lalu? Apa yang kalian lakukan sesudah ini?” tanya Haechan lagi. Si manis terlihat berpikir sejenak, mengangkat bahu sebab memang tidak punya ide tentang kelanjutan hubungan mereka.

“Dia bilang kami akan memulai secara pelan-pelan dan aku menyetujuinya,”

“Ini untuk kebaikanmu, Injunnie,” pria yang lebih tua di antara mereka menimpali, “Jaemin anak yang baik, aku sudah mengenalnya dari kecil, dia tidak akan menyakitimu sepertinya,”

“Speaking of him,” sahabatnya berdeham, “dia tidak mengganggumu lagi kan?”

Renjun menggeleng pelan, “Ti..dak? Aku mengunjungi rumahnya setelah sekian lama bertengkar,”

Haechan menjatuhkan daging dari lidah, entah pengaruh kepanasan atau terkejut soal pengakuannya. “Apa?”

“Dia sedang memasang lukisan dan bertanya apakah aku mau melihatnya, tiba-tiba aku sudah di sana, like we used to be,” jawab si manis memelankan suara. “Haechan, there’s this painting he made, it’s about a father holding hands with a son, do you know what I felt when I saw that? Suffocated.”

Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan tanpa mengucapkan apapun. Mark menyandarkan punggung, sementara Haechan menghela napas. “I think you should tell him, Renjun,”

“No, I can’t. Bagaimana kalau dia merebut hak asuh Reno dariku? Bagaimana kalau Reno tidak mau lagi bersamaku dan lebih memilih bersama Jeno? I can’ t let that happen, Chan!” balas Renjun agak panik. Sahabatnya buru-buru menenangkan, mengusap pergelangan tangannya lembut, “but the way he smiled so pitifully makes me feel like the worst human being in the planet, he makes me want to tell Reno is real, not just a vivid dream he always had,”

Dia ingin sekali menangis, sudah sekian lama dia tidak menitikkan air mata. Entah kenapa semenjak pertemuannya dengan Jeno, hidup datar kini berubah menjadi bergelombang bagai ombak tepi pantai. Siap menerjang pertahanan yang telah dibangun secara kokoh.

“Time will answer, Injun-ah,” akhirnya itu saja jawaban Haechan, “jika kau siap, kau pasti bisa memberitahunya, aku jamin dia takkan menyentuh Reno secuil apapun, karena aku juga tidak akan membiarkan,”

Haechan benar. Mark pun mengangguk setuju meski hanya diam mendengarkan. Waktu akan menjawab kapan Renjun memberitahu Jeno soal anak mereka. Yang jelas, dia tidak tahu, dan kalau bisa tidak usah.

Makan malam mereka sedikit menjadi serius karenanya, tetapi Haechan tak mau berlama-lama terlarut dan langsung saja membuka percakapan lain agar Renjun teralihkan.

Untuk sementara.

***

Seorang pria menguap berkali-kali dan hampir menghantam kepala pada kanvas di hadapan. Dia berusaha untuk tetap terjaga selama menyelesaikan pekerjaan, tetapi kelopak mata menjerit ingin beristirahat barang 10 menit.

Jeno mencoba menampar pipi kanan, supaya badan dan raganya terus bangun. Tetapi, keduanya seperti memberontak.

Kalau kau memaksa kami untuk bertahan, maka kau takkan dapat melukis lagi Lee Jeno

Terpaksa pria surai hitam tersebut bangkit dari tempat duduk kemudian merebahkan diri di atas sofa, memejamkan netra sejenak mengusir rasa kantuk. Hell, dia sudah berjaga sejak kemarin, hanya mengisi lambung dengan beberapa cangkir espresso untuk tetap stay awake. Tapi ternyata tubuhnya tak mau diajak kompromi meski lukisannya hampir jadi.

Sepuluh menit membiarkan diri terlelap. Ditambah keheningan ruangan, tidak ada satupun berani bersuara. Seolah-olah kompak tak dibolehkan mengganggu tidur pangeran. Jam dinding berdetak agak nyaring, tetapi tidak dapat menggeser posisi Jeno di atas permukaan kursi panjang. Dia memang membutuhkan tidur sekarang.

Setengah jam berlalu, bunyi bell ditekan berulang kali mengusik mimpi. Pria tampan itu menyeringitkan dahi, bingung di saat ia sedang menikmati air mengalir di kaki, mendadak ada suara ribut di atas langit.

Karena terus-menerus dibunyikan, Jeno membuka mata secara cepat. Mengakibatkan bola mata sedikit memerah akan perlakuan tersebut tetapi tidak menghentikan aksi pencet bell di luar. Jeno menggerutu dalam hati, merasa cukup segar setelah tidur setengah jam. Dia menyeret langkah ke luar rumah untuk mengetahui siapa pelaku pelecehan bell itu.

“Oh? Jeno?”

Great. Life is great. Bukannya ia ingin memaki, malah mendapati mantan mertua di depan apartemen Renjun.

“Hai, Ma!” sapanya tak lupa tersenyum manis, ia melirik seorang bocah laki-laki yang membalas tatapan di balik mata sipit itu. “mengunjungi Injun?”

Si mantan mertua tampak memegangi erat si anak, “Yeah, berulang kali aku menekan bell tetap saja anak itu tidak datang,” Jeno memperhatikan si bocah dengan seksama. Ada sesuatu yang membuat ia kaget karena kemiripan di antara mereka. Kulit putih, hidung mungil, serta eye-smile yang belum nampak lantaran si anak masih menatap kosong.

“Mungkin dia sedang tidur?”

Nyonya Huang ingin menjawab bertepatan Renjun membuka pintu. Menurunkan rahang bawah ketika ibunya dan Reno ada di sana. Bersama Jeno.

“Mommy!”

Jeno membulatkan mata saat anak serupa dengannya berteriak memeluk Renjun yang cengok. Apa dia bilang? Mommy? Sejak kapan mantan istrinya punya anak- dia baru hendak menerobos tetapi pria manis itu sudah membanting pintu tepat di hadapan. Membuat ia menggeram dalam lalu mundur seketika. Sial. Apa Renjun menyembunyikan sesuatu darinya selama 6 tahun?

Sedangkan Renjun di dalam masih syok walaupun Reno berada di dekapan.

“Ma!”

“Mama mana tahu kalau Jeno tinggal di sebelah, Renjun!”

Si manis tidak tahu harus melakukan apa, pikiran dia mendadak kosong tak tentu arah. Antara dia ketakutan, cemas serta khawatir menjadi satu. Reno mendongak karena badan ibunya dirasa kaku, menatap penuh tanya. “Mom?”

“Y-ya, Baby?”

“Mommy sakit?”

“Nggak kok,” Renjun mencoba tersenyum kecil, mengusap dagu Reno hingga anaknya menjerit kegelian. Dia mengalihkan pandangan menuju Nyonya Huang, menuntut penjelasan.

“Reno yang mau menemuimu, Renjun, dia tidak ingin tinggal bersama Baba dan Mama lagi, kau tahu anakmu ini sudah besar dan punya pilihan sendiri, jadi dia meminta Mama untuk menemaninya ke sini, untuk tinggal bersamamu,”

“Tapi Mama kan tahu Seoul tidak baik untuk perkembangannya,” Reno sedikit terlonjak begitu mendengar intonasi tinggi dari sang ibu, menyebabkan Nyonya Huang melototkan mata sementara Renjun mengeratkan dekapan sebagai permintaan maaf. “Reno tidak mau tinggal dengan Kakek dan Nenek?”

Reno menggeleng, “Reno ingin bersama Mommy,”

Nyonya Huang mengendikkan bahu, “Besok Mama akan kembali ke Jilin, Mama harap kau dapat mengurus Reno dengan baik,”

Renjun memijat kening, “Aku bahkan tidak punya kamar tersendiri buat Reno,”

“He can sleep with you,”

“What?!”

“Renjun, he’s your own son, how could you shriek like that!” perkataan ibunya membuat Renjun mengatupkan mulut. Bukannya dia tidak ingin Reno bersamanya, bagaimana kalau Jaemin datang berkunjung? Tidak mungkin putranya dititipkan ke orang lain sementara ia sibuk meneriakkan nama kekasihnya. Reno pun belum mengenal siapa-siapa di sini.

Akhirnya keputusan Nyonya Huang sudah bulat. Beliau tega mengusir Renjun dari kamar agar dapat beristirahat. Meninggalkan ibu dan anak di ruang tamu masih berpelukan. Lebih tepatnya Reno tak mau melepaskan.

Pria manis tersebut mengulas senyum manis, “Apa little Reno lapar?”

Si anak yang sayangnya sangat mirip dengan mantan suami menggeleng sembari mengerucutkan bibir, “Reno tidak mau jauh-jauh dari Mommy,”

“Memangnya Reno mau kelaparan?”

“Nggak mau,” Renjun mencubit gemas pipi tembam di dekapan. “Reno masih kenyang kok,”

“Serius?”

“Dua rius,”

Renjun tertawa kecil, menundukkan kepala menciumi permukaan wajah sang anak. Oh, betapa dia merindukan makhluk yang pernah bersemayam dalam dirinya, anaknya sudah besar saja sekarang. “Oke, Reno mau ngapain?”

“Menggambar?”

“Do you like draw so much?”

“Yes!!”

Mereka berdua memasuki ruangan lebih dalam, mengadakan reuni kecil-kecilan setelah sekian lama tidak bertemu. Renjun ingin melupakan sejenak semua beban pikiran setelah Jeno menangkap basah ibu dan anaknya dan memfokuskan diri pada Reno.

Namun, hal tersebut rupanya tak diizinkan. Selepas mengantar Nyonya Huang di bandara Gimpo, ketika mereka tiba di lorong apartemen, dia dapat melihat Jeno tengah duduk bersandar di pintu seperti menunggu kedatangan. Renjun sigap menyembunyikan Reno di belakang.

“Injun-ah.”

Si manis menggelengkan kepala, “Pergi, Lee.”

“Huang Renjun.” ucap mantan suaminya tajam tetapi sedikit pelan tak ingin menakuti Reno. “aku hanya butuh penjelasan,”

“Kalau aku tidak mau?”

Jeno menggigit bibir, air mata bersemayam di pelupuk sebelum meruntuhkan harga diri dengan cara perlahan berlutut di depan mantan istri. “I beg you, please..” suaranya terdengar serak sehingga Renjun tidak tega. Lee Jeno dan air mata buaya, berhasil meruntuhkan pertahanan yang selama ini ia bangun. Sambil menggertakkan gigi, ia mengangguk sekilas. Jeno terlihat sumringah tetapi Renjun punya akal lain.

“Reno tunggu di dalam ya..” bisik sang Ibu, Reno memandang netra Renjun sebentar lalu bergantian pada pria di hadapan sebelum menuruti perintah.

Setelah pintu tertutup seiring menghilangnya Reno, Renjun menyilangkan lengan di depan dada.

“Is he.. mine?”

“Menurutmu?”

Pria surai hitam bersandar pada pilar pembatas rumah mereka. “Bagaimana.. bisa..”

“I found out I’m a carrier, rare case so I can got knocked up,” jawab Renjun setengah berbisik. “kau mau masuk?” tawarnya kemudian membuka pintu, memastikan anak mereka tidak nampak di ruang tamu. Jeno mengikuti langkah, cukup terkesiap pada aroma khas Renjun sewaktu mereka pernah bersama.

“Siapa namanya?”

“Reno. Huang Reno.”

“You named him after me?”

Renjun mengendikkan bahu, “Sort of?” telapak tangan Jeno membuka mengatup pertanda gugup, persis seperti kebiasaannya beberapa tahun lalu ketika memamerkan lukisan pertama di sebuah pameran.

“Boleh.. aku bertemu dengannya?”

“Kau tidak akan merebutnya dariku kan?” cecar si manis siaga. Jeno menggelengkan kepala, tak terlihat ada ancaman di sana, hanya seorang figur ayah yang ingin bertemu dengan anaknya. “kau harus berjanji, Lee Jeno.”

“Aku tidak berhak merebutnya Renjun,”

“Kau yakin kau tidak akan membawanya pergi?”

“Stop with your overthinking, Injun-ah, I know my place,” jawab Jeno mulai tidak sabar, “it will hurts you,” bisiknya pelan sembari mengalihkan wajah. Renjun menyeringitkan dahi, perasaan hangat memompa nadi, apa-apaan Huang Renjun? He’s your ex for god’s sake!

“Okay, come with me,”

Mantan pasangan suami istri itu berjalan masuk lebih dalam. Menemukan Reno sedang sibuk menggambar sesuatu di kertas-kertas berserakan tepatnya di atas meja ruang keluarga menghadap televisi menayangkan kartun Pororo. Jeno menahan diri untuk tidak menangis, atau menghambur pelukan pada anak itu, ia berusaha tetap berada di belakang Renjun meski figur tegapnya tidak berhasil disembunyikan.

“Reno?”

Reno mendongak, “Yes Mommy?”

Renjun mengulas senyum manis, “Ini..”

“Uncle Jeno..”

Si cantik menatap tidak mengerti, sementara Jeno mengabaikan. “Hai, Reno! Aku tetangga Mommy Renjun,”

Anak tersebut memandang ke Renjun yang masih cengok akan perkenalan absurd tersebut, lalu menganggukkan kepala. “Hai Uncle! Namaku Reno,”

“Kau suka menggambar?” tanya Jeno antusias, putra mereka langsung berbinar-binar, menemukan passion yang sama dengan pria di hadapan seraya mengangguk kuat. “coba gambarkan sesuatu untuk Uncle,” tangan anak usia enam tahun itu bergerak cepat di atas kertas, Jeno berdecak kagum pada detail awut-awutan, sedikit bangga karena bakat seninya menurun ke Reno.

“Apa Uncle suka menggambar?”

“Sangat suka,” jawab pria tampan itu tersenyum lebar, bahkan menampilkan eye-smile kesukaan Renjun. Si manis tak dapat berkata apa-apa selain mendudukkan diri di samping Reno. Menikmati interaksi mereka. Jeno meminjam pensil untuk melukis sesuatu ringan, memperlihatkan bakat alaminya pada anak mereka.

“Woah, Mommy! Teman Mommy hebat sekali!”

“Reno bisa berkunjung ke rumah Uncle kalau ingin belajar lebih baik,” mata tak bisa berbohong, ketika Reno menyukai sesuatu, dia akan terus-terusan membicarakan.

“BENERAN UNCLE?”

“With your Mommy’s permission, of course,” Jeno beradu pandang dengan Renjun yang tergagap.

“Can I? Can I, Mommy? Pleaseee, I want to learn more with Uncle Jeno,” sialan. Ayah dan anak ini memiliki banyak kesamaan selain bidang seni, suka membuat Renjun menuruti segala permintaan. Mau tak mau si manis menganggukkan kepala menambah rasa senang Reno menjadi sepuluh kali lipat. Jeno sendiri tertawa kecil, memberikan tepukan di pundak secara virtual karena berhasil menarik perhatian putranya.

“Okay, sekarang waktunya Reno tidur siang~” Renjun menyudahi pertemuan singkat ini sebelum Jeno berkelakuan macam-macam. Reno harus menelan kepahitan tetapi tetap membuat ibunya berjanji kalau ia bisa main ke rumah Jeno nanti, yang dimana Renjun hanya menggumam saja.

Sepeninggal Reno ke kamarnya, Renjun berkacak pinggang. “Seriously? Uncle?”

Jeno bangkit dari sofa sembari mengangkat bahu, “Tidak mungkin aku memperkenalkan diri sebagai Daddynya kan?”

Damn. He’s right.

Pria surai hitam kepirangan tersebut menggigiti kulit bibir, Jeno refleks mengulurkan tangan untuk menghentikan, mengundang siaga dari Renjun sendiri. “Stop biting your lips, Injun,”

“Who cares, Lee? Sudah berapa kali kubilang, berhenti memanggilku Injun!”

Si tampan mengangkat kedua tangan, pertanda tak ingin memulai perkelahian, ia berbalik menuju pintu agar segera pulang ke rumah. Renjun mengikuti dari belakang, memandang punggung kokoh tersebut penuh minat.

“If you want me to babysit him, just knock..”

“In what occasion he needs to be babysit?

“I don’t know, just in case your boyfriend came,”

“Hah! My boyfriend you said? Like hell I’m gonna put my baby under your wings when you changed woman every single god damn Saturday!” Jeno menaikkan satu alis menghadapi kemarahan Renjun.

“I didn’t get laid last week, okay? I have deadlines, and I changed partners not every single Saturday, it was two weeks ago before Reno came!”

Renjun ingin membantah tetapi tahu argumen dia selalu kalah. Dia terlalu memikirkan hal-hal lain sehingga tidak dapat mematahkan realita kehidupan mantan suami. Jeno menatap penuh tuntutan seolah mengatakan apa lagi alasan yang ia buat.

“Okay fine, you win! And for your information, he’s not my boyfriend,”

“Your fuck buddy then,”

Pria cantik tersebut tega melayangkan tamparan kecil di lengan Jeno, anehnya mantan suaminya tertawa geli menganggap pukulan Renjun hanya sebatas gigitan semut. “Shut up, Lee Jeno.”

“Kalau dia bisa jadi fuck buddy, kenapa aku tidak bisa?” tanya pria surai hitam memiringkan kepala. Renjun melototkan mata.

“Karena aku membencimu, sana pulang!”

“Tapi kau harus menepati janjimu, Mommy,”

Renjun merona merah mendapati panggilan itu. Dia terus mendorong Jeno sampai pria kekar tersebut keluar kemudian membanting pintu agak keras.

“TELL RENO DADDY LOVES HIM, MOMMY!”

Dia tidak mengindahkan meski jantung berkata demikian. Sambil bersandar di belakang pintu, sebuah senyuman terukir di bibir. Sepersekian detik habis itu ia tersadar lalu menampar wajahnya sendiri.

Lee Jeno! Dasar pria menyebalkan!

. . .

NoRen

Part 2

. . .

Menjalani hari seperti biasa, Renjun bernapas lega. Pasalnya dia bangun tanpa ada gangguan dan dapat menjalani aktivitas layaknya minggu-minggu sebelumnya. Oh, mungkin malatang tidak jadi ia makan, sebaliknya, ia hanya menumis daging hasil jarahan minimarket terkutuk ditemani segelas anggur entah tahun berapa.

Di sisi lain ia sedikit cemas.

Bagaimana kalau Jeno sedang merencanakan sesuatu? Bagaimana kalau dia diam-diam mencari cara agar mengganggu hidup Renjun dengan kedok atmosfer ketenangan ini? Bagaimana kalau- Renjun perlu menghentikan overthinking sebelum kepalanya tambah pening.

Tapi apa salahnya waspada? Bukankah itu yang dihendaki Haechan? Ignore him to the fullest! Dia tidak akan menyerang apabila Renjun tidak memancing duluan.

Si Manis melakukan kegiatan seperti biasa, membereskan rumah sesudah sarapan di sela-sela mencuci pakaian, oh ya dan seprai juga. Dia benar-benar melupakan semuanya pada jam-jam terlewat sampai terkejut ketika mendengar suara dentuman kembali. Kali ini diikuti bor.

Lee fucking Jeno. Apa lagi yang diulahnya sekarang.

Tenang Huang Renjun, ingat pesan Haechan! Tidak ada asap kalau tidak ada api. Kalau saja dia tidak memulai, maka Lee Jeno tidak akan membalas.

Terpaksa ia harus menikmati bunyi bor di balik dinding dapur, bersandar pada meja makan menghadap kompor yang bergetar-getar, sembari menikmati secangkir kopi yang mulai dingin.

“BERISIK JENO!” teriaknya sekuat tenaga setelah dirasa bor berhenti. Ah shit.. Dia baru saja memulai peperangan di hari minggu. Tidak ada sahutan maupun balasan, Renjun nampak menunggu sesaat. Kemudian, terdengar suara gemerisik lagi, dan bunyi mesin semakin kencang. Renjun membulatkan mata kaget refleks menutup telinga, meletakkan mug di atas permukaan datar, kemudian berlari keluar rumah. “JENO!”

Jeno membuka pintu, baiklah Huang Renjun ini bukan saatnya kau melongo terhadap penampilan mantan suami. Kau sedang marah karena kebisingannya di pagi hari. Namun, dada bidang serta otot perut Jeno seolah-olah ingin merayu agar ia teralihkan dari emosi.

“What now?”

Renjun mengepalkan tangan, mungkin telapak terasa robek sedikit akibat kuku jemari menembus kulit. “Bisa tidak jangan membuat keributan di pagi hari?”

Pria surai hitam tersebut menyilangkan lengan, nampak otot-ototnya saling berkontraksi mencari perhatian Renjun, mata sipit nan tajam menusuk indra penglihatan lawan bicara, “Hm.. Aku sedang memasang lukisan di ruang tamu, sebentar saja kok,”

“Sebentar darimana?! Sudah setengah jam lebih, Jeno!” cecar pria manis tersebut murka. Jeno memutar mata malas.

“Kau harus mencoba menahan emosimu, Injun-ah,” pintu terbuka lebar sambil pria itu berlalu, “kau mau masuk? Siapa tahu tertarik melihat lukisanku,” Renjun menatap dingin pada punggung kokoh Jeno, mencebik tidak suka.

“Tidak. Jangan menggangguku lagi!”

“Fair enough,” ucap si surai hitam tanpa membalikkan badan. Meninggalkan Renjun di lorong depan pintu terbuka. Renjun kembali ke rumah, mendudukkan diri di atas sofa, menggerutu jengkel. Disahuti bunyi keroncongan perut, akhirnya ia memutuskan untuk mencari camilan di kulkas.

Tepat pukul 1 siang, ia bersiap meluncur ke lokasi tempat berkumpul sahabat-sahabatnya. Saat ia menutup benda penghubung, tampak Jeno keluar membawa bingkai di lipatan ketiak tak tahu menahu. Ya dia akan seperti itu juga teman-teman. Dia tidak akan mulai atau menyiram bensin pada api.

Tampaknya Jeno tidak peduli, ketika ia menangkap siluet si manis, ia berbalik menuju tangga darurat, tidak berkeinginan satu lift bersama Renjun. Pria cantik tersebut cukup senang karena ia tidak perlu mengorbankan diri untuk menghindari pria yang lain. Dengan hati berbunga-bunga, ia memasuki lift kemudian menekan tombol turun.

Sesudah memarkirkan kendaraan, ia memeriksa ponsel sebentar, siapa tahu teman-temannya sudah menunggu. Benar saja, Haechan memberi tahu nomor meja mereka jadi Renjun bisa langsung masuk tanpa mencari-cari keberadaan mereka lagi.

“And there he is~” suara sahabatnya menggelegar begitu ia menampakkan diri, “our longest widow is here..” olok pria berpipi tembam tersebut sehingga Renjun otomatis mencubit pinggangnya main-main.

“Kau sibuk sekali rupanya baru bisa datang hari ini,” sahut Yangyang. Renjun menyandarkan punggung, mata menelusuri nama-nama makanan tertera di menu. Mendiktekan pesanan, ia menyamankan posisi.

“Maafkan aku.. akhir-akhir ini project kantor tidak punya ampun,” ucapnya menggemaskan, Yangyang langsung mencubiti kedua pipinya karena tak tahan.

“Tapi apa kau tahu Jeno pindah di sebelah rumahmu, Injun-ah?” Yangyang bertanya lagi. Haechan dan Renjun saling berpandangan. Sedangkan Shotaro dan Chenle membulatkan mata.

“Serius Ge?” tanya Chenle tak percaya. Yangyang mengangguk.

“Kemarin aku bertemu dengannya di coffee shop sebelah mini market, dia bilang sudah seminggu dia tinggal di apartemen seberang,”

“Berarti baru pindah?”

Renjun menghela napas gusar, “Aku tidak ingin membicarakannya,”

“He’s a tattoo artist right?” tanya Shotaro padanya sehingga ia menyeringitkan dahi. “kau tidak tau?”

“Sudah kubilang, aku tidak peduli,” gumam Renjun di sela-sela gigi yang merapat. Haechan mengusap lengan kanannya perlahan, menenangkan sementara Shotaro seketika mundur.

“Uri Injunnie sedang sensitif dari kemarin, harap maklum gays..” canda pria manis tersebut mengerling-ngerling menggoda untuk mencairkan suasana. Benar saja, mereka berlima segera tertawa bersamaan dan menghentikan topik pembicaraan tentang mantan suami teman mereka. Dimulai dari bagaimana kehidupan rumah tangga Haechan dan Mark, Yangyang yang masih sendiri, Shotaro yang berusaha menjalin hubungan serius dengan kekasihnya, atau Chenle yang digantung Jisung, sepupu Mark.

“Kenapa sih Jisung tidak seperti Mark Ge saja?” keluh pemuda termuda di sana sembari menegak mojito langsung tandas, “bukankah mereka bersepupu?”

“Cousin doesn’t mean they’re the same,” jawab Renjun memainkan isi minuman dalam gelas, mata menerawang seperti memikirkan sesuatu, “Mark hyung dan Jisung sharing darah bukan berarti mereka punya pribadi yang sama,”

“Bahkan yang sedarah pun juga berbeda,” sahut Yangyang melempar senyum kecil. Ingin memberi semangat pada adik kecil mereka.

Shotaro menatap Chenle prihatin, “Kau tidak ingin mengaku duluan?”

Chenle mendengus, “Nope, I have pride too you know,”

“Mungkin itu yang membuatmu selalu digantung oleh Jisung,” celetuk Haechan cengengesan, “because you both have pride to hold,” Chenle kembali memanggil pelayan agar memesan mojito kedua kalinya.

“How’s Little Reno, Injun-ah?” akhirnya sang sahabat memberi perhatian pada Renjun yang diam saja.

“He’s good, better than any child in the world, tadi malam ia meneleponku dan memberitahu tentang karya yang ia gambar di sekolah, mendapat nilai A+ and bla.. bla.. bla..”

“Apa kau tidak merasa Reno juga memiliki bakat seperti ayahnya, Jun?” ucap Yangyang serius.

“Ayahnya adalah aku,”

“The other father, Renjun,” pria manis tersebut mengatupkan mulut mendengar penekanan dari Yangyang, “kau membuatnya berdua, bukan sendirian,”

“Jeno tidak tahu sampai sekarang?” Shotaro menyahut, Renjun menggeleng pelan.

“Aku tidak ingin memberitahunya,”

“Kenapa? It’s been six years, Jeno berhak tahu soal anak kandungnya, dan percaya padaku, Reno pasti bertanya-tanya kenapa dia hanya punya satu orangtua,” sifat Yangyang memang sedikit keras bila menyangkut tentang pernikahan Jeno dan Renjun, karena ia sangat menyayangkan perceraian mereka disebabkan ketidakcocokan diantara keduanya, which is illogical for him.

Haechan melihat gerak-gerik Renjun yang terpojok, sebisa mungkin ia membantu agar sahabatnya tidak merasa bersalah. “Guys, aku pikir Renjun butuh waktu untuk memberitahu Jeno soal Reno, apalagi mereka baru saja bertemu lagi setelah enam tahun, Reno will be okay as long as he didn’t meet Jeno,” ujarnya menengahi argumen, Renjun memberikan ucapan terima kasih lewat tatapan mata yang dibalas Haechan dengan senyum manis. “oke daripada bahasan kita semakin berat, bagaimana kalau kita pesan makanan lebih banyak?”

“Huuuu dasar babi!!”

Renjun menghela napas lega dan bertekad dalam hati tidak akan pernah mempertemukan Jeno dan Reno sampai akhir hayat.

***

Ternyata perkataan Haechan benar terjadi. Sudah seminggu lebih ia mengetahui kehadiran Jeno sebagai tetangga sebelah rumah, dan pria yang dimaksud tidak mengganggu lagi. Renjun dapat menikmati hari-hari seperti biasa, penuh kedamaian, tak ada kebisingan. Kecuali pada saat Jeno kembali memaku dinding tapi hanya sebentar.

Jujur. Dia sangat penasaran dengan lukisan Jeno. Kapan terakhir ia mendatangi pameran? Bukankah itu enam tahun lalu, saat hari jadi pernikahan mereka yang kedua, dimana Jeno tampak antusias menggenggam tangan mereka, berjalan bagai anak kecil kelebihan gula, senyum khas ditambah lengkungan sabit terpampang sangat nyata. Renjun menggigit bibir saat mengulas balik. Ada rasa hampa menggerogoti sanubari. Mencoba mempertanyakan alasan mengapa mereka harus berpisah. Tatapan Jeno begitu dingin menusuk sementara ia sama sekali tidak menitikkan air mata.

Mungkin yang berhak membolak-balikkan hati seseorang hanyalah Tuhan. Sedetik kau mencintainya, tetapi selang beberapa menit kau langsung membencinya. Begitupula yang terjadi dalam pernikahan Jeno dan Renjun. Empat tahun mereka saling mencintai, siapa sangka enam tahun mereka saling membenci.

Renjun menatap langit-langit apartemen, pernah terbayangkan olehnya kehidupan bersama Jeno dan Reno. Dimana anak semata wayang mereka melukis bersama ayahnya, sedangkan ia sibuk memperhatikan interaksi tersebut dari jauh, senyum merekah hingga pipi terasa sakit. Tapi terlihat bahagia. Tidak tahu pada kenyataannya.

They’re too old for this. Itu saja ungkapan Renjun bila Yangyang memborbardir soal Jeno. Berusaha meyakinkan diri kalau dia dan Reno tidak membutuhkan sosok lain, apalagi ayah Reno sendiri. Reno sudah aman di tangan orangtuanya di Jilin, dan hanya Renjun yang punya hak atas anak itu.

Sekian lama melamun, tak sadar pesanan makanan telah sampai di depan apartemen. Dia berjalan pelan di atas lantai maple untuk menerimakan. Memberikan senyum sopan saat ia mengambil bungkusan, pengantar pergi setelah makanan sampai tujuan. Renjun menolehkan kepala ke apartemen sebelah, tidak tahu kenapa. Terasa sunyi tak berpenghuni. Padahal ini kan sudah pukul 7 malam. Apa Jeno belum pulang?

Renjun ingin menghantamkan kepala di dinding terdekat ketika pertanyaan melintas. Apa urusannya bertanya seperti itu? Yang ada malah membuat Jeno tambah gede rasa.

Menyesap cola dan sepotong pizza, tayangan Netflix berhasil mengalihkan dari pikiran. Sesekali dia menyengir karena kelucuan pada acara, gigi tak berhenti mengunyah. Dirinya terlalu meresapi televisi hingga tak sadar kalau satu kotak telah habis serta cola tersisa es batu. Renjun menggoyang-goyangkan gelas kertas sebelum meneguk beberapa potongan. Merinding sedikit ketika rasa dingin membekukan saraf-saraf. It's so good.

Membersihkan sisa-sisa makan malam, Renjun membuang kotak serta bekas gelas di tong sampah. Menegak air putih sebelum bersiap-siap ke untuk tidur karena waktu menunjukkan jam setengah 10.

Beginilah kehidupan Renjun sehari-hari. Sabtu minggu merupakan hari dimana ia dapat bersantai dan melakukan apa yang belum selesai ia kerjakan. He’s a party boomer more like anak rumahan. Sering diundang ke pesta tidak jelas tetapi ia selalu menolak.

He’s twenty eight and a responsible father, meski sudah 3 tahun ia tidak mengunjungi Reno. Alasan klasik yaitu terlalu sibuk bekerja sehingga hanya bisa berkomunikasi lewat telepon.

Renjun menyamankan diri di atas kasur. Seprai baru, licin, rapi bahkan masih harum sampai minggu ini. Lampu penerangan samar-samar meredup, diikuti kesunyian menyebabkan rasa kantuk menyerang. Kelopak sedikit demi sedikit mulai menutup netra, alam mimpi siap membawanya.

BRUK

Dia menggeram kesal. Bunyi apa lagi sih?! Renjun dapat merasakan kepala ranjang bergoyang pelan, ia menoleh pada dinding, berusaha mendengarkan dengan seksama.

“Ah!”

Ah?

Pria surai hitam kepirangan beranjak duduk, menempelkan telinga untuk mengamati lebih jelas.

“Ah.. J-Jeno-sshi..” kali ini refleksi gerakan dari ruangan sebelah memicu kepala ranjang ikut bergetar. Renjun membelalakkan mata, sangat syok dengan apa yang baru saja ia dengar.

Did Jeno just-

Amarah bangkit lagi memenuhi rongga dada, dia tidak tahu harus melakukan atau melampiaskan bagaimana. Yang jelas, dalam beberapa jam, kedua sejoli helat dinding kamarnya tidak tampak ingin berhenti. Mereka lebih mementingkan klimaks mereka dibanding kerusakan gendang telinga orang lain.

“I swear Lee Fucking Jeno!” desis Renjun meraung seperti anak singa. Karena singa dewasa tidak cocok dengannya.

What to do- what to do. Mana bisa tidur tenang apabila tetangga sebelah sibuk menunggangi satu sama lain. Apalagi sekarang suara si perempuan semakin nyaring, nyaris melelehkan isi pendengaran Renjun. Dia mempertanyakan sejak kapan Jeno menyukai vagina? Bukankah dia gay dari dulu?

Oke Renjun tampaknya kau sudah mulai gila. Hebat sekali nyali Lee Jeno telah membawa seorang gadis ke kamarnya. Dia tahu kalau Renjun berada di kamar dan mereka hanya dibatasi dinding tak kedap suara, seakan-akan ingin menguji kesabaran sang mantan.

That’s it!’ Renjun membanting bantal ke lantai, “If you’re thick headed, then two can play this game.”

***

Semenjak kejadian naas di malam minggu, yang dimana Renjun terpaksa pindah tidur di sofa, menggunakan earphone, ia bertekad akan membalas dendam dengan hal serupa. Sudah ia perhatikan, mantan suaminya memiliki kebiasaan baru di malam minggu, menggonta-ganti perempuan berbeda dan dia berdoa semoga Jeno mendapat penyakit karena itu.

Hanya saja ia tidak tahu harus memulai darimana.

Salahkan dirinya yang sering menolak ajakan kencan buta dari sahabat-sahabatnya. Mengatakan kalau ia tidak ingin memulai hubungan baru sehabis perceraian. Dia juga bukan orang yang menyukai dunia gemerlap, minum sembarangan, ataupun sekadar menggesekkan tubuh di lantai dansa. Dia sangat membosankan, suka menonton Netflix, membaca buku di kala senggang sambil menyesap anggur tahun sebelum ia lahir.

Namun, keberuntungan tengah berpihak padanya. Haechan menelepon menceritakan tentang sepupu Mark yang lain, yaitu kakak Jisung, datang dari Inggris menjadi sukarelawan dikarenakan berprofesi sebagai dokter bedah. Awalnya Renjun tidak begitu minat, tetapi ketika sahabatnya menawarkan kencan bersama Jaeman? Siapa namanya tadi? Na Jaeman? Dia langsung setuju. Membuat Haechan ragu serta keheranan.

“Biasanya kau menolak sebelum aku mengenalkan,”

Renjun menipiskan bibir, mencari sejuta alasan masuk akal, “Mungkin aku sudah siap membuka hati untuk orang lain,”

Haechan masih sangsi, “Kau yakin?”

“Seratus persen.”

“Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Jeno menjadi tetanggamu kan Jun?” mampus, Renjun mengutuk Haechan dan keahliannya membaca pikiran orang. Sebisa mungkin ia mengelak.

“Nope, absolutely no, kau yang menyuruhku mencari pelabuhan baru, and maybe this Jaeman can be the one?”

“Okay first of all his name is Jaemin, Jaeman is just my nickname to him, second, are you fucking sure Huang Renjun? Kau single selama enam tahun, apa kau yakin tidak mau menambah masa lajangmu sampai kau benar-benar siap mencari pria lain?”

“I said I’m fucking sure, Lee Haechan. Aku juga butuh pelampiasan karena terlalu lama sendiri, kau tidak mengerti karena kau masih awet bersama Mark,” cerocos pria surai hitam tersebut mulai jengkel. “now gimme his number or anything, I’ll arrange the date myself,”

Sang sahabat belum merespon beberapa detik, hanya helaan napas terdengar, “Okay, I’ll send you the contact, but please don’t bite him! He’s Mark’s precious cousin, bahkan aku nomor dua setelah orang ini,”

Renjun menyengir, “I don’t bite, at least on bed,”

“Stop with dirty innuendos, that’s disgusting,” gerutu Haechan menyebabkan Renjun terbahak-bahak, “aku harus pergi, Injun-ah, sampai jumpa dan jangan buat Jaemin menjadi canggung, okay?”

“Who do you think I am, Haechan-ah,” ia menggembungkan pipi lalu menggumamkan salam penutup karena sahabatnya hendak memutuskan sambungan. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan chat muncul memperlihatkan kontak dari Na Jaemin. Renjun memperhatikan foto profil yang tertera, merasa benar-benar beruntung pada saat itu.

Me

Is this Na Jaemin?

Kebiasaan menggigiti kuku sebentar sambil menunggu balasan. Semoga dia tidak terlihat desperate karena terlalu cepat menghubungi.

Na Jaeman

Yes? Who am I speaking with?

Renjun menipiskan bibir lagi, menahan kegembiraan dan langsung mengetik.

Me

It’s renjun? Huang renjun? Haechan’s hot bestie

Na Jaeman

😁 really? How can I tell if you’re hot or not

Me

But you can tell I’m haechan’s bestie🤨

Na Jaeman

I know you before you chat me, sweetheart

Pria manis tersebut meneguk ludah, what an actual flirt. Renjun sempat berpikir sejenak bagaimana membalas pesan terakhir. Sehingga the Jaeman guy mengirim kembali.

Na Jaeman

Am I too straightforward?

Me

No, you’re not, im just taken aback? This is my first time after 6 years

Hell yeah Renjun kau baru saja mengatakan betapa payahnya hubungan percintaanmu.

Na Jaeman

It’s okay, it’s my first time too

Mungkin Na Jaeman bisa menjadi pria yang cocok untuk mengisi kekosongan hatinya karena Renjun terlihat menarik sudut bibir terlalu tinggi sambil melanjutkan obrolan. Dia bahkan tidak menyadari kalau malam telah larut sehingga ia harus menghentikan percakapan dengan tanggal mereka akan bertemu secara langsung.

Me

So it’s a date then

Na Jaeman

Yeah, see you there, Renjun-sshi

Renjun menahan euphoria yang hendak membludak. Mematikan ponsel sambil melebarkan senyum. Wow, Huang Renjun apa yang sudah diperbuat Na Jaeman jadi kau seperti orang dimabuk cinta? Last time you did this, you were with him.

Speak of the devil, Jeno terdengar sedang memperbaiki dinding, mungkin memasang lukisan lagi. Berapa banyak lukisan yang harus dipajang? Tidak takut berhantu apa? Renjun menempelkan telinga, samar-sama suara musik rock mengaluni kerjaan Jeno.

“Jen sudah malam!” teriaknya kesal. Baru juga dia senang, sudah dihancurkan oleh tetangga sebelah rumah. Lain kali dia ingin mengubah apartemennya menjadi soundproof.

“Pasang earphonemu!”

Pria itu menyeringitkan dahi, “Kau sedang apa sih?!”

“Memajang lukisan!” sahut Jeno tanpa menghentikan pekerjaan. “kau mau lihat?”

Renjun diam sebentar, tengah menimang-nimang apakah ini keputusan yang terbaik jika ia menerima tawaran tersebut. Dia tidak berpikir panjang, menyeret langkah kaki ke apartemen mantan suami dan menderingkan bel.

“Aku pikir kau akan merusak pintu,” jawab Jeno setelah membukakan benda penghubung. Renjun menekuk wajah, masih ada waktu untuk kabur, tetapi rasa penasaran menghantui apalagi pria surai hitam tersebut dipenuhi cat lukis. Kaki kanan menapak di lantai maple, ia langsung mengedarkan pandang.

Secara denah, tidak berbeda dari apartemennya sendiri. Mungkin lebih berantakan karena dia paham betul tentang kerapian Jeno. Beberapa macam bentuk lukisan tergantung di dinding ruang tamu. Renjun merasa ditarik ke sana, supaya memandang secara detail. Ia mengakui kalau bakat Jeno dalam melukis tidak pernah mengecewakan, bahkan semakin berkembang dari mereka masih bersama. One of the reasons why he fell in love with him.

“Kau masih sering menggambar abstrak?” Renjun mendengar dirinya bertanya tanpa mengalihkan mata, Jeno meneguk gin, memberikan satu pada Renjun tapi si manis menolak.

“Bukankah itu areaku?”

“It’s still deep like before,” bisik pria manis tersebut menjulurkan tangan, menyentuh tekstur kanvas, tampak menyala dan kontras pada garis-garis berwarna. Jeno hanya menatapi dari jauh, menuang isi gin kembali. “kau harus berhenti minum, Jeno,”

“Who cares?”

Renjun menoleh, menahan diri agar tidak memulai perkelahian. “Boleh aku lihat yang barusan kau pajang?”

“Be my guest,” Jeno mempersilakan masuk lebih dalam, mengikuti langkah ringan Renjun di belakang, mengarahkan si manis ke sebuah ruangan sedikit lebih luas dari kamarnya, aroma familiar menusuk indra penciuman Renjun, mendadak rasa nostalgia itu kembali, ditambah lampu penerangan menyala memamerkan karya-karya Jeno selama beberapa tahun.

“Wow..” ucap Renjun berdecak kagum, senyum merekah sembari menyentuh satu persatu lukisan di sana. Seketika Jeno bagai melihat versi diri mereka dulu. Cengiran Renjun, antusiasmenya terhadap seni serta bagaimana si manis memuji karyanya tiada henti. Dia menyandarkan badan di ambang pintu, tidak ingin bergabung, takut kilas balik kembali, dan rasa sesal menghampiri.

Renjun berhenti pada satu bingkai, sepertinya ini yang dimaksud Jeno. Yang baru saja dipajang. Entah kenapa dia terenyuh melihat lukisan tersebut, dada mendadak sesak sehingga ia menoleh meminta penjelasan.

“Remember when I wish we had a child?” Jeno melangkah agar dapat bersebelahan, ikut memandang kanvas di hadapan. Renjun membeku sejenak, berusaha bersikap biasa karena ingin mendengar kelanjutan. “I know it’s impossible to have a child together, but after we got divorced I always had this kind of vision, so I painted it,”

Si manis mendapati Jeno tersenyum kecil, bukan senyum miring atau senyum meremehkan. Hanya senyuman sedih terpampang di sana, Renjun nyaris membongkar rahasia yang ia simpan selama ini, dia merasa tidak ada gunanya Jeno tahu, meski pria di samping begitu mengharapkan adanya keajaiban.

“You can have it with your next partner, maybe?” bisik Renjun seketika menggigit lidahnya pelan. Jeno meruntuhkan ekspresi, melirik dingin sebelum berbalik.

“Waktumu habis, pergilah.”

Mau tidak mau, pria surai hitam kepirangan tersebut musti angkat kaki dari pameran kecil-kecilan ala Lee Jeno. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia kembali ke rumah setelah mengakhiri sesi melihat-lihat.

Bimbang menggerogoti hati, Renjun menggigiti kuku cemas. Kenapa? Kenapa dia mendadak cemas dan khawatir? Kenapa dia ingin sekali mewujudkan lukisan itu? Kenapa dia begitu sedih saat Jeno menuturkan alasan dibaliknya? Dia tidak tahu, dia tidak paham dengan perasaan ini. Bukankah dia membenci Jeno dan berharap takkan berurusan lagi dengan pria itu.

Air mata menetes anehnya bertepatan dengan ponsel berdering menandakan panggilan masuk. Dia melirik, buru-buru menjawab karena nama ibunya terpampang. “Y-ya?”

“Hai Mommy!”

“Hi Baby.. what’s up?”

“Nothing, I just missed you,” Renjun tertawa geli ketika mendengar suara merajuk putra kesayangan di seberang sambungan. “kapan Mommy pulang?”

“Soon? I guess?” Reno menghela napas panjang.

“Mommy sudah bilang kata itu dari dua bulan yang lalu,” si manis menahan diri agar tidak menjerit karena putranya terlalu menggemaskan. Dia harus menyadari kalau Reno sudah tidak bisa dibohongi seperti dulu, he’s six after all.

“I’m sorry okay? Maafkan Mommy yang terlalu sibuk di sini, Mommy janji akan pulang dan membawa Reno jalan-jalan bersama,”

“Beneran?”

“Yes Baby! Mommy tidak berbohong kok,” Reno tak dapat menyembunyikan kegembiraan dan langsung memberitahu orang-orang rumah, termasuk Ibunya. Renjun tersenyum tipis, berusaha mengingat-ingat apakah bulan depan ia bisa mengambil cuti. Peraturan perusahaan memang ketat apalagi untuk karyawan sepertinya. “hey, Little Reno? Janji pada Mommy kalau Reno bisa jadi anak baik selama Mommy nggak ada, okay?” sang putra menggumam mengiyakan dan Renjun menyuruhnya menutup sambungan sebab sudah larut malam. Selesai berkontakan, Renjun mempersiapkan diri untuk tidur, ketika lampu meredup, ia masih memikirkan lukisan tadi. Khawatir kalau rasa bersalah menyembunyikan dari Jeno semakin dalam.

***

This is nice. Relax for awhile, talking crap, anything that makes him laughing.

Hari yang ditunjuk sebagai tanggal kencan pun tiba. Sebelum berangkat Renjun tampak membereskan rumah, mengelap permukaan kaca, meja, sampai ke dapur sambil bergoyang mengikuti irama lagu. Dia merasa seperti muda lagi. Penuh energi untuk melakukan apapun di sini. Bahkan ia membersihkan diri sebersih mungkin kalau-kalau Na Jaemin memboyong dirinya ke ranjang.

“So, tell me about yourself,” pria manis itu tersenyum sambil menaruh dagu di atas tumpuan lengan, Jaemin ikut mengikuti gerakannya, sehingga jarak mereka bisa dikatakan dekat.

“What do you want to know me first?”

“Um..” Renjun nampak berpikir, “anything?”

“Anything..” Jaemin tertawa kecil, mengangguk paham, “okay, I’m a surgeon, as you know from Haechan, I’ve been volunteering in London since 5 years ago, and now I’m back here in Seoul,”

“To find a date?”

“No honey, to continue my career of course,” jawab pria surai hitam tersebut tanpa meruntuhkan senyuman. Ada rasa menggelitik di perut Renjun tentang cerahnya senyum yang diberikan Jaemin. Seakan-akan ingin menariknya lebih dalam. “but a date doesn’t sound bad too,”

“If the date was me,”

“Quite confident, aren’t you?” goda Jaemin membuat Renjun menyengir.

“I’ve been told,”

“So, how many men before me?”

Renjun berdeham sedikit, menjauhkan kepala menentukan posisi ternyaman tapi tidak membuat canggung, “Eum, yeah, I’ve been married for three years, and.. got divorced?”

“Thank god you’re divorced! As much as I want to date you, I don’t wanna be some home wrecker,” balas Jaemin menaruh tangan di dada untuk efek dramatis, Renjun malah terbahak-bahak.

“No, it’s.. been a long time? Six years? Remember what I told you it’s my first time since 6 years, that’s it..”

Jaemin mengangguk seraya meneguk wine putih yang mereka pesan, “To be honest, I’m not fond of dating, because you know, doctor degree is such a pain in my ass and I don’t have time to find someone to settle down,” pria tersebut tersenyum lembut menatapnya, sementara Renjun bersemu merah, “but I guess you’re an exception,”

“Really?” Renjun merasa tersanjung tiba-tiba, di dalam hati, ia heran kenapa dia bagaikan anak SMA pertama kali pacaran. Tapi, sejujurnya, Jaemin memang berhasil membuatnya terbang hanya dengan senyuman, ucapan, bahkan gesture yang dilihatkan. “how.. how do you find me attractive?”

Pria tampan tersebut meraih tangan Renjun kemudian menautkan jemari mereka bersamaan, ia dapat merasakan Jaemin meremas lembut, “I don’t know, Haechan told me about you a lot,”

“Did he mention a child?”

“Reno, is his name right?” Jaemin mengusap punggung tangan Renjun sangat hati-hati, takut teman kencannya kabur hanya karena ia mengetahui rahasia. “you’re doing great, Renjun-ah, it’s not that easy gave birth by yourself,”

Si manis mengangguk pelan, tersenyum kecil, “I thought you’ll be disappointed,”

“No, of course not, we wouldn’t be here if I was disappointed,” Jaemin tampak panik tetapi Renjun malah tertawa gemas, mengeratkan tautan mereka. “are you okay with that?”

“Let’s start it slowly,” gumam Renjun membasahi bibir bawah begitu pria di hadapan menatapnya, “or not?”

. . .