Jiel and Nesya
bbangnyu lokal🔞
What you see it's not what you think. The different between inside out of relationship
.
.
.
“Kak..”
“Hmm?”
“Kemaren Kak Jerry tanya aku, apa kakak pernah makan aku,”
Jiel berhenti menulis catatan setelah mendengar kalimat terlontar dari mulut kekasihnya, menolehkan kepala berbarengan alis naik satu, menemukan ekspresi polos terpancar di sana. “Hah?”
Nesya mengangguk, mengayun-ngayunkan kaki antusias, “Iya! Katanya Mas Joel lagi suka begitu sama dia, terus dia tanya ke aku, aku jawab aja iya..”
“Nes, kamu kan tahu Kakak nggak pernah nyentuh kamu lebih dari ciuman,”
Si Cantik menggigit mulut dalam, melupakan fakta bahwa sebenarnya pacar tampan berhati kutub ini belum sama sekali melayangkan sentuhan intim seperti yang ia ceritakan pada Jerry. Paling banter ya ciuman, itupun kalo Jiel lagi down atau emosi sama agenda perkuliahan.
“Tapi-”
“Lain kali nggak boleh bohong gitu ya, apa salahnya sih bilang nggak pernah,” jawab Jiel kemudian membalikkan badan, meninggalkan Nesya termangu-mangu sendirian di atas ranjang dengan hati terasa kosong.
Right, he loves him not for the intimacy. Setidaknya dia harus bersyukur Jiel mau sama dia, meskipun ada rasa iri mendengar pengalaman Jerry atau Icha yang hanya dia tanggapi dengan bualan agar sama dengan kakak-kakaknya.
Perasaan ingin itu ada, lumrah dong bagi manusia, terutama yang punya pacar ganteng. Dia hampir jalan setahun sama Jiel tapi ciuman mereka cuman bisa dihitung jari. Jiel emang baik kalau sama dia, gentle malahan, suka bikin meleleh dan melting di setiap tatapan lembutnya. Cuman ya itu- sampai kapan dia harus begini sama Jiel?
Apa tunggu serius banget? Lagian, mereka tetep nggak bisa nikah meskipun sudah dilegalkan di negara manapun. Otomatis, stay as lover doang kan paling banter.
Nesya benar-benar kelu terhadap permasalahan ini. Di kala teman-temannya membicarakan tentang keadonisan kekasih masing-masing, di situlah ia mengarang perlakuan Jiel di ranjang, mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber (porno lebih tepatnya) setidaknya ketika ditanya dia dapat menjawab secara natural. Walau keadaan tidak seindah harapan.
“Kakak masih lama ya? Aku pulang dulu ya..” gumamnya bangkit kemudian memeluk Jiel dari belakang, menahan isak tangis entah kenapa. Kekasihnya menggumam tanpa melepaskan pandangan, menyodorkan pipi untuk diberi kecupan. Which is he did, dan tersenyum tipis meninggalkan ruangan.
“Oh, Nes mau pulang?”
Nesya tidak sanggup menahan laju air mata, sebut dia cengeng karena dilahirkan sebagai bungsu nan manja, begitu mendapati sapaan lembut dari Jayden, bibirnya gemetar tak keruan. Tentu saja si Sulung Andrean panik, hendak meneriaki Jiel namun ia mencegah.
“Jangan Kak! Kak Jiel lagi sibuk nugas,”
Kurang ajar. Baik hati amat pacarnya Jiel sewaktu keluar dari kamar sambil nangis. Jayden ingin menampol kepala adik tengahnya dikarenakan tidak mengetahui tangisan pilu pemuda cantik ini.
“Yaudah, Kakak antar pulang ya..”
Nesya tidak menolak, menganggukkan kepala pelan mengikuti langkah Jayden penuh kekecewaan. Sesampai di mobil pun, mereka tak mengeluarkan suara. Hanya ada feromon Jayden yang menenangkan hati selama perjalanan. Dia menatap luar jendela, tiba-tiba malu menangis tanpa sebab, di hadapan kakak pacarnya pula. Namun, semenjak berhubungan dengan Jiel, dia ikut dekat juga dengan saudara lain.
“Nes, kalo masih sedih, nangis aja,”
“Nggak kok Kak, udah mendingan.. maaf ya Kak Jayden jadi liat Nesya gini,” jawabnya berusaha menahan getaran bibir bawah, Jayden tersenyum meyakinkan, mengusak surai hitam sang adik perlahan.
“Kamu dah Kakak anggap adek sendiri, nggak usah sungkan gitu,”
Mereka saling melontarkan candaan agar suasana hati Nesya membaik sedikit. Dia mendengarkan beberapa curhatan Jayden mengenai pasangannya dan kecekcokan kecil dalam hubungan mereka. Mengingatkannya akan permasalahan yang melanda sekarang.
“Makasih Kak,”
Jayden melempar senyum tulus tak lupa menganggukkan kepala, “Salam sama Andra Shea ya!”
Nesya merefleksikan anggukan seraya melambaikan tangan, masih berdiri di sana memaku posisi sampai kendaraan roda empat sedan tersebut menghilang dari pandangan, barulah ia balik ke rumah dengan bahu lunglai.
“Adik Manisssss..”
“Nesya lagi capek, Kak..”
Andra menyeringitkan dahi, “Kenapa lo?”
Si Cantik hanya mengibaskan tangan, tak menghentikan langkah menuju kamar, menutup pintu rapat-rapat lalu menangis dalam diam.
Is it a big deal to him longing for his boyfriend's touch?
.
.
.
“Oh my! Nesyaaa kamu kenapaaa?”
Di suatu hari saat ia berkunjung ke kafetaria teknik seperti biasa karena disuruh Jiel makan siang bersama, Nesya menampakkan diri dengan mata bengkak tapi lumayan tertutupi oleh eyeliner entah gimana caranya. Jerry gercep menariknya ke dalam pelukan sambil mempertanyakan keadaan.
“Gapapa, abis nonton drama tadi malam,”
Bohong. Yang benar dia menangis sepanjang waktu hingga tak terasa sudah waktunya berangkat kuliah. Bahkan Papa dan Mama panik ngeliat anak bungsunya keluar kamar kayak zombie.
“Drama apaan? Sedih banget ya?” celetuk Icha khawatir. Nesya hanya mengangguk, menyesapi kehangatan terkuar dari dada bidang Jerry. Hm.. Joel pasti merasa nyaman kalo pelukan sama pemuda manis ini.
“Kamu nungguin Kak Jiel?”
“Iya..”
Icha menatap Jerry, memberi kode-kode yang tidak dimengerti. Si Manis menggumam, mengusap kepala adik mereka lembut. “Oke, nih comot dulu nugget daripada kamu kelaparan,”
“Udah makan kok,”
Payah. Nesya kayaknya lagi nggak bisa diajakin ngobrol. Dia hanya menyamankan posisi dalam dekapan sambil mendengarkan kedua sekawan melanjutkan cerita yang sempat terpotong karena kehadirannya.
Sejujurnya dia nggak mau ketemu Jiel hari ini.
Kalimat kekasihnya soal tidak boleh berbohong tentang kehidupan seks mereka which is none– terus membekas sampai ke alam bawah sadar. Bahkan mimpi pun samar-samar menayangkan itu juga, seolah menampar Nesya pada kenyataan kalau mereka tidak akan pernah menggapai ke sana.
“Nes, ayo!”
Pemuda cantik berhenti memeluk Jerry saat mendengar suara berat Jiel di dekat mereka. Kakak tingkatnya menatap tidak suka pada titahan tersebut tetapi ia berusaha mengabaikan. Melempar senyum sangat kecil ke mereka berdua sebelum mengekor langkah Jiel entah kemana sambil berpegangan tangan.
“Ada masalah kayaknya,” bisik Icha usai pasangan pergi. Jerry mengangguk cepat.
“Tunggu aku korek dari Nesya,”
Sementara di tempat lain, tokoh utama kita hanya duduk diam memperhatikan Jiel makan. Dia menggelengkan kepala begitu ditawari, mengatakan kalau dia masih kenyang setelah sarapan tadi.
“Kamu yakin?”
“Iya Kak, nggak ada kelas lagi kok, nanti kalo laper Nesya makan,” ujarnya pelan, Jiel hanya menatap sedih, mengusap punggung tangan sang kekasih sangat pelan.
“Sama nih, Kakak juga abis ini kosong, kita kencan aja gimana?”
Ah. Jiel Andrean menyebalkan. Nesya tuh bukan pingin kencan! Dia pingin cuddle berdua berakhir dengan seks! Dia pingin merasakan kulit sesama kulit bertemu dan raut wajah Jiel saat orgasme melanda. Dia pingin itu tapi Jiel nggak pernah mau lebih dari sekadar ciuman.
Percuma kencan sampai mampus kalau ujung-ujungnya dia diantar pulang ke rumah tanpa melakukan permainan menyenangkan lainnya.
“Nesya mau pulang aja, Kak..”
“Nes.. kamu sakit?”
Dia menggeleng, “Nggak,”
Jiel menghentikan makan, memandang netra cantik tersebut dalam-dalam, menggeliatkan seluruh tubuh Nesya karena takut dibaca terlalu banyak. “Kakak perhatiin matamu bengkak, kamu habis nangis?”
“Iya, nonton drama tadi malam,”
“Kan Kakak udah bilang nonton dramanya setiap weekend aja, kasihan matamu Sayang,”
Hah. Peduli amat. Nesya jengah lama-lama didiktator dari awal pacaran. Nggak boleh ini itu, nggak usah begini begitu. Dia pengen teriak kencang-kencang memaki Jiel tapi nggak bisa karena sudah terlanjur sayang sama manusia di hadapan.
“Dramanya seru, sayang dilewatin,”
Betul. Drama mereka belum pernah making love.
“Nggak apa kalau Kakak nggak bisa anter, Nesya pulang sama Justin aja,” mendengar nama pria lain, tatapan Jiel menggelap bagai ada amarah tersulut, kekasihnya mengerutkan kening pertanda kesal.
“Kakak nggak ada bilang nggak bisa nganter ya, Nes. Kok kamu sampai situ mikirnya,”
Nesya membungkam mulut, tak ingin memperpanjang masalah hanya karena nama sahabat yang dicemburui Jiel terlontar dalam percakapan. Dia mengangguk pelan, meminta maaf.
“Pokoknya kita kencan abis ini,”
“Iya Kak..”
Ya Allah tolongin Nesya please. Dia nggak mau berlama-lama bersama Jiel ketika perasaannya sedang terombang ambing kayak gini.
***
“Alright spill!”
Pemuda yang tengah tengkurap seraya mencari drama terbaru di iPad terkesiap ketika pintu kamar terbuka menampakkan pemuda lain. Netra berkilat-kilat kecurigaan sehingga ia mundur sedikit. “Ha?”
“Spill kamu kenapa akhir-akhir ini,” ujar Jerry menutup benda penghubung lalu menguncinya, berjalan cepat ke kasur, menerjang sang adik tanpa peduli.
“Nggak ada, Kak,”
Sialan. Sejak kapan suaranya mencicit kayak tikus. Nesya berdeham, memperbaiki letak pita suara agar tidak terdengar tercekik. Jerry memandang tidak suka, memicingkan netra lalu mendekatkan wajah.
“Kamu bisa bohongin Jiel tapi kamu nggak bisa bohongin aku,”
Nesya mencoba memasang raut natural, menggeleng supaya terlihat meyakinkan, “I'm okay,”
“No, you're not, I can feel it,” desak Jerry gregetan, jari jemari meremas guling di sana, menyorotkan pancaran kekhawatiran. “kamu ada masalah sama dia?”
Mendengar kata masalah, pemuda cantik tiba-tiba murung. Tentu saja sang kakak panik, menemukan adik tingkatnya berkaca-kaca kemudian bibir bergetar pilu, diikuti air mata beserta isakan kecil. Waduh, sebesar itu hah?
“Eh.. cup cup.. Nesyaaa..”
“It's.. hiks.. it's huaaaaaa..”
Selama lima menit Jerry membawa ke dalam dekapan, mengusap kepala bagian belakang, membiarkan kaos oblong kesayangan basah akan air mata, selagi Nesya menumpahkan kesedihan daripada kelamaan ditahan. Pikiran berkecamuk menerka-nerka apa yang menjadi masalah di antara kedua sejoli. Padahal Jiel meruntuhkan sikap dingin dan tempramennya ketika bersama Nesya, memperlihatkan sisi baru di hadapan orang lain saat kekasihnya menampakkan diri.
So what's the problem, huh?
Merasa Nesya sudah tenang, Jerry menjauhkan badan mereka sedikit, untuk memeriksa keadaannya, ekspresi sedih masih ada, tetapi mungkin lebih mendingan dari 5 menit lalu.
“Do you feel better?”
Nesya mengangguk, menarik ingus kuat-kuat. Astaga gemes banget sih! Seandainya Jerry seorang top pasti dia yang akan menggaet Nesya duluan instead of Jiel.
“Mau cerita?”
Si Cantik mengangguk lagi, mengatur napas karena terlalu sesak akibat isakan. Menyamankan diri di dada bidang Jerry, ia mulai berkisah.
“Kakak nggak boleh kasih tau siapa-siapa,”
“Even with Joel?”
“Terutama Mas Joel,”
Jerry menggumam, “Oke, oke, aman,”
Pemuda beda dua tahun menatap sungguh-sungguh, sebelum benar-benar menjelaskan kelakuan dia akhir-akhir ini. “Jadi, sebenarnya Nesya sama Kak Jiel belum pernah gitu, Kak,”
Tunggu.
Tunggu dulu.
Pemuda lain memandang tidak paham, antara mencerna sama tak percaya beda-beda tipis, dia ingin membentuk sebuah kalimat tetapi tiada yang keluar selain, “Hah?”
“Semua yang Nesya pernah ceritain ke Kakak sama Kak Icha itu bohong, Nesya cuman ngarang,” dia tambah sedih, seperti menyesal telah berbuat jahat demi kesenangan semata, “aslinya kami nggak pernah lebih dari ciuman,”
“Wah!” Jerry mengumpat, “emang bajingan tu manusia kutub!”
“Engga Kak! Bukan gitu, tapi-” tapi apa Nes? Apa Jiel pernah ngomong soal ini sewaktu mereka sedang berduaan? Apa mereka pernah mengungkit alasan Jiel nggak nyentuh Nesya lebih dari itu? Sekarang kamu mau menjelaskan apa sama Jerry?
Kemarahan sang kakak tingkat mungkin makin naik ke ubun-ubun, dan dia tidak ingin Jerry berurusan sama Jiel hanya karena ketidaksukaannya pada sikap pemuda lebih tua. Dia memohon pada Jerry agar tidak meledak.
“Nes, kalian udah hampir setahun pacaran masa belum sampai situ?!”
“Nesya nggak ngerti, Kak, Nesya juga nggak berani tanya, Kakak tahu kan emosi Kak Jiel kayak mana? Kemarin Nesya bohong soal rimming aja dia marah dan bilang harus jujur apa adanya, tapi Nesya malu Kak kalo orang-orang tahu kami nggak pernah ngapa-ngapain sedangkan teman-teman Nesya tiap hari cerita soal pacar mereka,” air mata mengancam turun lagi sementara Jerry menenangkan diri, dia memeluk adiknya lebih erat, bahkan mendaratkan kecupan kecil di puncak kepala supaya tidak menangis.
“Kamu nggak salah, Nes, itu hakmu mau ngarang selagi nggak ketahuan, Jiel goblok banget anjing, bisa-bisanya kamu ditelantarin kayak gini,”
“Nesya capek, Kak..” keluh si Cantik lemah, “Nesya nggak mau ngelepas Kak Jiel tapi Nesya juga lagi nggak pengen ketemu dia,”
Jerry memutar otak, berpikir keras apa yang harus dia lakukan sebagai solusi. Satu ide terlintas di benak, tapi dia nggak yakin apakah akan berhasil. Pelan-pelan ia mencoba memberitahu sang adik.
“Nes gimana kalo kita bikin dia mabuk?”
“Kak Jiel nggak suka minum, Kak,”
“Shit iya juga,” si Manis memainkan kulit bibir, memikirkan kemungkinan lain, Nesya setia membungkam mulut sembari menatap penuh harap, menambah beban di pundak secara kasat mata. “Kita campur aja minumannya,”
“Bisa sih,” Nesya mengangguk, “terus habis tu?”
“Habis tu kamu godain, kamu ajakin begitu, kita bangunkan sisi liar dalam dia, biar dia tahu rasanya seks gimana,”
Nesya memandang sangsi, di sisi lain dia tertarik tapi di bagian logisnya dia tak mau berhubungan intim sama Jiel bila kekasihnya sedang mabuk. He wanted his first time become special and gentle.
“First time Kakak dulu gimana?”
Jerry mengerjapkan mata sejenak kemudian menyengir lebar, mendadak lucu sama pengalaman seks dia dan Joel dua tahun lalu. “Believe it or not, kita dulu juga nggak pernah nyentuh lebih dari ciuman, sampai aku tidur digonceng Joel, nggak sadar udah megang adeknya,”
“Sepanjang jalan?”
“He eh, mana kutau bakal kayak gitu,” pemuda lebih tua cengengesan lagi, “but thanks to that we're already like bunnies in heat,”
Nesya mendengus, “Good for you,”
“Eyy, nggak usah iri gitu, that's why we planned how to make Jiel do more than just a kiss,” Nesya diam mendengarkan, lebih tepatnya berpikir menimang-nimang. Dia berdoa dalam hati supaya ide gila Jerry dapat terealisasikan dengan baik. Meskipun dianya tidak rela digagahi dalam keadaan mabuk.
“Okay..” akhirnya ia mengalah, “oke Kak, I'm in,” Jerry tersenyum lebar, mendekap erat sang adik kembali.
“Leave it to me, hehe,”
***
Jiel dapat kabar burung kalau malam ini di hunian Andrean bakal ada acara triple date alias kencan tiga antara Jayden dan pasangannya, si Jacob, Joel dan Jerry, beserta ia bersama Nesya. Dimana pacar kakaknya akan memasak makan malam enak ditemani oleh Jayden sendiri, entah memuaskan atau tidak.
Sebagai anak rantauan, tentu saja isi kulkas tidak sesuai harapan. Jacob harus menahan diri untuk tak mengomeli Jayden saat menangkap betapa merista tempat pendingin makanan tersebut. Alhasil kedua sejoli tertua memutuskan berbelanja terlebih dahulu meninggalkan dua pasangan lain menjaga rumah.
“Alkohol Kak!” sahut Joel cengar-cengir, hanya diberi jari tengah oleh Jayden tanpa sepengetahuan Jacob yang sudah berlalu duluan. Jiel menaikkan satu alis mendengar sahutan adik bungsunya.
“Sejak kapan lo minum?”
“Sejak jaman jahiliyah,” begitu saja jawaban si adik sebelum menarik Jerry ke pangkuan lalu mengganyang wajah manisnya, Jiel memandang tak suka sedangkan Nesya duduk anteng kayak anak perawan.
Emang perawan sih.
Melihat gerak-gerik macam kemasukkan cacing kremi menarik perhatian Jiel, ia melingkarkan lengan di sekujur pinggamg ramping yang terkesiap, “Nes?”
“I-iya Kak?” Jiel tersenyum lembut, seolah meyakinkan sang kekasih agar tidak perlu takut menghadapi makan malam mendadak ini, bibir sedingin es menyentuh sisi pipi merambat ke sudut bibir sendiri. Menyebabkan Nesya semakin mengecil.
“Kamu kenapa, heum?”
“Nggak ada,” cicitnya pelan, menikmati bagaimana hidung mancung mendusel permukaan pipi tembam sebelah kanan dimana ia memperhatikan kemesraan dua sejoli lain di ruangan. Jiel melirik ke sana juga, menekan ujung hidung supaya mendapat perhatian.
“Gitu amat liatin mereka,”
Nesya diam saja, mendengking iri karena ingin diperlakukan seperti itu jua. Melihat bagaimana Joel mengecup bibir Jerry berulang kali diselingi tawa geli dan pekikan kecil. Mereka tidak berciuman panas, hanya saling mengecup satu sama lain. Berbanding terbalik dengan ia yang menerima endusan tidak jelas dari sang kekasih.
Tiba-tiba ia sudah bangkit berpamitan ingin ke kamar mandi, meninggalkan Jiel termangu-mangu kebingungan dan menghentikan kemesraan Joel Jerry, ikut memandang punggung langsing menghilang ke dalam ruangan lain, keduanya refleks mengarah ke Jiel.
“Gak usah liatin gue.”
“Lo nyeremin sih, makanya Nesya takut ama lo,” Joel buru-buru menutup mulut si Manis, apalagi melihat gelagat sang kakak yang hendak naik pitam akibat sahutan itu. After all, they’re Tom and Jerry in real life. Akan terus terlibat dalam perang kata setiap hari.
“Akhir-akhir ini dia aneh banget,”
“Mungkin karena kuliah, Kak,” bungsu Andrean memberi hipotesa, setia menangkup bibir sang kekasih supaya tidak mengoceh macam-macam. “Kakak nggak pernah tanya dia kenapa?”
“Ya dia selalu jawab nggak papa terus gue harus apa?”
Joel menghela napas, sementara Jerry melototkan mata, akhirnya ia melepaskan.
“Biar aku yang urus, oke? Bottom only,” kata pemuda manis beranjak berdiri, mengecup pipi Joel sebentar sebelum melesat mengekori langkah Nesya. Dia tahu adik mereka pasti sedang mental breakdance di kamar karena takut rencana mereka gagal maning. Namun, bukan Jerry namanya kalau membiarkan worst case terjadi, ini demi hubungan Nesya dan musuh bebuyutan.
“Nes?”
“Y-ya?”
Suara gugup di balik pintu kamar mandi tak sengaja memunculkan senyum lembut keibuan si Jerry. Pemuda kelahiran september itu menempelken telinga, mendengarkan dengan seksama sambil menerka-nerka apa yang tengah diperbuat adiknya. “Ngapain Nes?”
“Meditasi, Kak,”
Jerry menahan tawa, tapi ujung-ujungnya ketawa juga, “Kakak nggak boleh ikutan?”
“Kakak kan nggak punya masalah,”
“Siapa bilang heum? Setiap orang punya masalah Nes, cuman ada aja yang berhasil nyembunyikan,” Jerry terdiam sejenak, menghembuskan napas panjang, “mau cerita sama aku?”
Pintu ruangan terbuka perlahan, menampilkan separuh wajah sang adik. Si Manis tersenyum lagi, menyusupkan badan hingga mereka berdua berada dalam satu ruangan. “Kamu gugup?”
“Banget. Gimana kalo nggak berhasil?”
“Yakin sama aku, pasti berhasil,”
“Percaya sama Kak Jerry nggak bikin musyrik kan?”
“Sialan! Dibantu kok malah bilang gitu,” gerutuan sang kakak berhasil meruntuhkan ketidakpastian dalam diri Nesya, sedikit demi sedikit ia mau menerima dan terbuka pada rencana gila tersebut. Menetralkan detak jantung terlebih dahulu, barulah ia mengangguk.
“Oke Kak, Nesya udah tenang dikit,”
Jerry mengusak surai hitamnya gemas, “Gitu dong, kamu nggak usah khawatir, tetep natural aja lah, ntar dia curiga kalau kamu kaku gini,”
Kedua bottom sekaligus primadona kampus kembali ke peraduan pasangan masing-masing setelah melakukan ted-talk selama beberapa menit. Nesya mau dijinakin Jiel ketika ia datang lalu duduk di samping lagi, bahu saling bersentuhan walau masih ada halal gape, sementara Joel Jerry aduh nggak usah ditanya, nempel kayak prangko.
“What’s matter heum?” tanya Jiel agak berbisik mendekatkan jarak antarwajah, Nesya nyaris deg-degan lagi, takut rahasia terbongkar, tapi ia malah salah fokus sama ketampanan sang kekasih.
“Nesya gugup aja,”
“Soal makan malam?” Jiel tidak berniat menjauhkan, mendusel hidung mungil di hadapan bak anak kucing, dia juga dapat mendengar detak jantung Nesya, namun tak berkomentar apa-apa. “kan udah sering,”
“Iya..” Nesya memilin jemari, memainkan kuku-kuku lentik, “ya gimana sih Kak namanya juga nervous,”
Jiel tertawa kecil, kali ini menyandarkan kepala di bahu landai, menikmati aroma vanila terkuar di sekitaran, “Kamu gemes banget, bikin Kakak tambah sayang,”
Senyum pahit terpatri di bibir si Cantik, menggigit lidah sendiri karena hendak mengutarakan perasaan gundah ini. Dia mengubah sudut bibir menjadi tipis tak bermakna saat Jiel memandang penuh cinta.
Sialan.
Sialan. Dia terlalu bucin. Nesya takut.
“Iya, Nesya juga sayang Kakak,”
Si Tampan mengangguk, seakan sangat paham akan pengakuan tersebut. Mereka terlibat dalam keheningan yang tidak canggung, meresapi kehadiran satu sama lain, menunggu sejoli lain di perjalanan pulang.
Makan malam berlangsung meriah. Ya bayangin ajalah 6 laki-laki dewasa, oke coret maksudnya 2 pria dewasa, 1 pria dingin sok dewasa, 1 pemuda kalem, dan 2 pemuda cantik yang cerewet nggak ketulungan selama acara. Jayden benar-benar membawa dua botol gin dalam tas belanjaan, mendapat izin dari sang kekasih yang awalnya melotot karena tahu minuman tersebut diharamkan.
“Self reward, Babe,” itu aja jawabannya sambil nyengir.
Lagian, mereka nggak muslim-muslim amat.
Hanya Jiel yang tidak menyentuh barang haram sang kakak, dia hanya meneguk cola dingin sesekali menyuap masakan Jacob seraya mendengarkan Jerry berceloteh.
Pacar adiknya emang nggak pernah kehabisan energi kalau sudah menyangkut ngomong, apalagi gosip. Berbanding terbalik sama pacarnya sendiri yang sedari tadi makan dan melontarkan tawa manis sebagai respon untuk Jerry.
Tapi lama-lama kenapa dia pusing ya?
Jiel tidak mengindahkan, semakin semangat menuang cairan rasa karamel ke gelas, meneguk sampai tandas tanpa mempedulikan tatapan melayang ke arahnya.
“Yel?” Jayden menegur, Jiel menaikkan alis, aneh, kenapa wajah Kakaknya jadi dua? “lo mabuk?”
“Ya nggak lah!” sahutnya agak berkumur-kumur, mana ada orang mabuk gara-gara minum cola doang, sejak kapan mereka memproduksi alkohol di dalamnya.
Jerry memainkan mata ke Jayden, beruntung si tetua langsung paham kemudian mengalihkan pembicaraan. Nesya di sisi lain merasa gugup kembali, apalagi melihat gurat-gurat nadi bermunculan di kerutan dahi sang kekasih. Menandakan Jiel sedang berusaha mencerna pembicaraan meski berkabut.
“Bentar deh, kepala gue sakit banget,” keluhnya memegangi sisi sebelah kanan, “lo racunin minum gue ya Jer?”
“Heh, suuzon terus lo!” sahut Jerry tidak terima, Joel buru-buru mengukung pemudanya, tidak mau terjadi keributan saat makan malam sedang berjalan.
“Nes, udah selesai? Bawa gih Jiel ke kamar,” Jacob bersuara sangat lembut, benar-benar ibu banget deh, kayak malaikat, si Cantik mengangguk, merangkulkan lengan panjang di bahu tegap Jiel sambil membujuk dalam bisikan.
“Kita ke atas aja yuk, Kak,”
Beruntung Jiel mau diajak kompromi, membuat Nesya bersorak dalam hati. Membantu memapah pemuda lebih tinggi beberapa centi, kedua sejoli melangkahkan kaki menapaki tangga, meninggalkan dua pasangan di meja makan, larut dalam pembicaraan baru.
Sesampai di kamar, Jiel didudukkan di kasur, sedangkan ia diam-diam mengunci pintu. Jiel menggeram sambil memegangi kepala, dan Nesya memberi perhatian dengan mengukung kekasihnya bertumpu lutut. “Sakit ya?”
Jiel mengangguk, mendengking bagai anjing kesakitan, kepala terantuk di dada Nesya, menyebabkan pemuda cantik tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya gaes. Akhirnya dia pecah telor malam ini.
Sebuah kecupan mendarat, di kening terlebih dahulu, turun ke kedua kelopak yang refleks tertutup, membuai secara sensual di bagian pipi sampai ke bibir, mengecup tipis, memberi rasa, menguji pengetahuan Jiel sebelum bibir merah muda menyatu dengan bibir lain, diselingi lenguhan halus.
“N-Nes..”
Nesya menggumam, mengusap tengkuk Jiel seraya mengemut belahan ranum bagian atas dan bawah, hendak membangkitkan sisi liar kekasihnya. Jiel membalas pelan-pelan, merengkuh pinggang ramping lalu membuka mulut, mempersilakan lidah saling bertemu.
“Ngh..” Nesya mengeluarkan lenguhan lagi, bersemangat mengeksplor rongga mulut, dinding mukosa bahkan langit-langit ruangan, mengabsen gigi satu persatu, merasakan tekstur basah di sana, saliva menitik di setiap sudut, hingga bertukaran tidak ingin melepaskan.
“Nes..” bisik Jiel dengan mata menyayu, pemuda cantik mendudukkan diri tepat di kejantanan yang setengah tegang di balik jeans, bersorak dalam hati akan kesuksesannya. “Nes.. stop..”
Nggak. Nesya nggak mau berhenti, dia berani menggesekkan kelamin mereka, mengerang di sela-sela tautan, tak ingin mendengar atau mengindahkan apapun. Dia benar-benar haus akan sentuhan terutama dari Jiel. Sudah lama dia menanti ini, dan siapapun dilarang mengganggu.
Tapi gimana kalau Jiel sendiri yang mendorong Nesya hingga terantuk ke ranjang. Manik berkilat-kilat marah dan tidak menyangka, sementara pemuda lain terdiam dengan jantung memompa sangat cepat.
“Kamu mau ngapain hah?!”
Nesya tidak dapat berkata-kata selain menegak ludah, kerongkongan terasa kering kerontang bak terdampar di gurun sahara. “A-anu Kak..”
“Kamu manfaatin aku disaat nggak sadar gini?!”
Mendengar tuduhan bersifat faktual tersebut, menyulut amarah terpendam si Cantik, dengan rahang mengeras ia berteriak di hadapan Jiel. “IYA! AKU MANFAATIN KAKAK! KENAPA?! AKU JUGA PENGEN SEKS SAMA KAKAK! TAPI KAKAK NGGAK PERNAH NGASIH AKU! AKU KURANG APA SIH KAK?! KAKAK NGERTI NGGAK SAMA PERASAANKU SELAMA INI?! HAH? KAKAK NGERTI NGGAK SAKITNYA DENGERIN CERITA TEMAN NESYA SOAL PACAR MEREKA SEDANGKAN AKU SENDIRI NGGAK PERNAH DIGITUIN SAMA KAKAK!” Napas terputus-putus, ia tersengal-sengal, air mata mengancam turun, sekali kedipan dipastikan pipi bakal basah, ia menatap Jiel penuh kebencian, menantang respon dari si Tampan yang belum menjawab.
“Nggak semua hubungan selalu tentang seks, Nesya!”
“Kenapa?! Kasih Nesya alasan logis kenapa Kakak nggak mau nyentuh Nesya lebih dari ciuman? BAHKAN KITA AJA JARANG CIUMAN KAK!”
“THAT’S NOT IMPORTANT FOR ME!”
Nesya bagai disetrum raket listrik, sakit anjir. Rambut-rambut halus di badan berdiri tegak mendengar penurutan tersebut. Dia benar-benar tidak percaya kalau Jiel memandang remeh hubungan mereka. “Ha.. haha..” tawanya pahit lebih dari jamu. “kenapa hah? Impoten?” tanyanya sarkas. Jiel melotot marah, mengacungkan telunjuk ke depan muka sang kekasih.
“Jaga bicaramu.”
Si Cantik mendengus remeh, “Oke baik, Nesya pikir hubungan kita emang sampai sini doang, Kak,” ujarnya percaya diri. Padahal hancur banget, hancur sehancur-hancurnya! Dia hendak bangkit namun Jiel seketika menahan pergelangan tangan, mencengkram sangat kuat begitu dia minta lepas.
“MAKSUD KAMU APA NES?!”
“PUTUS KAK! AYO PUTUS DARIPADA AKU SAKIT!”
“APA DI KEPALAMU CUMAN SEKS DOANG, HAH?!” cecar Jiel marah, “JADI KAMU MUTUSIN AKU CUMAN KARENA SEKS?”
“CUMAN KAKAK BILANG?” Nesya berhasil menyingkirkan tangan Jiel dirasa cengkraman melemah sedikit, mendadak naik pitam karena tuduhan maupun kesimpulan tidak logis yang diungkapkan Jiel, ia jadi tambah sakit hati dan akhirnya berteriak lebih nyaring, “BUT IT’S FINE IF YOU THINK I’M LOVING YOU FOR SEX ONLY, THAT MEANS WE’RE NOT MEANT TO BE, RIGHT?!” Dia buru-buru membuka pintu kamar lalu melangkahkan kaki keluar, sempat membanting benda penghubung tersebut tepat di muka mantan kekasihnya, aw, mantan, Nesya rasanya masih nggak sanggup nyebut gitu, air mata berlomba-lomba turun walau tiada isakan, tangan merogoh ponsel dan menekan tombol darurat.
“Yes Adik Manis?”
Mendengar suara ceria Andra, meruntuhkan pertahanannya, ia menangis bagai bayi ingin dijemput secepat mungkin. Kakak sulungnya sudah pasti panik, tergesa-gesa mengambil kunci mobil dan mengajak Shea tanpa memutuskan sambungan. Menenangkan Nesya yang terisak nyaring di lorong hunian Andrean nan remang-remang.
Ketika ia menuruni anak tangga, Jerry sigap menghampiri, mulut gatal hendak menanyakan namun Joel menggeleng, membuat si Manis berbalik berniat menghajar Jiel sampai mampus. Nesya juga tidak ngomong apa-apa, mendiamkan diri dalam pelukan hangat sang kakak, menunggu tak sampai lima menit.
“NES??!!!”
Andra dan Shea menghambur masuk, melihat adik mereka di dekapan Jerry, mereka langsung menarik figur langsing kesayangan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ketiga bersaudara Nuswantoro pergi begitu saja meninggalkan tempat kejadian.
“Looks like your plan failed, Jerry,” Jayden membuka suara setelah sekian menit senyap. Jerry menghela napas panjang.
“You should have mixed his drink with aphrodisiac instead,” sahut Jacob sangat kalem. Seperti tidak terjadi apa-apa, berbeda dari Jerry yang panik karena merasa bersalah.
“Bukan salahmu, Hun,” ucap Joel melihat kekasihnya menggigiti kuku sambil bolak-balik.
“Bukan salahku gimana? Nesya pasti marah banget sama aku, Yel!” si Manis terduduk pasrah di sofa, mengumpati diri sendiri sehingga Joel memeluknya erat, meredam segala kosakata kasar tentang kebodohan ide gilanya.
“Kamu udah bantu semampumu, Hun, don’t blame yourself only, Kak Jiel tuh yang otaknya nggak bisa ditebak,”
“Seratus buat lo, Jo,” celetuk kakak pertamanya, “mau dikasih jajan berapa?”
Joel memutar mata malas, bisa-bisanya Jayden bercanda di saat kayak gini. Dia membisikkan kata-kata keyakinan di telinga Jerry agar pemuda surai cokelat tidak terus menerus menyalahkan dirinya.
Sebuah langkah kaki cepat berderap bak kuda tertangkap indera pendengaran, mereka sudah tahu pelakunya, siapa lagi kalau bukan Jiel. Panik dan pucat pasi mendera raut wajah, berhenti mendadak melihat 4 pemuda lain di ruang tamu.
“NESYA MANA?!”
“Nggak usah teriak.”
Jiel semakin gusar, “Gue mau ketemu Nesya!”
“Lo mabuk anjir, sana tidur!” titah Jayden melototkan mata. Jiel bersikeras ingin pergi, bahkan menompakkan kaki seperti anak kecil.
“GUE MAU KETEMU NESYA!”
“NGGAK! LO MABUK!”
“GUE NGGAK MABUK! GUE SEHAT!”
Jayden sudah siap hendak melayangkan pukulan, beruntung punya pacar malaikat kayak Jacob yang telah menahan duluan. Air mata Jiel turun, dada menjadi sesak, hati terasa perih karena kehilangan pemuda yang dicintainya.
“Tidur.”
Jiel menggeleng, berlutut di depan sang kakak, “Please please gue mau ketemu Nesya,”
“Nesya udah pulang sama Kakaknya, dan lo pasti bakal diusir kalo maksa ke sana,” Joel angkat bicara, memang sih nadanya santai kekaleman tapi isinya menusuk rusuk Jiel sehingga pemuda itu mengeraskan tangisan.
“Kak pleasee gue.. gue mau minta maaf sama Nesya,..”
“Jiel..” Jacob menghampiri, memberikan elusan lembut di kepala berupaya menenangkan, “masih ada hari besok, kamu datangin dia besok aja ya? Malam ini kalian berdua capek, kalau besok kan capeknya udah hilang,” tak lupa senyum terulas berusaha melelehkan hati dingin sang adik pacar.
“Kak..”
“Kamu tidur dulu, okay? Nesya juga butuh istirahat, yuk kita ke kamar,” Jayden benar-benar lucky banget punya pasangan super duper perhatian even with his brothers sekalipun. Dia membantu Jacob memapah Jiel ke kamar, sekaligus membantu anak tengah merehatkan diri sejenak. Meninggalkan Joel dan Jerry tenggelam dalam opera sabun di rumah pemuda surai hitam.
“Yel..”
Joel mencium pipi kirinya, tersenyum lembut, “You’ll be fine, kita minta maaf sama orangnya besok, okay?”
Lambat laun Jerry mengangguk setuju walaupun sisi jahat dalam diri masih meneriaki dan menyalahkannya terhadap keretakan hubungan si adik.
.
.
.
Sementara kesenyapan penuh tekanan menyelimuti kendaraan roda empat yang dipacu oleh injakan pedal gas putra sulung. Di kursi penumpang di samping terisi dua saudara lain dimana si Bungsu meringkuk dalam dekapan kakak tengahnya.
“Nes?” bisik Shea mengelus kepala sang adik sayang, pemuda yang terpanggil masih sesenggukan walau berusaha ditahan, menyembunyikan wajah tepat di dada bidang. “are you okay, Baby?”
“No..” sahutnya serak, tahu sangat kalau dia diam terus, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ajaran ibu mereka. Dilarang membungkam perasaan disaat sedang dilanda sesuatu, lebih baik diutarakan. “Adek baru putus sama Kak Jiel,”
CIIIITTTTT
Mobil terhenti mendadak beruntung jalanan sedang tidak begitu ramai dikarenakan sudah terlalu larut, Shea beruntung mendekap sang adik kuat karena ulah ceroboh kakaknya.
“Jiel pacarmu yang sok dingin itu?” tanya Andra setelah sadar pada perbuatan impulsif. Nesya mengangguk pelan, memeluk Shea lebih erat. “sialan! Emang lo kenapa, Dek?”
“He doesn’t want to have sex with me so we fight over it,” gumam pemuda cantik pelan. Andra mengusap permukaan wajah kasar, benar-benar tidak menduga soal kejadian ini. Pantas saja adiknya minta jemput meraung-raung padahal seingatnya sebelum acara, Nesya mengancam semua orang untuk tidak mengganggu malam spesial ini.
Hah. Malam spesial apa kalau berubah petaka, huh?
Andra menggertakkan gigi, dapat dilihat dari cara dia menggenggam stir kemudi kalau dia betul-betul marah besar! “And he broke up with you?”
“No, I did,” jawab Nesya lagi, helaan napas sangat jelas terdengar, “Adek gamau ngomongin,” mendengarnya membuat Shea dan Andra saling berpandangan kemudian menutup mulut sepanjang mereka melanjutkan perjalanan. Hati Nesya terasa remuk jika mengingat kembali, bagaimana gurat-gurat kemarahan tersampir di raut wajah Jiel atau kerasnya suara pemuda itu di gendang telinga. Dia menenggelamkan hidung sambil menutup mata, mengusir sekelebat rasa penyesalan yang tersesap di sanubari, dia tidak mau dihantui rasa bersalah, dia mau Jiel berada di posisinya selama beberapa pekan terakhir.
.
.
.
Nihil. Tiada jawaban, tiada sapaan, batang hidung pun tidak nampak. Berulang kali Jiel menyampir ke fakultas sospol terutama gedung jurusan IP setiap kelas Nesya berakhir tapi tak menemukan pemuda kesayangan. Dia hampir frustasi, stress naik menjadi depresi. Menyebabkan tidak fokus. Sudah dua minggu dia bolak-balik sospol-teknik, sama sekali nggak lihat Nesya di antara kerumunan.
“Hey, um, kenal Nesya Putra?”
“Adeknya Mas Shea? Kayaknya udah pulang,”
Jiel tersenyum pahit, mengangguk sebelum pamit undur diri setelah diberi harapan palsu. Dia berjalan lagi, ke tempat yang lebih mengenal sang mantan kekasih yaitu teman sekelasnya yang menangkir di lorong.
“Nesya udah pulang ya?”
“Eh, Kak Jiel.. iyaa tadi dia bareng sama Justin,”
Shit. Justin lagi Justin lagi. Pusat kecemburuan serta penghalang baikan di antara mereka. Kalau keduanya sedang marahan, pasti sosok Justin selalu muncul di saat Jiel nggak ada.
Sialan.
Jadi nyesel nggak minta kontak Justin.
“Lo punya nomor Justin?”
“Punya, Kak, mau dikirim-“
“Sebutin aja.”
Jiel konek kalo cewe yang ditanya ini modus minta nomor hp-nya, ia cepat-cepat menyahut dengan tampang sangat dingin, berhasil menggetarkan seluruh bulu kuduk. Si cewe juga buru-buru menyebut nomor, kikuk setengah mampus. Setelah dapat barulah pemuda tampan undur diri, langsung menelepon.
“Halo?”
“Ini Justin? Nesya mana?” Hening melanda beberapa detik, “Haloo?”
“Ngapain nyari?”
Kurang ajar.
Jiel menggertakkan gigi, “He’s my boyfriend, of course I’m looking for him,”
Terdengar dengusan remeh, menaikkan tingkat kemarahan pemuda itu, menggenggam benda elektronik kuat-kuat sudah siap hendak membentak.
“You mean ex- boyfriend,”
“Shut your fucking mouth and tell me where he is!” teriaknya marah mengagetkan beberapa mahasiswa di sekitar. Jiel berkilat-kilat emosi, berhasil menyebabkan kerumunam menjauh sambil menutup mulut.
Justin berdecak, “If you’re his boyfriend, you should have known where he was at the first place,” kemudian sambungan terputus sepihak, Jiel menggeram kesal, nyaris membanting ponsel ke tanah semen kalau amarah telah menguasai kesadaran. Dia tergesa-gesa memasukkan alat telepon lalu pergi angkat kaki dengan kepala mengarah ke satu tujuan.
Hunian Nuswantoro.
.
.
.
Bel berdering nyaring menggema di seluruh dinding rumah pada siang bolong. Deringan terus menerus ditekan sehingga membuat penghuni pun jengah mendengar nadanya. Andra gondok setengah mampus saat acara menonton drama terganggu karena bunyi menyebalkan tersebut. Dia hendak menyuruh Nesya, namun sekejap ia mengurungkan niat lantaran adik kesayangan tengah bermurung di kamar.
Dan sumber kemurungannya berani menampakkan wajah tepat di balik pintu.
Andra menggeram, hendak membanting benda penghubung namun Jiel lebih kuat.
“Kak, please..”
“Gak ada, gak ada, sana pulang!”
“Kak..” mohon Jiel memasang raut minta dikasihani, sedikit menyelipkan rasa iba dalam batin pemuda lebih tua, sebab tidak pernah melihat mantan adiknya seperti itu, namun ia harus bersikap tabah demi Nesya. “Kak.. Please gue mau ketemu sama Nesya,”
“Nesya gak mau ketemu ama lo!”
“Gue mau minta maaf sama dia, Kak..” si Dingin berlutut tanpa melepaskan dorongan terhadap pintu, Andra kikuk sekaligus bingung ingin mendorong balik, dia rada menyesal jarang ikut work out sama teman-temannya, kekuatan Jiel lumayan juga bro! “Kak Andra..”
Ah sial! Nes, mohon maap nih pacar lo terlalu ganteng buat dihantam pakai pintu. Jadinya, ia menghembuskan napas kasar lalu menarik pintu ke belakang, membiarkan Jiel limbung tetapi berhasil menahan diri seakan mempersilakan masuk.
“Kalo lo bikin adek gue nangis abis ini, siap-siap lo gak balik ke Andrean,”
Jiel mengangguk cepat, membersihkan debu tak kasat mata di bagian lutut kemudian mengucapkan terima kasih. Tanpa menunggu balasan, langkah panjang tersebut menapak di lantai keramik rumah keluarga Nuswantoro, hapal mati sama denah lokasi hunian ini. Ketika mata berpendar menemukan pintu berwarna soft pink dia mendadak deg-degan, berantisipasi juga sih, takut Nesya beneran nggak nerima dia.
TOK TOK TOK
Pemuda itu menggigiti kuku, kebiasaan buruk yang selalu ditegur sang kasih bila sudah gugup. Hatinya menghangat dan celos bersamaan, mengingat betapa Nesya sangat memperhatikan bahkan memahami sifat dinginnya selama mereka berpacaran. Dapat dimana lagi orang sebaik Nesya hah? Bodoh banget Jiel nyia-nyiakan hanya karena ketidaktertarikannya terhadap hubungan intim.
“Adek gak mau diganggu, Kak!” sahut Nesya dari dalam, suaranya serak, seolah menandakan dia sehabis menangis, hati Jiel sakit lagi, mengutuk diri karena sudah bertingkah laku terlalu keras pada kesayangan. Dia menempelkan telinga, hanya diam belum menjawab. Mungkin hal ini menggerakkan Nesya untuk bangkit karena penasaran. Biasanya Andra atau Shea setelah dibilang gitu ada aja sahutan, kok yang ini nggak ada.
Perlahan ia membuka pintu kamar dan terperanjat dari tempat pijak begitu netra miliknya dan Jiel bertamu. Tangan lentik refleks ingin membanting, insting yang sama seperti Andra namun pemuda lebih tua sigap menahan, berhasil menyusup ke dalam ruangan familiar seraya menendang pintu agar tertutup. Nesya mundur teratur, mata tak lepas dari pandangan Jiel, mengoyak-ngoyak memori kebersamaan mereka sampai belakang lutut terantuk ranjang, mengakibatkan ia terduduk seketika.
“Nes..”
“Ngapain ke sini?!”
Pemuda rambut hitam buru-buru berlutut, menangkupkan kedua telapak tangan memohon maaf. Nesya menatap tidak mengerti, atas dasar apa sang kakak berlaku menyedihkan kayak gini? Bukankah dia manusia paling benar sedunia.
“Kak-”
“Nes, Kakak minta maaf, Kakak nggak mau kita putus, please Nesya can we be together again? I’m sorry if I hurted you these weeks, maaf, maaf..” suara Jiel tercekat akan air mata yang bergumul di kerongkongan, dia benar-benar menyesali perbuatan buruknya beberapa pekan akhir. Nesya menelan ludah, jantung berdetak kencang selain tidak percaya dia juga luluh melihat Jiel meruntuhkan segala ego demi dia kembali ke pelukan. “please Nesya, I need you, I need you so much, I can’t live without you, please come back to me,”
Mungkin beberapa dari kalian yang membaca ini, ada tebersit rasa cringe atau mual mendengar Jiel sedesperate itu memohon pada Nesya. Tapi bagi Nesya tidak sama sekali, dia malah tambah sayang sama pemuda tersebut. Seorang Jiel Andrean, si manusia kutub kampus Teknik, yang nggak pernah dekat sama cewek, nggak pernah dekat sama cowok, selalu sendirian, jarang berinteraksi sama makhluk sosial, tiba-tiba meruntuhkan sikap dingin hanya karena kehadiran Nesya sendiri. He started to think he’s the only one for him.
“Nes.. Hiks...”
Oh, he’s so cute. Nesya lama-lama tidak kuat juga menahan diri untuk cengok. Dia memberanikan diri bangkit dari alas kasur lalu menghambur pelukan sangat erat. Membiarkan Jiel membalas tak kalah kuat sambil terus terisak di bahu landai beraroma vanila kesayangan. “Nesya.. Nesya I’m sorry..”
“Ssh.. Shh.. Iya iya Nesya maafin, Kak,” bisik pemuda cantik seraya mengusap rambut hitam tebal tersebut, bibirnya menyapu di puncak kepala turun ke permukaan kening, Jiel memejamkan mata, menikmati sapuan halus nan lembut milik sang kekasih.
“Nesya..”
Nesya tertawa geli, mengganyang pipi tembam pemuda itu sayang, “I’m yours, I’m yours..”
“You’re mine,” balas Jiel posesif, lengan panjang mengalung di pinggang, mendudukkan Nesya tepat di pangkuan, hidung bangir menyusup di leher, menghirup aroma memabukkan, “you’re mine and I’m yours,”
Pemuda cantik mengangguk dengan bibir bawah tergigit menahan desahan, helaan napas di sana seakan membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Nggak lucu dia terangsang di saat baru baikan gini, yang ada mereka putusan lagi hedeh.
Kedua sejoli kembali memadu kasih di atas kasur, dimana Jiel menyusupkan kepala di ketiak Nesya, mengecilkan diri meski tetap kelihatan bongsor sih. Kekasihnya mengalungkan lengan, masih tidak percaya pada kejadian ini.
“Kamu tahu kenapa Kakak nggak mau nyentuh kamu?”
Jantung Nesya berdetak tidak keruan, astaga, please, please jawabannya jangan mengecewakan.
“Kenapa Kak?” He heard himself asking.
Jiel mendongak, memadu pandangan dan terdapat keseriusan di sana, “Because I think it’s not important in the first place,”
Dahi Nesya mengerut, tidak memahami konteks dibalik jawaban itu. “Why?”
“Karena kamu terlalu berharga buat dikotorin kayak gitu,” aneh, tidak masuk akal, entah kenapa Jiel banget. Pemuda kelahiran April masih tidak mengerti sama jalan pikiran sang pacar, apa terlalu polos atau begimana?
“Kak..” dia memulai, Jiel menggumam penuh harapan, “that’s it? Just because you think I’m too precious, you hate... sex?”
“It’s not that I hate, okay? I just thought it’s not important,”
“You mean we’re in platonic relationship?” tanya Nesya menaikkan satu alis. Berbeda dari Jiel yang memiringkan kepala.
“What’s platonic?”
Ya Allah, Nesya punya pacar beneran polos kayaknya. Heran deh, Jayden sama Joel kok kelihatan berpengalaman tapi berbanding terbalik sama Jiel. Penelitian memang benar, kalau anak Tengah pasti keluar dari jalur keturunan. Contohlah si Shea. Nesya berusaha menahan tawa, tapi lama-lama lepas juga, Jiel makin tidak paham, hanya menikmati bagaimana pemuda cantik tersebut mendekap lebih erat.
“Kakak belum ngerasain, makanya Kakak bilang gitu,”
Jiel mengendikkan bahu, “Gak ada keinginan buat ngerasain,”
“Even with me?” ucap Nesya pelan, kali ini mengelus rahang tegas sang kekasih secara lembut, sudut bibir naik sedikit dengan kelopak mata dipermainkan. Jiel terpana sesaat, menatap lurus terhadap kecantikan tersebut. “how did you feel when we kissed, Kak?”
Jiel menegak ludah, mengerjap-ngerjapkan mata, agak gugup mendapat pertanyaan, apalagi Nesya kini mengusel wajah menggunakan hidung, bibir tak luput dari setiap permukaan, “It..” sial suaranya mana anijr?! “it feels nice..”
“Heum.. Just nice?” pria lebih muda menjadi lebih berani membalikkan posisi mereka. Mengukung pergerakan si Kutub di bawah figur langsing. Jiel otomatis melayangkan genggaman di pinggang, meremat ragu-ragu.
“Honestly, when we kissed there’s something inside of me wanted to explode,” bisik pemuda itu sangat pelan. Nesya menumpu badan menggunakan siku, mendekatkan jarak antarwajah hingga deru napas saling menerpa.
“Is it?”
Jiel mencoba mengangguk, terpesona pada setiap pergerakan Nesya di atasnya, entah kenapa ia menyukainya, merasa bodoh karena telah melewatkan momen keintiman selama setahun. “Like I want to touch you so bad, but a part of me said no,”
Nesya menunduk, menempelkan bibir sangat tipis, tetapi sudah berhasil menjatuhkan jantung Jiel ke selangkangan. Pemuda cantik menggerakkan selatan, menemukan sesuatu menyembul di balik jeans. Dia tersenyum lebar, menggoda rona merah di parasan sang kasih. Haha. What a virgin.
Heh. Ngaca ya Nes.
“Oh so you want to touch me?”
“Y-Yes..” erang Jiel dirasa Nesya menggesekkan organ intim. Apa yang salah dengannya? Kenapa tiba-tiba dia tidak bisa bergerak? Mendadak kaku dalam kekangan pemuda kesayangan, memasrahkan segala logika yang tertendang oleh kilatan nafsu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Nes..”
“Easy, Big Boy,” Nesya menyengir, menyapukan lidah di rahang bawah lalu menggigit perlahan. Pinggul masih setia mengadu kejantanan, padahal dalam hatinya ia tak sabar melakukan lebih dari ini. “Kakak percaya sama Nesya kan?”
Jiel mengangguk lagi, “Percaya,”
“Will you runaway if you see me naked?”
“Ya enggak lah!” Walaupun belum pernah membayangkan Nesya telanjang, Jiel tidak sebrengsek itu main kabur hanya karena kekasihnya polosan. Dia tidak berpikir sejauh itu saja, dan menganggap seks sebagai topik tabu terutama antarlaki-laki.
Nesya menempatkan bokong tepat di gundukan, dia gemetaran sendiri menikmati batang tertutup kain melesak di belahan pipi. “S-shit.. ngh.. y-you trust me right?”
Tangan Jiel yang berada di pinggang meremat lembut pertanda meyakinkan, dia berusaha bangkit menyejajarkan mereka. Kali ini ia bergerak duluan, menyosor leher si Cantik dengan beberapa kecupan kecil, mengakibatkan tawa geli membuncah diselingi rematan pada surai hitam. Jiel tersenyum lembut, memagut bibir tebal di hadapan candu.
“K-Kak..”
“Iya Sayang..”
Nesya menangkup kedua pipinya, menatap dalam-dalam penuh keseriusan, “Are you sure you want to take this step?” Dia menerima sebuah anggukan dan kecupan manis, sukses melelehkan seluruh persendian.
“I’m sure, Nesya,”
“Kakak nggak bakal kabur kalau kita masuk permainan inti?”
Si Tampan menggeleng, “Teach me, Nes, teach me everything about you,” pemuda April sebenarnya masih terselip keraguan, namun memutuskan untuk melangkah perlahan.
“Do you know that I’m the one who will get fucked?”
“Do you want to?” tanya Jiel lagi. Sepertinya agak lama mereka akan masuk ke tingkat yang sebenarnya dikarenakan kakak kesayangan tidak tahu cara berhubungan sesama pria. “Kakak dengar itu sakit, Nes,”
“Dengar dari siapa?”
“Jerry? Kamu tahu kan omongan dia nggak pernah disaring?” Nesya tergelak sambil menutup mulut, kebiasaan kalau lagi ketawa, Jiel bahkan tersenyum melihatnya, rongga dada terasa menghangat padahal mereka sedang dalam posisi menjanjikan. “do you think you can take it?”
Nesya mengangguk, “Do you want me to show you how I’ll take it?” tanyanya malu-malu, terlihat dari semburat merah muda mengapung di parasan pipi tembam. Jiel mengerang saat kejantanan menggeliat, meminta segera dilepaskan.
“Will you?”
“Of course, Baby,” jawab si Cantik tak lupa mendaratkan ciuman di sudut bibir, “only if you’re willing to watch,” Jiel mengangguk sangat cepat, otaknya tidak sabar ingin melihat rupa kekasihnya merintih di atas kasur sambil mempertontonkan bagaimana ia memuaskan diri.
Pasangan itu kembali memadu kasih dengan jari jemari cekatan melucuti pakaian. Membebaskan kulit dari panas material kain, sampai tak bersisa apa-apa. Sesama warna porcelain beradu satu sama lain membuat Jiel terpana sejenak.
“Woah.. Nes..” ia berdecak kagum, telapak tangan besar merayap dari pundak landai menuju dada sampai ke perut datar, mendengarkan ringisan kecil terlolos dari mulut Nesya. “kamu cantik banget..”
“K-Kak..” erangnya tertahan, menarik tengkuk jenjang agar mempertemukan bibir mereka. Lumatan tercipta terlihat tidak sabar, lidah bergelung saling mengenal, Jiel melesakkan indra pengecap begitu rongga terbuka, mengabsen geligi putih, menyalurkan saliva di setiap celah, Nesya tak berhenti mengeluarkan erangan, tidak ada keinginan untuk menahan.
“Nes.. ngh..” Jiel memutus tautan dirasa pasokan oksigen menipis, mereka terengah-engah diiringi tawa menggemaskan dan dekapan kasih sayang. Pemuda dingin bergerak menindihi pemuda lain, menyerang titik-titik sensitif secara acak, terkadang menggigit bagian tersebut. Nesya melolong keenakan, badan gemetar hebat semakin membuat Jiel terpesona.
Dia tidak menyangka kalau setitik kecil perbuatan bisa mengakibatkan hal yang besar pada Nesya.
Nesya tidak tahan lagi, ia mendorong Jiel agar duduk di tengah selangkangan saat melipat kaki. Jantung berdegub kencang antara malu dan percaya diri terutama saat melihat kilatan nafsu tersampir di netra tajam Jiel. “Kakak bisa ambilin botol di laci situ?” tanyanya menunjuk ke arah benda yang dimaksud. Pemudanya mengangguk, bergerak cepat menuju meja sebelah kasur, mengacak isinya sebentar lalu menemukan botol berukuran sedang berwarna merah muda.
Nesya and his obsession over pink.
“Okay, don’t freak out.” ujar si Cantik setelah mengeluarkan cairan bening dari tempat. Jiel tidak menjawab, dia bukan freak out melainkan speechless karena tak tahu hendak mengatakan apa. Dia memposisikan diri tepat di antara kedua kaki Nesya, memandang lurus ke gerakan tangan kanan sang kekasih. Manik tak lupa melirik ke penis kekasihnya sendiri, mengacung tegak padahal belum diapa-apain.
Jari tengah lentik mengitari liang, Nesya sebisa mungkin rileks, walau rasanya nggak mungkin terlebih lagi ditatapin lapar kayak gini. Namun, begitu kuku maupun parasan menyusup sedikit, ia dapat meloloskan sampai buku jari, manik terpejam erat, tangan kiri mencengkram seprai. Dia berusaha menjaga keseimbangan kaki agar tetap membuka mengekspos semua.
Jiel menegak ludah dirasa tenggorokan mengering, melihat sebuah jari bergerak maju mundur melewati anal entah kenapa membangkitkan nafsu hendak mengambil alih, seperti ingin menggantikan posisi tersebut, dia tidak menyangka kalau Nesya tak sepolos yang ia pikirkan. Apa selama setahun ini pemuda itu menyembunyikan semua dari dia?
Pemuda yang dipikirkan sibuk merintih seperti yang dibayangkan beberapa menit lalu, kain seprai menjadi kusut akibat pergerakan punggung mengikuti ritme jari. Bertambah menjadi dua, terasa kebas meregangkan lubang. Nesya sudah pernah mencoba, dua minggu lalu ketika acara makan malam. Dia diajarin Jerry tentang kebersihan bagian sana, dipersiapkan sedemikian rupa karena akan ada benda asing yang masuk. Beruntung ia selalu membersihkan kalau-kalau ada kejadian mendadak seperti sekarang.
“Fuck.. Fuck.. Kak Jieeelll..” desahnya menegang sewaktu ujung digit mencolek selaput sensitif, adik kecil mengeras menggeliat di abdomen, ujung kepala mengeluarkan bulir putih, membasahi kulit membuat Jiel menjilat bibir bawah, dia merayapkan tangan ke milik sendiri, mengelus perlahan, menambah ketegangan. Telinga menangkap desahan demi desahan mempercepat genggaman.
“Ah.. ah.. Nes..” bunyi apa yang keluar dari mulutnya secara tiba-tiba? Lenguhan panjang beserta napas memburu ketika ia mengusap puncak kepala kejantanan dengan ibu jari. Nesya berhenti sejenak, menarik oksigen seraya menarik tiga digit, liang berkedut hampa saat ia menopang badan menggunakan lengan kiri.
“Masukin Kak..”
“S-sekarang?” tanya Jiel panik.
Nesya mengangguk, bangun sebentar merangkak menghadap Jiel yang kelabakan melihat pergerakannya, apalagi ketika pemuda cantik tersebut mendekatkan diri seraya bernapas di adiknya. “Nes..”
“Boleh ya?”
“Mau ngapain?”
Nesya tertawa renyah, menggenggam pangkal yang mengeras di telapak tangan mendapati lenguhan halus, “Mau kulum,”
Jiel terbelalak, “Emang bisa?”
“Watch me,” si Cantik menjulurkan lidah untuk memberi jilatan bak kucing di kulit batang, merasakan geliatan kecil serta Jiel yang mendadak merinding, ia menyengir kesenangan, menyapu benda lunak dari tengah hingga ke puncak, sangat-sangat pelan, kontras sekali dengan kerasnya milik Jiel. Mengumpulkan ludah di mulut, ia menjatuhkan setetes tebal tepat di lubang, mendengarkan desisan berat.
“Nes ya Tuhan..”
Nesya tidak menjawab, melainkan membiarkan air liur menitik membasahi kepala sebelum ia mengocok perlahan agar licin, ia meludah lagi, dan Jiel mengeraskan erangan, jari-jemari mencengkram seprai sebab tidak tahu hendak kemana. “Kak, tarik rambut Nesya,”
“Huh? O-ohh..” pemuda itu mendongak saat tiada angin hujan Nesya bergerak memasukkan. Dia dapat merasakan kehangatan rongga basah melingkupi sekujur batang, bagaikan memotong sirkuit kesadaran di otak. Tangan bergerak memegangi Nesya, yang kini menghisap naik turun tak lupa meniruskan pipi tembam. Bunyi campuran saliva maupun bulir keputihan di puncak terdengar panas di gendang telinga keduanya, perut Jiel terasa mengencang akibat stimulasi berlebihan.
Ya. Namanya juga perjaka. What do you expect other than coming undone?
“Nes.. ah.. Nes..” cengkraman di surai hitam menguat begitu pula pinggul yang hendak menghentak ke atas, meminta lebih. Nesya menjauhkan sedikit supaya tidak tersedak, menahan paha Jiel erat.
“Do you wanna come?”
Jiel tidak tahu harus bilang apa selain mengangguk, Nesya mengocok batang lebih cepat sambil mendengarkan desahan lolos dari mulut sang kekasih. “Ah! Ngh.. Nes!” pemuda cantik tidak menghindar begitu untaian putih menyapa pandangan, mendarat di sisi kanan kiri hingga ke bibir. Dia setia memainkan lembut, menghabiskan sisa-sisa pelepasan. Jiel kagok setelah klimaks, mendadak kosong hanya terisi oleh aroma memabukkan pemuda kesayangan.
“Sayang..”
Nesya mencolek benih di pipi kemudian membawanya ke mulut, menyesap rasa mani milik kakaknya seraya mengerang nikmat, “Shit.. nggak sabar dipenuhin ugh..”
“Kamu belajar darimana sih?”
“Research for a year,” Nesya mengendikkan bahu, kini menuangkan cairan pelumas di atas batang, mengakibatkan Jiel gemetar lagi akibat sensasi dingin setelah dihangati mulut, jemari lentik menggenggam sesekali mengocok pelan, melumuri setiap nadi, “and listen to other people’s experiences of course,”
Perasaan menyesal dan bersalah menggrogoti sanubari, Jiel menaruh telapak di atas punggung tangan, menghentikan kocokan Nesya yang membuat si Cantik bertanya-tanya, manik kedua sejoli bertemu, dan barulah ia paham yang dimaksud kakaknya.
“Maaf Nes,”
“Hey, stop saying sorry okay? Nesya lagi ngocokin Kak Jiel loh, kita udah sejauh ini masa Kakak minta maaf lagi?” gerutu pemuda surai hitam menggembungkan pipi, Jiel menariknya ke dalam pelukan erat, tidak mau melepaskan. “Kakakkkk..”
“It’s just.. I’m fucking stupid, right?”
“Yes, and a jerk,” balas kekasihnya gemas, mencuri kecupan di bibir yang menyatu, Nesya mengalungkan lengan di tengkuk, menatap dalam demi menyalurkan rasa sayang yang berlebihan, “tapi Nesya terlalu cinta sama Kakak, sampe Nesya tutup mata sama semua kelakuan Kak Jiel dari awal kita pacaran,” lanjutnya kemudian mempertemukan bibir mereka tanpa mendengarkan balasan si Dingin. Lidah saling beradu kali ini dalam mulut Jiel, giliran Nesya memimpin dominansi dan terjengit saat tangan besar mengocok kejantanan di bawah. “fff-“
“I can kissed you all day, Nesya..” bisik Jiel berat di sela-sela tautan.
Nesya menggeleng, “Nu uh, you have to fuck me now, Big Boy, I can’t wait to be filled by you,” balasnya tak kalah kotor, menyebabkan Jiel merengek tidak sabar sementara ia menertawakan. Nesya merebahkan diri senyaman mungkin, menaruh bantal tepat di bawah pinggul supaya tidak encok mendadak bila Jiel menggoyang kasar.
“Ini buat apa?”
“Nggak paham, biar punggungnya nggak sakit pas Kak Jiel genjot,” segala kalimat yang meluncur di pita suara Nesya benar-bensr mengaktifkan saraf di seluruh nadi Jiel, berkumpul di satu titik yaitu penisnya, ia mendengking bagai anak anjing, tak berhenti digodai kekasih. “Kak ayooo!”
“Nes kamu yakin?” adiknya sudah mengangkang selama beberapa menit tapi Jiel masih juga ragu ingin memasuki walau pingin. Dia menjilat bibir saat memandang liang Nesya yang berdenyut-denyut minta diisi, tak percaya mereka akan melakukan ini.
“Ya Allah Kak Jiel! Nesya teriak ya!”
“Eh.. jangan! Nanti Kakak diusir Kak Andra,”
Si Cantik memutar mata malas, melipat kaki di atas dada seraya melototkan mata, “Come on, Jiel Andrean.” Terburu-buru pemuda yang dipanggil dengan intonasi dalam memposisikan diri tepat di lubang, tangan kanan memegangi pangkal, menuntun menuju sarang. Precum lengket tersemai di sekitar, mengakibatkan sang kasih melenguh tak sabar, ia mencoba menyusupkan ujung mahkota, namun malah meleset ke atas, menyentuh bola Nesya.
“Ya Allah, Kak!”
“Susah ini Nes..” keluh Jiel diambang menyerah, Nesya menggeram gregetan kemudian bangkit setengah badan, meraih batang panjang nan tebal tersebut, mengarahkannya ke liang, dia harus rileks, mengingat pesan Jerry untuk tetap santuy meski diterobos benda tumpul. “ngh.. Ness..”
“Ssh diem!” Nesya menarik napas, melihat ke bawah pada penyatuan pertama mereka, dia jadi berpikir seharusnya ia mengambil 4 jari kalau ternyata adik Jiel sebesar ini. Kakaknya masih meringis, sedikit-sedikit merasakan miliknya dilahap perlahan. “fuckk.. tahan Nes!” jerit pemudanya tiba-tiba, sumpah ini nggak ada enaknya sama sekali how on earth Jerry can take it hah?! Isi otak Nesya diaduk oleh rasa sakit akibat peregangan, dia ada rasa mual juga menyampir tapi berusaha ditahan. Dia sudah nunggu 1 tahun buat begini, masa mundur gitu aja?
“Sayang? Hey..” Jiel menangkup pipi tembam, memeriksa keadaan kesayangan, sebercak kristal bening menutupi pandangan, ia pun menenangkan meski penisnya diselimuti kesempitan. “kalau sakit nggak usah dipaksa ya?” Nesya menggeleng, menyandarkan kening di bahu tegap, mengatur napas berusaha mengalihkan perih.
“Bisa kok, bisa!”
“Oke, oke, take your time, kita punya banyak waktu kok,” bujuk Jiel kembali kini melayangkan kecupan di leher, menggigiti area sensitif hingga tercipta bercak kemerahan, sepuluh jari merayap menggrayangi titik ero lainnya, mengingat puting Nesya belum disentuh sama sekali. Parasan digit menekan sedikit, memainkan bak tombol remote, menemukan pemuda lain bergetar nikmat dan berhasil menyusupkan batang sampai setengah.
“Ah.. Kak.. bentar..” Jiel mengangguk berhenti menghisap begitu Nesya rebahan lagi. Dia mencoba bergerak menindihi, tak sadar gerakannya semakin menanam organ. “fuck! P-penuh..” gumam Nesya menarik napas, perih tidak lagi dipedulikan, terganti oleh keenakan. Apalagi saat memandang ekspresi Jiel dari bawah.
“Nes.. ugh.. sempit..”
“Y-ya iya..” Nesya berusaha bercanda, padahal meregang nyawa, “k-kan perawan,”
“B-bukan itu Sayang..” mereka berkomunikasi terbata-bata disebabkan cepatnya mengisi udara. Mata bertemu bersamaan bibir memagut mesra. Bagian selatan diam sebentar agar terbiasa.
Helai demi helai rambut Nesya disingkirkan karena menutup wajah, Jiel mematri senyum lembut dengan jantung berdetak kencang mendapati rupa sempurna milik pacar. “Kakak beruntung banget bisa milikin kamu, Nesya,”
Semburat malu merebak di pipi keduanya, terasa seperti kembali ke masa-masa pendekatan, awal-awal pacaran, dimana Nesya sendiri tidak menyangka kalau ia berhasil menggaet manusia kutub seantero kampus.
“Nesya juga beruntung bisa dapetin Kakak,”
“Be mine forever, okay?”
Sebuah anggukan dan kecupan lembut menjadi tanda keyakinan Jiel, Nesya membalas tak kalah sendu sembari mengisyaratkan untuk mulai menggoyang. Pemuda tampan tersebut memundurkan pinggul, sangat pelan, penuh kehati-hatian, takut gesekan mendadak merobek dinding si adik. Nggak lucu first time mereka berakhir di rumah sakit. Dia menahan napas begitu kepala masih tertanam, lalu bergerak maju hingga pangkal lenyap.
“AH!” Nesya mendesah nyaring, meremat lengan kekar di sisi badan, punggung membusur indah. Jiel tidak menunggu lama, ia mundur setengah dan menggenjot kecil-kecilan. Menyamakan ritme napas masing-masing. Nesya berulang kali merasa kepalanya berputar akan nikmat, ujung penis menubruk lebih jauh, melesat ke selaput rentan. Kejantanannya sendiri sudah mengeluarkan cairan, membentuk kubangan kecil di abdomen mungil.
“Aah.. ah.. Kak Jiel..”
Jiel hanya membalas dengan geraman dalam, terengah-engah bak dikejar anjing galak tepat di telinga pemudanya, menambah keseksian serta rangsangan terhadap mereka berdua.
“Kak.. f-fuckk.. ngg..” dia menampar-nampar pundak Jiel agar berhenti sejenak, tidak dapat menahan lebih lama lagi pada orgasme yang melanda. Ini bahkan lebih hebat dari dia mastubasi sebelumnya. Jiel juga tidak kuat, selang beberapa detik setelah Nesya tiba, dia menggoyang sekali dan klimaks di dalam. Pinggulnya gemetaran oleh stimulasi berlebihan. Menyebabkan keduanya sampai meski permainan tidak mencapai lima belas menit.
“Haah.. haaah Kak Jiel..”
“Nes maafff..”
Nesya tertawa keras, suaranya parau karena kebanyakan teriak, nggak habis pikir kalau first time mereka seamatir dan terlalu sebentar. “Kak Jiel lucuuu..”
“Kelakianku patut dipertanyakan,” erang si Dingin kesal, dia tidak dapat menduga kalau dia keluar secepat itu, dua kali pula. Nesya menariknya ke dalam pelukan, menempelkan badan lengket bersamaan. Tiada niat melepas tautan. Kedua sejoli sibuk menikmati kehadiran satu sama lain.
“Namanya juga pertama kali,”
“Tapi malu Nes!”
“Wajarlah.. Kakak kan masih perawan,”
“Perjaka ya bukan perawan,”
Si Cantik mengusak surai tebal itu gemas, menemukan kerucutan bibir dari sang kekasih sangat sayang jika dilewatkan. “Next time kita pakai cock ring,”
“Cock apa?”
“Ya Allah Kak Jiel, otak aja encer tapi masalah ginian aja nggak paham!” cetus Nesya sebal, Jiel hanya menyengir, mendaratkan kecupan di bantalan ranum pemudanya yang merengut-rengut.
“Nanti kita explore bareng,”
Manik Nesya berbinar-binar semangat, merasa senang ketika Jiel mengajaknya menelusuri keintiman mereka bersama, ia mengangguk antusias kemudian memeluk erat. “Yess okay, let’s explore it till the end,”
Jiel membalas dekapan tidak kalah kuat sambil menghirup lamat-lamat aroma familiar nan nyaman milik Nesya. Dalam hati ia bersyukur masih dikasih kesempatan kembali ke pelukan tersayang walau sempat dua minggu dilanda kegalauan. Dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan pemuda cantik ini hanya karena hal sepele atau hal besar lainnya.
Dia harus lebih peka, dia harus lebih memahami perasaan Nesya. After all, he’s the one that willing to be with him right?
.
.
.
“Nes.”
“Iya Kak?”
“Jangan kasih tau Jerry ya kalo kita keluar nggak sampe lima belas menit.”
Tawa keras kembali membahana di seluruh penjuru ruangan putra bungsu Nuswantoro.
.
.
.
©️finn