First Meet
Windira menahan nafasnya ketika Adisty masuk bersama kedua orang tuanya. Jika Bundanya tidak menyentil lengannya, mungkin Windira masih melongo di tempat duduknya.
Adisty memakai baju santai, kemeja dan celana jeans, hampir sama dengan Windira yang menggunakan baju senada. Makan malam dan obrolan kedua keluarga cukup santai, terlebih memang keempatnya saling mengenal, meninggalkan kecanggungan bagi Windira dan Adisty. Windira mengecek jam tangannya, sepertinya jika tidak sekarang mengajak Adisty berbicara, waktu akan semakin malam.
“Bunda, Mami, Tante, saya izin ngajak Adis ngobrol di luar ya?” Windira berdiri sambil membawa gelas lemon tea-nya
“Oh iya, bagus. Sana-sana ngobrol,” Tiffany memberikan eye-smilenya, begitu juga dengan Yuri di sampingnya.
“Jangan ngerokok,” Windira mendengar Maminya berbisik pelan, mengingatkan kebiasaan buruk anak bungsunya itu.
Adisty duduk di kursi tinggi. Balkon yang mereka tuju menyediakan kursi tinggi yang berhadapan dengan meja yang menempel di balkonnya, sehingga mereka duduk bersebelahan.
Sejujurnya Adisty masih heran, kenapa wanita di depannya itu memanggilnya dengan “Adis,” karena seingat dia, hanya orang-orang di sekitar keluarganya yang memanggil Adis, karena biasanya dia lebih dikenal dengan Disty.
Begitu juga dengan segala gestur yang dilakukan oleh Windira. Menurut Adisty, dia sangat hati-hati jika berhadapan dengannya. Mungkin memang benar kata Maudy, Windira ini sangat gentle
“Lucu sebenarnya kalo ngomongin hubungan kita,” Adisty membuka suaranya, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti keduanya.
“Kita sebenarnya saling tahu, tapi ga sempet ketemu atau saling kenalan,” lanjut Adisty, “Gue Katharina Adisty Waskita, biasa dipanggil Adisty, Disty, atau Adis.”
Windira menyambut uluran tangan Adisty, “Windira Handoyo, bisa dipanggil Dira atau...” Windira menggantung kalimatnya, “Windi.”
Adisty mengangguk, mengingatkan dirinya pada kebingungan karena wanita di depannya memanggil nama yang jarang digunakan.
“Lo kenapa manggil gue Adis? Seinget gue jarang banget yang ngenali gue pake Adis.”
“Oh,” Windira sedikit terkejut, “Kalo lo ga nyaman gapapa kok, gue bisa panggil nama sesuai yang lo nyaman.”
“Eh gapapa,” Adisty mengibaskan tangannya, “Gue cuma kaget aja soalnya uda jarang banget yang manggil gue gitu kecuali kedua orang tua gue. Soalnya itu kan jaman gue SD dan gue pengen banget ngelupainnya, gue kan rada dibully waktu itu.”
“Oh...” Windira terdengar sedikit kecewa, “Gue taunya soalnya dari SD.”
“Maaf ya, gue kayaknya beneran pengen lupain dan rada susah buat ngingetnya.”
“Santai aja,” Windira tersenyum, “Kalo gue boleh tahu, lo ada sesuatu yang dipengen ga ketika ngeiyain buat kenalan sama gue?”
Adisty mengetuk gelasnya, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, “Gue kalo boleh jujur, gue pengen lupain mantan gue. Gamon ceritanya,” Adisty terkekeh pelan, “Cuma gue mau bilang kalo lo ini bukan pelampiasan, gue cuma mau semuanya berjalan natural aja.”
“Sepertinya kita sama,” Windira kembali tersenyum, “Mungkin gue ga naruh harapan yang tinggi ke dalam proses ini, tapi anggep aja gue lagi PDKT ke lo.”
Adisty mengangguk, sebuah tawaran yang menguntungkan.
“Besok gue jemput ya ke kantornya?” tanya Windira
“Eh, gapapa?”
“Gapapa orang sejalan. Lo suka naik motor apa mobil?”
“Motor boleh, kayaknya lebih cepet.”
Windira mengacungkan jempolnya senang, “Oke, sampai jumpa besok ya.”