wqwqwq12

Sebagai orang yang sangat ekstrovert, Karina benci kesepian. Namun sejak akhir bulan lalu, Karina harus menghadapinya.

Sebuah hari yang sedikit mengubah hidupnya, sebagai Karina aespa maupun Yu Jimin.

Masih jelas teringat di kepalanya pada pagi, atau siang, setelah dia terbangun. Karina ingat bahwa Winter menemaninya tidur semalam, namun paginya Karina mendapati dia sendirian.

Dirinya semakin terkejut mendapati semua sudah berkumpul di ruang tengah, bersama dengan Manajer dan salah satu orang dari humas. Karina tahu ini akan berkaitan dengan dia dan semuanya.

“Karina cukup diam, yang lain kalo bisa tetep update di bubble. Kita lihat gimana respons. Soalnya semenjak beritanya keluar, responsnya buruk.”

Karina tentu menahan diri untuk tidak mendecakkan lidah kesal. Mereka ini sudah lama menjadi bagian dari dunia entertainment tapi terlihat tidak ahli menghadapi hal demikian.

Semakin mengingat hari itu, rasanya pusing sekali kepala Karina.

Winter pergi kemana? batin Karina. Sudah seminggu Karina didiamkan oleh kekasihnya itu.

Kekasih? Ah Karina ingat jika gadis yang lebih muda meminta istirahat dari hubungan mereka. Ditambah kondisi yang sangat buruk terus terjadi, sepertinya Karina benar-benar merasa tidak pernah bertemu dengan Winter.

Ketika mengecek gawainya, baru Karina sadar. Seharusnya dia pergi menonton konser IU bersama Winter, namun karena dia sedang di-grounded, maka Winter pergi menonton sendiri. Jarinya bergulir ke kolom pesan, mendapati pesan dari Ning dan beberapa tautan berita di grup mereka berempat. Sebuah kejadian tidak mengenakkan menimpa Ning, dan gadis itu sedang perjalanan pulang dari Beijing menuju asrama sekarang.

***

Winter menutup pintu di belakangnya. Hari ini dia barusan saja menonton konser IU. Selama perjalanan pulang, sejujurnya dia khawatir dengan kondisi Ning. Pemberitaan menyebutkan ada sedikit masalah antara dia dan staf agensi, yang parahnya diketahui oleh fanbase dia. Walaupun Ning mengatakan sudah bersama Karina di dorm, bukan berarti Winter bisa menghapus kekhawatirannya dalam sekejap.

Suasana dorm sepi, mengingatkan Winter bahwa Giselle, yang seharian ini sangat cerewet kepadanya, sedang berada di Paris. Mungkin dua orang lainnya tidur, batin Winter sembari meletakkan sepatu yang dia pakai.

“Baru pulang?” suara rendah yang sangat familiar di telinga Winter mengagetkannya.

“Eh, iya,” cukup canggung bagi Winter karena semenjak berita itu keluar, dia dan Karina belum pernah bertemu berdua seperti ini. Untuk segera menghilangkan kecanggungannya, Winter melepas jaketnya dan beranjak pergi untuk menggantung jaketnya. Namun, langkahnya tertahan karena Karina memegangi lengannya.

“Kak, kenapa?” Winter kaget, karena tangan Karina yang menggenggam lengannya bergetar, jelas gadis itu akan segera menangis. Winter mencampakkan jaketnya, dan segera memeluk Karina erat.

“Kenapa?” tanya Winter lagi

“Ning tadi nangis, aku gatau aku harus apa. Aku leader yang ga guna, Win. Aku bahkan gabisa ngehentiin orang-orang di sosmed yang ngatain kamu ga peduli lagi sama aku gara-gara aktif di bubble. Aku gabisa lagi, Win, jadi kekasih yang baik buat kamu.”

“Kamu ngomong apa sih?” Winter mendorong pelan bahu Karina, membuat gadis yang lebih tinggi terisak kembali.

“Karina... Sayang...” panggil Winter, membuat Karina membuka matanya yang terpejam karena menangis barusan. Dirinya tak kuasa menahan kembali tangisnya mendengar panggilan sayang dari Winter.

“Aku sayang kamu, jangan tinggalin aku,” bisik Karina di tengah isakan tangisnya.

Awal Maret, 2024

Winter kembali melihat langit-langit kamarnya. Sepi ini terasa sangat berisik bagi kepalanya.

Giselle sedang berada di Paris, Ning berada di Beijing dan Karina...

Winter tidak tahu dimana dan sedang apa leadernya itu sekarang.

Sebuah pertengkaran aneh yang berusaha mereka tutupi ketika konser SM Town di Tokyo kemarin cukup melelahkan jiwa Winter. Terlebih, sejatinya dia sangat sulit untuk menutupi perasaannya.

Pertengkaran yang terjadi di pertengahan bulan Februari cukup aneh, bagi Winter terutama. Sepanjang hubungannya dengan gadis yang lebih tua itu, dia hampir tidak pernah merasakan Karina berlebihan. Anehnya, pada hari itu Karina menuduhnya terlalu akrab dengan member GG lain. Tentu saja tuduhan itu tidak berdasar menurut Winter. Bagaimana bisa Karina menuduhnya ketika setiap saat matanya hanya melihat Karina? Setiap saat bibirnya membentuk senyuman ketika melihat Karina, bagaimana bisa gadis bermarga Yu itu menuduhnya sudah berpaling?

Adu argumen, bahkan Karina sempat menangis, membuat Giselle dan Ning harus menenangkan masing-masing. Dan mungkin tanpa Giselle dan Ning duga, Winter meminta agar hubungan mereka istirahat dulu. Agar keduanya bisa saling mengerti apa yang mereka inginkan.

Manajer mereka sempat menyampaikan bahwa Karina sering dipanggil ke kantor, entah ada masalah apa, tapi yang jelas berkaitan dengan pamor mereka yang sedang melejit. Tapi menurut Manajernya, setiap Karina kembali dari kantor, dia terlihat lelah.

Apakah sedang ada yang dipikirkan oleh Karina sehingga sampai hati menuduh Winter berpaling darinya?

Keduanya saling menjaga jarak, tapi sepertinya Winter sedikit kehabisan kesabaran. Pada hari ketika dia menonton konser Itzy sendirian, Karina menyambutnya dengan amarah. Dia bertanya dengan keras mengapa ada member GG yang digosipkan dengan dia, berada di tempat yang sama.

Winter berusaha menjelaskan, tapi Karina terus berteriak, terus menyampaikan bahwa Winter tidak lagi mencintainya.

Winter hanya memeluknya dan membawanya ke tempat tidur, membiarkan Karina menangis sambil tertidur. Dibandingkan seperti ini, justru dia ingin menanyakan sesuatu. Sesuatu yang akan diungkapkan ke publik besok.

Sebuah berita yang mengagetkan, berita bahwa Karina berkencan dengan seseorang dan itu bukan Winter.

Winza berlari tergesa-gesa ke arah kamar Keira. Bayangan buruk terus melintasi pikirannya, terlebih Keira sudah mengeluhkan sakit di perutnya beberapa waktu terakhir ini.

“Hei,” Keira tersenyum melihat istrinya yang terlihat seperti lari berkilo-kilo, terlihat sangat lelah.

“Semuanya stabil kok, Winza,” Dokter Linda, dokter yang memang memantau kehamilan Keira dari awal, memberitahukan kondisi Keira, “Keira bilang ingin lahiran spontan. Dari kondisi saya rasa bisa, tinggal ditunggu sampai bukaanya lengkap.

“Makasi, Dok.”

“Anytime,” jawab Dokter Linda, “Sekarang standby aja, jika ada apa-apa, langsung hubungi perawat.”

Winza mengangguk sembari berjalan ke arah ranjang.

“Gapapa, Sayang,” Keira menyambut genggaman tangan Winza yang bergetar

“Aku khawatir banget. Maaf tadi hapenya mati waktu Bik Rosa telepon,” Winza mencium punggung tangan Keira lembut, “Sakit?”

“Uda enggak kok,” Keira kembali tersenyum, “Aku deg-degan banget, Sayang.”

“Aku juga. Semoga semua lancar ya.”

****

Ternyata malam itu, tepatnya pukul 2.30 pagi, Keira merasakan kontraksi yang sangat hebat. Setelah berhasil membangunkan Winza, yang tertidur pulas dengan posisi terduduk, perawat langsung membawa Keira ke tempat persalinan.

“Dorong terus, Keira, dorong,” Dokter Linda memberikan semangat kepada Keira karena wanita itu terlihat kehabisan tenaga

“Sayang, kamu bisa Sayang,” Winza merasakan kuku jari Keira menembus telapak tangannya. Istrinya itu memegang tangannya sangat erat. Winza mengecup kening istrinya, memberikan semangat untuk terus berusaha

“Arghhh!!!” Keira terus berteriak, terlebih Dokter Linda mengatakan bahwa kepalanya sudah terlihat.

Suara tangisan bayi menandakan keberhasilan persalinan malam itu. Para perawat dengan cekatan memotong ari-ari dan membersihkan darah yang menempel di bayi tersebut.

“Hai, Arash,” bisik Winza ketika menerima bayi tersebut dan mendekatkannya kepada Keira yang sudah tergolek lemas

“Mirip kamu, Sayang,” kata Keira. Belum Winza merespons, Keira mulai memejamkan matanya dan kehilangan kesadaran, membuat Winza kembali dilanda panik.

****

Sudah hampir 12 jam Keira tidak sadarkan diri. Hampir 12 jam juga Winza terlihat mondar-mandir di depan ICU.

“Duduk dulu,” Joshua mengingatkan sepupunya itu

“Gabisa anjir,” Winza menggaruk kepalanya acak, “Gabisa gue tenang.”

“Lo bakalan capek sendiri,” Joshua menarik kemeja Winza, “Sinilah duduk. Di dalem uda ditangani dokter yang uda bidangnya. Lo tenang aja.”

Winza menghempaskan tubuhnya di samping Joshua. Sepupunya itu bahkan sudah menemaninya dari subuh tadi.

“Ganteng bayi lo, mirip banget sama lo,” kata Joshua setelah Winza meminum air yang dia berikan

“Anak gue gitu,” kekeh Winza

“Inget ntar jangan kebanyakan main lo kalo dah jadi Bubu.”

“Iye tenang aja, mana tega juga gue ninggalin Keira.”

“Winza,” suara yang familiar membuat Winza menoleh, Bunda dan Mamanya menghampirinya.

“Bunda,” Winza tiba-tiba melemparkan diri ke pelukan bundanya, membuat Joshua dan Tara pun terkejut.

“Gapapa, Sayang. Keira kuat kok,” Jesselyn mengelus kepala anak tunggalnya itu, berusaha mengurangi kekhawatirannya.

“Winza takut...”

“Terus berdoa, Sayang. Keira kuat kok.”

“Tadi papasan sama Katherine dan Kevin, abis dari sini ya?” tanya Tara kepada Joshua

“Iya, Tante. Abis nungguin Winza bentar, nengok keponakan dulu katanya.”

“Arash Eleazar Kusumajati. Tuhan pasti memberikan pertolongan seperti nama yang kamu kasih ke anakmu, Winza,” Tara menepuk pundak anak tunggalnya.

Tak lama kemudian, Dokter Linda keluar dari ICU. Matanya terlihat bersinar, senyumnya juga merekah.

“Keira sudah sadar,” kata dokter paruh baya itu, membuat Winza harus ditahan oleh Jesselyn, anaknya itu sudah akan melompat ke dalam ICU jika tidak ditahan.

Mengobrol bersama teman-teman Winza adalah salah satu kegiatan yang disukai oleh Keira. Semenjak dirinya resmi bersama Winza, Keira dengan senang hati mengenal teman-teman dekat istrinya itu. Mario yang sabar, Eugene yang urakan namun cepat tanggap dan Reta yang serba bisa.

“Aku ke toilet dulu ya, Sayang,” Winza menepuk lengan istrinya yang sedang berbicara dengan Eugene

“Iya, Sayang.”

“Eh, HPL kapan Kei?” tanya Mario sembari menuangkan jus jeruk ke gelas. Karena Keira datang, Eugene dengan sengaja menyediakan jus jeruk dan apel selain minuman berakohol yang disiapkan sekarang, karena tahu Keira sedang tidak minum alkohol.

“3 Minggu lagi sih itungannya,” Keira mengelus perutnya yang sudah mulai membesar, “Minggu depan gue ambil cuti.”

“Wahh, ga sabar banget nih punya keponakan,” Reta tersenyum lebar

“Ditunggu nyusulnya,” kata Keira

“Doain ya lancar nih. Keluarga uda setuju tinggal tabungannya aja,” Reta tertawa menanggapinya, “Namanya uda sepakat belum?”

“Masih bingung juga,” jawab Keira, “Winza sih pengen Arash, katanya enak didenger dan artinya bagus. Kalo dari keluarga dia sih maunya kalo ga Justin ya Brandon.”

“Preferensinya ya,” Mario sedikit tergelak, “Kalo lo lebih suka yang mana?”

“Awalnya gue suka Brandon, secara makna dia bagus banget. Tapi ketika Winza bilang Arash, trus gue kepikiran nambahin nama tengahnya Eleazar, jadi Arash Eleazar Kusumajati.”

“Cakep namanya, semoga sesuai dengan doa-doa yang terkandung di dalamnya ya,” kata Mario tulus, dan Keira tentu sangat senang mendengarnya.

Mereka masih mengobrol ketika suara dari panggung tengah menarik perhatian mereka

“Lho?” Keira terkejut, pasalnya istrinya yang tadi pamit ke toilet sekarang sedang berada di tengah panggung.

“Dia yang minta sendiri,” kata Reta, “Khusus buat istrinya katanya.”

“Selamat malam,” Winza menyapa pengunjung yang hadir. Beberapa memang mengenalnya.

“Malam ini saya akan mempersembahkan lagu, untuk istri saya yang sedang menonton dari vvip box.”

Winza menoleh kepada band di belakangnya untuk memainkan lagu yang dia minta tadi

I always knew you were the best The coolest girl I know So prettier than all the rest The star of my show So many times I wished you'd be the one for me I never knew it'd get like this, girl, what you do to me You're who I'm thinking of Girl, you ain't my runner-up And no matter what you're always number one

Keira tidak bisa menahan senyumnya. Rasanya seperti kembali ke masa remaja, terlebih lagu itu sangat populer ketika dia masih remaja.

My prized possession One and only Adore ya Girl, I want ya The one I can't live without, that's you, that's you

You're my special Little lady The one that makes me crazy Of all the girls I've ever known, it's you, it's you My favorite, my favorite, my favorite My favorite girl, my favorite girl

****

“Jadi aku, favorite girl?” tanya Keira sambil memeluk lengan istrinya yang sedang menyetir

“Tentu dong.”

Keira tertawa. Menggeser tubuhnya untuk mengecup gemas pipi istrinya itu, sebelum kembali memeluk lengannya.

Winza sedikit terkejut ketika Bunda dan Mamanya datang malam ini. Baru saja dia selesai membersihkan diri dan bersiap tidur.

“Mama uda diceritain sama Jo,” kata Tara sambil menggelengkan kepalanya. Winza duduk di seberangnya bersama dengan Keira, yang sedikit berjarak dengan Winza

Winza hanya menghela nafas sembari mengumpat di dalam hatinya

“Kamu tu...,” Tara hanya bisa tertawa, “Winza, hormon orang hamil itu gabisa ditebak.”

“Iya, Winza tahu,” jawab Winza cepat. Respons yang singkat itu membuat Keira menggenggam tangan Winza yang diletakkan di atas pahanya sendiri. Perlahan, Keira mengusap panggung tangan istrinya itu.

“Maaf ya...” kata Keira pelan

“Bukan! Bukan kamu yang salah. Tapi aku...” Winza mengerucutkan bibirnya, membuat Tara dan Jesselyn tertawa

“Susah tidur ya kamunya?” tanya Jesselyn yang ditanggapi dengan anggukan dari anak tunggalnya

“Nanti bakalan lebih parah lagi,” lanjut Jesselyn, “Kalo bayinya udah lahir, bisa kaya pos ronda kamu.”

Winza menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sekali lagi membuat Keira mengeratkan genggamannya.

“Sayang, kita jalanin ini bareng-bareng kok. Kamu jangan ngerasa kaya gitu,” kata Keira pelan

“Tapi aku beneran takut...” suara Winza cukup kecil, namun masih bisa terdengar oleh Tara

“Hapus aja Kei itu aplikasi TokTok dari hape dia,” sahut Tara

“Kamu kayanya harus ngelakuin itu deh, Sayang,” kata Keira sambil tergelak.

“Iya deh hapus aja.”

“Ini tu masih mending Keira cuma mual sama bau kamu, coba sama wajah kamu, apa ga diusir kamu sama dia,” Jesselyn tertawa

“Enggak gitu dong, Bun,” Keira berusaha tidak terbahak melihat ekspresi kaget Winza.

“Intinya,” Tara berdiri dari duduknya, “Hapus itu aplikasi. Awas kamu kena hoax lagi. Mama ni dokter loh, kalah sama apa itu di TokTok.”

“Iya, maafin Winza udah kemakan gituan.”

“Sudah sekitar 14 minggu,” kata Dokter Linda setelah membaca hasil cek laboratorium barusan. Masih muda sekali, namun ini adalah waktu yang krusial. Dijaga kesehatannya ya Keira. Banyakin istirahat. Kalo misal memang ngerasa ga kuat, minta bed-rest ya.”

“Baik, Dok.”

“Selamat ya, sekali lagi.”

****

Winza tidak bisa menutupi kebahagiannya. Begitu mereka masuk ke dalam mobil, dia langsung menarik Keira ke dalam pelukan yang sangat erat.

“Sayangg, kamu luar biasa banget!” kata Winza riang, membuat Keira tertawa.

“Makasi, Sayang,” Keira mengecup pipi Winza setelah wanita itu melonggarkan pelukannya.

“Berarti abis ini kita beli apa? Kasur bayi? Mainan-mainan bayi? Atau apa, Sayang?”

“Sayang,” Keira tertawa sambil mengangkup kedua pipi Winza. Istrinya itu terlihat bersemangat, “Bayinya masih kecil banget. Yang penting sekarang adalah ngejaga agar dia tetep di kandunganku.”

Winza menanggapinya dengan membentuk O di mulutnya, menambah kesan gemas di mata Keira.

“Nanti kalo uda agak gedean, baru kita cek kelaminnya. Trus kita beli-beli deh persiapannya.”

“Okee,” Winza mengangguk senang, “Ini kita makan ya berarti?”

“Iya, Sayang. Makan yang kamu mau deh, yang penting sehat.”

“Siap Sayang,” Winza menyalakan mobilnya dan mulai melajukannya.

“Sayang berarti aku gabisa nyentuh kamu 9 bulan dong?” tanya Winza tiba-tiba, “Nanti debaynya kaget.”

Keira tergelak, “Ya boleh dong, Sayang. Nanti itu dikonsulkan sama dokter ya?”

“Hehe iya.”

“Dasar.”

New Journey Ahead

“Gemes plesternya,” kata Winza setelah mengganti plester di dahi istrinya. Plester bergambar kartun favorit istrinya itu, Shinchan, dibeli beberapa waktu yang lalu tanpa ada maksud apapun. Keira hanya melihatnya sebagai barang yang lucu, bukan sebagai fungsi aslinya.

“Iya, ijo lagi warnanya,” Keira mengeratkan pelukannya pada Winza. Pasangan itu sedang menghabiskan waktu di sofa ruang tengah setelah selesai mandi. Ritual sebelum tidur, hanya sekedar ngobrol maupun melakukan aktivitas masing-masing. Biasanya Keira yang akan berbicara banyak, lalu Winza menambahi. Jika Keira terlalu lelah, biasanya Winza hanya memeluknya sembari menonton TV atau bermain game di gawainya.

Seperti malam ini, Keira sepertinya masih lelah karena kegiatannya siang ini. Dia menghabiskan waktu dengan memeluk Winza, sedangkan istrinya itu menonton kanal berita di TV.

“Sayang, menurutmu aku masih bisa hamil ga?” tanya Keira tiba-tiba, sedikit membuat Winza terkejut.

“Kok nanyanya gitu, Sayang?” Winza berusaha meredakan situasi

“Gapapa. Cuma kepikiran aja. Kalo misalnya aku gabisa hamil, kamu masih sayang sama aku kan?”

Winza mencium puncak kepala Keira lembut, “Tentu saja, ga bakalan ngubah apapun kok.”

“Makasi ya, Sayang. Aku gapernah ngerasa sendiri lagi,” Keira membalas ciuman di puncak kepalanya dengan mengecup lembut pipi Winza, “Aku sayang kamu.”

“Aku juga sayang kamu.”

Winza memeluk istrinya dari belakang. Wanita yang lebih tua itu sedang membuat pancake, sarapan mereka hari ini.

“Kamu tu jangan capek-capek, Sayang,” bisik Winza sembari meletakkan kepalanya di bahu kiri milik Keira

“Capek gimana sih, Sayang?” Keira hanya terkekeh, “Aku kan cuma bikin sarapan, kebiasaan kita kan?”

“Iya sih, tapi...”

Keira menepuk lengan Winza yang melingkari perutnya, menandakan wanita itu ingin bergerak. Winza membiarkan Keira melepaskan diri dari menyiapkan sarapan mereka.

Ketika Keira sudah selesai dengan meja makan, Winza tiba-tiba menariknya, menciumnya dengan dalam. Bahkan jika mungkin Keira tidak sedikit mendorong bahu Winza, mungkin mereka bisa lupa waktu.

“Ada apa?” tanya Keira hati-hati

“Kamu jangan capek-capek,” Winza mengulanginya, “Kalo misal aku lembur, gapapa ga ditungguin ya?”

Keira mengecup pucuk hidung Winza, “Iyaa.”

“Kalo ada apa-apa, bilang aku ya?”

“Iya, Winza,” kata Keira sebelum memberi pelukan kepada Winza. Pelukan yang singkat karena jika terlalu lama, mereka bisa tidak masuk kantor hari ini.

Kegiatan di Phuket sangat menyenangkan menurut Keira. Winza mengajaknya jalan pagi di pantai, lalu sarapan di warung sekitar pantai – oh Keira sangat suka Pad Thainya. Setelah balik penginapan untuk mandi, Winza kembali mengajak Keira ke pantai, bermain pasir sambil membangun istana pasir. Winza juga mengajak Keira naik ATV berkeliling. Baru kali ini Keira diajak naik motor oleh Winza, rasanya senang sekali bisa memeluk istrinya itu dari belakang.

Aktivitas seharian itu membuat mereka memutuskan untuk makan malam di penginapan. Winza bahkan menggeser kursi santai ke dekat kolam renang agar mereka berdua bisa menikmati langit malam yang cerah ini.

“Sayang besok kita ke Bangkok, siang gitu kali ya,” kata Winza sembari mengunyah pizza homemade yang mereka pesan untuk makan malam.

“Loh, kirain mau di Phuket sampe kita pulang?”

“Aku tau kamu pengen ke Khaosan Road sama Chatucak kan,” Winza sedikit terkekeh

“Ih tau banget,” Keira meneguk minumannya sembari menggelengkan kepala, menutupi rasa malunya yang tergambar nyata di wajah merahnya, “Makasi ya, Sayang. Uda ngertiin maunya aku.”

Winza tersenyum kepada istrinya, perlahan mengenggam tangan lembut Keira.

“Enggak Sayang. Itu semua bukan semata aku ngertiin kamu. Itu semua butuh proses untukku mengenalmu, mengenal keinginanmu, mengetahui apa yang kamu suka. Dan semua dimulai dari apa yang kamu tunjukin ke aku.”

Keira menggeser duduknya, menghadap kepada istrinya yang terlihat serius.

“Jadi, Sayangku, Keira Agatha, bolehkah aku bertanya sesuatu? Karena aku benar-benar ga ngerti.”

Keira mengangguk

“Kenapa kamu pengen punya anak?” tanya Winza pelan. Tangannya masih menggenggam kedua tangan Keira dan mengusapnya pelan.

Keira menghela nafas panjang, sebelum memberikan jawaban kepada Winza, “Karena aku ingin belajar. Menurutku, pernikahan adalah masa belajar seumur hidup. Salah satu pembelajarannya adalah anak,” Keira menggigit bibirnya, terlihat ragu untuk melanjutkan

“Sayang, kita uda janji kan terbuka antara satu dengan yang lain,” Winza menyakinkan istrinya.

“Aku pengen ngelawan isi kepalaku yang kadang berisik, yang kadang mengatakan bahwa aku akan ngulangin apa yang Ibu lakuin ke aku. Kemarin, Ibu juga bilang alasan dia ninggalin Ayah dan kita semua karena udah capek ngurusin Ayah yang punya penyakit dan kita bertiga yang menurut dia makin merepotkan. Aku pengen, Win. Aku pengen ngelawan semua pikiran jelekku itu. Aku pengen bisa, jadi orang tua yang ga gitu.”

Keira mulai menangis, dan Winza tahu istrinya barusan mencurahkan pikiran terdalamnya, pikirannya yang selama ini dia lawan, selama ini dia simpan karena menurutnya sangat berat.

“Let's do it together, Baby. Asalkan kita bersama, ayo kita berjalan ke depan dan menjalankan rencana yang kita inginkan,” kata Winza sambil mengusap lembut kepala Keira sebelum menciumnya.

“Winza, aku mencintaimu. Jangan pergi ya?”

“Aku juga sangat mencintaimu. Aku janji.”