Perjalanan ke Solo sangat menyenangkan; Winza bahkan menerima ketika Keira bilang dia ingin naik kereta api.
Nanti capek, Keira masih ingat keluhan Winza ketika dia mengatakan ingin naik moda transportasi itu
Daripada nyetir mobil, Sayang. Nanti di sana dijemput sepupuku lalu kita juga sewa mobil
Winza akhirnya mengalah, membiarkan Keira memilih kereta api dengan jadwal sore hari yang akan membuat mereka tiba di Solo sekitar tengah malam.
Namun sepertinya perjalanan ini tidak terlalu buruk; begitu memasuki kereta mereka disambut dengan suasana temaram dan lama-kelamaan lampu dimatikan, membiarkan penumpah beristirahat.
Satu hal yang Winza suka, Keira tidak sekalipun melepaskan gandengan tangannya di lengan Winza, membuat dirinya dengan nyaman bersandar di bahu kekasihnya itu. Sesekali mencuri kecup di puncak kepala ataupun kening Keira. Sesuatu yang mungkin tidak akan Winza dapatkan ketika dia menyetir mobil.
****
Solo merupakan kota kelahiran almarhum Papa Keira, semasa kecil Keira juga banyak menghabiskan waktu liburannya di sini. Awalnya, Paman dan Bibi Keira meminta Keira dan Winza menginap di rumah nenek, namun Winza menolaknya dengan halus. Takut ngerepotin katanya, apalagi Winza sendiri paham kadang dia rewel ga jelas.
“Nenek aku masih ada, beliau masih sehat,” kata Keira ketika Winza menjalankan mobilnya dari hotel ke arah rumah keluarga besar Keira.
“Beliau dulu pekerjaannya apa?”
“Petani,” jawab Keira singkat
“Pemilik lahan?”
“Dulunya bukan,” Keira tersenyum melihat Winza yang sepertinya penasaran dengan penjelasan darinya, “Awalnya waktu Papa masih kecil, Nenek cuma buruh tani ketika Kakek veteran perang. Kakek meninggal di medan perang, Nenek dapet asuransi dari negara trus dibuat beli beberapa tanah. Karena emang uda biasa ngelola tanah, akhirnya Nenek bisa jadi pemilik beberapa tanah untuk pertanian yang disewakan dan memperkerjakan tetanga-tetangga. Itulah yang bisa bikin Papa sama adik-adiknya sekolah sampai kuliah.”
“Keren,” Winza berdecak kagum dan Keira bisa merasakan ketulusan dari Winza, “Aku selalu kagum dengan kisah orang yang menata semuanya dari awal. Kamu dan keluargamu, Mario, Reta dan Eugene. Kalian semua luar biasa.”
“Terimakasih, Sayang,” Keira menyandarkan kepalanya ke bahu Winza, untuk mendapatkan kecupan di puncak kepalanya.
Rumah Nenek Keira cukup luas, dengan bangunan utama bertemakan Joglo. Winza mendapatkan cerita dari Keira ketika perjalanan ke sini bahwa adik perempuan Papanya, satu-satunya anak perempuan diantara 3 bersaudara, memutuskan untuk tinggal bersama dengan Nenek, sehingga ada perluasan rumah utama. Sedangkan adik terakhir Papanya, tinggal di kabupaten sebelah.
“Ayo-ayo sini, makan dulu. Sudah disiapin sarapannya,” seru wanita paruh baya yang sekilas menurut Winza mirip Katherine, kakak Keira yang sering ia temui di Jakarta.
“Eh nduk ayu sudah datang, sini nduk” panggil wanita yang dipanggil Yangti dari tadi.
Winza melihat sosok kecil yang sepertinya sudah bungkuk – beliau duduk di kursi jati yang terletak di ruang tengah. Wajahnya terlihat damai, senyumnya merekah. Keira berlutut di depan Yangtinya dan membiarkan wanita lanjut usia tersbut mencium pipinya; kiri dan kanan, sembari mendengarkan ungkapan senangnya kepada cucunya itu.
“Yangti, ini Winza. Calonnya Keira,” kata Keira setelah bangkit dari posisinya sembari menunjuk Winza yang masih berdiri di belakangnya.
Sedikit terkejut, namun Winza meniru tindakan Keira, berlutut di depan Yangtinya
“Saya Winza, Yangti,” Winza berlutut dan mencium tangan wanita lanjut usia tersebut
“Oala ini to, yang bikin Keira pengen nikah,” Yangti terkekeh pelan, “Semoga cocok ya, Nak. Ya gini rumah di desa, sederhana aja dan apa adanya.”
“Eh, enggak kok,” Winza menggeleng cepat, “Joglonya bagus, kayu jatinya kuat banget.”
“Ngerti ae nduk,” Yangti tersebut terkekeh walaupun Winza kebingungan karena tidak paham Bahasa Jawa.
“Udah yuk ngobrolnya, sotonya mundak dingin,” panggil wanita paruh baya yang dipanggil Bulik oleh Keira barusan.
Sarapan, atau mungkin Winza bisa mengatakan ini brunch karena sudah jam setengah sembilan pagi, bersama dengan keluarga Keira berasa cukup hangat. Obrolan demi obrolan bisa Winza nikmati walaupun seringkali ditimpali dengan Bahasa Jawa – Keira dengan senang hati mengartikannya untuk Winza – bahkan Yangti yang sudah berumur pun cukup semangat untuk ikut dalam obrolan ini.
Keira memperkenalkan keluarga besarnya, dari Bulik Mina, istilah Jawa untuk Bibi atau Tante, yang merupakan adik dari Papa Keira dan juga Paklik Toni, istilah Jawa untuk Paman atau Om, adik terakhir dari Papa Keira. Keduanya sudah berkeluarga dan anak-anaknya juga hadir di sini, kecuali anak pertama dari Bulik Mina yang seumuran dengan Keira, kebetulan memang bekerja di Banjarmasin.
“Kemarin ada yang nanyain Keira lagi,” Bulik Mina tiba-tiba menyampaikan sesuatu
“Pak Kades muda itu to?” tanya suaminya
“Iya, yang dulu katanya pas sekolah di IPDN udah naksir Keira.”
Keira bisa merasakan Winza menegang dan tidak nyaman di sampingnya. Keira meraih tangan Winza di bawah meja, mengusapnya perlahan sambil berbisik bahwa tidak ada sesuatu yang serius.
“Sama si Johan dibilang Mbak Keira udah ada calonnya. Cakep dan gagah, trus keluarganya juga mapan,” tambah Bulik Mina
“Habisnya tu pamer kekayaan terus lo dia, Ma,” Johan, sepupu Keira yang masih kuliah itu memutar bola matanya malas, “Aneh banget katanya ntar Mbak Keira kalo sama dia ga bakalan pusing buat cari duit. Gatau apa dia kalo Jakarta mah mahal, yo kan mbak?”
Keira hanya tertawa menanggapinya. Yangti juga memberikan komentarnya karena orang yang dibicarakan sering sekali datang ke rumah dan menanyakan Keira kapan pulang ke Solo.
“Ya ada untungnya Keira sibuk, kan?” Keira kembali terkekeh, “Nanti dikabari aja kalo calonnya Keira sudah ke rumah.”
Johan menunjukkan jempolnya, terlihat sangat puas. Sarapan tersebut baru selesai sekitar jam 10, cukup dekat dengan jarak makan siang sebenarnya. Namun karena Winza masih kenyang, dia menolak ketika Paklik Tino menawarkan bakso untuk makan setelah ini.
“Nanti saja,” jawab Winza sopan,
“Masih mau ke makam.”
“Oh iya, bener. Mumpung ga panas.”
Winza mengangguk. Paklik Tino dan Johan menemaninya mengobrol sambil dia menunggu Keira membereskan meja makan dan dapur; sebuah kebiasaan yang selalu Keira tunjukkan setelah makan.
“Kak Winza, jangan terlalu sungkan ya sama kami,” kata Johan, “Memang orang tua Mbak Keira udah gada, walaupun kami jauh di Solo, jangan sungkan kalau misal ada apa-apa. Kita nanti kan bakalan jadi keluarga.”
Winza bisa menangkap ketulusan dari anak muda di depannya. Senyuman dia berikan sambil mengangguk. Memang Joshua benar, mencoba keluar dari sirkel konglomerat tidak pernah selalu salah, bukan?