wqwqwq12

“Makasi, Sayang,” Keira tersenyum manja kepada Winza yang barusan meletakkan segelas cokelat panas di meja kopi. Malam ini setelah jalan jalan sore, sebenarnya mereka berdua berencana makan malam di luar, namun cuaca Jakarta yang berangin dan hujan lebat membuat Keira merasa sebaiknya mereka menghabiskan waktu di apartemen saja.

Jadi inilah malam minggu mereka berdua, duduk berdekatan di bawah selimut yang sengaja dibawa ke ruang tengah, sambil bersenda gurau.

“Aku uda dapet kontaknya Johan lo, anaknya seru ya. Banyak ngegame juga,” kata Winza setelah Keira meminum cokelatnya dan menyandarkan kepalanya ke dada Winza.

“Wah cocok. Johan tu jarak sama Kakaknya agak jauh, makanya dia kaya agak diem gitu. Mana cucu termuda kan. Syukurlah kamu cocok sama Johan.”

“Anaknya seru, aku janjiin dia kasih konsolku PSP yang uda usang itu. Katanya dia pengen coba benerin, anaknya kuliah teknik ya?”

“Iya, elektro. Awalnya pengen mesin tapi ga keterima,” Keira menggeser posisinya untuk mencuri kecupan di sudut bibir Winza.

“Aku cocok sama keluargamu. Awalnya aku takut, soalnya mereka kesannya canggung liat aku. Ternyata enggak, emang dasarnya sopan aja.”

“Kaya aku kan?”

“Mana ada, kamu langsung nyosor gitu.”

“Dih, kamu duluan,” Keira memutar bola matanya, “Yang bikin kita malah terikat.”

Mereka tertawa mengingat pertemuan yang sangat aneh itu. Awalnya terdengar seperti kesalahan; namun mereka sendiri yang memperbaiki kesalahannya.

“Kamu pernah nyesel ga, Win? Narik aku dari sungai,” tanya Keira

“Sempet,” Winza mengunyah keripiknya santai, membuat Keira melepaskan diri dari rengkuhan lengan Winza dan memandangnya lurus

“Sempet doang. Kan aku dah bilang aku ga suka kamu. Eh ternyata malah kalo bukan kamu, aku gamau,” Winza mengendikkan bahunya, “Kamu sendiri?”

“Nyesel karena mau aja jatuh ke jebakanmu?” Keira menyentil ujung hidung mancung Winza, “Ga pernah.”

“Kok bisa?”

“Karena dari awal, kalo ada kamu, aku gapernah denger suara berisik di kepalaku,” Keira mendekatkan dirinya ke arah Winza, membiarkan wanita yang sedang menyenderkan punggungnya di sofa itu menyesuaikan posisi mereka, “Apalagi ketika I feel your hands around me, I forgot everything.”

Sounds like a good medicine for you” balas Winza tak kalah sensual, berbisik di telinga Keira dengan suara rendahnya

I knew,” Keira menggigit bibirnya karena merasakan hidung Winza menelusuri ceruk lehernya, “*We went through a lot.”

Winza menghentikan aktivitasnya sebelum mencuri kecupan di pucuk hidung Keira.

“Dan aku senang, aku ngelewatinnya sama kamu, Keira.”

“Aku juga,” Keira mengalungkan kedua tangannya ke leher Winza, “Seperti menemukan cara untuk memulai hidup baru.”

Sounds like a plan,” Winza terkekeh, “Let's start, brand new day

Keira ikut terkekeh, “Yang penting sama kamu.”

“*It might be the start,” Winza mengecup bibir Keira, “Yuk jalani hidup sampai nanti, sama aku.”

Perjalanan ke Solo sangat menyenangkan; Winza bahkan menerima ketika Keira bilang dia ingin naik kereta api.

Nanti capek, Keira masih ingat keluhan Winza ketika dia mengatakan ingin naik moda transportasi itu

Daripada nyetir mobil, Sayang. Nanti di sana dijemput sepupuku lalu kita juga sewa mobil

Winza akhirnya mengalah, membiarkan Keira memilih kereta api dengan jadwal sore hari yang akan membuat mereka tiba di Solo sekitar tengah malam.

Namun sepertinya perjalanan ini tidak terlalu buruk; begitu memasuki kereta mereka disambut dengan suasana temaram dan lama-kelamaan lampu dimatikan, membiarkan penumpah beristirahat.

Satu hal yang Winza suka, Keira tidak sekalipun melepaskan gandengan tangannya di lengan Winza, membuat dirinya dengan nyaman bersandar di bahu kekasihnya itu. Sesekali mencuri kecup di puncak kepala ataupun kening Keira. Sesuatu yang mungkin tidak akan Winza dapatkan ketika dia menyetir mobil.

****

Solo merupakan kota kelahiran almarhum Papa Keira, semasa kecil Keira juga banyak menghabiskan waktu liburannya di sini. Awalnya, Paman dan Bibi Keira meminta Keira dan Winza menginap di rumah nenek, namun Winza menolaknya dengan halus. Takut ngerepotin katanya, apalagi Winza sendiri paham kadang dia rewel ga jelas.

“Nenek aku masih ada, beliau masih sehat,” kata Keira ketika Winza menjalankan mobilnya dari hotel ke arah rumah keluarga besar Keira.

“Beliau dulu pekerjaannya apa?”

“Petani,” jawab Keira singkat

“Pemilik lahan?”

“Dulunya bukan,” Keira tersenyum melihat Winza yang sepertinya penasaran dengan penjelasan darinya, “Awalnya waktu Papa masih kecil, Nenek cuma buruh tani ketika Kakek veteran perang. Kakek meninggal di medan perang, Nenek dapet asuransi dari negara trus dibuat beli beberapa tanah. Karena emang uda biasa ngelola tanah, akhirnya Nenek bisa jadi pemilik beberapa tanah untuk pertanian yang disewakan dan memperkerjakan tetanga-tetangga. Itulah yang bisa bikin Papa sama adik-adiknya sekolah sampai kuliah.”

“Keren,” Winza berdecak kagum dan Keira bisa merasakan ketulusan dari Winza, “Aku selalu kagum dengan kisah orang yang menata semuanya dari awal. Kamu dan keluargamu, Mario, Reta dan Eugene. Kalian semua luar biasa.”

“Terimakasih, Sayang,” Keira menyandarkan kepalanya ke bahu Winza, untuk mendapatkan kecupan di puncak kepalanya.

Rumah Nenek Keira cukup luas, dengan bangunan utama bertemakan Joglo. Winza mendapatkan cerita dari Keira ketika perjalanan ke sini bahwa adik perempuan Papanya, satu-satunya anak perempuan diantara 3 bersaudara, memutuskan untuk tinggal bersama dengan Nenek, sehingga ada perluasan rumah utama. Sedangkan adik terakhir Papanya, tinggal di kabupaten sebelah.

“Ayo-ayo sini, makan dulu. Sudah disiapin sarapannya,” seru wanita paruh baya yang sekilas menurut Winza mirip Katherine, kakak Keira yang sering ia temui di Jakarta.

Eh nduk ayu sudah datang, sini nduk” panggil wanita yang dipanggil Yangti dari tadi.

Winza melihat sosok kecil yang sepertinya sudah bungkuk – beliau duduk di kursi jati yang terletak di ruang tengah. Wajahnya terlihat damai, senyumnya merekah. Keira berlutut di depan Yangtinya dan membiarkan wanita lanjut usia tersbut mencium pipinya; kiri dan kanan, sembari mendengarkan ungkapan senangnya kepada cucunya itu.

“Yangti, ini Winza. Calonnya Keira,” kata Keira setelah bangkit dari posisinya sembari menunjuk Winza yang masih berdiri di belakangnya.

Sedikit terkejut, namun Winza meniru tindakan Keira, berlutut di depan Yangtinya

“Saya Winza, Yangti,” Winza berlutut dan mencium tangan wanita lanjut usia tersebut

“Oala ini to, yang bikin Keira pengen nikah,” Yangti terkekeh pelan, “Semoga cocok ya, Nak. Ya gini rumah di desa, sederhana aja dan apa adanya.”

“Eh, enggak kok,” Winza menggeleng cepat, “Joglonya bagus, kayu jatinya kuat banget.”

Ngerti ae nduk,” Yangti tersebut terkekeh walaupun Winza kebingungan karena tidak paham Bahasa Jawa.

“Udah yuk ngobrolnya, sotonya mundak dingin,” panggil wanita paruh baya yang dipanggil Bulik oleh Keira barusan.

Sarapan, atau mungkin Winza bisa mengatakan ini brunch karena sudah jam setengah sembilan pagi, bersama dengan keluarga Keira berasa cukup hangat. Obrolan demi obrolan bisa Winza nikmati walaupun seringkali ditimpali dengan Bahasa Jawa – Keira dengan senang hati mengartikannya untuk Winza – bahkan Yangti yang sudah berumur pun cukup semangat untuk ikut dalam obrolan ini.

Keira memperkenalkan keluarga besarnya, dari Bulik Mina, istilah Jawa untuk Bibi atau Tante, yang merupakan adik dari Papa Keira dan juga Paklik Toni, istilah Jawa untuk Paman atau Om, adik terakhir dari Papa Keira. Keduanya sudah berkeluarga dan anak-anaknya juga hadir di sini, kecuali anak pertama dari Bulik Mina yang seumuran dengan Keira, kebetulan memang bekerja di Banjarmasin.

“Kemarin ada yang nanyain Keira lagi,” Bulik Mina tiba-tiba menyampaikan sesuatu

“Pak Kades muda itu to?” tanya suaminya

“Iya, yang dulu katanya pas sekolah di IPDN udah naksir Keira.”

Keira bisa merasakan Winza menegang dan tidak nyaman di sampingnya. Keira meraih tangan Winza di bawah meja, mengusapnya perlahan sambil berbisik bahwa tidak ada sesuatu yang serius.

“Sama si Johan dibilang Mbak Keira udah ada calonnya. Cakep dan gagah, trus keluarganya juga mapan,” tambah Bulik Mina

“Habisnya tu pamer kekayaan terus lo dia, Ma,” Johan, sepupu Keira yang masih kuliah itu memutar bola matanya malas, “Aneh banget katanya ntar Mbak Keira kalo sama dia ga bakalan pusing buat cari duit. Gatau apa dia kalo Jakarta mah mahal, yo kan mbak?

Keira hanya tertawa menanggapinya. Yangti juga memberikan komentarnya karena orang yang dibicarakan sering sekali datang ke rumah dan menanyakan Keira kapan pulang ke Solo.

“Ya ada untungnya Keira sibuk, kan?” Keira kembali terkekeh, “Nanti dikabari aja kalo calonnya Keira sudah ke rumah.”

Johan menunjukkan jempolnya, terlihat sangat puas. Sarapan tersebut baru selesai sekitar jam 10, cukup dekat dengan jarak makan siang sebenarnya. Namun karena Winza masih kenyang, dia menolak ketika Paklik Tino menawarkan bakso untuk makan setelah ini.

“Nanti saja,” jawab Winza sopan,

“Masih mau ke makam.”

“Oh iya, bener. Mumpung ga panas.”

Winza mengangguk. Paklik Tino dan Johan menemaninya mengobrol sambil dia menunggu Keira membereskan meja makan dan dapur; sebuah kebiasaan yang selalu Keira tunjukkan setelah makan.

“Kak Winza, jangan terlalu sungkan ya sama kami,” kata Johan, “Memang orang tua Mbak Keira udah gada, walaupun kami jauh di Solo, jangan sungkan kalau misal ada apa-apa. Kita nanti kan bakalan jadi keluarga.”

Winza bisa menangkap ketulusan dari anak muda di depannya. Senyuman dia berikan sambil mengangguk. Memang Joshua benar, mencoba keluar dari sirkel konglomerat tidak pernah selalu salah, bukan?

Perjalanan ke pemakaman membutuhkan waktu sekitar satu jam; Marsya dimakamkan di dekat rumah keluarganya – walaupun kata Keira yang seringkali datang dan merawat makam tersebut adalah Raymond. Suasana makan di sore hari menjelang magrib ini memang cukup mencekam, terlebih suasana pemakaman memang cenderung sepi jika dibandingkan dengan tempat lain.

Setelah bertemu dengan penjaga makam dan menyampaikan kunjungan mereka, keduanya berjalan ke arah makam milik Marsya. Winza tidak berbohong, dia bisa merasakan kesedihan dari Keira ketika mereka meletakkan bunga di atas gundukan tanah yang tertutup rumput hijau bertulisan nama Marsya dan tanggal dia meninggal

“Marsya, istirahat yang tenang ya,” Winza mengambil posisi jongkok di dekat nisan Marsya dan mengusapnya pelan, “Anak lo sekarang dirawat sama keluarganya Raymond, bapaknya sendiri. Lo juga gausah khawatir sama Keira. Udah ada gue di sini.”

Keira menoleh ke arah Winza yang serius melihat ke arah nisan Marysa; hatinya menghangat mendengarkan ungkapan tersebut. Langit sudah mulai gelap, bulan mulai menunjukkan kehadirannya.

Keira memutuskan untuk mengajak kasihnya itu pulang.

“Sayang,” panggi Keira ketika mereka sudah tiba di mobil

“Iya?” Winza menaikkan alisnya setelah memasang sabuk pengamannya

“Terimakasih,” Keira mengecup pipi Winza, “Kamu uda banyak berkorban buat nyesuain aku.”

Winza tersenyum sebelum menyalakan mesin mobilnya “Kamu selalu ga sadar kalo usahamu buat aku jauh lebih besar,” Winza menginjak pedal gasnya, “Ini semua gada apa-apanya dibandingkan Keira Agatha yang berdiri tegak diterpa nyinyiran soal latar belakang keluarga dan berjuang melawan anxietynya, juga dengan telaten ngerawat orang yang kenak OD.”

“Ish, kamu,” Keira memukul pelan lengan Winza sebelum memalingkan makanya, malu karena perlahan wajahnya berubah warna menjadi merah

“Malu tuh,” Winza tertawa

“Diem ga. Marah nih.”

“Haha iya deh, maaf. Ngomong-ngomong mau makan apa?”

“Apapun, kamu mau makan apa?”

“Kamu sih.”

“Males ih mulai cabul!” Keira sekali lagi memukul lengan Winza, membuat si sopir hanya tertawa terbahak-bahak melihat wajah Keira yang sudah seperti tomat rebus itu.

Winza menarik Keira ke dalam rengkuhannya begitu wanita itu meletakkan semua barangnya di sofa ruang tengah.

“Win...”

Belum sempat Keira menanyakannya, Winza sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang panas dan panjang. Keira juga tidak mau kalah, ditariknya leher Winza untuk memperdalam ciuman mereka berdua. Keduanya baru melepaskan pagutan bibir mereka karena kehabisan nafas.

Winza menangkupkan kedua tangannya ke pipi Keira, berbisik pelan

“Cantik, kamu cantik banget, Sayang.”

Suara Winza rendah dan berat, Keira tahu apa yang Winza mau. Suara rendah dari Winza tidak pernah gagal membuat Keira turn on, terlebih, di suasana yang intim seperti malam ini.

Namun, dibandingkan keinginan tersebut, entah kenapa justru rasa melankolis menyerang Keira.

Potongan – potongan kenangan mengenai hubungannya dengan Winza, jatuh bangunnya, kerenggangan yang sempat muncul, bahkan perasaan ingin menyerah secara masif memasuki pikiran Keira, membuatnya terdiam sejenak.

Sehingga, ketika Winza melingkari pinggangnya, Keira menjatuhkan kepalanya ke bahu lebar milik Winza, mengeluarkan tangisannya.

“Kei...?” Winza terkejut. Apakah dirinya terlalu kasar malam ini? Apakah Keira merasa tidak nyaman dengan tindakannya barusan?

“Sayang, maaf. Did I hurt you?” Winza bertanya dengan hati-hati, perlahan mendorong wajah Keira agar bisa melihatnya. Wanita dalam rengkuhannya tersebut hanya menunduk sembari menangis sesenggukan.

“Sayangku, ada apa?” tanya Winza lagi

Keira menggeleng, “Maaf... Aku hanya... overhelmed? Ga nyangka kita uda ngelewatin ini semua sampai di titik ini.”

Winza tersenyum, bukan karena Keira terluka. Ia sempat berpikir apakah Keira tidak nyaman dengan posisi berciuman mereka; ternyata bukan itu.

Melihat Keira yang masih meneteskan air mata, membuat Winza memutuskan untuk menarik wanita itu ke kamar tidur. Perlahan, dia mendudukkan Keira di pinggir kasur sedangkan dia berlutut.

“Keira, liat aku,” panggil Winza, membuat Keira mengalihkan pandangan dari tangannya ke Winza

“Aku seneng kamu merasa bahagia dengan semua perjalanan ini. Aku pun juga. Tidak pernah ada rasa sesal sekalipun karena pernah mengenalmu, Keira Agatha.”

Ungkapan hati dari Winza tidak kemudian membuat Keira menangis, justru malah membuat wanita itu semakin menangis sesenggukan. Winza bangkit dari posisi berlututnya, mendorong Keira agar berbaring di kasur sebelum menariknya ke dalam pelukannya.

“I love you, Keira.”

Di tengah tangisan Keira, Winza bisa mendengar wanita itu berbisik

“I love you even more, Winza.”

Jangan pernah menundukkan kepalamu, Keira

Kamu punya kelebihanmu sendiri, percaya diri aja. Tidak usah ragu untuk menggandenh tangan Winza, ataupun menjawab pertanyaan dari yang hadir

Keira, kamu adalah bagian dari keluarga ini, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk merendahkanmu

Pesan-pesan dari kedua orang tua Winza masih terngiang di kepala Keira. Semalam, mereka bertemu berempat untuk makan malam dan membahas mengenai pertemuan hari ini.

Keira sudah hadir bersama Winza, setelah meninggalkan beberapa pesan kepada Jordan untuk divisinya. Beberapa kali mereka bertemh dengan orang penting dalam acara ini, tentu saja Keira sudah mempersiapkan senyumannya yang sangat manis itu.

“Eh liat tuh calon mantunya, Jesselyn. Orang biasa tauk, kenapa coba dipilih?” suara kasak kusuk sedikit terdengar oleh Winza, membuat wanita itu ingin berbalik dan menegur oknum yang membicarakan kasihnya.

“Aku juga denger,” Keira menahan lengan Winza yang memang sudah digandengnya sedari tadi, “Cuekin aja.”

“Aku butuh liat wajahnya, mau aku tandain,” geram Winza

“Sayang...” Keira menepuk bahu Winza pelan, “Don't do this, aku beneran gapapa. Udah banyak dipesenin sama ortu kamu kan? Mending kita hemat energi kita untuk bersosialisasi dengan orang yang jelas mendukung kita.”

Winza mengangguk, sekali lagi dia kagum dengan kemampuan Keira mengendalikan situasi

I don't want to see my maltese being mad and grumpy for today” Keira berbisik sebelum mengecup pipi Winza

Atau kadang dia ingin menarik Keira ke tempat sepi dan menciumnya sampai lemas; senang sekali wanita yang lebih tinggi itu menggoda Winza di tempat ramai seperti ini.

“Joshua emang ga ada ya?” tanya Keira setelah mereka bertemu dengan Yudha dan Sinta

“Joshua belum punya saham di sini,” jawab Winza, “Kaya aku belum punya saham di rumah sakit juga. Pelan-pelan kata Bunda, ga semua langsung punya.”

Keira mengangguk. Dia menatap salah satu tim legal yang sering datang ke kantor, sepertinya dia yang akan memimpin rapat saham pada siang hari ini.

“Hadirin yang berbahagia, acara inti pada siang hari ini akan segera dimulai. Silakan menempati tempat duduk sesuai dengan nama yang tertera.”

Good luck” Winza dan Keira mendengar kekehan dari belakang, ternyata tante Winza, Krystal baru tiba bersama dengan istrinya.

“Kirain ga dateng,” tegur Winza

“Dateng lah, sorry nih delay tadi pesawatnya,” tukas Krystal, “Hei, Keira. Nice to meet you again, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya.”

Keira tersenyum melihat Winza yang barusan menghabiskan makan siangnya, tanpa drama, tanpa harus dipaksa.

“Pinternya Sayangku,” Keira mengecup puncak kepala Winza sebelum duduk di samping ranjang. Winza meraih tangan Keira dan menyelipkan jemarinya, menggenggam tangannya erat.

“Rapat plenonya besok lusa,” kata Keira, “Kamu mau dateng?”

“Dateng dong,” Winza mengusap punggung tangan Keira dengan ibu jarinya, “Mau kasih kamu support langsung. Jo yang cerita kalo kamu diminta dateng sama Bunda.”

“Bu Jess bilang untuk semakin meyakinkan, toh nanti Pak Agus juga hadir kan di sana.”

“Iya betul,” Winza menggeser posisinya agar bisa melihat Keira lebih dekat. Wanita yang lebih muda menarik pelan wajah pasangannya di dagu dan mengecup hidung dan keningnya.

“Sayang, habis ini rencana kamu apa?” tanya Keira pelan setelah Winza mencium keningnya

“Pelan-pelan nata hidup kita, yuk?” Winza menawarkan idenya yamg disambut senyuman merekah dari kekasihnya.

“Kita ke Solo, ke makam papamu, trus ngunjungin keluargamu yang di sana. Liburan kemana gitu berdua. Ngomongin nanti mau punya anak berapa, trus..”

“Bentar-bentar, kok uda ngomongin anak?”

“Lho kamu gamau punya anak sama aku?”

“Ish,” desis Keira kesal, kekasihnya memang terkadang menyebalkan.

“Tapi apapun itu, asalkan aku sama kamu, aku mau ngapain aja kok, Kei.”

“That sounds like a plan” kata Keira sebelum membiarkan Winza kembali menarik wajahnya untuk ciuman yang panjang.

Perjalanan kali ini cukup menyenangkan bagi Keira. Terlebih, Jesselyn terlihat lebih rileks dibandingkan dengan saat mereka berangkat.

“Beneran mau langsung ke rumah sakit?” tanya Jesselyn ketika pramugari mengingatkan untuk kembali ke tempat duduk dan memakai seatbelt masing-masing.

“Iya, Bu. Tadi Rara bilang mau jemput sama Juwita.”

“Baiklah, kamu jangan lupa banyak istirahat ya habis gini.”

“Baik, Bu.”

***

Keira meletakkan kopernya. Punggungnya sedikit pegal karena banyaknya aktivitas yang dia lakukan ketika perjalanan bisnisnya.

“Pegal sekali memang ya,” gumam Keira setelah membersihkan diri. Dia menata beberapa bajunya agar besok bisa langsung dibawa pulang, toh Bu Jesselyn memberikan izin sehari lagi untuknua beristirahat.

“Sayang...”

Keira terjingkat, kaget karena suara pelan Winza.

“Kamu kok bangun,” Keira dengan cepat melesat ke samping ranjang dan menarik kursi agar bisa duduk di sampingnya. Winza berusaha mengatur ranjangnya dalam posisi duduk, membuat Keira justru menegurnya untuk tidak bangun.

“Aku tu uda kebanyakan tidur hari ini,” Winza memutar bola matanya malas, tetapi meraih tangan Keira untuk dia pegang.

“Ya kamu kan masih pemulihan, Sayang.”

“Gapapa, kebangun bentar buat lihat wajah cantiknya Sayangku emang ga boleh?” Winza menggerakkan tangannya yang bebas untuk menangkup pipi Keira, mengusapnya lembut dengan ibu jarinya. Perlahan, Winza bisa merasakan jarinya basah; Keira menangis.

“Cantiknya aku kok nangis?” Winza mengusap air mata Keira namun wanita itu melemparkan diri ke pelukan Winza.

“Kangen...” gumam Keira di pelukan Winza. Yang dipeluk hanya bisa tersenyum dan mengelus kepala wanitanya perlahan.

“Aku juga,” Winza mendorong pelan bahu Keira dan kembali menangkup kedua pipinya. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya dan memberikan kecupan kecupan malas ke bibir Keira, cukup untuk memberikan jawaban bahwa dia juga merindukan wanitanya itu.

“Keira, ini berkas untuk yang Hokkaido,” Jesselyn memberikan satu map sesaat setelah mereka turun dari pesawat dan menuju hotel mereka menginap malam ini.

“Baik, Bu.”

“Satu lagi. Yang akan kita temui adalah orang Indonesia yang tinggal di sini. Saya hampir menjadi besan orang tersebut.”

Keira menelan ludahnya cepat. Panik? Tentu saja.

“Anak perempuan bungsunya benar-benar menyukai Winza, tapi kamu tahu sendiri anak itu kaya gimana,” Jesselyn menggelengkan kepalanya, “Sebelum bertemu kamu tentunya.”

“Apakah ada sesuatu yang harus saya persiapkan, Bu?”

“Yohan merupakan partner bisnis saya yang paling keras kepala, mungkin saya berpesan untuk sabar saja. Karena dia cukup intimidatif.”

Keira mengangguk pelan, berharap semuanya berjalan sesuai dengan harapannya.

***

Baru 30 menit Keira berada di ruangan yang sama dengan Yohan, dan ternyata membawa anak bungsunya, Yesaya. Atmosfer yang tidak menyenangkan selalu terpancar dari kedua orang itu, bahkan semenjak Keira duduk di samping Jesselyn.

“Padahal saya pikir Blanc Group bakalan bisa sukses sampai ke Asia Timur,” Yohan mengambil air di depannya sebelum memberikan side eye kepada Keira, “Ternyata sepertinya kalian punya ide lain.”

“Blanc punya fokus di Asia Tenggara,” sahut Jesselyn singkat, “Dan strategi perluasan tentu tidak harus penyatuan keluarga, bukan?”

“Memang,” Yohan tersenyum miring, “Semoga keputusan yang tepat bagimu, Jess. Buat apa mencari yang tidak memberikan keuntungan buatmu?”

Keira meremas ujung blazernya gugup. Benar, Yohan sangat intimidatif.

“Terlalu dini untuk menentukan apakah nantinya tidak ada keuntungan bagiku, Yohan. Dan saya rasa tidak hanya soal materi.”

“Good words, then,” Yohan mengendikkan bahunya, “Keputusan saya soal mosi ini bakalan kamu ketauhi di hari H, karena mungkin perwakilan legal saya yang datang.”

“Terimakasih untuk waktunya,” Jesselyn tersenyum sebelum ikut berdiri bersama Yohan dan Yesaya, “Senang bertemu dengan anda.”

“Tentu,” Yohan menjabat tangan Jesselyn erat, “Anak bungsu saya juga masih single, in case you need a daughter in law.”

Sebuah gurauan yang membuat Keira tercekat.

****

“Dia hanya bercanda, Keira,” kata Jesselyn memecah kesunyian di perjalanan pulang ke hotel, “Mana mungkin saya memaksakan hubungan Winza untuk kali ini.”

“Iya, Bu. Saya mengerti. Hanya saja...” Keira memainkan ujung blazernya sambil gugup.

“Tenang saja. Justru sepertinya Yohan memang mencoba mencari-cari kelemahanmu, tapi semuanya tidak berguna karena keluarga pun sudah setuju kamu bersama Winza.”

Keira baru akan menanggapi ketika handphone milik Jesselyn berdering, menunjukkan bahwa istrinya menelepon.

“Halo? Iya ini lagi di jalan kok.”

“Winza sudah sadar? Puji Tuhan.”

Keira barusan menutup dokumen terkait beberapa barang produksi yang ditunda karena masalah yang sedang terjadi di kantor. Helaan nafas panjang memenuhi ruangannya.

“Kei, ada yang mencari,” Jordan mengetuk pintu sebelum menyampaikan pesan. Keira belum sempat bertanya karena sudah melihat Jesselyn berdiri di belakang Jordan.

“Sibuk banget?” tanya Jesselyn setelah meminum teh yang disediakan Jordan.

“Tidak terlalu, Bu Jesselyn.”

“Saya sudah ngobrol sama Prita dan Agus,” Jesselyn meletakkan gelasnya, “Sekitar 5 hari ke depan, kamu ikut saya.”

“Eh?”

“Saya harus menemui beberapa shareholders yang sepertinya tidak yakin dengan kondisi Blanc Group. Beberapa sempat diskusi via conference call namun beberapa masih sedikit ragu.”

“Tapi... Kenapa saya, Bu?”

Jesselyn menaikkan alisnya sebelum terkekeh pelan

“Kan kamu calon menantu saya?”

Keira terbatuk karena salah tingkah, membuat Jesselyn malah tersenyum kepadanya.

“Maaf, kamu ga nyaman?”

“Eh, bukan-bukan,” Keira mengibaskan tangannya sambil menggelengkan kepalanya, “Maaf, Bu.”

“Kamu jangan terlalu sungkan dan terlalu dipikir.”

Keira meremas ujung kemejanya, pikiran buruk yang selalu menghantuinya beberapa waktu ini merangsek ingin diungkapkan kepada Jesselyn

“Ibu... Saya... Saya terkadang mikir kalo saya ga pantes, Bu. Bahkan orang jahat itu ngincer Saya dan bikin Winza terluka seperti ini,” Keira menjelaskan dengan terbata.

“Keira,” Jesselyn memanggil nama wanita di hadapannya pelan, “Jangan. Kamu adalah wanita yang pertama kali Winza kenalkan pada keluarga. Kamu yang bisa mengerti Winza, jauh dari saya, ibunya sendiri.”

Jesselyn menghela nafas lagi

“Kamu punya semuanya, ideal. Jangan pernah merasa kecil hanya karena kamu bukan dari kelompok yang sama dengan Winza. Papa kamu di surga pasti sedih melihat anak kebanggaannya seperti ini.”

Keira tersentak, cara menyebutkan bahwa Keira hanya punya ayahnya, membuat hatinya hangat.

“Kita ngelakuin nanti demi Winza juga. Dengan adanya kamu, saya berharap bisa membuat para pemegang saham itu yakin bahwa Winza akan menjadi pemimpin yang tepat.”

“Jadi... Apa yang harus saya lakukan?”

Jesselyn tersenyum sebelum berdiri dari duduknya

“Nanti kita bahas, yang penting kamu mau kan?”

Keira mengangguk, cukup membuat Jesselyn merasa beban di pundaknya sedikit berkurang.

Winza jatuh koma.

Keira melirik jam tangannya, sudah jam 3 pagi. Dia masih ingat kondisi chaos yang terjadi paling tidak beberapa jam yang lalu.

Beberapa saat setelah Winza tertembak, ambulan datang dan membawa Winza beserta Keira ke rumah sakit keluarga Kusuma, RS BM. Keira masih ingat perdebatan Tara sebagai dokter anestesi dengan dokter bedah ketika mengetahui kondisi Winza.

Winza sudah kehilangan banyak darah, peluru bersarang di perutnya dan resiko operasi yang bisa membuat Winza justru tidak selamat.

Tara, sebagai dokter anestesi dan orang tua Winza, siap menerima semua resiko. Walaupun kemungkinan besar hanya 50%, tapi Tara tidak akan membiarkan Winza terus tersiksa dengan proyektil yang ada di perutnya.

Operasi berhasil, namun Winza kehilangan kesadarannya. Keira sempat mendengar bahwa ini efek anestesi yang digunakan; berkaitan dengan hipertensi yang dimiliki Winza. Kondisi Winza yang sempat drop di tengah operasi membuat beberapa tindakan harus dilakukan dan memberikan efek pasca operasi seperti sekarang.

“Ga tidur?” Keira menoleh ke samping, Joshua mengangsurkan gelas kertas dengan kepulan asap yang masih terlihat, “Teh jagung.”

Keira menerimanya dan meminumnya sedikit, masih cukup panas untuk ditenggak langsung.

“Gue ga bisa tidur. Padahal besok harus ngantor dan gue ke kantor polisi,” jelas Keira sambil memandang teh di genggamannya.

“Wajar. Lo berada di setiap kejadian, ini juga barusan,” Joshua menghela nafas, “Baru juga kemarin siang kita seneng-seneng.”

“Aneh emang.”

Mereka berdua terdiam, hanya suara teh yang disesap pelan yang terdengar.

“Gue lebih ngerasa aneh lagi abis ngobrol sama Pak Arya tadi,” kata Joshua tiba-tiba

“Ada apa?”

“Mobil yang ditumpangi kelompok yang nyerang lo, dateng 30 menit sebelum lo nyampe. Mereka stay di basement seakan-akan nungguin elo.”

“Padahal kalo emang ngincer gue, mereka justru bisa merangsek masuk ke kantor,” gumam Keira

“Nah gue mikir itu juga,” Joshua meletakkan gelas kertasnya, “Mereka kaya tau kalo gabisa bawa pistol masuk karena sudah ada detektor logam, makanya mereka nungguin di basement.”

Keira menoleh cepat pada Joshua, “Jo, kecurigaan Winza selama ini ada pada orang dalam.”

“Sama,” Joshua menyandarkan kepalanya ke tembok, “Karena dari awal, orang yang stalk lo dan Winza itu selalu tau jadwal yang pribadi sekalipun. Lo tadi bilang pas makan kalo lo mau ke pabrik dadakan, bahkan sekretaris lo taunya juga mendadak. Yang tahu, cuma kita yang ada di situ kan.”

“Jo, lo curiga sama Kak Mathius?”

“Iya, gue uda ceritain juga ke Winza soal kecurigaan gue. Winza masih mikirin gimana caranya kita bisa periksa Mathius, karena sampe sekarang, kita bener-bener buta soal serangan demi serangan ini.”

“Jo, gue kepikiran satu hal. Pistol yang ditemukan di RS ini kan selongsong pelurunya hilang satu, lo mau ga ambil resiko buat nggeledah loker atau penyimpanan Kak Mathius di sini, kali aja ada tas yang ada selongsong pelurunya atau mungkin bekas mesiu? Kita bisa buat ini sebagai awalan menyeret Kak Mathius.”

“Ide bagus,” Joshua menjentikkan jarinya, “Gue bakalan cari cara. Btw lo baiknya tidur deh, ntar pagi bakalan jadi hari yang panjang.”

“Karena penyerangan ini? Gue denger tadi Pak Jackson sama tim humas udah rapat mendadak buat konferensi pers.”

“Ada lagi,” tambah Joshua sambil beranjak dari duduknya, “Gue ga sengaja denger bokap sama Tante Jess lagi pusing soalnya ada yang ngajuin mosi ke rapat board buat ganti Winza dan mencoretnya dari daftar penerus Blanc Group, mereka bilang Winza sumber masalah.”

“Kok?!” Keira membulatkan matanya

“Gue juga bingung. Di sini Winza korban, tapi kesannya dibuat sebagai sumber masalah. Menurut gue, lo juga harus siap-siap karena media pasti juga beritain elo sebagai pasangannya Winza.”

“Udah sih,” Keira menghela nafasnya sebelum menunjukkan berita di gawainya

“Aduh parah banget. Besok bakalan jadi hari yang panjang.”

“Pasti,” Keira memejamkan matanya, berharap kondisinya bisa sehat terus dalam menghadapi masalah besar di depannya.