Harum semerbak dari french toast menyapa indra penciuman Winza yang baru saja mandi. Beberapa waktu yang lalu kekasihnya membangunkannya dan memberitahukan bahwa sudah terlalu siang untuk Winza tidur di pagi hari.
“Morning,” sapa Winza ketika menarik kursi makan, “Baunya enak banget.”
“Kemarin kita yang beli kejunya coba-coba itu lho, enak ya kayaknya,” jawab Keira sambil meletakkan piring berisi roti yang baru dipanggangnya. Wanita itu bergerak untuk mengambilkan kopi untuk Winza, kopi hitam dengan sedikit gula untuk kekasihnya itu.
“Makasih, Cantik,” goda Winza ketika Keira sudah duduk di hadapannya
“Mulai godainnya,” Keira memutar bola matanya malas dan menggigit rotinya, “Semalem sori aku buka hapemu buat bales chat temen-temen kamu.”
“Oh kemarin belum kekunci ya? Gapapa santai aja, nanti daftarin sidik jarimu buat kunci hapeku ya, kan kali-kali aja dibutuhkan,” kata Winza, “Aku juga mau bisa buka hape kamu.”
“Gamau, nanti kamu chat Jordan aneh-aneh.”
“Yah ketauan tujuanku,” Winza pura-pura bersedih, membuat Keira tergelak melihat kelakukan kekasihnya pagi ini.
“Ngomong-ngomong nanti kita diminta makan siang ke rumah kamu, tadi Bu Jess telepon aku.”
“Kok Bunda ga telepon aku aja sih?” Winza menggelengkan kepalanya heran
“Kata beliau sih, anaknya kalau jam segitu pasti belum bangun.”
“Pengertian banget, cocok ya kamu sama calon mertua.”
“Kalo ga cocok bisa dipecat aku dari perusahaan ya,” Keira tergelak lagi, “Oh ya, Kevin udah tinggal di bawah. Kemarin pindahan dibantu beberapa pengawal yang stay di sini.”
“Kalo Kak Katherine gimana?”
“Kemarin dikabari sama Pak Arya, mereka udah koordinasi sama satpam komplek, lagian emang aman kok perumahannya kakakku, jadi kalo ada pengawal takutnya mencolok dan ga enak sama tetangga.”
“Yaudah baiknya gitu aja,” Winza mengangguk, “Yang penting semua merasa aman.”
“Makasih ya, Sayang. Udah peduli banget sama keselamatan keluargaku.”
Winza menggerakkan telunjuknya tanda tidak setuju, “Justru ini kewajibanku, Keira. Semua ini ga bakal terjadi kalo kamu enggak sama aku.”
“Walaupun demikian, aku milih kamu kok, Winza.”
Winza tersenyum lebar, “Makasih buat milih aku, Keira. Aku gatau lagi kalo misalnya ini semua aku lewatin ga sama kamu.”
***
“Ayo sini-sini, duduk,” Jesselyn melepas celemeknya dan mempersilakan Winza serta Keira duduk di meja makan
“Masak, Bun?” Winza memperhatikan pergerakan bundanya
“Iya, tadi Keira waktu Bunda tanyain pengen coba masakan Bunda,” Jesselyn mengerling jahil, “Beef Stroganoff aja, simpel kok.”
“Terimakasih banyak, Bu,” Keira tersenyum kepada Jesselyn
“Panggil Bunda aja, atau Tante tuh bisa.”
“Jangan, Bu. Masih takut keceplosan kalo di kantor.”
“Ya gapapa sekalian saya kenalin,” Jesselyn kembali tertawa dan melihat Tara berjalan ke arah ruang makan. Istrinya masih mengambil cuti untuk pemulihan luka jahit di lengannya
“Halo, wah sudah ramai,” Tara mengambil duduk di depan Winza dan tidak sengaja melihat cincin di jari anak tunggalnya itu, “Lho kamu uda resmi sama Keira?”
“Lha,” Winza hanya bisa melongo mendengarkan komentar Mamanya. Jesselyn yang mendengar komentar istrinya hanya bisa tertawa terbahak-bahak, terlebih istrinya terlihat seperti baru bangun tidur
“Ya udah to haruse,” Jesselyn menanggapi
“Kirain ga pake pacaran dulu maksudnya,” Tara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Maaf-maaf.”
“Yah, hasilnya sama aja kan,” Winza melirik Keira yang tertunduk malu-malu, “Mama sama Bunda kan udah kasih restu, ya tinggal nanti kita selesaikan masalah yang sedang dihadapi keluarga besar ini.”
“Makan dulu ya, nanti dibahas,” Jesselyn bangkit dan diikuti dengan Keira untuk menyiapkan makan siang untuk mereka berempat.
“Bunda udah telepon Mario semalem,” kata Jesselyn ketika mereka sudah menikmati dessert siang ini, “Ada kecurigaan soal orang dalem di keluarga kita karena langsung mengarah ke pintu samping yang letaknya cukup tersembunyi. Terlebih, waktu di rumah sakit juga, ada detektor logam di setiap pintu masuk tapi kemarin lolos pistol, sangat mencurigakan.”
“Bunda ada kepikiran siapa gitu?” tanya Winza
“Ga ada,” Jesselyn menggeleng, “Tadi pagi ngobrol sama Bang Yudha juga kami gada ide, Joshua sempet menyarankan untuk mencari tau jalurnya dari senjata ilegal yang dipake buat kerusuhan di rumah sakit. Polisi bilang mereka kesulitan karena sepertinya ada mafia di bea cukai yang berhasil menyelundupkan itu.”
“Klasik,” Winza menggelengkan kepalanya tidak suka, “Tapi semua tersangkanya tertangkap kan?”
“Iya, tapi mereka semua sama. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya mendapatkan instruksi melalui rekaman suara tanpa pernah bertemu dengan yang memberikan mereka tugas dan uang.”
“Uang?” Keira ikut penasaran
“Iya, jadi mereka dibayar di depan. Makanya mereka mau-mau aja bergerak. Lalu salah satu pelaku di club kemarin, sepertinya keceplosan mengatakan bahwa si pemberi tugas ini bisa memberikan info-info yang terbilang cukup aneh. Dia memberitahukan mengenai tiga orang yang menjadi orang kepercayaan Winza di club dan juga bisa menceritakan mengenai detail bentuk bangunan club itu sendiri.”
“Sangat mencurigakan,” Winza menanggapi penjelasan bundanya dengan berpikir keras, “Sepertinya semakin kuat dugaan ada orang dalam yang terlibat.”
“Bisa jadi. Orang dalam itu entah keluarga atau karyawan. Karena di rumah sakit ada pintu khusus karyawan yang tidak ada detektor logamnya,” Tara menambahkan, “Terus waspada saja dengan kondisi sekitar.”
“Iya, Ma,” jawab Winza, “Mama dan Bunda juga. Apapun yang mencurigakan harus segera dilaporkan.”
“Kamu sama Keira juga, jangan kebanyakan pacaran apalagi di kantor,” kata Jesselyn
“Eh, baik Bu,” Keira sedikit terkejut
“Biarin kenapa sih, kan sekantor ga ribet,” Winza membela diri, “Bunda pasti nih nanya-nanya ke Juwita ya?”
“Juwita salah satu karyawan favorit Bunda karena tahan sama kelakukan aneh kamu, jadi kalau kamu memarahi dia, awas ya.”
“Dih kesel,” Winza hanya bisa memutar bola matanya kesal mendengar Bundanya membela Juwita. Kalau dulu, mungkin Winza akan sebal dan membenci Juwita seperti apa yang sempat dia lakukan kepada Keira, namun untuk kali ini, dirinya sudah sadar bahwa Bundanya tidak pernah meminta dia lebih baik dari orang yang dia puji, karena Winza sudah menjadi yang terbaik bagi keluarganya.