wqwqwq12

Willy masih ingat alasan dia pergi begitu saja dari Jakarta.

Hampir seluruh hidupnya di sana, dan hampir di semua kehidupannya ada Katharina di sana.

Atau Adis; panggilan sayang dari Willy kepada kekasihnya, sahabat sejak kecilnya, belahan jiwanya

Rumor mengatakan Kath sudah menjalin hubungan dengan Yevanka selama satu tahun. Tapi dari semuanya, tidak pernah ada yang memberikan konfirmasi. Kath memang cenderung tertutup dengan kehidupan pribadinya sejak dia memilih karir sebagai model profesional. Begitu juga dengan Willy, produser musik muda yang terkenal jenius. Tidak ada yang tahu mereka sudah berpacaran lama kecuali orang terdekat dan keluarga.

Dan tidak ada yang tahu kenapa Kath mengambil hiatus hampir satu tahun karena pemulihan luka di keningnya akibat terkena pecahan kaca dari frame foto yang dibanting Willy.

Willy menyalakan rokok ketiganya. Kepulangannya ke Jakarta tiga hari lalu membuatnya semakin banyak merokok. Dia tidak terlalu sanggup minum minuman keras, pilihannya jatuh kepada rokok untuk mengalihkan perhatiannya.

Selama tiga hari Willy berusaha mencari tahu mengenai berita Kath, namun tidak ada yang tahu secara pasti. Hanya sebatas bahwa mereka berdua memang dekat semenjak Kath kembali dari hiatusnya.

Willy mendongakkan kepalanya ke atas, melihat langit Jakarta yang bersih tanpa bintang. Dahulu, kegiatan favoritnya bersama Kath adalah night drive tanpa tujuan. Hanya untuk menghabiskan waktu berdua. Dulu Jakarta sangat menyenangkan bagi Willy, semua sudut kota seperti menyimpan senyuman Kath, semua gelak tawanya, dan semua ungkapan cintanya.

Namun, Jakarta hari ini, tidak akan pernah sama bagi Willy.

Keira merasa harinya sangat menyenangkan. Cuaca Jakarta hari ini sangat mendukung; bahkan Pak Heri, drivernya berkali-kali menyiulkan lagu karena suasana yang damai.

Pertemuan dengan keluarga inti Kusuma, walaupun tanpa saudara perempuan bungsu mereka, membuat beban di pundak Keira seperti terangkat. Sungguh ringan.

“Astaga!” lamunan Keira terhenti, sesaat setelah memasuki basement kantornya, ada mobil van hitam yang tiba-tiba memotong jalur mobil Keira sehingga membuat Pak Heri menginjak rem mendadak.

Suasana tersebut tentu saja membuat Nancy dan Dion, bodyguard yang sedang mengawal Keira menjadi waspada.

“Ada apa ini?” tanya Keira panik karena kondisi basement yang sepi.

“Ada sesuatu,” Nancy berbisik dan memencet pesan otomatis yang akan tersampaikan ke Arya, sebagai pemimpin regu mereka.

“Kami tidak akan melukai siapapun,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berjalan mendekat dan mengacungkan senjata. Nancy bisa menebak itu adalah pistol kaliber 7.62mm; kemungkinan barang selundupan.

“15 orang,” bisik Dion. Mereka berempat masih berada di dalam mobil sambil mengamati kondisi sekitar.

“Keluar dari mobil!” seru orang yang sama, sepertinya dia adalah pemimpin regu ini.

“Kita turuti saja,” kata Nancy. Mereka berempat termasuk Keira keluar dari mobil dengan posisi tangan di atas kepala mereka.

“Kita tidak melukai siapapun, hanya saja Keira Agatha harus ikut bersama kami,” kata pemimpin mereka.

Tiga orang merangsek ke arah Keira namun Nancy dan Dion jauh lebih cepat untuk memelintir tangan mereka dan membantingnya ke lantai.

dor

Suara tembakan terdengar

“Saya tidak akan sungkan untuk menembak kalian,” pemimpin kelompok menurunkan pistolnya yang dibuat menembak langit-langit basement. Posisi yang sangat sulit karena pengawal pribadi seperti Nancy dan Dion hanya diperbolehkan membawa taser dan mereka juga dilengkapi dengan folding rod. Walaupun demikian, dua senjata tersebut tentu saja tidak bisa digunakan dalam kondisi seperti ini.

“Sepertinya kalian sudah siap mendapatkan hukuman karena membawa senjata api di tempat warga sipil seperti sekarang,” Nancy berusaha mengulur waktu, dia tahu bahwa Arya dan yang lain mungkin sedang berkumpul dan menghubungi polisi mengingat ada tembakan yang dilepaskan.

“Oh tentu saja, tapi kami jauh lebih siap dengan pendanaan,” pistol diarahkan kepada Nancy, “Serahkan Keira Agatha. Saya tidak akan ragu untuk melepaskan tembakan kepadamu jika menghalangi.”

Satu orang dari mereka berjalan ke arah Keira dan mendorongnya pelan. Ketika semua mata tertuju pada Keira, Dion dengan cepat melempar folding rod miliknya ke tangan pemimpin kelompok sehingga pistolnya terlempar. Dirinya bergerak maju namun tiba-tiba suara tembakan kembali terdengar bersamaan dengan teriakan Keira dan robohnya Dion. Peluru menembus kakinya.

“Kalian pikir cuma satu pistol,” pemimpin tersebut tersenyum miring dan mengambil pistolnya. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menarik seseorang dan melemparnya ke tengah. Orang itu adalah Winza.

“Wah? Kita punya sandera baru,” pemimpin itu terkekeh, “Tapi kita hanya ditugaskan mengambil Keira.”

“Brengsek!” teriak Winza yang justru membuatnya ditampar

“Winza!” teriak Keira, “Kalo mau ambil saya, ambil saya aja. Gausah melukai yang lain!”

Pemimpin kelompok itu terdiam, mendengar nama Winza tentu saja berada di luar skenario yang mereka sepakati sebelumnya. Dikarenakan lamunannya, dia tidak sadar bahwa basement sudah dikepung oleh pasukan huru-hara dari kepolisian.

“Serahkan diri kalian!” teriakan muncul dari pasukan yang bertameng

“Sial,” pemimpin itu berusaha menarik Keira untuk dijadikan sandera, namun kalah cepat dengan Winza yang menarik tubuh Keira terlebih dahulu. Panik, pemimpin kelompok itu menarik pelatuknya.

“Keira! Winza!” teriak Nancy kaget karena keduanya tiba-tiba roboh.

“Winza.... Winza...” Keira bisa merasakan kekasihnya memeluknya erat, namun entah kenapa bagian perutnya basah.

“S...sayang.... Aku...” Winza terbata-bata, perutnya tertembak.

Melihat tembakan barusan, pasukan huru-hara langsung maju ke depan dan meringkus 15 orang tersebut. Terlihat Arya dan beberapa pengawal pribadi keluarga Kusuma mendatangi Dion dan Winza.

“Ambulan! Ambulan!” Keira semakin histeris melihat darah semakin banyak keluar dari luka Winza. Nancy langsung melepas jasnya dan menekan luka Winza untuk menahan pendaharan.

Sore yang awalnya indah tiba-tiba menjadi bencana.

“Jadi ini Keira,” Sinta, istri dari Yudha yang memegang jaringan apotek milik Blanc Group di seluruh Indonesia, menanyakan sosok Keira yang duduk di sebelah Winza. Mereka sebelumnya hanya menyapa dan menikmati hidangan sebelum memulai pembicaraan.

“Iya, Mbak. Calon menantuku. Ayu banget kan?” kelakar Jesselyn dengan bahasa Jawa. Berbeda dengan Joshua dan Winza yang kesulitan berbahasa Jawa karena mereka lahir dan besar di Jakarta, keluarga besar Kusuma cenderung sering menggunakan Bahasa Jawa karena mereka banyak yang lahir dan tumbuh di Surabaya dan Semarang.

“Hooh ayu tenan. Pinter Winza milihe,” Sinta kembali tertawa. Keira paham maksud obrolan ini, toh dia asli Surabaya.

“Kami sedikit kaget ketika tahu mengenai Keira,” kata Yudha tiba-tiba setelah mengunyah potongan steak terakhirnya, “Ternyata salah satu karyawan Blanc Eclare.”

“Iya, Pak,” Keira menjawab dengan tenang, walaupun sebenarnya keringat dingin sudah membasahi punggungnya, “Saya awalnya di kantor cabang Surabaya sebelum direkomendasikan pindah ke sini dan promosi ke manajer.”

“Oh, kamu manajer?” tanya Sinta

“Iya, Bu. Manajer Produksi.”

“Luar biasa,” Yudha menggelengkan kepalanya dan menoleh ke Jesselyn, “Should be your best crew, right?

She is,” Jesselyn tersenyum lebar, “Ditambah cara dia handle so many things after she's with Winza, she has no bad things buatku menolaknya jadi pasangan Winza.”

Demi Tuhan wajah Keira memerah sekarang, membuat Winza dan Joshua terkekeh pelan.

“Tuh Joshua juga pengen dapet restu kaya Winza,” celetuk Tara yang memang cenderung lebih banyak diam.

“Tante...” Joshua hanya bisa mengusap wajahnya karena malu.

“Oh pantesan semangat ngomongin Keira sama Winza,” Sinta menoleh pada anak keduanya, “Ini toh mau kamu.”

“Ya kalo aku sih selama pasanganmu mau ditarik ke sirkel keluarga ya, Jo,” Yudha memiringkan kepalanya, “Coba suruh pindah ke Jakarta, jangan di Bogor mulu.”

“Nanti Joshua sampaikan,” Joshua menggaruk tengkuknya

“Ya kalo bisa mau sih, Jo. Masak mau tetep ndek sana kan sulit buat diawasi,” Sinta menambahkan

“Diawasi itu maksudnya berada di jalan yang sesuai dengan visi keluarga kita, Jo,” ungkap Jesselyn, “Bukan yang diawasi kaya sekarang ya, Kei.”

“Eh, iya, Bu,” Keira sedikit terkejut.

“Soalnya kalo jauh bakalan susah. Apalagi kalo ada yang iri dan pengen jatuhin keluarga Kusuma. Bisa diculik Jo pacar kamu tu,” Yudha melipat tangannya sambil melirik ke arah anak keduanya itu.

“Iya, Pah. Nanti Joshua bilangin ke Narendra. Prinsipnya ketemu dulu kan?”

“Iya, Jo.”

“Winza nih diem aja, udah seneng ya direstuin?” goda Sinta kepada keponakannya itu

“Gitu deh, Tante,” Winza tersenyum, “Sekarang Bunda kalo ketemu ga ngomongin kerjaan mulu, ada Keira soalnya bisa diajak ngomong yang lain.”

“Ya soalnya kamu sendiri sukanya ngomongin kerjaan kalo sama Bunda,” Jesselyn menggelengkan kepalanya membuat iparnya itu terkekeh.

Obrolan ringan mereka kemudian berlanjut ke rencana soal pemilihan chairman, serta informasi-informasi yang sudah menyebar di kalangan pemegang saham.

Sayangnya, mereka terkesan mengabaikan kehadiran satu orang di ruangan tersebut.

***

“Yang,” panggil Keira kepada Winza yang berkonsentrasi menyetir

“Apa, Sayang?”

“Kamu sadar ga sih Kak Mathius tuh kaya ga suka sama aku?”

“Hah? Bukannya dia diem aja daritadi. Ngomongnya cuma ditanya kesiapan dia ke Semarang.”

“Sebelum itu tuh dia agak kaget, soalnya dia liatin aku kaya sinis gitu, Yang.”

“Emang gitu, ga jelas. Pernah sama Tante Sinta disaranin ke psikolog, kali-kali aja punya sesuatu yang gabisa dia omongin ke keluarga. Malah ngamuk dia banting-banting barang, trus Jo mau ngehentiin malah dilempar gelas.”

“Kok serem gitu sih...”

“Makanya, berjarak jadinya mereka berdua,” Winza menginjak pedal rem karena mereka berhenti di lampu merah. Dia meraih tangan Keira, membawanya ke bibirnya dan menciumnya pelan

“Tapi emang bener ya, keluarga kalian business couple, jatuhnya kaya ngobrol sama temen.”

“Iya, Om Yudha sama Tante Sinta tuh lebih pengertian soal hubungan mereka dibanding Mama sama Bunda awal-awal dulu. Mereka berdua malah kompak kaya temen deket, kalo Mama sama Bunda kan kaya stranger awalnya.”

“Walaupun rada menegangkan, ternyata ga semenakutkan yang aku bayangin.”

Winza tersenyum lebar sebelum menurunkan hand-rem dan menginjak pedal gas

Welcome to Kusuma Family, Keira Agatha.

“Lho, sudah sarapan? Kok ga bangunin aku?” kata Keira ketika melihat Winza sudah duduk di meja makan dan menyediakan dua piring toast serta kopi untuknya

Winza tidak segera menjawab, membiarkan Keira menenggak air putih sebelum duduk di sebelahnya.

“Sayang?” Keira memanggil kekasihnya yang masih diam dan memainkan jari-jarinya

“Kamu... libur aja ya hari ini? Istirahat dulu,” kata Winza sedikit bergumam, membuat Keira menarik ujung bibirnya ke atas, tersenyum kecil melihat kelakuan kekasihnya.

“Iya,” Keira menangkupkan tangannya ke pipi Winza, mengusapnya pelan dengan ibu jarinya

“Aku... aku minta maaf,” kata Winza lagi sambil memejamkan matanya, “Aku kemarin malah marah... Padahal kamu sakit ya? Kamu dari kemarin ngeluh pusing...”

Keira tidak menjawab, dia mendekatkan tubuhnya dan memeluk leher Winza. Memang Keira masih sedikit pusing, tadi dia pun memaksakan dirinya untuk bangun karena Winza sudah tidak ada di sampingnya.

“Iya gapapa, Sayang,” gumam Keira, “Jangan pernah curiga lagi. Aku tu cuma sayang sama kamu.”

Winza mengecup puncak kepala Keira, “Aku janji.... Jangan pergi dari aku ya?”

Keira melepaskan pelukannya untuk mengecup bibir Winza. Keduanya tersenyum.

“Udah sana sarapan dulu, nanti makan siang jangan lewat. Lembur hari ini?”

Winza mengangguk, “Nanti pulangnya agak maleman.”

“Nanti aku ajakin temen-temen ke sini, boleh?”

“Boleh, buat nemenin kamu.”

Keira mengangguk dan membetulkan kerah baju Winza sebelum menepuk-nepuk bahu kekasihnya.

“Hati-hati di jalan, Sayang.”

“Iya, kamu lekas sembuh ya,” jawab Winza, “Cium.”

Keira terkekeh dulu sebelum kembali menarik Winza ke dalam ciuman singkat pagi ini.

Karena jika tidak singkat, Keira khawatir kalau Winza bisa ikut membolos bersamanya.

Keira jujur sangat membenci kondisi dirinya seperti ini. Dirinya sudah meminum obat yang dibelikan sekretarisnya tadi. Beberapa waktu yang lalu dia merasakan kepalanya sedikit ringan.

Namun di jam menjelang pulang kantor, justru rasa pusing menderanya kembali. Kepala bagian depannya berdenyut, cukup membuat Keira tidak bisa berdiri tegak.

“Keira!” Jordan yang berniat pamit pulang, berlari masuk dan menahan tubuh Keira agar atasannya itu tidak jatuh ke lantai.

“Oh, sorry,” Keira memijat kepalanya pelan, “Pusing banget.”

“Mau saya bantu?” tanya Jordan sambil membantu Keira untuk duduk

Keira baru saja akan menjawab untuk menghubungi Winza atau Nancy yang pasti stand-by di bawah, ada suara ketus yang memotong pembicaraan Jordan

“Ga usah, uda ada saya,” kata Winza sambil berjalan mendekat

“Oh, baik. Saya permisi dulu,” Jordan membungkukkan badan sebelum meninggalkan pasangan tersebut.

***

Winza kesal, Keira paham itu. Segala bentuk gestur tidak nyaman ditampilkan oleh kekasihnya -walaupun tadi dia memasangkan sabuk pengaman untuk Keira- tetap saja kekesalan gadis berambut pendek itu sangat terlihat.

Terlebih untuk Keira yang memang peka dengan situasi.

Tapi Keira mengabaikannya, kepalanya semakin berdenyut dan yang dia inginkan malam ini adalah segera merebahkan punggungnya ke kasur dan beristirahat.

“Kamu kan bisa panggil aku, kenapa Jordan yang bantuin?”

Oh here we go, kenapa sih cemburunya pas kaya gini

Keira hanya terdiam sambil memijat keningnya, pusing kembali mendera

“Aku ga suka sama Jordan.”

Keira tidak menanggapi, namun tiba-tiba menarik tisu di depannya. Tindakan yang cepat itu membuat Winza terkejut dan menoleh ke kursi penumpang.

Mendapati darah mengucur deras dari hidung Keira.

Winza langsung panik dan menghubungi Nancy melalui gawainya yang tersambung ke mobil, mereka akan ke RS BM yang memang paling dekat dari posisi sekarang.

Harum semerbak dari french toast menyapa indra penciuman Winza yang baru saja mandi. Beberapa waktu yang lalu kekasihnya membangunkannya dan memberitahukan bahwa sudah terlalu siang untuk Winza tidur di pagi hari.

“Morning,” sapa Winza ketika menarik kursi makan, “Baunya enak banget.”

“Kemarin kita yang beli kejunya coba-coba itu lho, enak ya kayaknya,” jawab Keira sambil meletakkan piring berisi roti yang baru dipanggangnya. Wanita itu bergerak untuk mengambilkan kopi untuk Winza, kopi hitam dengan sedikit gula untuk kekasihnya itu.

“Makasih, Cantik,” goda Winza ketika Keira sudah duduk di hadapannya

“Mulai godainnya,” Keira memutar bola matanya malas dan menggigit rotinya, “Semalem sori aku buka hapemu buat bales chat temen-temen kamu.”

“Oh kemarin belum kekunci ya? Gapapa santai aja, nanti daftarin sidik jarimu buat kunci hapeku ya, kan kali-kali aja dibutuhkan,” kata Winza, “Aku juga mau bisa buka hape kamu.”

“Gamau, nanti kamu chat Jordan aneh-aneh.”

“Yah ketauan tujuanku,” Winza pura-pura bersedih, membuat Keira tergelak melihat kelakukan kekasihnya pagi ini.

“Ngomong-ngomong nanti kita diminta makan siang ke rumah kamu, tadi Bu Jess telepon aku.”

“Kok Bunda ga telepon aku aja sih?” Winza menggelengkan kepalanya heran

“Kata beliau sih, anaknya kalau jam segitu pasti belum bangun.”

“Pengertian banget, cocok ya kamu sama calon mertua.”

“Kalo ga cocok bisa dipecat aku dari perusahaan ya,” Keira tergelak lagi, “Oh ya, Kevin udah tinggal di bawah. Kemarin pindahan dibantu beberapa pengawal yang stay di sini.”

“Kalo Kak Katherine gimana?”

“Kemarin dikabari sama Pak Arya, mereka udah koordinasi sama satpam komplek, lagian emang aman kok perumahannya kakakku, jadi kalo ada pengawal takutnya mencolok dan ga enak sama tetangga.”

“Yaudah baiknya gitu aja,” Winza mengangguk, “Yang penting semua merasa aman.”

“Makasih ya, Sayang. Udah peduli banget sama keselamatan keluargaku.”

Winza menggerakkan telunjuknya tanda tidak setuju, “Justru ini kewajibanku, Keira. Semua ini ga bakal terjadi kalo kamu enggak sama aku.”

“Walaupun demikian, aku milih kamu kok, Winza.”

Winza tersenyum lebar, “Makasih buat milih aku, Keira. Aku gatau lagi kalo misalnya ini semua aku lewatin ga sama kamu.”

***

“Ayo sini-sini, duduk,” Jesselyn melepas celemeknya dan mempersilakan Winza serta Keira duduk di meja makan

“Masak, Bun?” Winza memperhatikan pergerakan bundanya

“Iya, tadi Keira waktu Bunda tanyain pengen coba masakan Bunda,” Jesselyn mengerling jahil, “Beef Stroganoff aja, simpel kok.”

“Terimakasih banyak, Bu,” Keira tersenyum kepada Jesselyn

“Panggil Bunda aja, atau Tante tuh bisa.”

“Jangan, Bu. Masih takut keceplosan kalo di kantor.”

“Ya gapapa sekalian saya kenalin,” Jesselyn kembali tertawa dan melihat Tara berjalan ke arah ruang makan. Istrinya masih mengambil cuti untuk pemulihan luka jahit di lengannya

“Halo, wah sudah ramai,” Tara mengambil duduk di depan Winza dan tidak sengaja melihat cincin di jari anak tunggalnya itu, “Lho kamu uda resmi sama Keira?”

“Lha,” Winza hanya bisa melongo mendengarkan komentar Mamanya. Jesselyn yang mendengar komentar istrinya hanya bisa tertawa terbahak-bahak, terlebih istrinya terlihat seperti baru bangun tidur

“Ya udah to haruse,” Jesselyn menanggapi

“Kirain ga pake pacaran dulu maksudnya,” Tara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Maaf-maaf.”

“Yah, hasilnya sama aja kan,” Winza melirik Keira yang tertunduk malu-malu, “Mama sama Bunda kan udah kasih restu, ya tinggal nanti kita selesaikan masalah yang sedang dihadapi keluarga besar ini.”

“Makan dulu ya, nanti dibahas,” Jesselyn bangkit dan diikuti dengan Keira untuk menyiapkan makan siang untuk mereka berempat.

“Bunda udah telepon Mario semalem,” kata Jesselyn ketika mereka sudah menikmati dessert siang ini, “Ada kecurigaan soal orang dalem di keluarga kita karena langsung mengarah ke pintu samping yang letaknya cukup tersembunyi. Terlebih, waktu di rumah sakit juga, ada detektor logam di setiap pintu masuk tapi kemarin lolos pistol, sangat mencurigakan.”

“Bunda ada kepikiran siapa gitu?” tanya Winza

“Ga ada,” Jesselyn menggeleng, “Tadi pagi ngobrol sama Bang Yudha juga kami gada ide, Joshua sempet menyarankan untuk mencari tau jalurnya dari senjata ilegal yang dipake buat kerusuhan di rumah sakit. Polisi bilang mereka kesulitan karena sepertinya ada mafia di bea cukai yang berhasil menyelundupkan itu.”

“Klasik,” Winza menggelengkan kepalanya tidak suka, “Tapi semua tersangkanya tertangkap kan?”

“Iya, tapi mereka semua sama. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya mendapatkan instruksi melalui rekaman suara tanpa pernah bertemu dengan yang memberikan mereka tugas dan uang.”

“Uang?” Keira ikut penasaran

“Iya, jadi mereka dibayar di depan. Makanya mereka mau-mau aja bergerak. Lalu salah satu pelaku di club kemarin, sepertinya keceplosan mengatakan bahwa si pemberi tugas ini bisa memberikan info-info yang terbilang cukup aneh. Dia memberitahukan mengenai tiga orang yang menjadi orang kepercayaan Winza di club dan juga bisa menceritakan mengenai detail bentuk bangunan club itu sendiri.”

“Sangat mencurigakan,” Winza menanggapi penjelasan bundanya dengan berpikir keras, “Sepertinya semakin kuat dugaan ada orang dalam yang terlibat.”

“Bisa jadi. Orang dalam itu entah keluarga atau karyawan. Karena di rumah sakit ada pintu khusus karyawan yang tidak ada detektor logamnya,” Tara menambahkan, “Terus waspada saja dengan kondisi sekitar.”

“Iya, Ma,” jawab Winza, “Mama dan Bunda juga. Apapun yang mencurigakan harus segera dilaporkan.”

“Kamu sama Keira juga, jangan kebanyakan pacaran apalagi di kantor,” kata Jesselyn

“Eh, baik Bu,” Keira sedikit terkejut

“Biarin kenapa sih, kan sekantor ga ribet,” Winza membela diri, “Bunda pasti nih nanya-nanya ke Juwita ya?”

“Juwita salah satu karyawan favorit Bunda karena tahan sama kelakukan aneh kamu, jadi kalau kamu memarahi dia, awas ya.”

“Dih kesel,” Winza hanya bisa memutar bola matanya kesal mendengar Bundanya membela Juwita. Kalau dulu, mungkin Winza akan sebal dan membenci Juwita seperti apa yang sempat dia lakukan kepada Keira, namun untuk kali ini, dirinya sudah sadar bahwa Bundanya tidak pernah meminta dia lebih baik dari orang yang dia puji, karena Winza sudah menjadi yang terbaik bagi keluarganya.

“Ada penembakan di RS Buana Medika,” Nancy memberikan informasi kepada Keira yang duduk di sebelahnya. Wanita itu terkejut karena kasus penembakan sangat jarang terjadi di Indonesia.

“Kok? Gimana kondisinya?”

“Sampai sekarang aman terkendali,” pengawal itu mengecek handphonenya, “Setelah pulang kantor, Pak Arya menginstruksikan kita untuk ke sana.”

Keira mengangguk, “Winza... gimana?”

“Sudah ditenangkan. Bu Tara menjadi korban walaupun tidak parah, ada Bu Jesselyn di sana juga.”

“Pak Heri, agak cepet ya kembalinya,” pinta Keira kepada drivernya

“Baik, Bu.”

****

Sepanjang perjalanan pulang, Keira tidak bisa berhenti memikirkan Winza. Pasti kekasihnya sedang bingung terlebih banyak anggota keluarganya yang ada di rumah sakit tersebut.

Begitu tiba di lantai yang dituju, Keira langsung menuju ke ruangan Winza, mengabaikan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Keira langsung membuka pintu ruangan Winza dan mendapati wanita berambut pendek itu sedang berdiri menghadap ke jendela luar. Tanpa membuang waktu, Keira langsung berlari dan memeluknya erat.

“Hei,” sapa Winza dengan suaranya yang sedikit berat

“You okay?” tanya Keira di tengah pelukannya. Dia bisa merasakan Winza mengusap pinggangnya dan memberikan kecupan pada keningnya.

“Much better setelah kamu datang,” Winza sedikit bergurau sebelum mengecup pipi Keira, “Tapi masih ada khawatirnya dikit.”

“Biar khawatirnya berkurang lagi, gimana?”

“Yaa....” Winza dengan sengaja menjelajahi pinggang ramping Keira dengan jemarinya, membuat wanita yang sedang memeluknya tertawa pelan

“EHEM, lain kali ditutup lah pintunya,” suara Juwita menghentikan gerakan jemari Winza, membuat mereka berdua menoleh ke arah sumber suara.

“Ganggu aja,” Winza memutar bola matanya malas

“Masih jam kerja yes,” Juwita berjalan masuk sambil membawa beberapa berkas, “Ini segera dicek, urgent.”

“Selamat bekerja kembali,” Keira mencubit pipi Winza gemas sebelum tertawa kepada Juwita dan meninggalkan ruangan Winza.

“Banyak banget kerjaan,” Winza mendengus

“Yauda resign aja.”

“Yee mulutnya.”

Winza terbangun dan mendapati Keira tidak ada di sampingnya. Helaan nafas berat Winza terdengar, Keira tidak bisa membohongi Winza. Dirinya terlihat terganggu bahkan sampai sebelum tidur tadi.

Winza keluar dari kamar tidur dan melihat lampu dapurnya menyala temaram. Keira pasti di sana.

Winza benar, Keira sedang menyandarkan tubuhnya ke depan, bertumpu pada meja dapur. Di sebelahnya ada gelas kosong, sepertinya wanita itu barusan minum air putih.

“Ada apa?” tanya Winza pelan, sempat mengagetkan Keira karena wanita yang lebih muda itu melingkarkan lengan kokohnya di perut Keira.

“Eh, maaf. Aku haus. Kok kamu bangun?” jawab Keira sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang, merasakan hangat tubuh Winza.

“Gapapa. Tadi pertanyaanku belum dijawab?”

“Aku haus?” ada sedikit keraguan di suara Keira

“Bukan itu.”

Keira paham dia tidak bisa berbohong. Di balik sikapnya yang datar dan kadang cuek, Keira tahu Winza cukup perasa dan bisa menganalisis dengan cepat mengenai perubahan situasi di sekitarnya.

Keira sendiri pun bingung harus menjawab apa, dia memilih untuk melonggarkan pelukan Winza dan membalikkan badannya. Wanita di hadapannya menaikkan alis pertanda tidak memahami tingkah Keira. Keira menyelipkan poni Winza perlahan ke belakang telinganya sebelum melingkarkan lengannya di leher Winza untuk memeluknya. Yang dipeluk kembali menghela nafas, bingung.

“Even though I like it very much, kalo kita pelukan gini sampe pagi, pegel sih Beb,” gurau Winza membuat Keira ikut terkekeh. Wanita yang lebih tua melepaskan pelukannya dan menarik Winza untuk kembali ke kamar tidur.

***

Sudah sekitar 15 menit keduanya masih terdiam. Winza hanya mengelus rambut Keira pelan-pelan, berharap kekasih hatinya itu mau menjelaskan sesuatu.

“Winza...”

“Hmm?”

“Sebelumnya, pernah ada kejadian seperti ini ga?”

Oh, ternyata itu yang dipikirkan Keira.

Winza mendorong pelan tubuh Keira, melihat wanita berparas cantik itu sedang terlihat memikirkan sesuatu yang berat. Winza mengecup pelan keninv Keira sebelum menjawab pertanyaannya.

“Dulu waktu Bunda sama Mama mau nikah, Nenek pernah cerita kalo tiba-tiba sering mendapati surat kaleng untuk membatalkan pernikahan itu.”

“Trus-trus?”

“Katanya Nenek sama Kakek sering banget diikutin orang abis dari rumah sakit. Waktu itu kakek kondisinya udah menurun banget karena kecelakaan di pabrik. Ditambah posisi beliau sebagai chairman, emang banyak banget yang ngincer. Bahkan aku pernah denger dari Tante Krystal kalo ada yang ngelepas sahamnya di RSBM karena ngerasa kalah sama Mamaku buat jadi istrinya Bunda. Padahal mereka kan dijodohin ya.”

“Patah hati mungkin,” Keira sedikit terkekeh

“Tapi Kakek sama Nenek tetep pengen Bunda sama Mama nikah, pake penjagaan ketat. Kalo biasanya Om Yudha, Papanya Joshua, cerita, kaya nikahan anak presiden saking banyaknya penjagaan.”

“Tapi semuanya lancar kan akhirnya?”

“Ada teror bom,” jawab Winza pelan, sambil menyusuri alis dan tulang pipi Keira dengan telunjuknya, “Polisi bisa menemukan di pagi hari sebelum pemberkatan di gereja. Ternyata dia masih saudara kami, tepatnya ipar dari Pak Chandra.”

“Pak Chandra yang dipecat kemarin?”

“Iya, emang keluarga mereka agak bermasalahan sih. Sebenarnya kan emang bukan keluarga inti, makanya ga terlalu banyak pegang peranan penting di Grup. Lagian juga mereka ga menunjukkan skill mumpuni, malah skandal kaya Pak Chandra itu kan.”

“Lalu waktu adik Kakek yang sekarang jadi chairman 5 tahun lalu, sempet juga ada teror bom,” Winza menjelaskan lagi, “Aku masih di Aussie itu ketika Bunda ngabarin buat jaga diri dan ngirim pengawal ke sana.”

“Ngirim ke Aussie?” Keira membelalakkan matanya lebar, cukup terkejut dengan fakta ini.

“Iya, ngirim 2 orang gitu sampai Kakek Mathew resmi jadi chairman, baru mereka pulang. Jarak 2 minggu kayaknya.”

“Trus apakah ada kemungkinan dari keluarga Kakek Mathew yang ngincer? Aku ga maksud berpikiran buruk, Winza.”

Winza tertawa sejenak sebelum mengecup ujung hidung Keira, “Keluarga Kakek Mathew rata-rata di luar negeri karena mereka emang ngembangin bisnis di sana. Dan dari awal sudah ada kesepakatan hitam di atas putih kalo chairman bakalan kembali ke keluarga inti, either Om Yudha, Bunda atau Tante Krystal.”

“Eh, aku gapernah liat Tantemu loh.”

“Di Surabaya dia, pegang jaringan apoteknya.”

“Oh iya, pernah dulu koordinasi soal produk. Tapi mungkin bukan beliau yang nemuin.”

“Tanteku ga suka di kantor kaya Bunda, paling kelayapan ngecekin apotek kalo ga ya ketemu investor di luar kantor.”

“Oh pantes kamu suka diem di kantor, nurun dari Bu Jess ya?” goda Keira

“Kayaknya gitu,” Winza menarik tubuh Keira ke pelukannya lagi, “Udah ga bingung lagi kan? Tidur yuk, ngantuk banget.”

Keira mendorong Winza dan mencium bibirnya singkat, membuat keduanya tersenyum.

“Keira, percaya ya sama aku? Kamu akan baik-baik saja.”

“Iya, Sayang.”

Porsche milik Winza memasuki parkir basement sebuah rumah di komplek mewah. Rumah itu tidak terlalu besar, namun dari luar kemegahannya sudab terlihat.

“Silakan, Non,” pengawal yang tadinya duduk di kursi penumpang sudah bergerak untuk membuka pintu belakang tempat Keira duduk

“Mari, Saya bawakan barangnya,” pengawal itu meraih tas laptop yang dibawa Keira

“Eh, ga usah,” Keira berusaha menolak

“Perintah dari Ibu,” pengawal itu tersenyum, membuat Keira terpaksa merelakan barang-barangnya dibawakan. Pengawal dan sopir yang tadi mengarahkan Keira untuk masuk, membuat Keira sendiri masih berdecak kagum dengan interior rumah ini. Mereka menuju lantai dua, kata pengawal tersebut, menuju ke ruangan rapat milik Jesselyn. Keira sempat berpapasan dengan Bik Rosa, mengobrol sebentar dengan wanita paruh baya tersebut sebelum meneruskan langkahnya.

***

Keira mungkin lupa jika dia sedang berada di tempat Jesselyn, lebih tepatnya ruang rapat yang didesain cukup mewah. Memiliki meja panjang yang bisa menampung 20 orang, dan kursi pemimpin rapat yang terlihat anggun. Ketika melihat Winza yang sedang berbicara sambil berdiri dengan Bundanya, Keira langsung reflek berlari dan memeluk Winza.

“Eh,” Winza sedikit terdorong ke belakang, namun secara reflek melingkari pinggang ramping Keira ketika wanita yang lebih tua membenamkan wajahnya di leher Winza.

“Kamu gapapa kan?” tanya Keira dengan suara yang terbenam

“Gapapa,” Winza mengelus kepala Keira, “Maaf ya bikin takut.”

“Asalkan kamu gapapa.”

“Ehem,” suara deheman Jesselyn mengagetkan Keira sehingga melepaskan pelukan eratnya. Tapi Winza tetap melingkarkan tangan kirinya di pinggang Keira.

“M..Maaf, Ibu,” Keira gelagapan dan sibuk meminta maaf, membuat Jesselyn tertawa.

“Santai aja, khawatir banget ya? Duduk dulu, Kei. Tunggu yang lain ya,” Jesselyn mengarahkan keduanya untuk duduk.

Winza tidak melepaskan begitu saja pegangannya, dia menggeser tangannya untuk mengenggam erat tangan Keira sebelum mengecupnya pelan, membuat wajah Keira memerah seperti kepiting rebus. Untung saja rasa malu Keira sedikit hilang karena Tara dan Joshua masuk ke dalam ruangan rapat.

Setelah menunggu Juwita, Mareta, Eugene dan Mario datang, Jesselyn memulai diskusinya dengan menunjukkan racun yang ada di bingkisan milik Winza di layar monitor.

“Beruntung Winza sempat mencuci mulut Jackson dengan susu, sehingga sekarang efek racun tidak terlalu parah. Walaupun demikian, kita harus tetap waspada,” kata Jesselyn sebelum menoleh ke arah Tara dan mengangguk.

“Kemarin, RS BM mendapatkan surat ancaman kepada istri saya dan kakak saya,” Jesselyn menunjukkan surat ancaman yang membuat beberapa orang kaget, sungguh mengerikan.

“Ini semua... Karena apa?” Juwita tidak tahan untik bertanya

“Good question, Juwita,” Jesselyn sedikit terkekeh, “Bulan depan, akan ada pemilihan chairman baru Blanc Group. Sebagai keluarga inti, kakak dan adik saya setuju bahwa chairman setelah paman saya, adalah saya.”,

Keira mengangguk-angguk, sepertinya dia mulai menangkap ada apa di keluarga ini.

“Sepertinya ada yang tidak suka?” Mario menanyakan sesuatu

“Betul,” jawab Jesselyn, “Walaupun masih rumor, saya adalah calon terkuat untuk menjadi chairman selanjutnya. Sudah lama tidak ada hal demikian, apalagi melibatkan banyak orang. Intinya, kalian semua adalah orang di sekitaran Winza yang akan menjadi sasaran bagi penteror tersebut.”,

“Seperti surat ancaman ke saya, mereka menyebut Winza, padahal ada Joshua yang juga anak dari Direktur RS langsung. Jelas dia mengincar posisi yang berkaitan dengan Winza, yaitu bundanya,” tambah Tara

“Apakah sudah ada kemungkinan pelakunya?” Juwita kembali bertanya

“Sayangnya belum,” Jesselyn menghela nafas, “Kita sedang berusaha mencari tahu. Untuk itu, ada banyak hal yang harus kalian pahami dan hadapi nantinya.”

Jesselyn menampilkan slide baru

“Saya sudah memasang cctv tambahan baik di Club, di depan pintu masuk unit Winza dan juga kantor-kantor kami. Untuk security, saya sudah menambah tim untuk di Club dan Blanc Eclare. Sedangkan untuk apartemen Winza, ada 6 orang pengawal yang tinggal sementara di unit bawah.”

“Oh, uda fix di situ?” tanya Winza tanpa memperlihatkan emosi

“Sudah. Tadi Bunda udah bayar sewa unitnya,” jawab Jesselyn, “Sementara, Keira tinggalnya di tempat Winza ya? Jangan pergi sendirian kalo tidak sama Winza dan pengawal.”

“Loh, sebentar. Jadi yang neror ini sudah tahu hubungan Winza dan Keira?” Reta yang sedari tadi diam mengangkat suara

“Ternyata, iya,” Jesselyn meraih tabletnya dan menunjukkan foto Winza dan Keira, “Saya mendapat kiriman anonim foto ini. Ini kalian tadi pagi kan?”

“Iya, Bun.”

“Berarti memang dia sudah tahu mengenai Winza dan Keira, untuk itu saya harap kita semua waspada dengan sekitar kita. Nanti tiap tim pengawal akan memberikan kontak mereka pada kalian untuk bisa dihubungi secara cepat. Sementara begitu dulu, sambil saya dan tim keamanan sedang bekerja sama dengan kepolisian untuk mencari tahu siapa dalang di balik teror pada keluarga saya.”

“Jagoankuu, welcome back!” Jackson merentangkan tangannya begitu melihat Winza di ruangan. Pelukan singkat membuat mereka berdua tertawa dan suasanya menjadi lebih cair.

“Hayden ini sangat membantu sekali. Boleh loh dipromosiin nantinya,” kata Jackson setelah mereka duduk

“Sudah ku duga, Om. Memang Hayden ini salah satu yang terbaik di timnya. Ga salah dijadiin plt kemarin,” jawab Winza yang disambut ucapan terimakasih

“Eh mau minum apa nih?”

“Itu ada bingkisan, Winza?” Jackson menunjuk kotak di meja tamu Winza

“Iya, gatau nih padahal belum natal juga,” Winza mengangkat kotak tersebut

“Boleh nih Baileysnya,” goda Jackson, “Om peminum kuat loh.”

“Segelas aja, males kan kalo mabok masih siang,” Winza terkekeh sebelum meminta Juwita menyajikan es batu untuk Jackson dan teh untuk dirinya dan Hayden.

Jackson baru saja menenggak minuman itu ketika tiba-tiba dia roboh. Badannya kejang tidak terkendali.

“Om Jackson!” Winza berlutut melihat Omnya mengerang dan berusaha untuk muntah.

“Ambulan! Panggil ambulan!” teriak Winza melihat Juwita masuk ke dalam ruangannya. Winza merasa sangat panik sebelum matanya melihat susu kotak yang dibelikan Keira pagi ini. Dengan cepat, dia meminta Hayden mengambilnya. Winza membuka kotaknya dengan kasar dan mencoba mencuci mulut Jackson dengan susu, berharap sisa-sisa racun segera keluar dan Jackson bisa memuntahkan semuanya.

“Om.... bertahan Om... Om Jackson...”