Tara melihat jam tangan yang melingkar di tangannya ketika sopir keluarganya mengambil alih kemudi dan memarkirkan mobilnya, sembari dia berjalan masuk ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, bukan waktu yang wajar bagi seseorang selesai bekerja. Namun Tara adalah dokter anestesi, jika ada operasi sampai malam sekalipun, dirinya sudah biasa.
Rumah yang dia huni tidak terlalu besar, terdiri dari dua lantai, hanya dia dan istrinya yang tinggal di dalam rumah tersebut. Lebih sering sopir dan beberapa pembantunya yang tinggal di rumah dibandingkan dengan dirinya.
Tara tidak langsung ke kamar tidur; dirinya berhenti di dapur dan mengambil sekotak susu cokelat, sebelum duduk di kursi makan dan melamun. Pikirannya penuh. Tidak hanya mengenai rumah sakit dan pekerjaannya; yang selalu menjadi isi dari kepalanya, kali ini juga soal anak tunggalnya.
Ingatan Tara kembali pada 26 tahun yang lalu ketika dirinya menjadi mahasiswa spesialis termuda di universitas negeri terbesar di kota ini. Dosennya, memanggilnya secara khusus untuk menemuinya di ruangan. Tanpa berbasa-basi, dosen tersebut menanyakan mengenai status hubungan yang dimiliki oleh Tara.
“Saya masih single, Bu,” jawab Tara pada saat itu. Sebagai mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk belajar, Tara hampir tidak memiliki kehidupan romantis sampai dia lulus dan meneruskan pendidikan dokter spesialis. Ayahnya juga seorang dokter, yang menjadi inspirasi bagi Tara untuk meneruskan profesi dari ayahnya itu.
“Kamu mau tidak, menikah dengan anak saya?” dosen tersebut adalah Michele Kusuma, istri dari direktur RS Buana Medika yang sering bekerjasama dengan universitasnya.
“Maaf?” Tara kebingungan, apa yang terjadi?
“Maaf kalau saya mengejutkanmu,” Michele tertawa kecil, “Tara, kamu tahu kan bahwa saya sangat membanggakanmu sebagai mahasiswa saya. Saya dulu juga seangkatan sama ayah kamu di sekolah kedokteran.”
Tara mengangguk, dia sering mendengar cerita itu. Ayahnya sekarang menjadi dokter umum di Puskesmas tempat mereka tinggal di Bandung.
“Kamu tahu kan kalau RS Buana Medika adalah milik keluarga besar saya, begitu juga dengan Blanc Group yang sering kamu dengar juga. Sebagai bisnis keluarga, tentu kami ingin terus menjaga kualitas keluarga kami sendiri.”
“Lalu kenapa saya?”
“Saya mengenai ayah kamu, dia sahabat saya juga. Saya bisa meminta ayah kamu untuk menikahkanmu dengan anak kedua saya. Saya dengar orientasi kamu lebih ke wanita, anak kedua saya juga demikian. Saya selalu melihat banyak potensi dari kamu sejak semester awal. Sudah jelas kan?”
“Saya masih kurang paham.”
“Tara, kamu adalah calon penerus paling cocok di manajemen RS Buana Medika. Sekali lagi, saya bisa saja membicarakan ini melalui ayah kamu, tapi menurut saya, saya harus bicara ini dengan kamu sendiri.”
Tara masih ingat pulang dengan selembar foto di tangannya. Dia langsung menelepon ayahnya di Bandung dan mendapatkan jawaban yang senada dengan apa yang diungkapkan oleh Michele sebelumnya.
Tara tidak pernah memikirkan pasangan, dan Tara yakin bahwa calon pasangannya pun hanya membutuhkan status untuk mengamankan kelangsungan kekayaan mereka.
Tara menyetujui pernikahan itu setelah bertemu Jesselyn beberapa kali. Mereka saling berbagi visi yang akan mereka kejar. Dan mereka menemukan kecocokan, sama-sama berfokus pada karier masing-masing. Mereka merencanakan hanya memiliki satu anak sesegera mungkin agar bisa kembali pada kehidupan karir mereka.
Winza Kusumajati lahir di tahun pertama pernikahan mereka.
25 tahun Tara melihat Winza tumbuh. Hampir tidak ada peran berarti dari dirinya. Dia hanya sesekali mengecek pendidikan Winza. Istrinya justru lebih peduli.
Melihat kondisi Winza minggu lalu yang terbaring dan berjuang antara hidup dan mati membuat Tara memikirkan sesuatu.
Apakah jika Winza pergi, hidup dia akan normal seperti biasa? Apakah kehidupannya dan Jesselyn akan berjalan seperti biasanya?
Melihat Keira, melihat teman-teman Winza, melihat Joshua, seakan menampar Tara tepat di wajahnya. Tamparan yang sangat keras.
Beberapa kali dia menanyakan pada Joshua mengenai kondisi Winza, dan pernah sekali waktu dia menemui Keira. Pembicaraannya dengan Keira masih membekas, sangat dalam di pikirannya. Keira Agatha adalah orang lain, namun hidupnya terselamatkan karena Winza, itulah sebabnya wanita itu sangat menyayangi Winza lebih dari dirinya.
Lamunan Tara terhenti karena suara Jesselyn yang membuka kulkas di depannya
“Kok ngelamun?” Jesselyn mengambil air putih dingin sebelum meneguknya sambil berjalan. Dia ikut duduk di seberang jas putih dokter yang disampirkan asal oleh Tara sebelumnya.
“Jess,” panggil Tara
“Hm?”
“Kamu pernah berpikir ga, kalo kita bisa saling mencintai dan memulai hidup secara normal?”
Jesselyn memandang bingung ke arah istrinya. 26 tahun yang lalu mereka sepakat bahwa ini hanyalah status dan mereka akan mementingkan karier mereka masing-masing.
“Semenjak liat gimana Keira ke Winza, aku mulai berpikir bahwa kita terlalu jahat sama Winza. Padahal Winza ga salah apa-apa. Dia cuma hadir di dunia ini,” Tara menundukkan kepala, hatinya sesak mengatakan ini semua, “Aku jujur takut kalo misal Winza bener-bener pergi dari kita. Dia satu-satunya anak kita, Jess.”
“Tara…”
“Maaf,” Tara mengusap matanya yang berair, “Aku terlalu egois, padahal kita udah sepakat dulu. Dan aku gapernah peduli selama ini sama kamu dan Winza. Kamu ngurusin Winza dari dia kecil, semua sekolah dia, semua kebutuhan dia kamu yang urus. Aku yang egois, Jess.”
Jesselyn meraih tangan Tara yang bergetar di meja, “Liat aku, Tara.”
Tara mengangkat wajahnya, melihat wajah teduh Jesselyn yang menatapnya
“Aku pun egois, gapernah mau dengerin apa kata Winza sendiri. Gapernah ngajak kamu diskusi soal Winza. Kalaupun mau untuk mengulanginya, ayo. Ini belum terlambat.”
“Kamu mau mencoba buat cinta sama aku, Jess?”
Jesselyn terkekeh, “Awalnya, aku pengen sejak pertama kita menikah. Tapi lama-kelamaan aku terlalu berharap, sepertinya aku pun melupakan perasaanku saat itu.”
“Kok…?”
“Kamu ga pernah sadar soalnya,” Jesselyn menepuk punggung tangan Tara, “Kamu dulu tuh gentlewoman banget, and I fell in love at the first sight. Eh kitanya udah terlanjur sepakat soal visi pernikahan kita. Yauda.”
Tara mengusap wajahnya kasar, gurat kekecewaan tergambar dengan jelas di wajahnya
“We are late for 26 years,” keluh Tara
“No,” Jesselyn menggeleng, “We still have forever to go. Kalau emang kamu mau, ayo bareng. Mencintai kan dua orang, gabisa cuma satu orang.”
“Ajari aku, ya?”
“Sure,” Jesselyn tergelak lagi, “Kayaknya kita yang harus belajar sama Winza.”
“Eh, ngomong-ngomong soal Winza dan Keira…”
“Jujur aku bingung,” Jesselyn menghela nafasnya, “Aku pengen Winza dapet yang setidaknya dokter atau pemilik saham besar.”
“Dan mengulangi cerita kita?” Tara memiringkan kepalanya, “Ajak bicara Keira. Setidaknya kamu jelasin posisi keluarga, semua resiko jika mereka lanjut dan lain sebagainya. Tapi kamu cocok kan sama Keira?”
“Itu masalahnya. Aku ga punya alasan buat membenci Keira. Dia adalah salah satu pegawai terbaik yang dimiliki Blanc Eclare, bahkan sejak di kantor Surabaya. Terkenal dengan pribadi yang baik, cantik dan ramah. Alasan buat nolak dia ya cuma alasan latar belakang keluarga, dan rasanya itu sangat jahat buat dia.”
“Dan buat Winza tentunya. Coba dipikirkan lagi.”
Jesselyn mengangguk, “Malem ini tidurnya sekasur ya?”
Tara mengangguk dengan senyuman yang sangat lebar. Beban di pundaknya berkurang sedikit malam ini.