wqwqwq12

“Minum yuk ke situ,” Keira menunjuk satu kafe yang terletak di deretan ruko di depan mereka. Winza mengangguk dan membiarkan Keira menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam kafe kecil itu.

“Ini namanya teh kampul,” jawab Keira ketika Winza melihat potongan jeruk di dalam minuman Keira, “Enak banget loh, seger.”

Winza mengangguk-angguk. Pasalnya, dia ingin sekali minum es kopi tapi dilarang oleh Keira. Akhirnya dia memesan lemon tea, menu standar selain kopi untuknya.

“Lucu ya, jeruknya jeruk peras?”

“Iya,” Keira mengangguk antusias, “Dulu pas diajakin ayah ke Solo, aku coba di sana. Enak banget, tehnya doang uda enak.”

“Nanti kita ke sana,” Winza memegang tangan Keira yang menangkup di atas meja, “Sekalian jenguk Ayah kamu kan?”

“Iyaa, nunggu kamu udah bener-bener sembuh,” Keira menarik pelan tangan mereka yang saling menggenggam dan mengecup punggung tangan Winza.

“Tentu, sama lihat jatah cuti yang bisa diambil.”

Keira tertawa mendengar kelakar Winza, sebelum kembali teringat dengan pertemuannya siang ini.

“Winza, tadi aku bohong soal ketemu tante aku,” kata Keira tiba-tiba, membuat Winza terdiam dan mengerutkan keningnya.

“Trus? Kamu ketemu siapa?”

“Orang tua kamu, keduanya.”

Winza mengeratkan genggamannya, “Kamu... Kamu ga diapa-apain kan sama Bunda dan Mamaku? Bilang jujur, Keira.”

“Winzaaa...” Keira menggelengkan kepalanya dan menepuk punggung tangan Winza, “Aku ga diapa-apain, justru Bu Jess ngerestuin.”

Winza mengangkat alisnya heran, “She told me about her worries, she told me about the risk when I'm with you. But on top of that, she feels thankful because I, unconsciously, taught her about the meaning of love.”

“Ni beneran?”

“Beneran Winzaa, Mama kamu juga bilang terimakasih soal ini semua. Katanya liat kamu yang kekeuh soal aku, liat aku yang setia banget sama kamu, bikin beliau sadar bahwa kita berdua emang ga main-main.”

“Ini boleh aku cium kamu sekarang ga?”

“Hush!” Keira memukul tangan Winza pelan, “Masih di luar.”

“Yauda ayo pulang, aku ga tahan liat bibir kamu tapi ga dicium.”

Keira menarik nafas panjang. Tangannya sudah tidak setremor tadi, walaupun masih deg-degan. Juwita memberi tahu bahwa Jesselyn memintanya bertemu di ruang VIP, membuat Keira langsung diarahkan oleh pelayan setelah dia masuk.

“Siang,” Keira membungkuk begitu melihat Jesselyn sudah duduk dan memilih menu. Yang disapa membalas dengan singkat dan mempersilakan Keira duduk.

“Silakan pesan yang kamu suka, Keira. Kita sembari menunggu istri saya,” kata Jesselyn setelah memilih dua paket makanan untuk disajikan. Keira menyusul, beruntung dia pernah makan di tempat ini bersama Winza sehingga sudah tahu menu yang ingin dia makan siang ini.

Tidak berselang lama, Tara datang dan bergabung bersama mereka. Ada aura yang berbeda; menurut Keira mereka berdua terlihat jauh lebih hangat dibanding terakhir bertemu di rumah sakit.

Obrolan ketika makan cukup ringan, Jesselyn membicarakan beberapa informasi terkait kantor ketika Tara menimpali sekenanya karena dokter itu benar-benar buta terkait dunia bisnis.

Ketika dessert datang, Keira tahu bahwa arah obrolan mereka akan segera berubah.

“Kamu lama ya kenal Winzanya?” Jesselyn bertanya setelah mengelap bibirnya

“6 bulan belakangan ini, Bu,” jawab Keira sopan

“Apa? Yang buat kamu bertahan sama anak saya? Kamu tentu tahu rumor mengenai dia apalagi satu kantor.”

“Winza menyelamatkan saya,” Keira melihat ke arah Tara yang sudah mendengarkan jawaban yang sama dari Keira.

Keira menarik lengan kemejanya dan menunjukkan bekas lukanya, membuat Jesselyn terkesiap.

“Semua orang akan merasa kasihan, namun Winza berbeda. Dia membuat saya harus menghadapi realita tanpa harus terus-menerus mengasihani diri sendiri. Winza yang membuat saya bangkit dan yakin bahwa saya masih boleh merasakan yang namanya cinta.”

Penjelasan Keira memberikan guratan senyum pada bibir Jesselyn

“Kamu siap ga, kalo misal jadi istrinya Winza?” pertanyaan yang tidak diduga oleh Keira, membuat dirinya tersedak

“Eh, minum-minum,” Tara sedikit khawatir karena wajah Keira memerah.

“Maaf, saya kaget,” kata Keira ketika sudah normal kembali, “Saya...”

“Terakhir keluarga Kusuma punya menantu yang bukan dari kalangan dunia bisnis adalah istri saya sendiri,” Jesselyn menoleh ke samping dan tersenyum, “Ada banyak rintangan yang kita hadapi sampai sekarang.”

“Dan kami dijodohkan,” Tara sedikit tertawa, “Ada banyak hal yang harus disepakati, beda sama kamu dan Winza kalo misalnya lanjut.”

Keira menunduk, rasanya seperti mimpi dia akan membicarakan hubungannya dengan Winza di depan kedua orang tua Winza.

“Saya siap,” jawab Keira setelah terdiam sebentar.

Jesselyn kembali tersenyum, “Ada banyak resiko yang harus kamu hadapi. Nantinya mungkin Winza ataupun Joshua akan banyak cerita. Walaupun belum resmi sebagai menantu, saya rasa ada baiknya kamu lebih berhati-hati terutama dengan pergerakan kamu di luar kantor.”

Dengan begitu, Jesselyn melanjutkan penjelasan dan ceritanya, cerita mengenai kehidupan konglomerat yang mungkin tidak pernah Keira bayangkan sebelumnya.

Tara melihat jam tangan yang melingkar di tangannya ketika sopir keluarganya mengambil alih kemudi dan memarkirkan mobilnya, sembari dia berjalan masuk ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, bukan waktu yang wajar bagi seseorang selesai bekerja. Namun Tara adalah dokter anestesi, jika ada operasi sampai malam sekalipun, dirinya sudah biasa.

Rumah yang dia huni tidak terlalu besar, terdiri dari dua lantai, hanya dia dan istrinya yang tinggal di dalam rumah tersebut. Lebih sering sopir dan beberapa pembantunya yang tinggal di rumah dibandingkan dengan dirinya.

Tara tidak langsung ke kamar tidur; dirinya berhenti di dapur dan mengambil sekotak susu cokelat, sebelum duduk di kursi makan dan melamun. Pikirannya penuh. Tidak hanya mengenai rumah sakit dan pekerjaannya; yang selalu menjadi isi dari kepalanya, kali ini juga soal anak tunggalnya.

Ingatan Tara kembali pada 26 tahun yang lalu ketika dirinya menjadi mahasiswa spesialis termuda di universitas negeri terbesar di kota ini. Dosennya, memanggilnya secara khusus untuk menemuinya di ruangan. Tanpa berbasa-basi, dosen tersebut menanyakan mengenai status hubungan yang dimiliki oleh Tara.

“Saya masih single, Bu,” jawab Tara pada saat itu. Sebagai mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk belajar, Tara hampir tidak memiliki kehidupan romantis sampai dia lulus dan meneruskan pendidikan dokter spesialis. Ayahnya juga seorang dokter, yang menjadi inspirasi bagi Tara untuk meneruskan profesi dari ayahnya itu.

“Kamu mau tidak, menikah dengan anak saya?” dosen tersebut adalah Michele Kusuma, istri dari direktur RS Buana Medika yang sering bekerjasama dengan universitasnya.

“Maaf?” Tara kebingungan, apa yang terjadi?

“Maaf kalau saya mengejutkanmu,” Michele tertawa kecil, “Tara, kamu tahu kan bahwa saya sangat membanggakanmu sebagai mahasiswa saya. Saya dulu juga seangkatan sama ayah kamu di sekolah kedokteran.”

Tara mengangguk, dia sering mendengar cerita itu. Ayahnya sekarang menjadi dokter umum di Puskesmas tempat mereka tinggal di Bandung.

“Kamu tahu kan kalau RS Buana Medika adalah milik keluarga besar saya, begitu juga dengan Blanc Group yang sering kamu dengar juga. Sebagai bisnis keluarga, tentu kami ingin terus menjaga kualitas keluarga kami sendiri.”

“Lalu kenapa saya?”

“Saya mengenai ayah kamu, dia sahabat saya juga. Saya bisa meminta ayah kamu untuk menikahkanmu dengan anak kedua saya. Saya dengar orientasi kamu lebih ke wanita, anak kedua saya juga demikian. Saya selalu melihat banyak potensi dari kamu sejak semester awal. Sudah jelas kan?”

“Saya masih kurang paham.”

“Tara, kamu adalah calon penerus paling cocok di manajemen RS Buana Medika. Sekali lagi, saya bisa saja membicarakan ini melalui ayah kamu, tapi menurut saya, saya harus bicara ini dengan kamu sendiri.”

Tara masih ingat pulang dengan selembar foto di tangannya. Dia langsung menelepon ayahnya di Bandung dan mendapatkan jawaban yang senada dengan apa yang diungkapkan oleh Michele sebelumnya.

Tara tidak pernah memikirkan pasangan, dan Tara yakin bahwa calon pasangannya pun hanya membutuhkan status untuk mengamankan kelangsungan kekayaan mereka.

Tara menyetujui pernikahan itu setelah bertemu Jesselyn beberapa kali. Mereka saling berbagi visi yang akan mereka kejar. Dan mereka menemukan kecocokan, sama-sama berfokus pada karier masing-masing. Mereka merencanakan hanya memiliki satu anak sesegera mungkin agar bisa kembali pada kehidupan karir mereka.

Winza Kusumajati lahir di tahun pertama pernikahan mereka. 25 tahun Tara melihat Winza tumbuh. Hampir tidak ada peran berarti dari dirinya. Dia hanya sesekali mengecek pendidikan Winza. Istrinya justru lebih peduli.

Melihat kondisi Winza minggu lalu yang terbaring dan berjuang antara hidup dan mati membuat Tara memikirkan sesuatu.

Apakah jika Winza pergi, hidup dia akan normal seperti biasa? Apakah kehidupannya dan Jesselyn akan berjalan seperti biasanya?

Melihat Keira, melihat teman-teman Winza, melihat Joshua, seakan menampar Tara tepat di wajahnya. Tamparan yang sangat keras.

Beberapa kali dia menanyakan pada Joshua mengenai kondisi Winza, dan pernah sekali waktu dia menemui Keira. Pembicaraannya dengan Keira masih membekas, sangat dalam di pikirannya. Keira Agatha adalah orang lain, namun hidupnya terselamatkan karena Winza, itulah sebabnya wanita itu sangat menyayangi Winza lebih dari dirinya.

Lamunan Tara terhenti karena suara Jesselyn yang membuka kulkas di depannya

“Kok ngelamun?” Jesselyn mengambil air putih dingin sebelum meneguknya sambil berjalan. Dia ikut duduk di seberang jas putih dokter yang disampirkan asal oleh Tara sebelumnya.

“Jess,” panggil Tara

“Hm?”

“Kamu pernah berpikir ga, kalo kita bisa saling mencintai dan memulai hidup secara normal?”

Jesselyn memandang bingung ke arah istrinya. 26 tahun yang lalu mereka sepakat bahwa ini hanyalah status dan mereka akan mementingkan karier mereka masing-masing.

“Semenjak liat gimana Keira ke Winza, aku mulai berpikir bahwa kita terlalu jahat sama Winza. Padahal Winza ga salah apa-apa. Dia cuma hadir di dunia ini,” Tara menundukkan kepala, hatinya sesak mengatakan ini semua, “Aku jujur takut kalo misal Winza bener-bener pergi dari kita. Dia satu-satunya anak kita, Jess.”

“Tara…”

“Maaf,” Tara mengusap matanya yang berair, “Aku terlalu egois, padahal kita udah sepakat dulu. Dan aku gapernah peduli selama ini sama kamu dan Winza. Kamu ngurusin Winza dari dia kecil, semua sekolah dia, semua kebutuhan dia kamu yang urus. Aku yang egois, Jess.”

Jesselyn meraih tangan Tara yang bergetar di meja, “Liat aku, Tara.” Tara mengangkat wajahnya, melihat wajah teduh Jesselyn yang menatapnya

“Aku pun egois, gapernah mau dengerin apa kata Winza sendiri. Gapernah ngajak kamu diskusi soal Winza. Kalaupun mau untuk mengulanginya, ayo. Ini belum terlambat.”

“Kamu mau mencoba buat cinta sama aku, Jess?”

Jesselyn terkekeh, “Awalnya, aku pengen sejak pertama kita menikah. Tapi lama-kelamaan aku terlalu berharap, sepertinya aku pun melupakan perasaanku saat itu.”

“Kok…?”

“Kamu ga pernah sadar soalnya,” Jesselyn menepuk punggung tangan Tara, “Kamu dulu tuh gentlewoman banget, and I fell in love at the first sight. Eh kitanya udah terlanjur sepakat soal visi pernikahan kita. Yauda.”

Tara mengusap wajahnya kasar, gurat kekecewaan tergambar dengan jelas di wajahnya

“We are late for 26 years,” keluh Tara

“No,” Jesselyn menggeleng, “We still have forever to go. Kalau emang kamu mau, ayo bareng. Mencintai kan dua orang, gabisa cuma satu orang.”

“Ajari aku, ya?”

“Sure,” Jesselyn tergelak lagi, “Kayaknya kita yang harus belajar sama Winza.”

“Eh, ngomong-ngomong soal Winza dan Keira…”

“Jujur aku bingung,” Jesselyn menghela nafasnya, “Aku pengen Winza dapet yang setidaknya dokter atau pemilik saham besar.”

“Dan mengulangi cerita kita?” Tara memiringkan kepalanya, “Ajak bicara Keira. Setidaknya kamu jelasin posisi keluarga, semua resiko jika mereka lanjut dan lain sebagainya. Tapi kamu cocok kan sama Keira?”

“Itu masalahnya. Aku ga punya alasan buat membenci Keira. Dia adalah salah satu pegawai terbaik yang dimiliki Blanc Eclare, bahkan sejak di kantor Surabaya. Terkenal dengan pribadi yang baik, cantik dan ramah. Alasan buat nolak dia ya cuma alasan latar belakang keluarga, dan rasanya itu sangat jahat buat dia.”

“Dan buat Winza tentunya. Coba dipikirkan lagi.”

Jesselyn mengangguk, “Malem ini tidurnya sekasur ya?” Tara mengangguk dengan senyuman yang sangat lebar. Beban di pundaknya berkurang sedikit malam ini.

“Halo Kei,” Joshua melambaikan tangannya melihat Keira. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam ketika Keira masuk ke unit Winza.

“Hi, guys,” Keira menyapa balik, “Bik Rosa uda balik?”

“Uda barusan aja,” jawab Mario yang baru dari dapur mengambil minum

“Winza mana?”

“Tuh di kamar dia,” tunjuk Joshua dengan dagunya, “Abis gue lepas infusnya. Dua kantong udahan.”

Keira mengangguk sambil menghela nafas, “Thanks ya guys.”

“Anytime,” jawab Joshua, “Gue balik RS dulu ya.”

“Gue balik juga ya, Kei,” tambah Mario

“Iya guys, hati-hati nyetirnya.”

***

Winza tahu Keira sudah pulang dan tidak segera menyapanya. Bahkan wanita itu segera mandi dan berganti baju, semua dilakukan dalam diam, tidak seperti biasanya.

Winza semakin yakin wanita itu marah karena memunggunginya di kasur.

Tidak tahan dengan sikap dingin Keira, Winza menggeser badannya. Perlahan, dia memeluk figur Keira dan mengecup puncak kepalanya, mendapatkan deheman tidak senang.

“Maaf,” bisik Winza sambil menelusuri rambut Keira dengan hidung mancungnya. Winza pun tidak segan mengecup leher jenjang Keira, membuat wanita dalam rengkuhan Winza sedikit mendesah.

“Kamu kalo minta maaf, minta maaf aja gausah cium-cium gitu,” Keira menyodok perut Winza dengan sikunya, “Ngeselin.”

“Hadep sini dong, aku kangen sama kamu.”

“Ngeselin,” kata Keira lagi namun tetap membalikkan badannya untuk menatap Winza, “Kamu tu...”

Ucapan Keira terpotong karena Winza dengan cepat mengecup bibirnya

“Winza!” Keira dengan cepat mencubit perutnya, membuat wanita yang satunya mengaduh kesakitan.

“Maaf, maaf.”

“Uda tau salahnya apa?”

Winza mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya, “Janji ga ngulangin lagi.”

“Awas kalo diulangin. Gada cium, peluk atau dikelonin tidurnya seminggu,” ancam Keira

“Aduh, iya – iya suer. Sekarang tidur ya? Ngantukk banget aku.”

“Hm,” Keira membiarkan Winza menarik tubuhnya ke pelukannya, pelukan yang selalu memberikan kenyamanan bagi Keira.

“Selamat tidur,” Winza mengecup kening Keira sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, “Pemilik hatiku.”

Dan Keira bersumpah jantungnya berdengup sangat kencang mendengar itu.

Seumur hidupnya, Keira Agatha hampir tidak pernah merasa bahwa dirinya sangat dibutuhkan kehadirannya, sampai dia bertemu Winza

Lahir sebagai anak kedua, Keira harus mendapati dirinya terjepit diantara kakaknya yang sangat mandiri dan adiknya yang sangat manja; sehingga dirinya pun mau tidak mau harus bisa berada di posisi yang paling tepat diantara mereka berdua. Terlebih, kakaknya Katherine adalah wanita yang cukup tangguh dan bisa menyimpan semuanya sendiri; persis seperti almarhum ayahnya.

Keira tumbuh dengan sedikit kebohongan dari ibunya. Wanita yang melahirkannya itu selingkuh karena merasa bahwa ayah Keira adalah lelaki yang terlalu pendiam dan tidak mengerti apa keinginan istrinya. Orang tua Keira memutuskan untuk bercerai sesaat sebelum Keira lulus SMA. Pada awalnya, Keira merasa semuanya berjalan baik-baik saja; kakaknya menunjang finansial keluarga, ayahnya masih bekerja sebagai kontraktor dan dia mengambil beberapa pekerjaan sampingan ketika kuliah. Ayahnya selalu mengatakan bahwa dunia mereka baik-baik saja, dia senang melihat Keira dan Kevin yang tumbuh berkecukupan dan senang.

Namun memang diamnya ayah Keira selalu berakibat buruk. Lelaki yang selalu mengatakan pada Keira bahwa semuanya akan baik-baik saja tersebut menyimpan fakta bahwa dia berjuang dari penyakit Diabetes Melitus. Karena terlambat diketahui dan keluarga terdekat pun tidak menyadari, kesehatan ayah Keira memburuk dalam waktu hanya satu tahun sebelum akhirnya meninggalkan Keira dan Kevin. Katherine yang baru menikah pun merasa bahwa dirinya yang bertanggung jawab atas kedua adiknya, yang sekali lagi membuat Keira dipaksa berada dalam keadaan ‘semua baik-baik saja, tidak usah khawatir’

Ketika bertemu dengan Marsya pun, Keira selalu dihadapkan bahwa dunianya baik-baik saja bersama Marsya, bahwa dia tidak perlu khawatir dengan hubungan mereka. Bahwa Marsya bisa menjaga perasaan Keira dengan baik.

Pada akhirnya semua berbalik; Keira merasa dunia memang menutupi semua keburukan yang sebenarnya dekat dengannya.

Tapi semua itu berubah ketika Winza hadir di hidupnya. Wanita itu adalah kebalikan dari dunia yang selama ini Keira tinggal di atasnya; Winza adalah kebalikan dari Keira dan pandangannya terhadap dunia.

Wanita berambut pendek itu tidak pernah memberikan kata-kata palsu untuk menghiburnya. Winza tidak pernah membohongi Keira untuk menjaga perasaan Keira. Winza juga yang mengajari Keira bahwa kedamaian akan dia temukan di dalam situasi seburuk apapun nantinya.

Dan Keira menemukan kedamaian itu sekarang.

“Tadi abis minum obat yang sore, Non Winza bilang ngantuk trus ternyata ketiduran di sofa,” kata Bik Rosa, pembantu keluarga Kusuma yang akan datang selama dua minggu untuk mengurusi kebutuhan Winza selama menjalani pengobatan.

“Syukurlah kalo dia banyak istirahat, Bik.”

“Saya pamit dulu ya, Non Keira.” Setelah wanita paruh baya tersebut pergi, Keira menghampiri sosok yang tertidur itu. Wajahnya damai, hembusan nafasnya yang perlahan membuatnya merasa tenang.

Tidak ingin menganggu Winza, Keira memilih untuk membersihkan dirinya sebelum membangunkan si pemilik rumah tersebut.

“Hei,” gumam Winza ketika Keira mengusap kepalanya. Wanita itu sudah berganti pakaian dan mandi, sebelum duduk di sebelah Winza.

“Aku pulang,” bisik Keira sebelum mendekatkan wajahnya ke pipi Winza dan mengecupnya pelan

“Aku seneng kamu pulangnya ke sini,” Winza menyandarkan kepalanya ke pundak Keira, membuat wanita yang lebih tinggi mengelus kepalanya pelan.

“Kamu tahu kan aku pasti bakalan pulang ke kamu,” kata Keira

Ungkapan itu terdengar seperti aku mencintaimu, Winza

“I wasn’t sure before,” Winza mengangkat kepalanya dan menatap dalam mata cokelat milik Keira, “But now, I’m glad that you found your home, because I found it too.”

Bagi Keira, kata-kata itu menggambarkan aku juga mencintaimu, Keira

Bagi Winza Kusumajati, sosok Keira Agatha adalah anugerah bagi dirinya.

Hatinya hampir selalu kosong; alasan klise yang selalu Winza gunakan untuk terus mempermainkan hati perempuan yang jatuh ke pesonanya. Entah sama-sama hanya menginginkan hubungan satu malam, atau lebih. Winza masih ingat, mungkin Mario lebih ingat, ketika ada wanita yang datang dan melabraknya di Bar. Meminta Winza bertanggung jawab atas perasaannya yang sudah jatuh pada Winza.

Tentu saja Winza hanya memandangnya dengan remeh; dia tidak pernah meminta wanita itu jatuh hati padanya.

Tapi semua berhenti ketika Keira datang di hidupnya. Sebuah kebetulan belaka, di luar keinginan Winza sendiri untuk bertemu dengan Keira.

Winza tahu dia tidak menyukai Keira sama sekali, terlebih mengingat bahwa gadis itu sering diceritakan oleh Bundanya.

Winza benci dengan sosok yang selalu dipuji oleh orang lain, tapi dia jatuh hati dengan sosok pekerja keras yang selalu ditunjukkan oleh Keira. Dan juga, Keira tidak ragu menunjukkan pada Winza bahwa dia rapuh, sangat rapuh.

I'm a troubled person, you know it, Winza ungkap Keira beberapa waktu belakangan ini.

Tidak ada yang lebih tahu sehancur apa Keira dibanding Winza

Dan tidak ada yang tahu sedalam apa Winza jatuh ke lubang nestapa selain Keira.

Keira seperti cahaya yang sangat terang di pekatnya malam. Kehadiran Keira selalu membuat Winza merasa memiliki kehidupan yang lengkap. Winza mungkin tidak pernah mengatakannya langsung, tapi dia sangat menyukai kehadiran Keira di sampingnya ketika dia membuka mata. Atau betapa senangnya Winza ketika Keira memasakkan sesuatu yang disukainya.

Walaupun sempat gamang dengan hubungan mereka, walaupun Winza sempat berjuang diantara hidup dan matinya, pada akhirnya, Keira memilih Winza. Jikalau mereka harus jatuh, Keira memilih untuk jatuh bersama Winza.

If we go down, we go down together, Winza. Don't worry kata Keira sebelum Winza tidur malam itu.

Bagi Winza, dia tidak pernah seyakin ini sebelumnya. Yakin bahwa dia akan memilih Keira, sekarang ataupun nanti.

Winza menoleh ke arah samping, sosok yang dirindukannya beberapa hari ini sedang duduk dan mengamati sesuatu dari gawai di tangannya.

“Keira...” panggil Winza pelan

“Sudah bangun lagi?” Keira menggeser kursinya tepat di samping ranjang Winza. Perlahan, dia mengusap pelipis Winza pelan, matanya tidak pernah terlepas memandang lekat Winza.

cantik banget batin Winza melihat bulu mata lentik milik Keira

“Aku enggak pergi kok, ngeliatnya gitu amat,” Keira terkekeh pelan

“Kemarin pergi gitu,” Winza memejamkan matanya, sebuah ingatan yang tidak ingin dia ingat lagi

“Maaf,” Keira menggenggam tangan Winza

“Oh, ini yang luka kemarin,” Winza mengangkat kedua tangan mereka dan melihat telapak tangan Keira yang masih dibungkus perban

“Ini besok uda dicopot jahitannya,” jawab Keira, “Udah ga terlalu sakit kok.”

“Nanti kalo digenggam ada sesuatunya, gapapa?”

“Gapapa, Sayang.”

Mereka berdua terdiam lagi. Hanya menikmati kehadiran satu dengan yang lainnya. Winza meletakkan tangan Keira di pipinya, membiarkan wanita itu mengelus pelan pipinya berulang-ulang. Kehangatan yang Winza rindukan walaupun belum pernah dia nyatakan secara langsung pada Keira.

Keheningan mereka terinterupsi oleh kedatangan perawat yang membawakan makan siang untuk Winza.

“Bisa dimakan agak nanti, ini infusnya saya ganti dulu ya,” kata perawat tersebut sambil memindahkan nampan berisi makan siang untuk Winza

“Terimakasih, Ibu,” kata Keira

“Gue pulang ya, asli ngantuk berat. Semaleman si Winza kebangun trus kita malah ngobrol,” keluh Eugene yang secara langsung membuat Keira tertawa.

“Yauda lo segera istirahat ya. Ini pulangnya naik apa?”

“Gue pesen taksi online nih, si Mark kayaknya belom bangun,” jawab Eugene sambil membuka aplikasi di gawainya, “See you ya, Kei. Tadi terakhir gue denger dari suster katanya abis ini mau diperiksa CT Scan lagi dan proses lainnya.”

“Thanks, Eugene. Hati-hati ya!” kata Keira yang mendapatkan jempol dari sahabat Winza tersebut.

Keira sempat masuk ke dalam dan berbicara dengan suster yang berjaga. Lalu kembali mengecek kondisi Winza yang terbangun

“Pagi, Winza,” Keira mengelus pelan kepala Winza, membuat wanita yang sedang terbaring itu tersenyum

“Haus,” gumam Winza serak

“Oh iya, ini,” Keira langsung mengangsurkan botol dengan sedotan, lalu membantu Winza untuk duduk agar bisa meminum tanpa takut tersedak. Setelah minum, Winza meminta Keira untuk membaringkannya lagi karena masih pusing jika harus duduk tegak terus.

“Sakit ya kepalanya?” Keira bertanya ketika Winza memegang tangannya yang mengelus kepalanya pelan.

“Iya gitu, sakit.”

“Lekas sembuh ya, Sayang.” Winza tersenyum. Panggilan itu membuatnya nyaman; membuatnya tenang.

****

Setelah Winza dibawa ke tempat periksa, dan dokter mengatakan serangkaian pemeriksaan ini mungkin akan memakan waktu hampir 4 jam, Keira memutuskan untuk sarapan di kantin rumah sakit. Apalagi pagi ini dia memiliki janji akan bertemu dengan Joshua sambil menanyakan mengenai apa lanjutan yang terjadi malam kemarin.

Betapa terkejutnya Keira ketika Joshua datang tidak sendirian. Tara, berjalan santai di sampingnya dengan jas dokter yang menjadi seragamnya.

“Pagi, Kei,” sapa Tara membuat Keira sedikit terkejut. Dia melotot ke arah Joshua yang dibalas dengan gelengan pelan di kepalanya, “Tadi saya yang minta ikut ke Joshua. Kebetulan saya belum sarapan juga habis round checking pagi ini.”

“Eh… Iya, Bu,” Keira mengangguk sambil mengaduk sup ayam yang dia pesan sebelumnya.

Suasana yang agak canggung menyelimuti ketiganya. Keira lebih suka melihat makanannya dibanding melihat ke seberangnya; terutama dia merasakan ketenangan Tara yang justru membuatnya khawatir.

“Kita pernah ketemu kan sebelumnya,” akhirnya Tara membuka pembicaraan setelah menghabiskan makanannya, “Di tempatnya Winza, ingat?”

“Masih ingat, Bu.”

“Winza told me that you guys are not yet official.”

“Sampai sekarang pun,” Keira menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya, “Saya dan Winza masih memiliki banyak hal yang harus diselesaikan sehingga kita belum memiliki status yang resmi sampai sekarang.”

Tara mengangguk pelan, “Jadi kamu tahu, kalo Winza ngobat?” Keira menelan ludahnya sedikit keras, takut jika misalnya omongannya salah dan membuat situasi semakin runyam.

“Saya sudah tahu dari awal,” Keira menjawab pelan

“Kamu berusaha bantu Winza lepas dari itu?”

Keira menoleh ke arah Joshua, dan lelaki itu memberikan anggukan untuk menyakinkannya

“Iya. Saya dan Joshua ikut melakukan kontrol terhadap proses terapi Winza awalnya. Hanya saja saya…” Keira menghela nafas panjang mengingat kejadian diantara mereka berdua sebelumnya, “Saya ada sedikit masalah yang membuat hubungan saya sedikit renggang dengan Winza. Tapi tidak saya sangka akan begini kejadiannya.”

“Apa kamu yakin akan terus bersama Winza setelah mengetahui kondisinya seperti ini?” Tara menaikkan alisnya, mempertanyakan sikap Keira yang masih tenang menjawab pertanyaannya.

“Setelah saya pikir, iya. Saya akan terus mendampingi Winza.”

Tara terkekeh, “Kenapa? Winza ada hutang sama kamu?”

Keira menggelengkan kepalanya pelan sebelum melepas kardigannya dan menarik lengan kaosnya ke atas. Ada bekas sayatan yang sudah mulai pudar, tapi tentu saja tidak akan hilang dengan mudah dari kulit Keira. Tara sedikit terhenyak melihatnya, kaget karena bekas luka Keira cukup banyak.

“Pada suatu waktu, Winza menarik saya dari sungai ketika saya melompat dari jembatan dan mencoba untuk bunuh diri. Pada waktu yang lain, Winza menarik pisau yang saya gunakan untuk melukai saya sendiri,” Keira memakai kardigannya dan mengangkat telapak tangan kanannya yang masih terbalut perban, “Winza tahu bahwa saya bermasalah dengan perasaan saya sendiri, tapi yang terakhir dia mengabaikan sakit hatinya dan membawa saya ke rumah sakit untuk mengobati ini.”

Keira mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya

“Both of us are wrecked people and we are attracted each other. Kami saling berusaha untuk bangkit dari keterpurukan kami dan kami selalu berharap bisa menemukan kebahagiaan lagi suatu hari nanti.”

“Lo tuh ya, nurut aja kenapa sih, Kei,” Gisella mengacak rambutnya gusar. Pasalnya, sahabatnya ini daritadi semacam ABG puber yang tidak mau meninggalkan Winza sama sekali. Wanita yang sedang terbaring itu sempat terbangun dan memang mencari Keira, namun beberapa saat dia tertidur lagi efek dari obat yang diberikan. Ada kemungkinan Winza baru bangun besok pagi sebagai pemulihan. Bahkan untuk makan malam saja, Gisella bersama dengan Reta dan Eugene setengah menyeret Keira untuk keluar dari ruang ICU.

“Ya nanti kalo WInza nyari gue gimana?” Keira mendengus setelah meminum air mineral yang disodorkan oleh Juwita

“Kan besok pagi kemungkinan melek lagi,” jawab Reta, “Lo mending balik dulu beres-beres. Besok kan lo kerja.”

“Gue masih cuti sampai besok,” jawab Keira

“Pulangnya naruh barang sama lo ada hape gitu ga? Ato sekalian besok beli gitu, susah bener kan mau hubungin elo,” kata Gisella, “Eh hape yang lama masih ada kan? Yang kameranya uda burik dan softwarenya uda ga dapet update terbaru itu?”

“Masih sih. Gue pake itu aja sih sementara, lumayan kayaknya bisa pake iMessnya,” Keira menghela nafas, “Tapi gue pengen nginep sini.”

Juwita hanya bisa menggelengkan kepalanya, “Yauda gantian sama Eugene aja? Gue sama Reta mau ambil motor juga di apartnya Winza. Ntar katanya Mario mau jemput Eugene pulang juga.”

“Oh sekalian aja, kan sama apartnya kaya gue,” sahut Keira cepat, “Ntar pulangnya lo taruh gue di sin iya, Gis?”

“Iya deh iya,” Gisella menyerah dengan sifat keras kepala dari Keira untuk kali ini.

Akhirnya mereka bersiap-siap untuk pulang duluan dan menyerahkan Winza dalam pengawasan Eugene yang terlihat sangat mengantuk. Mereka baru saja akan melangkah ketika berpapasan dengan tiga sosok yang sedang berbicara, orang tua Winza dan Joshua

Keira berhenti mendadak, tentu saja kaget melihat Jesselyn ada di sana. Namun kegugupannya berubah jadi kekecewaan ketika dia tidak sengaja mendengarkan perkataan Jesselyn

“… kaya gini yang sudah bakalan kita juga, Jo. Kalo sampe media tahu, habis perusahaan. Habis keluarga besar kita. Lagian kok bisa kecolongan gini sih?”

Keira benar-benar merasa sakit hati dari perkataan orang yang selama ini dia lihat sebagai sosok berwibawa dan penuh inspirasi

“Ibu, kenapa jahat sekali,” kata Keira mengagetkan semuanya. Jesselyn dan Tara langsung mengalihkan pandangan mereka kepada Keira yang terlihat bisa menangis kapan saja

“Keira… kamu di sini? Kenapa?” Jesselyn meluncurkan banyak pertanyaan kepada karyawannya itu

“Saya… 6 bulan terakhir ini Winza sama saya, Bu. Saya tahu pasti alasan Winza menggunakan obat itu. Dan saya juga tahu persis usaha yang dia lakukan untuk lepas dari ketergantungan. Ibu adalah orang tua dari Winza, kenapa justru terkesan ingin menyalahkan Winza seperti ini, Bu?” suara Keira sudah bergetar, membuat Joshua bingung dengan kondisi ini.

“Tahu apa kamu soal anak saya?” sebuah pertanyaan intimidatif dilontarkan oleh Jesselyn kepada Keira. Bahkan Gisella yang berdiri di belakang Keira ingin rasanya kabur mendengar suara pemilik perusahaan tempat dia mencari uang itu.

“Saya, Bu, yang ada ketika anak anda mengalami kesakitan karena obat itu. Saya bu, yang mendengarkan keluh kesahnya terkait kehidupannya. Ibu, saya mungkin baru mengenal Winza, tapi saya hampir selalu ada pada saat Winza membutuhkan sandaran. Ibu, Winza ingin mati agar semuanya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada dirinya. Bagi Winza, dirinya hanyalah hambatan bagi orang lain. Apakah pernah Ibu bayangkan betapa sedihnya dia saat itu, Bu?” Keira mulai menangis dan menunjuk dirinya, “Saya bu, saya yang liat itu semua. Saya yang liat betapa hancurnya dia setiap kali pekerjaannya dipandang sebelah mata.”

“Keira, sebaiknya kamu pulang,” Tara maju ke depan dan menepuk pundak Keira, “Tenangkan diri kamu. Besok saja kamu kembali, jangan malam ini.”

Keira mengangguk, dan beranjak pergi. Meninggalkan Jesselyn yang masih mencerna ucapan dari anak buahnya itu

Kalut, hanya itu yang bisa dirasakan oleh Keira setelah membaca pesan dari Gisella. Entah mengaa semenjak di pesawat, rasanya ingin sekali segera membuka laptop dan melihat ada update apa di twitternya. Ternyata memang benar, something wrong terjadi.

Semburat oranye di langit ibukota semakin membuat Keira gelisah. Jarak dari bandara ke rumah sakit memang cukup jauh, terlebih di sore hari seperti ini. Keira tidak ingin membuat supir taksi yang sepertinya tersadar bahwa Keira sedang terburu-buru itu semakin bingung karena kekalutannya.

“Maaf ya, Bu. Macet terus,” ungkap supir taksi tersebut

“Iya, Pak. Mau gimana lagi.” Keira hanya bisa berharap dan terus berharap bahwa Winza tertangani dengan baik. Walaupun dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita yang memenuhi hati dan pikirannya selama 6 bulan belakangan ini.

****

Begitu sampai di IGD, Keira kembali bingung. Kepada siapa dirinya harus bertanya? Apakah rumah sakit mau memberikan informasi kepada dirinya? Terlebih ini adalah rumah sakit milik keluarga besar Winza sendiri. Di tengah kebingungannya, beruntung ada yang mengenalinya.

“Keira?” suara yang cukup familiar menyapanya, membuat bahu Keira yang awalnya menegang menjadi sedikit merosot lega

“Josh,” Keira sedikit tersenyum. Di belakang Joshua ada Eugene dan Mario yang sepertinya juga baru datang

“Ayo ke ruang operasi, Winza di sana sama Reta,” ajak Joshua yang membuat hati Keira seperti diremas. Kenapa Winza harus sampai menjalani operasi?

Pertanyaan di kepala Keira itu pun tidak terjawab, semua orang di sana juga kalut. Bahkan Keira nyaris melupakan kopernya di lobby jika Mario tidak mengingatkan dan membantunya untuk membawa koper itu masuk.

“Gimana, Re?” tanya Joshua ketika mereka sudah tiba di depan ruang operasi. Reta terlihat sangat lelah dengan membenamkan wajahnya ke kedua tangannya.

“Oh, hei guys,” Reta mengangkat kepalanya, melihat Keira di sana, “Lho, Keira? Tadi Juju telepon lo katanya gabisa dihubungin.”

“Gue baru mendarat jam 4 tadi. Hape gue rusak, Gisella kasih tau lewat Twitter dan gue buka pas uda landing,” jawab Keira, “Winza, kenapa?”

Reta menggeleng pelan, “Gue juga ga paham. Kata Juju tadi dia minta izin buat pulang duluan sekitar jam 2. Trus jam 3-an ada telepon dari Winza yang kedengeran cuma dia merintih kesakitan. Juju telepon gue buat ke apart Winza, sekalian gue minta tolong satpam buat masuk ke dalam unitnya. Gue… gue liat dia terkapar di kamar mandi, kejang-kejang sambil meracau. Satpamnya telepon ambulan sini dan Winza dibawa ke IGD langsungan.”

Reta mengusap wajahnya lelah, “Stroke ringan diagnosis awalnya. Ada penyumbatan pembuluh darah di otaknya dan barusan Winza CT Scan. Sekarang mereka lagi perform operasi trombek trombek apalah gue ga begitu paham.”

“Trombektomi,” jawab Joshua pelan sambil melihat ke layar kecil di dekat mereka, “Operasi singkat buat mengambil gumpalan darah di pembuluh darah. Di dalem itu dokter spesialis syaraf terbaik yang kita punya, mungkin kita bisa sedikit tenang.”

“Winza gapunya sejarah darah tinggi bukan sih?” Eugene menyandarkan punggungnya di dinding, “Kok ada stroke segala?” Joshua melirik ke arah Keira yang masih terdiam dan memandang ke arah ruangan operasi yang masih tertutup

“Kalian berdua tahu?” tanya Mario kepada Keira dan Joshua

Melihat Keira yang masih diam dan menatap nanar ke arah Joshua, lelaki itu mengambil inisiatif untuk menjelaskan, “Reta, lo tadi liat ada sesuatu seperti jarum suntik di deket Winza ga?”

Reta berpikir sejenak sebelum dia teringat sesuatu dan mengangguk

“Winza mengalami ketergantungan obat terlarang dan sepertinya dia meracau dan kejang adalah efek samping dari withdrawal symptoms yang dia miliki. Obat itu kena ke syaraf kepalanya, dia sudah menjalani rehab namun sepertinya dia sedang kalut dan menemukan obat itu lagi. Ada kemungkinan overdosis karena dia sudah mulai meninggalkan ketergantungan lalu kembali lagi,” Joshua menjelaskan

“Dan kalian tau ini dari awal?” Eugene sedikit meninggikan suaranya, sebelum berbalik ke arah Keira yang masih diam, “Dan lo! Lo yang bikin Winza kalut kaya gini kan?”

“Gue…” Keira sedikit mundur karena Eugene seperti akan memukulnya

“Eugene, udah,” Mario yang tadinya duduk di sebelah Reta langsung berdiri dan memegang kedua bahu Eugene, “Ini bukan salah Keira. Ga sebaiknya lo nuduh dia kaya gitu.”

Eugene menghembuskan nafasnya kasar. Setitik air mata menetes dari matanya, menggambarkan betapa khawatirnya dia terhadap kondisi Winza sekarang.

“Maaf, Kei,” bisik Eugene, “Gue emosi.”

“Gapapa,” Keira menepuk pundak Eugene pelan, “Gue tahu lo khawatir banget sama Winza. Gue di sini juga.”

“Oh, Pak Arlan udah keluar,” Joshua melihat dokter yang tadi menangani Winza.

“Hai, Jo,” sapa dokter paruh paya tersebut kepada juniornya, “Dokter Tara sama Bu Jesselyn belum ada?”

“Dokter Tara lagi ada operasi, Dok. Kalo Tante Jess lagi perjalanan dari Bandung tadi jam 4 saya kabarin. Winza gimana?”

“Trombektominya sukses,” jawab dokter itu, membuat semuanya menghela nafas lega, “Namun ada beberapa hal yang perlu diobservasi, jadi mungkin Winza akan berada di ICU dulu. Jo, saya mau bicara. Yang lain mungkin bisa ke ICU untuk melihat kondisi Winza dari luar.”

Joshua mengangguk dan memberikan petunjuk ICU kepada yang lain, sebelum berjalan mengikuti dokter seniornya ke ruangannya.

“Everything will be okay,” Joshua berbisik kepada Keira sebelum pergi, “Lo siap-siap aja kalo nanti misalnya ada Tante Jess. Gue tau lo uda pernah ketemu Tante Tara, tapi Tante Jess bakalan jadi cerita lain.”

Keira hanya bisa mengusap wajahnya resah sebelum mengikuti langkah teman-teman Winza yang sudah bergerak terlebih dahulu.

***

Tidak semua bisa masuk ruang ICU, terlebih kondisi Winza baru saja masuk ke tingkatan stabil. Setelah Reta, Eugene dan Mario masuk, mereka mempersilakan Keira untuk masuk ke dalam. Setelah membersihkan dirinya dan memakai masker yang disediakan, Keira masuk ke dalam. Ada satu perawat yang masih berada di dalam, sedang mengecek peralatan yang menempel di tubuh Winza.

Keira hanya bisa duduk di samping ranjang Winza, melihat tubuh lemah yang sedang terhubung dengan banyak selang di tubuhnya.

“Mbak Keira ya?” tanya perawat itu setelah mengecek kantung infus yang menancap di lengan kiri Winza

“Eh, iya, Sus.” Perawat itu terlihat tersenyum di balik maskernya. Dia merogoh kantong celananya dan menyodorkan sebuah foto yang sepertinya sudah diremas sangat kuat

“Tadi waktu gantiin baju Winza ke baju operasi, dia beberapa kali meremas sesuatu di kantong celananya dan berbisik namanya mbak. Saya ambil saja, takutnya ada sesuatu. Ternyata fotonya mbak.”

Keira menahan tangisnya, Winza mencarinya.

“Kondisi Winza stabil kok, Mbak. Ditunggu aja 24 jam setelah ini untuk hasilnya. Semoga lekas membaik. Saya izin memantau dari sebelah ya mbak,” Perawat itu menunjuk bilik kecil di dekat ranjang Winza dan berjalan pergi.

“Winza, aku udah di sini,” bisik Keira sambil terisak pelan, “Maafin aku ya, Sayang. Aku ga bakalan ninggalin kamu kok, Winza. Aku bakalan tetep di samping kamu. Kamu lekas sembuh ya, Sayang.”