Rabu sore hampir selalu menjadi jadwal Winza melakukan terapi terkait ketergantungan obatnya. Berawal dari pengakuannya ke Joshua, Winza dikenalkan dengan teman dari temannya sepupunya itu yang memang memiliki pekerjaan di bagian rehabilitasi ketergantungan obat di lembaga resmi negara ini.
Winza sengaja meminta jadwal terakhir di hari tertentu agar tidak terlalu kelihatan, bahkan dia tidak pernah berangkat sendiri ke tempat terapinya.
Malamnya, seperti sebelum-sebelumnya, Winza akan menghabiskan waktunya berbaring di pangkuan Keira setelah makan malam karena rasa pusing yang akan menderanya.
“Masih agak pusing?” tanya Keira setelah memijat pelipis Winza
“Uda agak mendingan sih dibanding yang pertama kali.”
“Kamu sampe muntah-muntah terus, semaleman mual gabisa tidur.”
“Untung uda agak terbiasa,” Winza tersenyum. Dia bangkit dari duduknya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa.
Gestur itu entah kenapa cukup hangat bagi Keira, dia tidak tahan untuk sekedar menyelipkan poni Winza ke belakang telinganya dan mengelus pipi gembulnya pelan. Sungguh, Keira selalu melihat kedamaian di saat Winza seperti ini.
“Winza,” panggil Keira pelan, “Aku mau ngomong.”
“Iya.”
“Kita ini, apa?”
Winza terkekeh pelan sebelum meraih tangan kiri Keira dan menggenggamnya, “Kamu maunya gimana? Aku ikut kamu. Kamu uda siap buat buka hatimu? Kamu uda siap buat menjalani hubungan lagi setelah sebelumnya?”
Rentetan pertanyaan Winza membuat Keira terdiam. Memang benar, apakah dirinya siap? Apakah dirinya sudah sepenuhnya percaya kepada Winza?
“Lagian kita itu lucu, enggak pernah ada proses pdkt tiba-tiba begini,” Winza terkekeh lagi, “Unik.”
“Ya kan kamu, langsung diserang aja orang,” Keira mendengus, mengingat pertemuan pertama mereka di apartemen Keira
“Kamu ga nolak juga kan?” Winza kembali menggenggam tangan Keiza
“Yaa, you made me forget,” jawab Keira lagi, “So, tell me about you?”
“Jadinya kita saling mengenal nih?” Winza sedikit tergelak dengan ide yang diberikan oleh Keira
“Kita bisa jadi sumber bahagia satu sama lain, tapi harus tetep tahu dong aslinya gimana,” Keira menanggapi celotehan Winza dengan menepuk punggung tangan wanita di depannya itu, “Terutama, why did you use those drugs?”
Winza kembali terkekeh, berbicara dengan Keira baik langsung maupun melalui chat selalu memberikan banyak kejutan
“Aku butuh pengalihan,” jawab Winza memulai penjelasannya, “Mama sama Bundaku bukan tipe orang tua yang normal? Mereka itu settingan sampe sekarang. Memang semua terlihat normal, tapi rasanya aku ga pernah dapet kasih sayang sepenuhnya dari mereka berdua. Toh mereka berdua sendiri emang ga saling mencintai.”
Alis Keira bertaut, sebuah fakta yang mencengangkan karena beberapa kali dia melihat Tara dan Jesselyn hadir dalam acara perusahaan. Menurut Keira, mereka terlihat normal.
“Keduanya dijodohin. Dan entah kesepakatan apa yang mereka buat, intinya mereka hidup masing-masing, toh emang itu tujuan mereka. Sepertinya punya anak satu pun syarat, agar terlihat seperti keluarga pada umumnya,” Winza menghela nafas panjang, “Emang sih ada para maid dan sopir, tapi tetep aja kurang.”
“Kamu masih punya teman-temanmu, kan?” Keira mengelus rambut Winza lagi, membuat wanita itu tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
“Waktu SMP, aku ketemu Reta yang jadi pacarnya Juwita. Dia bukan dari keluarga berada, ayahnya abusif sampe bikin ibunya meninggal. Untung aja Reta tinggal sama Nenek dan Omnya, jadi ketika ayahnya masuk penjara, Reta ga harus sendirian. Omnya uda nikah pun tinggal di deket rumah Reta sama neneknya sekarang masihan. SMA aku ketemu Mario sama Eugene. Mario anak adopsi dari pasangan lelaki, dia dan kakaknya diadopsi dari gereja yang sama. Waktu masuk SMA, kedua ortunya meninggal kecelakaan, mewariskan semua harta kepada Mario sama kakaknya. Kedua orang tua mereka dulunya pengusaha toko kelontong lumayan besar, makanya sekarang Mario pegang bagian stok di klub. Kalo Eugene, dia cuma punya ayah soalnya ibunya pergi selingkuh. Ayahnya sempet depresi gamau kerja sampe Eugene waktu SMA ambil part time banyak banget soalnya dia anak pertama dan dua adiknya butuh uang untuk makan dan sekolah. Ketemunya lucu, dia ambil part time di salah satu toko kelontongnya Mario sebagai delivery, trus saking capeknya dia nabrak Reta sama aku yang jalan pulang. Mana itu dia bawa telur, jadilah aku sama Reta berlumuran telur yang uda pecah. Lalu Mario keluar tuh, kaget kita bertiga intinya. Abis itu aku ajakin ngobrol berempat dan minta maaf soal telurnya itu, akhirnya malah kita deket.”
Keira tersenyum lagi, cerita itu terdengar hangat.
“Tapi senengku ga bertahan lama. Lulus SMA, Bunda minta aku kuliah di Australia dan aku gabisa nolak. Di situlah aku mulai make, stress banget Kei. Jauh dari temen-temen, jauh dari siapapun yang aku kenal.”
Keira beringsut mendekat dan memeluk tubuh Winza. Pelukan yang lembut membuat Winza menghela nafas dan sedikit rileks dalam pelukan wanita di depannya.
“Pelan-pelan, ditinggalin ya, Winza?”
“Iya, Kei,” Winza menarik tubuhnya dari pelukan Keira dan tersenyum, “Then, tell me about you?”
Keira tertawa kecil karena wajah Winza yang terlihat excited menunggu ceritanya.
“Sedikit biasa dibandingkan kamu,” Keira dengan usil mencubit pelan kedua pipi Winza, membuat wanita di depannya mengaduh pelan, “Aku dari kecil di Surabaya, kuliah pun di Surabaya sampai dapet kerjaan di BnE cabang sana.”
Winza mengangguk pelan
“Gisella temenku SMA sampe kuliah walaupun beda jurusan, kita masih sering kontakan sampai sama-sama keterima di BnE, dia di pusat aku di sana kan. Kalo Ningtyas sama Mika, ketemunya di sini. Gada cerita lucu sih kalo soal temen,” Keira tertawa kecil sebelum melanjutkannya, “Saat masuk kuliah, Ayah Ibuku cerai. Ibuku selingkuh, Win.”
Winza mengusap lengan atas Keira, seakan memberikan penghiburan dari cerita sedih Keira barusan.
“Makanya aku benci banget sama perselingkuhan. Marsya bisa dibilang satu-satunya pacarku dan ternyata berakhir aku diselingkuhin,” Keira mengepalkan tangannya menahan amarah. Winza yang melihat itu berusaha melepaskan kepalan tangan Keira dan menyelipkan jari-jarinya sebelum menggenggan erat tangannya.
“Gapapa benci aja sama dia,” Winza terkekeh pelan
“Semenjak ada kamu, suara-suara berisik di kepalaku uda mulai hilang. Perasaan berat soal dikhianati uda berangsur pergi.”
Winza tersenyum lebar mendengar pengakuan Keira
“Tapi aku dulu benci banget tauk sama kamu,” Keira mendengus kesal, “Arogan banget jadi orang.”
“Loh, aku yang benci kamu duluan,” Winza tergelak, “Kamu tuh kesayangan Bundaku, sering dijadikan contoh pegawai teladan.”
“Trus, sekarang kok ga benci?”
Winza menatap lurus ke arah mata Keira, menyiratkan perasaannya.
“Karena aku gamau benci ke orang yang bikin aku punya alesan buat bertahan hidup, Keira.”