wqwqwq12

Ketukan pelan di pintu ruangannya membuat Winza menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Gisella sudah di sini, kata Juwita ketika membuka pintu. Winza memberikan anggukan dan Juwita mempersilakan Gisella masuk ke dalam ruangan manajer humas itu.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Gisella ketika Winza sudah duduk di kursi tamu di ruangannya setelah Juwita menyajikan teh untuk dirinya dan Winza.

“Saya mau minta maaf,” kata Winza, sedikit canggung di mata Gisella yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan Winza.

“Ah iya, saya juga,” Gisella menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tidak menyangka dia akan dipanggil karena Winza ingin minta maaf, entah minta maaf karena apa.

“Saya serius dengan Keira, saya tidak main-main,” jelas Winza selanjutnya, “Sorry if you should find out our relationship just like that. I didn’t mean, so did Keira.”

“Pada dasarnya saya tidak mempermasalahkan siapa yang akan menjadi pasangan Keira selanjutnya,” Gisella menanggapi, “Namun anda tahu sendiri bahwa Keira barusan mengalami banyak hal termasuk percobaan bunuh diri. Begitu saya melihat anda keluar dari tempat rehab, entah kenapa otak saya memang langsung berpikiran buruk. Both Ningtyas and Mika didn’t know the fact because Keira didn’t say anything and I’m not sure about my theory itself.”

“Maybe your theory is right,” Winza mengambil gelas teh di depannya dan meminumnya pelan, “I’m a fucking junkie like you said before.”

“I see.”

“But Keira helped me,” Winza tersenyum

“She told us about that,” kata Gisella, “Also, she wanted to know about your opinion regarding her choice later then.”

“Soal adopsi anak?”

“Yep, or maybe other problems,” Gisella meletakkan gelas tehnya, “Saya yakin sebenarnya masalah kalian adalah soal komunikasi. But still, please try to stand on other feet to see her perspective. You know her still struggling with her mental issue yet she tried her best to be with you. She only needs time, Bu Winza.”

“And I need her,” kata Winza

“We all know that,” Gisella sedikit tergelak, “You can check on her, maybe she will reply your message within times.”

“Thank you, I guess?” Winza menaikkan alisnya sambil tersenyum, “You can tell both Mika and Ningtyas about me. Saya lagi proses rehab and I hope it will be done very soon.”

“Good luck about that.”

Winza menenggak minuman di gelasnya dengan cepat, membuat teman-temannya berdecak heran.

“Banyakin belajar sama Joshua tuh, LDR awet,” Mario menunjuk Joshua yang duduk di seberang Winza. Yang ditunjuk hanya bisa tertawa karena sepupunya terlihat sangat kacau.

“LDR mah kalo uda resmi, ini kan kagak,” Reta menyalakan rokoknya sambil ketawa

“Masih banyak jalan yang ditempuh dia, belom ngomong ke nyokapnya juga,” Joshua terkekeh sebelum meminum vodka yang disediakan, “Good luck kata gue.”

“Berat banget bos emang perjalanan cintamu,” Eugene menepuk bahu Winza yang mulai melorot, “Nih soju bomb biar segeran dikit.”

“Makin mabok yang ada, mau juga dong,” Mario meminta barista andalan mereka untuk membuatkan kombinasi minuman yang simpel itu

“Tapi lo abis deket sama Keira gapernah hook up lagi,” kata Reta, “Tu kemaren ada yang nanyain.”

“Ngapain, sama Keira uda cukup gue,” Winza mengusap wajahnya kasar

“Ni maksudnya cukup di ranjang apa cukup semuanya?” goda Eugene, membuat Mario dan Joshua tergelak

“Yeh pertanyaannya,” Winza memukul bahu Eugene keras, “Cukup semuanya. Gue bener-bener ngerasa punya pasangan yang ngertiin gue luar dalem. Keira ngerti gue mau apa bahkan sebelum gue ngomong.”

“Sedalem itu ya?” Mario menaikkan satu alisnya, “Gue baru liat versi lo yang kaya gini.”

“Gue aja kaget dia cerita pertama kali, kaya bukan Winza cuy,” tambah Joshua bersemangat, “Ada bagusnya lo uda punya tambatan hati sekarang.”

“Masalahnya Keira bakalan stay saya gue ga abis kejadian meninggalnya Marsya kemarin?” Winza mengacak rambutnya dengan kesal, “Gue berusaha ga mikirin itu tapi tetep aja kepikiran.”

“Tahan dulu, Keira paling juga lagi nenangin dirinya,” kata Eugene, “Lo gausa grusa-grusu, gue yakin kalian berdua bakalan dapet jawaban yang paling sesuai ya kan?”

“Ada kemungkinan gede anaknya bakalan diambil keluarganya Raymond kok, toh dia bapaknya walaupun secara hukum belum,” Joshua menjelaskan, “Dan soal Keira mau adopsi, gue rada yakin kalo itu impulsif aja, bukan karena dia uda mikir mateng-mateng.”

“Gue juga berharapnya gitu sih,” kata Winza sambil melihat langit-langit ruangan, “Gue ga nyangka dapet dinamika kaya gini soal cinta.”

“Tu karma kali, suka mainin cewek sih,” tuduh Reta sambil terbahak sampai Winza melemparkan kentang goreng ke arahnya.

Pesan dari Joshua benar-benar membuat Winza panik setengah mati. Dirinya memacu mobil dengan sangat kencang, menekan klakson berkali-kali seperti kesetanan. Untung saja Winza selamat sampai tiba di apartemennya.

Tujuan utamanya adalah unit Keira. Perasaan tidak enak terus menghantuinya. Perasaan bahwa Keira mungkin sedang tidak baik-baik saja.

Benar saja. Winza menemukan Keira di dapur dengan telapak tangannya mengucurkan darah segar. Tangan kanannya menggenggam pisau dapur.

“Keira!” Winza langsung menggenggam tangan kanan Keira dan melepaskan pisau dari genggamannya. Sekilas Winza melirik handphone Keira yang terletak di meja dapur, sepertinya barusan ada pesan.

“Winza.... Winza...” Keira tersadar ketika Winza mengambil setumpuk kasa steril untuk menahan pendarahan di telapak tangannya.

“Ayo ke rumah sakit,” kata Winza cepat.

****

Perjalanan ke rumah sakit maupun dari rumah sakit pulang ke apartemen, keduanya hanya diam. Winza berkonsentrasi menyetir, Keira hanya diam memandangi tangannya. Dokter di rumah sakit menyebutkan bahwa mereka datang tepat waktu, tidak melewati golden hour sehingga bisa dijahit dengan normal.

“Bayinya masih hidup,” kata Keira ketika mereka tiba di unit apartemen Keira. Winza hanya duduk memperhatikan Keira yang masih menunduk, menolak melihat matanya.

Winza menghela nafas panjang, “Tidur, Kei. Kamu butuh banyak istirahat.”

“Besok pemakamannya Marsya,” bisik Keira

“Perlu aku temeni?”

“Enggak,” Keira menjawab dengan cepat, “Maksudku gausah, aku... bisa ke sana sama yang lain.”

Winza memejamkan matanya dan menghela nafas lagi. Dia berdiri dan mendekati Keira yang masih diduk.

“Iya. Kalo itu maumu, gapapa,” Winza mengecup puncak kepala Keira sebelum berbalik dan meninggalkan sosok yang selalu memenuhi hatinya selama beberapa bulan terakhir ini.

Punggung Winza terlihat lemas, tidak seperti biasanya yang terlihat tegas.

Keira berharap Winza tidak merasa kalah dengan kekalutan yang terjadi sekarang.

Winza terlihat cukup clingy seharian ini. Terbukti Keira sedikit kewalahan menanggapi permintaan Winza.

Walaupun demikian, Keira menuruti semua permintaan Winza sampai malam.

“Emang di sana kerjaan banyak?” tanya Keira ketika Winza menyandarkan kepalanya ke bahu Keira dan memeluknya dari samping.

“Enggak, justru bikin capek karena kerjaan dikit.”

“Dih sombong,” Keira menyentil hidung mancung milik Winza.

Obrolan mereka berjalan sekitar 30 menit sampai ada suara bel berbunyi

“Kamu ada pesen sesuatu?” tanya Winza heran

“Enggak kok, siapa ya?” Keira berdiri dan membuka kamera yang menunjukkan ke pintu akses di lobby yang terletak di lantainya menunjukkan bahwa Gisella dan Ningtyas sudah ada di gedung apartemenya.

“Kei, lo di rumah kan? Gue mau ambil barang gue ketinggalan,” kata Gisella melalui transceiver

“Eh Gis, gabisa besok aja gue bawain ke kantor aja,” jawab Keira terbata

“Lah, gue uda di sini nih. Lo tadi ga jawab chat gue kirain ketiduran. Gue tekan bel rumah lo nyaut, sorry ganggu lo tidur ya?”

“Enggak sih. Yauda naik aja,” Keira memencet tombol kunci rumahnya dan menoleh ke Winza yang masing bingung.

“Sorry Kei gue ganggu malem-malem, soalnya notes gue yang ketingg...” suara Gisella tertahan melihat sosok Winza yang berdiri di tengah ruangan, “Oh, jadi dia yang bikin lo sering ngilang?”

“Gis, gue bisa jelasin,” Keira menahan Gisella yang melangkah maju mendekati Winza

“Gue uda firasat lo nyembunyiin seseorang, tapi gue ga nyangka dia orangnya,” Gisella menunjuk wajah Winza dengan penuh emosi.

“Kenapa dengan gue?” tanya Winza dengan dingin

“Lo? A fucking junkie?!” Gisella memicingkan matanya pada Winza, “Gausa sok bingung gitu. Gue tau karena gue pernah jemput kerja sepupu gue dan liat lo keluar dari ruang rehab.”

Winza mengepalkan tangannya menahan amarah

“Dan lo, Keira Agatha, gue selalu nganggep kita temen deket sampai lo ngelakuin sesuatu dan nyembunyiin ini semua dari gue,” suara Gisella bergetar karena amarah, “Gue... gue jujur kecewa sama lo, Kei.”

Gisella menggandeng tangan Ningtyas yang daritadi hanya bisa terdiam karena shock. Dengan membanting pintu, Gisella meninggalkan Keira yang terduduk dan menangis tersedu-sedu.

Rabu sore hampir selalu menjadi jadwal Winza melakukan terapi terkait ketergantungan obatnya. Berawal dari pengakuannya ke Joshua, Winza dikenalkan dengan teman dari temannya sepupunya itu yang memang memiliki pekerjaan di bagian rehabilitasi ketergantungan obat di lembaga resmi negara ini.

Winza sengaja meminta jadwal terakhir di hari tertentu agar tidak terlalu kelihatan, bahkan dia tidak pernah berangkat sendiri ke tempat terapinya.

Malamnya, seperti sebelum-sebelumnya, Winza akan menghabiskan waktunya berbaring di pangkuan Keira setelah makan malam karena rasa pusing yang akan menderanya.

“Masih agak pusing?” tanya Keira setelah memijat pelipis Winza

“Uda agak mendingan sih dibanding yang pertama kali.”

“Kamu sampe muntah-muntah terus, semaleman mual gabisa tidur.”

“Untung uda agak terbiasa,” Winza tersenyum. Dia bangkit dari duduknya dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa.

Gestur itu entah kenapa cukup hangat bagi Keira, dia tidak tahan untuk sekedar menyelipkan poni Winza ke belakang telinganya dan mengelus pipi gembulnya pelan. Sungguh, Keira selalu melihat kedamaian di saat Winza seperti ini.

“Winza,” panggil Keira pelan, “Aku mau ngomong.”

“Iya.”

“Kita ini, apa?”

Winza terkekeh pelan sebelum meraih tangan kiri Keira dan menggenggamnya, “Kamu maunya gimana? Aku ikut kamu. Kamu uda siap buat buka hatimu? Kamu uda siap buat menjalani hubungan lagi setelah sebelumnya?”

Rentetan pertanyaan Winza membuat Keira terdiam. Memang benar, apakah dirinya siap? Apakah dirinya sudah sepenuhnya percaya kepada Winza?

“Lagian kita itu lucu, enggak pernah ada proses pdkt tiba-tiba begini,” Winza terkekeh lagi, “Unik.”

“Ya kan kamu, langsung diserang aja orang,” Keira mendengus, mengingat pertemuan pertama mereka di apartemen Keira

“Kamu ga nolak juga kan?” Winza kembali menggenggam tangan Keiza

“Yaa, you made me forget,” jawab Keira lagi, “So, tell me about you?”

“Jadinya kita saling mengenal nih?” Winza sedikit tergelak dengan ide yang diberikan oleh Keira

“Kita bisa jadi sumber bahagia satu sama lain, tapi harus tetep tahu dong aslinya gimana,” Keira menanggapi celotehan Winza dengan menepuk punggung tangan wanita di depannya itu, “Terutama, why did you use those drugs?”

Winza kembali terkekeh, berbicara dengan Keira baik langsung maupun melalui chat selalu memberikan banyak kejutan

“Aku butuh pengalihan,” jawab Winza memulai penjelasannya, “Mama sama Bundaku bukan tipe orang tua yang normal? Mereka itu settingan sampe sekarang. Memang semua terlihat normal, tapi rasanya aku ga pernah dapet kasih sayang sepenuhnya dari mereka berdua. Toh mereka berdua sendiri emang ga saling mencintai.”

Alis Keira bertaut, sebuah fakta yang mencengangkan karena beberapa kali dia melihat Tara dan Jesselyn hadir dalam acara perusahaan. Menurut Keira, mereka terlihat normal.

“Keduanya dijodohin. Dan entah kesepakatan apa yang mereka buat, intinya mereka hidup masing-masing, toh emang itu tujuan mereka. Sepertinya punya anak satu pun syarat, agar terlihat seperti keluarga pada umumnya,” Winza menghela nafas panjang, “Emang sih ada para maid dan sopir, tapi tetep aja kurang.”

“Kamu masih punya teman-temanmu, kan?” Keira mengelus rambut Winza lagi, membuat wanita itu tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.

“Waktu SMP, aku ketemu Reta yang jadi pacarnya Juwita. Dia bukan dari keluarga berada, ayahnya abusif sampe bikin ibunya meninggal. Untung aja Reta tinggal sama Nenek dan Omnya, jadi ketika ayahnya masuk penjara, Reta ga harus sendirian. Omnya uda nikah pun tinggal di deket rumah Reta sama neneknya sekarang masihan. SMA aku ketemu Mario sama Eugene. Mario anak adopsi dari pasangan lelaki, dia dan kakaknya diadopsi dari gereja yang sama. Waktu masuk SMA, kedua ortunya meninggal kecelakaan, mewariskan semua harta kepada Mario sama kakaknya. Kedua orang tua mereka dulunya pengusaha toko kelontong lumayan besar, makanya sekarang Mario pegang bagian stok di klub. Kalo Eugene, dia cuma punya ayah soalnya ibunya pergi selingkuh. Ayahnya sempet depresi gamau kerja sampe Eugene waktu SMA ambil part time banyak banget soalnya dia anak pertama dan dua adiknya butuh uang untuk makan dan sekolah. Ketemunya lucu, dia ambil part time di salah satu toko kelontongnya Mario sebagai delivery, trus saking capeknya dia nabrak Reta sama aku yang jalan pulang. Mana itu dia bawa telur, jadilah aku sama Reta berlumuran telur yang uda pecah. Lalu Mario keluar tuh, kaget kita bertiga intinya. Abis itu aku ajakin ngobrol berempat dan minta maaf soal telurnya itu, akhirnya malah kita deket.”

Keira tersenyum lagi, cerita itu terdengar hangat.

“Tapi senengku ga bertahan lama. Lulus SMA, Bunda minta aku kuliah di Australia dan aku gabisa nolak. Di situlah aku mulai make, stress banget Kei. Jauh dari temen-temen, jauh dari siapapun yang aku kenal.”

Keira beringsut mendekat dan memeluk tubuh Winza. Pelukan yang lembut membuat Winza menghela nafas dan sedikit rileks dalam pelukan wanita di depannya.

“Pelan-pelan, ditinggalin ya, Winza?”

“Iya, Kei,” Winza menarik tubuhnya dari pelukan Keira dan tersenyum, “Then, tell me about you?”

Keira tertawa kecil karena wajah Winza yang terlihat excited menunggu ceritanya.

“Sedikit biasa dibandingkan kamu,” Keira dengan usil mencubit pelan kedua pipi Winza, membuat wanita di depannya mengaduh pelan, “Aku dari kecil di Surabaya, kuliah pun di Surabaya sampai dapet kerjaan di BnE cabang sana.”

Winza mengangguk pelan

“Gisella temenku SMA sampe kuliah walaupun beda jurusan, kita masih sering kontakan sampai sama-sama keterima di BnE, dia di pusat aku di sana kan. Kalo Ningtyas sama Mika, ketemunya di sini. Gada cerita lucu sih kalo soal temen,” Keira tertawa kecil sebelum melanjutkannya, “Saat masuk kuliah, Ayah Ibuku cerai. Ibuku selingkuh, Win.”

Winza mengusap lengan atas Keira, seakan memberikan penghiburan dari cerita sedih Keira barusan.

“Makanya aku benci banget sama perselingkuhan. Marsya bisa dibilang satu-satunya pacarku dan ternyata berakhir aku diselingkuhin,” Keira mengepalkan tangannya menahan amarah. Winza yang melihat itu berusaha melepaskan kepalan tangan Keira dan menyelipkan jari-jarinya sebelum menggenggan erat tangannya.

“Gapapa benci aja sama dia,” Winza terkekeh pelan

“Semenjak ada kamu, suara-suara berisik di kepalaku uda mulai hilang. Perasaan berat soal dikhianati uda berangsur pergi.”

Winza tersenyum lebar mendengar pengakuan Keira

“Tapi aku dulu benci banget tauk sama kamu,” Keira mendengus kesal, “Arogan banget jadi orang.”

“Loh, aku yang benci kamu duluan,” Winza tergelak, “Kamu tuh kesayangan Bundaku, sering dijadikan contoh pegawai teladan.”

“Trus, sekarang kok ga benci?”

Winza menatap lurus ke arah mata Keira, menyiratkan perasaannya.

“Karena aku gamau benci ke orang yang bikin aku punya alesan buat bertahan hidup, Keira.”

“Permisi, Bu Keira,” Jordan mengetok pintu ruangan Keira sebelum masuk ke dalam, “Ada tamu.”

“Siapa?”

“Bu Winza.”

“Oh, oke,” Keira mengangguk dan Jordan mempersilakan wanita berambut pendek itu masuk ke dalam ruangan. Keira menghela nafas sejenak sebelum bergabung dengan wanita itu di sofa yang terletak di depan mejanya.

“Kamu emang gada kerjaan?” tanya Keira malas. Sejujurnya dia masih sedikit kesal dengan tanggapan dari Winza di chat tadi.

“Banyak,” Winza menyandarkan punggungnya dan memandang Keira, “Tapi ya itu, kalo ada sesuatu yang ngganjel kan gabisa bikin konsen. Harus diselesein satu-satu dulu.

Keira mengehela nafas lagi. Dia tahu persis Winza adalah tipe orang yang tidak suka mendapat gangguan ketika mengerjakan sesuatu. Semuanya harus stay on the track sampai selesai baru dia bisa memikirkan yang lain.

Lagian kenapa gue kaya ngambek sama dia ya tadi? tanya Keira dalam hati.

“Aku minta maaf,” kata Winza memecah keheningan, “Aku ga peka.”

“Oh, sadar.”

“Keira...”

“Iya iya, maaf aku juga kekanakan. Harusnya aku gausah kesel gitu, toh itu urusanmu.”

“Urusan kamu juga,” Winza mengubah duduknya menjadi sedikit tegak, “Maaf.”

“Iya dimaafin,” Keira mengibaskan tangannya, “Jadi gimana? Tadi tu sarapan paling menegangkan yang pernah aku rasain tauk.”

Winza terkekeh pelan, “Mama langsung tidur abis sarapan. Pastinya dia punya banyak pertanyaan tapi she is considerate of our time juga, makanya dia ga nanyain apa-apa. Palingan abis beliau bangun baru nanya.”

“Is it okay?”

“Mama sih, nyantai aja. Dia uda terlalu sibuk di rumah sakit buat sekedar mikirin aku dan mungkin mikirin bundaku,” Winza terkekeh pelan, namun Keira bisa melihat kegetiran di nada suara lawan bicaranya itu.

“Tapi,” Winza bangkit dari duduknya, “We can keep this as usual. No worry selama bukan sama Bunda.”

Keira sedikit menghela nafas

“Buat sekarang. Nanti-nanti, kita bahas ga harus sekarang kan,” Winza menepuk pelan kepala Keira, “See you.”

Sebenarnya Keira tidak punya alasan untuk menahan Gisella mau menginap di apartemennya. Hanya saja, Keira masih belum siap jika Gisella harus melihat Winza di apartemennya.

Karena seperti sekarang, wanita itu sedang merebahkan dirinya di sofa ruang tengah Keira sambil bermain Nitendo Switchnya. Di sisi lain, Keira sedang mengerjakan lemburnya sambil duduk di lantai yang berkarpet sambil sesekali menyandarkan punggungnya ke sofa.

“Emang masih banyak?” tanya Winza yang barusan meletakkan Nitendonya di dekat laptop Keira. Wanita itu terlihat sedang mengecek kesesuaian data dari berkas yang ada di laptop dan dokumen yang dia pegang.

“Lumayan,” jawab Keira tanpa menoleh ke arah Winza

“Yauda semangat ya,” Winza mengacak pelan rambut Keira sebelum kembali berbaring, “Bukan soal hitungan atau narasi di depak publik, maaf gabisa bantu.”

Keira menoleh ke belakang melihat Winza yang menyandarkan kepalanya di lengan sofa. Senyuman kecil muncul dari bibir Keira melihat pandangan bersalah dari mata Winza

“Gapapa kali, kan emang aku yang lemburan, bukan kamu.”

“Tapi kejeda soalnya kamu masak dulu.”

“Aku kan juga ikut makan,” Keira berdiri dan meluruskan kakinya yang sedikit pegal. Baru saja akan kembali duduk, Winza lebih cepat menarik Keira sehingga wanita itu jatuh ke pelukan Winza.

“Dih apaan sih,” Keira memukul pelan bahu Winza, tapj membiarkan lengan Winza melingkari tubuhnya dengan erat

“Dah tidur aja, lanjut besok kerjanya,” kata Winza sambil mengelus rambut panjang Keira

“Ngawur, besok uda diminta Bu Prita ini.”

“Ya nanti aku yang bilang ke Bu Prita.”

“Mau bilang apa?”

“Bu Prita, Keira jangan dikasi kerjaan terus. Nih rambutnya uda banyak yang memutih,” canda Winza sambil menarik beberapa helai rambut Keira

“Masak sih?” Keira langsung terbangun dan mengecek rambut yang tadinya dipegang Winza

“Bercanda elah,” Winza terkekeh, “Tapi kalo uda memutih pun kayaknya kamu tetep cantik ga sih?”

“Heleh gombal. Uda berapa wanita yang kamu gituin?” Keira memutar bola matanya malas

“Ga keitung sih ya.”

“Makanya ga mempan ke aku,” Keira kembali mengerjakan pekerjaannya

“Yauda next time aku bikin gombalan yang buat kamu aja.”

“Yaa, good luck then.”

“Kamu kalo mainan hp terus aku pulang ya,” tegur Keira, nada bicaranya terdengar sangat kesal. Bagaimana tidak? Wanita yang memintanya datang dan memasak sarapan untuknya tiba-tiba mengabaikannya sejak dirinya mengobrol dengan sepupunya di dapur.

Keira tidak mau mengasumsikan bahwa Winza cemburu, hubungan mereka sepertinya belum sampai sana.

“Kamu tu ya,” Keira terus mengomel, “Kalo ada sesuatu diomongin langsung. Ga semua orang itu bisa nebak kamu mikirin apa. Ningtyas sering banget cerita kalo kamu bikin satu divisi bingung karena gajelas maunya apa. Kurangin kaya gitu Win, bikin orang lain pusing terus.”

Keira menoleh ke Winza yang memperhatikannya. Wanita berambut pendek itu sedikit membuka mulutnya, melongo lebih tepatnya. Beberapa kali juga dia mengedipkan mata, entah bingung atau bagaimana harus menanggapi omelan koleganya itu. Keira terdiam sebelum duduk di sebelah Winza dan menangkup pipinya dengan gemas. Yang ditangkup pipinya hanya bisa berteriak karena masih sedikit sakit walaupun Keira tidak terlalu kasar

“Emang kamu ada agenda lain?” tanya Winza setelah Keira menarik tangannya dari kedua pipinya

“Mau beres-beres apart.”

“Yauda ayo aku ikut.”

Keira hanya menggelengkan kepalanya ambil terkekeh. Ikut yang dimaksudkan oleh Winza adalah dirinya membersihkan apartemen seperti biasa dan Winza akan tiduran di sofa menunggunya selesai.

***

Tebakan Keira benar, walaupun beberapa kali Winza membantunya untuk mengambilkan barang, pada akhirnya wanita itu tertidur pulas di sofa Keira. Mungkin efek makan siang yang tadinya mereka pesan sebelum melanjutkan agenda bersih-bersih Keira.

Keira meletakkan sapunya di tempat biasa sembari melirik jam dinding. Sudah pukul 6 sore, langit memperlihatkan semburat senja tanda mala makan segera tiba. Keira duduk di atas meja rendah, mengamati wajah damai Winza yang selalu dia lihat ketika wanita itu tidur.

“Kamu juga berhak bahagia, Winza. Yuk kita cari kebahagiaan kita masing-masing, pasti bisa.”

“Apa kamu ga berharap kebahagiaan kita adalah kita sendiri?” tiba-tiba Winza membuka matanya, membuat Keira terkejut dan lututnya membentur pinggiran sofa

“Aduh…”

“Hati-hati, dong,” Winza mengusap lutut Keira pelan

“Kamu sih, kirain tidur,” Keira memutar bola matanya malas, membuat Winza terkekeh pelan

“Jadi?”

“We are too fragile to start with it,” Keira menghela nafas, “Both of us are the wrecked one.”

“Troubled people attracted each other, right?” canda Winza, “Pelan-pelan aja.”

“Iya bener, pelan-pelan aja.”

“Tapi,” Winza menatap lurus ke arah mata Keira, “Kalo bahagiaku kamu, semoga aku bisa jadi bahagiamu juga nantinya.”

“Uda gue bilang cari apart aja, tower sana tuh banyak kosong yang atas,” kata Winza sembari menunjuk tower yang terletak di seberang tower miliknya

“Susah, tau sendiri nyokap ga ngebolehin,” Joshua menggeleng sambil menenggak soda yang tadi dia beli

Malam Minggu ini dua sepupu tersebut menghabiskan waktu. Winza bahkan membiarkan tv besarnya memutar saluran berita sambil dia mengobrol dengan Joshua. Topik mereka tidak jauh-jauh dari saling mengeluh; toh keduanya punya masalah sama yaitu keluarga besar yang selalu menuntut.

“Mathius masih sering nangis sendiri ga tuh?” Winza menanyakan kakak sepupunya yang lain

“Tauk, abang gue tuh makin pendiem abis dia ketauan burn out tahun lalu. Males kena omel nyokap bokap kali ya.”

“Ada bagusnya kan? Gara-gara kejadian Mathius, Tante Bona ga sekeras itu sama lo.”

“Ya tapi Yth. Bapak Yudha sama aja. Ya posisi Mathius sebenernya bikin gue kesiksa dikit sih,” Joshua mengendikkan bahunya, “Lo tau sendiri bokap pengen ada anaknya yang spesialis bedah onkologi dan Mathius lagi otw ke situ. Tapi kayaknya bokap sendiri ga yakin Mathius bisa ideal seperti mau bokap gue.”

“Lha lo gapengen ambil spesialis ntar?”

“Gue pengen kaya Tante Tara, anestesi.”

Winza mengangguk mendengar nama mamanya disebut. Nusantara Putri Jati, mama Winza adalah dokter anestesi kardiotorasik di rumah sakit milik keluarga mereka. Tepatnya salah satu wakil direktur dimana ayah Joshua adalah direkturnya.

“Dokter anestesi gapernah di rumah,” Winza tertawa miris sambil membuka botol sojunya, “Sibuk.”

“Naturally, keluarga kita semua sibuk, Win,” Joshua meminta Winza menuangkan soju ke gelasnya, “Kalo ga sibuk jadi omongan.”

“Sibuk pun jadi omongan,” Winza tertawa lagi sambil melihat tv yang menayangkan berita di Afrika.

“Kaya gue sama Naren ya?” Joshua tergelak sambil menyebut nama kekasihnya

“Eh ya awet lo sama Narendra. Ldr padahal.”

“Jakarta Bogor mah deket. Ldr kita tu status sosial bangsat ini.”

“Tante Bona masih pengen lo mikir-mikir buat lanjut sama Naren?”

“Exactly,” Joshua meneguk sodanya untuk memberi rasa manis setelah meminum soju, “Gue berusaha ga ambil pusing-pusing banget lah, Win. Ngurusin kapan gue ambil spesialis aja uda ruwet.”

“Banyakin sabar emang.”

“Trus, pacar lo? Tante Jess sama Tante Tara setuju?” tanya Joshua tiba-tiba

“Gue gada pacar juga,” Winza menggeleng agak keras

“Bohong,” tuduh Joshua sambil tertawa, “Tuh ya, panci kuning pasti bukan punya elo. Dan mana ada lo makan masakan rumah? Siapa yang masakin woy. Trus juga nih, tempat lo rapi banget. Lo bukan orang yang suka gerak dan ngerapiin kalo weekend gini.”

“Masak sih?”

“Tambah lagi, lo dari tadi merhatiin layar hp lo kaya nungguin chat orang. Trus begitu ada chat, sumringah banget.”

“Gue belum bisa bilang ini pacar gue, yang jelas dia temen kantor gue.”

“Temen kantor yang literally pegawai atau... Lo ngerti maksud gue kan?”

Winza menghela nafas panjang sambil melihat ke langit malam Jakarta melalui jendela besar yang memisahkan balkon dan ruang tengahnya.

“Gue tau masalahnya dimana. Dan gue gatau caranya berhenti.”

“Nasib kita ada-ada aja emang,” Joshua menuangkan soju terakhir dari botol, “Gue ga nyesel dilahirin di dunia, toh kita gabisa milih siapa orang tua kita. Tinggal gimana aja kita bertahan.”

“Iya, lo bener.”

cw // mentioning of sex activities

Winza terbangun tiba-tiba di tengah tidurnya. Rasanya kepalanya pusing. Dia bermimpi sakau dan Keira datang untuk menolongnya. Bahkan wanita itu mengatakan pada Winza untuk memakai tubuhnya agar Winza berhenti menggunakan obat terlarang itu.

Sebuah mimpi yang indah Winza terkekeh pelan. Namun ketika dia ingin menggerakkan lengannya, ada beban di atasnya.

Winza sedikit terkesiap karena yang membebani lengannya adalah Keira.

Keira Agatha, tertidur dengan pulas sambil menggunakan lengan Winza sebagai bantalnya.

Selimut yang membungkus tubuh telanjang mereka berdua sedikit tertarik ke bawah, memperlihatkan bahu milik Keira. Dengan lampu temaram di kamar tidurnya, Winza bisa melihat tanda di bahu mulus Keira. Bukan tanda cinta atau bukti kepemilikan, tapi bekas gigitannya. Bekas gigitan penuh emosi untuk mengendalikan dirinya tadi. Bergeser sedikit, ada bekas cakaran dari jarinya tadi.

Semuanya terasa nyata. Ketika dia merasakan tubuh Keira di bawahnya, ketika dia mendengar Keira meneriakkan namanya, dan ketika dia merasakan hangat bibir Keira di tubuhnya.

Itu bukan mimpi, itu terjadi barusan.

Winza menggeser tubuhnya sehingga menghadap ke samping, memberikannya akses untuk mengamati wajah Keira.

Winza dulu hanya mendasarkan pada perasaan impulsif ketika lompat ke sungai dan menyelamatkan Keira, tanpa tahu itu siapa. Bahkan setelah tahu, Winza sebenarnya ingin membenci Keira. Wanita itu merupakan anak emas Bundanya di kantor, alasan mutlak kenapa Winza harus membencinya.

Namun, sepertinya Winza salah. Semakin dirinya mencari tahu mengenai Keira, justru dia tidak memiliki alasan untuk membencinya. Wanita itu hanya seorang pekerja keras. Winza beberapa kali menemui Keira berdiskusi dengan Pak Agus maupun Bu Prita terkait beberapa isu terutama masalah pencurian mobil boks barusan. Winza juga sering mendapati laporan bahwa Keira lembur sendiri karena memahami dan membuat analisis laporan butuh waktu yang lama.

Keira bukan Winza yang dianugerahi otak jenius, bisa mengingat sesuatu dengan tepat secara cepat dan juga bisa menyampaikan ulang secara verbatim. Tapi Keira benar-benar pekerja keras.

Sehingga dengan informasi dari Juwita, Winza menyimpulkan Keira memiliki masalah dengan pasangannya, atau mungkin mantannya, yang pernah tidak sengaja bertemu dengannya juga.

Apapun itu, perasaan ingin melindungi Keira dari rapuhnya dunia selalu muncul di hati Winza.

Dan wanita yang ingin dia lindungi justru datang padanya disaat dia berada di titik terbawah, menawarkan tubuhnya agar Winza melupakan obat terlarang yang selalu menjadi pelariannya selama ini.

“Kamu kok bangun?” tanya Keira. Tanpa sadar Winza mengelus kepalanya dan membuat Keira terbangun.

“Gapapa, aku pikir aku ngimpi,” jawab Winza, “Ternyata enggak.”

“Kirain kenapa,” Keira beringsut dan mendekat ke tubuh Winza. Reflek Winza melingkarkan lengannya dan memeluk tubuh ramping Keira.

“Selamat tidur, Winza,” bisik Keira di pelukan Winza, membuat wanita itu tersenyum dan mengecup puncak kepala Keira.

“Selamat tidur juga, Keira.”