wqwqwq12

tw // blood, withdrawal symptoms

Keinginan Keira untuk tidak memperdulikan Winza hanya bertahan sekitar 6 jam; buktinya sekarang dirinya sudah berdiri di depan pintu unit koleganya itu.

Kenapa? Bagaimana bisa?

Dua pertanyaan itu terus berputar di kepala Keira selagi tadi dirinya menekan tombol lift ke lantai teratas dari tower ini.

Tadi siang, Jordan mengatakan bahwa tidak seharusnya Keira terlalu dekat dengan Winza

Wanita itu terlalu menyeramkan untukmu, Keira

Keira masih ingat pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu ketika dia bertanya ulang mengenai kedekatannya dengan Winza.

Apa karena Winza adalah orang baru di hidup Keira sehingga membuatnya tidak teringat pada Marsya lagi? Bohong memang jika Keira mengatakan bahwa dia sudah melupakan Marsya sepenuhnya.

Gisella adalah teman lama Keira, Ningtyas dan Mikha merupakan teman barunya yang dia temui ketika mulai bekerja di BnE. Mereka bertiga pernah bertemu Marsya.

Mereka bertiga pernah berharap datang ke pernikahan Marsya dan Keira suatu saat nanti.

Lalu kenapa bukan Jordan?

Keira tidak tahu jawaban yang pasti, bahkan setelah dia membuka pintu depan unit Winza dan berlari mencari sosok wanita yang memenuhi pikirannya dua bulan terakhir ini.

Betapa terkejutnya Keira melihat Winza terkulai lemas di lantai kamar mandinya. Tubuhnya bergetar hebat dan darah terus mengucur dari hidungnya.

Keira tahu, Winza sedang mengalami sakau.

“Dimana?!” teriak Keira sambil memegang bahu Winza agar wanita itu tidak menggigil terus, “Dimana kamu taruh barangnya?”

“Enggak, enggak ada! Barangnya ga ada!” Winza berteriak dengan suaranya yang sudah serak

“Tapi kamu kaya gini, Win!” Keira balas berteriak

“Kamu... aku mau kamu...” Winza masih menggigil dan mengepalkan tanganya erat. Perlahan, dia meraih tubuh Keira yang berjongkok di sebelahnya.

“Jangan lepasin.... jangan pergi...” Winza masih terus meracau dengan gerakan yang sudah tidak terkontrol. Keira menarik tubuh Winza ke pelukannya dan membiarkan wanita itu mencakar punggungnya. Keira memakai kaos putih malam ini, membiarkan darah bercampur air liur Winza mengotori kaosnya.

Winza terus menggelinjang kesakitan, kakinya menendang-nendang ke arah tembok. Jika dibiarkan, sekali lagi Keira khawatir Winza akan melukai dirinya.

Keira sedikit berjengit ketika Winza mengigit bahunya untuk meredam giginya yang terus bergemerutuk. Di lain sisi, Keira terus memeluk Winza dengan erat, seolah tidak akan melepaskannya.

“Pake tubuhku, Win. Pake tubuhku buat ngehilangin rasa sakitmu ini,” bisik Keira pelan.

Waktu menunjukkan pukul 1 malam dan di sini, Keira berdiri di depan pintu unit milik Winza. Walaupun wanita itu sudah memberikan akses ke tempatnya, Keira belum pernah sekalipun masuk ke unit Winza. Winza lebih suka menghabiskan waktunya di tempat Keira sehingga wanita berambut hitam itu tidak memiliki alasan untuk ke unit Winza.

Suasana gelap menyambut Keira, dengan cepat dia mencari saklar lampu dan menyalakan lampu. Cahaya terang tersebut membuat sosok yang terbaring di sofa mengerang dan terbangun.

“Winza...” Keira sedikit terkejut. Pasalnya luka di wajah Winza jauh lebih parah dari Kevin.

Keira langsung duduk di samping Winza yang sudah bangun. Perlahan Keira mengamati luka-luka di wajah Winza dan melirik ke meja rendah di depannya.

“Tadi Reta beli dan sempet diobatin,” kata Winza sambil menyandarkan kepalanya di punggung sofa

“Gue obatin lagi ya? Ini juga harusnya diplester aja,” Keira menyentuh luka lecet di dekat bibir Winza

“Hmm.”

“Kamar lo yang mana? Ke kamar aja ya? Ntar ganti baju dulu, baru gue obatin.”

Winza menunjuk kamarnya dan Keira membantunya untuk berdiri. Setelah ganti baju, Winza kembali merebahkan diri sembari Keira mengobati luka-lukanya.

“Besok gausa masuk dulu ya? Lumayan Jumat jadi lo bisa istirahat sampe weekend.”

“Iya,” jawab Winza pelan, “Perih...”

“Sorry,” Keira meniup bekas betadine yang barusan dia oleskan ke luka di pipi Winza, “Sekarang tidur ya?”

“Lo mau balik?”

“Ada adek gue soalnya.”

“Oh, yauda,” Winza membalikkan badannya, Keira tahu wanita itu sedang marah

“Lo mau gue di sini?” tanya Keira pelan

“Terserah elo aja.”

Keira hanya tersenyum simpul sebelum menarik selimut dan menyelimuti Winza. Dia membaringkan tubuh di sebelah koleganya itu dan mengucapkan selamat tidur sebelum tertidur pulas.

Tanpa Keira tahu, Winza tersenyum lebar sekali.

“Bu Winza...” suara yang sedikit familiar menghentikan obrolan Winza dengan ketiga temannya

“Ya? Oh, Kevin,” Winza mengenali bawahannya. Anggota divisi media di kantor.

“Saya bisa bicara sebentar?”

“Boleh. Mau di luar aja? Di sini agak berisik.”

Kevin mengangguk dan mengikuti langkah Winza keluar ke lorong dekat pintu keluar.

“Ada apa?” Winza melipat tangannya sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok

“Apa maksud lo deketin kakak gue?” tanya Kevin kasar

Winza mengerutkan alisnya, lelaki yang tadinya sopan tiba-tiba berubah ketus di depannya

Apa dia tidak sadar bahwa dia sedang menghadapi bosnya?

“Gue deketin kakak lo? Ngasal.”

“Gausah boong, gue sering liat lo keluar masuk apartemen kakak gue. Gue liat ada bekas sayatan di tangannya. Lo parah banget sampe nyiksa kakak gue!” Kevin mendorong bahu Winza kasar

“Eh lo jangan nyolot ya anjing. Tanya kakak lo aja, kenapa lo malah nuduh gue?”

“Masih berusaha ngelak? Emang bener kata orang lo ni womanizer!” Kevin melayangkan pukulan keras ke rahang Winza. Cukup keras sampai membuat Winza menabrak tembok di belakangnya

“Bangsat,” Winza mengumpat pelan. Kepalanya berdenging efek menabrak tembok, “Bangsat lo!”

Kevin seperti kehilangan akal sehatnya, dia kembali melayangkan pukulan ke pipi Winza, bahkan sebelum Winza membalas, Kevin sudah memukul pipinya lagi

“Woy! Apa-apaan itu!” teriak salah satu satpam. Mereka langsung terkejut melihat bos mereka tersungkut dipukuli. Dengan cepat, dua satpam itu menarik Kevin dan sempat memberikan pukulan di rahang kiri lelaki itu.

“Stop, stop!” teriak Winza sambil menahan pusing, “Biarin dia pergi dan jangan kasih dia kembali ke tempat ini.”

Perang dingin? Gencatan senjata?

Keira selalu tertawa ketika mendengar desas-desus mengenai hubungannya dan Winza. Memang benar keduanya terlihat seperti musuh abadi di awal pertemuan. Namun kasus pencurian barang dan mobil boks justru menyatukan mereka.

Cukup ironis karena itu sempat membuat Keira tertekan karena sindiran Winza di rapat board pertama yang dia hadiri. Bahkan Pak Agus secara pribadi memanggilnya dan memberikan beberapa nasihat.

Walaupun demikian, ada banyak yang tidak diketahui oleh orang lain. Setelah kejadian Marsya yang memaksa bertemu Keira, Winza hampir setiap hari berada di apartemen Keira.

Alasannya mengerjakan laporan. Padahal selebihnya dia hanya tiduran di sofa dan menunggu Keira memasak makan malam. Kalau Keira tidak memasak, Winza akan mengajaknya makan di luar.

Tidak terasa dua bulan mereka melakukan aktivitas tersebut. Hasilnya memang terlihat bahwa keduanya berhasil menyelamatkan citra Blanc Eclare dengan laporan kasus yang sangat runut, bahkan media massa memuji kemampuan perusahaan tersebut dalam menangani publikasi miring sebelumnya.

Dan hasil dari dua bulan tersebut, Winza menyerahkan kunci unitnya pada Keira, begitu juga sebaliknya.

Walaupun demikian, Winza lebih suka menghabiskan waktu di apartemen Keira dibandingkan pulang ke unitnya Bahkan beberapa kali Winza yang membawa sprei dan selimut di unit Keira ke laundry.

Mereka terlihat seperti pasangan muda tapi tidak melakukan apa-apa. Terakhir mereka melakukan sex pada malam ketika Marsya datang. Selebihnya, mereka hanya menjalankan kehidupannya masing-masing.

Awalnya Keira bingung ketika sekretarisnya memberitahu bahwa manajer tim humas akan menemuinya terkait dengan laporan yang dia buat kemarin. Keira pikir akan ada rapat antar divisi, namun ternyata Winza datang ke ruangannya dan mengajaknya berdiskusi berdua.

Memang benar jika Winza menjadi manajer dengan cepat, Keira bisa merasakan kejeniusan anak itu terkait dengan strategi-strategi yang akan mereka lakukan terutama menghadapi board nantinya.

“Lo dengerin ga sih?” tanya Winza sambil memutar bola matanya malas

“Dengerin kok,” Keira menanggapi dengan santai, “Gue cuma kepikiran aja kalo ntar lo bakalan mojokin gue apa enggak.”

“Enggak lah,” Winza memalingkan mukanya sejenak, merasa malu dengan kelakuannya dulu.

“Ini ada data dari HRD,” Keira mengalihkan perhatian dari suasana canggung barusan, “Menurut mereka emang ada yang malsuin ID card selain malsuin truk milik perusahaan.”

“Uda dilaporin ke legal?”

“Udah, mungkin segera diproses.”

Winza mengangguk-angguk. Sepertinya masalah laporan beres.

“Permisi,” terdengar suara Jordan mengetuk pintu ruangan Keira

“Iya, ada apa?” tanya Keira

“Apakah mau saya pesankan makan siang?”

“Oh ya sudah waktunya ya,” Keira melirik jam tangannya, “Bu Winza mau makan apa?”

“Ga laper,” Winza mengendikkan bahunya cuek

“Walaupun gitu, uda waktunya makan siang. Kamu harus mengisi perutmu itu. Daritadi cuma minum kopi juga.”

“Kan emang ga laper.”

“Makan. Ayo sebutkan mau makan apa?”

“Maksa banget sih.”

“Kamu kalo ga dipaksa beneran ga makan nanti.”

Jordan hanya memandang dua manajer di depannya dengan bingung. Sejak kapan manajer humas yang terkenal ketus itu terlihat normal ketika berbicara dengan atasannya?

“Yauda mau katsu,” Winza melipat tangannya dan terlihat kesal, berbanding terbalik dengan Keira yang tersenyum lebar karena berhasil memaksa Winza makan

“Oke, tolong belikan rice bowl di tempat biasanya ya,” Keira mengangsurkan kartunya, “Kamu jangan lupa beli juga. Saya seperti biasa aja.”

“Baik, Bu,” Jordan tersenyum sebelum membalikkan badan dan pergi membeli makan siang

Suasana di meja makan kecil milik Keira cukup canggung. Winza hanya diam sambil menunggu Keira menyelesaikan masakannya dan menyajikan untuknya.

“Lo biasanya kalo makan disiapin ya?” tanya Keira setelah beberapa saat mereka diam. Keira sudah selesai masak, hanya saja Winza masih diam sambil melihat punggungnya.

“Eh iya, sorry. Dimana piringnya?” Winza berdiri dengan canggung

“Uda lo duduk aja,” Keira hanya terkekeh pelan dan mengambil piring di dekatnya. Tidak lupa mengambil botol air putih untuk ditaruh di meja.

“Gue hampir gapernah masak sendiri. Kalo di rumah ya... ada yang ngelayanin,” kata Winza sambil menerima piring berisikan nasi yang diambilkan Keira, “Sorry.”

“Nyantai aja.”

“Lo masak ginian pagi-pagi ga ribet?” tanya Winza heran ketika Keira membuka tutup panci kukusnya

“Ini cuma telur sama tahu trus gue kukus. Saus buat siramannya juga ga ribet,” Keira mengendikkan bahunya, “Udah makan aja. Keburu kesiangan kita.”

Winza hanya mengangguk dan mulai menikmati sarapan yang dibuat oleh Keira. Sedikit terkejut karena rasanya cukup enak menurutnya.

Sepertinya, pagi ini adalah pertama kalinya Winza dan Keira berbicara dengan normal, tanpa saling membentak ataupun menunjuk wajah lawan bicaranya.

cw // suicide attempts, implicitly mentioning of sex activity

Keira memijat lehernya pelan. Jam tangannya menunjukkan pukul 10 malam dan dia baru saja tiba di lobby apartemennya. Sebenarnya Keira membawa mobil pagi ini namun dia terlalu lelah untuk menyetir pulang sehingga memilih untuk menggunakan taksi online.

“Keira!” baru saja dia berjalan menuju lift, suara yang sangat familiar memanggilnya. Keira membeku, dia sangat mengenal suara itu

Marsya.

“Ini aku tadi masak,” Marsya mengangsurkan tas kain kepada Keira yang langsung diambil olehnya, “Baru aja mau aku titip ke resepsionis.”

“Mau apa kamu?” desis Keira pelan, berusaha menyembunyikan tubuhnya yang bergetar hebat

“Cuma mau kasi masakan favorit kamu aja.”

“Kamu...” Keira ingin marah, tapi tubuhnya bergetar hebat

“Kamu kenapa?” Marsya berusaha meraih tangan Keira namun ditepis oleh seseorang.

“Keira kecapekan,” ternyata itu Winza. Dirinya terlihat baru saja dari luar dengan baju santainya. Dengan cepat, dia memegang kedua bahu Keira untuk menenangkannya.

“Oh.. Kamu siapa?”

“Temen kantornya,” jawab Winza singkat, “Dah ya kita mau balik.”

Tanpa menunggu jawaban, Winza meraih tangan Keira dan membawanya pergi.

Tubuh Keira masih bergetar, maka dari itu Winza meletakkan lengannya melingkari pinggang Keira dan tangan lainnya memegang tangan Keira.

Begitu mereka tiba di unit Keira, gadis berambut panjang itu dengan keras membanting tas kain yang sedari tadi digenggamnya. Suara pecahan mangkok memenuhi ruangan, membuat Winza sedikit berjengit karena kaget. Tidak hanya itu, tiba-tiba Keira mengambil pecahan mangkok dan terlihat akan melukai tangannya sendiri.

“Woy!” beruntung Winza lebih cepat menepis tangan Keira sebelum gadis itu melukai tangannya. Khawatir jika teman sekantornya itu akan mengulangi perbuatannya, Winza langsung memeluknya dari belakang dan mengunci kedua tangan Keira.

“Lepasin... Gue mau mati aja...” Keira meraung-raung, namun kuncian tangan Winza lebih kuat sehingga dia tidak bisa melawan.

****

Keira terbangun tengah malam dengan keringat dingin. Mimpi buruk itu datang.

Namun kali ini dia merasa ada Winza di dalam mimpi itu. Ada Winza yang tiba-tiba menariknya dari kegelapan yang dia rasakan di dalam mimpi barusan.

Keira melirik tubuhnya; telanjang tanpa sehelai benangpun di bawah selimut.

Dia menoleh ke samping, Winza tertidur dengan mulut sedikit terbuka dan telapak tangannya nerada di dekat wajah Keira.

Perlahan, Keira menyentuh nadi Winza dengan jarinya; mendengarkan denyut nadi perlahan milik Winza

Entah kenapa, denyut nadi perlahan tersebut membuatnya mengantuk lagi. Membuatnya kembali tertidur dengan lebih tenang.

First time, maybe it was a mistake. But the second time? Did Keira really need it? Did Winza also enjoyed it?

cw // mentioning of kiss, harsh words

Ini adalah pertama kalinya Keira mengikuti rapat bersama jajaran direksi perusahaan. Beberapa kali memang dia bertemu dengan Jesselyn, Ibu dari Winza yang merekomendasikan dirinya dari kantor Surabaya.

Namun bertemu Jesselyn di tempat rapat bersama dengan direksi lain menjadi pengalaman pertama baginya.

“Mau minum, Kei?” bisik Jordan pelan ketika Keira sampai di kursinya

“Aman kok,” jawab Keira, “Ini Bu Winza belum dateng?”

“Belum, udah biasa,” kata Jordan pelan, mengingatkan Keira pada rapat kemarin ketika Winza juga terlambat.

Sekitar 10 menit, Winza akhirnya datang bersama dengan sekretarisnya. Setelah menyapa direksi, termasuk ibunya sendiri, Winza menuju tempat duduknya. Tanpa berlama-lama, CEO memberikan laporan perkembangan terkait dengan kasus kecelakaan mobil boks yang dibahas kemarin. Beberapa pertanyaan dijawab dengan baik oleh CEO dan sesekali COO membantunya.

“Lalu bagaimana strategi dari Humas untuk mengatasi ini?” salah satu direksi bertanya.

Pak Agus menoleh ke belakang dan Winza mengangguk pelan sebelum berdiri.

“Strategi dari tim Humas adalah dengan memberikan press release kepada media terkait upaya yang akan dilakukan,” Winza meminta operator menampilkan presentasinya, “Penekanan penjelasan dari kami adalah terkait bocornya sistem di divisi logistik, sehingga ada penyusup yang sedang diselidiki. Ditambah lagi, mobil boks sudah dikonfirmasi bukan milik kantor.”

“Lalu apa yang akan dilakukan jika ada pertanyaan terkait kebocoran itu?”

“Sedang diselidiki, apabila memang ada, sudah seharusnya tim produksi yang bertanggung jawab atas divisi logistik diberikan sanksi.”

Ada suara bisik-bisik dari tempat direksi duduk sambil melihat ke arah Keira yang tertunduk.

“Saya rasa pemberian sanksi terlalu cepat. Terlebih, Manajer Produksi baru saja dilantik,” Jesselyn menyampaikan pendapatnya

“Memang kita percaya proses,” Winza menanggapi, “Tapi kita juga harus mempertimbangkan kerugian yang dihasilkan.”

“Baik, Winza. Hal itu akan kami pertimbangkan,” Pak Agus menengahi dan melanjutkan penjelasan mengenai temuan-temuan terkait kasus tersebut. Walaupun demikiran, tidak bisa membuat para direksi tidak berbisik dan melirik ke arah Keira yang masih tertunduk.

****

Siang ini benar-benar menjadi mimpi buruk Keira. Bahkan dia tidak sengaja mendengar beberapa pegawai bergosip mengenai dirinya di toilet. Untungnya, dia bisa menjadwal ulang rapat divisi siang ini dengan alasan kurang enak badan. Bahkan ajakan teman-temannya untuk makan dia tolak dengan alasan banyak pekerjaan.

Begitu Keira tiba di rumahnya, dirinya langsung melemparkan diri ke sofa dan menangis meraung-raung. Hatinya sakit sekali, dipermalukan begitu saja oleh koleganya di rapat petinggi tanpa bisa membela diri. Bahkan obrolan pegawai di toilet masih teringat jelas di kepalanya.

“Winza bangsat!” umpat Keira di tengah tangisannya.

Entah berapa lama Keira tertidur setelah menangis, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Dengan enggan Keira berjalan ke arah pintu dan membukanya, hanya untuk mendapatkan bentakan dari orang yang menganggu tidurnya.

“Lo ngapain di sini!”

“Lah, ini apart gue,” jawab Keira lemah, suaranya habis setelah menangis tadi. Terlebih bau alkohol menguar dari tamu tak diundang ini.

“Lo nyusup ya?” Winza tidak mau kalah, dia mendorong tubuh Keira sampai dirinya bisa masuk ke dalam rumah Keira. Dengan kasar, Winza menutup pintu rumah Keira dengan kakinya.

“Lo ngapain sih, Win? Ga cukup lo bikin malu gue? Hancur hidup gue, Win. Lo jahat banget sumpah.”

Winza terdiam. Mabuknya seakan berkurang melihat Keira terisak pelan di hadapannya.

“Kenapa lo sedih? Lo kan juga pengen mati,” kata Winza dengan suaranya yang serak, “Lagian kenapa masih mikirin omongan orang.”

Keira memukul bahu Winza pelan, masih terisak karena kata-kata Winza

“Lo ga ngerti. Lo punya privilege dan gue enggak. Ditambah gue ditinggal orang yang gue anggep sayang sama gue. Gue pikir gue masih bisa ngelupain dengan kerja, ternyata lo malah hancurin itu semua.”

Winza hanya bisa terdiam

“Lo jahat, Win. Lo bener-bener jah...”

Belum selesai Keira berbicara, Winza sudah menutup mulutnya dengan ciuman yang kasar. Keira berusaha memberontak tapi Winza jauh lebih kuat darinya.

“Aduh!” Winza mundur sejenak karena Keira menggigit bibirnya, tapi jarak mereka masih dekat karena Winza memeluk pinggang Keira

“Gue ga jahat,” bisik Winza pelan

Keira hanya bisa diam, entah kenapa tangan kokoh Winza terasa hangat. Entah kenapa dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan membalas lumatan bibir Winza.

“Panas...” Keira berbisik pelan, seperti sudah tidak berada di kesadaran yang penuh

Winza dengan cepat melepas baju Keira, menelanjanginya dalam hitungan detik. Sembari Winza melakukan aktivitasnya, Keira hanya bisa mendesah.

Belum pernah dia merasa didominasi sebelumnya. Belum pernah dia merasakan kenikmatan sebagai seorang submissive.

Malam ini, Winza membuatnya lupa.

Keira mengetuk pintu mahoni di depannya. Ruangan CEO selalu terdengar menakutkan, terlebih ini adalah minggu pertama Keira menjadi manajer di perusahaan ini. BnE adalah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik, produknya sudah berada di level internasional dan juga terkenal dengan karyawannya yang berusia muda. Keira baru mencapai usia 32 tahun dan sudah menjadi manajer, sebuah pencapaian yang luar biasa dari seorang Keira.

Keira disambut oleh senyum ramah dari Prita, supervisornya dulu yang sekarang menjabat sebagai COO. Di sebelahnya, ada Jackson, CMO dan juga Daniel, Manajer Pemasaran. Berdiri di tengah ruangan, ada pria paruh baya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Pak Agus adalah sosok yang diam-diam Keira idolakan. Lelaki itu bukan berasal dari keluarga berpengaruh sepertinya, dan berhasil menjabat posisi tertinggi di perusahaan karena prestasinya yang luar biasa.

“Winza, belum nyampe, Jake?” tanya Pak Agus kepada Jackson

“Uda kok, mampir ruangannya dulu. Abis ini nyampe.”

Mereka menunggu sambil membicarakan beberapa hal ringan, terutama Keira dan Winza adalah manajer baru yang mungkin masih belum terlalu mengenal medan pekerjaan. Setelah 10 menit, sosok ramping mengetuk pintu pelan dan masuk ke dalan ruangan CEO.

Arogan, itulah citra yang selalu Keira dapatkan dari Winza. Terlebih senyumnya yang tipis, menegaskan bahwa dia tidak terlalu suka mengangkat bibirnya.

“Maaf telat,” Winza membungkuk sedikit sambil tersenyum.

“Santai aja,” jawab Pak Agus, “Silakan duduk.”

“Jadi ini masalah kecelakaan driver mobil boks kita Senin lalu,” Pak Agus membuka pembicaraan, “Publik merespons dengan sangat buruk, begitu juga dengan Manajer Humas sebelumnya.”

Keira melirik ke arah Winza yang masih tidak memasang ekspresi. Manajer sebelumnya diberhentikan karena dianggap tidak bisa menghandle banyak situasi termasuk kasus barusan.

“Winza, ada ide?” tanya Pak Agus

“Itu bukan mobil boks milik kita,” jawab Winza cepat, “Semua mobil boks yang dimiliki perusahaan memiliki nomor seri yang dimulai dari angka 19 dan 21. Plat nomor mobil boks yang bermasalah adalah 238X6LAP, jelas bukan milik kita. Bukankah sudah dicek bahwa itu tidak ada di list barang kita.”

“Bukankah kita baru membeli beberapa mobil boks?” sela Keira, “Dan beberapa digunakan karena adanya overload barang.”

Winza memutar bola matanya kesal, “Pak Agus ada foto mobil boks yang ditahan kepolisian?”

CEO menyalakan layar televisi di ruangan dan menunjukkan mobil boks yang ditahan kepolisian.

“Mobil boks yang itu keluaran tahun 2018, silakan cek semua nomor seri yang kita miliki. Mobil yang baru datang memang memiliki nomor seri awalan 22 sampai 28 karena produk baru,” Winza menjelaskan dengan tenang, “Kelalaian ini tentu saja ada di divisi logistik yang berada di bawah tim produksi.”

Keira menahan diri untuk tidak mencekik leher Winza yang menjelaskan dengan nada pongah itu

“Terimakasih, Winza atas penjelasannya,” Prita sebagai COO, dan sebelumnya adalah Manajer Produksi, mencoba menjawab, “Memang dalam 2 minggu terakhir ini sedang banyak perpindahan barang dan personalia, tentu saja membuat ada celah yang besar di sini. Yang kami inginkan tentu baiknya gimana.”

“Coba dicek lagi timnya, mungkin ada tikus penyusup,” jawab Winza

“Maksudnya apa ya?” Keira sudah tidak tahan untuk tidak menjawab omongan pongah dari Winza

“Daritadi ga dengerin ya? Telinga anda kemasukan air?” Winza terkekeh mengejek, “Ya bisa jadi ada penyusup yang emang pengen ngambil barangnya kan? Buktinya barang untuk satu kali pengiriman hilang semua.”

Keira mengepalkan tangannya dengan keras, dia tahu Winza sengaja mengungkit kejadian Jumat malam itu.

“Kita harus mengecek produk yang dikirimkan di hari itu,” Daniel berusaha menurunkan tensi. Sejak Winza diisukan menjadi Manajer Humas baru, Daniel sudah menyiapkan diri apabila anak emas perusahaan ini berulah.

Winza disebut anak emas bukan hanya karena dia anak dari salah satu pemilik Blanc Group, tapi karena dia memang jenius.

“Produk yang dikirimkan pada 16 Januari 2023 adalah produk serum malam dengan kandungan Niacinamide atau N Series, dengan nomor seri 11208934 sampai 11356758. Cek jika ada toko yang tiba-tiba menjual barang kita dengan nomor seri itu,” kata Winza

“Tempat mana yang sekiranya bisa dikecilkan buat mencari barang-barang itu?” tanya Pak Agus

“Sebentar, bukankah kita harusnya mengecek apakah benar itu nomor produksinya?” sela Keira tidak sabar

“Can you please shut your mouth and listen to me?” tegur Winza yang membuat ruangan menjadi hening, “You can ask me later since we will meet each other frequently.”

Keira ingin menjawabnya namun Daniel lebih dulu menepuk pahanya pelan, menandakan agar Keira menahan amarahnya dulu.

Setelah Keira diam, Winza melanjutkan penjelasannya dengan meminta Pak Agus menampilkan peta Jakarta Timur, tempat kecelakaan terjadi.

“Posisi kecelakaan ada di mulut gang kecil. Dan mobil boks kosong. Sehingga ada kemungkinan bahwa di dalam gang-gang itu ada penurunan barang, karena secara wajar memang tidak pernah ada rute dari logistik yang masuk ke dalam gang sempit seperti itu. Berarti bisa diperkecil gudang atau rumah yang cenderung besar sebagai pengepul.”

“Bisa juga di sekitar situ ada bengkel modif mobil?” Jackson berpendapat

“Bisa jadi, karena dia harus mengubah tampilan mobil boksnya,” jawab Winza

“Oke,” Pak Agus membuat lingkaran pada daerah yang menjadi bahan diskusi, “Besok ada pertemuan dengan board dan saya yakin akan banyak pertanyaan terkait ini. Saya harap Bu Prita dan Keira mempersiapkan sebaik mungkin.”

“Baik, Pak.”

“Bu Prita, mungkin setelah ini bisa cek juga ke bagian HRD terkait pegawai yang domisili di sekitar tempat tadi,” tambah Winza, “Just make sure aja sih.”

“Siap,” Prita mencatat sesuatu, “Nanti bakalan diupdate lagi, Winza.”

Winza mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

“Oke sepertinya semuanya sudah beres, terimakasih atas waktunya,” Pak Agus menutup rapat darurat. Semua keluar dari ruangan dengan senyuman, kecuali Keira yang masih dendam dengan semua yang dikatakan oleh Winza di dalam.

“Sumpah lo pasti seneng tempat ini,” kata Reta sambil terkekeh pelan. Malam ini, trio Reta, Mario dan Eugene menyeret “bos” mereka yang terlihat sumpek setelah acara pelantikan menjadi manager malam ini, perasaan terus dibanding-bandingkan dengan orang lain akan terus menghantui Winza selama ini.

Winza membiarkan Reta, temannya sedari SMP itu untuk mengendarai Audi hitam barunya. Hadiah kelulusan dari Mamanya; barang yang sebenarnya tidak begitu Winza perlukan karena dia masih memiliki Porsche Boxster yang biasanya dia kendarai.

“Lagian dapet ide darimana sih?” Winza mengedarkan pandangan ke luar mobil. Reta membawa mereka ke sudut utara Jakarta yang sepertinya tidak terjamah. Terlebih, sekarang mereka berada di pinggiran sungai

“Widih, ada sungai kaya gini juga di Jakarta,” kata Eugene setelah turun dan membawa tikar

“Deket rumah neneknya Juju ini,” jawab Reta. Juju atau Juwita adalah sekretaris Winza di kantor, yang kebetulan menjadi pacar Reta

“Emang juara si Reta ini kalo suruh survey tempat,” kelakar Mario, mengingatkan mereka pada awal pembangunan Club yang menjadi tempat mereka mencari penghasilan sekarang.

“Gue gitu,” Reta duduk sambil menata kaleng bir yang mereka bawa. Winza hanya mengikutinya sambil memandang ke arah jembatan yang tidak jauh dari mereka. Dirinya merasa melihat siluet orang berdiri di pinggir besi jembatan

Anjir gue liat setan kayaknya gumam Winza. Baru saja dia ingin memberitahu teman-temannya terkait siluet itu, suara ceburan keras mengagetkan mereka berempat

Lebih kaget lagi melihat Winza yang berteriak sambil berlari ke arah sumber suara

“Ada orang tenggelam!” teriak Winza, “Senter! Senter!”

Mario dengan cepat mengambil senter yang memang diletakkan di bagasi mobil Winza dan menyusul gadis yang sudah melepas sepatu dan baju luarannya. Belum sempat Reta maupun Eugene mencegah, Winza sudah melompat ke air yang gelap

“Situ senterin!” Eugene menunjuk ke satu arah, melihat arah air dari Winza yang berenang. Reta membantu memberikan cahaya ke arah sungai dengan gawainya, sambil berharap Winza tidak hilang ataupun terseret arus.

Selang beberapa lama, Winza muncul ke permukaan sambil membawa sesosok wanita berambut panjang; yang sempat membuat Eugene memekik karena mengira itu bukan manusia. Reta dengan cepat membantu Winza untuk naik ke tanah. Tanpa menunggu waktu lama, Winza melakukan CPR karena wanita yang tenggelam itu tidak sadarkan diri.

“Uhuk!” wanita itu terbatuk dan membuat Winza kembali memperhatikannya

“Keira…?” Winza terkejut. Wanita yang mencoba bunuh diri di depan matanya adalah Keira, Manajer Humas yang baru saja dilantik bersamanya malam ini. Wanita yang selalu dibandingkan dengan dirinya, bahkan oleh Bundanya sendiri.

“Lo kenal?” tanya Eugene heran

“Anak kantor gue,” bisik Winza, “Eugene, Mario, kalian cari-cari sekitar sini kalo ada barangnya Keira jatuh. Reta, ayo sama gue ke rumah sakit.”

“Hah? Gimana?” Reta masih bingung tapi melihat Winza yang langsung menggendong wanita itu membuatnya tidak punya pilihan

“Ntar kita susul, shareloc aja,” kata Mario sambil mengajak Eugene menyusuri sungai.