wqwqwq12

Keira mematut dirinya di depan cermin sekali lagi. Walaupun sudah mengganti dress hitam yang menjadi tema acara kantor tadi, dirinya masih menggunakan baju rapi untuk menyambut kekasihnya. Terlebih ini Sabtu malam, pasti kekasihnya akan menginap.

Marsya Firda adalah kekasihnya sejak lima tahun yang lalu. Bertemu di acara training antar perusahaan ketika masih dirinya masih di Surabaya, kedua insan ini memilih untuk menjalin kasih walaupun sempat LDR.

Suara bel berbunyi, menandakan tamu yang ditunggu telah tiba. Alis Keira mengkerut sedikit, kekasihnya ini tahu apa password apartemennya, kenapa masih harus memencet bel?

“Masuk, Sya,” kata Keira setelah membukakan pintu untuk kekasihnya. Pandangan Marsya terpaku pada bunga mawar putih yang diletakkan di meja rendah ruang tamu.

“Oh, buat kamu,” Keira tersenyum sambil membalikkan badannya untuk mengambil buket, tetapi dihentikan oleh kekasihnya.

“Kei...”

“Ya?”

“Aku...” Marsya terlihat ragu, sebelum mengambil kotak dari tas tangannya. Keira sedikit terkejut. Apakah Marsya akan mengajaknya menikah dengan memberikan cincin? Tapi kotak ini terlalu sederhana untuk sebuah cincin. Terlebih Marsya menolak untuk menatap mata Keira.

Keira menerima kotak itu dan membukanya. Bukan cincin atau hadiah yang ada, melainkan dua lembar testpack yang identik; dua-duanya memiliki dua haris merah.

“Ini apa...” suara Keira bergetar

“Aku hamil, Kei,” jawab Marsya terbata, membuat pegangan Keira di kotak tersebut terlepas

“Kamu...”

“Aku pikir... Aku pikir selama ini aku beneran gay dengan pacaran sama kamu. Tapi... tapi ketika ketemu Raymond... Mantan aku waktu SMA... Aku ngerasain perasaan yang sama kaya dulu. Ketika dia ngajak aku untuk.... itu.... aku mau...”

“Sejak kapan?” Keira masih berusaha tenang

“Setahun yang lalu.”

“Sejak aku sekolah ke Singapura?”

Marsya mengangguk

“Lo,” Keira sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, “Lo tau gue milih Singapura dibandingkan Korea ataupun Belanda karena biar gue bisa sering balik buat lo!”

Keira mendorong bahu Marsya dengan telunjuknya

“Dan ini yang gue dapet?”

“Maafin aku, Kei...” Marsya mulai menangis

“Keluar.”

“Kei...”

“Keluar atau gue yang ngusir lo!”

Marsya berbalik badan dan berjalan ke pintu. Sebelum dia membuka pintu apartemen Keira, dia berhenti

“Aku bakalan balikin mobil dan perhiasan yang kamu kasih.”

“Gausah!” bentak Keira, “Itu uda pernah lo pake semua. Gue ga sudi apapun yang ada hubungannya sama lo balik ke gue.”

“Kei...”

“Pergi sekarang, Bajingan!”

Wira menggelar tikar yang dia pinjam dari Al sebelumnya. Ide untuk piknik di sebuah taman yang berada di pinggir kota tiba-tiba terlintas di pikirannya.

“Ini uda semua ya keluar?” tanya Kayna sambil menata belanjaan mereka dari supermarket barusan. Memang ide yang sangat lucu piknik di malam hari ini.

“Kayaknya uda semua, Kak,” Wira meraih tangan Kayna dan mengajaknya duduk. Obrolan mereka diwarnai dengan canda tawa yang saling berbalas sembari memakan belanjaan mereka.

“Sini deh,” Kayna meminta Wira untuk duduk di sampingnya. Yang lebih muda menurut, ternyata Kayna ingin menyandarkan kepalanya di bahu Wira.

“Kakak, beneran masih pengen kuliah di Surabaya?” Wira menyelipkan jemarinya pada milik Kayna dan menggenggamnya

“Iya...”

“Aku... gamau putus ya, Kak...”

Kayna terkekeh pelan, “Masih lama dan...,” Kayna mengangkat kepalanya, melihat ke arah mata Wira, “Aku gapunya pikiran buat ga sama kamu, Wira.”

Wira tersenyum lebar sebelum mencuri kecupan dari bibir Kayna

“Kurangin ya?” kata Kayna tiba-tiba, membuat Wira sedikit bingung

“Kurangin apanya, Kak?”

“Perasaan ga enakan kamu. Aku tau kamu mau cerita soal orang tua kamu karena ortu aku lagi proses perceraian. Ini ga sekali, tapi sering.”

“Maaf,” Wira menunduk, “Aku bingung soalnya...”

“Gapapa,” Kayna memegang kedua pipi Wira dengan tangannya, “Sekarang pelan-pelan yuk, kita coba.”

“Tuh kan nangis,” goda Winter setelah mendengar suara parau dari Kayna di seberang

“Apa sih nyebelin mulai.”

“Kangen,” kata Wira tiba-tiba, “Kangen banget.”

“Aku juga,” Kayna tersenyum walaupun Wira tidak bisa melihatnya, “I miss you so much. Beberapa hal baru beres hari ini, makanya aku baru bisa hubungi kamu lagi.”

“Beberapa hal?”

Kayna menarik nafas panjang, “Ayah memutuskan untuk menggugat cerai Bunda.”

“Hah?” Wira benar-benar terkejut. Disaat kedua orang tuanya kembali, orang tua Kayna memutuskan untuk berpisah.

“Ayah bilang ini sudah matang, dan buatku serta Kak Arin,” terang Kayna perlahan, “Aku sama Ayah pindah ke apartemen deket kantor Ayah. Ini unit punya temen kantor Ayah yang disewakan dengan harga murah, butuh waktu untuk pindahan.”

“Bunda kamu, sendirian?”

“Iya. Aku diminta memilih,” ada jeda sedikit diantara penjelasan Kayna, “Tentu saja aku pilih pergi dari rumah mengikuti Ayah.”

“I hope that's the best choice ya, Kak.”

“I hope that too,” Kayna terkekeh pelan, “Aku ga benci sama Bundaku, dia yang berjuang ngelahirin aku dan ngerawat aku sampe bisa kaya gini. But somehow, ada banyak hal dari dia yang aku gabisa tahan dan I need to go.”

“Aku percaya jika itu memang udah digariskan, Kakak ga salah pilih,” timpal Wira, “Kamu hebat, Kak.”

“Thank you,” Kayna tersenyum lagi, “Dan semua keberanianku ini muncul karena kamu.”

“Hah kok bisa?”

“Kamu bikin aku berani, Wira. Kamu nunjukkin ke aku bahwa semua pilihan itu akan ada resikonya dan itu yang kita hadapin.”

“Jangan bilang waktu aku jelasin soal baseball ke Kakak?”

“Tepat sekali. Semua lemparan, langkah dan pukulan yang kamu ceritain adalah pilihan, dan semua akan asa resikonya. Makasih banget ya, udah ngajarin aku banyak hal.”

“Well, seneng kalo gitu,” Wira tertawa, “Ternyata mencintaimu dengan ngeyel dan brutal ada hasilnya ya, Kak?”

“Tentu saja,” Kayna balas tertawa sebelum melanjutkan obrolan ringan menjelang tidur mereka.

Wira benar-benar tidak mendengarkan apapun yang pelatihnya sampaikan setelah menyelesaikan pertandingan siang ini. Tim mereka menang dan berhak maju ke semifinal daerah, sebuah konsistensi pencapaian dari SMAnya. Pesan singkat dari Ning jelas membuyarkan semua konsentrasi Wira. Dengan segera, dia meminta kedua orang tuanya untuk mengantarkan ke rumah sakit yang dibagikan alamatnya oleh Ning. Dirinya hanya berpesan kepada Rara untuk membawakan barangnya dan Al untuk menyetir mobilnya pulang.

Wira benar-benar kalut.

Wira mendekati Gia dan Ning yang sedang berdiri. Terlihat keraguan di wajah mereka untuk melakukan sesuatu, namun Wira mengabaikannya.

“Wir, bentar!” Ning menahan langkah temannya yang tidak sabar menuju ke kamar tempat Kayna terbaring.

Suara Ning membuat dua orang yang sedang berdebat berhenti, Arin dan Laras, Bundanya. Mereka berdua menoleh ke arah Wira dengan ekspresi yang berbeda-beda

“Kalo kamu mau nyalahin, salahin dia!” Laras tiba-tiba menunjuk ke arah Wira yang masih bingung

“Tante, saya…”

“Gara-gara dia, Kayna pacaran terus dan ga pernah belajar. Apa yang diharapkan dari siswa yang berada di kelas paling bawah dan kerjaannya hanya bermain baseball seperti itu,” cibir Laras sambil melihat outfit Wira yang memang masih menggunakan luaran jerseynya.

“Wow, saya pikir itu kelewatan,” sahut Tere, yang sudah datang bersama dengan Jessica. Mereka berdua memang sengaja menurunkan Wira di lobi untuk mencari tempat parkir yang memakan waktu. Begitu mereka tiba, tidak menyangka akan mendengarkan anaknya diomeli oleh ibu dari pacarnya. Jessica memegang kedua bahu dari Wira untuk menenangkan anaknya yang terlihat kaget dengan omelan barusan

Datangnya Tere dan Jessica tidak kemudian membuat Laras takut. Gia yang tahu pasti, karena dia dan mamanya pernah mendapat cibiran dari Laras secara langsung.

“Oh, jadi ini kedua orang tua dari pacar anak saya?” tanya Laras dengan nada yang sedikit menyindir

“Bunda, uda deh. Ini semua bukan salah Wira, ini semua salah Bunda!” Arin sudah tidak sabar lagi, bundanya benar-benar keras kepala.

“Saya pikir anda yang lebih tahu kegiatan anak anda,” Jessica ikut berbicara, “Setau saya anak anda tidak pernah tidak berangkat les dan selalu belajar.”

“Tahu apa anda?”

Jessica tersenyum, “Saya selalu menanyakan kegiatan Nanta yang seringkali mengantarkan Kayna les, ataupun tidak sengaja mendengarkan dia berbicara di telepon dengan suara yang riang. Walaupun hanya menemani belajar melalui telepon, saya rasa memang anak anda selalu belajar. Anda saja yang tidak pernah memperhatikannya.”

Laras hendak menjawab ketika suara berat suaminya menyahut dari samping

“Sudah, Laras. Maaf Bu Jessica,” Wisnu membungkukkan badannya untuk meminta maaf

“Tidak ada, Pak Wisnu. Saya hanya kaget saja ketika anak saya dituduh sebagai penyebab Kayna sakit seperti ini,” Jessica tersenyum kecil

“Kayna kena dehidrasi dan asam lambung, penyebabnya stress berlebihan,” kata Arin sambil mengedarkan pandangannya ke semua orang, “Selama empat hari di rumah aku liat dia gapernah mau makan seperti biasa dan tidak bertenaga. Dan Bunda masih terus-terusan membahas ranking dia yang turun? Bunda emang keterlaluan.”

“Ini semua demi Kayna juga.”

“Bullshit,” Arin mengumpat pelan yang mengagetkan semua orang, “Liat buktinya. Liat yang katanya buat kebaikan Kayna? Dia sakit.”

“Kita pulang, Laras,” Wisnu menggandeng tangan istrinya, “Kayna butuh ketenangan dan istirahat. Teman-temannya di sini juga butuh menemuinya. Tidak usah ikut campur urusan yang bahkan kamu ga ngerti dan bikin parah. Uda ada Arin di sini yang ngurusin semuanya.”

“Maafin Bunda saya,” Arin mendekati Jessica dan Tere dan mencium tangan keduanya, “Saya tidak menyangka dia akan mengatakan hal tidak pantas bahkan di depan kalian berdua.”

“Kaget dikit sih,” Tere bergurau, “Tapi kayaknya anak saya lebih kaget.”

“Udah pernah digituin sebelumnya,” Wira meringis, “Waktu abis terima rapor.”

“Udah gila,” Arin mengusap wajahnya frustasi, “Sekali lagi aku minta maaf ya, Wira.”

“Iya, Kak Arin gapapa. Aku boleh ketemu sama Kak Kayna ga?” harap Wira

“Kami tunggu di luar ya, Sayang,” Jessica menepuk bahu anaknya, “Sana masuk sama Gia sama Ning.”

Arin Sekar Ayu. Seperti namanya, Arin memiliki paras yang sangat cantik jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Selain memiliki wajah cantik, Arin juga terkenal dengan kepintarannya yang tiada bandingannya. Sedari kelas I SD, Arin tidak pernah lepas dari peringkat pertama di kelasnya.

Walaupun terdengar sempurna, Arin juga memiliki masalah. Karena sang bunda terlalu mengatur pergaulannya agar dia tidak terganggung waktu belajarnya, Arin tidak memiliki teman sama sekali dari SD sampai SMA. Beruntung ketika kuliah dia bertemu dengan Windy, teman, yang sekarang menjadi kekasihnya, dan dikenalkan dengan teman-teman yang lain. Setidaknya, ketika dia berkuliah memiliki kehidupan yang sewajarnya.

Arin seperti hidup sendirian. Dengan hadirnya Kayna, dirinya merasakan memiliki teman. Walaupun Kayna berusia 10 tahun lebih muda darinya, Arin menganggap Kayna memahami masalahnya. Memang Kayna tidak memberikan respons seperti yang Arin harapkan, namun itu cukup baginya. Pernah pada suatu malam Arin bertengkar dengan Bundanya terkait nilai ulangan. Dengan tangisan yang ditahan-tahan, Arin membuka bukunya dan mulai belajar lagi agar Bundanya diam. Ketika Kayna tiba-tiba masuk ke kamarnya, Arin tidak bisa membendung air matanya. Dia memeluk adiknya erat dan anak kecil itu hanya bisa mengelus kepalanya pelan, berharap bisa mengurangi beban yang sedang dirasakan oleh kakaknya itu. Dalam hati kecilnya, Arin selalu berdoa agar adiknya tidak mengalami nasib sepertinya. Dan Arin juga berjanji akan berusaha melindungi adiknya dari tuntutan Bundanya.

***

“Arin, kamu pulang?” Bundanya sedikit terkejut melihat anak pertamanya tiba-tiba membuka pintu depan sambil menarik koper kecilnya.

“Bunda apain Kayna?” Arin bertanya dengan mata yang menyala. Dirinya marah. Dirinya tidak tahan lagi dengan perlakukan Bundanya kepada adiknya

“Pasti Ayah yang ngasih tahu,” Bunda menoleh ke belakang dan melihat Ayah yang terdiam sambil menunduk, “Kamu ga perlu pikirin itu. Kayna memang pantas dihukum karena dia lalai dalam belajar. Padahal udah mau SNMPTN, bagaimana kalo dia ga bisa daftar FK kaya kamu? Dia malah sibuk bermain dan Bunda tahu dia punya pacar.”

“Bunda pernah ga sih nanyain Kayna pengennya apa?” Arin mendesis, “Dan sekarang Bunda uda bikin Kayna kaya gitu. Bunda mikir ga sih?”

“Bunda yang tahu apa yang terbaik buat anaknya, Arin. Kamu ga perlu ikut campur.”

“Bullshit!” Arin mengumpat, membuat Bunda dan Ayah terkesiap.

“Arin!”

“Cukup Bunda! Cukup Arin aja yang ngerasain ga enaknya ditekan sama Bunda selama sekolah. Asal Bunda tahu, Arin seneng banget bisa kuliah di luar kota karena ga bakal Bunda atur-atur kaya dulu!” Arin terengah-engah sambil terus mengomel kepada wanita yang melahirkannya, “Bunda ga pernah tahu perasaan Arin dulu kaya gimana. Cukup Arin, Bun. Jangan Kayna juga.”

“Kamu ga usah ngurusin adikmu, Arin. Fokus saja sama dirimu.”

“Gausah ngatur Arin kaya gitu,” Arin mengibaskan lengan Bundanya yang berusaha meraihnya, “Arin ga akan diem aja apalagi Bunda main tangan. Biarin Kayna yang mutusin atau Arin bakalan bawa Kayna pergi.”

“Arin! Ga usah kurang ajar ya kamu!”

“Yang bikin Arin kaya gini itu ya Bunda! Arin gamau Kayna jadi kaya Arin yang ga pernah punya temen, gapernah punya pacar, gapernah punya kehidupan normal ketika sekolah,” Arin menghela nafas, “Dan itu semua karena Bunda pengen menuhin mimpi Bunda masuk FK yang gagal dulu? Bunda emang keterlaluan!”

Pesan dari Gia kepada Ning sebenarnya sangat menganggu perasaan Wira. Entah kenapa dia takut sesuatu terjadi kepada kekasihnya itu. Terlebih, sudah menjadi rahasia umum jika tuntutan orang tua Kayna sangat tinggi kepadanya.

“Tapi jujur gue agak kepikiran yang cerita soal Kak Lisa itu lo,” kata Rara sambil meneguk minumannya. Setelah pengambilan rapor dan bertemu orang tua masing-masing, seperti biasa mereka berempat memutuskan untuk nongkrong.

“Serem juga kalo kejadian ke Wira,” gumam Ning sambil mengetuk layar gawainya, “Ini Kak Gia sama temen-temennya juga gabisa ngehubungin Kak Kayna.”

“Kita kesana aja,” kata Wira sambil mengambil kunci mobilnya, “Apapun resikonya, gue bakalan tanggung.”

“Semoga resikonya ga ngefek ke Kak Kayna sih, Wir,” kata Al menghentikan langkah Wira, “Lo harus inget bahwa dalam hubungan lo sama pacar lo, ada orang tua kalian.”

“Iya,” Wira mengangguk, “Lo setirin ya.”

“Gampang,” Al menangkap kunci mobil yang dilemparkan kepadanya. Jujur dirinya pun juga berharap hal yang terbaik untuk temannya ini.

***

Mobil Wira berhenti tidak terlalu jauh dari pagar rumah Kayna. Menurut Al ini adalah posisi yang paling pas karena bisa melihat apa yang akan terjadi di pintu rumah dan kalau Wira ingin berlari bisa mencapai mobil dengan cepat.

“Semangat ya,” Ning menepuk pundak sahabat sekaligus sepupunya itu

“Doakan gue ga ngompol karena takut,” kata Wira sambil berjalan ke arah rumah Kayna.

Setelah memencet bel sebanyak dua kali, pintu rumah sederhana tersebut terbuka dengan cepat, menampilkan sosok Bunda dari Kayna yang memandang tajam ke arah Wira

“Oh kamu?”

“I..Iya, Tante. Saya Wira.”

“Kamu!” wanita paruh baya tersebut menunjuk wajah Wira dengan penuh amarah, “Gara-gara pacaran sama kamu, prestasi anak saya menurun jauh! Siapa yang mau tanggung jawab kalau anak saya tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran? Kamu mau tanggung jawab?”

“Saya…”

“Kamu ini, berani-beraninya! Udah kelas IS paling akhir, kerjaannya gapernah belajar, malah bikin anak saya gapernah belajar juga! Harusnya orang tua kamu malu ngeliat kelakukan anaknya yang seperti ini.”

Wira sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi cacian yang mungkin dia dapatkan, namun dirinya tidak mengira apabila caciannya begitu tajam dan menusuknya seperti ini.

“Bunda!” Wira melihat ke belakang, Kayna berlari menuruni tangga dengan cepat. Wira bisa melihat dengan jelas bahwa Kayna baru saja menangis.

“Balik kamu ke kamar!” bentak Bundanya

“Wira ga salah Bunda, ini semua salah Kayna sendiri.”

“Kamu gausah ngebela dia,” Wira kembali ditunjuk, “Kembali kamu ke kamar.”

“Tante, saya…” Wira masih berusaha menyampaikan sesuatu

“Diam kamu. Pergi sekarang, gausah hubungi anak saya lagi!” Bunda Kayna membanting pintu tepat di depan wajah Wira.

Walaupun demikian, Wira tadi masih bisa melihat wajah sedih Kayna yang terlihat tidak berdaya.

Dengan langkah gontai dan tangan masih bergetar, Wira berjalan kembali ke mobilnya. Dirinya ingin sekali menangis, namun entah kenapa air matanya tidak keluar. Justru Ning terlihat menangis sesenggukan sambil memeluknya. Suara teriakan dari Bunda Kayna memang terdengar sampai mobil mereka.

Wira ingin sekali kembali ke sana dan menarik paksa Kayna untuk bersamanya. Namun dia tahu itu tidak mungkin terjadi.

Akhirnya minggu classmeet berakhir dan tibalah pada acara puncak yang ditunggu-tunggu. Acara ini akan menampilkan perwakilan dari semua kelas. Kelas XI IS 2, kelasnya Wira menampilan band. Memang banyak pemusik dari kelas yang sering dipandang sebelah mata karena menduduki peringkat terakhir di angkatan. Namun bukan berarti kelas tersebut tidak memiliki bakat. Justru banyak bakat non-akademik yang berada di kelas tersebut termasuk seni musik.

“Genit banget pake senyum-senyum ke adek kelas,” goda Kayna setelah pacarnya itu tampil.

“Keren kan tapi, cuma buat Kak Kayna itu lagunya,” kata Wira mengingatkan lagu yang dia bawakan tadi

“Bisa aja kamu.”

“Kelas kakak tampil kapan?”

Kayna mengecek run-down acara yang dia pegang, “Abis ini. Bentar ya aku bantuin temen-temen nyiapin. Kamu tunggu sini.”

“Iyaa,” Wira mengusap lengan Kayna dan mengucapkan semangat kepada kekasihnya.

Penampilan dari kelas X baru saja berakhir, digantikan dengan dua MC yang sibuk berbincang mencairkan suasana. Wira melhat Rafal dan Fany, kedua teman sekelas Kayna yang menyiapkan kursi dan membawa gitar akustik ke panggung. Wira kenal dengan Rafal, biasanya mereka nongkrong bareng di kantin rame-rame dan cowok itu memang suka bermain gitar.

Namun satu yang membuat Wira bingung, Kayna juga berjalan ke panggung sambil membawa kursi.

“Nah ini dia penampilan dari kakak kelas idola guru!” goda salah satu MC, “Kakak-kakak dari XII IA 1 mau nyanyi berapa lagu nih??”

“Satu aja,” jawab Kayna sambil duduk dan memosisikan micnya

“Widih, kalo boleh tahu lagu apa yang bakal dibawain?”

“Dunia Tipu-Tipu, dari Yura Yunita idolanya si Rafal ini,” tunjuk Kayna kepada temannya yang langsung berteriak Teteh Yura I love you!

“Widih bakalan pecah nih kayaknya, silakan kelas XII IA 1 untuk menampilkan lagunya!” MC berjalan ke arah samping panggung, memberikan ruang untuk Fany dan Rafal memainkan intro lagu yang memang terkenal ini.

Di dunia tipu-tipu Kamu tempat aku bertumpu Baik, jahat, abu-abu Tapi warnamu putih untukku

Kayna menyanyikan bait pertama sambil menoleh ke arah Wira, seakan mengabaikan suara penonton yang sibuk meneriakkan namanya

Hanya kamu yang mengerti Gelombang kepala ini

Puja-puji tanpa kata Mata kita yang bicara Selalu nyaman bersama Janji takkan ke mana-mana

Kayna terus menyanyikan lagu tersebut dengan tenang, ditambah dengan backing vocal dari Fany maupun Rafal, lagu ini menjadi cukup syahdu didengarkan Ada satu bagian lagu yang membuat hati Wira serasa berbunga-bunga, ketika Kayna menyanyikan bagian selalu nyaman bersama, janji takkan kemana-mana

Wira merasa memang Kayna ingin menyampaikan itu pada Wira Dan Wira juga berjanji, bahwa dia takkan kemana-mana.

Kayna benar-benar panik, sampai tidak mendengarkan Fany yang meneriaki namanya untuk berhenti. Di dalam pikirannya hanya ada Wira, Wira terluka, Jean yang salah dan lain sebagainya. Begitu tiba di UKS, Kayna melihat sosok Jean yang sedang berdiri dengan kedua tangannya di kantong celana olahraga yang sedang dia pakai. Dengan cepat, Kayna menghampiri Ketua OSISnya itu.

“Maksud lo apa?” Kayna bersungut-sungut sambil menunjuk wajah Jean dengan telunjuknya

“Hah, gimana?” Jean sendiri bingung dengan tuduhan Kayna

“Lo ngapain sih ganggu Wira lagi? Jauhin cewek gue atau gue bener-bener muak sama lo! Gue tahu lo benci sama Wira tapi gausah ganggu dia lagi. Urusan lo sama gue, Jean.”

“Gue ga ngapa-ngapain Wira,” Jean berusaha menjelaskan, “Yang berantem bukan gue.”

Kayna terdiam sejenak dan mendengar langkah kaki dari arah pintu UKS. Munculah Wira dan Gia yang juga kebingungan. Kayna bisa melihat bekas luka di pipi kiri Wira, membuatnya semakin berang kepada Jean

“Liat! Luka kan pipinya Wira!” tunjuk Kayna lagi

“Kak,” panggil Wira pelan

“Gabisa, Wira. Gabisa dibiarin ini,” Kayna mengelus pelan pipi Wira dan mengecek lukanya, “Kamu sampai luka gini.”

Wira terkekeh pelan sebelum meraih tangan Kayna dan menggenggamnya, “Ga gitu, Kak.”

Jean ingin menimpali tetapi ada telepon sehingga dia harus meninggalkan kerumunan. Setelah Jean menghilang ke arah belakang UKS, Wira mulai menjelaskan

“Aku emang bertengkar sama anak kelasnya Kak Jean tadi di classmeet, tapi bukan Kak Jean.”

“Lah?”

“Sama si Kak Enzo, dia duluan mau mukul Brandon,” Wira tertawa, “Kakak panik banget ya?”

“Iya…” muka Kayna memerah

“Makanya tu kalo temennya ngechat diliat,” Gia menghela nafas, “Asal lari aja lo.”

“Elo sih ngasih taunya setengah-setengah,” gerutu Kayna

“Udah-udah,” Wira memeluk pinggang Kayna dari samping, “Mending yuk makan es krim biar tenang.”

“Bucin mulu,” Gia memutar bola matanya malas

“Ngaca tuh,” Kayna mengejek temannya, “Mau ikut sekalian ga?”

“Ga, gue mau keluar cari sesuatu sama Ning soalnya. Sana kencan aja, jangan lupa lo minta maaf sama Jean. Asal labrak aja gapaham gue,” cerocos Gia

“Iya iya abis ini.”

Wira sedikit terkejut ketika akan memasuki kelasnya. Kekasihnya, ya sekarang dirinya secara resmi di hadapan semua orang sudah mengakui bahwa dia sudah punya kekasih, berdiri sambil tersenyum di dekat pintu kelasnya.

“Aku… taruh tas dulu ya, Kak?” kata Wira yang direspons dengan anggukan dari Kayna. Wira setengah melempar tasnya ke bangku, membuat Wahyu, teman yang duduk di belakangnya dan sedang tiduran terkejut.

“Gausah buru-buru gitu,” Kayna terkekeh melihat Wira yang berlari keluar untuk menghampirinya.

“Males, ni uda pada mau godain kakak,” Wira menunjukkan gestur ingin memukul teman-temannya yang nongkrong di depan kelas, “Lagian tinggal 20 menit lagi sebelum masuk, Kak.”

“Iya sih,” Kayna menggandeng tangan Wira dan mengajaknya ke taman belakang yang terletak tidak jauh dari kelas Wira. Karena posisi kelas Wira memang di belakang, maka taman kecil ini dinamakan taman belakang.

“Kakak gapapa?” tanya Wira pelan setelah mereka duduk. Gadisnya itu hanya diam saja dan memainkan jari-jari Wira yang panjang

“Maaf kemarin aku capek banget, enggak sempat bales chat kamu. Terus tadi pagi juga bangun agak keburu makanya ga chat kamu juga,” kata Kayna cepat, “Maaf ya, Wira. Aku ikut seneng kalo Mami kamu sudah memaafkan dan menerima Umma kamu lagi.”

“Gapapa, Kak Kayna,” Wira tersenyum simpul, “Aku tahu kakak emang keliatan capek banget kemarin.”

Wira perlahan merapikan poni Kayna yang sedikit berantakan, “Kakak cantik banget pake poni gini.”

“Kamu suka?”

“Apapun itu, aku selalu suka kakak kok.”

“Dih,” Kayna menepiskan tangan Wira yang mengusap punggung tangannya dengan jempol. Tentu saja gadis yang lebih tua tersipu malu karena ucapan dari adik kelasnya itu.

“Hehe gampang banget tersipu malu sih kamu, Kak.”

“Abisnya kamu,” Kayna hanya menggeleng, “Oh ini, aku beli susu kotak sama roti. Kakak tau kamu udah sarapan tapi kamu sering nyolong-nyolong waktu ke kantin waktu jam kedua. Nanti gausah bolos ya.”

“Kok tau?” “Ya aku biasanya kan rapat osis di jam segitu,” Kayna menyentil hidung mancung Wira, “Dah sana balik kelas.”

“Peluk dulu boleh ga?” tanya Wira ketika keduanya sudah berdiri

“Tentu,” Kayna bergerak maju dan memeluk gadisnya itu. Helaan nafas yang panjang dari Kayna tentu tidak akan terlewatkan oleh Wira. Namun Wira hanya diam, membiarkan gadisnya menceritakan sendiri ada masalah apa yang sedang dihadapinya sekarang.

Winter membuka pintu rumahnya dengan cepat, diikuti dengan Mark yang penasaran sebenernya ada keributan apa lagi sih antara Jeno dan Winter.

“Mana pacar gue?!” bentak Winter setelah melihat Jeno yang rebahan di ruang tamu

“Kamar lo elah,” jawab Jeno sambil meringis. Winter setengah berlari dan membiarkan Mark kebingungan dengan kelakuan sahabat-sahabatnya.

“Lo ngapain sih?” tanya Mark

“Hehe, jadi gini...”

***

“Sayang!!!” Winter langsung menuju ke kasur dan melihat Karina meringkuk. Dengan cepat, Winter memeluk tubuh Karina dan membalikkan tubuhnya agar bisa melihat wajah kekasihnya itu

“Huhu Winter, sakit...”

“Apa? Apa yang sakit?!” Winter menelusuri wajah Karina dengan jempolnya. Mata kekasihnya itu sembap, sepertinya karena efek menangis. Karina menceritakan kejadian di toko bangunan dengan detail sampai membuat Winter melongo keheranan.

“Anjing Jeno,” Winter mengumpat

“Sayang, language!”

“Abisnya.... Sinting banget tuh cewek astaga. Kamu nangis karena sakit dijambak?”

“Iya, sakit banget huhu mana jambaknya kenceng banget kaya mau copot kulit kepalaku.”

“Ya gitu sih rasanya waktu kamu jambak aku when you reached your climax.”

“Heh!”

“Hehe maaf,” Winter menciumi kepala Karina, menghirup wangi shampo kekasihnya yang harum itu, “Gimana biar ga sakit lagi?”

“Peluk,” Karina melingkari leher Winter dengan lengannya sebelum menyandarkan kepalanya di dada Winter. Usapan pelan di rambutnya dan kecupan-kecupan kecil di pipi serta dahinya membuat Karina tenang dan tertidur di pelukan kekasihnya.