wqwqwq12

Salah satu hal yang Karina suka dengan sirkel pertemanan pacarnya adalah kedekatan satu dengan yang lain yang seperti keluarga. Mungkin sama dengan dirinya bersama Ning, Giselle dan Lia, sudah banyak kejadian-kejadian yang justru membuat mereka dekat. Beberapa kali misalnya Karina dimintai tolong Ning untuk menjemput Ryujin di stasiun atau terminal, dan juga sebaliknya.

Maka ketika Jeno menemaninya siang ini, Karina tentu tidak keberatan. Terlebih Jeno ini cerewet, sehingga tidak ada kekakuan diantara keduanya.

“Kok bisa Winter beli ga sekalian sekrupnya,” Jeno mendengus setelah mereka berdua keluar dari toko bangunan dekat unit apartemen Jeno dan Winter. Walaupun dekat, keduanya memutuskan menggunakan mobil karena Jeno tidak memiliki motor.

“Gatau nih, kayaknya beli flash sale. Makanya keburu-keburu. Bahkan model baut dan murnya tadi Winter gapunya obengnya kan?” Karina terkekeh sambil mengecek belanjaannya, takut ada yang kelewat.

“Aman semuanya?” Jeno memastikan agar mereka tidak perlu bolak-balik.

“Aman sih,” Karina menepuk pundak Jeno, “Dah pulang yuk.”

Belum saja Jeno membuka mobilnya, tiba-tiba ada cewek yang meletakkan tangannya di pinggang dan memandang seram ke arah keduanya.

“Oh, jadi ini pacar barumu?” cewek itu berteriak dan berjalan mendekat, “Cantikan gue kali!”

Karina mengerjapkan mata, terkejut dengan cewek yang tiba-tiba marah ini. Dan tanpa Karina maupun Jeno duga, cewek itu menjambak rambut Karina keras sampai membuat pegangan Karina di belanjaan mereka terlepas.

“Woy anjir!” Jeno mendorong cewek itu dengan keras sehingga terlepas dari tindakan menjamnak rambut Karina. Tentu saja Karina menangis, jambakannya sangat kuat.

“Heh denger ya Winda!,” Jeno menunjuk cewek itu, tidak peduli dengan orang-orang yang melihat mereka, “Karina ini ceweknya sahabat gue. Dan gue emang ada urusan sama dia. Soal kenapa gue males sama lo, lo sendiri yang gajelas! Lo deket-deket gue dan deket sama Tino juga. Lo pikir gue ga kenal sama Tino? Bego makanya jangan diborong semua!”

Puas memarahi cewek di depannya, Jeno langsung mengambil kantung belanjaan yang sempat terjatuh. Untung isinya tidak berceceran. Karina langsung menarik tangan Jeno untuk segera ke mobil sebelum ada keributan lagi.

cw // mention activity or sex

Winter tahu dengan pasti kelemahan Karina. Bukan, bukan menggunakan baju seksi seperti saran Ryujin atau sat set seperti saran Shuhua. Winter tahu apa yang akan membuat wanitanya lemah padanya.

Suara pintu terbuka menandai kehadiran Karina. Winter dengan sengaja membeli jajanan sembarangan yang dijual di depan SD dekat kampusnya. Tidak hanya gorengan penuh minyak, dia juga membeli minuman berbagai rasa yang diyakini pewarnanya dari bahan yang aneh dan es batunya tidak terlalu bagus.

Hasilnya? Tentu saja sekarang Winter sedang terbatuk-batuk.

“Winter?” panggil Karina setelah masuk ke kamar tidur, mendapati kekasih yang dia diamkan seharian berbaring lemas.

“Hai...” Winter terbatuk pelan, mengagetkan Karina yang langsung berjalan cepat ke arah kasur

“Kamu sakit?” Karina mengecek suhu badan Winter dengan punggung tangannya, “Hm agak demam.”

“Iya tadi salah makan kayaknya,” Winter menggeser tubuhnya dan memeluk Karina, menariknya turun.

“Kok bisa?” Karina mengelus rambut Winter sembari kekasihnya membenamkan wajahnya di ceruk leher jenjangnya.

“Hmm, soalnya ga diingetin makan sama Ayang,” gumam Winter pelan

“Halah, bisa aja,” Karina mengecup puncak kepala kekasihnya, “Aku masakin sup ya?”

“Ngg,” Winter hanya mengerang

“Maunya makan apa?”

“Kamu,” walaupun lemas, Winter tetap bisa membalikkan badan Karina sehingga dia berada di atasnya.

“Sakit gitu lo,” kata Karina

“Katanya gituan bisa bikin demam sembuh.”

“Yang dokter pacarmu loh,” Karina menyentil hidung Winter gemas

“Trus gaboleh?” Winter merengut manja, kelemahan Karina.

“Iya boleh,” Karina membiarkan Winter mencium bibirnya sampai mereka kehabisan nafas. Dengan cepat pula, Winter menelusuri garis wajah Karina dengan hidungnya yang mancung.

“Dimaafin ga ini?” bisik Winter di tengak aktifitasnya

“Dimaafin kalo kamu ga gantungin gini,” desah Karina, dirinya sudah di puncak hanya dengan sentuhan-sentuhan tangan Winter.

“Your wish is my command, Princess,” Winter perlahan melucuti pakaian Karina dan membawa gadisnya ke dalam teriakan-teriakan yang menyenangkan.

“Halo Mami cantik,” sapa Wira sambil mengecup pipi maminya yang sedang menata makan malam

“Seneng banget keliatannya,” Jessica terkekeh sambil membiarkan anak gadisnya memeluknya erat

“Abis nganterin Kak Kayna pulang les, gapapa seneng aja soalnya dicium pipinya.”

“Kamu sering Mami cium pipinya ga seseneng itu tuh?”

“Ih ya beda dooong,” Wira merengut

“Udah lebih tinggi ya dari Mami,” Jessica menepuk pelan puncak kepala Wira

“Masih tinggian Aunty Krystal tapi. Kok bisa sih Aunty tinggi gitu, Om Jere juga. Mami kok kecil?”

“Hush ya,” Jessica mencubit pinggang anak tunggalnya. Wira masih mengaduh ketika ada suara bel berbunyi

“Mami ada tamu?” tanya Wira pelan

“Iya, bakalan join kita makan malam. Duduk yang manis ya, Sayang. Mami buka pintu dulu.”

Wira hanya mengangguk pasrah, berharap tamunya bukan orang yang dia tidak inginkan.

semoga bukan Tante Yuri gumam Wira

“Halo, Nanta,” betapa terkejutnya Wira melihat sosok yang mendekat kepadanya

“Umma?” Wira menoleh ke samping dan melihat Tere berjalan pelan, beserta Jessica yang tersenyum di sampingnya dan membawa bunga.

“Kok...?” Wira masih terkejut

“Selalu ada kesempatan kedua kan, Nanta?” kata Jessica

Jessica menyesap minumannya. Sesuai dengan janjinya minggu lalu ketika bertemu dengan Ibunya, dia akan menemui mantan istrinya dan menanyakan mengenai fakta yang terjadi di masa lalu. Jessica tidak datang terlalu awal, hanya saja dia hapal kebiasaan istrinya yang suka terlambat walaupun hanya 10 20 menit.

Sambil menungu, Jessica mendengarkan sesuatu. Benar, lagu dari mantan istrinya yang rilis pagi ini. Ketika sarapan, dia sempat tidak sengaja melihat chat dari Kayna ke anaknya yang menceritakan mengenai lagu yang cukup bagus ini. Judulnya Love Me The Same, menceritakan sebuah pertanyaan apabila dunia ini runtuh, apakah pasangannya mau mencintainya sama seperti biasanya.

Jessica juga melihat berita siang ini. Mantan istrinya sedang diwawancara dan menjelaskan bahwa lagu ini sudah ada sejak 10 tahun yang lalu namun belum selesai dan terus menjadi draf yang disimpan. Jika memang benar, maka Tere sudah membuat lagu ini sejak mereka masih bersama.

Mungkin itu juga akan dia tanyakan pada mantan istrinya nanti.

“Hey, sorry telat,” Tere tersenyum sambil duduk di seberang Jessica. Wanita paruh baya itu melirik minuman yang sudah dipesan mantan istrinya dan sedikit terkekeh, “Masih suka Chai Latte ya?”

“Paling netral. Kalau aku minum kopi kebanyakan, takut asam lambungnya naik,” jawab Jessica pendek

“I know,” Tere menyesap kopinya, “Jadi?”

“Aku gamau berlama-lama membahasnya,” Jessica menghela nafas panjang, “Aku tahu siapa Tiffany.”

Tere terdiam sejenak sebelum mengusap wajahnya, “Maaf.” “Why?” suara Jessica sedikit bergetar, “Kenapa kamu mutusin untuk bohongin aku dan setuju untuk bercerai.”

“Alasan ini terdengar bullshit tapi aku serius,” Tere memperbaiki posisi duduknya, “Aku gamau nama baikmu tercoreng dan semakin membebanimu di keluarga besar. Hutang Aurel itu sampai 200 juta dan aku penjaminnya.”

“Keluarga intiku itu kamu,” Jessica menarik tisu dan mengusap air matanya yang perlahan menetes, “Kok bisa-bisanya kamu bilang ini demi keluargaku.”

Tere kembali terdiam. Sedari dulu mereka berpacaran, memang Tere tidak pernah bisa melawan Jessica ketika berdebat. Dia memilih diam, dan itu menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri.

“Jawab, Tere.”

“Maaf,” sekali lagi permintaan maaf keluar dari mulut Theresia Ananta

“Lalu gimana hutang Aurel yang jadi alasan kamu ninggalin aku itu?”

“Aku berhasil bayar semuanya dengan kerjaku di Amerika selama ini,” jawab Tere, “Alasan aku berani mengiyakan untuk pulang ke Indonesia.”

“Oh, kirain.”

“Dan kamu serta Nanta, tentunya,” jawab Tere cepat sebelum Jessica menyimpulkan hal lain, “Aku tau dalam 7 tahun belakangan ini pasti banyak yang sudah berubah termasuk kamu. Aku gapernah lagi bisa berharap untuk kembali bersama kamu, Sica. Aku terlalu banyak bikin kamu sakit hati dulu dan sekarang.”

“Apakah sudah ada yang lain?” tanya Jessica

“Hah?”

“Jawab Tere, alasan kamu bilang seperti itu apakah karena ada yang lain?”

Tere menggeleng pelan, “Bodohnya aku tidak pernah bisa jatuh cinta lagi selain dengan dirimu, Jessica. Maaf.”

“Tidak usah minta maaf,” Jessica menarik nafasnya, “Karena aku juga sama bodohnya.”

Tere mengangkat wajahnya, memandang wajah teduh dari Jessica yang terlihat lelah itu “Bodoh karena langsung percaya saja jika kamu selingkuh. Bodoh dengan tidak mencari tahu dan memaksamu untuk cerita yang sebenarnya. Dan bodoh karena berharap semua bisa terulang kembali dan diperbaiki.”

“Sica…”

“Time flies, Tere. Kenapa kamu gapernah mencariku? Kenapa kamu langsung pergi ketika kita bercerai? Apa kamu pikir Nanta ga pernah menanyakan kamu? Aku Tere, aku yang harus nanggung itu semua.”

Tere masih terdiam, masih membiarkan Jessica mengeluarkan semuanya

“If the world fell apart, would I still have your heart, Babe? Kenapa ga kamu tanyain dulu aja?”

Tere memegang tangan Jessica yang mulai bergetar. Perlahan, dia mempererat genggamannya

“Aku gabisa ngelakuin itu dulu karena aku gapunya apa-apa, Sica. Sekarang, bolehkah aku memperbaiki semuanya? Bolehkah aku menanyakan bahwa aku boleh kembali ke kamu dan Nanta?”

“Pertanyaan bodoh,” Jessica mendengus kesal, “Aku ga peduli dengan omongan keluarga besar. Tere, kamu dan Nanta keluargaku. Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak membelamu.”

“So, this is the second chance?”

“Yep,” Jessica menganguk, “And there would be no chances forward.”

“I’ll keep the promise.”

“Ciye nyari siapa tuh?” Dira, teman sekelasnya yang juga tim bisbol puteri, menggoda Kayna ketika mereka berpapasan di dekat gudang peralatan olahraga SMA mereka. Dira sedang berjalan bersama Febi, pacarnya yang masih kelas X dan juga anak bisbol, sepertinya keduanya barusan dari arah gudang.

“Siapa lagi,” Kayna menanggapi dengan bercanda sambil membalas sapaan senyum dari Febi, “Dari gudang kalian?”

“Iya, kita dari sana tadi. Ngecekin helm soalnya kemarin ada yang agak rusak takutnya masih ada di bagian yang mau dibawa tanding minggu ini,” jelas Dira, “Duluan ya, bantuin tuh. Kasian sendirian.”

“Haha iya iya, duluan ya,” Kayna melambaikan tangan sebelum berjalan ke arah gudang lebih cepat.

***

“Kakak duduk aja gapapa kok,” kata Wira melihat Kayna mengusap wajahnya yang berkeringat, “Ini tinggal dikit nihh.”

“Yakin?”

“Yakin banget,” Wira menarik tangan Kayna dan mendorongnya untuk duduk di kursi dekat pintu, “Tunggu ya kakak sayang.”

“Ih bisaan aja,” Kayna mendorong bahu Wira pelan karena merasa malu, “Udah sana buruan.”

“Iyaaa.”

Sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan sisanya, namun sepertinya memang Kayna cukup lelah hari ini. Dirinya tertidur sambil bersandar ke tembok di belakangnya, terlihat cukup pulas.

“Cantik banget,” gumam Wira sebelum menggoyangkan tubuh Kayna agar kakak kelasnya itu bangun.

“Eh, maaf,” Kayna sedikit menguap, “Udah selese?”

“Udah kak. Kakak gamau bolos les aja istirahat? Keliatan capek banget lo,” Wira duduk di sebelah Kayna dan membetulkan poninya yang sedikit berantakan. Walaupun sudah sering menerima perlakuan gentle dari Wira, tetap saja Kayna salting jika adik kelasnya berperilaku demikian.

“Udah rapi nih,” Kayna menggenggam tangan Wira, tidak sanggup kalau terus diperlakukan demikian. Bisa meledak jantungnya.

Wira tidak segera bangkit atau pergi, justru tangan Kayna yang menggenggam pergelangan tangannnya digenggam balik dan dibawa mendekat ke wajahnya, sebelum dirinya mengecup pelan punggung tangan gadis yang dia cintai itu.

“Aku mencintaimu, Kak.”

Kayna tersenyum hangat

“I love you even more, Wira.”

Walaupun baru tiba tengah malam, Jessica sangat menikmati pagi yang indah di kota kecil di kaki Gunung Slamet ini. Kota ini merupakan kota kelahiran ibunya, sehingga wajar ketika memasuki masa pensiun, ibunya memutuskan untuk menghabiskan waktu di sini bersama dengan sopir dan pembantu yang sudah mengabdi bersamanya sejak Jessica lahir.

“Kamu ini bukannya tidur dulu malah duduk-duduk di sini,” tegur Ibunya. Sharon Wijaya, wanita lanjut usia itu tersenyum kecil kepada anak pertamanya. Bik Yah, pembantu yang seperti keluarganya sendiri sudah menyiapkan segelas teh hangat dan kopi susu beserta gorengan khas kota kecil itu, Tempe Mendoan, untuk menyambut pagi.

“Kebiasaan, Ma,” jawab Jessica singkat sambil mengunyah tempenya, “Lagian nanggung banget ga liat suasana pagi di sini. Di kereta banyak tidur kok. Nanta emang yang ga tidur, seneng dia naik kereta.”

“Udah lama ga liburan sih kalian,” Sharon tergelak, “Jakarta macet terus kan, pasti rasa ingin liburan semakin tinggi.”

“Pastinya sih, Ma.”

Sharon tersenyum sebelum memanggil Pak Jo, sopirnya yang merupakan suami dari Bik Yah, untuk mengambilkan beberapa berkas.

“Masih pagi lo, Ma,” kelakar Jessica melihat tumpukan berkas di tangan ibunya

“Ya kalian kan mau liburan ke sini, mana besok udah balik. Jadi disegerakan aja,” Sharon membalas sambil tertawa. Dia membuka satu amplop cokelat lebar dan memberikan isinya kepada Jessica

“Oh, Tiffany,” Jessica menanggapinya dengan datar. Dia tahu persis itu siapa. Selingkungah Tere yang membuat mereka bercerai 7 tahun lalu, “Ini diambil barusan ya?” Jessica mengamati tanggal yang tertera di dalam foto itu

“Iya,” Sharon memberikan kopian dokumen yang berbentuk seperti surat nikah. Tertera nama Tiffany dan pasangannya, dan itu bukan Theresia Ananta, mantan istrinya.

“Sebentar, Tiffany menikah setahun setelah aku cerai dan pasangannya bukan Tere? Lalu kenapa ada foto Tiffany dan Tere?” Jessica membaca lagi dengan seksama dokumen pernikahan Tiffany.

“Pasangan Tiffany namanya… Aurel?” Jessica menaikkan alisnya, nama itu terdengar familiar

“Ring a bell, Jessica?”

“Oh…”

“Secara teknis, Tiffany adalah adik ipar Tere.”

Jessica tersentak, dia ingat semuanya. Tere dan Aurel dibesarkan di panti asuhan yang sama. Keduanya ditinggal oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab di gereja panti asuhan dengan waktu yang hampir bersamaan sehingga mereka tumbuh seperti kakak-adik.

“Tapi kenapa Tere tidak mengatakan ini? Ini adalah fakta yang bisa buat aku ga jadi cerai sama dia kan?” Jessica berusaha menahan emosinya, “Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?”

“Maafin Mama yang baru bisa melanjutkan pencarian ini akhir-akhir ni, Jessica. Dulu ketika foto Tere dan Tiffany membuat gempar keluarga besar kita, Mama sudah berusaha mencari tahu namun banyak hal yang membuatnya berhenti. Dua tahun terakhir ini Mama baru bisa melanjutkannya dengan Pak Jo untuk menggali informasi lagi,” Sharon membuka amplop terakhir, “Aurel terjebak hutang yang sangat besar dan salah satu penjaminnya adalah Tere. Pada saat itu, Tere sedang dikejar penagih hutang dan mereka tahu bahwa dia adalah istrimu.”

Jessica meneguk kopi susunya. Informasi ini sangat baru dan mengejutkan dirinya.

“Kamu tahu sendiri pada saat itu Tere juga sedang kesulitan untuk mencari pekerjaan karena studio tempat dia bekerja sebelumnya bangkrut dan disaat yang bersamaan, karir kamu sedang naik.”

“Jangan bilang Tere ngelakuin ini buat keluarga kita?”

“Itu dugaan Mama dan Pak Jo,” Sharon meletakkan foto Tere yang sedang bekerja di suatu studio, “Alasan dia mau kembali ke Indonesia adalah mencarimu dan Nanta. Dia tahu mungkin dia sudah tidak punya kesempatan, tapi dia mencoba. Informasi yang Mama dapatkan, minggu depan dia akan merilis single yang dia nyanyikan sendiri. Katanya itu lagu buatan dia dari lama dan mungkin, kamu harus mendengarkan kebeneran dari mulutnya.”

“Aku harus menemuinya.”

“Jika memang kalian tidak bisa kembali bersama,” Sharon menghela nafas panjang, “Setidaknya selesaikan kesalahpahaman masa lalu kalian. Mama selalu melihat Tere anak baik. Dia banyak berusaha menyesuaikan diri, walaupun almarhum Papamu membencinya, tapi jauh di lubuk hati kami berdua selalu menerimanya. Theresia Ananta sudah pernah membuatmu jatuh cinta, bukan? Tentunya dia punya alasan harus meninggalkanmu dan Nanta 7 tahun lalu, Jessica.”

Wira meletakkan piring kotornya dan milik Maminya ke tempat cucian piring sebelum kembali duduk. Gestur Maminya dari awal memperlihatkan bahwa mereka memang harus berbicara malam ini.

“Apa yang bikin kamu berantem sama Jeano? Bukankah semalam sepertinya kamu tidak ada masalah dengannya? Apakah karena Tante Yuri, kamu sampai bertindak seperti ini?” cecar Jessica

“Satu-satu kenapa, Mi,” Wira mengerucutkan bibirnya sebal.

Maminya memang terkenal sebagai jaksa bertangan dingin, namun dirinya tidak menyangka bahwa hujan pertanyaan seperti ini membuatnya mati kutu.

Jessica hanya tertawa, “Ya dijawab satu-satu kan juga bisa.”

“Pertama, Nanta minta maaf kalo bikin Mami malu karena dipanggil ke sekolah perkara Nanta berantem. Kedua, Kak Jean ini dari kemarin emang cari-cari masalah sama Nanta.”

Jessica meletakkan kedua tangannya di meja, memperhatikan kelanjutan cerita dari anak tunggalnya itu.

“Nanta sama Kak Kayna emang ga resmi pacaran karena Kak Kayna yang minta. Kak Kayna mau fokus sampai SNMPTN. Dari awal Kak Jean itu naksir Kak Kayna dan jatuhnya sensi sama Nanta. Tadi dia bilang buat jauhin Nanta sekali lagi karena kita bakalan jadi saudara tiri.”

“Jessica membulatkan bola matanya terkejut, “Jeano bilang gitu?”

“Iya,” Wira mengangguk, “Nanta cuma ga suka aja apa yang jadi milik Nanta diganggu. Kak Kayna itu miliknya Nanta.”

Jessica tersenyum kecil. Persis. Perilaku Wira ketika ada hak miliknya yang diganggu persis dengan mantan istrinya

Wait, kenapa Jessica jadi kepikiran mantan istrinya

“Lalu gimana kamu sama Kayna? Apakah masih tetap backstreet?”

“Enggak juga, yaudah kita go public tapi tetep keep low. Kak Kayna gaboleh pacaran sama Bundanya.”

“Pak Wisnu tu sering banget banggain kedua anaknya. Mami ga nyangka kalo salah satunya adalah Kayna. Kakaknya Kayna uda jadi dokter kan.”

“Iya, jaraknya sepuluh tahun kalo gasalah.”

“Nah, lalu soal Tante Yuri. Nanta apakah tidak setuju?”

“Awalnya Nanta mau berusaha menerima, Mi,” Wira menghela nafas panjang, “Tapi melihat Kak Jean, rasanya Nanta gabisa gitu aja menerima Tante Yuri. Kalo Mami sendiri gimana?”

“Prioritas Mami tu Nanta,” Jessica memegang kedua tangan Wira yang diletakkan di meja, “Kalo Nanta gabisa, Mami gaakan maksa.”

Wira tersenyum, senang akan keputusan Maminya yang selalu meletakkannya sebagai prioritas.

“Mami…”

“Iya?”

“Mami kenapa ga balikan sama Umma?” tanya Wira hati-hati

Jessica hanya bisa menghela nafas, “Kamu tahu kan, Umma kamu selingkuh. Ketika Mami masih berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini, Umma kamu yang meminta agar Mami menceraikannya. Mami jadi gapunya alasan lagi, Nanta. Padahal Mami ingin memaafkan Umma kamu agar kamu ga tumbuh hanya dengan satu orang tua. Tapi Mami gagal, Nanta. Mami gabisa mempertahankan itu.”

Wira berdiri dari duduknya dan memutari meja makan. Perlahan, dia memeluk Maminya yang terlihat sangat rapuh itu.

“Mami masih punya, Nanta,” bisik Wira pelan

“Iya, Sayang,” Jessica mendorong pelan bahu anaknya, “Nanta kalau masih mau ketemu Umma, gapapa. Itu hak Nanta. Nanta sudah besar.”

“Makasih, Mami,” Wira kembali memeluk Maminya dengan erat.

Tere hanya berani memandang Jessica dari sudut matanya. Walaupun wanita itu tidak terlihat berbahaya; dalam artian menamparnya seperti terakhir kali mereka bertemu, tetap saja Tere tidak bisa menutupi rasa khawatirnya.

“Saya minta maaf atas perbuatan anak saya. Apabila ada hukuman yang pantas, saya rasa anak saya memang harus menjalaninya,” kata Jessica tenang setelah mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah SMA SM International.

“Anak saya juga,” sahut Yuri menambahi. Theresia tidak bisa menahan keinginannya untuk memutar bola matanya malas. Dia tahu sedari awal Yuri terlihat ingin menunjukkan padanya bahwa dirinya adalah teman dekat Jessica.

“Hukumannya membersihkan beberapa ruangan di sekolah ini,” kata Pak Yuda, Wakil Kepala Sekolah bidang Kemahasiswaan, “Dalam kurun waktu dua minggu.”

Wira hendak protes tapi tepukan pelan di pahanya oleh Jessica menghentikannya. Pertanda bahwa maminya tidak mau lagi memperpanjang urusan ini.

***

“Kita bicarakan nanti di rumah,” kata Jessica ketika Wira mengantarkannya ke gerbang sekolah. Tere hanya diam sambil mengekori jalan anak tunggalnya itu, “Mami pikir hanya Mami yang dipanggil oleh sekolah kamu.” Wira menoleh ke belakang, melihat Ummanya yang tersenyum salah tingkah

“Tadi awalnya begitu, tapi…” Wira menggaruk lehernya yang tidak gatal

“Gapapa kan sekalian aku pengen tahu Nanta sekolahnya dimana,” sela Tere. Jessica hanya memandangnya sinis sebelum menoleh ke arah kedatangan mobilnya. Tadi dia menolak untuk kembali ke kantor bersama dengan Yuri karena Wira menahannya.

“Kenapa gamau dianter Umma aja?” tanya Wira polos

“Umma kamu ada urusan setelah ini,” jawab Jessica cepat, “Mami kembali ke kantor. Hukuman yang diberikan sudah pantas buat kamu, Nanta. Jangan berulah lagi.” Wira hanya bisa mengangguk pasrah sebelum Maminya mencium pipinya seperti biasa ketika Maminya pamit. Jessica sempat melihat ke arah Tere sebelum membuka pintu mobilnya dan meminta Pak Suko menjalankan kendaraannya.

“iri lo Umma liat kamu bisa dicium pipinya sama Mami,” kata Tere setengah bercanda

“Kenapa ga balikan aja?”

“Tunggu cerita Mami kamu aja,” Tere menepuk pungung Wira, “Ada banyak alasan menngapa Mami kamu gabisa maafin Umma begitu saja.”

Mungkin tidak terhitung lagi Wira bersyukur memiliki sahabat-sahabatnya dan juga Kayna disaat seperti ini. Walaupun moodnya berantakan sejak dia harus menerima bahwa teman maminya yang sedang dekat adalah ibu dari Jeano, setidaknya teman-teman dekatnya dan Kayna berhasil memberikan hiburan aagar dirinya tidak terlalu kepikiran. Toh nanti dia berjanji akan membicarakannya dengan maminya.

Namun rasa damai yang menyelimutinya tidak bertahan lama. Wira sedang menunggu Kayna selesai rapat osis untuk mengantarkan gadis itu membeli buku ketika Jeano, yang notabene adalah ketua osis, mencegatnya di lorong dekat kelasnya

“Gue ga pernah punya masalah sama lo sebenernya, Kak,” desis Wira tidak sabar. Posisinya cukup sulit karena dia sendirian sedangkan Jeano bersama dengan sahabatnya, Juan dan Narendra

“Gue juga,” Jeano terkekeh, “Tapi kita bakalan jadi saudara tiri? Jadi setidaknya kurangi sifat ga sopanmu itu.”

“Gue gapernah ga sopan sama lo ya,” Wira menggelengkan kepalanya heran, “Lo yang tiba-tiba datang dan minta gue jauhin Kak Kayna.”

“Udah lah, Wir. Kita bertiga di sini tahu kok sebenernya lo naksir Kayna kan? Kasian banget kalo lo cuma jadi mainan sama dia?”

“Apa-apaan? Kak Kayna ga gitu.”

“Kenapa lo berani bilang gitu? Kenal banget sama Kayna?” Jeano terkekeh mengejek, “Denger ya adik kecil, walaupun lo naksir berat sama Kayna, gue sih nyaranin jauhin dia. Dia cuma mau sama gue. Liat tuh kalo gue nganterin atau jemput, dia pasti mau. Emang yang lain selalu ditolak?”

“Tau apa lo, Kak?” Wira menantang, “Si paling kenal.”

“Lo bener-bener ga sopan ya? Padahal kita bakalan jadi saudara!” Jeano mendorong bahu Wira sehingga membuat gadis itu mundur. Keributan di lorong ini mau tidak mau membuat kerumunan, namun belum terlihat sosok Al, Rara maupun Ayuning karena memang posisinya jauh dari ruang kelas XI.

“Apaan sih, Kak. Gue masih hormat karena lo senior dan ketos gue,” balas Wira tak kalah sengit, “Ga usah bawa hubungan ortu kita yang belum jelas itu.”

“Banyak omong lo ya!” Jeano melayangkan pukulan namun masih bisa dihindari Wira. Gadis itu membalas dan membuat Jeano tersungkur ke belakang. Karena malu, Jeano langsung berdiri dan membalas pukulan itu tepat di rahang kanan Wira. Kegiatan saling memukul tersebut terhenti karena Narendra menarik Jeano dan Al yang datang bersama Rara dan Ayuning berhasil memisahkan Wira. Belum sempat mereka membubarkan diri, Kepala Sekolah mereka, sudah meneriaki nama Wira dan Jeano untuk ke UKS sebelum ke ruang kepala sekolah.

****

Jantung Kayna seakan berhenti berdetak ketika mendengar Gia membisikkan bahwa Wira bertengkar dengan Jeano. Rapat yang harusnya dipimpin Jeano dia ambil alih karena lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali; ternyata ketosnya sedang sibuk bertengkar dengan adik kelasnya.

Kayna mengakhiri rapat dengan cepat walaupun ada beberapa keputusan yang belum sempat dibahas. Dirinya langsung meninggalkan ruang rapat dengan cepat. Beberapa temannya berbisik apakah dia khawatir dengan kondisi Jeano karena memang kedekatan mereka berdua sudah seperti rahasia umum di kalangan osis.

Namun mereka salah. Karena yang Kayna tuju adalah Wira. Tidak peduli pandangan mata penghuni UKS dan juga pandangan kecewa dari mata Jeano karena melihat Kayna langsung masuk ke UKS dan menuju Wira, bukan padanya. Bahkan Kayna tanpa sungkan membantu mengobati luka memar di wajah Wira, tanpa memperdulikan Jeano yang terus memandangi punggungnya.

“Mami cantik banget malam ini,” puji Wira setelah memarkirkan mobil di sebuah restoran mewah yang menjadi tujuan mereka malam ini.

“Malam ini aja?” goda Jessica sambil mengambil tas tangannya.

“Cantik terus sih,” Wira tertawa sambil menunggu Maminya berjalan di dekatnya.

“Teman Mami ini, Nanta pernah ketemu?”

“Belum sepertinya. Oh, dia sudah datang.”

Wira mengalihkan pandangannya ke meja yang ditunjuk Maminya. Sesosok wanita berdiri dan tersenyum ke arah mereka. Namun sosok yang duduk di sampingnya membuat Wira sedikit terkejut. Terlebih, lelaki itu menoleh padanya dan menampilkan senyuman miring yang sangat Wira benci.

Lelaki itu adalah Jeano Pambudi, ketua osisnya yang pagi ini memintanya menjauhi Kayna.