wqwqwq12

Perasaan berjingkat sedang mewarnai hati Wira. Bagaimana tidak? Pujaan hatinya akan menginap dan mereka akan tidur dalam satu kasur yang sama.

“Nanti peluk ga ya tidurnya hehe,” Wira terkekeh sendiri dengan pikirannya. Walaupun memiliki pengalaman pacaran dua kali, Wira belum pernah memilik pengalaman menginap bersama dengan pacarnya, mungkin paling jauh ya liburan bareng. Itu aja barengan dengan teman-teman yang lain.

“Kok ngelamun?” suara Kayna mengejutkan Wira yang masih senyum-senyum sendiri. Gadis yang lebih tua itu baru saja membersihkan diri di kamar mandi dan bersiap untuk tidur

“Enggak apa, Kak, hehe,” Wira nyengir dan membiarkan Kayna berbaring di sampingnya. Dirinya hanya berharap Kayna tidak mendengar dengup jantungnya yang seperti suara drum supporter bisbol SMA mereka siang ini.

Wira memiringkan tubuhnya, menghadap Kayna yang juga mengubah posisinya untuk menghadap padanya. Senyuman terukir jelas di keduanya, menandakan mereka menikmati kehadiran satu sama lain.

“Aku tadi mainnya bagus ga, Kak?” tanya Wira, memecah kesunyian diantara keduanya.

Kayna tersenyum lagi, “Keren banget. Bener kata Mami kamu, kamu gagah tadi ketika main.”

Semburat merah menghiasi pipi Wira, membuat Kayna tidak tahan untuk mencubit pipi gadis di depannya.

“Kak, aku boleh minta sesuatu ga? Soalnya mainku kan keren.”

“Apa?”

“Cium.”

Kayna sedikit terkejut, tidak mengira Wira akan terang-terangan meminta cium kepadanya. Terlebih, Kayna tidak pernah memiliki pengalaman pacaran, apalagi ciuman sebelumnya.

“Aku belum pernah,” jawab Kayna pelan

“Boleh aku yang arahin?” tanya Wira pelan yang mendapatkan anggukan dari gadis yang lebih tua. Perlahan, Wira mendekat dan menangkup kedua pipi Kayna dengan tangannya. Kayna memejamkan matanya dan bisa merasakan hembusan nafas hangat milik Wira menerpa wajahnya. Kemudian, dia bisa merasakan kecupan lembut di bibirnya, pertanda kedua bibir mereka bertemu. Wira menurunkan tangan kanannya ke arah pinggang Kayna dan memosisikan dirinya di atas. Kecupan demi kecupan malas mereka lakukan, bahkan Kayna mulai terbawa dengan membalas ciuman dari Wira.

“Wow,” kata Kayna setelah Wira melepaskan pagutan bibir mereka.

Pemandangan adik kelasnya yang berada di atasnya dengan bibir merekah dan mata sayu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.

“Is it good?” tanya Wira pelan

“Wonderful.”

Wira hanya terkekeh sebelum mengecup kening Kayna dan mengucapkan selamat malam kepada kakak kelasnya itu.

Memang mungkin keduanya tidak memiliki hubungan yang jelas, namun mereka berdua tahu isi hati masing-masing.

Hari ini adalah pertama kali Kayna bisa menonton pertandingan bisbol putri sekolahnya. Ada untungnya memang bundanya memiliki acara keluar kota bersama dengan teman sekantornya.

“Widih, pake topi segala,” Fany tergelak melihat dandanan dari Kayna

“Dikasi Wira ini gue,” jawab Kayna sambil mendengus, “Ini kita langsung ke tribun apa ke tempat pemain dulu?”

“Kata Ning ke tempat pemain dulu,” jawab Gia setelah membaca pesan di gawainya, “Yuk ges, Ning sama yang lain nungguin di depan pintunya.”

Suasana ruang ganti memang cukup meriah, terlebih banyak saudara dan teman dari pemain yang masuk ke dalam dan memberikan dukungan kepada para pemain.

“Loh, Kak Kayna mana?’ tanya Wira setelah mengecek sarung tangannya

“Tadi ketemu sama temen SDnya,” jawab Yaya, “Ternyata dia lawan SMA kita.”

Mendengar itu Wira hanya bisa merengut, kok bisa Kayna tidak segera menemuinya padahal inti dia menonton ke sini kan untuk melihat Wira seharusnya.

Tak lama kemudian, Kayna masuk ke dalam ruang ganti pemain SMA SM. Melihat Wira yang membuang muka ketika mereka bertatapan, membuat Kayna sedikit bingung. Padahal malam sebelumnya gadis itu sangat semangat memastikan kehadirannya.

“Tadi gue ga sengaja keceplosan lo nemuin temen lo dulu,” bisik Yaya pelan, “Sorry, gue gatau kalo dia jadi badmood gitu.”

“Oalah gitu,” Kayna hanya terkekeh pelan. Memang dibalik sosok yang selalu tegas menjadi kapten bisbol dan sifatnya yang tengil, Kayna mulai merasakan bahwa aslinya Wira ini sedikit manja. Mungkin karena efek anak tunggal dari orang tua tunggal juga.

“SMA SM Internasional, Jaya Jaya Jaya!” teriak Wira memimpin yel-yel yang disambut meriah oleh yang lain. Kemudian mereka bersiap untuk masuk ke lapangan dan para penonton juga akan naik ke tribun. Ketika rombongan mulai berjalan ke arah lapangan melalui Lorong, Kayna menarik tangan Wira agar gadis berambut pirang itumengikutinya ke tempat yang lebih sepi.

“Kakak! Aku mau main ini,” Wira memberengut tapi tetap membiarkan tangannya digenggam oleh kakak kelasnya itu

“Iya, semangat ya,” Kayna tersenyum, “Aku minta maaf. Tisa itu temen SDku, dia juga pitcher di SMA Garuda lawan kamu nanti. Semangat ya.”

“Iya.”

“Gausah cemburu,” Kayna tiba-tiba mengecup pipi kiri Wira, “Main yang semangat ya, Wira.”

Wira terdiam sejenak sebelum memeluk Kayna singkat, “Tentu dong, sekarang jadi semangat!”

***

“Ngapain lu tadi?” tanya Gia ketika Kayna duduk di sampingnya. Temannya itu sedikit terlambat jika dibandingkan dengan yang lain.

“Kasih semangat ke Wira dulu,” jawab Kayna sambil tertawa, “Anaknya cemburu.”

“Haduh bocil,” Gia menggelengkan kepalanya. Belum sempat Kayna menjawab lagi, dirinya terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya yang duduk di sampingnya

“Tante,” Kayna tersenyum menyapa Jessica yang datang bersama Amber dan kedua sepupu Wira. Jessica membalas sapaan Kayna dengan senyuman yang cukup lebar sebelum diikuti sapaan dari teman-teman Wira yang lain.

Kayna sedikit terkaget lagi ketika Jessica mengeluarkan dua teropong kecil dari tas tangannya.

“Wira pesen untuk ngasih ke kamu,” Jessica memberikan satu teropongnya kepada Kayna, “Katanya kemarin lupa ngasih. Jadi sekalian dia bawain ke saya.”

“Makasih, Tante,” Kayna masih terkejut dengan keramahan Jessica kepadanya

“Buat liat Wira, kan bisa lebih jelas,” goda Jessica yang membuat Kayna tidak bisa menutupi semburat merah di pipi dan telinganya.

Pertandingan berjalan cukup seru. Kedua tim balas membalas mencetak angka, dan juga berbalas kesalahan. Kayna tadi melihat bagaimana Wira menghibur Catcher mereka yang gagal menangkap bola sehingga dua poin diperoleh oleh SMA Garuda.

“Inning 9 banget nih lolosnya,” gerutu Fany setelah melihat kegagalan Catcher SMA mereka.

“Tegang kali si Denta,” kata Ning sambil melihat ke arah lapangan, “Kesempatan terakhir nih.”

Pemukul pertama memasuki lapangan. Karena posisi tribun mereka di arah tenggara dari Pitcher Mound, Kayna bisa melihat ekspresi dari pitcher lawan. Terlihat jelas Tisa, teman SDnya yang tadi sempat memuji kecantikannya dan berjanji akan menghubunginya setelah pertandingan berakhir, tersenyum cukup lebar karena tahu batter dari tim SMA SM tinggal sedikit yang berada di kondisi prima.

Batter pertama giliran SMA SM di Inning 9 berhasil mencapai base pertama walaupun sudah 2-strike karena bola foul. Dua pemukul selanjutnya mendapatkan strike out dari lemparan Tisa yang seringkali menipu, membuat posisi SMA SM terdesak di skor 6-8. Pemukul selanjutnya adalah Rara. Selain berposisi sebagai CF andalan, dia juga batter terbaik yang dimiliki oleh SMA SM. Pukulan ke arah tengah berhasil membawa pemukul pertama berpindah ke base kedua dan Rara dengan dramatis meluncur ke base pertama.

“Itu sikunya Rara uda luka parah banget pasti,” kata Aleta melihat temannya mengusap sikunya setelah tiba di base pertama.

“Kalo ga luka ada yang kurang kayaknya,” Ning menambahkan, “Ini siapa pemukul terakhirnya ya.”

“Kayaknya ada pergantian,” kata Gia sambil mengarahkan teropong kecil milik Ning ke arah dekat bench.

“Oh, Wira?” Kayna sedikit bingung karena Wira sudah diganti pada Inning ke-5 tadi. Dia pikir Wira akan beristirahat karena Inning awal tadi cukup keras permainannya.

“Dia tersenyum,” kata Jessica ketika menyadari anaknya menoleh ke arah tribun mereka, seolah mencari sesuatu sebelum tersenyum lebar dan memakai helmnya.

“Foul!” teriak wasit yang berdiri di belakang catcher ketika Wira memukul bola terlalu ke belakang

“Foul!” teriak wasit lagi ketika hakim garis sebelah kanan mengangkat tangannya dan menyatakan bahwa bola sedikit melewati garis foul sebelah kanan.

Wira terlihat menarik nafas panjang sebelum mengambil posisi lagi. Two outs and two strikes tentu bukan posisi yang menguntungkan bagi Wira. Bola slider yang dilemparkan Tisa sempat hampir mengecohnya, namun dengan cepat Wira memukul bola bagian bawah dengan tongkatnya. Fly ball ke arah tengah dan siap disambut oleh dua midfielder SMA Garuda

“Walah out nih,” kata Aleta melihat dua midfielder SMA Garuda yang mundur perlahan untuk menerima bola lambung yang dipukul Wira

Namun Kayna merasakan hal yang lain, sosok yang barusan memukul, sosok yang mendapatkan kehormatan sebagai kapten dengan nomor punggung 18 itu masih berdiri tegak, seakan menantang pitcher lawan yang sudah yakin akan menang.

dukk

Ternyata bola mengenai papan skor yang berada di ujung lapangan. Home run!

Sorak sorai pendukung SMA Garuda terhenti, digantikan dengan kibaran bendera dari SMA SM dan dengan lantangnya menyanyikan yel-yel mereka. Kayna bisa melihat temannya, Fira dan Angga, pemimpin supporter SMA SM dengan lantangnya menyanyikan lagu kemenangan. 9-8, kemenangan bagi SMA SM Internasional pada pertandingan siang ini.

“Lama banget sih heran,” Rara bersungut kesal mendapati kedatangan Wira yang terlambat 30 menit dari waktu janjian mereka.

“Hehe lupa. Keasyikan ngobrol sama Kak Kayna,” jawab Wira tanpa merasa bersalah, “Yaudah ayo kita kemon berangkat.”

“Gue yang nyetir nih?” tanya Al melihat Wira melemparkan kunci mobilnya

“Gue sama Rara kan gabisa nyetir mobil,” jawab Ning kesal, “Udah buruan, nanti lepas lo orang yang mau ditemui.”

***

“Lo yakin ini tempatnya?” tanya Wira ketika mereka parkir di depan kos-kosan yang terlihat standar di depan mereka.

“Iya, gue kan bawa tu kalung elo yang ada fotonya Umma elo. Gue tunjukkin ke resepsionis tempat Umma lo kerja sekarang. Dikasi alamat ini sama nih kartu namanya,” jelas Rara panjang lebar sambil ngeluarin kartu nama dari dompetnya.

“Eh, itu ga sih orangnya,” Al menunjuk sesosok wanita yang berjalan ke arah tempat sampah umum yang terletak tidak jauh dari tempat mereka parkir.

“Gue samperin ya,” kata Wira sambil membuka pintu mobilnya.

“Umma!” panggil Wira agak keras, membuat sosok yang memakai celana training hitam dan hoodie dengan warna yang sama itu berbalik.

“Nanta...?”

Wira yakin itu Ummanya, karena hanya ada dua orang di dunia ini yang memanggilnya Nanta. Dengan cepat, dia melompat ke depan dan memeluk Tere. Tere yang sempat terkejut, balas memeluk anak tunggalnya dengan erat.

“Nanta kangen sama Umma,” bisik Wira pelan

“Umma juga. Maaf baru bisa balik Indo sekarang.”

“Kakak, hati-hati ih rambutnya,” sergah Wira dan menyelipkan ujung rambut Kayna ke belakang telinganya. Karena mereka sedang menikmati street food, Kayna lupa kalo dirinya menunduk dan membuat ujung rambutnya hampir tercelup ke kuah es kacang hijaunya.

“Dikuncir aja ya?” tawar Wira

“Ga bawa kuncir kayaknya aku,” jawab Kayna yang membuat gadis yang lebih muda merogoh saku tasnya dan mengambil kuncir berwarna hitam.

“Nih aku kan punya banyak, biasanya buat latihan. Dipake ya kak.”

Kayna tersenyum simpul sebelum mengikat rambutnya. Leher Kayna yang jenjang sempat membuat Wira menelan ludah, terlalu cantik pemandangan di depannya ini.

“Nanti aku ga bisa jemput pulang ya?” kata Wira ketika Kayna membereskan bekas minumnya. Kayna tersenyum sebelum mencubit pelan pipi Wira karena gemas.

“Iyaa, kamu gausah bikin ini jadi beban ya? Aku gapapa kok ga dianterin terus sama kamu.”

“Ya aku kan pengen.”

“Jangan sampai ganggu aktivitas kamu yang lain, Wira,” Kayna memegang tangan Wira lembut, “Yang penting saling komunikasi.”

“Kakak juga jangan ngorbanin waktu belajar sama les gara-gara aku pokoknya.”

“Siap kapten!”

Wira melihat dua pasang sepatu terletak di rak; selain sepatu maminya dan sepatunya sendiri. Dengan cepat, Wira berjalan menuju ruang kerja Maminya.

“Wira harus tahu alasannya, Jess,” suara tantenya, Krystal terdengar dari balik pintu, membuat Wira berhenti untuk tidak mengetuk pintu di depannya.

“Apapun alasannya itu?” terdengar omnya, Jeremy, menanggapi kakaknya, “Gue ga yakin Wira percaya sama alesan kalo dikasi sekarang.”

“Trus gue harus gimana?” Maminya terdengar frustasi, “Gue harus jujur? Tere emang uda lama di Indo kan? Dan gue berusaha nutupin itu agar ga kecolongan?”

“Kenapa?” Wira membuka pintu dengan cepat, memandang lurus ke arah Maminya yang terkejut

“Nanta...” bisik Jessica pelan, “Sudah pulang?”

“Jawab, Mi. Kenapa Mami ga pengen Nanta segera ketemu dengan Umma? Mami segitu bencinya sama Umma sampe Nanta gaboleh ketemu?”

“Kamu ga ngerti, Nanta...”

“Buat Nanta ngerti!” Wira setengah membentak. Dia membalikkan badannya dan berlari ke kamarnya. Setelah membanting pintu, tubuh Wira perlahan merosot ke bawah. Dirinya membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya, menangis tanpa suara.

“Nanta...” Wira mendengar Maminya memanggil dari balik pintu. Suaranya terdengar lelah dan sedih.

“Maafin, Mami.”

Wira masih diam

“Mami tahu, Nanta kecewa berat ya sama Mami? Maafin Mami, ya? Nanta boleh kok nemuin Umma. Maafin Mami yang ga segera ngasih tahu kamu padahal Mami udah tahu. Mami masih belum bisa maafin Umma kamu, Mami masih belum bisa menerima dia kembali.”

Ada jeda cukup lama sebelum Jessica berbicara lagi

“Alasan Mami cerai sama Umma kamu, karena Umma kamu selingkuh, Nanta.”

Kayna tidak peduli dengan pandangan beberapa temannya yang tidak sengaja tersenggol ketika dia berjalan dengan cepat. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Wira, adik kelasnya yang memintanya untuk bertemu.

Ketukan pelan di jendela mobil membuat Wira segera membuka kunci dari BMW hitam miliknya, membiarkan Kayna masuk ke kursi penumpang.

Baru saja Kayna menutup pintu, Wira sudah menghamburkan dirinya ke pelukan Kayna. Walaupun sempat terkejut, Kayna berhasil menyesuaikan posisi agar Wira bisa bersandar di dadanya sembari dia mengusap rambut pirang adik kelasnya itu.

“Kenapa sih?” gumam Wira di tengah helaan nafasnya yang panjang, “Kenapa aku ga dikasi tau?”

“Mungkin Mami kamu juga gatau? Bagaimanapun, Mamimu pernah mengalami periode yang pastinya juga menyedihkan, Wira. Aku gatau alasan kenapa orang tuamu cerai, tapi kamu gabisa menebak-nebak liar seperti ini.”

Usapan lembut Kayna di kepala Wira membuat Wira tenang, rasanya memang suara lembut Kayna ditambah dengan sifatnya yang dewasa selalu berhasil membuat Wira tenang.

“Mau nemenin Kak Kayna les.”

“Hah? Gimana maksudnya?”

“Aku tungguin sampai selese,” Wira mengeratkan pelukannya, “Mau dipeluk lagi.”

“Iya, Wira. Kakak ga pergi kok. Nanti kita bertemu lagi. Yuk sekarang anterin kakak ke tempat les.”

Memasuki ruangan yang sangat tidak familiar bagi Wira membuat gadis itu merasa bingung. Beruntung petugas perpustakaan membantunya, bahkan menunjukkan tempat dimana Kayna duduk. Kayna adalah langganan perpustakaan sekolah, wajar jika petugas perpustakaan pun mengetahui keberadaannya.

“Kakak,” Wira berbisik pelan, takut menganggu pengunjung lainnya. Kayna mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil, melambaikan tangannya agar Wira mendekat.

Yang mungkin Kayna tidak tahu, ketika dirinya mengangkat wajahnya, nafas Wira tertahan sembari dirinya memuji Kayna dalam hati.

“Kamu ga pernah ke perpus ya?,” goda Kayna ketika Wira sudah duduk di sampingnya

“Iya hehe,” Wira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Kok kakak tahu?”

“Ya soalnya aku ke perpus hampir tiap hari tapi gapernah liat kamu.”

“Kan aku di lapangan banyaknya,”

“Iya deh percaya,” Kayna menyentil ujung hidung mancung Wira sebelum kembali memperhatikan buku di depannya, mengabaikan Wira yang salah tingkah.

“Kakak baca aja terus gapapa,” kata Wira ketika Kayna mau menutup bukunya, “Aku nemenin aja.”

“Nanti bosen kamu, baru mau aku ajakin ke bilik diskusi,” Kayna menunjuk ruangan kecil di bagian depan yang memang diperuntukkan untuk diskusi sehingga cukup ramai.

“Males ah, rame. Pasti banyak yang nanyain kenapa kok kita berdua. Lagian enak di sini, pojokan,” kata Wira, “Tapi kak...”

“Hm?”

“Boleh sambil pegang tangannya Kak Kayna ya?”

Kayna hanya tersenyum dan mengangsurkan tangannya. Wira meraih tangan mungil Kayna, mengelipkan jemarinya di sela-sela jari tangan Kayna dan menggenggamnya erat.

Jessica memijat lehernya pelan. Setelah sepagian menemani putri tunggalnya ke dokter, dia segera kembali ke kantornya karena ada diskusi mengenai pengembangan kasus korupsi yang sedang dia tangani.

“Capek banget, Bu?” Agus, penyelidik dari timnya bertanya sambil mereka berjalan kembali ke ruangan.

“Lumayan, tadi sepagian di dokter soalnya nemenin Nanta.”

“Udah sembuh anaknya?”

“Uda kok, cuma diminta istirahat aja. Besok anaknya uda minta masuk sekolah.”

Agus mengangguk dan membuka pintu ruangan mereka. Sara, bagian administrasi menyapa dan memberitahukan Jessica bahwa ada orang yang mencarinya dan sekarang menunggu di taman depan.

Jessica berjalan perlahan sambil kebingungan, siapa yang mencarinya karena dia tidak merasa ada janji.

“Halo, Jessica,” betapa terkejutnya Jessica ketika melihat Tere, mantan istrinya berdiri dan menyapanya. Rasa kecewa dan marah masih ada di dalam dirinya.

Dengan cepat, Jessica maju mendekati mantan istrinya dan menampar pipi kanannya, sebelum berbalik dan meninggalkan wanita yang selalu menjadi cinta pertamanya itu.

Sudah sekitar 30 menit Kayna hanya duduk di dekat pintu UKS. Seharusnya dia sudah berangkat ke tempat lesnya 30 menit yang lalu. Seharusnya dia tidak berdiam di sekolah sampai detik ini.

Namun informasi dari Nindy, wajah panik Mila dan juga Al serta Ayuning yang mengomel di dalam UKS, membuatnya terus bertahan di tempatnya.

Buat apa sih gue gini? tanya Kayna dalam hati.

“Ngapain, Kak?” suara Ayuning mengagetkan Kayna

“Eh, aku...”

“Mau ngomong sama Wira?” tiba-tiba Al muncul dari belakang. Kayna sempat mengedarkan pandangan ke penjuru UKS, ternyata sudah tidak ada orang kecuali mereka berempat.

“Kata gue ngomong aja sih, Kak,” Ayuning melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, “Sebelum anak-anak baseball kelar.”

Kayna mengangguk dan memasuki ruangan UKS. Ayuning dan Al memberikan kode bahwa mereka akan menunggu di depan UKS.

Ketika Kayna berjalan mendekat ke kasur tempat Wira terbaring, hatinya mencelos. Dia melihat pipi kiri gadis itu tertutup plester. Bahunya bekas dikompres es batu.

“Wira...” Kayna berbisik pelan, membuat gadis yang terbaring membuka matanya.

“Kamu gapapa?” tanya Kayna

“Kakak bisa liat sendiri,” jawaban Wira terdengar ketus. Kayna paham itu.

“Kakak minta maaf.”

“Buat apa?”

“Karena bikin kamu ga konsen.”

“Kak Kayna selain jago bikin sakit hati, ternyata pede banget ya,” nyinyir Wira. Kayna hanya terdiam. Dia tidak sengaja menguping obrolan tiga sahabat sebelumnya. Ayuning sedikit mengomeli temannya itu karena masih kepikiran Kayna sampai tidak konsentrasi penuh ketika latihan.

“Yasudah kalo begitu. Intinya aku mau minta maaf aja,” Kayna bangkit dari duduknya, “Semoga lekas sembuh ya Wira.”

Belum sempat Kayna beranjak jauh dari duduknya, tiba-tiba tangannya digenggam oleh Wira.

“Mau... kemana?” tanya Wira ragu

“Pulang. Aku pikir ini semua salahku, ternyata aku terlalu percaya diri,” jawab Kayna pelan.

“Jangan pergi,” bisik Wira lirih, membuat Kayna kembali duduk. Perlahan dia melepaskan genggaman Wira dan mengelus kepala gadis itu.

“Iya, Wira. Aku di sini.”

Suasana taman belakang yang terletak tidak jauh dari lapangan baseball sekolah memang cukup sunyi. Selain jauh, biasanya tempat ini didominasi anak-anak klub bisbol putri yang beristirahat. Namun jika tidak ada latihan atau pertandingan, tempat ini sangat sunyi.

Maka dari itu, Rara dengan cepat menemukan sosok Wira yang terduduk lesu, menyandarkan punggungnya di pohon.

Rara dan Aleta ikut duduk, tak lama kemudian Ayuning menyusul.

“Lo kenapa?” Ayuning membuka pertanyaan.

Wira memandang ke arah langit.

“Gue ditolak sama Kak Kayna. Dia bilang dia ga nyaman gue perlakuin kaya gitu.”

Al dan Rara terkesiap, tapi Ayuning hanya mengangguk sebagai respons dari cerita Wira

“Lo kok ga kaget sih?” Al menyenggol Ayuning yang duduk di dekatnya

“Soalnya gue uda agak kepikiran,” Ayuning membetulkan posisi duduknya, “Apalagi Kak Kayna sempet bilang mau nonton baseball Sabtu kemaren itu. Gue mikir ada sesuatu di dia, makanya dia nolak Wira.”

“Tetep aja,” Wira menghembuskan nafas panjang dan membenamkan wajahnya di kedua lututnya, “Sakit hati gue.”

“Wajar, Bro!” Rara menepuk punggung sahabatnya, “Ntar cari lagi lah. Mumpung belum naksir-naksir banget.”

“Maunya Kak Kaynaa,” Wira merajuk dan membuat Al maupun Ayuning ikut tertawa.

“Fokus baseball aja, biar lupa,” kata Ayuning menyudahi sesi merajuk dari Wira