wqwqwq12

Wira tersenyum riang ketika bel pulang sekolah berbunyi. Hari ini dia tidak ada jadwal latihan, sehingga dia bisa dengan leluasa menawari Kayna untuk diantarkan ke tempat les.

“Siang, Kak!” sapa Wira semangat

“Hai,” Kayna hanya mengangguk dan menutup pintu lokernya

“Ke tempat les, aku anterin ya kak?”

Kayna terdiam sejenak sebelum menghela nafas panjang

“Can you stop? Aku ga nyaman jujur.”

“Eh?” Wira tersentak, kaget dengan nada dingin Kayna yang sama sekali tidak dia duga.

“Permisi, aku buru-buru,” Kayna meninggalkan Wira yang masih terpaku, bingung dengan apa yang disampaikan oleh pujaan hatinya.

Tanpa Wira sadari, Kayna mengusap air mata yang menetes dari sudut matanya.

“Hai Kak!” sapa Wira riang. Kayna barusan menutup lokernya dan sedikit terkejut melihat adik kelasnya. Karena seharian ini, nama Wirananta Wijaya sedang menjadi trending topic di sekolah berkat permainan cemerlangnya Sabtu lalu.

“Hi, Wira,” Kayna tersenyum kecil menanggapi

“Keburu, Kak?”

“Eh, iya. Mau bimbel.”

“Mau aku anterin?”

“Gausah,” tolak Kayna, “Aku biasa naik bus kok.”

Wira diam, penolakan dari Kayna sungguh aneh karena gadis itu bahkan tidak melihat ke arah matanya. Ketika memperhatikan paras ayu milih Kayna, Wira sadar bahwa gadis itu terlihat pucat dan lemas.

“Kakak sakit?”

“Eh, enggak kok,” jawab Kayna. Namun gerakan dia selanjutnya berkebalikan dengan ucapannya. Dia memijat keningnya dan menyandarkan kepalanya ke loker.

“Kak! Kak Kayna!” Wira mulai panik karena darah keluar dari hidung Kayna. Secara cepat, Wira menggendong Kayna dengan meletakkan tangannya di bawah lutut dan bahu Kayna, membawanya ke UKS yang terletak tidak jauh dari locker hall

“Lo tumben Senin kosong?” tanya Krystal setelah mendapati kakaknya itu duduk menikmati teh yang barusan dihidangkan pegawainya. Walaupun sama-sama bekerja di bidang hukum, mereka berdua berada di bagian yang berbeda. Krystal adalah salah satu pengacara kondang ibukota dengan firma hukum yang sangat besar, sedangkan Jessica adalah jaksa di pengadilan tinggi. Ibu mereka adalah mantan hakim agung; sekarang sedang menikmati masa pensiun di sebuah kota kecil yang terletak di kaki Gunung Slamet.

“Gada kasus ataupun rapat,” Jessica kembali menyesap teh, “Lagian lo bilang ada urgent, makanya gue ke sini.”

“Jeremy kena macet di Bundaran HI,” kata Krystal setelah mengecek gawainya. Jeremy adalah anak terakhir dari tiga bersaudara yang berprofesi sebagai arsitek, mewarisi bakat dan firma milik almarhum ayah mereka.

“Santai aja,” Jessica melirik jam tangannya, “Gue kosong sampai sore. Kalo malem gue lebih suka di rumah.”

“I know,” Krystal tersenyum mendengar kebiasaan kecil kakaknya. Dia sibuk, namun anaknya tetap nomor 1. Toh Wira anak tunggal, siapa lagi yang dimiliki oleh Jessica kalo bukan Wira?

“Sorry, Sis!” kata Jeremy setelah duduk di sofa ruang tamu kantor milik Krystal, “ Macet banget padahal uda after lunchtime.”

“Ya Jakpus?” Krystal hanya tertawa

“Jadi ada apa lo manggil kita?” tanya Jessica sambil menunggu Krystal duduk

“Tere kayaknya bakalan balik ke Indo,” kata Krystal singkat, “Vic yang cerita.”

“Darimana Kak Victoria tau?” Jeremy mengambil teh yang barusan dihidangkan oleh pegawai Krystal

“Vic kan kerja di industri musik juga,” jawab Krystal, “Ternyata selama ini Tere di LA. Dia ikut kerja sama temen kuliahnya Vic yang punya studio musik indie. Trus sekarang, perusahaannya Vic tertarik buat rekrut dia by contract

Jessica menghembuskan nafas panjang. Bayangan Theresia, atau lebih sering dipanggil Tere, yang meninggalkannya pada malam itu masih jelas di kepalanya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat foto istrinya itu bersama wanita lain pada malam sebelumnya, betapa sakit hatinya dia ketika istrinya hanya bisa diam dan tidak menjawab segala tuduhannya.

Dan ingatan mengenai Wira yang terus bertanya kenapa Ummanya pergi dengan koper besar.

Jessica jujur masih mengingat semua luka itu.

“Kak Jess,” Krystal menepuk pundak kakaknya yang terlihat melamun

“Sorry,” Jessica kembali menghela nafas, “Gada hubungannya sama gue kan?”

Jeremy menaikkan alis kirinya, “Kak, kita semua tahu lo masih pake Nanta buat manggil si Wira karena itu mengandung nama Kak Tere.”

“Kebiasaan. Sulit buat gue ga panggil dia dengan Nanta. Toh cuma gue dan anak gue ngerasa spesial dengan itu.”

“How about you?” Krystal melirik tajam kakaknya, “Kita ga ngomongin soal Wira. Kita ngomongin soal elo.”

“Gue...” Jessica berpikir sejenak, “Gue rasa 7 tahun waktu yang lama buat gue ngelupain dia.”

“Well,” Jeremy mengangkat bahunya pelan, “Gue masih berada di pikiran gue yang awal.”

“Lo tuh,” Krystal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Kita tau lo deket banget sama Tere, tapi bukan berarti lo bisa bela dia terus, Jer.”

“Gue ga bela dia, Kak. Gue cuma minta kepastian apa bener dia selingkuh. Buktinya dia ga jawab kak dulu.”

“Ga jawab tapi langsung pergi dan ketika Kak Jes gugat cerai, dia ga protes.”

“Udah udah,” Jessica menengahi. Memang perceraiannya dengan Tere membuat nama keluarga besar menjadi sedikit tercoreng. Terlebih dari awal, Jonathan Wijaya, ayah dari Jessica menentang pernikahan mereka sampai dengan dirinya tutup usia pada tahun kedua pernikahannya. Ditambah dengan kasus selingkuh yang melingkupi perceraian Theresia dan Jessica, nama Theresia benar-benar buruk di mata keluarga besar.

“Kita ga bahas ini lagi,” kata Jessica, “Kalo emang Tere balik, pasti dia bakalan nyari Nanta kan? Secara dia darah dagingnya.”

“Lo emang mau mereka ketemu?” tanya Krystal

“Kalo Nanta mau, silakan. Tapi gue ga bakal mau ketemu dia.”

“Kak...” Jeremy memelas, “Lo bener-bener gamau maafin Kak Tere?”

“Ga sekarang. Dan gatau kapan,” jawab Jessica singkat, menyudahi obrolan mereka.

“Bik Inah tumben Sabtu pagi banget,” Wira mengucek matanya sambil berjalan ke arah meja makan

“Semalam ditelepon nyonya, Non Wira,” jawab wanita separuh baya itu, “Katanya Non mau tanding pagi.”

“Iya sih, biasanya makan roti beli sambil berangkat kok,” Wira duduk di kursi dan melihat sarapan lengkap penuh protein, “Pas bener menunya, Bik.”

“Pesen nyonya,” Bik Inah tergelak, “Bibik googling dulu tadi. Temen-temen kamu uda ke sini? Ini Bibik masak buat mereka juga.”

“Lagi di jalan kok, mungkin abis gini nyampe.”

***

“Out! Three out for SMA Bina Angkasa!” teriak wasit yang membuat sorak sorai penonton dari SMA SM pecah. Bendera lambang sekolah mereka yang berwarna merah maroon, sama dengan jersey yang sedang dipakai para pemain, berkibar dengan gagahnya di tribun.

Skor 7-2 sangat mencolok, dan Wira menjadi bintangnya dengan 10 kali membuat strike out bagi lawan.

“Jagoaaan,” Amber tersenyum lebar ketika menemui Wira di ruang ganti tim tamu. Setelah briefing singkat dan semua pemain beberes, keluarga maupun teman bisa bertemu dengan para pemain.

“Tantee, wah Dhea sama Aldo ada juga,” Wira menyambut pelukan dari kedua sepupunya itu

“Kak Wira keren banget!,” Aldo, sepupu Wira yang sudah kelas 6 SD mengacungkan jempolnya

“Memang andalan bukan,” Rara memeluk leher Wira dari samping diikuti oleh Al. Ayuning dan Gia mengekor di belakang sambil terkekeh.

“Kakak tadi larinya kenceng banget!” puji Dhea kepada Rara yang membuatnya tersenyum lebar

“Kamu jangan naksir dia tapi, Dek. Buaya,” Al menimpali, mendatangkan tawa dari semuanya.

Mata Wira mengelilingi ruang tunggu, menemukan Giana, Yaya dan juga Fany, namun tidak Kayna.

Guratan kecewa tidak bisa dia tutupi, baru kemarin dia bisa mengobrol santai dengannya. Apakah ada hubungannya dengan dia menangis di kebun kemarin? Harusnya Wira menanyakan tentang itu.

cw // explicit mentioning of sex

Sesi ciuman panas mereka sore ini berakhir dengan cuddle. Walaupun Winter lebih pendek sekitar 3cm dari Karina, lengannya yang kokoh selalu menjadikan dirinya big spoon. Terlebih, Karina lebih suka menyandarkan kepalanya di dada Winter, mendengarkan detak jantung teratur dari gadisnya sambil sesekali merasakan rambutnya diusap lembut.

“Nanti mau makan malam apa?” tanya Winter pelan setelah mengecup puncak kepala Karina

“Terserah,” Karina berdehem dan kembali memejamkan matanya

“Kamu kalo jawab terserah biasanya endingnya tidur lo, Sayang.”

Karina hanya mengangguk dalam pelukan Winter. Entah kenapa pelukan dan usapan di rambutnya selalu menenangkan.

Winter suka memainkan jari-jarinya di punggung Karina; jari-jarinya yang panjang itu entah kenapa selalu memberikan keyakinan bagi Karina bahwa Winter akan selalu ada untuknya.

Perasaan bersalah tiba-tiba lewat di pikiran Karina. Perasaan bersalah karena sempat meragukan kekasihnya, perasaan bersalah karena lebih sering berkata tidak untuk permintaan kekasihnya.

“Win...”

“Iya?”

“Habis kejadian aku diculik, kamu ga merasa jijik gitu sama aku, Win?”

Elusan di punggung Karina berhenti, membuatnya mengangkat wajahnya dan bertemu dengan wajah Winter yang sedang menautkan alisnya bingung.

“Aku udah disentuh orang lain, Win. Rasanya jijik banget kalo inget apa yang Domi lakukan ke aku.”

Winter hanya diam. Perlahan dia mengangkat wajah Karina dengan jarinya karena kekasihnya mulai menunduk.

“Aku udah bilang berapa kali kalo aku ga peduli,” jawab Winter tegas

Karina menghela nafas panjang, membuat Winter menggeser tubuh Karina ke samping. Dia diam sejenak sebelum mengecup pelan bibir Karina. Kecupan demi kecupan berubah jadi lumatan karena Karina mengalungkan kedua lengannya di leher Winter, membuat keduanya berciuman semakin dalam sebelum terpaksa berhenti sejenak untuk menarik nafas.

Karina merasa mata Winter menggelap; ingatan pada saat mereka having sex di waktu sebelumnya lewat ke dalam pikiran Karina.

Karina paham Winter menginginkan tubuhnya

Gadis berambut hitam itu memeluk tubuh Winter dan berbisik pelan

“Sayang, make me forget.”

Winter terdiam, mencerna kata-kata Karina

“Make me forget, Win. Make me only remember how your lips tasted on my skin. Make me only remember you call me babygirl during this time.”

Winter mengangkat tubuhnya dari Karina, memandang mata sayu kekasihnya itu sebelum menghujani leher jenjangnya dengan ciuman yang basah. Sambil menikmati desahan Karina karena dia menemukan titik sensitif di lehernya, Winter membuka satu persatu kancing kemeja Karina.

“Aku mau lepasin kaos kamu,” pinta Karina setelah Winter sudah membuatnya setengah telanjang. Winter mengangguk dan membiarkan Karina menarik kaos hitam yang dipakainya melewati kepalanya. Tubuhnya yang putih sangat kontras dengan bekas-bekas luka di sekujur tubuh Winter, mulai dari lengan atas sampai dengan perutnya.

Karina menelusuri bekas-bekas luka itu dengan telunjuknya, meninggalkan rasa bergidik di hati Winter.

“Luka kamu banyak,” bisik Karina. Winter menggenggam tangan Karina dengan tangan kirinya, tangan kanannya menahan tubuhnya agar tidak menindih Karina. Perlahan, Winter membawa tangan Karina ke atas jantungnya.

“Selama jantungku berdetak dan ada kamu di dalam alasan untuk dia berdetak, aku ga masalah nambah luka lagi di badanku.”

Winter membawa tangan Karina ke bibirnya, mengecupnya dengan lembut.

“I love you,” kata Winter

“I love you more.”

Jawaban dari Karina membuat Winter kembali melanjutkan aktivitasnya. Bibir basahnya bergerak dari ujung hidung Karina, turun ke dagu dan lehernya. Winter melepas kaitan bra Karina dengan cepat sebelum mengulum kedua buah dada kekasihnya secara bergantian.

Semua aktivitas itu membuat Karina mendesah cukup keras sampai punggungnya melengkung ke atas.

Tibalah bibir Winter di perut Karina, tepat di luka jahitan yang terlihat masih baru. Winter menciumnya pelan.

“Aku janji ga bakalan buat kamu kaya gini lagi,” kata Winter, “Kamu percaya kan sama aku?”

Karina mengangguk karena sudah tidak lagi bisa berkata-kata. Bibir Winter yang menjelajahi setiap lekuk tubuhnya sudah bisa membuatnya tak berdaya.

Winter melanjutkan aktivitasnya dengan melepas celana Karina.

“Win...” Karina meremas rambut Winter, membuat gadis berambut pendek itu menghentikan aktivitasnya, “Please, be gentle with me.”

“Always I am, babygirl,” Winter tersenyum miring sebelum melahap titik paling sensitif di tubuh Karina. Kenikmatan yang luar biasa membuat Karina meremas sprei kasur mereka dan tidak bisa lagi menahan teriakannya.

“You taste so good, my babygirl,” Winter terkekeh sebelum mengangkat wajahnya dan merangkak naik menindih tubuh Karina. Secara cepat dia mencium bibir Karina yang sudah memerah dah tebal. Ciuman tersebut membuat Karina tidak sadar bahwa tangan Winter bergerak turun.

“Ah!” Karina merasakan Winter kembali memasukinya dengan jari tengahnya. Dirinya kembali mengangkat pinggangnya, membuat Winter kembali memasukkan jari lainnya. Pergerakan yang cukup cepat membuat Karina keluar lagi.

“Sakit?” tanya Winter sambil mengecup dahi Karina yang masih terengah-engah. Winter merapikan poni Karina yang berantakan ketika gadis itu mengangguk pelan.

“Iya, sakit.”

“Maaf ya,” Winter membawa Karina ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepalanya lembut, “Maafin aku ya, babygirl? Nanti kalo sakit lagi, kamu bilang ya?”

Karina mengangguk pelan di dalam pelukan Winter, “Aku belum bikin kamu keluar.”

“Nanti ya, Sayang?” Winter mendorong pelan tubuh Karina agar bisa melihat wajah cantik kekasihnya yang terlihat lelah, “Kamu masih capek.”

“Kamu gamau?”

“Mau, Sayang. Tapi aku ga maksa,” Winter mengecup pucuk hidung Karina karena gemas melihat wajah merengut kekasihnya itu, “Prioritasku itu kamu. Nyamannya kamu. Kamu keliatan capek, istirahat dulu ya? Janji kok kalo kamu uda ga capek gantian aku.”

“Makasih ya, Sayang,” Karina menghambur ke pelukan Winter

“Likewise, babygirl” goda Winter

“Cuma ini doang bolehnya. Kalo lagi di luar aku gamau dipanggil gitu.”

“Iyaa.”

“Win..”

“Hmm?”

“If you want to touch me, just tell me. Because I'm yours”

“Jadi barang-barang kamu di sini ya,” Winter membuka satu pintu dan menunjukkan kamar tamu yang sudah ditata sebelumnya. Beberapa baju Karina sudah masuk ke dalam lemari, beberapa masih di kardus.

“Kamu beli meja baru?” Karina berjalan ke arah meja kerja kecil lengkap beserta kursi kerjanya.

“Mamah yang beliin,” Winter berjalan mendekati Karina dan memeluknya dari belakang. Lengannya melingkari pinggang kecil Karina, “Sebelum beliau pulang aku diajak ke toko trus beli deh. Kirain buat siapa, ternyata buat kamar kamu ini.”

“Makasi ya...”

“Hmm,” Winter menggumam dan meletakkan dagunya dengan nyaman di bahu Karina. Perlahan menggerakkan kedua tubuh mereka ke kanan dan ke kiri

“I love you,” kata Winter tiba-tiba, membuat Karina terhenyak sedikit. Dia melonggarkan pelukan Winter dan berbalik, menangkup kedua pipi Winter

“I love you, even more,” kata Karina sebelum mencium bibir Winter.

Dinner kali ini Jessica meminta ke Restoran Cina kesukannya. Dengan meja lingkaran dan deretan menu yang ditata di bagian meja yang bisa diputar, keempat anggota keluarga Taeyeon Jessica, ditambah dengan Karina, menikmati makan malam ini.

“Abang kapan ngenalin yang kapan dulu diajak makan sama adek?” Winter menggoda Jaehyun yang sedang menikmati Bebek Pekingnya

“Loh, Abang uda ada pacar?” Jessica mengalihkan pandangannya ke arah Jaehyun yang duduk di antara Taeyeon dan Karina.

“Adek,” Jaehyun melotot kepada Winter yang tersenyum lebar, “Belum pacar, Mah. Abang masih deket aja, doain ya.”

“Mau ditembak kaya dulu Adek nembak Karina ga? Kan pas makan malam bareng juga,” Taeyeon ikut menggoda anak sulungnya

“Oiya,” Winter menjentikkan jarinya, membuat Karina tertawa kecil

“Kamu kok mau-maunya sih, Rin. Sama modelan preman gitu,” balas Jaehyun

“Soalnya...” Karina menahan senyumannya karena keempat pasang mata memandangnya, “I feel loved by her.”

Jessica dan Taeyeon terkekeh pelan melihat mata anak bungsunya bersinar mendengar pernyataan kekasihnya itu.

“Langgeng ya,” kata Jaehyun sambil kembali mengunyah potongan bebek pekingnya.

“Oiya, Mah, Umma,” panggil Winter meminta perhatian kepada kedua orang tuanya.

“Iya?”

Winter memegang tangan Karina yang diletakkan di meja. Karina paham itu adalah tanda bahwa Winter akan menjelaskan mengenai Karina yang akan tinggal bersamanya.

“Boleh ga, Mah, aku nikah sama Karina sekarang?”

“Gimana?!” Jaehyun membulatkan matanya, bingung dengan keputusan adiknya yang tiba-tiba. Menikah? Dirinya saja bahkan belum meresmikan calon kekasihnya.

Bahkan Karina pun hanya bisa bengong melihat kekasihnya.

Keheningan barusan terpecahkan dengan cubitan Jessica ke pinggang Winter yang membuat anaknya itu terpekik kecil.

“Yang bener kamu itu heh!” sahut Taeyeon

“Beneran aku tu...” Winter mengusap pinggangnya yang sedikit nyeri, “Mau nikahin Karina.”

“Kamu selain Mamah unyel-unyel, diterkam Tante Irene kamu,” Jessica melotot kepada anak bungsunya, “Karina, ini gimana?”

“Seriusan, Tante. Saya juga ga tau ini,” Karina menoleh kepada Winter yang menggaruk tengkuknya sambil nyengir, “Tadi kami sepakat mau biacarain kalo saya mau tinggal bareng Winter. Ini kok jadi nikah tiba-tiba.”

“Bocil dasar,” Taeyeon mengusap wajahnya lega, nyaris saja dirinya harus memegangi istrinya agar tidak mencubit gemas anaknya lagi.

“Umma dan Mamah kan sering cerita kalo nikah pas usia muda juga. Adek ya mau kaya gitu,” Winter beralasan.

“Umma emang ngajak Mamah nikah waktu kami masih kuliah,” Taeyeon memegang tangan Jessica dan mengusapnya pelan, “Tapi kami nikahnya abis lulus kuliah. Sebelumnya kami mempersiapkan finansial dan mental kami dulu. Ga langsung tiba-tiba.”

“Ooo,” Winter mengangguk-angguk

“Kamu tu aneh-aneh aja, Winter,” Karina menggelengkan kepalanya, “Nyaris copot ni jantung.”

“Gapapa hehe latihan buat besok-besok,” Winter nyengir

“Yang bener kalo minta nikah tuh,” Jessica kembali mencubit pinggang Winter, “Disiapin semuanya, mana mau Karina nikah sama bocil yang belum mandiri finansial dan semuanya. Ya Karina ya?”

Karina hanya bisa mengangguk sambil tertawa ketika ditodong seperti itu oleh Jessica

“Soal tinggal bareng, ga masalah. Sabar ya Karina nantinya kalo Winter kelakuannya ga jelas,” lanjut Jessica, “Kalo dia berulah, hubungi abangnya atau tante langsung ya.”

“Siap,” jawab Karina yang membuat Winter memutar bola matanya malas.

Kebun sekolah yang terletak dekat dengan lapangan bisbol menjadi tempat yang dituju Kayna siang ini. Jam matpel terakhir hari ini kosong, beberapa guru diminta untuk datang ke dinas untuk rapat termasuk guru kelas Kayna.

Kayna punya alasan untuk tiba-tiba pergi sendiri, menolak ajakan Fany untuk bermain uno stacko di kelas.

Alasannya karena dia ingin menangis. Semalam, dia meminta izin kepada mamanya untuk menonton pertandingan bisbol di hari Sabtu. Bukannya izin yang didapatkan, tapi malah omelan dari mamanya itu.

Kamu itu udah kelas XII, bukan waktunya main-main. Kamu jangan bandingin sama teman-teman kamu yang punya pilihan lain kuliahnya ya, kamu kalo ga masuk negeri mau jadi apa?

Ungkapan seperti itu sering Kayna dapatkan. Bahkan mamanya pernah terang-terangan menyindir ibunya Fany yang membebaskan anaknya pergi bermain di masa ujian. Responsnya memang terlihat biasa saja, tapi Kayna jadi merasa tidak enak kepada ibunya Fany.

Padahal Kayna hanya ingin pergi di hari Sabtu, bukankah itu waktu yang tepat untuk beristirahat?

Kayna menekuk kakinya, membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya dan mulai menangis. Entah berapa lama dia menangis, Kayna merasakan ada yang menepuk pundaknya. Dia menangkat wajahnya sedikit dan mendapati seseorang berjongkok di sebelahnya.

“Kak, hehe, maaf ganggu. Tapi sayang rok kakak kotor duduk di rumput basah situ. Mending sini kak geser aku ada matras.”

Sungguh aneh ketika dirimu menangis namun orang yang melihat tidak bertanya kenapa melainkan menawari duduk. Kayna hanya mengangguk dan menuruti gadis yang menggeser matrasnya untuk bisa diduduki mereka berdua. Kayna mengingat-ngingat dimana dia melihat gadis itu.

Oh, gadis pelempar bola di tim bisbol!

“Namaku Wirananta,” kekeh gadis berambut pendek pirang itu, “Kak Kayna bukan?”

Kayna mengangguk, “Kok kamu ga di kelas?”

“Tadi dispen buat persiapan pertandingan besok, ternyata latihan terakhir bentar aja. Trus males balik kelas jadi ke sini deh,” Wira mengambil sesuatu dari tas kecilnya, “Nih kak minum, kayaknya haus. Ini baru kok, tadi dikasih dua.”

Kayna melirik Wira yang mengangsurkan teh buah rasa apel, kebetulan itu favoritnya.

“Makasih,” Kayna menerimanya, “Kamu ga penasaran kenapa aku... nangis?”

Wira menggeleng dan Kayna bersumpah wajah gadis itu terlihat sangat imut.

“Pasti ada alasan. Aku iri loh kak sama orang yang bisa nangis.”

“Kok?”

“Ya karena bisa meluapin emosi,” Wira tertawa kecil, “Aku gabisa nangis dengan gampang kayaknya. Sedih juga sih kalo pengen nangis tapi gada air mata yang bisa keluar.”

Unik, sungguh unik. Pesona Wirananta ini sangat berbeda dengan yang lain. Di balik cara dia bicara yang terkesan cuek, ada kepedulian yang tidak terlihat secara jelas.

Siang ini, Kayna merasa sangat nyaman bahwa yang menemani dia adalah sosok Wirananta.

Kalau diminta memilih, Kayna lebih suka berada di perpustakaan, tempat les, sekolah, atau dimanapun selain di rumahnya. Bagi Kayna, rumahnya hanyalah a house, not a home.

Seperti siang ini, ketika jadwal bimbel Kayna belun keluar. Siswa lain tentu senang karena bisa beristirahat dan bermain. Tapi tidak untuk Kayna. Duduk di tribun lapangan baseball sekolahnya sambil membaca buku adalah kegiatan yang dia pilih siang ini.

Keunikan SMA SM ini adalah menentukan ekstra kurikuler andalan dan membuatnya menjadi sumber prestasi bagi sekolah. Di bidang olahraga, ada Bisbol Putri dan Basket Putra. Sektor olahraga lain hanya menjadi tambahan, dua bidang ini yang selalu menjadi eskul andalan bagi satu SMA.

“Rame juga ya,” batin Kayna. Lapangan bisbol milik sekolah ini tidak terlalu besar, tribunnya juga tidak terlalu banyak. Namun siang ini, Kayna bisa melihat beberapa kerumunan yang ikut menonton. Ada kerumunan adik kelas X yang sepertinya fangirling, ada juga kerumunan anak kelas XI yang membicarakan para pemain. Hampir tidak ada anak kelas XII yang hadir kecuali pemain inti dan pasangan masing-masing.

Kayna memperhatikan lapangan. Beberapa kali dia membaca novel mengenai bisbol namun belum pernah melihat secara langsung; padahal tim bisbol putri SM merupakan tim langganan juara wilayah, provinsi bahkan beberapa kali menang di tingkat nasional.

Kayna tersenyum kecil melihat para pemain bergantian memukul, berlari mencuri base dan meraih poin. Satu hal yang menarik Kayna adalah posisi pitcher. Semua bisa menjadi batter, namun tidak untuk pitcher. Daritadi Kayna hanya melihat tiga orang yang menjadi pelempar bola dan satu orang yang terlihat memiliki kemampuan paling baik dari yang lain. Kulitnya sangat putih, sangat putih untuk anak yang biasa terpapar sinar matahari. Senyuman Kayna entah kenapa terus muncul melihat pelempar bola tersebut. Pesonanya unik, sangat unik, membuat Kayna yang selama ini menutup hatinya, merasa sedikit penasaran dengan sosok tersebut.

Tapi perhatiannya pada sosok pelempar bola di lapangan terhenti sejenak dengan masuknya chat dari ketua osisnya yang berada di dekat situ dan ingin bergabung duduk dengannya.

Karina hanya bisa menahan tawanya sejak kekasihnya pulang dari kuliah sore tadi. Winter menolak untuk melepaskan pelukannya barang sedetik pun. Bahkan dia tidak mau melepaskan Karina yang akan mengambil pesanan ojek online mereka; awalnya Karina ingin memasak, namun Winter tidak mau ditinggal.

“Nanti kamu pergi lagi,” gumam Winter setiap Karina ingin beranjak. Gadis berambut pirang itu melingkarkan kedua lengan kokohnya di pinggang Karina, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher jenjang kekasihnya sembari memberikan ciuman-ciuman kecil kepadanya.

“Maafin aku,” gumam Karina lagi, “Maafin aku.”

Winter mendongakkan kepalanya, melihat kerapuhan di mata kekasihnya.

“You don’t need to be sorry all the time, Sayang,” Winter mengelus pipi Karina lembut, “I love you, that’s matters.”

Karina mengangguk sebelum memejamkan matanya untuk menerima ciuman hangat di keningnya.

“Winter, I need to talk.”

Winter mengubah posisinya. Sikunya ditekuk ke atas untuk menopang kepalanya agar dia bisa dengan bebas melihat wajah cantik Karina.

“Apa?”

“Aku ambil cuti semester depan,” kata Karina, “Dan semester ini aku lepas.”

Winter menyelipkan poni Karina ke belakang telinganya, membiarkan kekasihnya itu melanjutkan cerita.

“Berarti aku bakalan telat satu tahun dari seharusnya aku lulus, Winter.”

“Memangnya kenapa?”

“Teman-teman aku uda jadi dokter, bisa jadi aku masih kuliah.”

“Dan itu ga akan mengubah apapun, Sayang,” Winter menunduk dan mengecup pucuk hidung Karina, “Fakta bahwa kamu adalah mahasiswa teladan, duta kampus dan pacarku, tidak akan pernah berubah.”

Karina memejamkan matanya. Kata-kata Winter cukup menusuknya. Fakta bahwa dia sempat “pergi” dari kekasihnya adalah perasaan takut. Takut bahwa dirinya tidak lagi bisa setara dengan kekasihnya. Takut bahwa dirinya tak lagi bisa menjadi yang kekasihnya inginkan.

“Kamu tu pacarku, Rin. Dan gada yang gantiin itu.”

Tumpah, air mata Karina tumpah disertai dengan tangis sesenggukannya. Winter menarik kekasihnya ke dalam pelukan sambil mengusap punggungnya lembut. Karina berkali-kali menggumamkan maaf.

“Aku sayang kamu, Winter.”

“Aku juga. Jangan pernah khawatir kalo semua yang terjadi belakangan ini bikin aku ga sayang lagi sama kamu.”