wqwqwq12

“Udahan aja ramah tamahnya?” Yujin mengambil kursi dan duduk di samping bungsu Angkasa itu. Setelah after party yang dilaksanakan di rumahnya, selama hampir 3 jam, Willie sudah terlihat merokok di taman. After party yang diadakan hanya mengundang beberapa kolega dan keluarga dekat, dan sudah mulai pulang mengingat waktu beranjak malam. Hanya beberapa yang tertinggal seperti teman-teman dekat Karin, dan juga teman-teman dekat Willie.

“Udah, capek dramanya,” Willie menghembuskan asap dari mulutnya sembari tertawa

“Gue liat lo tadi kaya naksir Karin beneran loh,” Renata meminta korek Willie untuk menyalakan miliknya, “Penuh cinta tatapannya.”

“Akting, Sis.”

“Awas naksir beneran,” Yujin kembali tertawa, “Eh gue ga liat lo bawa pasangan, Ren?”

“Uda putus anjir dua minggu lalu,” Rena tergelak, “Ga cocok gue sama yang posesif gitu.”

“Emang lo sama gue seirama lah,” Willie menepuk pundak temannya sambil tertawa, “Ga cocok dikekang.”

“Sukanya sangat bebas ya,” Yujin menggelengkan kepalanya, “Tapi gue tadi ngobrol sama Karin, anaknya asik kok.”

“Iya bener,” Rena mengetukkan rokoknya ke asbak, “Ramah dia. Cantik lagi.”

“Yauda ambil aja,” Willie memutar bola matanya malas. Matanya tidak sengaja menangkap Karin yang sedang tertawa bersama teman-temannya dan Nayla, yang ternyata pacar dari salah satu sahabat Karin.

“Jujur lo gue,” Rena membela diri, “Emang cantik kan dia.”

“Tadi siang pas resepsi juga banyak yang muji kok kalo lo pinter pilih pasangan yang cantik,” Yujin menambahkan

“Cantik doang gabisa disentuh ya ngapain,” Willie tertawa hambar, “Mending gue kaya biasanya.”

“Dia setuju?” tanya Rena, yang dijawab anggukan dari sahabatnya itu

“Cuma ati-ati aja sih biar ga kena kamera lagi,” pesan Yujin

“Yah, makanya gue pake apart gue aja. Kalo ke hotel lebih tinggi resikonya.”

After Party

“Selamat datang,” Willie tersenyum kepada keluarga kecil kakaknya, seolah memang sudah menunggu kedatangannya.

“Uda di sini saja,” Tere meringis mengingat kejadian tadi pagi yang membuatnya cukup emosi

“Kan aku yang ngundang,” Willie mengerlingkan matanya jail sebelum menggandeng Aurel, keponakannya satu-satunya

Tere duduk di bagian ujung meja, sebagai kepala keluarga di acara makan malam ini. Yola dan yang lain sudah membuat taman kecil di samping rumah menjadi tempat makan malam yang menyenangkan dengan meja panjang berbalut taplak putih.

Di samping kanannya ada Jessica dan Aurel, baru di sebelah kirinya ada Wille, Karin dan berurut adik-adiknya.

“Mari kita semua melakukan toast untuk menyambut keluarga baru di keluarga Angkasa,” Tere mengangkat gelasnya dan diikuti oleh semuanya, tak terkecuali Aurel dengan jus mangga yang dia minta secara khusus tadi.

“Cheers,” kata Tere lagi

Malam ini, semua anggota keluarga Asteria disambut dengan sukacita. Bahkan Aurel sudah mengatakan bahwa dia suka dengan Aunty Karin. Gadis berusia 6 tahun itu mengatakan bahwa Aunty Karin sangat cantik, membuatnya terpesona.

Selain itu, semuanya terlihat bahagia. Terlihat santai dan tidak tertekan. Hanya saja kebencian yang tidak tergambarkan sangat terlihat dari dua calon pengantin itu. Yang tentunya diabaikan oleh keduanya juga.

Tere memencet bel apartemen Willie dengan tidak sabar. Kekesalannya benar-benar memuncak pada adiknya itu. Baru saja dia akan menelepon adiknya, suara pintu terbuka terdengar

“Siapa?” Jessica bertanya sebelum wanita di depannya mengatakan sesuatu

“Maaf, saya teman,” kata Wanita itu lirih, “Kebetulan akan segera pulang.”

Tanpa menunggu jawaban, wanita itu pergi meninggalkan Jessica dan Tere yang masih berdiri di depan pintu. Tanpa harus bertanya, mereka sudah tahu siapa wanita itu.

“Pake bajumu! Kita perlu bicara,” kata Tere begitu melihat adiknya masih tidur di balik selimut. Malam yang menyenangkan sepertinya melihat sprei yang sangat berantakan dan bajunya yang berserakan.

“Hmm ya,” Willie hanya menggumam begitu Tere dan Jessica berjalan ke ruang tengah.

Jessica mengangsurkan minuman pereda hangover pada Willie yang masih terlihat sangat pengar. Kepalanya dia sandarkan ke kepala sofa sembari menerima minuman dari Jessica

“Makasi, Kak,” kata Willie lirih sebelum menenggak habis minumannya itu “Lo tau kan mereka pindahan pagi ini?” tanya Tere setelah melihat Willie mulai mengangkat kepalanya

“Ya, gue tau kok.”

“Trus lo ngapain malah asyik sama cewek di apartment?”

“Suka-suka gue?” Willie mengendikkan bahunya, “Biasanya juga gini.”

“Lo bakalan nikah, Will,” Tere menekankan setiap kata-katanya

“Gue uda bilang sama Karin, kalo gue bakalan kaya gini. Dan dia ga masalah. Gue juga ga bakal pindahan semuanya ke rumah utama. Gue masih pake apartemen ini.”

“Buat apa, Willie?” tanya Jessica pelan, “Kamu mau mengekspos dirimu masih menyewa perempuan lain ketika sudah menikah?”

“Setidaknya kalo di sini lebih aman, daripada aku bawa ke hotel, Kak,” Willie berusaha menjelaskan. Suara kalem dan pelan dari Jessica selalu berhasil membuatnya tertekan. Entah kekuatan apa yang ada di dalam iparnya itu.

“Ya kamu bakalan tau sendiri resikonya nanti kalo tidak hati-hati,” Jessica melipat tangannya di atas pahanya, “Malam ini segera ke rumah utama. Setidaknya tamu di sana juga perlu disambut.”

“Iya, Kak,” Willie mengangguk

“Gue uda minta Yola setting kamar lo,” Tere berdiri, diikuti Jessica, “Bodyguard, maid, chef dan Yola uda di rumah utama semua.”

“Thanks.”

“Gue cuma pesen, jangan sampe berbuat sesuatu yang ngerugiin banyak orang. Apalagi Karin dan keluarganya yang udah gapunya apa-apa lagi.”

Aktivitas Karin terhenti ketika sekretarisnya mengetuk pintu.

“Ada tamu, Bu Karin,” kata Yeri

Karin mengangkat kepalanya dan melihat sosok yang kemarin membuatnya pusing, datang ke ruangannya.

Willie Putri Angkasa

Nama yang tidak pernah dia bayangkan akan dia kenal nantinya.

“Silakan duduk,” Karin mempersilakan tamunya sembari berpindah ke sofa yang ada di ruangannya, “Mau minum apa?”

“Apapun. Yang tidak merepotkan,” Willie menunjuk kulkas kecil di dekat kursi Karin

“Jus mangga?” tanya Karin dan dijawab dengan anggukan. Setelah memberikan minuman kalengan tersebut, dia melihat Yeri masih berdiri di dekat Willie. Sekretarisnya itu memang sangat perhatian dengan dirinya.

“Saya mau ngomong berdua aja,” kata Willie, melirik Yeri yang masih berdiri di dekatnya, “Boleh?”

Yeri hanya menunggu jawaban dari Karin, sebelum atasannya itu memintanya meninggalkan ruangan.

“Protektif banget,” Willie memutar bola matanya malas, “Lagian aku juga ga ngapa-ngapain.”

“Ada urusan apa?” Karin mengabaikan keluhan Willie terkait sekretarisnya

“Syarat,” Willie mengeluarkan tablet dari tasnya, dan menunjukkan sebuah file kepada Karin, “Untuk pernikahan kita yang akan dilangsungkan dua bulan lagi.”

Karin membaca dengan seksama poin per poin yang dituliskan Willie. Ada sekitar empat poin yang dia ajukan, pertama, dia ingin tetap menjalankan kehidupan malamnya tanpa larangan. Kedua, mereka semua tinggal satu rumah dengannya. Ketiga, Karin dan dia akan tidur terpisah. Dan keempat, akting sebagai pasangan hanya untuk media dan konsumsi publik.

“Saya tidak ada masalah,” tukas Karin, “Silakan.”

“Mending pake aku-kamu, deh,” kata Willie, “Jangan terlalu formal.”

“Harus saya tambahkan di poin kelima?”

“Gausah,” Willie bersungut-sungut. Wanita di depannya datar sekali, “Tolong dicetak.”

Karin mengangguk dan menyambungkan tablet Willie ke printer yang ada di ruangannya. Suara kertas tercetak mengisi keheningan di antara keduanya.

“Silakan disimpen,” kata Wilie setelah mereka berdua memegang dokumen yang sama, “Ini kontrak kita.”

Karin kembali mengangguk, “Makasih.”

“Aku gatau apa untungnya buat kamu ngelakuin ini,” Willie meraih tasnya dan berdiri, “Kalo aku rugi banget.”

“Aku minta maaf.”

“Simpan maafmu buat hal lain,” kata Willie sebelum meninggalkan ruangan

“Pusing, Non?” Pak Jo, driver keluarga Kusuma melirik lewat spion tengah. Mendadak dirinya ditelepon oleh Winza dan meminta untuk diantar ke bandara, menjemput istrinya.

“Iya, Pak. Agak pusing,” keluh Winza sambil membiarkan tangannya dipegang oleh Arash yang duduk di baby-seatnya

“Bubu atit? Bubu kangen Mami ya kok atit?” tanya Arash polos, membuat Winza terkekeh pelan

“Emang Arash ga kangen Mami?”

“Kangen banget Bu. Tapi kalo sama Bubu Arash bisa main terus,” anak kecil itu tertawa lebar, membuat Pak Jo ikut tertawa karena perbedaan parenting dari Winza dan Keira.

“Kalo ada Mami, Arash banyak gabolehnya yaa,” goda Winza walaupun sambil memejamkan matanya karena pusing

“Iyaa, sama Bubu boleh mam icekrim banyakk,” Arash tertawa lagi, “Sama boleh hujan-hujan lamaa.”

“Nanti kalo sama Mami gaboleh nakal ya.”

“Iya tapi Bubu gantian ya. Masa sama Mami terus kalo malem, Arash juga mau sekali bobo sama Mami.”

Pernyataan polos Arash membuat Pak Jo tertawa lagi. Sepertinya di masa depan, mereka berdua akan lebih sering ribut.

****

Keira mengerutkan keningnya heran. Arash dan Winza menjemputnya, tetapi bersama Pak Jo driver mereka. Sebelumnya Winza bilang ingin menjemput sendiri. Terlebih, ketika memeluk istrinya, wanita yang lebih muda itu terlihat sedikit hangat dan lemas.

Di mobil, Arash meminta Maminya untuk memangkunya, ditambah dengan Winza yang hanya diam dan menyandarkan kepalanya ke bahu Keira.

“Kayaknya Non Winza sakit, Non Keira,” kata Pak Jo ketika Arash dan Winza justru terlelap di tengah perjalanan. Arash memang cenderung mudah tidur ketika ada Maminya, sedangkan Winza cukup aneh karena dia jarang tidur di perjalanan.

“Pantesan agak anget badannya,” Keira menyentuh pipi istrinya dengan punggung tangannya, memang lebih panas dari suhu normal.

“Kata Bik Rosa kemarin ikut hujan-hujan sama Dek Arash.”

“Loh malah Winza yang sakit,” Keira sedikit tertawa sambil mengusap punggung Arash yang tertidur lelap di pangkuannya, “Dasar.”

****

“Mau dikeloni, mau kemana kamu?” tanya Winza lemah ketika Keira barusan memasang patch di dahinya

“Kamu kan lagi sakit, nanti ketularan aku,” Keira tersenyum, Kamu ni lagian. Padahal malem ini aku pengen.”

“Ngghhh,” Winza mengaduh, “Aku juga mau.”

“Demam tuh,” Keira mencubit pipi Winza pelan, “Besok libur dulu ya. Aku cutinya sampai besok juga kok. Istirahat dulu, biar segera sembuh.”

“Kalo uda sembuh, mau itu ya.”

“Iya makanya cepetan sembuh. Soalnya ni deket-deket jadwalku dapet, Sayang,” Keira tertawa

“AH, dunia ga adil banget.”

“Udah sana tidur,” Keira mengecup bibir Winza, “Aku bobo sama Arash dulu.”

“Gini toh rasanya kalah sama anak sendiri,” keluh Winza sebelum Keira meninggalkan kamar mereka sambil tertawa.

“Jadi, jangan dikasi es krim terus walaupun dia suka,” pesan Keira sambil menutup kopernya. Nanti malam dia akan berangkat ke Macau untuk dinas luar dalam beberapa hari ke depan, “Racikan sufornya hapal kan udahan?”

“Udahhh,” kata Winza semangat, dia ingin membuktikan bahwa dirinya juga orang tua yang bertanggung jawab. Lagian Arash sudah berusia dua tahun, sudah gampang diatur.

“Makasi ya, Sayang,” Keira berdiri sebelum mengecup sekilas bibir istrinya.

“Kalo bisa pulangnya sebelum Kamis, pulang aja ya? Aku nanti kangen,” Winza memeluk pinggang Keira dan membenamkan wajahnya ke perut istrinya

“Bayi gedeku masih gampang kangen aja,” Keira mengusap lembut rambut Winza, “Nanti telepon terus kok.”

“Iyaa, Sayang.”

“Yauda yuk siap-siap makan malam, tu Arash pasti uda laper. Anaknya uda aku kasih tahu kok kalo aku pergi beberapa saat, biar ga kecarian terus.”

“Aku yang kecarian,” Winza mengerucutkan bibirnya gemas, “Kayaknya butuh nenen dulu baru aman.”

Keira tidak tahan untuk tidak menjitak kepala istrinya itu.

Baik Tere maupun Willie terlihat sangat terburu-buru. Bahkan ketika resepsionis kantor Angkasa Holding menyilahkan mereka untuk duduk terlebih dahulu, mereka tidak peduli.

“Oh, kedua anakku yang kompak ini datang,” Anggun tersenyum miring. Di hadapannya ada tiga orang yang sedang duduk dan terlihat bingung.

“Hentikan apapun yang anda ingin lakukan sekarang,” Willie merangsek maju ke arah meja Anggun

“Kalem, Adek,” Anggun kembali tersenyum miring, “Semua sudah sah di mata hukum.”

Anggun memberikan dua amplop dengan stempel badan hukum yang terpercaya. Willie dengan gusar membukanya, membaca dengan cepat isi dokumen tersebut.

“Akuisisi Bintang Agency akan segera kita lakukan dan sebelum itu, kamu akan menikah dengan Karin.”

Yang disebut namanya sedikit terkejut. Mata keduanya bertemu dan Willie langsung membuang muka, kesal dengan apapun yang terjadi sekarang.

“Bagaimanapun juga, Willie. Saya adalah pemilik hak asuh atas dirimu setelah Ayah kamu meninggal. Tidak ada alasan untuk tidak menurutinya.”

Sebelum Willie ingin menampar wanita paruh baya di depannya, Tere sudah dengan cepat menarik adiknya ke belakang.

“We will discuss it later,” desis Tere kepada ibu tirinya, “Kalian ke sini naik apa?” tanya Tere kepada ketiga bersaudara yang hanya diam.

“Mobil, Kak,” jawab si sulung, yang Tere ingat namanya Karin.

“Ikut kami,” Tere kembali menarik tangan Willie untuk mengikutinya. Meninggalkan ruangan yang penuh ketegangan

“Apa yang kemudian membuat kalian yakin bisa membawa mereka dari sini?” suara Anggun menghentikan langkah Tere dan Willie

“Keputusan anda soal pernikahan ini pasti tidak bisa dibatalkan. Tapi jangan sok merasa sebagai orang tua dari kami karena kami juga bisa merencanakan sesuatu,” Tere melihat lurus kepada wanita paruh baya yang berdiri di balik mejanya, “Tunggu dan lihat saja nanti.”

****

Willie mengangkat alisnya heran ketika memasuki rumah kakaknya. Kakak iparnya sudah menunggu di ruang tamu sembari tersenyum, seakan sudah siap dengan kehadiran mereka.

“Gue yang ngabarin. Kita butuh banyak kepala mikir ini,” kata Tere pelan sebelum memeluk istrinya.

“Silakan duduk,” Jessica mempersilakan tamunya duduk, “Saya juga kaget dikabari akan ada tamu sore ini.”

Ketiga bersaudara itu duduk, bersamaan dengan Willie yang menghempaskan tubuhnya ke sofa.

“Saya Jessica Amaris, istri Theresia Putri Angkasa seperti yang kalian ketahui,” Jessica tersenyum, “Ini adik ipar saya sekaligus adik dari Tere, Willie Putri Angkasa,” Jessica menjelaskan, “Boleh kalian memperkenalkan diri? Sepertinya kita belum pernah bertemu.”

Ketiganya berpandangan sebelum akhirnya Karin membuka suara, “Saya Karin Ayu Asteria, ini adik saya Nayla Cantika Asteria dan yang terakhir Satria Bagas Asteria. Kami mendapat surat terkait dengan hutang yang dimiliki almarhum orang tua kami. Termasuk ternyata ada perjanjian bahwa akan ada pernikahan yang diatur diantara dua keluarga.”

“Gue gamau,” ketus Willie, “Gue kan berarti yang nikah? Gamau gue anjir.”

“Willie,” Jessica memberikan kode melalui matanya untuk Willie lebih tenang, “Dengerin mereka dulu.”

“Saya ga minta apa-apa kecuali menuruti apa yang ada di dalam perjanjian itu.”

“Ga akan!” Willie berdiri dengan emosi

“Saya mohon,” tiba-tiba Karin bersujud di kaki Willie, “Saya mohon, tolong kami.”

“We need to talk” Tere menarik lengan Willie, membawa mereka sedikit menjauh dari ruang tamu dan diikuti Jessica.

“Lo gila ya, Kak?” Willie tidak bisa menahan emosinya ketika Tere dan Jessica membawa dirinya ke dapur, untuk menjauh sebentar, “Gue ga kenal sama dia dan gue harus nikah sama dia?!”

“Gue gamau maksa lo. Tapi liat kondisinya. Anggun ga bakal biarin ini kelewat karena dia pegang surat bukti yang sah secara hukum,” Tere mengacak rambutnya frustasi, membuat Jessica memeluk pinggangnya dan menepuknya pelan

“Aku bukannya maksa juga, Willie. Tapi dari data yang Joy kirimkan ke aku barusan, mereka sekarang practically sebatang kara. Rumah dan apartemen yang mereka miliki bakal disita bank akhir minggu ini. Anak kedua si Nayla tinggal lulus kuliah karena mau sidang. Kalo yang Satria masih semester 6,” Jessica menjelaskan informasi yang dia dapat dari sekretarisnya, “Jadi apapun keputusanmu, Willie, mereka bakalan menggelandang.”

“Gue sama Jess gamau gaslight elo, tapi Samuel bilang Anggun uda siap buat konferensi press soal pernikahan ini. Gue rasa kita coba ikuti apa maunya dan ambil posisi buat balik nyerang,” Tere menambahkan, “Gue rasa Anggun ada hubungannya sama kematian mendadak orang tua mereka, Will.”

“Anjing lah,” Willie mengusap wajahnya kasar, “Gue bakalan kasih dia syarat. Dan selama itu, kita harus lanjutin investigasi kita soal kematian bokap juga.”

“Pasti,” Tere mengangguk yakin, “Kita harus ancurin tu nenek sihir dari dalem.”

Makan malam kali ini sempat membuat Tere bingung. Adiknya ada di meja makan yang sama dengannya. Bahkan setelah makan malam, adiknya bercanda dengan Aurel.

“Kamu yang ngundang dia, Sayang?” tanya Tere penasaran kepada istrinya yang barusan meletakkan piring terakhir ke tempat cuci piring

“Emang kenapa?” Jessica menyentil hidung Tere gemas, “Sana, ngobrol sama adeknya.”

“Ish,” Tere mengerucutkan bibirnya, kesal.

“Dia tu cuma punya kamu, Sayang,” Jessica mengusap bahu istrinya, “Jangan tinggalin dia.”

Tere mengangguk, membulatkan tekad untuk berbicara dengan adiknya itu.

****

“Seenggaknya ambil asbak lah,” Tere meletakkan asbak di meja, tepat di samping adiknya yang asyik merokok di halaman samping rumahnya.

“Masih nyimpen aja?” Willie terkekeh melihat kakaknya yang mengambil pod berwarna biru dari tas kecilnya

“Entah kenapa gue lebih nyaman aja ngepod sekarang, serasa masih ada Ayah di sini,” kata Tere sambil menghembuskan asap dari podnya.

“Gue minta maaf,” kata Willie memecah keheningan, “Gue kurang bisa liat situasi.”

“Udah terjadi, Will. Kita tunggu aja langkah nenek sihir itu.”

Willie terkekeh mendengar sebutan ibu tiri mereka. Sejah ayah mereka meninggal 5 tahun yang lalu, Anggun, ibu tiri mereka selalu berulah. Terlihat memang dia hanya mengincar harta keluarga Angkasa. Beruntung ayah mereka sudah memindahkan beberapa aset menjadi atas nama kedua anaknya, membuat Anggun tidak bisa mengambilnya.

“Gue denger dari Kak Yola kalo dia mau akuisisi agensi periklanan.”

Tere mengangguk, “Agensi punya Henri bangkrut. Gabisa bertahan di Surabaya. Makanya disuruh balik ke sini dan kayaknya bakalan dikasi buat dia.”

“Cowok ga berguna,” Willie menghembuskan rokoknya kesal, “Beban banget.”

“Emang, dan kita secara hukum sodara tirinya.”

“Lo juga sih,” Willie tertawa, “Sodara tiri gue.”

Tere tersenyum, “Gue selalu melihat ibu lo adalah ibu gue juga. Gue gapernah inget wajah ibu gue. Makanya gue seneng ketika beliau hadir di kehidupan gue, dan ngelahirin elo walaupun nyebelin.”

“Yeee, tai.”

“Lo ga pengen segera nikah? Biar tu nenek shirt ga ngeribetin elo lagi?” tanya Tere pelan, “Lo masih nungguin Sabil?”

Willie tersenyum getir, “Lucu kalo gue inget, pesan terakhir Ayah adalah putus sama dia. Waktu gue pacaran pas SMA, gue pikir sama aja kaya elo sama Kak Jess, ternyata ortu Sabil saingan bisnis keluarga kita.”

“Sekarang dia dimana?”

“Terakhir dia lanjut sekolah ke Belanda,” Willie mengendikkan bahunya malas, “Gue gatau apakah bakalan tetep ngejar dia toh keluarganya dia juga ga suka kan sama keluarga kita?”

“Ya... siapa tau jodoh?”

“Ngasal lu, Kak.”

Windira sudah bisa mengendarai motornya; walaupun sebenarnya baik Adisty maupun Jessica sedikit melarang. Takut jika masih sakit hidungnya, apalagi Windira memakai helm full-face. Tapi Windira tetap Windira, ditambah dengan dukungan dari Tere, anak itu tetap ingin mengendarai motornya.

Semalam, gantian keluarga Windira yang mengunjungi keluarga Adisty dalam rangka mengantarkan Adisty pulang setelah hampir dua minggu wanita itu tinggal di kediaman Handoyo. Obrolan malam itu didominasi mengenai sidang tuntutan Linda yang berlangsung 2 hari sebelumnya. Di dalam sidang itu, hakim mengabulkan tuntutan jaksa terhadap Linda terkait pasal penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Sebuah hasil yang diingkan oleh Windira dan teman-temannya.

Sabtu ini, Windira mengatakan ingin mengajak Adisty jalan-jalan. Dengan menggunakan motor tentunya. Pasangan itu mengendarai motor dengan santai, menembus jalanan ibukota yang ramai. Selang beberapa lama, Windira memarkirkan motornya di sebuah taman kecil yang terletak di depan gedung sekolah. Adisty tidak menyadarinya, baru ketika mereka duduk dan menghadap ke arah sekolah, dia sadar bahwa inilah tempat dimana Windira pertama kali bertemu dengannya.

“Kamu tuh,” Adisty terkekeh sambil melihat gedung di seberangnya, “Banyak yang berubah.”

“Udah lama lagian,” Windira meraih tangan Adisty, mengelus bandul gelang yang masih dipakai kekasihnya itu, “Kamu uda inget belum? Kenapa gelang ini di aku?”

Adisty mengangguk, “Aku yang ngasi ke kamu abis kamu nolongin aku waktu dibully kakel centil itu.”

Windira tersenyum lebar, bahagia rasanya melihat wanita yang selalu di hatinya itu mengingatnya.

“Aku juga inget kalo ini dulu tugas seni rupa,” Adisty mengusap tangan Windira yang memegangnya, “Aku dapet nilai paling bagus di kelas, semua memujiku. Tapi aku juga baru tahu kalo itu juga buat kakel iri karena Bu Maria, hampir gapernah memuji muridnya.”

“Tapi gadis kecil, berambut panjang hitam, dengan senyuman manisnya, bisa buat itu,” Windira menatap dekat mata Adisty, “Kamu cantik banget daridulu, Adisty.”

“Terimakasih,” Adisty sejujurnya sangat nervous ditatap sedekat itu oleh Windira, “Aku seneng, kamu suka sama aku sampai sekarang.”

“Karena aku gapunya alasan buat ga suka sama kamu, Cantikku.”

“Mulai gombal.”

Windira tertawa, “Kamu pernah ga, sekali aja inget aku?”

Adisty menunduk, ragu apakah harus jujur atau tidak.

“Jujur aja, Sayang,” kata Windira, seolah bisa membaca isi kepala Adisty.

Adisty menggembungkan pipinya dan mengerucutkan bibirnya, terlihat seperti ingin menangis namun ditahan. Dia menggeleng pelan sambil menunduk, takut melihat Windira.

“Kamu jangan merasa bersalah,” Windira meraih dagu Adisty, membuat wanita itu melihatnya, “Apapun itu, aku tetep sayang sama kamu.”

Adisty memeluk Windira dengan cepat. Lengannya melingkari leher Windira dan mendapatkan kekehan lembut dari sang kekasih 

“Aku sayang kamu. Banget banget,” kata Adisty di tengah pelukannya.

****

“Yooo, ini bintangnyaaa,” sorak Melvin ketika melihat Windira datang dengan Adisty, tentu sambil bergandengan tangan.

“Nyanyi nyanyi, dah ditunggu,” Mahen mendorong pelan bahu Windira, “Adisty di sini aja aman.”

“Awas jangan usil,” Windira memelototi teman-temannya

“Kagak, gue jamin ini,” Yovanka mengacungkan jempolnya sembari menyambut Adisty untuk duduk di sebelahnya

“Rokoknya rokoknya,” Prima menyentil tangan Jeremy yang merokok di dekat Adisty

“Eh sori-sori, geser dikit nih gue. Anginnya nih, nakal banget,” kata Jeremy sambil mengambil kursi, malas kalo nanti berdebat dengan Windira.

Di panggung, Adisty bisa melihat bagaimana Windira terlihat sangat keren ketika bersiap untuk bernyanyi. Rasa-rasanya, Adisty menjadi wanita yang sangat beruntung karena Windira akan bernyanyi untuknya.

Melodi yang ceria mulai terdengar. Beberapa pengunjung kafe milik Melvin ikut bertepuk tangan sesuai irama, tidak lupa ikut bernyanyi.

And all I do is sit and think about you If I knew what you'd do Collapse my veins, wearing beautiful shoes It's not living, if it's not with you

All I do is sit and drink without you If I choose, then I'll lose Distract my brain from the terrible news It's not living, if it's not with you