Confrontation
Karin mendapati Jessica dan Tere sudah menunggu mereka di ruang tengah. Satria juga di sana. Sepertinya adik bungsu mereka sudah diberitahu sekilas mengenai apa yang barusan terjadi.
“Yola uda cerita sekilas ada apa di sana,” kata Jessica, “Setelah ini, Anggun dan Henri akan dateng. Kita semua dengerin aja. Eh, kamu Giselle adiknya Yuta Ariotedjo ya?”
Giselle mengangguk, “Iya, Kak. Saya sering denger soal Kak Jessica dari kakak saya.”
“Maaf ya, nanti kalian tungguin di atas. Sama Satria dan Nayla juga,” sambung Tere, “Biar Karin sama Willie yang di sini.”
Nayla mengangguk dan mengajak Giselle dan Satria ke atas. Mereka bisa tetap mendengarkan apa yang terjadi di ruang tamu di atas.
Yola mendekat ke arah Tere, melaporkan bahwa Anggun akan segera datang.
“Sakit?” Jessica mengusap pelan tangan Willie, “Udah diobatin kan?”
“Udah kok sama Karin tadi,” jawab Willie pelan, “Aku benci banget kak sama Henri.”
“Nanti kita selesein ya,” Jessica mengusap kepala Willie, “Kamu emosinya ditahan dulu.”
“Iya, Kak.”
Karin tersenyum melihat interaksi keduanya. Memang dibanding dengan Tere, Willie lebih menurut dengan Jessica yang kalem dan lembut. Mungkin itu kelemahan dua Angkasa ini.
Suara pintu terbuka dengan keras membuat mereka mengalihkan perhatiannya. Anggun, Henri dan ada lelaki di belakangnya mengikuti mereka. Tere membisikkan informasi bahwa itu adalah pengacara yang biasanya bersama Anggun.
“Sepertinya memang semua sudah menungguku,” kata Anggun sinis, sebelum duduk di seberang mereka, “Oh, anakku yang paling kecil juga terluka ya? Kasihan. Melindungi istri tercintanya?”
Willie menggeram, tapi genggaman tangan dari Karin membuatnya sedikit tenang.
“Dia tuh, gue ga ngapa-ngapain mukul. Emang anak ga guna,” tunjuk Henri tiba-tiba setelah melihat Karin menenangkan Willie
Tere juga akan menyahut tapi Jessica memegang tangannya, menandakan bahwa dia saja yang berbicara.
“Baik, kita bakalan ngomongin soal ini. Pak Henri mau nuntut Willie?”
“Tentu saja, ga pantes dia jadi keluarga Angkasa.”
Jessica sedikit menyeringai, “Secara hukum, anda yang bukan keluarga Angkasa.”
Anggun sedikit terkesiap, “Tapi bukan berarti Willie bisa melakukan tindakan semena-mena terhadap orang lain.”
“Mungkin jika saya jadi Willie, saya mending melaporkan Pak Henri atas dugaan penadah cuci uang dan penggelapan uang perusahaan,” Jessica meletakkan dua dokumen di meja rendah yang membatasi keduanya, “Dibanding memukul, hanya akan meninggalkan bekas luka.”
“Sialan, beraninya kamu!” Henri terlihat tidak terima, “Aku CEOnya, aku yang punya kuasa.”
“Sekedar mengingatkan bahwa Bintang Agency sekarang adalah bagian dari Angkasa Group dan Amaris Consulting secara langsung, yaitu saya dan kakak saya, Pak Kenneth, mengauditnya,” Jessica menjelaskan dengan tersenyum, “Terlebih, anda hanya CEO, bukan bagian dari keluarga Angkasa. Karin di sini, adalah istri dari Willie.”
Anggun berdiri sambil mendengus kesal, kalah dengan argumen dari Jessica.
“Ternyata anda tidak membawa banyak bukti untuk menuntut kecuali rengekan dari anak kesayangan anda itu,” Tere mengejek ibu tirinya, “Sebuah tindakan yang sia-sia.”
“Jangan merasa terus menang ya, kalian semua,” Anggun melihat ke arah empat orang di depannya, “Di masa depan, Angkasa Group akan menjadi milikku seutuhnya.”
Tere dan Jessica hanya berdecak, sedangkan Willie lebih memilih tertawa sinis mendengarnya.
“Baiknya anda pergi dan bawa pengacara anda juga. Buang-buang waktu,” Willie mengusir dengan senyuman kemenangannya, yang tentu membuat Henri sangat kesal.