wqwqwq12

“Elusin sampe tidur,” bisik Winter ketika dia terbangun dan mendapati tangan Karina tidak lagi di atas kepalanya.

“Iya, Sayang,” Karina tersenyum sambil mengusap pelan kepala kekasihnya itu. Cukup berhati-hati karena ada luka robek di pelipisnya, pipinya pun masih membiru karena lebam.

Suara pintu terbuka sedikit mengagetkan Karina, namun dirinya lega ketika melihat Taeyeon masuk sambil membawa dua kantong. Entah mengapa kejadian-kejadian belakangan ini membuat Karina sedikit paranoid.

“Rewel lagi?” Taeyeon menaruh satu kantong kresek di meja dekat sofa

“Iya tadi kebangun anaknya, Tante,” Karina membetulkan selimut Winter

“Syukurlah ada kamu, biasanya kalo sakit yang dicariin Mamahnya,” Taeyeon duduk di salah satu kursi sambil terkekeh pelan, “Sama aku atau abangnya gamau, maunya Mamah gitu lah dia.”

“Ternyata ada sisi lucunya ya,” Karina ikut tersenyum, “Saya selama ini berpikir bahwa Winter benar-benar anak yang dingin dan menyebalkan. Ternyata tidak.”

“Dia hanya merasa sendiri saja,” Taeyeon menghela nafas panjang, “Salahku sih, aku terlalu sibuk. Jessica ketika Winter masih SD masih sering ngecekin, masuk SMP kami ngerasa dia sudah besar. Sepertinya itu yang membuat dia menjadi jauh dan sedikit bandel. Pernah Mamahnya ngancem dia buat pindahin ke Amerika, ke tempat tantenya sehabis dia mukulin temennya sampai masuk rumah sakit.”

“Itu waktu SMP, Tante?”

“Iya,” Taeyeon membuka kantong kresek yang dia taruh di meja dan mengambil satu kaleng cola untuk diberikan ke Karina, “Itu waktu kita menyadari kalo Winter punya anger management issue.”

“Tapi,” Taeyeon melanjutkan, “Rasa-rasanya akhir-akhir ini dia lebih penurut. Lebih sering di rumah, diajak ngomong lebih enak dibanding sebelumnya. Mungkin karena kamu.”

Karina tersipu malu, sejujurnya dia hanya menyampaikan bahwa dia tidak suka Winter terlalu sering berada di luar. Dan kekasihnya itu hanya menurut dan pulang ke rumah.

“Sooyoung sama Sunny juga bilang kalo dia sering ikut kelas,” kata Taeyeon sambil tertawa, “Uda pasrah aku, Rin, sama akademik dia. Pokoknya lulus aja uda bagus.”

“Winter pada dasarnya dengerin orang ngomong kok, Tante. Saya awalnya pesimis, namun ternyata dia menuruti beberapa kata-kata Saya.”

“Bagus kan? Dia nurutnya di rumah sama Mamahnya. Ya mungkin karena Mamahnya lebih tegas dari aku? Bisa jadi.”

“Tante Taeyeon tipenya santai gitu sih ya.”

“Bener banget. Eh, ini tadi aku telepon Wendy. Aku ngambil seragammu, besok berangkat dari sini sama sopirku.”

“Gausah repot-repot, Tante,” Karina menggelengkan kepalanya, “Saya bisa naik bis kok.”

“Halah. Kamu tu uda banyak bantuin kami, gausah nolak. Winter nanti marah kalo kamu kecapekan trus gabisa nungguin dia.”

Karina mengusap kepalanya sendiri, memang tidak ada penolakan sih, toh seragamnya uda diambilin sama Taeyeon.

“Iya, Tante. Besok lusa Tante ke sekolah kan?”

“Tentu. Besok aku sama Donghae mau nemuin pengacara. Jeno kasi rekaman pembicaraan mereka tadi. Selain itu, Ryujin bilang kalo dia nemu pemalsuan surat di surat undangan yang dikasi ke Jessica.”

“Wow,” Karina menggeleng tidak percaya, ternyata gengnya Winter bisa berpikir secepat itu dalam menyelesaikan masalah.

“Semoga semuanya beres tanpa merugikan siapapun,” kata Taeyeon sebelum mengambil selimut, “Istirahat, Karina. Jangan lupa tidur.”

“Tante juga.”

Taeyeon sedikit menahan nafasnya ketika suara merdu istrinya masuk ke dalam pendengarannya. Suara lembut yang selalu menenangkan Taeyeon selama belasan tahun mereka pacaran sampai dengan menikah.

“What's wrong, Babe?” tanya Jessica ketika menyadari hembusan nafas Taeyeon terdengar berat di telinganya.

“Winter masuk rumah sakit,” kata Taeyeon cepat, “Berantem.”

“What?” Jessica menaikkan intonasi bicaranya, membuat Taeyeon menyandarkan punggungnya ke tembok belakang sambil memijat pelipisnya.

“Dia berantem sama siapa?” Jessica bertanya

“Dominic, anak dari Jung Joonyoung,” jawab Taeyeon, “Listen first, Baby. Aku tau kamu pasti kecewa dan ingin marah tapi Winter dijebak sama Jeno. Mereka ngelawan karena diserang duluan.”

“But, still... Is she okay?”

“Retak bahu kiri, gegar otak ringan dan beberapa luka memar di wajah dan perut. Dapet jahitan di lengan dan punggung tangan. Overall kacau, namun organ dalamnya aman.”

“Jeno gimana?”

“Tulang kering sebelah kanannya retak. Sama, gada luka dalem yang parah namun beberapa jahitan di tangan dan bahu.”

“She must be in pain,” Jessica mendesah. Anaknya memang jago berantem tapi sangat sulit menahan luka luar. Pasti banyak mengeluh dan mengaduh.

“Ada Karina di sini. Jaehyun juga bantu aku urus berkas di RS. Besok aku ke sekolahnya dia, dipanggil pihak sekolah,” Taeyeon menjelaskan, “Can you come home faster?”

“Sure. I'll be home at Wednesday morning,” Jessica terdengar seperti mengetik sesuatu, “Aku minta Seohyun resched flight ke Selasa malem.”

“Gapapa, Sayang.”

“Sekarang Winter gimana?”

“Di kamar, abis operasi tadi. She called your name.”

“I know...”

“Go home safely, aku balik ke kamar dulu ya. You sound so tired,” kata Taeyeon setelah mendengar beberapa kali istrinya menguap.

“Bunch of meetings,Taeyeon. Okay, you have to take a rest too, okay? I love you.”

“I love you more, Jessica.”

Karina memasuki ruangan sidang yang merupakan ruangan auditorium mini dari sekolah. Seingatnya, dia terakhir memasuki ruangan ini untuk pelantikan anggota Osis. Sekarang, dia menghadapi sebuah masalah yang dilakukan oleh Ketua Osis terpilih.

“Nervous lo?” Giselle menyenggol pinggangnya pelan

“Lumayan,” Karina mendesah penuh keresahan. Jujur sebagai siswi “biasa”, dia hampir tidak pernah berurusan dengan komite sekolah ataupun tim disiplin. 4 bulan terakhir dia beberapa kali menjemput Winter dari ruang BK maupun menemani kekasihnya menjalani hukuman dari tim disiplin. Kali ini, dia harus menghadapi puncak dari “kenakalan” pacarnya itu.

Tidak, Karina tidak pernah merasa kecewa atau menyesal jatuh cinta dengan sosok Winter Kim.

“Tenang aja, Karina,” Karina mendengar suara lembut dari belakang. Sesosok wanita paruh baya dengan setelan blazer berwarna hitam menyapanya. Di sebelahnya, wanita yang beberapa hari ini sering dia temui tersenyum lebar. Ah, Taeyeon memang terlihat bahagia sekali bertemu dengan istrinya itu.

“Tante Jessica kapan datang?” Karina bertanya dan Giselle membungkukan tubuhnya untuk menyapa kedua orang tua Winter itu

“Tadi, jam 7 pagi,” Jessica terkekeh, mengingatkan dirinya bahwa Taeyeon meminta izin padanya untuk keluar sebentar, ternyata untuk menjemput istrinya ke bandara. Pantesan bahagia sekali.

“Uda liat Winter, Tante? Semalem manggilin Tante lagi ketika tidur,” Karina mengadukan kekasihnya. Sifat manja Winter masih mengejutkan Karina, bagaimana bisa gadis yang mampu melumpuhkan enam orang yang mengeroyoknya masih tidak tahan dengan sakit di tubuhnya.

“Udah kok, tadi mampir dulu. Ternyata kamu udah berangkat sekolah,” Jessica mengusap kepala Karina lembut, “Tenang aja, everything will be alright.”

“Iya, Tante,” entah kenapa, senyuman Jessica membuat Karina yakin bahwa sidang terbuka ini tidak akan menimbulkan kericuhan yang besar.

****

Sepertinya Karina terlalu berharap tidak ada keributan, karena begitu komite sekolah dan guru-guru datang, Jessica, Taeyeon dan Donghae mengambil kursi kosong di tengah, tepat di belakang nama anak-anak mereka. Awalnya, kursi kosong berjumlah delapan itu diibaratkan anak-anak yang membuat keributan terakhir di sekolah ini, termasuk Winter dan Jeno.

“Ibu Jessica, Ibu Taeyeon dan Bapak Donghae, apa maksud Bapak dan Ibu sekalian mengambil tempat duduk di situ?” Park Hyomin, Ketua Komite Sekolah menaikkan alisnya karena bingung.

“Kami mewakili anak kami,” jawab Jessica, “Representasi atas apa yang anak kami perbuat. Rasanya aneh sekali meletakkan kedelapan kursi kosong di tengah. Seakan-akan membuat anak-anak kami adalah tersangka yang akan disidang.”

Karina bisa melihat Sooyoung dan Sunny menyembunyikan tawanya. Kedua gurunya adalah teman dekat kedua orang tua Winter sedari SMA; sudah pasti mereka tahu karakter dari Jessica Jung.

“Saya rasa itu pilihan,” Jihyo, kepala sekolah mereka menengahi, “Apabila orang tua dari yang lain ingin duduk di tengah, kami persilakan.”

Tentu saja orang tua Dominic, Niko, Lucas, dan ketiga anak lain yang terlibat tidak bersedia. Mereka memilih duduk di atas, di podium umum dan di tempat komite, untuk Ibu Niko dan Ayah Lucas.

“Baik, sepertinya akan saya mulai sidang terbuka ini. Ingat, sidang ini diselenggarakan untuk klarifikasi dan memberikan hukuman setimpal bagi mereka yang berbuat ulah di SMA Kwangya Internasional. Kami berharap semuanya bisa berlaku adil tanpa ada pihak yang merasa paling dirugikan maupun paling diuntungkan,” Jihyo membuka acara ini, “Sebelumnya, mari kita dengarkan pendapat dari komite sekolah.”

Hyomin sebagai perwakilan komite sekolah menyampaikan isi rapat komite sekolah, “Kami selaku komite sekolah memginginkan mereka yang menjadi sumber permasalahan harus dihukum seberat-beratnya karena apa yang terjadi pada hari Senin ini sudah meresahkan banyak pihak. Banyak laporan dari orang tua murid yang menganggap bahwa ini hanyalah sekolah berisikan preman tanpa prestasi berarti. Untuk hukuman, kami serahkan kepada pihak Yayasan dan sekolah.”

Tiba-tiba, Ibu dari Niko mengangkat tangannya dan meminta untuk berbicara

“Silakan, Bu Oh untuk berbicara,” Jihyo mempersilakan

“Saya hanya ingin menuntut apa yang seharusnya saya dapatkan. Anak saya sudah kelas XII dan babak belur, padahal harus mempersiapkan untuk UTS. Terlebih, saya baru tahu bahwa anak saya ditipu sebesar lima juta oleh Lee Jeno. Apakah orang tua dari Winter dan Jeno mau bertanggung jawab atas kerugian yang diperbuat kepada anak saya?”

Taeyeon dan Donghae mengerutkan alisnya, Aneh, padahal anaknya yang bikin ulah duluan, batin keduanya. Jessica hanya menepuk paha Taeyeon pelan dan menoleh kepada Donghae untuk memberi tanda bahwa dia akan berbicara

“Bu Kepsek, bisakah saya menjawab?” Jessica bertanya

“Silakan.”

“Sebelumnya, izinkan saya meminta maaf kepada seluruh hadirin, untuk orang tua murid dan juga siswa-siswi di SMA Kwangya Internasional atas keributan yang terjadi. Saya tahu, mungkin saya bukan orang tua yang sempurna yang bisa mengajari anak saya untuk tidak berbuat kasar kepada teman-temannya. Namun yang harus kita pahami sekarang adalah, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Mari kita semua memahami apa yang terjadi sebenarnya diantara anak-anak kita,” jelas Jessica panjang lebar sebelum melihat lurus kepada Ibu dari Niko, “Jika Ibu menganggap anak saya maupun anak dari Donghae berbuat salah, maka kami siap bertanggung jawab. Bagaimana jika anak Ibu yang salah?”

“T…Tentu saja saya akan menanggungnya!” sahut Ibu dari Niko

“Bu Kepsek, saya mohon izin untuk menunjukkan sesuatu, yaitu surat undangan Ibu kepada saya pada hari Jumat lalu,” kata Jessica lagi. Jihyo mengangguk dan meminta operator untuk menayangkan di layar besar di ruangan.

“Hadirin semuanya, ini adalah foto surat yang saya terima di hari Jumat pagi. Isi dari surat tersebut adalah meminta saya menemui kepala sekolah pada pukul 15.00, tanpa ada perihal yang jelas. Menurut saya, karena surat itu bercap sekolah dan ditandatangani oleh kepsek, maka saya tidak perlu berpikir panjang untuk datang ke sekolah. Ternyata, Bu Jihyo tidak pernah sekalipun menulis surat ini. Terlebih kenapa hanya saya? Kenapa Donghae tidak diberikan surat padahal disaat yang sama anak saya dan Jeno, berserta Dominic dan Niko juga dihukum hal yang sama,” Jessica menarik nafas panjang, “Setelah dicek oleh beberapa siswa, ternyata surat ini palsu, hanya kopnya yang asli. Pihak Osis sudah mengonfirmasi bahwa mereka memang punya kop surat sekolah, namun untuk tanda tangan dan stempel, mereka tidak punya.”

Jessica kembali menatap ke arah komite sekolah

“Coba Bapak Ibu tebak? Anak Osis menemukan satu file di folder Ketua Osis mereka terkait surat ini.”

“Bisa saja Lucas difitnah,” Ibu dari Niko kembali menyahut

“Benar, tapi mari kita dengarkan rekaman suara di saat keributan itu berlangsung,” Jessica meminta operator untuk memutar rekaman suara dari jam tangan Jeno.

Semua orang di dalam ruangan tercekat karena baik Lucas maupun Dominic mengakui perbuatannya. Memang terdengar suara Winter dan Jeno memancing keduanya, bahkan kata-kata Gue yang udah ngerasain bibir Karina, emang elo yang cuma bisa bayangin aja? dari Winter didengarkan kepada seluruh hadirin di auditorium. Karina tentu saja menutup mukanya karena malu karena tidak menyangka bagian ini juga diputar. Taeyeon menoleh ke podium dan meminta maaf kepada Karina melalui isyarat bibirnya.

“Haduh, Winter nadanya congkak bener,” Lia tergelak di samping Karina, tidak membuat Karina semakin membaik. Sedangkan keempat teman Winter tertawa terbahak-bahak.

“Semua rekaman ini sudah dicek oleh pengacara dan tidak ada bekas rekayasa. Apakah sekiranya kurang, Ibu Oh?” Jessica menoleh kembali ke podium komite

“Saya rasa sudah cukup dan sudah jelas,” Hyomin sebagai ketua komite sekolah menyudahi karena sepertinya Ibu dari Niko hanya bisa terdiam, “Kami serahkan kembali kepada Ibu Kepsek.”

Ketua Yayasan mengangkat tangannya, ingin menyampaikan sesuatu.

“Silakan Pak Lee.”

“Terimakasih Bu Jihyo atas waktunya,” Lee Sooman berdehem sebentar, “Yayasan tentu menginginkan sekolah berjalan dengan lancar. Jika siswa berbuat keributan tetapi tidak di lingkungan sekolah, itu sudah bukan wewenang kami. Kami paham banyak siswa dan siswi yang suka berbuat ulah di luar sekolah,” Lee Sooman terkekeh, “Tapi selama tidak merugikan nama sekolah, kami tidak punya wewenang untuk menindak. Tapi kejadian ini, terjadi di lingkungan sekolah dan sudah merupakan tindak kriminal. Yayasan menginginkan pihak yang memulai keributan dikeluarkan dari sekolah.”

Beberapa siswa yang hadir bertepuk tangan, terutama dari geng Winter dan Jeno. Mereka tahu mereka ini preman, namun hampir tidak pernah membuat keributan besar di lingkungan sekolah. Sebuah blunder memang dilakukan oleh Dominic maupun Lucas yang memilih gudang belakang untuk membalaskan dendam mereka kepada Winter dan Jeno. Jika mereka melakukan di luar sekolah, mungkin ceritanya akan berbeda.

“Sepertinya hukuman untuk ketiga orang sudah jelas,” Jihyo kembali mengambil alih microphone, “Memalsukan tanda tangan kepala sekolah, sengaja menjebak teman dan sengaja melukai teman, sepertinya sidang terbuka ini sudah menemui titik akhir.”

“Lalu apakah Winter dan Jeno tidak mendapatkan hukuman?” Ibu dari Niko kembali menyahut

“Tentu saja akan mendapatkan hukuman yang setimpal, mereka sudah merusak fasilitas sekolah. Namun, tentu tidak seberat pihak yang merencanakan untuk nyaris membunuh temannya sendiri,” Jihyo tersenyum sambil menutup acara sidang terbuka ini. Memberikan kelegaan bagi seluruh siswa yang hadir di dalam auditorium pada siang hari ini.

Karina mendengus resah, pasalnya pacarnya yang tadi nyariin dia tiba-tiba gabisa dihubungi lagi. Bahkan gawainya sepertinya tidak aktif.

“Tanyain ke temen-temennya aja,” saran Giselle ketika mereka membereskan barangnya setelah latihan klub.

“Gue cuma punya kontaknya Jeno. Dan dia juga gabisa dihubungin.”

“Tanyain Ning aja, dia kan ada kontaknya Ryujin.”

“Oiya bener juga,” Karina baru saja mengambil gawainya dari kantong ketika dia melihat geng Winter berjalan di dekat gedung eskul.

“Ryujin!” Karina memanggil salah satu dari mereka, membuat keempatnya menghentikan langkah. Sebentar, empat? mana yang dua lagi?

“Karina, lo liat Winter atau Jeno ga?” Ryujin langsung bertanya cepat, dari nadanya keliatan risau.

“Enggak, justru gue juga mau nanya. Winter tadi ngehubungin gue dan sekarang hpnya ga aktif,” jawab Karina

“Jeno juga,” sahut Jaemin, “Kita ke gudang belakang, Rin.”

Karina dan Giselle hanya mengangguk, mengikuti keempat orang itu berjalan dengan cepat ke arah belakang.

Jujur, perasaan Karina ga enak. Seperti sesuatu yang buruk sudah terjadi.

***

“Terkunci,” kata Mark ketika berusaha menarik pintunya.

Suara notifikasi dari gawai Karina sedikit mengagetkan mereka. Karina meminta maaf dan membuka notifikasi pesan itu, ternyata dari Winter.

“Winter di dalem, ini chatnya baru masuk padahal indikator waktunya udah satu jam yang lalu,” kata Karina sedikit panik. Ryujin menempelkan telinganya di pintu dan mendengarkan suara hantaman dari dalam.

“Shit, mereka kayaknya di dalem dan suara hantamannya kenceng banget,” kata Ryujin, “Shuhua sama Mark please panggil Pak Sigit, ambil tambang sama bawa Pajero lo kesini, Shu.”

Shuhua dan Mark mengangguk sebelum berlari ke arah pos satpam

“Karina, Giselle,” Ryujin menoleh kepada dua gadis yang sedang ketakutan, “Panggil guru, gue yakin kalo kalian yang ngomong bakalan lebih cepet dari kita. Gue sama Jaemin tunggu di sini.”

Tak berselang lama, Shuhua datang dengan Mark dan Pak Sigit, satpam kesayangan mereka, dan satu satpam lagi yang membawa tali tambang. Karina dan Giselle juga sudah sampai, bersama dengan Ning dan Lia. Di belakang mereka, ada Bu Jihyo, Pak Gary, dan juga Bu Sooyoung, ibu dari Lia.

“Ini mau diapain?” Sooyoung bertanya ketika Pak Sigit menyerahkan tambang kepada Ryujin untuk diikat ke pegangan pintu.

“Ada yang nahan pintu ini dengan sesuatu dari dalam. Dan berbentuk palang. Jadi kita harus narik sekuat tenaga, makanya saya minta Shuhua bawa mobilnya ke sini,” Ryujin menjelaskan, membuat Pak Gary, satu-satunya guru laki-laki yang ada membantu Ryujin mengikat tambang.

“Bu Sooyoung, tolong hubungi satpam yang lain dan mungkin beberapa guru lelaki. Untuk jaga-jaga saja,” kata Gary kepada koleganya.

“Dalam hitungan tiga, gas pelan-pelan ya Shu!” Ryujin memberikan komando, “1, 2, 3!”

Decit ban berpadu dengan suara tarikan tambang. Dalam waktu yang singkat, Shuhua berhasil menarik pintu itu sampai terbuka. Di dalam ruangan, terlihat Winter dan Jeno yang terluka cukup parah, bersama dengan Lucas dan Dominic.

“Berhenti kalian!” suara lantang dari Jihyo, kepala sekolah mereka terdengar.

Suara itu berbarengan dengan beberapa orang yang berdiri di depan pintu gudang, membuat Dominic entah kenapa langsung panik. Dia langsung menarik Winter dari samping dan menunjuk tongkat baseballnya ke arah kerumunan.

“Jangan mendekat atau kepala Winter bakalan pecah!” seru Dominic, yang membuat Karina menahan teriakannya.

“Lo emang goblok ya,” Winter terkekeh, membuat Dominic menoleh kepadanya, “Lo nyekek gue dari samping tapi tangan kanan gue masih bebas.”

Winter mengepalkan tangannya dan menonjok hidung Dominic sampai dia terjungkal ke belakang. Perbuatan Winter membuat Ryujin dkk merangsek ke depan, begitu juga dengan Karina. Gerakan ini diikuti oleh beberapa guru yang ada di sana, bertujuan untuk menghentikan aksi barbar dari anak-anak yang ada di dalam.

“Winter!” Karina meraih tubuh Winter yang sedikit terhuyung, “Astaga...” Karina hanya bisa menahan teriakannya, bagaimana tidak? Pipi Winter lebam kanan kiri, ujung bibirnya sobek, darah terus menetes dari kepalanya. Jika tidak salah, Karina melihat lebam di bahu kiri Winter yang juga berlumuran darah.

“Kamu akhirnya dateng,” Winter menyandarkan kepalanya yang sudah sangat pusing ke bahu Karina, tidak peduli jika seragam kekasihnya jadi ikut terkena darah. Karina memeluk pinggang Winter, karena perlahan tubuhnya melemah dan jatuh pingsan di pelukan Karina.

Enam orang terlalu banyak bagi Winter dan Jeno, apalagi mereka semua membawa tongkat baseball sebagai senjata. Namun, Winter dan Jeno ditakuti oleh satu sekolah bukan hanya kabar burung aja, mereka benar-benar jago berantem

Keenam orang yang dikomandoi oleh Dominic sedikit kewalahan, pasalnya Winter sangat lincah dan Jeno cukup kuat untuk menahan serangan-serangan mereka.

“Kita emang harus mancing mereka sih biar agak emosi dan berantakan,” bisik Jeno di tengah helaan nafasnya yang berat; punggungnya kena gebuk cukup keras barusan.

“Gue mau nendang kepala, lo bisa bantu kan?” tanya Winter

“Ok.”

Salah satu dari bawahan Dominic maju ke depan dengan mengayunkan tongkat baseballnya, bersamaan dengan itu, Jeno memeluk pinggang Winter dan memutar tubuh temannya itu sampai terangkat ke atas. Dan dengan cepat pula, Winter menendang kepala anak itu sampai dia terjatuh ke samping. Sepertinya pingsan.

“Anjir,” Lucas menahan langkahnya, emang bener kata Dominic, kedua adik kelasnya ini jangan sampai dijadiin satu. Terlalu berbahaya.

“One down,” Winter mengusap pipinya yang tadi berdarah, “Five more.”

“Lo gausah sombong ya, udah babak belur gitu,” Niko mulai emosi. Tanpa aba-aba, dia langsung maju ke depan, bermaksud memukul kepala Winter yang sudah terluka. Winter menekuk tubuhnya ke bawah, membuat Niko hanya memukul angin dan tubuhnya oleng. Memanfaatkan situasi, Jeno menghantam dagunya dengan keras membuat Niko terhuyung ke samping. Winter mengambil kesempatan dengan mengeluarkan high kicknya ke bagian perut Niko dan membuat kakak kelasnya itu terlempar cukup jauh ke belakang. Tubuh Niko menabrak lemari dan membuat isinya berjatuhan, menimpa tubuhnya yang terkulai lemas.

Sayangnya, kejadian barusan membuat Winter dan Jeno lengah. Lucas dengan cepat mendorong tubuh Winter sampai punggung gadis itu menabrak tembok dengan keras. Ditambah dengan tongkat baseball yang dia bawa, Lucas mengangkat tubuh Winter dengan menahan tongkatnya di depan leher Winter, membuat nafas Winter tersengal.

“Sumpah ya gue harap Karina liat muka lo tersiksa gini, asli gue dendam banget sama dia. Bisa-bisanya sekretaris osis lebih punya power daripada gue yang ketosnya. Mana bossy lagi, anjing emang cewek lo itu,” desis Lucas penuh dendam.

“Itu sih emang lo yang goblok,” kata Winter di tengah nafasnya yang tersengal. Memanfaatkan tembok di belakangnya sebagai tumpuan, Winter menendang bagian yang terletak di antara kaki Lucas, membuat cowok itu jatuh tersungkur ke lantai. Winter masih berusaha menarik nafas sebanyak-banyaknya tapi salah satu dari kelompok itu, yang memiliki postur tubuh paling besar namun gerakannya sangat lambat, menarik kerah Winter dari belakang dan melemparkannya ke sisi lain dari ruangan itu.

“Win!” Jeno barusan mendorong Dominic dengan kakinya, menghampiri Winter yang terkulai setelah menabrak tembok untuk kedua kalinya, “Anjir kepala lo berdarah-darah.”

“Kaki lo juga, merembes tuh darahnya,” sahut Winter asal. Jeno dengan cepat mengusap darah yang menetes di dahi bagian kiri Winter, agar cewek itu bisa membuka matanya.

“Buset merah banget jadinya seragam gue,” canda Jeno

“Gue beliin baru selusin gausah bacot,” Winter melepas jaketnya, ternyata bahu kirinya terluka parah. Jaketnya yang berwarna hijau army sudah berlumuran darah entah dari mana.

“Berdiri kalian,” Dominic kembali mendekat sambil mengacungkan senjatanya, “Muak gue liat muka kalian. Bokap gue hidup susah gara-gara ortu kalian yang bangsat itu. Rusak hidup gue dan keluarga gue.”

“Bokap lo aja yang ga bener ngatur duitnya,” Winter meludah ke samping, terlalu banyak darah di dalam mulutnya.

“Bangsat lo,” Dominic melompat ke depan dan memukulkan tongkatnya ke arah Winter, namun ditahan dengan kedua tangannya, “Kuat ya lo, minimal patah lah itu tangan.”

Dominic terlalu sombong, karena Jeno menendang perutnya dari samping.

“Banyak bacot lo,” kata Jeno. Walaupun demikian, keduanya sudah kehabisan tenaga dan sekujur tubuhnya sudah sakit. Jeno dan Winter hanya berharap pesan mereka tersampaikan kepada teman-temannya.

Lucas dan kedua temannya terus berusaha memperpendek jarak dengan Winter dan Jeno, yang sibuk menghindar karena jujur tenaga mereka sudah hampir habis. Dan sekarang mereka terpojok.

“Kata gue lo nyerah aja sih,” Lucas tertawa, “Daripada mati.”

“Ga salah?” Jeno menaikkan alisnya, “Lo yang bakalan mati.”

Brakk

Tiba-tiba terdengar suara kayu patah, penahan pintu yang dibuat oleh Dominic patah, membuat pintu gudang terbuka lebar.

Winter merutuki kebodohannya, dan kebodohan Jeno terutama. Hanya dengan kiriman foto editan, sekarang mereka berdua terjebak di gudang belakang. Gudang yang terkenal tidak ada sinyal; namun sepertinya karena Winter sempat merusak jendela kaca beberapa waktu yang lalu, sedikitnya ada sinyal internet yang lewat-lewat.

“Mudah ya membawa kalian ke dalam sini,” suara lelaki yang mengejek itu muncul, Dominic. Mendengar suaranya saja Winter dan Jeno sudah muak. Jeno beberapa waktu yang lalu mendapatkan peringatan dari Chenle mengenai Dominic dan Niko.

Chenle benar, dan Jeno meremehkannya.

“Bangsat lo ya,” Jeno menggeram sebal, ini masih Senin dan mereka harus menghadapi cecunguk tidak penting di depan ini.

“Lee Jeno kalo ga mengumpat gabisa ya emang,” terdengar suara kekehan lainnya, yang membuat Jeno maupun Winter terhenyak, Lucas, Ketua Osis mereka. Kecurigaan mereka benar-benar terbukti.

“Gue rasa kalian ini bisa kuat karena selalu berenam, coba berdua gini? Mana bisa kalian ngalahin kami?” Niko tergelak sambil memainkan tongkat baseballnya. Setidaknya ada tiga orang lain di belakang mereka, jadi total Jeno dan Winter akan menghadapi 6 orang.

“Lo nyalain perekam suara di smartwatch elo,” bisik Winter cepat, “Gue kirim pesan ke Karina. Dengan beberapa pergerakan sinyalnya tuh bisa masuk. Jangan lupa lo sinkronin ke hp lo.”

“Iya,” Jeno dengan cepat memencet perekam suara di jam tangannya. Begitu juga dengan Winter yang memasukkan gawainya ke dalam saku dalam jaketnya.

“Ngapain sih kalian?” Dominic maju mendekat. “Bisik-bisik aja. Saling ngucapin pernyataan cinta ya? Bagus sih, Karina buat gue aja.”

“Anjing!” Winter merangsek maju, tapi ditahan Jeno

“Kita ga bisa serampangan. Inget mereka bawa senjata dan berenam. Kita cuma berdua,” kata Jeno pelan, tapi dari pandangannya yang tajam, dia benar-benar sudah ingin merobek mulut Dominic ini.

“Lo semua kenapa sih? Udah kelas XII bukannya fokus belajar malah bikin keributan,” Winter melipat tangannya, kakinya berada di posisi kuda-kuda yang siap untuk melompat ke depan ataupun belakang.

“Ya soalnya lo dan geng lo yang bikin rusuh terus. Bikin sakit mata tahu ga sih?” Niko menggelengkan kepala malas, “Mana banyak bacot lagi.”

“Banyak bacot apanya, bacotan elo kali,” balas Jeno santai, “Gue emang bacot, tapi temen gue ini ga banyak bacot dan bisa neghajar elo sampai mati.”

“Kan bacot lagi,” Niko tertawa mengejek

“Gini-gini gue bikin lo rugi 5 juta sih,” Jeno tertawa lagi, “Emang lo, cupu banget main caturnya.”

“Eh anjing!” Niko mengangkat tongkat baseballnya dan menunjuknya ke arah Jeno, “Diem lo atau kepala lo hancur.”

“Bukannya gue yang bakalan ngehancurin kepala lo duluan?” Jeno tersenyum sinis pada kakak kelasnya itu. Secara fisik, Jeno memang cukup tinggi dibandingkan dengan cowok seumurannya, sehingga tingginya itu bisa mengintimidasi dengan mudah orang lain, terkecuali Winter sih.

“Tahan, Nik. Dia sengaja itu,” kata Lucas pelan

“Gue uda pernah bilang,” Winter menatap ketosnya itu dengan sengit, “Gue ga peduli lo ketua osis apa bukan, kalo emang semuanya lo yang bikin, gue gabakal tinggal diam.”

“Bikin apa?” Lucas hanya tertawa

“Apapun,” Winter mendesis, “Lo ada dendam apa sih sama cewek gue?”

“Cewek gue,” Dominic memutar bola matanya malas, “Sok banget.”

“Setidaknya gue udah pernah ngerasain bibirnya Karina, lo emang pernah? Cuma bisa bayangin aja sok jagoan. Emang Karina mau sama lo pecundang kaya gitu?”

Batas kesabaran Dominic sudah habis, dia melompat maju dan mengayunkan tongkatnya. Namun dia salah, Jeno dan Winter selain terkenal dengan kekuatannya, mereka juga cepat. Ayunan pertama dari Dominic memang meleset, tapi kelima orang selain dia sudah melingkari Jeno dan Winter dengan senjata masing-masing.

“Kayaknya kita bakalan berusaha lebih keras nih, Win,” kata Jeno

“Iya, jarang kan?” balas Winter sambil bersiap untuk membalas serangan Dominic dan kelompoknya.

Winter mengetuk pintu kamar depan. Setelah mendapati jawaban masuk, Winter mendorong pintu pelan, mendapati Karina sedang membaca sebuah buku. Well, walaupun Jeno terlihat serampangan, dia suka membaca buku. Norwegian Wood, Winter membaca judul buku yang sedang dipegang Karina.

“Uda selesai?” tanya Karina sambil meletakkan bukunya, memberikan tanda untuk Winter duduk di sebelahnya.

“Uda,” jawab Winter singkat dan duduk di samping Karina, “Lama nunggunya?”

“Enggak kok.”

“Rin, aku mau minta maaf,” Winter menoleh ke samping, mengunci mata ke arah kekasihnya, “Tadi pagi. Aku rasa aku terlalu memaksa, maaf aku gatau kamu ga nyaman.”

Karina menggenggam tangan Winter erat, “Aku juga minta maaf jika misalnya bikin kamu sakit hati. Tapi pelan-pelan ya? Aku kaget soal tadi.”

“Iya. Kalo ada yang ga pas di kamu, tolong kasih tahu ya. Jangan diem aja, aku gapaham, Rin,” Winter menangkupkan kedua tangannya ke tangan Karina, membawanya ke bibir dan menciuminya.

“Iya, Sayang,” Karina tersenyum

“Boleh peluk?”

“Tentu boleh,” Karina menarik tubuh Winter ke dalam pelukan erat, “I love you.”

“I love you more,” jawab Winter sambil mempererat pelukannya

Semalam mungkin keduanya terlalu lelah, begitu ganti baju, keduanya tertidur pulas sampai pagi menjelang. Mungkin karena posisi Winter yang memeluk Karina dari belakang membuat gadis itu merasa ingin menciumnya; wangi rambut Karina memabukkan. Perlahan, dia mengecup kening dan puncak kepala Karina, membuat gadis yang masih tertidur itu membuka matanya.

“Pagi, Sayang,” suara parau Karina justru membuat Winter semakin ingin menciuminya. Secara cepat, dia memindahkan dirinya berada di atas Karina

“Pagi,” jawab Winter, memangkas jarak di antara keduanya. Perlahan, Winter mencium bibir Karina. Awalnya hanya ciuman biasa, tanpa melibatkan lidah seperti yang biasanya mereka lakukan. Namun entah kenapa Winter pagi ini menginginkan lebih, dia menggigit pelan bibir Karina, membuat kekasihnya itu mendesah pelan.

Winter merasa desahan itu justru membuatnya gila, dia memindahkan tangannya ke leher Karina untuk mendorong kepala darinya, memperdalam ciuman yang sedang mereka lakukan. Tangan Winter mulai bergerak ke bawah, mengelus punggung Karina dan berada di atas kancing piyamanya. Ketika Winter membuka kancing teratas milik Karina, tiba-tiba gadis yang berada di bawah mendorongnya dengan kasar

“Karina?”

“Aku,” Karina tersengal, nafasnya menderu dengan cepat dan wajahnya memucat karena panik, “Aku belum siap untuk itu, Win.”

Karina sedikit bersyukur setidaknya kemarin Jumat dan hari ini Sabtu, dia tidak perlu menghawatirkan mengenai sekolah.

Sekarang yang menjadi fokus dari dirinya adalah gadis yang masih terlelap di pelukannya. Ya, Karina pun kaget. Semalam dia melihat sisi Winter yang lain; gadis itu terlihat sangat manja dan meminta dielus punggungnya sampai tertidur.

“Udah pagi?” suara serak dari Winter membuyarkan lamunan Karina

“Udah jam 8, Sayang,” Karina memberanikan diri mengecup puncak kepala kekasihnya itu, membuat Winter tersenyum lebar

“Mau sarapan? Aku book hotelnya sekalian sarapan sih.”

“Dasar orang kaya,” Karina berkelakar. Dirinya membuka selimut dan akan turun dari kasur ketika Winter menahannya

“Bentar, masih mau peluk,” pinta Winter

“Kan uda dipeluk semaleman,” Karina menowel ujung hidung mancung Winter, “Sarapan yuk, ada yang perlu kita omongin.”

Winter mengangguk dan mengikuti Karina turun dari kasur.

“Karina,” panggil Winter ketika Karina memakai jaketnya

“Iya?”

“I love you.”

****

Ketika Karina bertanya terkait kegiatan Winter hari ini, gadis yang sedikit lebih pendek darinya itu hanya mengatakan aku ingin di hotel aja sama Karina, boleh ga?

Akhirnya itulah yang membuat keduanya berakhir di kasur hotel sambil memutar film apapun. Winter menolak untuk dipeluk dari belakang, alasannya karena Karina sudah memeluknya semalaman. Jadinya, Winter berada di belakang Karina, memeluk Karina dari belakang dan memosisikan gadisnya itu diantara kedua kakinya yang diluruskan. Beruntung bagi Winter, yang membuat Karina tinggi adalah kakinya, sehingga dengan posisi duduk, Winter masih bisa menyandarkan kepalanya di pundak Karina.

“Aku suka wangi shampoo kamu,” Winter sengaja mengendus rambut Karina, mengarahkan hidungnya naik dan turun, membuat Karina menahan nafasnya karena kedekatan mereka ini

“Sayang, mau ngomongin kemarin ga?” Karina memainkan jemari Winter yang ada di perutnya

“Emang mau ngomongin apa?”

“Why did you run away?”

“Marah sama Mamah aku?” Winter menaikkan alisnya, “Aku ga suka.”

“Mereka khawatir banget loh, Win.”

“Biarin. Kan udah aku bilang. Kamu mau ngebela mereka?”

“Engga gitu, Sayang,” Karina memutar tubuhnya, menghadap ke arah Winter, “Jangan gitu lagi ya? Kamu kabur dan sempet ga bales chatku. Aku khawatir banget.”

“Iya maaf,” Winter mengecup cepat bibir Karina

“Kebiasaan,” Karina menyentil jidat Winter gemas, mereka melanjutkan cerita masing-masing. Tentang pertemanan Winter dengan Ryujin yang sudah mereka miliki sejak SMP, kedekatan Winter dengan Ibu dari Ryujin, lalu Winter juga menceritakan mengenai bagaimana dia mengenal Jaemin dan Shuhua, sebelum dia membanting Jeno ketika masih kelas sepuluh. Pertemuan dengan Mark juga masih menjadi cerita sendiri bagi Winter. Bagaimana tidak, awalnya Mark ingin menghajar Winter karena gadis itu sudah membuat malu Jeno, namun akhirnya mereka justru berteman dekat. Karina juga menceritakan mengenai Ning yang suka dengan Ryujin tapi masih dipendem aja, atau dengan Lia dan Giselle yang terkadang membuat Karina curiga kalo mereka ini saling suka.

“Btw kita uda dari makan siang sampai udah malem nih masih mau cuddle aja di kasur kek gini?” Karina mengedarkan pandangannya ke arah luar.

“Kenapa? Kamu ga suka?” Winter dengan sengaja memeluk Karina dan meletakkan wajahnya di ceruk leher kekasihnya itu, tidak lupa mengecup leher Karina lembut

“Sayang…” Karina hampir saja kehilangan akal sehat, pasalnya semakin ke sini Winter semakin menunjukkan bahwa dirinya sangat suka dengan physical touch dibandingkan dengan yang lain. Bukannya Karina ga suka, kadang dia merasa belum siap aja.

“Ya habis,” Winter menaikkan wajahnya, dengan sengaja menggesekkan hidung mancungnya ke dagu Karina, sampai ke arah pipi dan sekali lagi, mengunci pandangannya ke mata hitam Karina.

“Mau motoran keliling sini? Kan ada pantai buatan tuh, ada kaya pasar malem juga,” jawab Karina, masih berusaha menenangkan dirinya.

“Okay. Pake jaket tebel, dingin nih,” Winter melompat dari kasur dan mengambil jaketnya

“Iya sabar, tadi katanya pengen di kamar aja sekarang semangat bener,” Karina terkekeh sebelum mengikuti kekasihnya keluar dari kamar.

Winter tidak pernah suka aura Mamahnya ketika marah. Bahkan dari jarak yang cukup jauh, dirinya sudah merasakan aura mengerikan itu.

Setelah tiba di rumahnya, Winter langsung duduk di depan Mamah dan Ummanya, ada Abangnya yang duduk di kursi samping.

“Bisa jelasin ke Mamah, apa yang sebenarnya kamu lakuin sampai kamu dihukum bersih-bersih sekolah?” tanya Jessica

Winter hanya mengalihkan pandangannya ke arah Taeyeon, yang sepertinya sedang tegang juga menanti jawaban anak bungsunya itu.

“Sebentar,” sela Jessica, “Taeyeon, jangan bilang kamu sebenarnya tahu?”

“Eh,” Taeyeon sedikit terkejut dan menoleh ke arah Jessica, “Aku bisa jelasin.”

“Jadi kalian berdua sengaja nutupin ini?” Jessica menaikkan nada bicaranya

“Maaf, Sayang,” Taeyeon menggenggam tangan Jessica, “Ini hanya masalah kecil.”

“Masalah kecil apa?” Jessica mengalihkan pandangannya ke arah Winter, “Kamu itu harus dibilangi apa lagi? Apa yang kamu lakukan? Berantem? Bagus kaya gitu? Apa yang kamu dapetin dari berantem?”

Winter menundukkan kepala, sungguh, walaupun  dirinya terkenal preman tapi di depan Jessica, dia hanyalah anak bungsu biasa.

“Kamu bisa berantem sampai matahin hidung teman kamu, tapi gabisa jawab pertanyaan Mamah?”

“Dia bukan temenku,” jawab Winter lirih

“Trus? Jadi pembenaran gitu buat kamu mukulin anak orang?”

“Adek ga suka sama dia. Dia selalu ngomong jelek soal adek dan temen-temen adek.”

“Tapi tetap saja, bukan berantem solusinya. Mau jadi apa kamu kalo kaya gini terus? Kamu bikin malu Mamah di sekolah tadi!”

Winter mendongakkan kepala, entah kenapa kalimat terakhir dari Jessica menyakiti hatinya.

“Mamah kenapa sih selalu nanyain adek maunya apa tapi ga pernah didengerin? Adek capek, Mah! Udahlah emang Mamah gapernah ngertiin aku! Emang aku cuma bikin malu aja!”

Dengan gerakan cepat, Winter langsung berlari ke arah luar. Beruntung dia tidak meminta Pak Andre memarkirkan motornya, sehingga motornya masih berada di depan pintu. Winter memacu motornya, mengabaikan teriakan kedua orang tuanya yang terus memanggil namanya.