wqwqwq12

Jessica sedikit mengaduh ketika mendengar alarmnya berbunyi. Ketika membuka matanya, suasana tidak familiar menyapanya. Ini bukan kamarnya.

“Shit,” Jessica mengumpat, langsung membuka selimutnya dan menghela nafas lega, setidaknya dia masih memakai baju lengkap.

Ketika Jessica turun dari kasur, dia mendapati setumpuk baju ganti dan disposable panties diletakkan di meja. Akhirnya Jessica menyadari bahwa ini kamar Winter ketika melihat foto Winter saat wisuda, bersama seorang wanita yang terlihat sangat bahagia juga.

“Must be Karina,” Jessica terkekeh sebelum mengambil  baju itu dan berjalan ke kamar mandi yang terletak di sebelah kamar.

***

“Pagi!” sesosok wanita dengan rambut kuning menyala menyapa Jessica yang berjalan ke arah dapur

“Hi, pagi juga,” Jessica tersenyum ketika melihat Winter menoleh kepadanya dan menarik kursi di sebelahnya untuk mempersilakan dia duduk

“Ryujin, roomate gue,” kata Winter

“Yang bantu kakak naik ke atas kemaren,” Ryujin nyengir lebar, mendapatkan kekehan pelan dari Winter

“Thank you ya. Emm, gue ga tidur berdua sama Winter kan?” Jessica bertanya pelan, namun kedua perempuan lainnya malah terbahak

“Tuh kan uda gue bilang mana mungkin gue nyimpen sugar mommy,” Winter menendang kaki Ryujin sambil tetap terbahak, membuat Jessica bingung.

“Itu, Ryujin semalem ngira lo simpenan gue. Uda gue bilang lo udah nikah dia masih ga percaya. Gue kemaren tidur di sofa kok, gausah khawatir,” terang Winter yang diamini oleh Ryujin.

“Ya abis muka lo tengil,” Jessica menyentil kepala Winter gemas, “Mana lo gapernah panggil gue kakak lagi, ga sopan.”

“Anda ini kan pernah hidup di Amerika, ga ngaruh kali kalo gue panggil langsung nama,” Winter membela diri.

“Emang nyebelin dia kak, tabok aja,” Ryujin mengompori, “Eh, gue harus berangkat kerja.”

“Kalian berdua kerja apa?” tanya Jessica

“Fotografer,” jawab Winter, “Gue lagi libur, Ryujin nih lagi banyak kerjaan.”

“Haha, numpuk emang,” Ryujin mengambil tas kameranya, “Kakak ga kerja?”

“Dia mah yang punya perusahaan,” sela Winter yang mendapatkan sentilan lagi dari Jessica

“Paling dateng abis makan siang, gada yang urgent sih,” jawab Jessica sambil mengunyah sandwich di meja, “Thanks sarapannya.”

“Anytime, Kak. Gue berangkat dulu ya, nice to meet you,” kata Ryujin

“Drive safely!” kata Jessica ketika Winter hanya mengangguk pada roomatenya itu

****

“Mobil lo masih di Bar btw,” kata Winter ketika Jessica sudah selesai berberes, “Mau gue anterin buat ambil?”

“Gausah, ntar biar diambil sopirku,” jawab Jessica, “Gue mau langsung balik aja, muter-muter kalo ke Synk dulu.”

“Yauda kalo gitu,” Winter membuka pintu apartemennya

“Makasi ya semalem,” canda Jessica

“Iye, lo berat anjir,” Winter bales bercanda.

Namun candaan mereka terhenti karena di balik pintu, ada sesosok wanita berambut hitam dengan pandangan yang tajam, menatap lurus ke arah Winter.

“Karina?”

Oh, here comes the trouble batin Jessica

Jika Jessica mengira bahwa dirinya tidak akan bertemu dengan Taeyeon pagi ini, maka dia salah besar. Jam menunjukkan pukul 10, biasanya Taeyeon sudah ada di kantor namun Jessica lupa, dua hari terakhir Taeyeon pergi ke luar kota dan biasanya istrinya itu akan pulang di siang hari. Namun sekali lagi, Taeyeon sudah berada di rumah di pagi hari dan tidak berangkat tidur, melainkan menunggu Jessica dengan wajah ditekuk.

“I thought you are at the office,” kata Jessica cuek ketika Taeyeon berdiri

“Semalem kamu di mana?” tanya Taeyeon dengan suaranya yang sedikit parau

Jessica menghela nafas panjang sebelum menatap mata cokelat Taeyeon yang terlihat sangat lelah.

“Di rumah temen.”

“Siapa? Aku uda telepon Irene, Yoona, dan Sooyoung. Bahkan aku juga telepon Hyoyeon dan Yuri, tapi mereka gatau kamu dimana!”

“Kamu ga pernah di rumah tapi sekalinya di rumah gitu ya? Semua dipermasalahin!” tersulut dengan nada tinggi Taeyeon, Jessica balas membentak.

“Sica…” Taeyeon tahu, percuma balas membentak karena Jessica akan terus menaikkan nada bicaranya, “Kamu tahu kan aku khawatir? I miss you.”

“I miss you every day but you were never here,” nada bicara Jessica tetap tajam, membuat Taeyeon menghela nafas.

“Lalu kamu maunya gimana? Apa kita pisah aja?”

Jessica terhenyak mendengar ucapan Taeyeon. Mungkin dia mengira perdebatan ini akan berakhir dengan banting-membanting pintu, saling berteriak atau membentak, namun bukan perkataan “berpisah” dari Taeyeon

“Taeyeon, aku…” Jessica terdiam. Air mata mengucur begitu saja, dia tidak bisa menahannya lagi. Tersadar bahwa kata-katanya membuat istrinya menangis, Taeyeon tersentak dan berlari ke arah Jessica yang berada di depan pintu kamar tidur mereka.

“Sayang, I didn’t mean to…” Taeyeon pun bingung, dia hanya ingin sekedar break mungkin? Tidak berpisah secara keseluruhan. Namun sepertinya Jessica salah menangkap

“Aku… aku gamau cerai…” perlahan tubuh Jessica terjatuh ke lantai, menangis dengan posisi terduduk.

“Sayang, no. Aku ga maksud untuk cerai,” Taeyeon menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya, mencium keningnya pelan untuk menenangkan Jessica yang mulai histeris.

“Terus kenapa?” tanya Jessica di sela tangisnya

“Maaf. Aku ga akan bilang gitu lagi,” Taeyeon mendorong pelan tubuh istrinya, untuk melihat paras manis istrinya yang selalu membuatnya jatuh hati terus-menerus.

“Dua hari ini selama tugas luar kota, aku banyak berpikir mengenai hubungan kita. Mengenai apakah worth aku sering ninggalin kamu di rumah cuma soal pekerjaan. Aku tersadar memenuhi omongan om kamu ga bakal ngefek bagi hubungan kita ataupun finansial kita,” Taeyeon sedikit terkekeh ketika menyebutkan kata yang terakhir, “Intinya, Sica, aku minta maaf.”

Jessica hanya menggeleng pelan, “Aku yang harusnya lebih minta maaf. Nuduh kamu yang aneh-aneh, padahal sejatinya aku aja yang mikirnya kebanyakan.”

Taeyeon mempererat pelukannya, “Aku mau ngurangin kerjaanku. Kamu bener, ga akan ada selesainya kalo nurutin omongan orang lain.”

Jessica tersenyum di dalam pelukan Taeyeon, “I love you.”

“I love you even more,” Taeyeon melepas pelukannya, namun tangannya masih melingkari pinggang Jessica, “Sekarang ganti bajumu.”

“Ih, mesum!”

“Ga gitu,” Taeyeon mengusap bahunya yang dipukul Jessica, “Aku cuma ga suka aja kamu pake baju yang bukan punyaku ataupun punya kamu sendiri.”

“Dasar,” Jessica menggeleng pelan, “Apa sekalian kamu gantiin bajunya?”

“Gimana kalo ga usah pake baju?” Taeyeon meringis, namun kali ini Jessica tidak memukulnya. Wanita berambut cokelat itu menarik Taeyeon ke kamar dengan senyumannya yang lebar. Tanpa harus menunggu, Taeyeon tahu apa yang diinginkan oleh wanitanya itu.

“Tuh kan ketemu lagi?” Winter terkekeh ketika melihat Jessica yang sedang asik menyesap minumannya

“Bener-bener ya,” Jessica ikut terkekeh dan mengambil tasnya dari kursi samping

“Rum, what a classic,” komentar Winter ketika melihat minuman Jessica

“Not that classic if we compare it with your Dry Martini,” jawab Jessica

“All time favorite,” Winter memanggil bartender untuk menyajikan Dry Martini untuknya.

“We meet again after three days, is there any news?” tanya Jessica

“Ga terlalu baru-baru juga,” Winter mengendikkan bahu, “Masih sama.”

“So, it's time for a story-telling?”

“You sound more excited than me.”

“Ya jelas, gue uda cerita soalnya,” Jessica memukul pelan bahu Winter, “Lagian lo nyebelin bener asli.”

“Hahaha,” Winter tertawa renyah sebelum mengunyah potongan lemon dari minumannya, “Jadi gue juga lagi berantem sama cewek gue.”

“Iya gue tau,” potong Jessica

“Sabar kenapa, cewek cantik nih kebiasaan ya? Ga sabaran,” sekali lagi Jessica memukul bahu Winter

“Bacot.”

“Gue lanjutin nih. Jadi gue ditawarin program kaya magang gitu sama salah satu fotografer kesukaan gue. Kaya dia emang lagi kasi kelas ke beberapa fotografer muda. Nah kesempatan emas dong, gue ambil lah. Tapi gue ga ngomong cewek gue. Marah lah dia.”

“Ya kenapa lo ga ngomong cewek lo, Win?”

“Karena gue selama ini ngerasa mutusin apa-apa sendirian,” Winter menghela nafas dan melanjutkan ceritanya mengenai keluarganya. Jessica merasa prihatin, apalagi melihat usia Winter dan dia yang terpaut cukup jauh, dia merasa Winter seperti adiknya sendiri. Untuk itulah dia mengulurkan tangannya untuk menepuk-nepuk kepala Winter.

Mungkin terlihat biasa, tapi Jessica dan Winter tidak sadar bahwa ada seseorang yang memotret mereka dari jauh.

“Sorry,” Jessica berusaha menepikan tangan salah satu wanita, dia yakin pasti dia sudah mabuk, yang berusaha menyentuhnya. Synk Bar adalah salah satu bar favorit Jessica, biasanya Hyoyeon atau Yuri, temannya dari SMA, akan berada di sini, sepertinya malam ini bukan shift mereka.

“Ayolah, temani gue. Daripada lo sendirian,” wanita mabuk itu masih tidak menyerah.

“Maaf, tapi gue nunggu temen,” Jessica menolak dengan halus

“Temen lo pasti ga dateng deh. Gue uda merhatiin elo dari lo masuk ruangan.”

“Gue...” Jessica sejatinya kehabisan kata-kata untuk mengusirnya, namun seseorang dari belakang mendorong wanita itu sambil sedikit mengumpat

“Anjing geser lah, temen gue ni. Gausah ganggu lo ya,” ternyata seorang wanita lain yang mengepalkan tangan kepada wanita mabuk itu, membuatnya menyingkir dengan cepat.

Jessica memperhatikan wanita yang barusan datang, memakai jaket varsity hitam, wanita itu terlihat tampan dan cantik di waktu yang sama.

Mengingatkannya pada Taeyeon

Tunggu

Wajah wanita itu mirip sekali dengan Taeyeon.

Anjir gue halu apa gimana ini? Jessica mengumpat dalam hatinya.

“Hey, gapapa kan gue duduk sini,” wanita itu menunjuk kursi bar di sebelah Jessica. Setelah mengangguk, wanita itu duduk dan memesan Dry Martini kepada bartender.

Oke ini bukan Taeyeon karena dia ga suka Dry Martini

“Thanks, anyway,” kata Jessica setelah wanita di sebelahnya menyesap minumannya

“Anytime. Gue risih aja. Buta apa dia ga liat cincin di tangan lo?”

“Oh,” Jessica melirik cincin emas di jari manis tangan kanannya, “Gue sampe lupa kalo lagi pake cincin.”

“Haha, wow. Lagi ada masalah banget nih,” wanita itu terkekeh, “Btw gue Winter, salam kenal.”

Jessica menaikkan alisnya, heran karena stranger di depannya menyebutkan nama. Entah itu bohong atau bukan.

“Beneran, nama gue Winter Kim. Gue fotografer di POS. Kalo lo ga percaya search aja kali,” wanita bernama Winter itu terkekeh pelan.

“Jessica, Jessica Jung,” kata Jessica sambil menyesap vodka pesanannya.

“Beautiful name for a beautiful person.”

“Lo buaya ya?”

“Pacar gue bilangnya gitu sih.”

“Istri gue modelannya kaya elo, buaya. Mukanya mirip lagi.”

“Mungkin tipe buaya kek gini-gini semua,” Winter tertawa, “Wait, istri?”

“Ya, gue gay. Are you feeling uncomfortable?”

“Nope, pacar gue cewek juga.”

Jessica mengangguk. Dia hanya terdiam ketika Winter memesan platter untuk mereka, toh rasanya memang sedikit sepi tanpa camilan.

“Gue tau gue lancang, lo ada masalah apa?” Winter tiba-tiba bertanya

“Kenapa lo ngira gue punya masalah?” Jessica balik bertanya

“Lo daritadi mainin cincinnya dan menghela nafas panjang. Santai aja, gue cuma nanya. Kalo lo gamau cerita sih gausah dipaksain.”

Jessica merasa wanita di depannya ini tipikal gentlewoman, persis seperti Taeyeon. Tidak pernah memaksakan kehendaknya. Salah satu sifat yang seperti bom waktu, karena lambat laun Jessica jengah melihat Taeyeon yang tidak pernah memaksakan keinginannya sendiri.

“Gue capek sama istri gue. Gue udah nikah 2 tahunan ini. Dan selama itu, istri gue kaya orang kesetanan kalo kerja,” Jessica membuka obrolan. Winter hanya manggut-manggut, memberikan tanda agar Jessica meneruskan ceritanya.

“Gue tau dia kaya gini karena pernah disindir om gue, katanya dari keluarga biasa kok berani macarin keluarga konglomerat.”

“Sebentar,” Winter memotong cerita Jessica, “Lo Jessica Jung, CEOnya Blanc?”

“Iya, kan gue uda bilang surname gue tadi.”

“Astaga merinding gue,” kata Winter, mendapatkan  lemparan kentang goreng dari Jessica

“Intinya mungkin Taeyeon ngerasa pengen buktiin semuanya ke keluarga besar gue. Makanya dia kerja keras sampe barusan dipromosiin jadi Manajer di kantornya. Ya gue ga pengen maksa dia untuk promosi terus. Ini semua udah cukup. Gue lebih butuh waktu dia daripada uang dia.”

“Ampun konglomerat.”

“Lo ngeselin ya, Win.”

“Dikit. Trus yang bikin lo ke sini?”

“Ya gue bilang ke dia buat nikah aja sama kerjaannya.”

“Ngeri bener,” Winter bertepuk tangan, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh keheranan.

“Tapi jangan takut buat nikah ya lo.”

“Yaa pelan-pelan gue mah,” Winter menenggak habis Martini pesanannya, “Lo uda abis berapa gelas vodka coba. Pulang sana, uda jam 2 pagi.”

“Ngusir lo ya,” Jessica memutar bola matanya malas, tapi memanggil bartender untuk menghitung semua pesanan mereka, termasuk milik Winter

“Lo sendiri ada masalah apa? Lo bilang punya pacar tapi ke sini sendirian.”

“Next time,” Winter mengerling jahil, “Karena lo uda bayarin gue minum, next time gue yang bayar dan gue ceritain.”

“Emangnya next timenya kapan anjir?”

“Ya mana tau lo bertengkar lagi kan?” Winter terbahak sebelum berbalik badan dan menghilang ke kerumunan, meninggalkan Jessica sendirian

“Sayang, ini beneran Winter marah sama aku?” tanya Taeyeon ketika Jessica membantunya melepas jaket dan menggantungkannya di tempat biasa

“Iya kali, pulang minta makan trus tidur anaknya. Langsung masuk kamar.”

“Aduh,” Taeyeon menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Aku harus gimana ini?”

“Yaa, minta maaf?” Jessica terkekeh, “Makan dulu, Sayang. Kamu belum makan kan?”

“Belum sih.”

“Yaudah, aku panasin dulu. Kamu mandi ya, baju gantinya sudah aku siapin di keranjang depan kamar mandi.”

“Kamu masak?”

“Enggak, tadi dimasakin sama Imo. Ini aku panasin aja.”

“Okee,” Taeyeon berjalan melewati Jessica, berhenti sebentar dan menoleh ke arah istrinya.

“Apaan?”

“Cantik,” kata Taeyeon sebelum mengecup bibir Jessica cepat dan berlari ke arah kamar mandi

“Ati-ati kepeleset!” teriak Jessica, walupun pipinya memerah karena perlakuan dari Taeyeon barusan.

*****

Taeyeon berjalan pelan ke kamar anak tunggalnya. Setelah beberapa ketukan, Taeyeon membuka pintu kamar dan mendapati anaknya di bawah selimut, sepertinya bersiap untuk tidur.

“Ngapain?” tanya Winter jutek

“Nyariin kamu,” Taeyeon masuk dan duduk di ranjang, “Maafin Umma ya?”

“Umma tau kan salahnya apa?”

“Iya tau, Winter. Tapi seriusan, Umma gada apa-apa sama Tante Seolhyun.”

“Abisnya deket banget, seriusan tuh gada apa-apa?”

“Iyaa, dulu dia sempet naksir Umma, trus, aw! Kok dicubit sih?”

“Nyebelin banget punya Umma,” Winter merengut, “Ceritain lagi.”

“Ya jangan dicubit tapi.”

“Iyaa.”

Taeyeon memosisikan dirinya berbaring di hadapan Winter sambil menahan kepalanya dengan tangan, mulai bercerita mengenai masa SMA antara dirinya dan Jessica. Dari jaman awal pacaran, putus-nyambung sampai dengan menikah dan punya Winter.

****

“Ini Taeyeon ga balik-balik kemana dah?” Jessica melirik jam dinding di ruang kerjanya. Satu jam yang lalu, Taeyeon pamit untuk ngobrol sama Winter dan Jessica melanjutkan pekerjaannya. Namun sampai satu jam, istrinya itu tidak memberikan tanda-tanda sudah kembali ke kamar.

Betapa terkejutnya Jessica ketika masuk ke kamar Winter, ternyata dua kesayangannya sedang tertidur pulas. Sepertinya terlalu lelah mengobrol. Perlahan, Jessica mendekati arah kasur dan mengecup kepala Taeyeon, lalu Winter, dan menyelimuti keduanya.

“Mommy?” Winter mengucek matanya, “Mommy bobo sini aja bertiga.”

“Iya, Sayang,” kata Jessica. Winter bergeser ke arah tengah untuk memberikan ruang bagi Mommynya.

“Ih, Mommy di tengah dong harusnya,” terdengar suara berat Taeyeon dari belakang Winter, sepertinya dia juga terbangun.

“Ga, Winter yang di tengah.”

“Curang,” Taeyeon mencubit gemas pipi Winter, membuat anak tunggalnya itu mengaduh kesakitan

“Mommy! Umma nih lo nyebelin!” Winter merengut dan merangsek ke pelukan Jessica, mengabaikan Taeyeon yang memasang wajah sebal di belakangnya.

“Ya aku gimana dong tidurnya,” Taeyeon memelas.

“Kok bawel sih, Sayang?” Jessica sedikit terkekeh sebelum mengusap punggung Winter dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melewati badan Winter untuk mengelus pipi istrinya.

“Ayo, buruan tidur kalian berdua,” kata Jessica lagi ketika melihat Winter dan Taeyeon malah membuka matanya.

“Iyaa,” jawab keduanya kompak, sebelum memejamkan mata. Jessica sedikit bergerak untuk kembali memberikan ciuman selamat tidur kepada Taeyeon dan Winter, sebelum mengikuti keduanya ke alam mimpi.

“Seriusan deh kalo kalian ga ngaku, itu kuping copot,” Jeno kembali menendang salah satu orang yang terduduk di lantai.

“Dikasi bisu beneran tau rasa kalian,” giliran Jaemin yang memukul kepala orang lainnya.

Siang tadi, Winter dikabari Jeno kalo mereka berhasil menangkap 4 orang pentolan preman sekolah sebelah yang kemarin ngerusuh di depan sekolah. Setelah dihajar oleh geng itu, kecuali Winter yang sibuk pacaran di perpus tadi, mereka membawa keempatnya ke gudang dekat komplek warung, hasil meminjam ke Cak Su.

Walaupun muka mereka bonyok, tapi mereka tetap bungkam ketika ditanya apakah ada yang menyuruh mereka kemarin. Jeno dan Mark, yang dari tadi nyiksa dengan pukulan-pukulan telak ke wajah dan perut mereka pun hampir menyerah atas diamnya keempat orang itu.

“Win, coba lo paksa mereka,” kata Shuhua sambil menunjuk salah satu diantara mereka. Yang disuruh berjalan mendekat dan berjongkok

“Oh, gue inget lo yang mau nyentuh cewek gue kemarin,” Winter menyeringai sebelum memukul hidung satu anak yang wajahnya sudah babak belur, “Anjing emang lo ya,” Winter mencengkeram kedua pipi cowok itu dengan satu tangan, memaksanya melihat tatapan bengis dari Winter.

“Gue ga peduli gue masuk penjara karena ngebunuh orang. Soalnya lo uda ada niat nyentuh cewek gue. Lo harus tau kita berenam bakalan bisa lepas dari penjara karena pengaruh orang tua kita masing-masing. Dan elo? Cuma preman biasa, lo kalo ga ngaku bakalan setidaknya nerusin hidup dengan kaki pincang selamanya,” Winter menggertak dengan suara tertahan, menunjukkan jika dia benar-benar marah. Sebenarnya itu semua hanya gertakan, lagian kalo Mamah Jessica tau Winter kaya gini, pasti lebih parah hukumannya.

“J..jangan...” cowok itu terbata-bata, “Gue cuma punya Ibu.”

“Trus?” Winter memiringkan kepalanya, sambil kembali menyeringai. Karena yang dia tanyai hanya memejamkan mata ketakutan, dia berdiri dan melayangkan pukulan ke pipinya.

“Mati beneran tuh,” kata Jaemin, melihat cowok yang disiksa tadi.

“Bentar, gue terima telepon dulu,” Winter mengangkat telepon setelah sebelumnya mengarahkan teman-temannya untuk menutup mulut keempat tawanan mereka.

“Iya, Sayang. Abis gini ya. Ntar aku balik perpus kok.”

“Jiakh,” Ryujin tergelak, walaupun posisinya sekarang adalah menekan kepala salah satu tawanan ke lantai agar tidak bisa berbicara apapun.

“Makanya gue bakalan ngebunuh yang nyentuh cewek gue,” Winter kembali ke arah cowok yang sebelumnya, yang sedang dibekap mulutnya oleh Mark.

“G...gue disuruh ketua osis kalian!” tiba-tiba salah satu diantara mereka berteriak, “Kami diberi sejumlah uang dan dijanjikan akan dicomblangin dengan anak-anak osis yang cakep.”

“Murahan,” Jeno meludah jijik, “Jangan bilang Karina juga salah satunya.”

Ketika dia mengangguk, Winter sudah berdiri di depannya. Memukul dagunya sekali lagi dan membuatnya pingsan.

Karina sudah menghubungi Jeno, memastikan posisi kekasihnya dimana. Sambil membawa kantong berisi sandwich buatannya, Karina yakin Winter akan suka, dirinya berjalan pelan ke arah koridor lantai 2. Terlihat Winter dan Jeno sedang mengelap kaca dengan alat pel, sesekalo terdengar suara Jeno bercanda yang ditanggapi singkat oleh temannya itu.

“Gue ambil air lagi ya,” kata Jeno sambil mengangkat ember kosong. Dia tahu Karina sudah mendekat, dan misinya adalah memberikan ruang bagi keduanya.

Jeno melewati Karina dan mengacungkan jempol, memberikan tanda untuk segera mendekat ke Winter.

“Hey,” Karina menyapa kekasihnya dari belakang. Melalui pantulan dari kaca, Winter bisa melihat Karina berdiri di belakangnya.

“Kamu uda di sini?”

Karina mengangguk dan meletakkan bawaannya di lantai. Kemudian, dirinya mengambil tiga langkah untuk mendekati Winter. Belum sempat Winter bertanya, Karina sudah melingkarkan kedua lengannya ke bahu Winter, menariknya ke dalam pelukan.

Winter hanya diam, namun aroma parfum dan kehangatan dari Karina mulai dia rasakan. Reflek, dia meletakkan wajahnya di ceruk leher Karina dan melingkarkan lengannya di pinggang ramping milik Karina.

“Kangen,” bisik Winter lirih, “Maaf ya, kemarin betein.”

“Gapapa, Sayang,” Karina mengelus kepala Winter lembut.

Mereka berpelukan cukup lama, cukup sampai membuat Jeno meminta mereka segera baikan karena dia capek nungguin.

Namun, Winter dan Karina tidak sadar. Selain Jeno, ada satu orang lain yang memandang mereka dari kejauhan, dengan tatapan penuh kebencian.

“Bener kan,” Winter mengetuk rokoknya di asbak, “Bokap Dominic itu kenal sama Umma dan Om Donghae.”

“Kek mana?” Shuhua mencondongkan badannya mendekat ke arah Winter, “Iya adek janji ya.”

“Jangan dibaca itunya!” Winter menoyor kepala Shuhua gemas. Yang ditoyor hanya bisa mengaduh pelan, menimbulkan gelak tawa bagi keempat teman yang lain.

“Emang tu yaa, Winter kalo sama ortunya tuh nurut banget. Apalagi sama Tante Jessica, beh, gada preman-premannya,” sahut Jeno puas.

“Uda gue bilang, kalo lo ngerasain punya nyokap kaya Mamah gue, gue jamin kalian lebih kicep,” Winter memutar bola matanya malas.

“Hot mommy,” lagi-lagi Jeno bercanda, “Gue kalo ngomongin ortu lo, Win, keinget ceritanya Ryujin.”

“Hahaha,” yang disebut namanya tergelak, “Ya itu, momen ketika gue sadar kalo sebenarnya Winter anak baik-baik. Dianya aja yang badung.”

“Guys kalo ngomongin gue bisa ga sih pas gue ga ada gitu?” Winter menghela nafas kesal, mendapatkan kekehan kecil dari Cak Su yang barusan mengantar es teh tawar pesanan Winter.

“Ngomong-ngomong,” tiba-tiba Cak Su berbicara, membuat mereka berenam mengalihkan pandangan kepada pria paruh baya yang sudah menjadi teman mereka sejak kelas X, “Saya dan teman-teman pemilik warung merasa aneh, soalnya beberapa gerombolan dari sekolah seberang itu sering kumpul di situ.”

Mereka menoleh ke arah yang ditunjuk, gang yang tidak terlalu sempit, berada di samping komplek SMA mereka. Memang jika dilihat dari arah gerbang masuk, wilayah itu tidak terlalu terlihat. Jika berada di komplek warung seberang, maka gang itu baru terlihat.

“Fotokopi kali, Cak,” sahut Mark, berusaha berpikir jernih, menunjuk deretan fotokopian dan toko alat tulis di sana.

“Yeu, fotokopi ga bawa apa-apa, trus ngintipin arah gerbang. Di deket situ kan ada pintu kecil yang biasa dilewatin anak osis kalo mau fotokopi atau beli alat tulis,” terang Cak Su. Penjelasan yang cukup masuk akal mengingat sekretariat osis berada di bagian samping dari komplek sekolah mereka, “Tuh, mana sore-sore gini ngapain coba di situ semua.”

“Patut kita curigai,” kata Jeno, “Makasi bos infonya.”

“Siap bos Jeno,” Cak Su mengacungkan jempolnya.

“Nambah lagi bahan overthinking,” Jaemin sedikit terkekeh setelah Cak Su menghambur ke belakang untuk melayani pesanan lain.

“Seru gini daripada di kelas, puyeng,” sahut Jeno asal.

“Itu sih elunya aja yang males sekolah,” Shuhua hanya bisa menggeleng.

“Mau pulang jam berapa btw kawan-kawanku?” Ryujin mengecek jam tangannya, “Sudah jam 5 nih.”

“Gue bebas sih, nganggur kan hari ini,” Jaemin mengendikkan bahunya.

“Kalian duluan gapapa, gue masih nunggu Karina rapat osis,” kata Winter, “Masih kurang dikit katanya.”

Mereka mengobrol sebentar sebelum tiba-tiba salah satu pegawai Cak Su menunjuk gang yang sedang mereka bicarakan lagi.

“Anjing!” Winter mengumpat, segerombolan orang yang tadi dibicarakan Cak Su sedang mengerumuni dua perempuan, dan salah satunya adalah Karina.

Karina hanya mengobati dalam diam; terlalu banyak pikiran berkecamuk di kepalanya. Dia ingin marah kepada Winter yang lagi-lagi menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, ataupun dia ingin mencari justifikasi kenapa dia jatuh cinta pada sosok preman sekolah di depannya itu.

Above all, Karina lebih khawatir dengan pipi lebam Winter dan juga dagunya yang terluka.

“Kamu marah?” Winter akhirnya memecah keheningan setelah Karina hanya menempelkan plester di punggung tangannya dalam diam.

“Enggak,” jawab Karina singkat, “Diem, jangan gerak-gerak,” Karina mengoleskan salep luka di dagu Winter pelan.

“Aduh.”

“Sakit kan? Gitu waktu berantem tadi ga sakit?”

“Lebih sakit hatiku ketika si brengsek itu ngata-ngatain kamu,” sanggah Winter

“We could have another classy way to hold it, Darl” kata Karina lembut, “Aku harus bilang kaya gimana lagi kalo aku ga suka kamu berantem? Harus berapa kali coba, aku tu ya..”

cupp

Winter mengecup bibir Karina cepat, menghentikan omelan yang keluar dari mulut gadis berambut hitam legam itu.

“Winter!” Karina memukul pundak Winter, membuat gadis itu meringis

“Abis bibir kamu deket banget, aku kan... ga tahan,” Winter mengusap tengkuknya, sedikit malu dengan pernyataan barusan.

“Ya aku kan ngolesin salep ke pipi kamu!”

“Iya maaf...”

“Tau deh, obatin sendiri aja,” Karina melengos, sebenarnya dibanding marah, dia lebih ke arah malu karena ciuman barusan.

“Jangan dong...” Winter menggenggam tangan Karina, “Boleh cium lagi?”

“Hm,” Karina mendengus, tapi menoleh juga ke arah Winter. Perlahan, dia merasakan nafas Winter mendekat.

Namun, belum sempat bibir mereka bertaut, suara teriakan Ryujin membuat mereka saling mendorong satu sama lain.

“Wanjerrr mentang-mentang UKS sepi ya brouuuu!!!”

Karina berlari sedikit kencang ke arah ruang kepsek. Begitu Bu Yonhee mengucapkan salam, Karina langsung menunduk kepada salah satu guru favoritnya itu sebelum berlari keluar kelas, membuat beberapa teman sekelasnya kebingungan.

“Sore, Bu,” Karina membungkukkan badannya di hadapan Song Jihyo, kepala sekolah SMA Kwangya International yang terkenal keras dan tegas.

“Ada apa, Karina Yu?”

“Ah, Mrs. Song. Saya ingin bertemu dengan Winter.”

“Dia ada di depan ruangan,” Jihyo menunjuk dengan bahunya, “Kamu mengenal Winter?”

“Dia... Kekasih saya, Bu.”

Tentu saja pernyataan Karina membuat Jihyo mengerutkan dahinya tidak suka. Karina Yu? Ranking 1 paralel pada kenaikan kelas X kemarin, berpacaran dengan Winter Kim? Sungguh sebuah fenomena yang unik.

“Oh, yasudah. Walaupun saya kurang memahaminya, itu hak kamu. Saya pamit dulu.”

“Baik, Bu,” Karina membungkuk lagi ketika Jihyo berjalan melewatinya. Perasaannya campur aduk; seumur hidupnya, Karina selalu berusaha membuat orang lain bangga dengan pencapaiannya, tak terkecuali guru-guru di sekolah. Tapi rasanya, pernyataan dia barusan sedikit membuat keanehan dalam track record yang dimiliki Karina sendiri.

“Sore, Tante,” Karina membungkuk lagi ketika berpapasan dengan Taeyeon yang sedang berjalan bersama Winter.

“Sore,” Taeyeon memiringkan kepalanya

“Karina, Umma. Pacar adek,” kata Winter

“Oh, kamu pacarnya dek Winter,” Taeyeon berjalan mendekat dan menepuk pundak Karina pelan, “Cantik ya kamu.”

“Eh, terimakasih Tante,” Karina menunduk malu

“Jadi, si adek dapet hukuman 2 minggu bersih-bersih sekolah, pagi sama sore. Sama Jeno juga,” Taeyeon menjelaskan, “Sabar ya sama anak saya.”

“Apasih, Umma,” Winter memutar bola matanya kesal.

“Ya kamu itu makanya,” Taeyeon mengacak rambut Winter pelan, “Umma balik kerja dulu ya.”

“Jangan dilaporin Mamah,” Winter memohon

“Iya.”

“Win...” Karina memanggil kekasihnya setelah ibunya pergi ke arah parkiran

“Ya?”

“Diobatin dulu ya? Pipi kamu lebam.”

“Iya,” Winter menurut ketika Karina membawanya ke UKS.