wqwqwq12

cw // harsh words

“Seninggu lagi UTS anjir,” Jeno membuka lokernya sambil menghela nafas, “Siap ga siap nih.”

“Makanya lo belajar sana,” ejek Mark

“Lo tu kaya nilainya bagus aja.”

“Lebih bagus dari elo sih.”

“Ya kan kalian bisa manfaatin pacar temen kalian?” tiba-tiba ada suara menyahut dari balik pintu loker Jeno yang terbuka, membuat Jeno menutupnya dengan kasar.

“Apaan sih anjing,” Jeno mengumpat, membuat beberapa anak berhenti dan melihat tanda-tanda keributan di selasar tempat loker semua siswa diletakkan.

“Emang Lee Jeno, gapernah takut ya sama kakak kelas,” cowok itu memasukkan tangannya ke saku dan menaikkan dagunya.

“Diem ya, Dominic Jung,” Jeno mendesis melihat kakak kelasnya yang entah kenapa mencari masalah dengannya 

“Wow, langsung panggil nama aja?” yang bernama Dominic, atau sering dipanggil Domi itu berdecak, “Rada gabisa mikir sih. Padahal cewek temennya tuh paling seksi, body dan otaknya. Gabisa ikutan manfaatin? Atau lo sebenarnya uda ngerasain?”

“Sumpah lo ngomong apa ya brengsek!” Jeno meringsek maju, baru dia mau memukulnya, suara keras terdengar dari punggung Domi.

duakk

Oke, Winter menendangnya dengan keras

“Anjing lo!” ternyata Domi tidak sendirian, temannya tiba-tiba melayangkan pukulan ke Winter yang tidak fokus, membuatnya terjerembap ke belakang. Tentu saja Jeno tidak tinggal diam, ketika teman Domi, yang ternyata namanya adalah Niko, ingin memukul Winter lagi, dia sudah menendang perutnya dengan kencang. Pertengkaran mereka berempat tidak bisa dihindarkan; masing-masing berhasil melayangkan pukulan dan tendangan ke lawan. Tentu saja Niko dan Domi terpojok dengan kekuatan Winter dan Jeno.

Tapi mereka terselamatkan setelah terdengar teriakan dari Kepsek mereka, yang meminta mereka berempat untuk berhenti dan masuk ke ruang kepsek sekarang juga.

“Gue asli curiga sama Lucas,” Mark menekan rokok keduanya ke asbak yang disediakan oleh Cak Su di warungnya.

“Gue malah kepikiran sama Tretan,” sahut Ryujin, “Inget ga kejadian yang dia nantangin Jeno, tapi ternyata kita malah dijebak geng motornya.”

“Asli sih, kocak banget. 6 lawan 20 cuy kita malem itu,” Jaemin mengunyah gorengan yang barusan dia ambil, “Tapi geng motornya cupu sih, gede badannya doang.”

“Ya tetep kita semua luka-luka ya brouu,” Shuhua tergelak, “Jeno gabisa lari seminggu tuh.”

“Iya anjir dipukul kayu, sakit bener,” Jeno mendengus jika mengingat waktu itu, “Eh gue kemaren ketemu Chenle.”

“Chenle anak FIS itu?” Winter membuka suara. Daritadi dia terdiam sambil merokok dan membalas chat, tentu saja dari kekasihnya yang sibuk mengomel karena dia membolos lagi hari ini.

“FIS apaan?” Jaemin memiringkan wajahnya, “Nama geng?”

“Geng motor,” jawab Winter, “Fox in the Street namanya. Gue pernah diajakin sama Chenle pas kelas X tapi gue tolak. Soalnya gue ga minat sama geng motor gituan.”

“Kalo lo masuk geng motor, kita gabisa berteman dong, Say,” Jeno mengedipkan mata, membuat Winter melemparkan kulit kacang dengan sebal, “Ampun dong, by the way Chenle nanyain kalo gue sempet ketemu Tretan ga akhir-akhir ini.”

“Trus?” Shuhua mendekatkan dirinya kepada meja untuk mendengarkan komentar dari Jeno

“Katanya, akhir-akhir ini, Dominic anak kelas XII itu mendekat terus ke King Ghidorah, geng motornya Tretan,” jelas Jeno, “Dan itu aneh karena dulu waktu kelas XI, mereka pernah berantem.”

“Dominic ini kok somehow familiar ya?” Winter mengusap dagunya sambil berpikir.

“Lo kayaknya pertama kali merhatiin Karina gara-gara Dominic ini,” kata Mark, “Inget ga yang kita mau balik ke kelas trus ada yang ribut di selasar. Itu gengnya Dominic ngebully Samuel yang nembak Karina.”

“Hah? Dia nembak Karina? Wah gabisa dibiarin,” Winter mendengus kesal

“Bukan itu intinya,” Shuhua mendorong kepala Winter gemas.

“Ya apa dong,” Winter mengusap kepalanya yang ditoyor Shuhua barusan, “Cepetan, gue udah dicari Karina nih. Ngomel dia udahan.”

“Yaela buciiiin,” Ryujin tergelak

“Takut ada yang bucin,” Jeno menambahkan, “Nah, selain si Dominic, Lucas juga. Karena gue kepo ke Chenle, mereka kan dari satu perumahan yang sama, Lucas sama Doninic sering ketemuan pulang sekolah di kafe depan perumahan. Entah ngomongin apa, karena serius banget.”

“Gue curiga Lucas juga yang ngunciin Karina,” tambah Ryujin, “Karena waktu Ning dan yang lain ketemu di McD itu, Lucas emang keliatan kaget tapi dia ga panik ketika Lia nanyain soal rapat.”

“Ditambah tu Lucas sama Dominic bisa aja ada hubungan,” kata Jaemin, “Lo uda deket ya Ryu, sama si Ning?”

“Cielah nambah lagi ni yang dapet anak pinter,” Jeno menepuk punggung Ryujin bangga, “Buruan, biar rebranding geng kita. Kali gue sama Winter semester ini bisa nembus 50 besar lah.”

“Ngimpi lo ketinggian!” Mark hanya bisa menggeleng heran dengan kelakuan sahabatnya ini.

“Enak?” Karina bertanya kepada Winter yang duduk di sebelahnya. Kekasihnya itu sedang sibuk mengunyah rolled egg.

“Enak,” Winter menjawab dengan singkat sebelum menelan makanannya, “Aku suka.”

Karina mencubit pipi Winter gemas karena barusan membuat telinganya memanas; salah satu pertanda ketika Karina merasa malu.

“Win, lo kok bisa tiba-tiba naksir Karina?” Lia menginterogasi Winter, setelah melihat cewek itu meletakkan sendok dan garpu tanda sudah selesai makan.

“Kenapa?”

“Soalnya kita gapernah liat lo deketin cewek sebelumnya, trus tiba-tiba lo pdkt sama Karina,” kata Lia lagi

“Apaan sih, Li,” Karina menendang kaki Lia di bawah meja, tapi sepertinya dia salah mengira, karena yang tertendang kaki Giselle.

“Aduh, Rin!”

“Oops, sorry.”

Winter meraih tangan Karina, menggenggamnya erat dan mengunci pandangannya kepada sepasang mata hitam milik Karina

“Mungkin, gue jatuh cinta pada pandangan pertama, Li,” Winter menjawab pertanyaan Lia, namun matanya tetap memandang ke arah Karina, “Dan Karina bikin gue nyaman.”

“Kaya kepiting rebus tuh mukanya Kak Karina,” Ningning terbahak melihat telinga dan pipi Karina yang merona setelah mendengar pernyataan dari Winter.

“Tapi lo aware kan sama reputasi lo?” Lia bertanya lagi

Winter menoleh ke arah Lia, tangannya masih menggenggam jemari milik Karina, “Makanya gue bilang Karina bikin gue nyaman.”

Lia mengangguk setuju, memang di depan Karina, dan mungkin juga di depan mereka sekarang, Winter bukanlah orang yang biasa menjadi sumber keributan ketika di sekolah.

“Makasih, anyway,” kata Karina, membuat Winter kembali melihatnya, “Kamu juga bikin aku nyaman.”

Kedua sudut bibir Winter terangkat, dia tentu saja sangat bahagia mendengar pernyataan itu.

Baik Lia, Ning dan Giselle, kehadiran Winter yang tiba-tiba muncul di depan rumah Lia malam ini tetap saja mengagetkan. Bagaimana bisa? Seorang Winter yang terkenal diam tapi selalu siap menerkam semua orang yang menganggunya ataupun gengnya ini bisa terlihat seperti anak SMA biasa di hadapan Karina?

Tentu saja Giselle masih ingat ketika dia berpapasan dengan Winter yang sibuk memukuli kakak kelas bersama dengan Jeno karena kakak tingkat tersebut menuduh Jeno bermain curang dalam catur yang mengakibatkan dia rugi 3 juta rupiah. Tuduhan itu tidak berdasar, jelas saja karena belum ada yang bisa mengalahkan Jeno dalam catur di SMA SM International.

Alasan itulah yang membuat Giselle selalu curiga ketika melihat Winter berada di sekitar Karina; namun kecurigaan itu selalu dibantah dengan sikap Winter yang lebih penurut dibanding yang dia ketahui. Hampir semua kata-kata Karina didengarkan, pun Giselle juga tahu kalau sahabatnya itu sering diantar-jemput, baik menggunakan motor CBnya maupun Audi keluaran terbaru yang dimilikinya. Barusan saja, Giselle hanya bisa berdecak kagum melihat tas tangan Givenchy bersamaan dengan sebuket mawar putih datang untuk Karina. Maka ketika Lia bilang jika Karina tidak mau, maka dia bersedia menggantikannya, Giselle pun maklum. Winter memiliki sisi lain yang sangat berbeda dengan kesehariannya.

“Hai,” sapa Winter singkat. Sepertinya dia langsung ke rumah Lia setelah acara makan malam yang Karina ceritakan tadi; melihat bajunya yang cukup rapi.

“Kalian ngobrol aja di sini,” Lia beranjak dan memberikan kode kepada kedua temannya untuk memberikan ruang kepada Winter dan Karina.

“Kalo lo sampe bikin dia nangis, awas lo, Win,” Giselle masih sempat mengancam sebelum mengikuti Lia ke arah dapur rumahnya.

“Jadi?” Winter menatap Karina. Sejujurnya apa yang dia lakukan sangat impulsif. Dia masih teringat obrolan dengan kedua orang tua dan abangnya saat makan malam tadi.

“Adek sudah ada pacar?” Jessica bertanya kepada Winter yang barusan tersenyum kepada hp di tangannya.

“Eh, enggak, Mah,” Winter menggeleng dan mengambil minum di depannya, “Belum diungkapin.”

“Kenapa?” gantian Ummanya yang bertanya

“Belum tau caranya.”

“Yaelah dek, tinggal ngomong aja,” Jaehyun tertawa, “Kamu beliin bunga sama hadiah aja, trus kasih surat. Kalo dia ga langsung jawab tungguin.”

“Sana pesen bunga di langganan Umma kamu,” Jessica mengambil hpnya dari tas, “Ngomong-ngomong, kemarin Thomas Park, perwakilan Givenchy Korea mau kasih hadiah buat Mamah. Dikasih buat calon pacar kamu aja ya? Ini orangnya Mamah telepon kalo kamu mau.”

Winter hanya menghela nafas melihat bagaimana keluarganya justru excited mengetahui fakta bahwa Winter menyukai seseorang.

“Ini ga berlebihan?” Karina bertanya pelan-pelan, takut menyinggung perasaan Winter

“Enggak,” jawab Winter singkat, “Aku pikir cukup. Kita udah sebulan jalan bareng, aku pikir aku tidak berharap sendirian.”

“Iya,” Karina menghela nafas, “Jadi?”

“Would you be mine, Karina?”

“Yes,” Karina mengangguk dan merasakan Winter menariknya ke dalam pelukan erat, “Maaf ya minta kamu ke sini. Aku pengen lihat wajah kamu.”

Winter melepaskan pelukannya, “Iya gapapa. Kamu minta aku kemanapun, kalo gada halangan aku bakalan ngusahain kok, Karina.”

“Udah boleh panggil sayang?”

“Nanti dulu, malu,” Winter mengusap wajahnya panik

“Kenapa, Sayang?” Karina sengaja menggodanya

“Jangan dong,” Winter merajuk dengan wajah yang hanya ditampilkan kepada Karina. Ya, Karina seistimewa itu untuk selalu mendapatkan sisi lain dari Winter.

“Terimakasih,” kata Karina tiba-tiba, membuat Winter memiringkan kepalanya dan memandangnya dengan heran.

“For falling in love with me,” lanjut Karina sebelum mengecup bibir Winter pelan.

Karina memencet bel unit Jeno. Masih terdiam melihat kemewahan yang dimiliki temannya ini, unit apartemen yang terletak di pinggir sungai ini memang kawasan elit.

“Loh, Rin? Lo kesini beneran?” Karina disambut oleh Shuhua yang sibuk mengompres pipinya, sepertinya benar kecurigaan Karina bahwa mereka barusan berantem.

“Winter mana?” Karina langsung bertanya ketika Shuhua mempersilakan dirinya masuk.

“Tuh,” Shuhua menunjuk ruang tengah yang berisi lima anak, sedang sibuk mengaduh dan saling mengobati. Karina melihat Winter yang memejamkan matanya sambil menyandarkan punggungnya ke belakang. Sepertinya menahan sakit di salah satu bagian tubuhnya.

“Winter tu paling ga tahan kalo ada luka gores luar gitu. Tuh tangannya kegores lagi.”

Karina mengangguk dan berjalan ke arah Winter, duduk di sampingnya dan mengelus kepalanya perlahan.

“Aku uda nyampe,” bisik Karina pelan, membuat Winter membuka matanya perlahan.

“Maaf, aku bilang ga luka lagi,” kata Winter

“Uda terlanjur, mana sini aku obatin,” Karina mengambil kotak P3K dari atas meja dan mulai membersihkan luka di punggung tangan Winter.

“Rin, lo nginep sini aja ya? Gue ga yakin bisa nganterin lo balik malem ini, Winter juga,” kata Jeno

“Gapapa?”

“Gapapa, lo tidur barengan aja sama cewek-cewek di kamar satunya,” jawab Jeno, “Mark, bantuin gue angkat kasur buat kamar satunya.”

“Oke bro,” Mark menempelkan plester terakhir di jidat Ryujin sambil mendorongnya pelan agar cewek itu berteriak kesakitan

“Sengaja lo ya anjir,” Ryujin mengusap pelipisnya

“Ga enak liat lo ga kesakitan,” Mark menjulurkan lidahnya sebelum meninggalkan Ryujin yang sibuk mengumpat sambil membereskan barang-barang di meja kopi bersama Jaemin.

“Rin, lo ke kamar duluan gih. Ntar gue sama Shua nyusul. Dia ke kamar mandi tuh masihan,” kata Ryujin, menunjuk Winter yang menyandarkan kepalanya ke bahu Karina, “Sumpah ya, gue tu liat dia clingy sama lo doang.”

Ucapan itu membuat Winter melirik tajam ke sahabatnya, dan hanya mendapat ejekan dari Ryujin.

“Winter,” Karina melihat pipi lebam dan bibir sedikit terluka dari wajah Winter, “Baringan sambil dikompres ya?”

Winter hanya mengangguk ketika Karina menggandengnya untuk masuk ke kamar tamu.

“Jadi, berantem kenapa lagi?” Karina meletakkan kompres es di pipi Winter dan perlahan menggerakkannya ke atas bawah agar dinginnya tidak terpusat pada satu titik.

“Ada yang mau ngerusuh Cak Su,” jawab Winter, matanya sudah setengah terpejam karena kehadiran Karina di sebelahnya membuat dirinya mengantuk. Tentu saja karena nyaman.

“Trus kamu nanggepin?”

“Iya, kasian nanti Cak Su ada yang neror.”

“Aku kan ga suka kamu luka terus kaya gini,” kata Karina pelan, memandang lurus ke arah mata sayu Winter.

“Makanya aku minta kamu ke sini. Aku takut langsung tidur dan ga ngabarin kamu, trus kamu marah.”

“Winter, aku lebih ga suka kamu luka-luka gini,” kata Karina tegas

“Iya.”

Karina menghela nafas, bicara dengan Winter sejatinya seperti bicara dengan tembok. Tapi Karina tahu, Winter beberapa kali menuruti kata-katanya, yah terkecuali soal berantem ini.

“Kalo kamu luka, aku tu kepikiran, Win.”

Winter mendongak ke atas, melihat sepasang mata hitam Karina yang memandangnya, cantik, cantik banget begitu batin Winter.

“Maaf,” bisik Winter

“Iya. Sekarang tidur ya? Uda malem, uda agak enakan kan?”

Winter mengangguk pelan, membiarkan Karina mengelus rambutnya sampai dirinya terlelap

Winter menggebrak meja setelah membaca pesan yang awalnya dia abaikan, ternyata dari Giselle, sahabat Karina.

“Apasih anjir,” Ryujin meneguk es jeruknya dengan cepat. Nyaris dia tersedak pentol bakso yang cukup besar karena Winter yang tiba-tiba berdiri.

“Ayo balik ke sekolah,” geram Winter, suaranya terlihat seperti marah

“Woy gue belom bayar ini,” Ryujin masih kebingungan, terlebih Winter hanya berteriak kepada penjual baksonya untuk menghitung saja tagihannya. Dengan cepat, dia juga meneriaki Mark yang sedang asik merokok bersama dengan sekumpulan tukang ojek untuk segera mengikutinya. Mendengar keributan itu, baru Jeno, Shuhua dan Jaemin terlihat muncul dari warung pecel lele yang terletak di tengah.

“Win, lo kerasukan apa gimana sih?” kata Jeno, “Berisik banget.”

“Kita balik sekarang ke sekolah. Karina mungkin dalam bahaya,” teriak Winter sambil berlari ke arah gerbang sekolah. Sontak kelima sahabatnya juga ikut berlari mengikutinya, sambil bergumam bahaya apa yang bisa Karina dapatkan di gedung sekolah?

Keenam siswa itu, bersama dengan Pak Sigit, satpam yang kebetulan mendapatkan shift sore dan akrab dengan mereka. Sudah tiba di depan gudang belakang.

“Dikunci, Neng,” kata Pak Sigit ketika berusaha membuka pintu gudang yang sudah lapuk. Walaupun lapuk, pintu gudang ini terbuat dari besi sehingga pastinya sulit untuk Winter dkk menendangnya sampai hancur. Terlebih, mereka masih terluka setelah kejadian semalam. Jeno saja masih harus berjalan pelan-pelan karena kakinya sempat terkilir.

Shuhua berusaha mengetuk pintu besi itu, kali aja ada yang menyahut dari dalam. Dan Shuhua benar, ada suara ketukan dan samar-samar terdengar suara meminta tolong dari dalam.

“Anjing,” Winter mengumpat, “Jangan-jangan Karina. Ini gada kuncinya, Pak?”

“Udah ga ada, Neng,” Pak Sigit mengusap wajahnya panik, “Ini kayaknya ada yang menahan di bagian atas jadinya gabisa ditarik. Tadi uda saya coba kan.”

Winter meminta senter yang dibawa oleh satpam itu, menyenteri bagian atas dari pintu. Benar saja, ada benang pancing yang melintang. Sepertinya digunakan untuk menarik sesuatu agar menahan bagian atas pintu sehingga tidak bisa dibuka dengan biasa. Winter memutar otak dengan cepat, dan menemukan jendela atas yang tertutup kaca. Dia mengantongi senter itu dan melompat ke arah jendela yang terletak sekitar 3 meter dari tanah.

“Woi Winter!” Jeno meneriaki temannya yang sudah duduk di dekat jendela atas. Memang di depan jendela itu ada tembok yang timbul sehingga bisa dibuat untuk duduk pijakan lompatan.

“Gada waktu buat mikir kelamaan, Jeno!” Winter balas teriak, “Lo sama Pak Sigit tolong cari senter lagi. Ryujin lo ikutin gue buat pegang ini senter, gue mau maksa masuk!”

“Win! Itu ada kacanya!” Jaemin menyampaikan kekhawatirannya ketika Winter sudah memukul jendela kaca itu dengan keras, “Lah gila.”

“Buruan!” Winter berteriak lagi, membuat Pak Sigit bersama Jeno dan Mark berlari ke kantor satpam untuk mencari senter dan mungkin mencari bantuan.

“Nih, lo pegang senter ini. Senterin bagian dalemnya,” Winter menyerahkan senter ke tangan Ryujin yang sudah berada di posisi yang sama dengannya. Ryujin sedikit kaget karena ada bekas darah di senter, jelas tangan Winter berdarah. Belum sempat Ryujin menanyakan luka tersebut, Winter sudah melompat masuk.

“Anjir bocah setan,” umpat Ryujin kesal, namun tetap menyenteri bagian dalam seperti permintaan temannya tadi.

“Karina!” Winter sedikit berteriak untuk mencari Karina, mendapati gadis itu sedang teringkuk lemas di dekat pintu.

“Karina,” panggil Winter lagi, perlahan mengulurkan lengannya dan memeluk gadis itu dengan erat, “Karina...”

“Thanks uda kesini,” jawab Karina parau. Sepertinya suara dia sudah habis karena berteriak sebelumnya, “Gue gatau lagi, sinyalnya susah.”

“Gue uda di sini,” Winter melepas pelukannya dan memandang ke arah Karina. Paras ayu gadis itu masih terlihat jelas di tengah remangnya cahaya; ya, Winter jatuh cinta dengan paras ayu tersebut.

Karina membenamkan wajahnya ke dalam pelukan hangat Winter. Bau parfum khas bercampur keringat membuat Karina menyukai bau itu. Sangat Winter kata Karina pada dirinya waktu pertama kali aroma itu menyapa hidungnya.

“Winter?” Karina meraih tangan Winter, melihat luka gores yang cukup panjang di punggung tangannya.

“Tadi kan mecahin kaca, gapapa kok.”

“Ini bahaya,” Karina mengambil handuk dan gunting dari dalam tasnya. Dengan cahaya yang minim, dia berhasil membuat handuk itu menjadi seperti perban panjang, “Gausah protes,” Karina membalutkan handuk itu di tangan Winter agar darah tidak lagi menetes.

“Thanks,” kata Winter pelan, posisi Karina dekat sekali dengannya. Rasa ingin memeluknya selalu muncul, ah Winter memang bucin seperti kata Ryujin. Padahal mereka belum memiliki status apa-apa.

“Woy, info aja nih kalo kalian mau ngapain ya gue lihat,” teriak Ryujin dari atas, membuat Winter menoleh dan mengacungkan jari tengahnya.

“Rin, kasar bener tuh Winter. Jangan mau sama dia,” Ryujin masih sempat berteriak lagi.

“Ryujin, Winter! Dengerin kita, kita mau nyelametin Karina!” teriakan Shuhua terdengar dari arah depan, “Ryujin tolong cek itu ada ganjelan apa di atas pintu besi!”

Ryujin mengarahkan senternya ke atas, “Ada kayu melintang guys!”

“Yauda kita ketemu ujungnya benang pancingnya, bilangin Winter buat nyari sesuatu panjang buat dorong itu kayu juga!” sahut Shuhua dari bawah

“Yaa.”

“Gue aja, lo luka, Winter,” Karina menahan Winter yang mau mengambil tongkat bendera di dekatnya

“Enggak apa ini, Rina.”

“Winter, no.”

“Jangan ngeyel gitu, jadi sayang gue sama lo,” kata Winter cepat, membuat Karina terdiam karena malu.

Mulutnya sinting banget astaga

Setelah mencoba sekitar 10 menit, akhirnya kayu panjang yang mengganjal pintu besi bisa terlepas. Mark mendorong pintu besi itu sehingga Karina dan Winter bisa keluar.

Winter melihat Lucas diantara orang-orang yang ada di depan gudang, sontak dia melompat ke depan dan mencengkeram kerah kakak kelasnya itu.

“Gue gamau tau lo Ketua Osis apa bukan, apaan maksud lo?!” Winter menggeram

“Bukan gue Win, sumpah! Hape gue rusak dari pagi ini!” Lucas terkejut merasakan cengkeraman Winter

“Win, udah Win,” Jaemin menarik perlahan tubuh Winter, “Kita uda liat hp dia tadi. Dia ga bohong.”

“Awas lo ya kalo sampai terjadi apa-apa sama Karina,” Winter menunjuk Lucas dengan kemarahan yang sama. Tensi yang sempat tegang akhirnya menurun ketika Karina menggandeng Winter dan menariknya ke belakang. Membiarkan yang lain menyelesaikan masalahnya.

“Lagian Karina nih rapat OSIS malem banget,” keluh Giselle sambil mengunyah kentang goreng pesanannya. Lawan bicaranya hanya bisa terkekeh melihat wajah bete dari sahabatnya itu.

“Haha, mana dia BPH kan. Pantes sibuk sih, apalagi mau ada event pameran sekolah kayaknya habis ini,” jawab Lia, “Nyokap gue yang bilang.”

“Tante Choi Sooyoung memang terbaik dah kasih infonya,” Ningning tertawa, “Eh, pernah ga sih lo kak, ngomongin gengnya Winter gitu sama tante?”

“Sering,” kata Lia, “Apalagi tuh kan si Winter sama Jeno, kedua ortunya itu temen nyokap gue. Temen dari SMA katanya, makanya kenal deket.”

“Apa ga puyeng tuh,” Giselle gantian yang tergelak, “Gue aja masih ga nyangka si Karina bisa ngajak ngomong Winter.”

“Kayaknya emang beneran si Winternya naksir sih,” Lia mengetuk kentangnya, membuat garam yang menempel runtuh di piring kertas, “Gue beberapa kali ketemu di acara penting ga pentingnya keluarga konglomerat. Biasa, bokap tuh bisa aja dapet undangan, liat Winter tu bener-bener gamau dideketin. Kalo ga digandeng Tante Jessica, mana mau dia tu ngomong sama yang lain.”

“Ya gitu kan, tipikal anak orang kaya yang kaya banget,” sahut Giselle, “Cuma gue herannya sih ga sombong aja.”

“Kok malah heran,” Ningning sedikit terbahak, “Yang sombong jelas yang OKB sih.”

“Julid ya kawan-kawanku ini,” Lia menimpali. Obrolan mereka terhenti ketika melihat dua kakak kelas mereka memasuki restoran cepat saji yang sama dengan mereka. Perlahan, Lia mendengar bahwa Lucas, Ketua Osis mereka mengeluhkan hapenya yang error sejak pagi ini.

“Kak Lucas,” panggil Lia, membuat lelaki tinggi itu menghentikan langkahnya

“Eh? Ada apa Li? Lagi kumpul-kumpul ya?” Cowok itu mendekati meja mereka sambil bertanya

“Iya kak habis kelas sore tadi. Kakak bukannya ngehubungin Karina ya kalo malem ini mau rapat?”

“Hah? Rapat apa?” Lucas menggelengkan kepala, “Hp gue seharian ini gabisa dipake. Entah lah kenapa.”

“Lah?” gantian Lia, Ningning dan Giselle yang bingung, karena Karina tadi jelas menunjukkan bahwa Lucas mengirimkan pesan untuk menemuinya di gudang olahraga belakang.

“Gue emang ada rencana rapat sama Yeri, Karina dan Haechan,” Lucas menyebutkan nama-nama BPH Osis, “Tapi ga sekarang. Dan tempatnya di gudang belakang? Itu kan serem tempatnya mana sinyal susah lagi.”

Keringat dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh ketiga teman Karina tersebut. Giselle yang duluan tersadar dan mengambil gawainya, dia ingat bahwa Karina masih sempat mengabari bahwa dirinya akan diantar dan dijemput Winter nantinya. Logikanya, Winter berada di sekitaran sekolah sekarang.

Gue harus cepet ngabarin Winter batin Giselle berkecamuk di tengah kekalutan semuanya.

Karina mendengus kesal. Pasalnya, gadis yang mengabaikan pesannya semaleman, bahkan sampai pagi menjelang, kembali menampakkan dirinya tanpa memasang wajah bersalah.

“Karina,” panggil Winter ketika Karina memasukkan koin ke dalam vending machine

“Hm?” Karina hanya menoleh sekilas, melihat Winter memakai beanie sebagai penutup kepalanya.

“Lo marah?”

“Enggak,” suara dentingan kaleng terdengar dan Karina menunduk sebentar untuk mengambilnya, “Gue tau lo sibuk.”

“Enggak, Rina. Hape gue rusak,” Winter berusaha menjelaskan. Ditambah dengan gestur yang sedikit merasa bersalah, Karina akhirnya mau menoleh kepada Winter

“Itu...” Karina menghela nafas, setelah melihat secara seksama, pipi Winter sedikit lebam. Jangan-jangan beanienya dipakai hanya untuk menutupi luka lain.

“Kemarin ada yang ngajak berantem,” entah kenapa Winter malah jujur, biasanya jika kedua orang tuanya bertanya dia pasti punya 1000 alasan untuk berbohong.

“Trus lo ladenin gitu?” Karina mengangkat tangannya, ingin sekali rasanya mengelus kepala Winter karena gadis di depannya ini terlihat sangat lucu dan tidak berbahaya.

“Ya abis mereka rusuh,” Winter mengembungkan pipinya, dan melihat tangan Karina yang awalnya bergerak namun ditarik kembali, “Lo kalo mau nyentuh gue santai aja kali.”

“Ya takut ditabok?” Karina bercanda tapi mengulurkan tangannya. Winter mengira gadis berambut hitam itu akan mengelus kepalanya, ternyata justru mencubit pipinya yang tidak lebam.

“Aduh!”

“Gemesin,” Karina terbahak melihat Winter mengaduh kaget.

“Nanti anterin beli HP,” kata Winter

“Lucas ngajak BPH OSIS rapat ini nanti.”

“Jam berapa?”

“Setengah 7.”

“Yauda kan bisa sama gue dulu, ntar gue anterin balik ke sekolah.”

“Ditungguin ga?” goda Karina

“Maunya ditungguin apa enggak?”

“Bisa naik bis kok,” Karina sengaja tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan Winter.

“Gak, sama gue aja. Ntar gue tungguin.” Winter menjawab sambil mendengus

“Haha, iya. See you later ya. Uda mau bel, sana balik kelas,” Karina mendorong pelan bahu Winter

“Males sih.”

“Kelas, Winter. Jangan bandel-bandel.”

Entah kenapa, Winter mengangguk. Dan entah kenapa juga, Winter mengikuti kelas sampai dengan selesai tanpa beranjak ke kantin di tengah jam pelajaran.

Karina sedikit berlari kecil setelahnya selesai dari kamar mandi.

Perasaan gue ga janjian sama Winter? batin Karina. Terakhir, mereka hanya mengobrol kecil di chat tadi setelah Karina melihat Winter memukul orang di taman belakang.

“Nah, ini dia,” kata Ning ketika Karina tiba. Winter memandangnya tajam, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket varsity berwarna hijau dan putih yang sedang dikenakan.

“Gue sama Ning mau ke perpustakaan kota,” kata Karina ketika Winter tidak mengatakan apa-apa.

“Oh, ngapain?” tanya Winter

“Ada beberapa bahan bacaan yang ingin kami cari.”

“Eh, kalo Kak Karina ada janji sama Winter, gapapa loh gue sendirian,” sela Ning

“Gue gak...”

“Gue anterin,” Winter memotong Karina

“Lo kan bawa motor?” Karina menggelengkan kepalanya.

Winter mengambil gawai dari sakunya dan memencet kontak seseorang, “Pak Andre, tolong bawain mobilku. Sama tolong motorku dibawa balik. Iya, 15 menit maksimal.”

“Uda ya, 15 menit lagi,” Winter memutus telepon dan menoleh ke arah Karina, sebelum dia berjalan ke arah parkiran motornya.

Kenapa sih dia? Jangan-jangan marah karena chatnya ga gue bales tadi Karina berpikir keras dengan keanehan dari gadis yang sedikit lebih pendek darinya itu.

“Winter!” Karina meraih pergelangan tangan Winter untuk menahannya melangkah lebih jauh lagi.

“Apa?” Winter menghentikan langkahnya, tapi tetap membiarkan pergelangan tangannya digandeng Karina.

“Lo marah sama gue?”

“Kenapa gue marah?”

“Karena ga bales chat lo yang tadi.”

“Iya gue mau nanyain itu, tapi gue ga marah. Gue mau nemenin lo sama temen lo aja,” jawab Winter singkat. Karina hanya mengangguk dan perlahan melepaskan genggamannya. Tapi, sebelum tangannya terlepas dari Winter sepenuhnya, tiba-tiba Winter menggenggam tangannya.

“Boleh tetep dipegang ga?” tanya Winter, nadanya berbeda dengan nada bicaranya biasa yang terdengar cuek. Ketika bertanya seperti itu, terdengar cukup cute karena seperti meminta sesuatu.

“Iya boleh,” jawab Karina, menyelipkan jari-jari panjangnya di antara jemari milik Winter, sebelum menggenggamnya erat.

Gue menyublim aja ya kayaknya batin Ning sambil menggelengkan kepalanya ketika melihat pemandangan di depannya

Karina sedang menunggu Ning di perpustakaan seperti biasa. Di jam istirahat kedua yang panjang, setelah makan siang biasanya mereka menghabiskan waktu di perpustakaan.

Karina bersandar pada jendela yang menghadap ke halaman samping. Tidak disangka, matanya menangkap Winter yang dikerubuti oleh beberapa cewek. Belum sempat Karina mengenali keempat cewek itu, salah satu diantara mereka menampar Winter cukup keras. Karina terkesiap, baru kali ini dia melihat Winter dilukai orang.

Namun rasa kasihan kepada Winter hanya berjalan sebentar, karena Winter membalasnya dengan pukulan yang keras. Bahkan, ketiga temannya yang berusaha melawan malah terlempar ke belakang karena Winter cukup cepat memukul dan menendang mereka.

“Bener-bener kuat ya,” bisik Karina pada dirinya sendiri. Tiba-tiba, Winter menoleh ke atas, mata mereka bertemu.

Karina justru yang pertama kali memalingkan muka, dirinya khawatir jika Winter melihat raut ketakutan di mukanya juga.

Entah kenapa, Karina merasa asing. Apakah itu Winter yang sama dengan yang kemarin mengantarkannya pulang?