wqwqwq12

“Tegang amat, Kak?” goda Woody yang melihat dari spion tengah. Jika misalnya tidak sedang menyetir, bisa jadi Adisty sudah menjitak kepalanya.

“Merah lo, mukamu Dis,” Yuri yang duduk di depan ikut menggoda anak sulungnya

“Mamaaa, mereka nih,” Adisty mengadu, sebal sekali rasanya. Tiffany hanya tertawa sambil mengusap lengan anak sulungnya.

“Gapapa mereka mah sok godain. Nanti kalo kamu lagi pergi gitu nyariin,” hibur Tiffany

****

“Ayo ayo sini,” Jessica menyambut kedatangan keluarga Adisty dengan riang, “Waduh repot-repot aja, Tiff, sampai dibawain dessert.”

“Gapapa dong, kata Adisty ini kesukaan Windira,” jawab Tiffany sambil mengerling jahil ke anaknya yang sedang menata meja makan; membuatnya harus mendengus karena malu.

Windira hanya tersenyum melihat interaksi tersebut. Sangat hangat.

Makan malam berlangsung dengan menyenangkan, semua saling bersenda gurau. Walaupun ada beberapa perbincangan agak serius seperti ketika Yesaya menceritakan proses persiapan persidangan nantinya. Tapi tetap, suasana meja makan tetap menyenangkan.

****

“Uda mulai kering lukanya, Sayang,” kata Adisty setelah mengoles salep ke pipi Windira, “Tangannya masih sakit?”

“Agak sih,” Windira menggerakkan jari-jarinya, “Buat main gitar belum bisa.”

“Kan gaperlu kirim video lagi,” Adisty mengecup puncak kepala Windira sebelum berjalan ke arah kasur, “Bisa dinyanyiin langsung.”

Windira tertawa, “Kamu mau dinyanyiin lagu apa?”

“Terserah. Kamu selalu punya ide sendiri.”

Windira merebahkan dirinya di samping Adisty, “Soalnya ada pesannya.”

“Emang sekarang gada yang mau disampaikan?”

“Apa ya?” Windira mengubah posisinya sehingga bersandar ke headboard.

“Hayo apaa.”

Windira berdehem sebelum mulai bernyanyi, tanpa iringan musik

Aku di sini padamu Sekali lagi padamu Kubawakan rindu yang kau pesan utuh

Aku di sini untukmu Sekali lagi untukmu Percayalah (tak perlu) lagi kau gundah

Pun aku merasakan getaranmu Mencintaiku seperti ku mencintaimu Sungguh kasmaran aku kepadamu

“I love you,” bisik Adisty, yang dibalas dengan ciuman oleh kekasihnya.

“Hei Adisty!” Aya melambaikan tangannya kepada sosok yang baru memasuki ruangan. Senyuman terbit di wajah Windira yang masih terbaring di tempat tidur.

“Maaf tadi ada urusan tambahan di kantor. Tante Jess sama Tante Tere uda pulang?” tanya Adisty sambil berjalan mendekati ranjang

“Uda barusan aja,” jawab Sonia

“Nah, karena Adisty uda dateng. Kita balik ya,” sahut Aya sambil mengambil tasnya, “Baik-baik lo sama Adisty, jangan ngerepotin.”

“Kagak gue mah,” Windira menyahut sambil memutar bola matanya kesal

“Duluan ya,” Sonia memeluk Adisty, sebelum disusul oleh Aya dan melambaikan tangannya pada adiknya.

“How was your day? tanya Adisty setelah duduk di sebelah ranjang Windira.

“Bosen,” Windira terkekeh, tangannya meraih tangan Adisty dan mengusap punggung tangan wanitanya itu. Matanya terlihat lelah, Windira tahu itu.

“Tapi abis liat aku, bosen ga?”

Windira tertawa, “Enggak dong. Kamu tadi nangis ya?”

Adisty hanya mengangguk, merasakan tangan Windira bergerak menangkup pipinya dan mengusapnya pelan. Adisty menyukai sentuhan-sentuhan kecil yang selalu Windira berikan padanya

“Tapi Maya gausah diapa-apain, malah bikin masalah tambah gede itu nanti,” kata Adisty, telapak tangan Windira masih setia berada di pipinya

“Iya, males lagian urusan sama dia,” Windira bangkit dan mencium kening Adisty, “Buang-buang waktu.”

“Kata dokter, kamu sembuh kapan?”

“Kalo istirahat di rumah sakit sih cuma sampai besok, lusa uda bisa ngantor lagi cuma dipeseni banyak istirahat. Kalo idungnya mungkin 2 mingguan sembuh totalnya.”

“Awas kalo cium-cium hati-hati,” kata Adisty, “Nanti malah bikin sakit.”

“Coba dulu,” Windira menegakkan tubuhnya, sebelum sekali lagi meraih wajah Adisty. Wanita berambut hitam itu terkekeh sebentar sebelum menyambut sapuan bibir wanita yang sedang sakit itu. Lumatan demi lumatan mereka lakukan, suara decakan khas orang berciuman terdengar di seluruh ruangan kamar.

“Sakit?” Adisty mengusap pelan wajah Windira setelah mereka memutus ciuman

“Dikit,” Windira terkekeh, “Tapi gapapa daripada ga dapet cium.”

Gantian Adisty yang tertawa

“Sayang, aku boleh ga ngerawat kamu? Selama proses penyembuhan, aku mau anter-jemput kamu, ngurusin kamu.”

Windira tidak bisa menahan senyumnya

“Tentu saja, nanti aku bilang Mami sama Bunda ya, biar kamu tinggal di rumahku.”

Adisty tersenyum, dan Windira bersumpah wanitanya itu memang sangat cantik ketika tersenyum

“Senyum terus ya, Sayangku. Kamu cantik banget,” kata Windira sebelum mereka bersiap untuk tidur malam ini.

Adisty masih mengelus pelan kepala Windira. Kekasihnya itu barusan terlelap setelah mendapatkan pengobatan. Hidungnya patah, wajahnya lebam dan gigi belakangnya patah. Dokter mengatakan untuk pulih total, Windira membutuhkan dua minggu terutama soal hidungnya. Sedangkan untuk kondisi tubuhnya, cukup disarankan untuk istirahat 3 hari di rumah sakit.

“Maafin aku,” lirih Adisty melihat wajah damai Windira ketika tidur. Kepanikan yang melandanya barusan benar-benar memuakkan; Adisty merasa sangat kecewa dengan dirinya sendiri.

Jika Windira bukan kekasihnya, tentu Linda tidak akan seperti ini.

Suara ketukan di pintu membuat atensi Adisty teralihkan. Terlihat Tere tersenyum dan memintanya keluar sebentar.

Ternyata keluarganya sudah menjemput. Mamanya dengan cepat memeluk anak sulungnya, bertanya apakah ada yang terluka.

“Windira yang luka, Ma,” jawab Adisty lirih

“Windira sudah tertangani,” Adisty bisa merasakan tangan Tere mengusap lengannya, “Kamu ga perlu merasa bersalah gitu.”

Adisty mengangguk. Kedua orang tuanya mengobrol sebentar dengan Tere sebelum berpamitan pulang bersamanya. Adisty menitipkan pesan bahwa dia akan kembali besok, jika misalnya Windira bertanya nantinya.

****

Perjalanan pulang keluarga Adisty cukup hening. Yuri memperhatikan anak sulungnya yang lebih banyak melamun dan memperhatikan jalanan.

“Adis,” panggil Yuri

“Iya, Umma.”

“Kamu tu pacaran sama Linda, berapa lama?”

Ada helaan nafas yang panjang dari Adisty, pun juga gestur bingung dari Woody yang sedang menyetir.

“4 tahun,” jawab Adisty singkat, membuat Tiffany yang duduk di sebelahnya sedikit terkejut.

“Selama ini dia...?” pertanyaan Yuri menggantung

“Enggak kok,” Adisty memainkan jari-jarinya, “Linda kerasa aneh setelah kita putus nyambung dan mulai ngancem mau bundir kalo aku gamau balik sama dia.”

“You okay?” Tiffany mengusap tangan anak sulungnya itu

“Gapapa, Mama. Aku banyak dibantu temen-temen. Dan Ody juga. “

“Kadang bulol itu,” sahut Woody dari balik kemudi

“Hehh!!” Adisty memutar bola matanya kesal, membuat Tiffany dan Yuri tertawa melihat kelakuan dua anaknya.

Winza melangkah keluar dari kamar mandi; tidak mendapati istrinya berada di kamar mereka. Dugaan Winza, Keira menunggunya di dapur atau ruang tengah. Mereka memang harus berbicara mengenai beberapa hal.

“Hei,” sapa Keira ketika Winza berjalan menuju ruang tengah. Harum semerbak teh chamomile kesukaan Keira menyapa hidungnya. Biasanya memang dia minum ini ketika sulit tidur. Di dekat dua cangkir tersebut, ada baby monitor yang digunakan Keira untuk mengecek kondisi Arash, jika nanti tiba-tiba anak mereka terbangun atau rewel disaat mereka sedang berbicara di ruang tengah.

Winza mendudukkan dirinya di samping Keira, tangannya dengan pelan memeluk pinggang istrinya dan mengecup bahu kiri Keira. Sebuah gestur yang menunjukkan bahwa dia sangat khawatir tadinya

“Aku gapapa, kaget aja,” kata Keira sembari menyandarkan kepalanya ke bahu Winza, “Arash juga takut.”

“Arash sampai gamau lepasin tanganmu tadi di mobil.”

“Kamu juga,” Keira mengecup ujung hidung mancung Winza, “Sebenarnya ada apa?”

Winza menghela nafasnya, “Maaf, aku lancing cari tahu soal Yudith. Awalnya aku hanya bingung dengan kondisi kamu yang kesulitan tidur minggu lalu. Biasanya kamu susah tidur karena ada pikiran, tapi kamu bilang gapapa.”

“Aku masih bingung juga, Winza,” Keira menyandarkan punggungnya ke sofa, suaranya terlihat letih, “Apa yang di pikiranku, apa yang sedang mengangguku? Aku bingung.”

”You have me,” kata Winza pelan, “Kita uda berjanji bakalan tetap ada satu sama lain kan?”

Keira menunduk, ”I feel like I cheated on you, Winza.”

Winza terdiam

“Yang membuatku bingung adalah alasan kenapa aku terus mikirin anaknya Marsya. Mikirin bisa ga Arash nanti berteman dengannya, biar Marsya senang di sana. Tapi rasanya kenapa aku harus mikirin Marsya? Jelas-jelas dia khianatin aku. Tapi aku ga tega kalo mikirin anaknya Marsya sekecil itu harus menghadapi dunia yang kejam tanpa seorang ibu.”

Winza masih diam, tapi tangannya meraih kedua tangan Keira, seakan memintanya terus bercerita.

“Malam ini sebenernya aku pengen tanya kamu buat nganterin ke Bu Cassey, aku pengen konsul dan aku pengen kamu ada di situ. Tapi ternyata ada sesuatu lain yang harus kita selesaikan. Bukannya aku gamau ngomong, Winza. Aku masih bingung dan emang aku salah malah nunda-nunda waktu buat ngomong ini semua ke kamu sampai kamu cari tahu sendiri.”

“Kamu kenal Adit?” tanya Winza yang membuat Keira mengerutkan alis

“Kenal, pernah ketemu beberapa kali.”

“Kalo aku bunuh dia, boleh?”

“Sayang…” Keira meluruh. Dia terduduk di lantai karpet, masih membiarkan kedua tangan Winza menggenggam miliknya, “Jangan.”

Mata Winza masih terlihat marah, dan Keira bisa merasakan itu.

“Kamu marah karena aku ga segera ngomong ke kamu atau… karena kejadian tadi?”

“Sayang, jawab aku!” Keira meninggikan suaranya, seakan membuat Winza sadar dari amarahnya

“Tadi. Aku gamau kamu dan Arash terluka,” jawab Winza, “Keira, aku tahu kamu masih sering terganggu dengan pikiran berisikmu, dan sesuai pesan Bu Cassey sebelum kita nikah, kalo bisa aku di bagian yang menunggu dulu. Karena aku tahu ini gabisa dipaksa, Keira. Tapi bajingan itu…”

Keira bangkit dan mencium bibir Winza, pelan namun Winza meminta lebih dengan menarik istrinya untuk duduk di pangkuannya. Ciuman itu berakhir karena keduanya membutuhkan oksigen. Keira masih menempelkan dahinya ke milik Winza, seakan tidak ingin lepas dari istrinya itu.

“Aku ga cemburu, karena kamu ga mikirin siapapun selain aku dan Arash. Perasaan kamu ke anaknya Marsya itu empati, Sayang. Dan triggernya karena kamu ketemu Yudith. Yudith mungkin salah karena dia gatau kondisi kamu, apalagi si Adit yang kayaknya emang sengaja mau meres aku aja.”

“Jadi… kamu ga marah?”

“Ngapain? Daripada marah, aku lebih khawatir kondisi kamu, Sayang. Tapi aku selalu takut ambil Keputusan soal kamu. Aku selalu bingung dan gabisa berpikir jernih, semua selalu tertutup khawatir, Sayang. Maafin aku.”

“Kok minta maaf,” Keira terkekeh sebelum mengecup bibir istrinya, “Aku malah bangga.”

“Lho?”

“Karena cuma tentang aku kan, kamu gabisa mikir jernih? Berarti aku bisa ngalahin pinternya kamu.”

“Dasar aneh,” Winza tertawa

“Aneh gini istrimu, lho.”

“Uda terlanjur, gimana dong? Terlanjur cinta.”

“Jelek banget gombalnya!” Keira tertawa terbahak dan memukul bahu Winza, “Kangen sama kamu.”

Winza baru saja akan mengiyakan istrinya ketika baby monitor di meja berkedip dan menunjukkan bahwa Arash terbangun. Terdengar dia memanggil Maminya.

“Ngalah dulu deh,” gurau Winza sambil menurunkan istrinya dari pangkuannya, membuat Keira kembali tertawa. Sepertinya menikah dengan Winza memang menyenangkan, sungguh, Keira tidak menyesal.

Winza meletakkan gawainya di meja dengan gusar. Barusan mengirim pesan ke istrinya dan juga Bundanya. Masalah apa lagi ini sebenarnya? Juwita dan sekretaris Jackson yang duduk di belakangnya merasakan kerisauan yang sama. Bingung dengan suasana sekarang.

“Emang akhir-akhir ini ada apa?” tanya Jackson

“Kayaknya aku ga ngapa-ngapain, lho,” jawab Winza sambil mendengus, sebelun Juwita menyenggolnya dari belakang

“Yang ke pabrik?” bisik Juwita membuat Winza teringat sesuatu.

“Tapi, apa hubungannya?” Juwita hanya mengendikkan bahu tidak paham, merespons pertanyaan bosnya itu.

Tak lama kemudian, security yang menghubungi Winza mengetok pintu ruang rapat, membawa lelaki yang tidak pernah Winza lihat sebelumnya.

“Saya Adit,” lelaki itu bahkan tidak dipersilakan duduk, namun langsung mengambil kursi di seberang Winza dan Jackson, “Kakak Yudith dan alm. Marsya.”

“Apa urusanmu ke sini?” tanya Winza dingin

“Menuntut tanggung jawab. Winza melakukan tindakan pemaksaan kepada adik saya dan membuatnya ketakutan.”

“Mana buktinya?”

Adit sedikit terkejut sebelum menunjukkan foto. Terlihat agak jauh bahwa Winza dan Yudith sedang berbicara di belakang pabrik.

Winza tersenyum miring, “Lalu mana bukti saya melakukan pemaksaan?”

“Foto ini!” Adit meninggikan suaranya, “Akan saya jadikan barang bukti.”

Winza masih tersenyum kecil, merasa bodoh sekali lelaki di depannya ini.

Adit masih memaksa bahwa foto ini akan menjadi bukti ketika suara ketukan terdengar, Keira masuk sembari menggendong Arash dan Jenna berada di sampingnya sambil membawa tas. Tanpa diduga, Adit melompat dari kursinya dan menarik leher Keira. Untung saja Arash berada dalam gendongan sehingga tidak terjatuh, namun tentu saja bayi itu menangis. Terlebih, tindakan itu membuat Jenna terpental ke samping.

“Sialan!” Winza berdiri dan mengambil langkah lebar untuk mendekati Adit.

“Lepaskan atau anda akan dituntut atas dasar penganiayaan!” teriak Jackson, berusaha tenang karena keponakannya sudah sangat emosi.

“Bayar biaya ganti rugi, atau Keira akan mendapatkan balasannya! Enak aja kalian hidup bahagia sedangkan adikku meninggal!”

Keira menangis, sembari memeluk Arash dan berusaha menutup telinga bayinya yang ketakutan itu. Adit menarik lehernya cukup keras, membuatnya sedikit kesulitan bernafas.

Bodohnya, Adit hanya fokus kepada orang di depannya, tanpa menyadari bahwa pintu ruang rapat masih terbuka dan dua orang satpam menarik tangannya. Kuncian terhadap leher Keira terlepas, disusul dengan kedua satpam itu langsung menindih badan Adit ke lantai.

“Harusnya saya panggil polisi sekalian, bukan satpam,” Jesselyn berjalan masuk bersama dengan Tara, sembari mengecek apakah Keira dan Arash terluka. Winza langsung berlari dan memeluk istri serta anaknya.

“Saya akan tuntut kalian semua!” Adit masih berusaha berteriak.

“Kakak!” suara wanita lain mengagetkan Adit, Yudith datang bersama dengan sopir keluarga Kusuma.

“Yudith! Kakak hanya berusaha membelamu!”

“Hentikan! Kakak cuma bikin semuanya berantakan. Bu Winza hanya menegurku dan mengingatkan posisiku agar tidak terlalu mencampuri urusan Bu Keira. Ga ada yang maksa, Kak.”

“Anda pikir kami tidak tahu bahwa kamu juga memeras Raymond, padahal lelaki itu berjuang untuk membesarkan keponakan yang tidak dianggap keluargamu,” kata Jesselyn dingin, “Pergi atau kamu akan berakhir di penjara.”

Dua satpam menarik tangan Adit untuk berdiri, awalnya Adit seperti ingin berteriak namun Winza dan Jesselyn melihatnya dengan tatapan ingin membunuh kapan saja.

“Saya ingatkan sekali lagi, jangan sentuh keluarga saya,” desis Winza mengancam, “Keluarga saya tidak ada hubungan dengan kematian Marsya ataupun hal lain. Jika sampai ada lagi anda mendekati keluarga saya, saya pastikan dua kasus pemerasan ini akan cukup menjadi bukti anda masuk penjara.”

Yudith jatuh bersujud kepada Winza, meminta maaf yang sebesar-besarnya. Berharap hal ini tidak menjadi masalah bagi pekerjaannya di kemudian hari. Tapi Winza tidak bergeming, matanya dingin, nafasnya menderu. Baru ketika Jesselyn menepuk pundak Winza dan memberikan kode, Winza menghembuskan nafasnya kasar. Jesselyn paham, anak tunggalnya tidak mau berurusan dengan Yudith lagi, maka dari itu, dia yang kemudian meminta Yudith untuk berdiri.

“Saya akan meminta kateringmu memindahkan kamu. Jika tidak bisa, nanti hubungi sekretaris saya. Saya akan carikan pekerjaan lain untukmu agar tidak menimbulkan masalah,” Jesselyn mengangsurkan kartu nama, “Semoga ini bukan dianggap pemaksaan.”

Seorang wanita muda berjalan ke arah pintu belakang pabrik. Tadi, sebelum beres-beres pulang, atasannya memberi informasi bahwa salah satu petinggi perusahaan mencarinya. Sedikit takut karena sebenarnya Yudith tidak mendengar nama petinggi perusahaan yang disebutkan atasannya.

“Kira-kira siapa ya?” Yudith menggumam sendiri sambil membuka pintu belakang. Tidak jauh darinya, ada sesosok wanita yang usianya mungkin sepantaran almarhum kakaknya, atau lebih muda? Tapi yang jelas, Yudith pernah melihatnya di suatu tempat.

“Permisi, Kak?” Yudith agak ragu-ragu untuk memanggil sosok di depannya itu

Wanita berambut pirang itu mengangkat wajahnya, dan memasukkan gawai yang sedari tadi dia mainkan ke Saku celananya.

“Yuditha Cahaya?” tanya wanita itu, yang dijawab anggukan dari Yudith, “Saya Winza, Manager Humas dari Blanc dan istri dari Keira Agatha.”

“Oh,” Yudith teringat, wanita ini istri Keira, keluarga konglomerat itu, “Ada keperluan apa, Bu?”

Winza tersenyum miring mendengar perubahan panggilan untuknya, dia mendekat sembari berusaha tetap tenang seperti biasanya.

“Saya cuma mau memperingatkan untuk tidak mendekati Keira.”

“Saya hanya menyapa,” Yudith mengerutkan alisnya bingung, “Apakah salah?”

“Tidak. Tapi kamu harus tahu bahwa keluargamu memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental Keira. Dulu setelah Marsya secara egois memutuskan hubungannya denga Keira, dia mencoba untuk bunuh diri. Apakah keluarga kalian tahu? Tentu tidak. Dan itu merusak mentalnya secara perlahan.”

“Saya...” Yudith terbata, “Maaf...”

“Tidak perlu meminta maaf,” Winza tersenyum lagi, “Hanya saja, jauhi istri saya. Jangan pernah merasa masih mengenalnya. Itu yang terbaik untuk kamu dan istri saya. Jangan melihat bahwa saya mengancam kamu. Saya hanya ingin melindungi istri saya dan tidak merugikanmu.”

Winza menepuk pelan bahu Yudith sebelum pamit kepada wanita yang lebih muda itu. Jam tangannya menunjukkan pukul 07.00pm, sudah waktunya dia pulang karena istrinya pasti sudah menunggu di rumah.

“Emangnya harus banget ditunjukkin itu kalo dikasi Jiwon Unnie?” terdengar suara Karina yang cemburu? Lucu sih, padahal Karina cukup sering cemburu kepada Winter, tetapi Winter masih menganggapnya lucu.

“Aku cuma jawab pertanyaan wartawan aja, Sayang,” Winter berpindah dari depan kaca jendela kamar hotel ke kasur, dimana Karina sedang duduk dan bermain dengan gawainya.

“Tapi kan jadi bahan omongan. Udah gitu kamu keluar sama member GG lain.”

“Aku kan udah izin.”

“Trus kalo udah izin, aku ga boleh cemburu,” Karina mengerucutkan bibirnya, semakin terlihat bahwa gadis yang lebih tua itu sedang cemburu, “Tuh Jiwon Unnie di Jakarta, ga sekalian kamu susulin trus ajak makan nasi goreng bareng?”

“Balik nih ke Jakarta? Kemarin kan kurang lama juga kita di sana. Aku dikabarin juga kok sama dia.”

Melihat Winter justru menggodanya, membuat Karina semakin cemberut.

“Kamu hapean terus di backstage tu karena Jiwon Unnie ya?”

“Kamu kan tahu aku ngefans banget sama Jiwon Unnie,” Winter menyelipkan poni Karina ke belakang telinganya dan mengelus pipinya pelan, “Waktu kita nonton drama Queen of Tears, kamu tahu sendiri.”

“Ya kan ngefansnya kirain waktu dia main drama aja. Ternyata di dunia nyata kamu juga masih ngefans dia.”

Winter terkekeh. Karina kalau cemburu, bakalan membuat Winter mati kutu karena apapun yang dia lakukan pasti salah di mata Karina.

“Kok malah ketawa sih?”

“Maaf, Sayang,” Winter menggeser duduknya, lebih dekat dengan Karina untuk memeluk pinggang gadisnya itu.

“Jalan-jalan, yuk?” ajak Winter, “Lumayan sebelum soundcheck hari ke-2. Tadi Aeri Unnie sama Ning juga keluar jalan-jalan.”

“Kemana?”

“Gatau. Jalan aja, asal sama kamu,” Winter mencolek ujung hidung Karina, membuat gadis di depannya sedikit salah tingkah.

***

“Ternyata ga sedingin yang aku kira,” Karina memandang ke arah langit yang biru, beberapa fans mengingatkan bahwa Sydney sedang masuk musim dingin. Namun sepertinya, belum masuk ke puncaknya sehingga udaranya tidak terlalu dingin sehingga membutuhkan baju tebal.

“Tapi tetep aja, pake baju yang tebel,” Winter menggandeng tangan Karina, “Kamu masih batuk-batuk gitu.”

“Iya nih, sejak dua minggu masih batuk-batuk. Kecapekan katanya.”

“Makan yang banyak, jangan pilih-pilih. Aku temenin terus kok kalo makan,” Winter kembali tersenyum dan menepuk punggung tangan Karina, “Yuk, jalan lagi.”

“Mau foto-foto,” Karina meminta gawai milik Winter

“Iya, Sayang,” Winter menyerahkan miliknya, toh Karina juga tahu passwordnya.

Setelah berjalan beberapa saat sembari mengambil foto, Karina mengeluh haus dan meminta mampir di suatu tempat. Winter memberikan rekomendasi kafe yang dia lihat di Instagram dan Karina menyetujuinya.

“Foto-foto yang kamu ambil bagus,” Winter memuji kekasihnya yang sibuk mengunyah makanannya, “Aku post di IG ya.”

“Yang mana?” Karina mengelap mulutnya dan mengintip gawai Winter yang duduk di sebelahnya

“Ini,” Winter menunjukkan foto-foto dirinya dari belakang, dan beberapa foto makanan yang dia ambil sebelum mereka mulai makan. Karina tertawa, Winter memang selalu random dalam memilih foto yang dia unggah ke sosial medianya.

“Boleh-boleh aja sih, Manajer Unnie tadi bilangnya juga bebas karena emang bagus-bagus fotonya,” Karina kembali mengunyah rotinya, “Winter…”

“Iya, Sayang?”

“Kamu…. Seneng ga, jadi pacarku?”

“Menurut kamu?”

Karina mendengus pelan, “Kalo tiba-tiba Jiwon Unnie pengen jadi pacarmu gimana? Kan kamu ngefans tuh.”

“Wah, pilihan yang sulit.”

Karina memalingkan wajahnya, kesal dengan jawaban dari Winter

“Ga mungkin dong, Sayang,” Winter meraih tangan Karina di bawah meja, “Aku sayangnya sama kamu.”

“Aku ya mau, keliatan dicintai segitunya,” bisik Karina tapi masih cukup terdengar oleh Winter

“Aku mencintaimu, Karina. Kamu tahu itu,” kata Winter pelan, berusaha menghibur kasihnya yang entah kenapa sangat cemburu dengan dirinya dan Kim Jiwon. Sebenarnya Karina memang cukup sering cemburu, tapi kali ini rasanya cukup dalam.

“Karina, Winter, pulang yuk. Siap-siap,” Manajer Unnie mengingatkan jadwal mereka selanjutnya.

***

“Kenape lagi lu berduaaa?” Giselle menyenggol lengan Winter, menanyakan keanehan temannya yang lain. Sampai dengan konser hari kedua di Sydney, Giselle merasa Karina sedikit cemberut. Pasti masalah Winter kalau menurutnya

“Cemburu sama Jiwon Unnie,” Winter terkekeh, “Soalnya gue kan masang gantungan lebah dari dia, trus Jiwon Unnie juga masang gantungan gue yang merchandise konser.”

“Oalah. Lo sih, malah ga disayang-sayang pacarnya. Udah tau gampang cemburuan.”

“Gapapa biarin aja,”

“Kebiasaan.”

“Ini dia bilangnya mau istirahat sendiri bentar, Minta dipesenin makanan sama Manajer Unnie,” Winter melihat gawainya, “Yaudah yok tidur.”

“Lah bocah, pacarnya cemburu bukannya dibikin ga cemburu malah digodain terus,” Giselle hanya menggelengkan kepalanya heran, memang kelakukan Winter sulit ditebak.

***

Giselle benar, Winter sangat sulit ditebak. Buktinya ketika Karina sedang live di salah satu platform, Winter dengan semangat memberikan banyak komentar, termasuk bertanya apakah makanan yang dimakan enak atau tidak.

Karina hampir tidak bisa menutup wajahnya yang memerah, untungnya masih banyak chat dari MYs yang bisa dibuat mengalihkan perhatian

”Dasar Winter,” batin Karina

Keira terbangun lagi di malam ini. Dengan perlahan, dia melepas pelukan Winza dan berdiri. Berjalan ke arah baby box yang berada di samping kasur mereka.

Arash, terlihat terbangun sambil sesekali menangis lirih dan mengucek matanya.

Keira menggendong Arash, biasanya untuk menyusui Arash jika terjaga di malam hari, Keira hanya akan duduk di kasur dan menyusuinya sampai dia terlelap. Namun kali ini, Keira membawa Arash ke ruang tengah.

Selesai menyusui, Arash masih bergelendotan di pelukan Keira; bayi itu sangat suka menggenggam jari jemari kedua orang tuanya.

Keira menelisik wajah Arash; bayi lelaki itu memiliki fitur mata dan alis yang sangat mirip dengan Winza. Makanya, ketika Arash mengerutkan dahinya karena kesal, wajahnya sangat mirip dengan Winza kecil. Sedangkan fitur bibir dan hidungnya mirip Keira.

“Arash sayang, Mami sayang banget sama kamu,” bisik Keira ketika Arash mengerjapkan matanya. Sangat lucu dan menggemaskan.

“Apakah anaknya Marsya juga bisa sebahagia kamu, Arash? Marsya anaknya ceria. Tapi dia pergi ketika melahirkan anak yang lucu. Mami bodoh ya, Arash? Sempet mikir gimana misalnya kalo kamu ketemu dan temenan sama anak dia.”

Keira mengehela nafasnya, membuat Arash mengangsurkan tangannya ke atas. Sempat bingung, Keira mulai paham apa yang diinginkan bayi 13 bulannya itu. Keira mendekatkan wajahnya, membuat Arash menepuk pipinya pelan, seakan menghibur hati Maminya yang sedang gundah itu.

Sentuhan lembut dari tangan Arash justru membuat Keira teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.

“Mbak Keira?”

Keira menoleh, sosok yang familiar menyapanya. Itu Yudith, adik Marsya.

“Hei, kamu kerja di sini?”

Iya, di vendor catering kantin pabrik ini,” Yudith menunjukkan celemek yang dia pakai, “Kakak gmana kabar? Lama ga ketemu. Aku denger Kakak uda nikah dan punya anak ya?”

Keira mengangguk, “Iya, anakku uda masuk 13 bulan.”

“Jarak hampir setahun ya, sama Rayyan.”

Keira mengangkat alisnya bingung

“Oh, Kakak belum pernah ketemu lagi ya? Rayyan, anaknya Kak Raymond sama Kak Marsya. Anaknya lucu gemes, sayang keluargaku gamau mengakuinya.”

“O..oh..,” Keira merasakan keringat dingin di punggungnya. Kepalanya pusing, telinganya berisik. Rasanya ada sesuatu yang menghantamnya tapi dia tidak tau dimana.

“Lain kali mampir ya, Kak? Nengokin keponakanku.”

“Sayang?” suara Winza mengagetkan Keira, dirinya merasa seperti barusan ditarik kembali ke dunia nyata. Mirip seperti mimpi-mimpi buruknya akhir-akhir ini yang rata-rata diakhiri dengan Winza menariknya.

“Eh, Sayang kebangun juga?” pertanyaan Keira terdengar kosong, dan Winza merasakan itu. Dia berjalan mendekat dan mengecup kepala Keira, sebelum memutar dan duduk di sampingnya

“Kamu keringetan banget,” Winza mengusap pelan dahi Keira, bulir-bulir keringat terpampang jelas tadinya.

“Iya panas, tadi makanya ajak Arash keluar kamar. Maaf ya, Sayang. Kamu kebangun karena gada aku ya?”

Winza terkekeh, “Iya, istriku gada. Lagi diculik jagoan kecil ini ya?”

Seakan tahu sedang digoda, Arash kembali tertawa sembari memanggil Bubunya

“Bu, antuk Bu Bu. Mi antuk,” ucap bayi itu terbata

“Arash ngantuk ya, yuk bobok lagi,” Keira menarik Arash ke dalam pelukannya sebelum berdiri, diikuti oleh Winza di sampingnya.

“Sayang, tidur yang nyenyak ya. Kalo kebangun, bangunin aku juga,” bisik Winza sambil menata rambut Keira agar tidak terselip di antara badan mereka yang saling memeluk. Keira mengangguk di dalam pelukan Winza, berharap banyak dia bisa tertidur walaupun kepalanya berisik.

“I love you, Keira.”

“I love you even more, Winza,” balas Keira pelan

“Kok rasanya mual-mual ya, padahal ga salah makan,” gumam Keira pada dirinya, cukup pelan namun Winza bisa mendengarnya

“Mau periksa aja? Takutnya kenapa-kenapa loh,” saran Winza. Istrinya memang tidak terlihat segar, lemas dan terlihat kurang nafsu makan.

“Aku minumin obat aja, nanti kalo akhir pekan masih ga enak badan, ke dokter.”

Winza mengangguk pelan, menyetujui kalimat istrinya. Setelah menyelesaikan makan malam, dia segera mencuci piring agar mereka segera bisa tidur. Yang tidak Winza duga, Keira memeluknya dari belakang dan menyandarkan tubuhnya ke Winza.

“Kangen ya?” goda Winza sambil mengeringkan tangannya

“Ih ngasal, pengen aja,” Keira mengeratkan pelukannya di pinggang Winza, membuat wanita yang lebih muda terkekeh sebelum mengecup puncak kepala istrinya itu.

“Yuk tidur, ngantuk,” ajak Winza kepada kasihnya itu.

“Kenapa, Sayang?” Winza bertanya pada Keira yang tiba-tiba terhenyak di dalam tidurnya. Istrinya tadi mengeluh agak pusing dan Winza, berusaha menjadi istri yang baik, memijati punggung dan leher Keira serta menyeduhkan minuman hangat. Tapi sepertinya istrinya masih sedikit kurang enak badan.

“Mimpi buruk,” Keira menghela nafasnya, melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 2 malam.

Winza mengangguk, sebetulnya dia merasa sangat mengantuk dan menjadi terkejut karena Keira barusan.

“Maaf ya, Sayang,” Keira mengusap pelan wajah Winza dengan tangannya, “Tidur lagi yuk.”

Winza mengecup kening Keira, bertahan sejenak sebelum berpindah ke hidung dan bibir kasihnya itu. Keira tersenyum, masih tersipu malu jika Winza melakukan itu.

Perlahan, Keira bisa mendengar dengkuran pelan Winza. Istrinya sudah tertidur sembari memeluknya. Sedangkan dirinya masih terjaga. Biasanya suara dengkuran Winza, atau hembusan nafasnya, atau bahkan denyut nadi yang bisa dirasakan oleh Keira, bisa membuatnya tertidur.

Tapi tidak untuk malam ini.

Rasanya, Keira sangat gelisah.