wqwqwq12

cw // 18++ activities

“Katanya resign?” goda Keira pada istrinya yang sedang membaca sesuatu di iPadnya, terlihat seperti sebuah email.

“Ga cocok,” jawab Winza sambil tetap membaca sesuatu di gawai yang dia pegang, melewatkan kekehan pelan dari istrinya.

Keira duduk di samping Winza, wanita yang lebih muda itu duduk agak menyamping sambil bersandar pada punggung sofa. Perlahan, Keira memeluk istrinya dari belakang. Dagunya ia sandarkan pada bahu Winza, melongok pelan ke benda yang menarik perhatian kasihnya dari tadi.

“Kerjaan terus yang diperhatiin, aku kapan?” kembali, Keira menggoda istrinya, membuat wanita itu mengerucutkan bibir dan menaruh iPadnya di meja.

“Tumben lho?” Winza memutar tubuhnya sehingga menghadap Keira, “Biasanyaaa udah tidur?”

“Ini masih jam berapa? Arash kayaknya seharian aktif, makanya langsung ngantuk tadi aku gendong bentar,” Keira menyelipkan poni Winza ke belakang telinganya, “Aku kangen kita berdua.”

Winza mengangkat alisnya senang, sepertinya dia akan senang malam ini

“Kalo aku resign, pasti kita punya banyak waktu untuk ini, Sayang,” bisik Winza sambil mengelus pipi Keira, memangkas jarak antara mereka berdua sebelum melumat bibir ranum istrinya itu

“Masak?” tanya Keira di sela ciuman mereka. Winza sudah mendorongnya terlentang di sofa dan mata istrinya sudah mulai menggelap.

“Iya dong, kan bisa kapan aja gaperlu nunggu pulang kerja,” kata Winza sebelum menghujani leher jenjang Keira dengan ciumannya

“Ahh...” desah Keira, kombinasi bibir Winza di lehernya dan tangannya yang menjelajahi bagian belakang Keira, sukses membuatnya naik

“Iya kan?” tanya Winza lagi, sembari mengangkat sebelah alisnya. Ekspresi menyebalkan yang justru Keira sangat suka. Wanita itu menarik si rambut pendek untuk kembali dalam ciuman yang panjang, sambil dirinya memijit tengkuk Winza; Winza suka itu.

“Emang kamu bisa? Ga liat aku bentar aja?” kekeh Keira yang dibalas dengan remasan di kedua payudaranya, “Ahh...”

“Hmm, susah,” Winza mencium perut rata istrinya, “Tapi aku bakalan punya banyak waktu buat manjain kamu.”

“Kebalik,” kata Keira sambil menghela nafas, melirik ke arah Winza yang sudah berhasil menelanjanginya dari gaun tidur yang dia gunakan, “Kan aku yang manjain kamu.”

“Hmm,” Winza kembali bergumam, “Ga salah.”

“Ahh...” Keira meremas rambut Winza. Istrinya itu sedang melakukan aktivitas di bawah, sungguh terlihat tidak bisa diganggu.

“Winza....”

“Iya, Sayang?” Wajah inonsen itu muncul dari bawah, membuat Keira hanya bisa terkekeh pelan

“Mau liat wajah kamu.”

Winza tersenyum miring sebelum melepas baju bagian atasnya, melemparkannya entah kemana. Dengan cepat—dan rakus, Winza kembali mencium bibir Keira yang sudah mulai bengkak itu.

“Winza...” Keira merasakan jari Winza mulai memasukinya, membuatnya semakin gila di bawah.

“Jadi, aku resign ga baiknya?”

“Ga usah....ah.....” Keira meluruh, dirinya barusan mencapai puncaknya

“Kenapa?”

Keira memeluk Winza di atasnya, menciumi pipi dan kening istrinya yang berwajah inonsen tetapi barusan membuatnya gila itu

“Kalo kamu ga kerja, bisa-bisa aku ikut ga kerja karena pagi biasanya kamu horny gabisa dikontrol. Ya habis aku, Sayang, tiap pagi kamu lahap di kasur.”

Winza tertawa, “Hehe bener juga.”

“Makanha gausah resign, tuh nanti sekolahnya Arash mahal.”

Winza mengangguk sebelum kembali menciumi leher Keira, “Lagi ya?”

Keira hanya bisa pasrah, toh Winza yang akan mengarahkan semuanya.

“Misi, Pak Melvin. Itu ada yang ribut di deket parkiran,” salah seorang satpam di kafe milik Melvin menghampiri ketujuh sahabat yang sedang mengobrol asik di area outdoor

“Cari siapa emangnya, Pak?” tanya Melvin

“Katanya cari Mbak Windira,” jawab satpam itu pelan, “Gatau tiba-tiba dateng trus nanyanya sambil teriak gitu, saya bingung.”

“Kita ke sana aja,” kata Windira, “Kayaknya gue tau itu siapa.”

Tebakan Windira benar, itu Linda. Wanita itu terlihat lebih kacau dari waktu terakhir mereka bertemu di warkop dekat kantornya.

“Ini dia yang gue cari,” Linda langsung mengambil langkah lebar menuju Windira yang berdiri tegap di dekat pintu

“Kalo mau ngobrol, gausah di sini. Ganggu yang lain,” mata Windira dingin dan mengajak Linda ke tempat yang lebih sepi, dekat dengan dapur kafe. Linda meminta tidak ada yang ikut dari teman-teman Windira, dan Windira menyetujuinya, menyakinkan teman-temannya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Windira ketika mereka sudah terpisah dengan yang lain

“Ternyata salah satu jaksa penyidik nyokap lo ya?!” Linda menunjuk wajah Windira dengan kasar, “Lo pasti nambah-nambahin cerita kan biar gue dihukum berat!”

Windira terkekeh, “Ngapain? Bukan urusan gue. Tanpa gue minta gitu pun lo pasti dihukum berat. Lagian kenapa gue ikut campur urusan lo?”

“Sial.”

“Dan lo harus tau, gara-gara lo, hari ini Adisty dipanggil kejaksaan untuk diperiksa. Lo gila ya? Sampai orang kaya Adisty keseret. Sekarang apa tanggung jawab lo ke dia? Gada kan? Malah lo ke sini sekarang.”

“A..Adisty? Adisty gue?”

“Adisty pacar gue, ngapain lo ngaku-ngaku? Sampah.”

Linda menggeram, kata-kata terakhir Windira yang mengatakan bahwa Adisty adalah pacarnya membuatnya marah. Dengan cepat, dia memukul rahang Windira dan membuat gadis itu terlempar ke belakang. Tidak hanya itu, Linda langsung menendang perut Windira ketika dia berusaha untuk bangkit. Windira lupa, Linda memiliki hobi kick boxing yang membuatnya cukup kuat. Ketika kerahnya ditarik, Windira sudah pasrah, hantaman demi hantaman dia terima tanpa bisa melawan.

***

Adisty memegang hpnya dengan khawatir. Telepon dari Mahendra beberapa saat yang lalu membuatnya meminta Yesaya, yang memang sedang bersamanya, untuk menuju kafe milik Melvin. Adisty merasakan sesuatu yang tidak beres di sana.

Benar saja, begitu Yesaya memarkirkan mobilnya, Adisty melihat Melvin memanggil satpam dengan panik. Adisty dan Yesaya melihat keributan di bagian belakang, dan teriakan panik langsung terdengar dari Adisty karena melihat Windira terkapar di tanah.

“Windira.... Sayang....” Adisty memeluk Windira yang awalnya dipegangi oleh Prima, “Sayang...”

“Udah panggil ambulan?” tanya Yesaya di tengah kepanikan, yang dijawab gelengan oleh Gavin. Terlihat di dekatnya Linda dipegangi oleh satpam dan Jeremy yang memang berbadan paling besar di antara teman-temannya.

“Panggil polisi juga,” Yesaya menutup teleponnya setelah menghubungi ambulan dan menghampiri Linda, “Kita lihat pasal penganiayaan akan menjadi tambahan hukuman buat dia.”

“Kak Aya... Windira, Kak...” Adisty menangis, membuat Yesaya menghampiri adiknya yang sudah terkapar.

“Ambulan bakalan lama katanya, barusan gue dikasi tau agak susah buat cepet. Siapin mobil dan kita anter Windira ke rumah sakit terdekat,” perintah Yesaya, “Yovanka, anter Windira dan Adisty. Jeremy, tolong gendong Windira bentar, abis gitu balik sini.”

“Iya, Kak,” Jeremy melepaskan kaitan tangannya, tadi salah satu satpam mengikatkan cable ties ke tangan Linda sehingga membuat dia tidak bisa bergerak, terlebih sekarang Mahendra mendoronya sehingga terjerembap di tanah.

“Lo bakalan membusuk di penjara, Linda. Berani-beraninya lo nyentuh adek gue,” bisik Yesaya pada Linda yang sudah tersungkur di hadapannya.

Sebagai anak yang pernah “disembunyikan dari publik,” Mahendra selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitasnya, termasuk ketika merespons tindakan orang lain.

Termasuk ketika menghadapi Linda.

Itulah alasan kenapa ketika Maira tiba-tiba “jatuh,” dan memutuskan untuk menutup diri, Mahendra tidak segera mencari Linda ataupun Adisty, pada saat itu.

Karena Mahendra tahu, semua ada waktunya sendiri.

Seperti malam ini, sepulang kerja Windira dan Adisty mampir ke rumahnya, menemui Maira.

“Beneran gapapa nih kita tinggal mereka?” Windira berusaha melongok ke dalam. Mahendra memberikan ide bahwa Maira dan Adisty berbicara di dalam, sedangkan dirinya dan Windira menunggu di luar. Ibu Mahendra tadi sempat menemani mereka ngobrol sebelum pamit ke dalam karena akan beristirahat.

“Percaya aja sih,” Mahendra tertawa sambil menyalakan rokoknya, “Lagian di dalem lo gabisa ngerokok.”

“Iya juga,” Windira mengambil rokoknya yang disandarkan pada asbak sebelumnya

“Lo percaya aja dah sama pacar lo. Gue liatnya dia uda gada rasa sama Maira. Cuman ya, biar closure aja.”

Windira menghembuskan asap rokok dari mulutnya, “Gue percaya sih, dan tanpa gue maksa pun pasti Adis cerita. Kadang gue khawatir aja sama Adis yang nyimpen sedihnya sendiri karena takut bikin gue ikut kepikiran.”

“Kalo itu sih lo harus tanya.”

Windira mengangguk, setuju dengan Mahendra. Dirinya berharap agar Adisty dan Maira tidak terlalu lama, karena dirinya ingin segera memeluk kasihnya sampai tidur malam ini.

***

“Udah setahun lebih ya,” Maira menyesap teh hangat yang dibuatkan ibunya tadi

“Lama juga,” Adisty membalas dengan senyuman khasnya, yang Maira selalu sebut sangat manis sampai semut pun bingung.

Tapi itu dulu, Adisty sudah tidak lagi merasa membutuhkan pujian itu dari Maira.

“Gimana kabarnya? Gue denger dari Mahendra kalo Linda masih ngekorin elo ya?”

“Iya,” Adisty mengangguk, “Sama seperti saat lo tiba-tiba ilang. Windira orangnya ngotot dan dia...” Adisty tersenyum jika harus mengingat mengenai Windira dan rasa cinta gadis itu padanya, “Dia uda nunggu gue lama.”

“Cinta pertama bakalan selalu diusahain,” Maira terkekeh, “Mahendra cerita dikit. Gue seneng lo bisa lepas dari Linda, dan lebih seneng lagi kalo yang lo dapetin adalah Windira.”

“Gue minta maaf kalo kesannya ga usahain elo sebelumnya,” Maira melanjutkan, “Ada banyak hal yang bikin gue berhenti.”

“Contohnya?”

“Nyokap,” Maira kembali meminum tehnya, “Nyokap gue bilang kalo ada yang salah di diri gue, dan bukan nyari lo solusinya. Gue waktu itu masih ngeyel dengan bilang kalo lo bahkan bisa ngatasin Linda, kenapa ke gue enggak? Trus nyokap bilang kalo apa yang lo pilih buat Linda itu salah, dan nyokap gamau buat gue jadi tanggung jawab lo. Itu yang bikin gue akhirnya ke psikolog dan dirujuk ke psikiater juga.”

“Gue juga ada di posisi salah, Maira,” kata Adisty, “Gue sempet berada di posisi bahwa gue bisa ngubah Linda. Tapi nyatanya itu justru jadi lingkaran setan buat gue. Ketika ada lo, gue pikir gue bisa lepas dari lingkaran itu, ternyata gue balik lagi. Dan Windira yang bawa gue keluar dari situ.”

“Dan Windira bertahan sama lo walaupun Linda dateng.”

“Sempet mau pergi,” Adisty sedikit terkekeh mengingat waktu ketika Windira memberi jarak antara mereka, “Tapi gue berusaha buat pegang dia.”

“Lo ga gitu ke gue,” kata Maira cepat, “Beda ya.”

“Karena Windira ga cut-off gue,” Adisty memandang lurus ke mata Maira, “Windira ga menutup akses gue ke dia dan gue bisa tunjukkin ke dia bahwa gue juga mau sama dia. Tapi kalo lo...”

Aditya menghela nafas panjang sebelum melanjutkannya, “Lo nutup semua akses. Jangan lo pikir gue ga cari lo, Maira. Gue cari ke tempat kerja lo, gue cari temen-temen lo. Tapi hasilnya sama. Kalo misal Mahendra ga cerita ke Windira, gue juga ga akan tau cara buat nemuin lo.”

“Gue pikir dengan nutup akses, gue bisa nyelesein masalah ini dan balik ke lo, Dis.”

“Pada saat itu kita gada upaya buat mikir bareng, Maira. Kita mikir semuanya sendirian, tanpa ketemu solusi barengnya. It's all in the past, dan gue harap kita uda ketemu solusi masing-masing.”

Maira tersenyum, ternyata benar kata Mahendra, Adisty sudah tidak lagi memiliki perasaan sedikitpun padanya. Sudah ada Windira, gadis lain yang mengisi hati Adisty.

“Semoga yang sedang berjalan sekarang, adalah solusi yang kita harapkan ketemu tahun lalu, Adisty.”

“Gue juga berharap hal yang sama. Semoga lo bisa nemu bahagia lo setelah ini, Maira.”

“Ga sesuai sama keinginan kamu ya?” Adisty tiba-tiba menepuk pundak Windira yang sibuk menata alat BBQ yang disediakan; cukup fancy memang jika dibandingkan dengan biasanya Windira bawa ketika berkemah

“Eh, enggak kok, Sayang,” Windira tersenyum, membuat wajah Adisty memerah karena seminggu mereka berpacaran, Adisty masih tersipu malu jika Windira memanggilnya seperti itu.

“Abis diem aja daritadi.”

“Lho, aku kan ga banyak ngomong emang?” Windira tergelak sebelum meletakkan penyangga terakhir alat di depannya. Setelah melepas sarung tangan yang dia gunakan, segera dia mencubit gemas pipi kasihnya itu.

“Ish, Sayang...” decak Adisty kesal tetapi ikut tersenyum

“Haha, beneran gapapa, Sayang. Cuma ini emang jauh dari biasanya aku sama temen-temen camping, mungkin ini lebih ke staycation? Atau glamping? Tapi yang jelas aku seneng kok, asal kamu seneng juga.”

Ingin rasanya Adisty berteriak sambil berlari-lari keliling lapangan untuk memperlihatkan betapa bahagianya dia dengan kehadiran dan kata-kata dari Windira.

“Mesra mulu gue tengok,” Yovanka melirik sinis, membuat Windira tergelak karena dia tahu sahabatnya itu iri.

“Lho sama Adisty?” Jessica menyambut anaknya yang semalam meminta izin menginap di rumah temannya.

“Siang, Tante,” Adisty menyapa orang tua dari Windira tersebut, “Kemarin Windira nginep rumah saya.”

“Lho,” Jessica terkekeh

“Ceritanya panjang, Mami,” kata Windira sambil melenggang masuk, “Adek mandi dulu.”

“Astagaa Adisty udah cantik gini, kamu belum mandi? Untung ga dikira pengawalnya,” Jessica berdecak melihat kelakuan anak bungsunya, “Ayo, Adisty. Kita ngobrol sambil nunggu Adek mandi.”

“Iya, Tante. Oh ini ada oleh-oleh dari Hongkong. Adisty abis dari sana, Dinas Luar.”

“Wah repot-repot, makasi ya, Nak. Adisty mau minum apa?”

“Bebas, Tante.”

****

Sebenarnya Windira dan Adisty berniat pergi menggunakan motor karena Windira hanya ingin membeli sepatu trail baru untuk menggantikan miliknya yang mulai tipis solnya. Tapi Jessica berkehendak lain, dia meminta Windira dan Adisty sekalian untuk belanja bulanan. Tentu saja dengan daftar yang sangat panjang.

“Jadi sampe malem ya kita,” kata Windira sambil berjalan. Keduanya baru saja menyelesaikan makan malam dan memutuskan untuk berjalan-jalan di taman.

“Lho emang sebelumnya gada niatan sampe malem?” goda Adisty sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Windira. Hari ini sangat menyenangkan dan Adisty sungguh menyukai semua perlakuan Windira kepadanya, sangat manis, sangat lembut. Terlebih, beberapa kali Windira minta izin untuk merokok sebentar, menjauhi Adisty ketika melakukan kegiatan tersebut dan kembali dengan bau wangi dan mengulum permen untuk menghilangkan bau rokok yang menempel.

“Yaaa niatnya banyakin jalan-jalan,” Windira terkekeh, “Eh ada mesin capit.”

Adisty tertawa, teringat dengan pertemuan mereka beberapa waktu lalu

“Lo masih simpen tu boneka?” tanya Adisty penasaran

“Iya, nanti gue kasihin,” jawab Windira, “Ada kali 15 boneka.”

“Banyak banget!”

“Hampir tiap hari gue ke situ,” Windira meraih tangan Adisty dan mengecupnya, “Gue ngelepas stress.”

“Maaf ya bikin lo stress,” Adisty mengecup pipi Windira cepat, membuat dia menghentikan langkahnya

“Gapapa. Asalkan lo sekarang sama gue.”

“Gamau pake aku-kamu nih?” tiba-tiba Adisty melontarkan pertanyaan ketika mereka duduk di kursi panjang.

“Sebenernya siapa sih yang mencetuskan kalo lo-gue lebih kasar dari aku-kamu?”

“Gatau,” Adisty kembali tertawa, “Gue juga penasaran.”

“Gue pernah baca di Quora, katanya kalo aku-kamu lebih baku dan sopan aja sih.”

“Oh gituu. Trus baiknya gimana?”

“Baiknya dipanggil sayang ga sih?” goda Windira yang langsung membuat wajah Adisty memerah.

“Apasih, jelek,” Adisty memukul bahu Windira sebelum menyandarkan kepalanya di sana.

Hening menyelimuti mereka, Adisty memainkan tangan Windira yang dia genggam dengan kedua tangannya, sedangkan Windira hanya sesekali terkekeh karena kelakuan kasihnya itu.

“Kamu...” kata-kata Windira tertahan karena Adisty menolehkan wajahnya pada Windira

anjing cantik banget anjinggg Adisty

“Apa, Sayang?”

“Ah,” Windira tersadar dari kekagumannya, “Gelang aku... Kamu pake?”

Adisty menyentuh gelang dengan aksesoris paw yang sempat ditunjukkan Windira ketika confess perasaannya dulu.

“Iya, kamu ninggalin ini waktu itu. Aku bingung mau gimana, akhirnya aku pakai sendiri.”

“Makasih uda disimpen.”

Adisty kembali tersenyum, “Makasih uda nginget aku dalam waktu yang lama, Windira. Makasih uda tetep ada aku di hati dan pikiran kamu.”

Perjalanan menuju tempat camping yang dikirimkan oleh Yovanka cukup jauh. Adisty melihat jam tangannya dan melihat bahwa setidaknya mereka sudah menempuh perjalanan selama tiga jam. Kali ini, Maudy dan Yovanka tidak bisa menemani, rencana awalnya adalah mereka berdua dan ternyata Yovanka memiliki urusan mendadak. Pada akhirnya, Gracia dan Nadia menawarkan diri untuk menemani Adisty menemui Windira di tempat dia camping.

“Ini kayaknya tempatnya,” kata Nadia setelah mereka melihat sebuah gerbang.

“Gausah nervous gitu,” Gracia terkekeh melihat Adisty yang berkali-kali menghela nafas panjang

“Kalo dia ngusir gue gimana?”

“Yaudah berarti game over aja,” timpal Nadia, “Seengaknya lo udah berusaha, Kak.”

Adisty mengangguk pelan, tekadnya sudah kuat. Jika memang ini terakhir kalinya dia bisa bertemu dan berbicara dengan Windira, Adisty akan menganggapnya sebagai sebuah hukuman karena sudah mengabaikan Windira dan cintanya beberapa waktu yang lalu.

****

Windira menekan rokok ketiganya di asbak. Sabtu sore yang sendu ini, pagi tadi sempat hujan, dirinya sedang merenung di sebelah tendanya. Beruntung dirinya mendapatkan tempat yang cukup nyaman untuk berkemah sendirian. Udara dingin mulai menerpa wajahnya, pertanda mungkin malam ini akan hujan.

Dalam kepalanya masih terputar dengan jelas wajah sedih Adisty yang melihatnya bernyanyi, air mata terlihat menggenang di matanya. Tapi bolehkah Windira berharap?

Rasa-rasanya dia tidak ingin lagi berharap, dia takut akan jatuh dan sendirian.

Jatuh cinta itu sakit, jika sendiri.

Windira kembali menghela nafas panjang, tangannya meraih bungkusan rokok di sampingnya. Sesaat sebelum dia menyalakan rokoknya, matanya menatap seseorang sedang berjalan tertatih ke arahnya. Memang dari jalan utama, tempat dirinya mendirikan tenda dekat dengan beberapa bagian yang sedikit naik, dan sepertinya akan licin karena hujan yang mengguyur pagi tadi.

Betapa kagetnya Windira, karena sosok yang berjalan itu adalah Adisty.

Windira dengan cepat turun dari tempat duduknya, membantu Adisty yang sepertinya terkilir untuk berjalan ke tendanya.

“Kakinya dilurusin aja,” kata Windira setelah Adisty duduk di tendanya. Dia barusan membuka dengan lebar tenda agar bisa dimasuki oleh mereka berdua.

“Iya,” Adisty sedikit mengaduh, membuat Windira dengan cepat duduk di sebelahnya.

“Ini tadi kenapa?”

“Kepleset di deket situ,” Adisty menunjuk ke arah jalan masuk yang memang melewati tangga batu, “Licin, kaget tadi.”

“Tangannya lecet juga,” Windira meraih tangan kiri Adisty dan melihat lecet di telapaknya, “Perih ya?”

Adisty mengangguk, karena memang setelah terpeleset tadi dirinya ingin sekali menelepon Gracia untuk menjemputnya, namun niatnya untuk bertemu Windira mengalahkan rasa sakit di kaki dan tangannya. Baru sekarang, rasa sakit itu muncul bersamaan membuat Adisty mau tidak mau terus meringis

“Lo tuh…” Windira menggantung kalimatnya, tidak tega mengomeli wanita di depannya. Dia dengan sigap mengambil kantong P3Knya dan mengambil beberapa kapas dan sebotol alkohol. Setelah mengatakan bahwa ini mungkin perih sekali, Windira mengusap kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol untuk membersihkan luka di tangannya. Adisty sempat ingin menarik tangannya tapi Windira lebih cepat untuk terus memegang pergelangan tangannya.

“Itu kakinya, gue kompres bentar ya,” kata Windira sambil mengambil sebuah kantong yang berisi gel dari tas besarnya. Setelah memencetnya beberapa kali, Windira meminta Adisty untuk menaruhnya di bagian kakinya yang sedikit bengkak.

“Makasih ya,” kata Adisty yang dibalas anggukan oleh Windira.

Keduanya terdiam cukup lama, Adisty membiarkan Windira terus bergerak entah apa yang dia lakukan, dirinya sudah terlalu lelah hanya untuk berjalan ke tempat ini.

“Tadi pagi hujan, makanya agak licin jalannya,” Windira membuyarkan lamunan Adisty dengan mengangsurkan gelas berisi cokelat panas, ternyata daritadi Windira sibuk memasak air dan memasang penyangga pintu tenda.

Adisty mengangguk lagi sebelum menerima gelas dari Windira. Hangat sekali, nyaman rasanya setelah meneguk minuman tersebut.

“Gue mau ngomong sama lo,” kata Adisty sambil memperhatikan gelasnya, “Gue tahu mungkin lo udah ga pengen ketemu gue lagi, tapi seenggaknya lo harus tau apa yang gue rasain. Ga adil rasanya kalo gue cuma tau isi hati lo, sedangkan gue ga pernahg ngungkapinnya.”

“Emangnya masih ada yang…”

“Masih!” Adisty memotong perkataan Windira dengan cepat, “Masih ada dan lo harus denger.”

Windira mempersilakan Adisty untuk berbicara, sedangkan dirinya mengalihkan pandangan dari luar ke dalam, ke arah Adisty.

“Gue juga suka sama lo,” kata Adisty cepat, “Maafin gue.”

Windira terkekeh, mudah sekali rasanya bagi Adisty untuk mengatakan itu, padahal dia sendiri mengorbankan banyak hal untuk menyimpan rasa di hatinya.

“Kok lo ketawa?”

“Ya gampang banget lo ngomong gitu after all this mess?,” jawab Windira pelan, “Ini bukan permainan, Adis.”

“Gue tau gue terlambat banget buat sadar ini semua, tapi gue ga boong. Gue gabisa lagi mendem ini, Windira. Ini yang bikin gue ke sini dan ngomong ini semuanya. Maaf kalo emang butuh waktu bagi gue buat sadar kalo lo udah ada di hati gue.”

“Trus Linda gimana?” tanya Windira, suaranya lirih.

“Bukan urusan gue,” Adisty mendengus, “Gue bener-bener sadar bahwa selama ini gue cuma butuh sosok dia aja, gada perasaan apapun. Gue minta maaf banget atas kesalahan gue waktu itu. Gue salah dengan milih ke rumah dia dan ga ngomong apa-apa ke lo.”

“Gue juga butuh waktu, Adis.”

“Gue paham,” Adisty tersenyum, “Windira, kalo emang gue gada kesempatan buat memperbaiki kesalahan gue kemarin dan lo udah gada perasaan lagi buat gue, gue harap kita mengakhirinya dengan bener. Gue cuma mau ngomong makasih karena udah buat gue ngerasa dicintai sebegitunya, dan gue juga udah bisa nerima perasaan lo walaupun gue sadarnya telat banget.”

Windira tersenyum kecil, “Kasih gue waktu.”

“Selasa depan, gue dinas luar 10 hari ke Hongkong. Gue berharap punya jawaban buat perasaan gue setelah itu. Apapun 8 Letters yang mungkin lo pengen sampein buat gue, gue bakalan terima.”

Windira mengangguk, “Gue ga akan lari kok.”

“Gue bakalan nyari lo kaya gini kalo lo lari,” jawab Adisty, “Gue akan berusaha cari lo sampai ketemu jawabannya.”

“Pasti Yovanka,” Windira terkekeh

“Siapa lagi,” Adisty ikut terkekeh, “Gue balik dulu ya.”

“Bentar, kaki lo masih agak bengkak gitu.”

“Ya trus gimana? Gue kan ga mungkin tidur sini.”

“Lo sama siapa ke sini?”

“Nadia sama Gracia, mereka nunggu di parkiran.”

“Yaudah gue balut dulu kaki lo biar ga makin bengkak,” Windira beranjak dan mengambil perban dan membalut pergelangan kaki Adisty, “Ini nanti kalo uda sampe rumah dilepas aja, pakein kompres dan kalo masih bengkak sampe besok, baiknya ke dokter.”

Adisty harus menggigit bagian dalam bibirnya agar tidak berteriak karena melihat perhatian Windira kali ini. Terlebih wajah Windira sangat dekat dengannya.

“Nah, ini udah, yuk gue anterin ke parkiran. Ntar lo kepleset lagi.”

***

Gracia dan Nadia hampir tersedak bakso yang sedang mereka kunyah ketika melihat Adisty dipapah Windira menuju tempat parkir perkemahan ini.

“Kepleset tadi,” justru Windira yang menjawab pertanyaan tidak bersuara dari pasangan di depannya, “Tangannya lecet juga.”

“Udah diobatin, kok,” Adisty menambahkan, taku jika Nadia heboh karena biasanya dia akan heboh sendiri melihat ini.

“Mau pulang nih?” Gracia beritanya sambil meminum teh hangatnya, “Gue abisin dulu ya baksonya.”

“Santai aja,” kata Adisty. Dirinya mengira Windira akan kembali ke tendanya setelah mengantarnya kepada Gracia dan Nadia. Ternyata wanita itu justru mengambil kursi di samping Adisty dan ikut menunggu Gracia serta Nadia menghabiskan bakso mereka. Pasangan di depannya hanya berbalas ejekan dengan mata mereka, Adisty tahu keduanya sedang mempertanyakan perlakuan Windira padanya.

“Nanti kalo uda nyampe rumah kabari ya?” kata Windira setelah membantu Adisty duduk di kursi belakang dari brio milik Gracia

“Iya, Windira.”

“Gracia, nyetirnya hati-hati ya. Kalo Adisty ngerasa pegel kakinya, bisa berhenti sebentar buat ngelurusin kakinya itu.”

“Siap, jangan khawatir,” jawab Gracia sambil tertawa, “Aman sama gue mah.”

Windira mengangguk, tidak sadar bahwa perhatiannya barusan membuat wanita yang duduk di kursi belakang menjadi sedikit salah tingkah.

Adisty bergegas masuk ke dalam cafe yang menjadi lokasi pertemuan mereka pada malam ini. Suasana cafe ini cukup hangat-dominasi warna cokelat menghiasi bangunan ini

“Sori gue lama,” Adisty duduk setelah memesan makanannya

“Santai, kita juga ga lama kok datengnya. Tuh makanan Maudy sama Gracia belum dateng,” tunjuk Yemima pada dua temannya yang mengangguk

“Bagus nih tempatnya,” kata Adisty, “Lo tau dari...”

Belum sempat Adisty melanjutkan omongannya, matanya tidak sengaja bertemu dengan Windira

Iya, Windira. Wanita yang Senin lalu tidak sengaja bertemu  dengannya. Wanita yang sempat dia rindukan beberapa waktu terakhir ini.

“Kafe ini punya Melvin” Maudy meringis, “Gue uda mau bilang tapi lo udah ga liat hape.”

“Gapapa,” Adisty menyeruput es jeruk nipisnya, perasaannya campur aduk. Matanya memperhatikan meja semi outdoor yang terlihat jelas dari tempat duduknya

“Daritadi nyanyi-nyanyi sih,” kata Gracia, seakan menjawab tanya di mata Adisty

“Mahen sama Dira emang suaranya bagus, Prima, Melvin, Jeremy tu bisa main musik, cuma gada yang bisa main drum,” Maudy menjelaskan

“Pacar lo ga bisa musik ya?” Gracia tertawa

“Iya, sama si Gavin katanya. Berdua kalo karaokean bagian joget heboh pokoknya,” Maudy tertawa, “Disty uda tau pasti.”

“Biasanya dikirimin dia nyanyi sambil gitaran,” Adisty tertawa pelan, sembari menerima makanannya yang baru datang.

“Uda ga kaget ye,” Yemima menambahkan, “Daritadi lagunya galau kalo Dira yang nyanyi.”

Adisty menoleh, apa iya? Bukankah wanita itu sepertinya sudah mengabaikannya?

Masih menikmati carbonara yang dia pesan, Adisty bisa melihat dari ekor matanya bahwa Melvin membisiki sesuatu kepada Windira dan membuatnya maju ke panggung, sepertinya dia akan menyanyi lagi. Melvin dan Prima juga menyiapkan diri dengan alat musiknya.

Adisty menghentikan aktivitasnya, ketiga temannya di meja pun juga memahaminya. Windira mulai bernyanyi

You know me the best You know my worst, see me hurt, but you don't judge That right there is the scariest feeling Opening and closing up again I've been hurt, so I don't trust Now here we are, staring at the ceiling

I've said those words before, but it was a lie And you deserve to hear them a thousand times

Adisty menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang siap jatuh kapan saja

If all it is is eight letters Why is it so hard to say? If all it is is eight letters Why am I in my own way? Why do I pull you close? And then ask you for space If all it is is eight letters Why is it so hard to say?

“Dis?” Yemima mulai khawatir dengan sahabatnya, begitu juga dengan Maudy dan Gracia. Mereka memerhatikan Adisty yang masih menunduk dan meremas kedua tangannya erat

Lagi terus mengalun di belakang, sampai pada bagian terakhir, Adisty menoleh ke arah panggung. Bertemu mata dengan penyanyinya yang juga berkaca-kaca. Kesedihan jelas terpancar dari sana

If all it is is eight letters When I close my eyes It's you there in my mind (it's only you) When I close my eyes If all it is is eight letters When I close my eyes It's you there in my mind (you) When I close my eyes If all it is is eight letters

Adisty berdiri, mengambil tasnya dan sedikit berlari keluar. Di sisi lain, Windira mengakhiri penampilannya dengan menunduk, air matanya menetes perlahan.

Adisty berjalan di trotoar sendirian malam ini. Pikirannya penuh sekali. Tadi pagi, dan beberapa waktu belakangan ketika dia bertemu dengan Windira di gedung kantor mereka, wanita itu selalu memalingkan wajahnya. Seolah tidak mau bertemu sama sekali dengannya. Tapi pagi ini, ketika Adisty sedang membeli kopi di kafe bawah, matanya tidak sengaja menangkap Windira yang memperhatikannya. Sepersekian detik kemudian sepertinya Windira memalingkan mukanya seperti biasa.

Bolehkah Adisty merasa rindu dengan kehadiran wanita itu?

Windira selalu menyenangkan, walaupun dia tidak banyak bicara, tetapi gestur dan obrolannya selalu hangat. Adisty sangat menyukai sifat asertif dari Windira, selalu menunggu orang lain selesai untuk memberikan tanggapan.

Adisty juga rindu malam-malam setelah pulang kerja, mereka akan menentukan makan malam sembari mengobrol mengenai pekerjaan masing-masing. Mengobrol biasa, rasanya tidak pernah dia dapatkan dari Linda.

Oh, jangan lupa dengan Windira yang suka mengirim pesan suara dirinya sedang bernyanyi. Adisty belum sempat menyatakan bahwa dirinya sangat menyukai suara Windira ketika bernyanyi. Rasanya seperti menceritakan sesuatu melalui pilihan lagu yang dia nyanyikan.

“Hh, sakit,” Adisty memegangi tangannya sembari duduk di kursi yang memang disediakan di pinggir trotoar. Tanpa sadar, ternyata dia berjalan ke kawasan tempat makan yang biasanya dia kunjungi bersama Windira. Tempat ini juga menyediakan banyak ruang terbuka dan permainan, sehingga cukup banyak kalangan yang datang ke sini.

Adisty kembali melihat tangannya, entah yang sakit adalah pergelangannya atau hatinya.

“Kangen Windira,” bisik Adisty pada ruang kosong di sekitarnya, “Pengen ketemu.”

Adisty menghela nafas dan mengangkat wajahnya. Matanya mengarah kepada stan-stan di seberangnya dan dirinya menangkap sosok yang familiar. Seseorang sedang bermain mesin capit boneka dan terlihat dirinya berhasil mendapatkan boneka ketiganya.

***

“Menang terus lu, sering nyetok gue,” kata abang penjaga stan minuman dan mesin itu

“Udah ahli gue,” Windira tertawa sembari memasukkan tiga boneka kecil itu ke dalam totebagnya. Senyuman kecil terlihat di bibirnya ketika melihat boneka kucing hitam yang lucu sekali. Windira menyeberang, karena memang parkir motor terletak di seberang.

Namun dirinya sangat terkejut ketika melihat Adisty berdiri, seolah menunggunya di seberang sana.

Seolah hanya Windira yang memang sedang ditunggunya.

“Adis?”

“Hai,” Adisty tersenyum kikuk

“Sendiri?” Windira bertanya sambil berjalan mendekat. Tangannya reflek menggenggam tali totebag yang berisi boneka itu.

“Iya. Lo udah ahli ya main capitan itu?” Adisty sedikit terkekeh

“Iya, gue uda latihan,” jawab Windira pelan, “Gue pulang duluan ya.”

“Windira...” panggil Adisty begitu Windira melewatinya, membuat wanita berambut pirang itu menoleh

“Kenapa?”

Adisty terdiam, lidahnya kelu. Tapi justru Windira terkekeh pelan.

“Gue juga mau ngomong sesuatu,” kata Windira melihat Adisty masih diam, “Gue udah tau siapa itu Maira.”

Adisty terbelalak, bagaimana bisa? Setau dia, hanya ketiga temannya yang mengetahui soal Maira. Dan tidak mungkin Maudy menceritakan kepada Yovanka, karena Maudy pun, hanya bertemu sesaat dengan Maira pada waktu itu.

“Kenapa kaget gitu? Apa karena Maira masih ada di hatimu juga?” bahkan Windira pun terkejut dengan nada bicaranya yang sinis

“Gue...”

“Gapapa, Adis. Gue paham kok,” Windira kembali tersenyum, “Gue tau gue gada kesempatan lagi.”

“Dengerin gue dulu...” Adisty berusaha menahan Windira tetapi terhenti karena handphone Windira berbunyi, Bundanya minta dijemput.

“Gue duluan,” Windira langsung melesat pergi, meninggalkan Adisty yang merasa matanya mulai basah.

Rasanya memang penuh penyesalan bagi Adisty.

Malam ini adalah pertama kalinya setelah sedikit keributan, keempat sahabat itu makan bersama.

Adisty merasa sedikit canggung dengan Maudy. Wajar, karena sejak awal Maudy yang paling keras menolak hubungan Linda dan Adisty setelah putus yang pertama, sekitar 3 tahun yang lalu.

Walaupun demikian, obrolan malam itu masih mengalir seperti biasa.

“Yah jadi lupa cerita soal Linda kaya ngancem gue,” Adisty mengeluh pada dirinya sendiri ketika mencari mobilnya yang terparkir agak jauh. Baru saja dia akan membuka pintu, seseorang menepuk pundaknya.

“Eh, mau apa, Kak?” tanya Adisty sinister setelah menyadari bahwa Linda yang menyapanya

“Aku minta maaf,” kata Linda. Ungkapan yang memuakkan karena Adisty sudah terlalu sering mendengarnya.

“Udah lah kak,” Adisty menghela nafas panjang, “Ada kalanya kita emang pisah. Kamu juga ga selalu sama aku, kan?”

“Tapi aku gabisa, Dis, kalo bukan kamu.”

“Itu cuma di pikiranmu aja, Kak. Bukannya kamu seneng kalo main atau pergi, ga dingangguin aku. Apalagi ketika sakit, emang kamu pernah ada effort buat aku? Kan enggak.”

“Kamu kenapa susah banget dibilangin sih!” Linda kehilangan kesabaran dan mencengkeram pergelangan tangan Adisty, membuat wanita itu kesakitan. Walaupun Adisty sudah merintih kesakitan, Linda sama sekali tidak melonggarkan cengkeramannya, malah semakin menarik Adisty untuk ikut dengannya.

“Lepasin temen gue ato gue laporin polisi!” teriak Maudy yang sudah di belakang Adisty sambil mengacungkan payung ke arah Linda

“Sial,” Linda mengumpat dan melepaskan tangan Adisty. Tanpa melihat ke Adisty lagi, dia langsung pergi meninggalkan Maudy dan Adisty di parkiran.

“Ini harus diobatin nih,” Maudy melihat tangan Adisty, “Gue retiring mobil lo ya. Ntar Yovan ngikutin dari belakang.”

Adisty belum menjawab ketika Maudy sudah meminta Yovanka mengikuti mobil Adisty, begitu juga dengan Maudy yang meminta kunci mobilnya. Satu hal yang selalu Adisty suka dari Maudy; sahabatnya itu sangat cepat tanggap.

Ketujuh sahabat itu sedang menikmati makanan dan minuman di kafe milik Melvin. Dia dan kakaknya patungan untuk usaha sampingan mereka.

“Rame ya, syukur deh gue seneng sama usaha lo ni,” kata Prima sambil menyeruput es kopi pesenannya.

“Iyaa mayan lah buat nongkrong kita-kita, jadi kaya punya Basecamp,” Melvin tertawa, “Doain aja bro sis gue, biar ni lancar-lancar.”

“Eh ada live music juga ya?” Yovanka bertanya sembari melihat panggung kecil di tengah ruang outdoor Cafe ini.

“Yoi, gue minta band lokal sini la 2 kali seminggu. Wajibnya sih Sabtu, minggu ini mereka ambil Rabu soalnya minggu ada job gitu,” Melvin menjelaskan, “Sana nyanyi tuh Mahen sama Dira, kalian kan suka tuh karaokean. Tuh salah satu barista gue bisa main musik.”

“Cakep nih mumpung lagi sepi tuh di dapur,” Jeremy bersemangat, paling suka heboh-heboh pokoknya.

“Dira aja, gue abis batuk,” sahut Mahen, “Sana gih, daripada ngerokok mulu lah.”

“Ya gue bawa rokoknya,” Windira bangkit sambil membawa asbak dan meminta Melvin memanggil baristanya yang bisa bermain musik.

Windira duduk sambil menyesuaikan posisi mic, sembari beberapa kali menyesap rokoknya yang dia letakkan di tempat biasanya penyanyi menaruh gawai atau lirik lagu mereka.

“Emang pesona bad girl yang cuek itu ada di Dira banget dah,” Gavin menggelengkan kepala sambil tertawa, “Padahal hatinya halus banget.”

“Emang covernya tuh cuek banget, pesona cewek kul kata para ciwi yang ngejar dia,” Yovanka ikut tergelak, memandangi Windira yang sepertinya akan mulai bernyanyi.

Jakarta hari ini, tak pernah sama Jika dahulu ku tak pernah membuatnya kecewa Jakarta hari ini, tak pernah ada Jika dahulu ku tak pernah membuatnya menyeka airmata

Dan sebuah pesan menyapa Menjelang hari bahagia Tanpa namaku yang di sana Temanimu selamanya Menyakitkan *Ini terlalu satir Terlampau getir untuk diterima

Prima dan Yovanka saling melihat, mereka benar-benar merasakan patah hati dari sahabatnya itu. Pun dengan keempat lelaki yang terpaku mendengar suara sedikit serak dari sahabat mereka. Baru pertama kali ini mereka melihat Windira patah hati.

Akhirnya ku menyerah Maafkanku yang menyela Jika dahulu ku tak pernah membuatmu bahagia Akhirnya ku mengalah Merelakanmu dengannya Dan rayakanlah hari-hari terindahmu di sana

Windira menutup penampilannya dengan senyum getir. Memandang keenam sahabatnya yang melihatnya dengan prihatin, di tengah deru ramai tepuk tangan dari pengunjung kafe itu.

****

Keluarga berisikan empat orang tersebut menikmati makan malam di luar. Suasana restoran yang tenang ditambah alunan musik akustik dari pemusik di panggung yang tidak terlalu jauh dari mereka, menemani makan malam beberapa orang di tempat ini.

Is it good?” Tiffany bertanya kepada kedua anaknya, “Mama dapet rekomendasi dari temen Mama.”

“Enak kok, Ma,” Woody mengacungkan jempolnya ketika Adisty hanya mengangguk pelan.

“Jadi, ada apa?” Tiffany tidak berbasa-basi untuk bertanya kepada anak pertamanya itu. Apalagi melihat selama seminggu belakangan ini, Adisty terlihat murung.

“Ah,” Adisty meletakkan pisau steaknya setelah menyelesaikan potongan terakhir makanannya, “Soal Windira?”

“Ya mungkin ada yang lain yang ganggu kamu?” Yuri menambahkan sambil tersenyum. Mereka bisa saja bertanya pada Woody karena sepertinya anak bungsu mereka tahu semuanya. Tapi baik Yuri dan Tiffany tentu membiarkan Adisty saja yang bercerita.

“Maaf gabisa lanjut sama Windira,” Adisty menghela nafas panjang, “Salahku juga.”

“Wanita yang pernah datang di hari Minggu itu?” tanya Yuri

Adisty mengangguk, “Bener, Umma. Dia yang selama ini sama aku. Beberapa kali putus nyambung, dan yang terakhir aku yang mutusin karena emang dia gapernah berubah sama sekali.”

“Trus kenapa kamu ga sama Windira, Dis?” Tiffany gantian bertanya

“Karena aku uda lukain hati dia, Ma. Aku bikin kesalahan besar yang mungkin bikin dia gamau maafin aku.”

Bail Yuri dan Tiffany hanya mengangguk. Toh keputusan ada di tangan anaknya.

“Sama siapapun ga masalah bagi kami, yang penting jika kamu ngerasa bikin kesalahan besar, kamu harus minta maaf.”

Adisty mengangguk sebagai respons. Alunan lagu dari pemusik di belakang mulai kembali terdengar. Dari lagunya, Adisty merasa tersindir, karena memang di sini sekarang dia sedang berpikir mengenai kesalahannya sendiri.

And then the cold came, the dark days When fear crept into my mind You gave me all your love and all I gave you was goodbye

So this is me swallowin' my pride Standin' in front of you sayin' I'm sorry for that night And I go back to December all the time It turns out freedom ain't nothin' but missin' you Wishin' I'd realized what I had when you were mine I'd go back to December, turn around and change my own mind I go back to December all the time