Perjalanan menuju tempat camping yang dikirimkan oleh Yovanka cukup jauh. Adisty melihat jam tangannya dan melihat bahwa setidaknya mereka sudah menempuh perjalanan selama tiga jam. Kali ini, Maudy dan Yovanka tidak bisa menemani, rencana awalnya adalah mereka berdua dan ternyata Yovanka memiliki urusan mendadak. Pada akhirnya, Gracia dan Nadia menawarkan diri untuk menemani Adisty menemui Windira di tempat dia camping.
“Ini kayaknya tempatnya,” kata Nadia setelah mereka melihat sebuah gerbang.
“Gausah nervous gitu,” Gracia terkekeh melihat Adisty yang berkali-kali menghela nafas panjang
“Kalo dia ngusir gue gimana?”
“Yaudah berarti game over aja,” timpal Nadia, “Seengaknya lo udah berusaha, Kak.”
Adisty mengangguk pelan, tekadnya sudah kuat. Jika memang ini terakhir kalinya dia bisa bertemu dan berbicara dengan Windira, Adisty akan menganggapnya sebagai sebuah hukuman karena sudah mengabaikan Windira dan cintanya beberapa waktu yang lalu.
****
Windira menekan rokok ketiganya di asbak. Sabtu sore yang sendu ini, pagi tadi sempat hujan, dirinya sedang merenung di sebelah tendanya. Beruntung dirinya mendapatkan tempat yang cukup nyaman untuk berkemah sendirian. Udara dingin mulai menerpa wajahnya, pertanda mungkin malam ini akan hujan.
Dalam kepalanya masih terputar dengan jelas wajah sedih Adisty yang melihatnya bernyanyi, air mata terlihat menggenang di matanya. Tapi bolehkah Windira berharap?
Rasa-rasanya dia tidak ingin lagi berharap, dia takut akan jatuh dan sendirian.
Jatuh cinta itu sakit, jika sendiri.
Windira kembali menghela nafas panjang, tangannya meraih bungkusan rokok di sampingnya. Sesaat sebelum dia menyalakan rokoknya, matanya menatap seseorang sedang berjalan tertatih ke arahnya. Memang dari jalan utama, tempat dirinya mendirikan tenda dekat dengan beberapa bagian yang sedikit naik, dan sepertinya akan licin karena hujan yang mengguyur pagi tadi.
Betapa kagetnya Windira, karena sosok yang berjalan itu adalah Adisty.
Windira dengan cepat turun dari tempat duduknya, membantu Adisty yang sepertinya terkilir untuk berjalan ke tendanya.
“Kakinya dilurusin aja,” kata Windira setelah Adisty duduk di tendanya. Dia barusan membuka dengan lebar tenda agar bisa dimasuki oleh mereka berdua.
“Iya,” Adisty sedikit mengaduh, membuat Windira dengan cepat duduk di sebelahnya.
“Ini tadi kenapa?”
“Kepleset di deket situ,” Adisty menunjuk ke arah jalan masuk yang memang melewati tangga batu, “Licin, kaget tadi.”
“Tangannya lecet juga,” Windira meraih tangan kiri Adisty dan melihat lecet di telapaknya, “Perih ya?”
Adisty mengangguk, karena memang setelah terpeleset tadi dirinya ingin sekali menelepon Gracia untuk menjemputnya, namun niatnya untuk bertemu Windira mengalahkan rasa sakit di kaki dan tangannya. Baru sekarang, rasa sakit itu muncul bersamaan membuat Adisty mau tidak mau terus meringis
“Lo tuh…” Windira menggantung kalimatnya, tidak tega mengomeli wanita di depannya. Dia dengan sigap mengambil kantong P3Knya dan mengambil beberapa kapas dan sebotol alkohol. Setelah mengatakan bahwa ini mungkin perih sekali, Windira mengusap kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol untuk membersihkan luka di tangannya. Adisty sempat ingin menarik tangannya tapi Windira lebih cepat untuk terus memegang pergelangan tangannya.
“Itu kakinya, gue kompres bentar ya,” kata Windira sambil mengambil sebuah kantong yang berisi gel dari tas besarnya. Setelah memencetnya beberapa kali, Windira meminta Adisty untuk menaruhnya di bagian kakinya yang sedikit bengkak.
“Makasih ya,” kata Adisty yang dibalas anggukan oleh Windira.
Keduanya terdiam cukup lama, Adisty membiarkan Windira terus bergerak entah apa yang dia lakukan, dirinya sudah terlalu lelah hanya untuk berjalan ke tempat ini.
“Tadi pagi hujan, makanya agak licin jalannya,” Windira membuyarkan lamunan Adisty dengan mengangsurkan gelas berisi cokelat panas, ternyata daritadi Windira sibuk memasak air dan memasang penyangga pintu tenda.
Adisty mengangguk lagi sebelum menerima gelas dari Windira. Hangat sekali, nyaman rasanya setelah meneguk minuman tersebut.
“Gue mau ngomong sama lo,” kata Adisty sambil memperhatikan gelasnya, “Gue tahu mungkin lo udah ga pengen ketemu gue lagi, tapi seenggaknya lo harus tau apa yang gue rasain. Ga adil rasanya kalo gue cuma tau isi hati lo, sedangkan gue ga pernahg ngungkapinnya.”
“Emangnya masih ada yang…”
“Masih!” Adisty memotong perkataan Windira dengan cepat, “Masih ada dan lo harus denger.”
Windira mempersilakan Adisty untuk berbicara, sedangkan dirinya mengalihkan pandangan dari luar ke dalam, ke arah Adisty.
“Gue juga suka sama lo,” kata Adisty cepat, “Maafin gue.”
Windira terkekeh, mudah sekali rasanya bagi Adisty untuk mengatakan itu, padahal dia sendiri mengorbankan banyak hal untuk menyimpan rasa di hatinya.
“Kok lo ketawa?”
“Ya gampang banget lo ngomong gitu after all this mess?,” jawab Windira pelan, “Ini bukan permainan, Adis.”
“Gue tau gue terlambat banget buat sadar ini semua, tapi gue ga boong. Gue gabisa lagi mendem ini, Windira. Ini yang bikin gue ke sini dan ngomong ini semuanya. Maaf kalo emang butuh waktu bagi gue buat sadar kalo lo udah ada di hati gue.”
“Trus Linda gimana?” tanya Windira, suaranya lirih.
“Bukan urusan gue,” Adisty mendengus, “Gue bener-bener sadar bahwa selama ini gue cuma butuh sosok dia aja, gada perasaan apapun. Gue minta maaf banget atas kesalahan gue waktu itu. Gue salah dengan milih ke rumah dia dan ga ngomong apa-apa ke lo.”
“Gue juga butuh waktu, Adis.”
“Gue paham,” Adisty tersenyum, “Windira, kalo emang gue gada kesempatan buat memperbaiki kesalahan gue kemarin dan lo udah gada perasaan lagi buat gue, gue harap kita mengakhirinya dengan bener. Gue cuma mau ngomong makasih karena udah buat gue ngerasa dicintai sebegitunya, dan gue juga udah bisa nerima perasaan lo walaupun gue sadarnya telat banget.”
Windira tersenyum kecil, “Kasih gue waktu.”
“Selasa depan, gue dinas luar 10 hari ke Hongkong. Gue berharap punya jawaban buat perasaan gue setelah itu. Apapun 8 Letters yang mungkin lo pengen sampein buat gue, gue bakalan terima.”
Windira mengangguk, “Gue ga akan lari kok.”
“Gue bakalan nyari lo kaya gini kalo lo lari,” jawab Adisty, “Gue akan berusaha cari lo sampai ketemu jawabannya.”
“Pasti Yovanka,” Windira terkekeh
“Siapa lagi,” Adisty ikut terkekeh, “Gue balik dulu ya.”
“Bentar, kaki lo masih agak bengkak gitu.”
“Ya trus gimana? Gue kan ga mungkin tidur sini.”
“Lo sama siapa ke sini?”
“Nadia sama Gracia, mereka nunggu di parkiran.”
“Yaudah gue balut dulu kaki lo biar ga makin bengkak,” Windira beranjak dan mengambil perban dan membalut pergelangan kaki Adisty, “Ini nanti kalo uda sampe rumah dilepas aja, pakein kompres dan kalo masih bengkak sampe besok, baiknya ke dokter.”
Adisty harus menggigit bagian dalam bibirnya agar tidak berteriak karena melihat perhatian Windira kali ini. Terlebih wajah Windira sangat dekat dengannya.
“Nah, ini udah, yuk gue anterin ke parkiran. Ntar lo kepleset lagi.”
***
Gracia dan Nadia hampir tersedak bakso yang sedang mereka kunyah ketika melihat Adisty dipapah Windira menuju tempat parkir perkemahan ini.
“Kepleset tadi,” justru Windira yang menjawab pertanyaan tidak bersuara dari pasangan di depannya, “Tangannya lecet juga.”
“Udah diobatin, kok,” Adisty menambahkan, taku jika Nadia heboh karena biasanya dia akan heboh sendiri melihat ini.
“Mau pulang nih?” Gracia beritanya sambil meminum teh hangatnya, “Gue abisin dulu ya baksonya.”
“Santai aja,” kata Adisty. Dirinya mengira Windira akan kembali ke tendanya setelah mengantarnya kepada Gracia dan Nadia. Ternyata wanita itu justru mengambil kursi di samping Adisty dan ikut menunggu Gracia serta Nadia menghabiskan bakso mereka. Pasangan di depannya hanya berbalas ejekan dengan mata mereka, Adisty tahu keduanya sedang mempertanyakan perlakuan Windira padanya.
“Nanti kalo uda nyampe rumah kabari ya?” kata Windira setelah membantu Adisty duduk di kursi belakang dari brio milik Gracia
“Iya, Windira.”
“Gracia, nyetirnya hati-hati ya. Kalo Adisty ngerasa pegel kakinya, bisa berhenti sebentar buat ngelurusin kakinya itu.”
“Siap, jangan khawatir,” jawab Gracia sambil tertawa, “Aman sama gue mah.”
Windira mengangguk, tidak sadar bahwa perhatiannya barusan membuat wanita yang duduk di kursi belakang menjadi sedikit salah tingkah.