Confession
Langit Jakarta sedang mendung hari ini; rasanya seperti menyamai suasana hati Windira.
Windira menghela nafas, entah kenapa beberapa kali dia merasakan nafas yang berat sekali. Matanya terus melihat ke arah jalan, menunggu sosok Adisty datang.
Gimana kalo Adisty datang dengan Linda? Pikiran buruk itu terus menghampiri Windira selama menunggu.
Akhirnya tak lama kemudian, Windira melihat seseorang diantar ojek, Adisty datang.
Wanita yang barusan melepas helm dan memberikannya pada driver itu tersenyum, dan Windira merasa hatinya mencelos. Bolehkah senyuman itu dia nikmati?
Adisty duduk di samping Windira. Keduanya masih terdiam. Taman komplek ini tidak terlalu ramai, di bagian permainan, Adisty bisa melihat beberapa anak kecil bermain ayunan dan pasir. Mereka terlihat senang, namun tidak untuk kedua insan yang sedang duduk berdampingan di kursi taman seperti sekarang ini.
Keheningan itu bertahan sekitar 15 menit, Windira yang memecah keheningannya.
“Kalo gue bilang, lo cinta pertama gue, dan sampai sekarang gue juga masih nyimpen perasaan itu buat lo, lo percaya ga?”
Adisty menoleh ke samping, kaget dengan pernyataan Windira.
“Lo?”
“Iya. Gue,” Windira merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah gelang dan menyerahkannya pada Adisty yang membuka tangannya.
“Ini....” Adisty menelisik gelang dengan ornamen paw itu, cukup lucu walaupun sebenarnya Adisty masih berusaha mengingatnya.
“Gue ga minta lo nginget semuanya. Gue cuma mau confess aja,” Windira menghela nafasnya panjang, “Boleh?”
“Boleh,” Adisty menganguk, tangannya terus menggenggam gelang yang tadi diberikan oleh Windira.
Lampu-lampu taman mulai dinyalakan, pertanda langit sudah mulai menggelap dan malam tiba.
“Gue inget hari ketika lo dibully kakel karena dianggep godain kakel padahal you just being a good student?,” Windira terkekeh sebelum melanjutkannya, “Gue mukul kakel centil itu sampe Mami ke sekolah dan berdebat dengan ortu kakel centil itu. Atau... inget ga waktu lo pulang trus digodain anak SMP sebelah, gue yang ngusir mereka sambil bawa tongkat baseball pinjem guru OR.”
Adisty mengangguk, dia ingat semuanya. Dia ingat sosok kecil, iya, Windira dulu lebih kecil darinya, walaupun sekarang mungkin tinggi mereka hampir sama, tapi dulu Windira bertubuh mungil. Semua memori mengenai waktu dia di SD yang lama kembali datang, membuat Adisty meremas gelang di tangannya.
Ternyata selama ini, Windira menyimpan perasaannya.
“Gue nangis waktu tau lo pindah sekolah. Mami dan Bunda gue bingung. Gatau apa penyebab gue sedih banget. Kak Aya yang akhirnya nemu, karena waktu dia libur kuliah, dia sempet jemput gue dan ngobrol sama temen sebangku gue. Dia tahu gue nyari lo, Dis. Tapi Kak Aya pun gabisa ngapa-ngapain kan? Dia cuma bisa hibur gue.”
Windira menoleh ke atas lagi, bintang-bintang sudah mulai bermunculan, memberikan cahaya di malam yang tidak terlalu ramai ini. Berubah dari mendung yang sempat meliputi langit Jakarta sore tadi.
“Gue bukannya ga berusaha cari tahu, tapi ingatan anak kelas 3 SD susah banget buat dipake nyari. Baru waktu gue kuliah, gue mulai menyerah. Gue pacaran, dua kali. Dua kali itu pun pikiran gue cuma, Adisty sekarang dimana? Seperti apa? Akhirnya gue mutusin mereka karena gue ga sanggup masih mikirin lo dimana, padahal udah punya pacar. Gue uda liat lo dari pertama gue kerja di EpicAds dua tahun lalu, gue ngerasa itu Adisty yang gue cari selama ini. Gue minta Prima cari tahu soal lo yang ternyata di Accross, akuntan dan juga FG kaya gue. Gue nemuin ternyata beneran lo, Katharina Adisty Waskita yang gue cari. Gue berusaha cari cara gimana kita bisa ketemu, malahan cuma sering papasan aja. Pas Nadia nyomblangin gue sama Maudy, dan Maudy sering cerita soal elo, gue semakin yakin bahwa gue pengen deketin lo.”
“Jadi itu yang bikin lo sering nyanyiin Enchanted dan ngulang di bagian please don't be in love with someone else itu?” tanya Adisty, perasaannya campur aduk.
Windira tertawa hambar, “Iya. Gue selalu berdoa dalam hati, biar lo ga suka sama siapapun, ga nungguin siapapun. Walaupun pada akhirnya, gue kalah sama Linda kan? Lo uda bilang sejak awal kalo lo gamon, and here I am yakin bahwa gue bisa bikin lo move on.”
“Why don't you tell me earlier?“
“I'm sorry,” Windira menunduk dan terlihat akan beranjak pergi.
“Windira, dengerin gue dulu,” Adisty menyela, dia benar-benar ingin meluruskan semuanya.
“Gue harus dengerin apa sih, Dis? Gue uda liat lo sepagi itu sama Linda dan lo seharian kemarin ga masuk kantor. Gue tau dia luka, gue ada di perkelahian yang bisa bikin dia masuk penjara.”
Adisty menghela nafas panjang, dia tahu Windira yang sabar, satu bulan sudah cukup bagi Adisty untuk memahami bahwa wanita di depannya itu adalah wanita yang sangat sabar, sudah cukup marah dengan keadaan mereka seperti ini.
“Gue emang ke Kak Linda, hari Kamis dini hari. Dia bilang dia luka parah dan kirim foto yang emang nunjukkin kalo dia luka-luka. Tapi gue ga sendiri, Win. Gue sama Ody. Dia emang maksa gue buat nemenin dia tidur, tapi gue sama Ody tetep ada di ruang tengah dia. Paginya, karena dia tetep bilang kalo sakit, gue bawa ke rumah sakit sama Ody. Gue paksa dia buat diobatin di rumah sakit. Seharian itu gue nungguin dia di rumah sakit, Ody balik lagi habis kelas sore. Malemnya dia pulang, dan sekali lagi dia minta gue nginep apart dia. Gue iyain, tapi sama Ody. Awalnya dia kekeh pengen sama gue aja, tapi gue gamau. Tapi akhirnya gue biarin dia cerita soal kejadian malemnya. Dia cerita kalo lo juga ada di situ dan mukulin dia. Gue berusaha ga percaya karena dia uda sering boongin gue. Sampe paginya, Ody ternyata terpaksa harus balik karena dia ada tugas di laptop yang belum kekirim. Makanya lo liat mobil gue uda ada di rumah kan? Gue salah gue ngeiyain dia juga buat nganter gue pulang. Gue tau lo gamungkin nerima semuanya, gue paham lo marah sama gue. Tapi gue ga boong, Win. Gue beneran cerita sebenernya.”
Windira terlihat seperti menahan tangisnya. Tangannya dia genggam dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
“Kalo bisa gue bunuh, malem itu gue bunuh dia aja,” Windira menggeram, amarahnya terdengar cukup nyata.
“Windira, lo ga gitu,” Adisty memegang kedua tangan Windira, dan melepaskan genggamannya, Adisty takut Windira akan melukai telapak tangannya sendiri.
“Tapi gue kalah, Adis. Gue ini orang yang kalah.”
“Lo ga kalah, Win. Lo bukan orang yang kalah.”
“Tapi apa? Lo juga akhirnya bakalan terus sama bayang-bayang Linda kan? Apa lo mau minta tolong gue buat bantuin lo lepas? I've tried and you still go back to her!“
Adisty terdiam. Windira benar, dia bukan orang tidak punya hati yang harus tahan mendapati fakta bahwa Adisty tetap peduli dengan mantannya. Kesalahan fatal Adisty ada pada menuruti permintaan mantannya, terlepas dari adanya Woody pada waktu itu.
“Gue minta maaf, Windira,” suara Adisty bergetar, “Gue minta maaf.”
Windira terdiam. Perasaannya kalut. Bohong jika misalnya dia tidak ingin bertahan. Adisty sudah di depannya, orang yang dia cari selama ini ada di depannya. Tapi hatinya terlalu sakit untuk sekedar menerima kenyataan kemarin.
“Gue juga minta maaf,” Windira berdiri, “Gue rasa emang saat ini, bukan waktunya kita buat barengan. Gue takut ekspektasi gue yang bakalan bunuh gue dari dalam.”
Adisty mengangguk pelan, dia tidak bisa memaksa Windira bertahan dengan luka menganga sebesar itu.
“Makasih ya, Win.”
“Untuk?”
“For loving me, it feels great. I'm sorry.“
Windira tersenyum, dia menepuk kepala Adisty lembut.
“Sama-sama.”
Windira berjalan gontai ke arah motornya, bahunya tidak setegap biasanya. Begitu Windira menghilang dari pandangannya, Adisty mulai menangis pelan. Dadanya sakit, dan dia tahu ini semua karena kesalahannya sendiri.