Tentang Maira
Sebagai anak yang pernah “disembunyikan dari publik,” Mahendra selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitasnya, termasuk ketika merespons tindakan orang lain.
Termasuk ketika menghadapi Linda.
Itulah alasan kenapa ketika Maira tiba-tiba “jatuh,” dan memutuskan untuk menutup diri, Mahendra tidak segera mencari Linda ataupun Adisty, pada saat itu.
Karena Mahendra tahu, semua ada waktunya sendiri.
Seperti malam ini, sepulang kerja Windira dan Adisty mampir ke rumahnya, menemui Maira.
“Beneran gapapa nih kita tinggal mereka?” Windira berusaha melongok ke dalam. Mahendra memberikan ide bahwa Maira dan Adisty berbicara di dalam, sedangkan dirinya dan Windira menunggu di luar. Ibu Mahendra tadi sempat menemani mereka ngobrol sebelum pamit ke dalam karena akan beristirahat.
“Percaya aja sih,” Mahendra tertawa sambil menyalakan rokoknya, “Lagian di dalem lo gabisa ngerokok.”
“Iya juga,” Windira mengambil rokoknya yang disandarkan pada asbak sebelumnya
“Lo percaya aja dah sama pacar lo. Gue liatnya dia uda gada rasa sama Maira. Cuman ya, biar closure aja.”
Windira menghembuskan asap rokok dari mulutnya, “Gue percaya sih, dan tanpa gue maksa pun pasti Adis cerita. Kadang gue khawatir aja sama Adis yang nyimpen sedihnya sendiri karena takut bikin gue ikut kepikiran.”
“Kalo itu sih lo harus tanya.”
Windira mengangguk, setuju dengan Mahendra. Dirinya berharap agar Adisty dan Maira tidak terlalu lama, karena dirinya ingin segera memeluk kasihnya sampai tidur malam ini.
***
“Udah setahun lebih ya,” Maira menyesap teh hangat yang dibuatkan ibunya tadi
“Lama juga,” Adisty membalas dengan senyuman khasnya, yang Maira selalu sebut sangat manis sampai semut pun bingung.
Tapi itu dulu, Adisty sudah tidak lagi merasa membutuhkan pujian itu dari Maira.
“Gimana kabarnya? Gue denger dari Mahendra kalo Linda masih ngekorin elo ya?”
“Iya,” Adisty mengangguk, “Sama seperti saat lo tiba-tiba ilang. Windira orangnya ngotot dan dia...” Adisty tersenyum jika harus mengingat mengenai Windira dan rasa cinta gadis itu padanya, “Dia uda nunggu gue lama.”
“Cinta pertama bakalan selalu diusahain,” Maira terkekeh, “Mahendra cerita dikit. Gue seneng lo bisa lepas dari Linda, dan lebih seneng lagi kalo yang lo dapetin adalah Windira.”
“Gue minta maaf kalo kesannya ga usahain elo sebelumnya,” Maira melanjutkan, “Ada banyak hal yang bikin gue berhenti.”
“Contohnya?”
“Nyokap,” Maira kembali meminum tehnya, “Nyokap gue bilang kalo ada yang salah di diri gue, dan bukan nyari lo solusinya. Gue waktu itu masih ngeyel dengan bilang kalo lo bahkan bisa ngatasin Linda, kenapa ke gue enggak? Trus nyokap bilang kalo apa yang lo pilih buat Linda itu salah, dan nyokap gamau buat gue jadi tanggung jawab lo. Itu yang bikin gue akhirnya ke psikolog dan dirujuk ke psikiater juga.”
“Gue juga ada di posisi salah, Maira,” kata Adisty, “Gue sempet berada di posisi bahwa gue bisa ngubah Linda. Tapi nyatanya itu justru jadi lingkaran setan buat gue. Ketika ada lo, gue pikir gue bisa lepas dari lingkaran itu, ternyata gue balik lagi. Dan Windira yang bawa gue keluar dari situ.”
“Dan Windira bertahan sama lo walaupun Linda dateng.”
“Sempet mau pergi,” Adisty sedikit terkekeh mengingat waktu ketika Windira memberi jarak antara mereka, “Tapi gue berusaha buat pegang dia.”
“Lo ga gitu ke gue,” kata Maira cepat, “Beda ya.”
“Karena Windira ga cut-off gue,” Adisty memandang lurus ke mata Maira, “Windira ga menutup akses gue ke dia dan gue bisa tunjukkin ke dia bahwa gue juga mau sama dia. Tapi kalo lo...”
Aditya menghela nafas panjang sebelum melanjutkannya, “Lo nutup semua akses. Jangan lo pikir gue ga cari lo, Maira. Gue cari ke tempat kerja lo, gue cari temen-temen lo. Tapi hasilnya sama. Kalo misal Mahendra ga cerita ke Windira, gue juga ga akan tau cara buat nemuin lo.”
“Gue pikir dengan nutup akses, gue bisa nyelesein masalah ini dan balik ke lo, Dis.”
“Pada saat itu kita gada upaya buat mikir bareng, Maira. Kita mikir semuanya sendirian, tanpa ketemu solusi barengnya. It's all in the past, dan gue harap kita uda ketemu solusi masing-masing.”
Maira tersenyum, ternyata benar kata Mahendra, Adisty sudah tidak lagi memiliki perasaan sedikitpun padanya. Sudah ada Windira, gadis lain yang mengisi hati Adisty.
“Semoga yang sedang berjalan sekarang, adalah solusi yang kita harapkan ketemu tahun lalu, Adisty.”
“Gue juga berharap hal yang sama. Semoga lo bisa nemu bahagia lo setelah ini, Maira.”