wqwqwq12

“Sini, Dir!” Prima mengangkat tangannya ketika melihat Windira masuk ke kawasan kantin. Gedung kantor bersama ini memiliki setidaknya tiga tempat makan, dua kantin yang terletak di atas dan bawah, serta satu cafe di lobi gedung.

Windira berjalan ke arah meja tempat Prima berada, sedikit terkejut ketika melihat Maudy dan teman-temannya sudah di sana. Selain Prima dan Yovanka, Windira hanya melihat Melvin di situ.

“Jeremy sama Gavin uda duluan tadi, Mahendra gamau gue ajak,” kata Melvin seolah paham apa yang ingin ditanyakan oleh Windira.

“Yang lain mana?” tanya Windira, ditujukan kepada Maudy, “Oh, temen-temen gue? Grace lagi keluar sama Nadia, Yemima juga sama pacarnya tadi kayaknya ngafe di bawah. Kalo Disty,” Maudy melirik ke arah Windira yang masih diam, “Gue gatau sih soalnya ga respons di grup anaknya.”

“Oh,” Windira mengangguk, “Biasanya gitu?”

Maudy menelan siomaynya, “Sering sih, kalo lagi numpuk tuh. Dia mending nunda makan siangnya daripada kepotong kerjaannya.”

Windira kembali mengangguk

“Udah nih wawancara cewek gue?” tegur Yovanka sambil memutar matanya, membuat semua orang di meja termasuk Windira tertawa.

“Gasuka nih yee perhatiannya diambil,” goda Melvin

“Uuu maunya diperhatiin terus,” Prima ikut menggoda sahabatnya itu. Yovanka hanya bisa melotot karena Maudy menepuk tangannya, menandakan untuk segera meneruskan makan siangnya.

Mereka berlima saling bergurau sambil makan, walaupun Windira masih memikirkan Adisty yang tak kunjung membalas chatnya.

Windira menahan nafasnya ketika Adisty masuk bersama kedua orang tuanya. Jika Bundanya tidak menyentil lengannya, mungkin Windira masih melongo di tempat duduknya.

Adisty memakai baju santai, kemeja dan celana jeans, hampir sama dengan Windira yang menggunakan baju senada. Makan malam dan obrolan kedua keluarga cukup santai, terlebih memang keempatnya saling mengenal, meninggalkan kecanggungan bagi Windira dan Adisty. Windira mengecek jam tangannya, sepertinya jika tidak sekarang mengajak Adisty berbicara, waktu akan semakin malam.

“Bunda, Mami, Tante, saya izin ngajak Adis ngobrol di luar ya?” Windira berdiri sambil membawa gelas lemon tea-nya

“Oh iya, bagus. Sana-sana ngobrol,” Tiffany memberikan eye-smilenya, begitu juga dengan Yuri di sampingnya.

“Jangan ngerokok,” Windira mendengar Maminya berbisik pelan, mengingatkan kebiasaan buruk anak bungsunya itu.

Adisty duduk di kursi tinggi. Balkon yang mereka tuju menyediakan kursi tinggi yang berhadapan dengan meja yang menempel di balkonnya, sehingga mereka duduk bersebelahan.

Sejujurnya Adisty masih heran, kenapa wanita di depannya itu memanggilnya dengan “Adis,” karena seingat dia, hanya orang-orang di sekitar keluarganya yang memanggil Adis, karena biasanya dia lebih dikenal dengan Disty.

Begitu juga dengan segala gestur yang dilakukan oleh Windira. Menurut Adisty, dia sangat hati-hati jika berhadapan dengannya. Mungkin memang benar kata Maudy, Windira ini sangat gentle

“Lucu sebenarnya kalo ngomongin hubungan kita,” Adisty membuka suaranya, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti keduanya.

“Kita sebenarnya saling tahu, tapi ga sempet ketemu atau saling kenalan,” lanjut Adisty, “Gue Katharina Adisty Waskita, biasa dipanggil Adisty, Disty, atau Adis.”

Windira menyambut uluran tangan Adisty, “Windira Handoyo, bisa dipanggil Dira atau...” Windira menggantung kalimatnya, “Windi.”

Adisty mengangguk, mengingatkan dirinya pada kebingungan karena wanita di depannya memanggil nama yang jarang digunakan.

“Lo kenapa manggil gue Adis? Seinget gue jarang banget yang ngenali gue pake Adis.”

“Oh,” Windira sedikit terkejut, “Kalo lo ga nyaman gapapa kok, gue bisa panggil nama sesuai yang lo nyaman.”

“Eh gapapa,” Adisty mengibaskan tangannya, “Gue cuma kaget aja soalnya uda jarang banget yang manggil gue gitu kecuali kedua orang tua gue. Soalnya itu kan jaman gue SD dan gue pengen banget ngelupainnya, gue kan rada dibully waktu itu.”

“Oh...” Windira terdengar sedikit kecewa, “Gue taunya soalnya dari SD.”

“Maaf ya, gue kayaknya beneran pengen lupain dan rada susah buat ngingetnya.”

“Santai aja,” Windira tersenyum, “Kalo gue boleh tahu, lo ada sesuatu yang dipengen ga ketika ngeiyain buat kenalan sama gue?”

Adisty mengetuk gelasnya, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, “Gue kalo boleh jujur, gue pengen lupain mantan gue. Gamon ceritanya,” Adisty terkekeh pelan, “Cuma gue mau bilang kalo lo ini bukan pelampiasan, gue cuma mau semuanya berjalan natural aja.”

“Sepertinya kita sama,” Windira kembali tersenyum, “Mungkin gue ga naruh harapan yang tinggi ke dalam proses ini, tapi anggep aja gue lagi PDKT ke lo.”

Adisty mengangguk, sebuah tawaran yang menguntungkan.

“Besok gue jemput ya ke kantornya?” tanya Windira

“Eh, gapapa?”

“Gapapa orang sejalan. Lo suka naik motor apa mobil?”

“Motor boleh, kayaknya lebih cepet.”

Windira mengacungkan jempolnya senang, “Oke, sampai jumpa besok ya.”

Windira menahan nafasnya ketika Adisty masuk bersama kedua orang tuanya. Jika Bundanya tidak menyentil lengannya, mungkin Windira masih melongo di tempat duduknya.

Adisty memakai baju santai, kemeja dan celana jeans, hampir sama dengan Windira yang menggunakan baju senada. Makan malam dan obrolan kedua keluarga cukup santai, terlebih memang keempatnya saling mengenal, meninggalkan kecanggungan bagi Windira dan Adisty. Windira mengecek jam tangannya, sepertinya jika tidak sekarang mengajak Adisty berbicara, waktu akan semakin malam.

“Bunda, Mami, Tante, saya izin ngajak Adis ngobrol di luar ya?” Windira berdiri sambil membawa gelas lemon tea-nya

“Oh iya, bagus. Sana-sana ngobrol,” Tiffany memberikan eye-smilenya, begitu juga dengan Yuri di sampingnya.

“Jangan ngerokok,” Windira mendengar Maminya berbisik pelan, mengingatkan kebiasaan buruk anak bungsunya itu.

Adisty duduk di kursi tinggi. Balkon yang mereka tuju menyediakan kursi tinggi yang berhadapan dengan meja yang menempel di balkonnya, sehingga mereka duduk bersebelahan.

Sejujurnya Adisty masih heran, kenapa wanita di depannya itu memanggilnya dengan “Adis,” karena seingat dia, hanya orang-orang di sekitar keluarganya yang memanggil Adis, karena biasanya dia lebih dikenal dengan Disty.

Begitu juga dengan segala gestur yang dilakukan oleh Windira. Menurut Adisty, dia sangat hati-hati jika berhadapan dengannya. Mungkin memang benar kata Maudy, Windira ini sangat gentle

“Lucu sebenarnya kalo ngomongin hubungan kita,” Adisty membuka suaranya, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti keduanya.

“Kita sebenarnya saling tahu, tapi ga sempet ketemu atau saling kenalan,” lanjut Adisty, “Gue Katharina Adisty Waskita, biasa dipanggil Adisty, Disty, atau Adis.”

Windira menyambut uluran tangan Adisty, “Windira Handoyo, bisa dipanggil Dira atau...” Windira menggantung kalimatnya, “Windi.”

Adisty mengangguk, mengingatkan dirinya pada kebingungan karena wanita di depannya memanggil nama yang jarang digunakan.

“Lo kenapa manggil gue Adis? Seinget gue jarang banget yang ngenali gue pake Adis.”

“Oh,” Windira sedikit terkejut, “Kalo lo ga nyaman gapapa kok, gue bisa panggil nama sesuai yang lo nyaman.”

“Eh gapapa,” Adisty mengibaskan tangannya, “Gue cuma kaget aja soalnya uda jarang banget yang manggil gue gitu kecuali kedua orang tua gue. Soalnya itu kan jaman gue SD dan gue pengen banget ngelupainnya, gue kan rada dibully waktu itu.”

“Oh...” Windira terdengar sedikit kecewa, “Gue taunya soalnya dari SD.”

“Maaf ya, gue kayaknya beneran pengen lupain dan rada susah buat ngingetnya.”

“Santai aja,” Windira tersenyum, “Kalo gue boleh tahu, lo ada sesuatu yang dipengen ga ketika ngeiyain buat kenalan sama gue?”

Adisty mengetuk gelasnya, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, “Gue kalo boleh jujur, gue pengen lupain mantan gue. Gamon ceritanya,” Adisty terkekeh pelan, “Cuma gue mau bilang kalo lo ini bukan pelampiasan, gue cuma mau semuanya berjalan natural aja.”

“Sepertinya kita sama,” Windira kembali tersenyum, “Mungkin gue ga naruh harapan yang tinggi ke dalam proses ini, tapi anggep aja gue lagi PDKT ke lo.”

Adisty mengangguk, sebuah tawaran yang menguntungkan.

“Besok gue jemput ya ke kantornya?” tanya Windira

“Eh, gapapa?”

“Gapapa orang sejalan. Lo suka naik motor apa mobil?”

“Motor boleh, kayaknya lebih cepet.”

Windira mengacungkan jempolnya senang, “Oke, sampai jumpa besok ya.”

“Hoahemmm,” Windira mengucek matanya setelah melepas sarung tangan motor yang dia pakai. Jam menunjukkan pukul 10.00 malam, ketika dia baru masuk ke rumahnya.

“Malem banget, Dek?” suara yang familiar mengagetkannya, Maminya sedang melihat television sambil membaca sesuatu di tabletnya.

“Eh, Mami. Iya lembur tadi di kantor. Besok boleh agak siang nyampenya, soalnya uda selesai desainnya.”

“Oh gitu, yauda sana mandi dulu. Mami di sini kok,” kata Jessica pelan, Windira tahu itu adalah kode dari Maminya untuk mengajaknya bicara.

Terlebih ini adalah momen langka karena Windira jarang bertemu Maminya yang bekerja sebagai jaksa umum di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bundanya yang seorang insinyur sipil.

Windira mandi dengan cepat, sebelum menghampiri Maminya yang masih membaca sesuatu di tablet yang digenggamnya.

“Mami lagi kerja?” tanya Windira pelan sambil duduk di samping Jessica

“Baca-baca aja,” Jessica menunjukkan tabletnya dan menunjuk televisi, berita mengenai korupsi dari seorang dewan sedang disiarkan, “Mami lagi nanganin kasus yang mengarah ke sini.”

Windira mengangguk pelan, Maminya memang sesibuk itu.

“Sini, rebahan di sini,” Jessica menaruh tabletnya dan menyuruh Dira merebahkan kepala di pahanya, sebuah gestur yang disukai Dira karena dengan itu dia merasa sangat disayangi oleh Maminya.

“Rambut kamu terang banget ya, Dek,” komentar Jessica ketika menyisir poni anak bungsunya itu.

“Hehe. Ndda bukanya juga mau cat rambut? Ga dibolehin sama Mami?”

“Yaiya,” Jessica mendengus kesal, “Masa bilangnya mau warna ijo? Ya Mami omelin to, Dek. Nddamu kadang-kadang lupa kalo uda setua apa. Anak-anaknya uda gede semua, bungsunya aja uda segede ini.”

Windira terkekeh pelan, selalu menyenangkan mendengarkan cerita Mami terkait Bundanya, dan sebaliknya. Keduanya memang memiliki cara mencintai yang berbeda-beda.

“Kemarin itu Mami sama Bunda ketemu temen lama kita,” Jessica membuka pembicaraan terkait akhir pekan kemarin, “Kamu inget Adisty?”

“Inget, Mi.”

“Makin cantik lo dia. Trus kamu berempat semacem punya rencana buat ngenalin kalian. Walaupun bukan langsung jodohin ya. Mami setuju, karena Mami tahu kamu lagi gada pacar. Cuma ya, Adisty anaknya baik.”

“Adek tau kok, Mi.”

“Eh?”

“Adisty kerja di kantor yang segedung sama Adek.”

“Loh?” Jessica terkejut, apakah sebenarnya anaknya sudah saling mengenal dengan Adisty

“Tapi kayaknya adek pun lupa-lupa inget, Mi. Kalo emang itu Adisty temen adek dulu, bakalan lebih mudah buat Adek kenalan.”

Jessica baru akan menanggapi ketika suara pintu terbuka mengalihkan perhatian mereka; istrinya pulang.

“Weh masih bangun aja,” Tere tertawa melihat Windira yang sedang rebahan di paha Maminya, “Enak banget cil, gantian sini Ndda yang rebahan.”

“Males banget, Ndda belom mandi. Bau.”

“Yee,” Tere melangkah dan memencet hidung mancung anak bungsunya itu, membuat Windira berteriak karena kesakitan.

“Sayang, uda jangan digodain anaknya,” Jessica ikut tertawa karena hidung Dira yang memerah, “Mandi sana.”

“Iyaa,” Tere mengacak rambut Windira sebelum melangkah ke kamar mandi

“DUH, Bunda ni bikin berantakan rambut Adek,” Windira merengut sambil bangkit dari tidurnya

“Usil banget Ndda kamu, Dek,” Jessica membantu merapikan poni Dira yang berantakan, “Besok kita ngobrol lagi, tidur ya, Sayang.”

“Iya Mami, good night.”

Good night, Sayang,” Jessica membalas pelukan singkat anak bungsunya.

“Yuri!” Tere memanggil teman lamanya itu. Di belakangnya ada istri dan kedua anaknya yang juga membalas senyuman lebar dari Tere.

“Ma brooo,” Yuri hanya tertawa menyambut tos dari Theresia Handoyo, temannya sedari masa sekolah dulu.

“Padahal sekantor tapi lagaknya kaya gapernah ketemu aja,” Tiffany, istri dari Yuri hanya menggelengkan kepalanya, ikut tertawa bersama Jessica.

“Gimana kabar, Tiff?” Jessica menyambut uluran tangan temannya itu. Lucu memang jika diingat bahwa mereka semua satu sekolah dari SD-SMA, lalu Tiffany adalah mantan Tere ketika kuliah, sedangkan Yuri merupakan mantan Jessica ketika mereka masih SMA.

“Baikk, gimana bu jaksa?”

“Baik juga sis, eh ini Adis sama Ody ya??” Jessica menunjuk dua orang yang sedari tadi diam.

“Eh iya, kalian mungkin agak lupa,” Tiffany menggeser badannya agar Adis dan Ody bisa maju ke depan, “Ini dua anak-anakku.”

“Adis masih cantik banget, Tante inget lho dulu kamu sering digodain anak-anak SD sama SMP komplek trus Windira belagak jagoan ngusirin mereka,” kata Jessica

“Tante bisa aja,” Adisty tertawa karena teringat masa lalu, “Windira gaikut Tante?”

“Kemping dia,” jawab Tere yang sudah mengunyah snack bersama Yuri, “Hobinya tuh naik gunung kaya gitu.”

“Beda banget sama kamu, Tere, mageran,” Yuri tertawa

Adisty mengangguk pelan, teringat pada seseorang yang dia tahu hobi naik gunung.

“Ini yang ku bawa anak pertamaku sama keluarganya,” Jessica mengenalkan Yesaya dan Sonia, sembari menyebutkan bahwa Yesaya adalah kakak Windira.

Sebentar? Nama Windira serasa tidak asing bagi Adisty.

Namun sampai berakhirnya pertemuan sore itu, Adisty masih belum mengingat siapa Windira yang dibicarakan oleh dua keluarga tersebut.

****

“Beneran yakin mau ngenalin adek ke Adisty? Kan mereka sebenernya uda pernah kenal,” tanya Tere sembari menyetir mobil pulang

“Sebenernya bukan ngenalin aja sih, lebih ke njodohin. Cuma ya masa kita jodoh-jodohin tanpa ngasi tahu adek? Jadi yaa cuma buat ngenalin aja, kan siapa tahu jodoh,” jawab Jessica

“Iya sih, lagian tadi Adisty juga ga keliatan nolak. Nanti kita ketemuan lagi aja biar makin akrab.”

“Iya, Sayang. Semoga adek ga nolak ya, ribet tuh anak kadang.”

“Nurun kamu kan,” Tere terkekeh pelan

“Tapi wajahnya mirip pol sama kamu,” Jessica mencubit pelan pipi Tere.

“Gapapa kan adil, kakak wajahnya mirip kamu tapi kelakuannya mirip aku.”

“Pagi, Windira,” sapa lelaki paruh baya yang masuk lift bersama beberapa orang. Dira memang lebih suka mengendarai motornya untuk ke kantor, sehingga parkirnya berada di basement 2, sedangkan parkiran mobil di lantai atasnya lagi.

“Pagi juga, Pak Juni,” Dira tersenyum kecil, lelaki itu bergeser mendekat ke posisinya karena beberapa orang mulai bergabung ke lift tersebut.

“Kamu bukannya lembur semalam, kirain masuk siang?” tanya lelaki yang dipanggil Pak Juni barusan

“Kepikiran, Pak. Soalnya belum kelar kemarin, kalo bisa selese siang ini sih lebih baik,” Dira menjawab dengan senyuman khasnya. Keduanya kembali mengobrol kecil sampai tiba di lantai 5, tujuan Dira dan beberapa orang. Pak Juni merupakan Direktur SDM, kantornya berada di lantai 6 sehingga Windira pamit untuk keluar lift dahulu.

“Oh, sorry,” seseorang ditabrak oleh pegawai lain ketika keluar dari lift sehingga limbung ke arah kanan. Beruntung Dira secara cepat meraih lengan wanita itu.

“Maaf, Mbak,” lelaki yang menabraknya menunduk meminta maaf sebelum berjalan lebih cepat ke arah lift.

“Kamu gapapa?” Dira bertanya, walaupun jantungnya seperti melompat-lompat.

Wanita di depannya adalah Adisty, wanita yang sering dia bicarakan dengan kedua sahabatnya.

“Gapapa, makasi ya,” Adisty tersenyum sopan. Walaupun Dira sempat dekat dengan Maudy, tetapi Adisty belum pernah bertemu dengan Dira secara langsung, sehingga keduanya tidak seakrab yang mungkin dibayangkan orang lain.

“Anytime,” balas Dira sambil melambaikan tangannya, berpisah di lorong yang membedakan kantor Adisty dan dirinya.

Suara tangisan bayi membuat Keira terjaga. Beberapa waktu terakhir memang Arash sering terbangun jam 3 pagi seperti sekarang.

Keira menggeser tangan Winza yang melingkari pinggangnya. Arash menangis walaupun tidak histeris, Keira tahu anaknya itu lapar.

“Lapar ya, Sayang?” Keira menyusui anaknya sembari duduk di pinggiran kasur. Rasanya nikmat sepertinya jika kembali rebahan, namun Arash sangat mudah rewel jika sedang menyusu. Dia sangat suka digendong sambil duduk seperti ini.

“Oh,” Keira sedikit terkejut. Pasalnya tiba-tiba istrinya duduk dan membuat Keira bersandar ke punggungnya, “Kamu kebangun, Sayangku?”

“He'em” jawab Winza setengah sadar, “Pegel ya, Sayang? Kamu beberapa kali ngeluh soal pinggang kamu.”

“Iya, agak kaku gitu.”

“Kamu keren, Sayang,” kata Winza lagi, “Kayaknya aku bener-bener bangga bisa dapetin kamu dan hatimu. I love you.”

“I love you even more,*” balas Keira, tidak bisa lagi menahan senyumnya.

****

Sama seperti kemarin, Arash terbangun sekitar jam 3 dan menangis pelan. Winza langsung bergegas bangun, melirik Keira di pelukannya yang terlihat masih tidur. Winza mengecup sejenak kening wanita yang dicintainya itu sebelum melompat turun dan menggendong Arash dari baby box

“Jagoanku laper banget ya? Kita minum susu dari kulkas ya, biar Mami istirahat,” Winza membawa Arash keluar kamar.

Tanpa dia sadari, Keira pun ikut terjaga. Keira mendengar suara roda menjauhi kamar, sepertinya Winza meletakkan Arash di baby box yang biasanya mereka letakkan di ruang tengah. Langkah yang bagus karena Keira masih ingat Winza kadang meletakkan Arash di meja makan.

Tidak lama kemudian Winza kembali masuk sembari menggendong Arash dan membawa botol susu untuk bayinya itu. Sambil menimang-nimang Arash, dia memberikan susu untuknya. Arash tidak lagi menangis, justru terlihat tertawa sehingga membuat Winza berkali-kali mengangkay botolnya agar Arash tidak tersedak.

Winza memang membelakangi Keira, yang sebenarnya terjaga daritadi, tapi Keira bisa melihat semua pergerakan Winza dan Arash.

“Kamu ni minumnya banyak banget. Jangan nyedot punya Mami kamu kenceng-kemceng,” kata Winza pelan, “Kenapa alisnya kaya ga terima gitu? Tau lo aku, kan sebelum ada kamu, aku yang nyus...”

Belum selesai Winza berbicara, Keira sudah terlebih dahulu memukul bahu Winza

“Ngomong apa sih kamu sama anakmu,” Keira menyipitkan matanya

“Eh, eh jangan keliatan kamu banguun, nanti ni anak minta digendong kamu ga tidur, Sayang,” Winza mengibaskan tangannya, membuat Keira mau tidka mau tertawa sambil kembali berbaring.

Lucu banget sih ini istriku batin Keira

“Siapa yang paling gantengg?? Siapa yang paling lucuuu?” Winza menggosokkan wajahnya ke perut Arash dan membuat bayi itu tertawa terbahak-bahak.

Pemandangan ini yang selalu Keira dapati selama dua minggu belakangan. Winza mendapatkan cuti satu bulan, sedangkan dia tiga bulan. Kehadiran Winza sangat membantu Keira, apalagi ketika dia harus ke kamar mandi atau sekedar beristirahat. Istrinya itu bisa bergantian menjaga Arash.

Semua berjalan normal sebelum tiba-tiba Winza berteriak panik sendiri

“Sayangg, ini Arash pup ini gimanaaa?”

“Diganti pampersnya, Sayang. Sama dibersihin. Kan kemarin kita uda belajar bareng,” teriak Keira dari toilet, sedang menunaikan rutinitas pagi hari.

“Arash kalo sama aku selalu nendang-nendang. Excited sendiri diaa,” keluh Winza sembari mengambil pampers baru dari rak ketika Keira mulai membersihkan Arash.

“Kamu sih kebiasaan,” Keira sedikit tergelak, “Kalo sama Bubu maunya main ya, Sayang?”

“Iya,” jawab Winza

“Aku nanya ke Sayang yang ini?” Keira menunjuk Arash yang sibuk menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ih aku kan tetep Sayangmu jugaa,” Winza berpura-pura merajuk, membuat Arash juga ikut mengeluarkan suara untuk menarik perhatian Maminya.

“Hadeh kalo dua bayi merajuk bareng gini ya pusing.”

****

Winza menaruh handuknya di keranjang cucian, mengingat dengan detail perintah Keira. Daripada istrinya itu marah berkepanjangan hanya karena handuk basah, begitu batin Winza.

“Lho, Mama uda di sini aja,” tegur Winza melihat Tara sudah menggendong Arash. Bayinya itu terlihat mengantuk, mungkin baru saja minum susu.

“Iya, tadi OP selesai jam 2 pagi. Tidur bentar abis gitu chat Keira, ntar ada OP lagi jam 1 siang,” jawab Tara sambil membiarkan telunjuknya dimainkan oleh Arash.

“Arash emang suka mainin jari gitu ya, kalo Winza lagi pegang juga suka digituin,” kata Keira sambil menata meja makan

“Dulu kecilnya Winza gini juga. Tapi super manja ke Bundanya,” kata Tara sambil terkekeh, “Bahkan sampai umur 4 tahun kalo tidurnya ga sama Bunda, nangis.”

“Ih masak sih,” Winza mendelik, tidak merasa mengingat momen itu.

“Ya kan kamu masi kecil,” Tara kembali tergelak, “Sebelum kamu jadi mandiri banget.”

Winza menangkap kesedihan di suara Mamanya. Winza tahu, hubungannya dengan kedua orang tuanya dahulu memang tidak sedekat sekarang. Syukurlah ada Keira dan Arash yang semakin mendekatkan keluarga.

“Gapapa, yang penting kan sekarang Winza punya Mama sama Bunda yang hebat.”

Karina menatap akun Instagramnya. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya, dia berpikir akan mengunggah foto tulisan tangannya di antara foto-fotonya.

“You did good” Winter mencium pipi kasihnya itu. Ning dengan cepat memeluknya. Memberikan dukungan kepada leader sekaligus kakak tertuanya itu.

Suara pintu terbuka mengagetkan mereka. Giselle datang dengan Manager Unnie. Senyum tetap berada di wajah Giselle, menutupi guratan lelah yang ada di tubuhnya.

“Gue baru liat,” Giselle memeluk Karina, “Lo luar biasa. Gue bangga.”

“Makasih.”

“Lo pantes buat tetep jadi leader kami,” kata Giselle setelah mereka selesai berpelukan, “Apapun yang terjadi, lo adalah leader aespa yang luar biasa.”

“Dan pacarnya Minjeong,” sela Winter

“Gue gedig ga pala lo.”

“Mau kemana?” bisik Karina ketika Winter menggeser tubuhnya. Karina meremas erat kaos Winter di bagian kerahnya, mengingat daritadi dia dipeluk Winter sampai sempat tertidur

“Aku mau ganti baju,” Winter mengarahkan matanya ke bawah, dia masih memakai celana jeans, “Kaos aku basah, Sayang.”

Karina menggigit bibirnya, memang dia menangis sesenggukan tadi, membuat kaos yang digunakan Winter tentunya basah karena air matanya

“Aku mau cek Ning juga,” lanjut Winter

“Nanti baliknya ke sini kan?” tanya Karina ragu

Winter tersenyum, “Iya, Sayang.”

Kecupan kecil dia berikan ke kening kasihnya itu, Winter tahu bahwa Karina sangat menyukainya. Namun begitu Winter beranjak, Karina justru menariknya dan meminta ciuman di bibir. Walaupun sempat terkejut, Winter memberikan apa yang Karina minta. Ciuman itu penuh demand, seakan Winter akan pergi darinya. Karina meremas rambut Winter, menandakan tidak ingin melepaskan pagutan bibir keduanya.

“Aku sayang kamu,” kata Winter sambil terengah. Ciuman barusan harus diakhiri karena keduanya membutuhkan oksigen untuk paru-paru mereka.

Winter sesegera mungkin mengambil baju tidurnya, menggantinya dan mampir ke kamar Ning. Maknae grup itu terjaga ketika Winter mengetuk pintunya pelan. Setelah mengobrol beberapa saat, justru Ning yang mengusirnya untuk segera kembali ke kamar Karina.

“Pasti dia nyariin, Kak. Lo tau sendiri,” kata gadis Harbin itu.

Dugaan Ning benar, karena begitu Winter masuk ke kamar Karina, gadis itu sudah terduduk di kasur, seakan menunggu kedatangan Winter. Bahkan Winter harus mencegah Karina agar tidak melompat ke arahnya, biar dia yang berjalan ke kasur.

“Aku lama ya?” Winter menarik Karina ke dalam pelukannya.

“Iya,” bisik Karina, wajahnya sudah dia benamkan ke pelukan Winter

“Tidur ya, Sayang. Udah malem juga. Maaf ya nungguin.”

Keheningan menyelimuti keduanya. Ketika Winter mengira kasihnya sudah tertidur, tiba-tiba Karina melontarkan pertanyaan.

“Kamu sama kakak-kakak Twice, ngapain?”

Winter terkekeh pelan

“Makan aja kok, bareng-bareng.”

“Ooh.”

“Aku bilang selanjutnya bakalan ngajak kamu.”

Karina mengeratkan pelukannya, “Mereka tahu ga... kalo kamu pacarku?”

“Tentu,” Winter mengecup puncak kepala Karina, “Tentu.”

****

“Abis sarapan, Karina sama Ning ikut saya ya. Karina diminta ke kantor pusat, Ning ke kantor Pak Kim yang di satunya,” kata Manager Unnie sembari menyantap sarapan bersama tiga member aespa.

“Karina sama gue aja, Kak. Daripada lo muter-muter,” kata Winter, “Gue uda dikasi tau Kak Taeyeon soal ini. Kemarin dia di kantor sama Bu Han.”

“Tapi kamu nanti bakalan ketemu Pak Jeong, bakalan jadi sulit kalo dia nganggep kamu dateng dan memperumit masalah.”

“Ada Bu Han sama Pak Kim. Gue uda konfirm ke Bu Han juga, sempet ngobrol tadi.”

“Yauda kalo gitu. Lo naik Audi aja ya,” Manager Unnie mengangsurkan kunci mobil, “Gue naik Van sama Ning. Lo hati-hati sama perkataan dan perilaku lo di depan orang-orang. Ga semua bisa nerima kalo lo pacaran sama Karina. Inget, aespa lagi di puncak.”

“Iya, Kak. Tenang. Percaya sama gue.”

****

Perjalanan menuju kantor pusat agensi mereka cukup hening. Awalnya, Karina ingin bersandar pada Winter seperti biasanya mereka menikmati perjalanan. Namun Winter menolak. Alasannya karena mereka sedang di kursi depan. Kemungkinan akan difoto paparazzi lebih banyak.

“Bayangkan gimana headline berita setelah itu? Karina aespa yang dikonfirmasi pacaran, tertangkap mesra dengan orang lain?” tolak Winter tegas

“Ya setidaknya mereka punya foto berdua, bukan foto pisah-pisah yang seakan sedang bersama,” Karina menghembuskan nafasnya, sedikit bad mood dengan perlakuan Winter. Terakhir kali Winter menolak “disentuh” Karina ketika di bandara. Winter membisikkan sesuatu ketika Karina menyandarkan kepalanya di bahu Winter. Menurut Winter, terlalu banyak kamera yang melihat mereka. Maksud Winter baik, dia tidak ingin kelepasan mengecup kening Karina atau mencuri cium dari bibir Karina. Walaupun demikian, Winter harus berurusan dengan Karina yang ngambek beberapa waktu kemudian.

Winter melirik ke arah kursi penumpang. Kasihnya itu sedang mengembungkan pipi dan mengerucutkan bibir. Ingin rasanya Winter memutar balik mobil dan mendorong wanitanya itu ke tembok, menciumnya sampai dia tidak marah lagi.

Tapi tidak sekarang, tentunya.

Ketika berhenti di lampu merah, Winter meraih tangan Karina dan mengelusnya pelan.

“Katanya takut ada paparazzi?” tegur Karina ketus, tapi tidak menarik tangannya.

“Kan ini di bawah,” Winter masih tetap melihat ke depan, “Kecuali kalo dispatch ngefotonya dari atas pake drone, baru keliatan. Tapi mereka gapunya itu kan?”

Karina menahan senyumnya. Ah, Winter memang terlihat dingin dan cuek, tapi aslinya dia sangat hangat. Semua gesturnya selalu memberikan keyakinan untuk Karina sendiri.

“Kita mesranya, kecil-kecilan dulu ya?” kata Winter sebelum menarik tangannya untuk menurunkan rem tangan. Lampu sudah berwarna hijau, pertanda mereka harus kembali melaju.

ps: beneran fiksi kan? di rl winter belum bisa nyetir hehe