“Eh, Adisty?” Tere menghentikan aktivitas berkebunnya ketika melihat sosok yang familiar masuk melalui gerbang rumahnya
“Halo, Tante,” Adisty tersenyum manis kepada dua orang di depannya. Benar kata Windira, Tere dan Jessica sangat suka berkebun.
“Nyari Adek ya?” Jessica melepas sarung tangannya dan menyambut Adisty dengan pelukan hangat, “Anaknya kemarin demam, kayaknya ini uda mendingan.”
“Iya Tante, makanya ini Adis mau jenguk,” Adisty mengangkat kantong kertas yang dia bawa, “Sekalian ada titipan dari Mama buat Tante semuanya.”
“Waduh kok jadi ngerepotin,” Jessica terkekeh, “Pas banget ini mau makan siang. Kamu makan siang di sin iya?”
“Boleh jika tidak merepotkan.”
“Tentu saja enggak,” sahut Tere, “Aku bangunin Adek dulu ya.”
“Eh, eh enggak. Aku aja, sama Adisty,” Jessica menarik tangan Adisty untuk mengikutinya sampai ke dalam, membuat Tere hanya bisa tertawa.
“Memangnya kenapa, Tante?” tanya Adisty ketika mereka berjalan menyusuri tangga untuk ke lantai 2, ke arah kamar Windira
“Istri saya tu kalo bangunin Adek suka aneh-aneh. Terakhir tu jempol kakinya dicubit kenceng banget. Pernah juga disiram sama dia. Apa ga marah tu bocah,” Jessica menggelengkan kepalanya
“Lebih efektif sih, Tante,” Adisty tertawa
“Iya abis gitu anaknya tantrum,” Jessica membuka kamar Windira. Ini pertama kali Adisty masuk ke kamar Windira. Seperangkat komputer terletak di seberang kasurnya, seperti bayangan Adisty sebelumnya. Windira tidak pernah membawa laptop, di tasnya hanya ada tablet, Adisty menduga baik di kantor maupun di rumah, dia memiliki komputer yang lengkap. Tidak jauh dari meja komputer, ada gitar yang diletakkan secara tegak, mengingatkan Adisty pada malam-malam ketika Windira menyanyikan lagu untukknya.
“Sayang, bangun,” Jessica menepuk pipi anak bungsunya itu. Yang ditepuk hanya menggumam dan mengatakan bahwa dirinya masih mengantuk. Jessica kembali membisikkan bahwa sudah menjelang makan siang. Windira bergerak malas, bangkit dari tidurnya namun tidak segera turun dari kasur. Malahan, dia memeluk Jessica dan kembali menggumam masih mengantuk.
“Dasar anak ini, kebiasaan,” kata Jessica sambil tertawa, “Itu lho ada Adisty.”
Windira terkesiap, kaget karena ada orang lain selain Maminya di kamarnya
“Mamiii, kenapa ga bilang ih. Malu,” Windira menutup wajahnya dengan bantal, membuat Jessica semakin terbahak
“Yasuda, Mami sama Adisty nunggu di bawah ya. Cepetan, udah ditungguin Nddamu juga.”
****
Makan siang bersama keluarga Windira cukup menyenangkan, mirip dengan yang Adisty rasakan ketika di rumah. Bayangan mengenai Linda yang mungkin tidak pernah merasakan ini tiba-tiba lewat di pikirannya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya.
Windira tahu, ada sesuatu yang ada di pikiran Adisty yang mungkin dia tidak bisa ungkapan. Mungkin itu juga alasan yang mendorong wanita itu datang ke rumahnya.
“Adek mau bawa Zero jalan-jalan sore ya, Mi, Ndda?” kata Windira setelah dia rasa obrolan di meja makan sudah cukup lama, “Sama Adisty.”
“Oh ya bagus bagus,” Tere tersenyum, “Bentar Ndda ambilin kantong buat pupnya Zero. Mayan buat campuran pupuk infonya bagus.”
Windira mengajak Adisty berjalan-jalan sampai ke arah taman yang terletak di komplek perumahannya. Di taman tersebut banyak orang yang membawa hewan peliharaannya juga untuk jalan-jalan, terlebih, pengelola taman menyediakan tempat khusus untuk melepaskan hewan peliharaan, yang dikelilingi dengan pagar yang cukup aman untuk hewan-hewan tersebut.
“Sering ke sini ya?” tanya Adisty ketika Windira mengajaknya duduk di kursi panjang dekat tempat dia melepaskan Zero yang sibuk berlarian bersama teman barunya di dalam sana.
“Lumayan. Nyenengin tempatnya, ga panas.”
Adisty mengangguk, beberapa kali memandangi tangannya.
“Lo ada yang mau diomongin ke gue?” tanya Windira, ”Something happened, last night?”
“Eh, enggak kok,” Adisty menggeleng dengan cepat, “Kemarin sama Maudy dan Yovanka, seru kok. Mungkin lain kali kita bisa ke sana.”
“Iya, enak-enak makanan dan minumannya?”
“Lumayan, mungkin lo bakal suka.”
Windira tersenyum dan membiarkan Adisty bercerita lagi, sembari menjawab pertanyaannya soal taman dan anjing yang ada di sana. Walaupun Windira tidak mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, rasanya tidak masalah asalkan Adisty tidak lagi terlihat murung.