wqwqwq12

Windira dan teman-temannya menghabiskan malam di bar langganan mereka karena malam ini semua ditraktir oleh Melvin.

“Moga-moga sampingan lo lancar terus lah, Vin,” Gavin menuangkan draft beer ke gelas besarnya, “Demen gue.”

“Iya doain aja la,” Melvin tertawa sambil mengangkat gelasnya, “Toast toast la.”

Beberapa dari mereka bergeser ke meja billiard, beberapa masih mengobrol. Suasana ramai cukup enak dinikmati sampai tiba-tiba seseorang berteriak kepada Mahen.

“Lo ngapain di sini, Bangsat?”

“Suka-suka gue,” Mahen terlihat cuek dan terus menyodok bola.

“Kalo orang ngajak ngomong, dengerin!” wanita itu menarik kerah Mahen, membuatnya menoleh kepada lawan bicaranya itu.

“Ada apa sih?” Windira ikut berdiri dan mendekat, namun betapa terkejutnya dia ketika melihat wanita yang mencengkeram kerah Mahen. Itu Linda, wanita yang diceritakan oleh Adisty.

“Eh, ternyata lo temenan sama si cupu yang ga bermobil ini?” Linda berjalan sempoyongan ke arah Windira, jelas Linda sedang mabuk.

“Apasi anjir?” Jeremy merasa mulai tidak nyaman. Sebagai teman dekat Windira dadi SMA, perlakuan Linda ini udah keterlaluan

“Lo gausah ikut campur,” Linda menunjuk wajah Jeremy dengan telunjuknya, “Lo dengerin. Akhir pekan kemaren Adisty uda resmi jadi pacar gue lagi. Tanyain aja dia,” Linda menunjuk Yovanka yang masih terkejut, “Jadi lo ngapain masih deketin, bego ya lo?”

Linda masih akan meneruskan pembicaraan ketika Mahen dari samping sudah memukul wajahnya. Pertengkaran tidak biaa dihindarkan walaupun dengan cepat pemilil Bar menghentikannya setelah menelepon polisi.

Malam itu, 15 orang dibawa ke kantor polisi terdekat karena dianggap sudah berbuat onar di tempat umum.

Sebenarnya Adisty tidak tidur, hanya saja dia sedang menelepon Windira malam ini. Wanita di seberang telepon sana mengatakan ingin mendengar suara Adisty sebelum dia tidur.

“Kenapa lo kok ketawa gitu?” tanya Windira di seberang

“Gapapa ini sambil balesin chat anak-anak. Bahas lucu-lucu soalnya.”

“Oala kirain kesambet.”

“IH! Jangan nakutin.”

“Maaf bercandaaa,” Windira tertawa, “Berarti susah dong ngajakin elo kamping? Lo takut gitu sama hantu.”

“Yaa asalkan ditemenin terus. Gue suka parno tau liat gelap-gelap di hutan.”

“Gampang itu mah.”

“Berarti ni gue diajak kamping nih sama elo?”

“Kalo lo ga keberatan, ayok ajah.”

“Dijebak nih gue,” Adisty mendengus pelan

“Hahaha, bercanda loh. Tapi kalo lo mau, gue mah beneran ayok aja. Btw tumben lo belum ngantuk? Biasanya jam segini uda tidur?”

“Iyanih, apa sugar rush, ya? Kebanyakan puding karamel.”

“Abis tiga sih ya,” Windira tergelak, “Mau gue nyanyiin ga?”

“Boleh banget tuh.”

“Bentar ya,” suara hape diletakkan terdengar, sepertinya Windira bergeser untuk mengambil gitarnya. Setelah beberapa saat, suara Windira kembali terdengar di hape Adisty.

“Suara gue kedengaran ga?”

“Denger kok,” jawab Adisty, yang diteruskan dengan petikan intro gitar. Disusul suara Windira yang cukup merdu

There I was again tonight Forcing laughter, faking smiles Same old tired, lonely place Walls of insincerity, shifting eyes and vacancy Vanished when I saw your face All I can say is, it was enchanting to meet you

Adisty mendengarkan alunan lagu itu dalam senyumnya. Suara Windira memang merdu sekali, Adisty harus memujinya nanti.

This night is sparkling, don't you let it go I'm wonderstruck, blushing all the way home I'll spend forever wondering if you knew This night is flawless, don't you let it go I'm wonderstruck, dancing around all alone I'll spend forever wondering if you knew I was enchanted to meet you

Please don't be in love with someone else Please don't have somebody waiting on you

Windira mengulang bagian terakhir dari lagu itu sebanyak tiga kali, berharap Adisty mengerti maksudnya.

“Suara lo bagus banget,” kata Adisty, suaranya sudah serak khas orang mengantuk

“Sampe bikin lo ngantuk?” Windira terkekeh, “Met tidur, Adisty.”

“Met tidur juga, Windira. Semoga mimpi indah.”

Adisty menutup teleponnya, meninggalkan Windira yang masih menatap layar yang sudah menghitam itu

“Please dream of me, Adisty.

“Eh, Adisty?” Tere menghentikan aktivitas berkebunnya ketika melihat sosok yang familiar masuk melalui gerbang rumahnya

“Halo, Tante,” Adisty tersenyum manis kepada dua orang di depannya. Benar kata Windira, Tere dan Jessica sangat suka berkebun.

“Nyari Adek ya?” Jessica melepas sarung tangannya dan menyambut Adisty dengan pelukan hangat, “Anaknya kemarin demam, kayaknya ini uda mendingan.”

“Iya Tante, makanya ini Adis mau jenguk,” Adisty mengangkat kantong kertas yang dia bawa, “Sekalian ada titipan dari Mama buat Tante semuanya.”

“Waduh kok jadi ngerepotin,” Jessica terkekeh, “Pas banget ini mau makan siang. Kamu makan siang di sin iya?”

“Boleh jika tidak merepotkan.”

“Tentu saja enggak,” sahut Tere, “Aku bangunin Adek dulu ya.”

“Eh, eh enggak. Aku aja, sama Adisty,” Jessica menarik tangan Adisty untuk mengikutinya sampai ke dalam, membuat Tere hanya bisa tertawa.

“Memangnya kenapa, Tante?” tanya Adisty ketika mereka berjalan menyusuri tangga untuk ke lantai 2, ke arah kamar Windira

“Istri saya tu kalo bangunin Adek suka aneh-aneh. Terakhir tu jempol kakinya dicubit kenceng banget. Pernah juga disiram sama dia. Apa ga marah tu bocah,” Jessica menggelengkan kepalanya

“Lebih efektif sih, Tante,” Adisty tertawa

“Iya abis gitu anaknya tantrum,” Jessica membuka kamar Windira. Ini pertama kali Adisty masuk ke kamar Windira. Seperangkat komputer terletak di seberang kasurnya, seperti bayangan Adisty sebelumnya. Windira tidak pernah membawa laptop, di tasnya hanya ada tablet, Adisty menduga baik di kantor maupun di rumah, dia memiliki komputer yang lengkap. Tidak jauh dari meja komputer, ada gitar yang diletakkan secara tegak, mengingatkan Adisty pada malam-malam ketika Windira menyanyikan lagu untukknya.

“Sayang, bangun,” Jessica menepuk pipi anak bungsunya itu. Yang ditepuk hanya menggumam dan mengatakan bahwa dirinya masih mengantuk. Jessica kembali membisikkan bahwa sudah menjelang makan siang. Windira bergerak malas, bangkit dari tidurnya namun tidak segera turun dari kasur. Malahan, dia memeluk Jessica dan kembali menggumam masih mengantuk.

“Dasar anak ini, kebiasaan,” kata Jessica sambil tertawa, “Itu lho ada Adisty.”

Windira terkesiap, kaget karena ada orang lain selain Maminya di kamarnya

“Mamiii, kenapa ga bilang ih. Malu,” Windira menutup wajahnya dengan bantal, membuat Jessica semakin terbahak

“Yasuda, Mami sama Adisty nunggu di bawah ya. Cepetan, udah ditungguin Nddamu juga.”

****

Makan siang bersama keluarga Windira cukup menyenangkan, mirip dengan yang Adisty rasakan ketika di rumah. Bayangan mengenai Linda yang mungkin tidak pernah merasakan ini tiba-tiba lewat di pikirannya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya.

Windira tahu, ada sesuatu yang ada di pikiran Adisty yang mungkin dia tidak bisa ungkapan. Mungkin itu juga alasan yang mendorong wanita itu datang ke rumahnya.

“Adek mau bawa Zero jalan-jalan sore ya, Mi, Ndda?” kata Windira setelah dia rasa obrolan di meja makan sudah cukup lama, “Sama Adisty.”

“Oh ya bagus bagus,” Tere tersenyum, “Bentar Ndda ambilin kantong buat pupnya Zero. Mayan buat campuran pupuk infonya bagus.”

Windira mengajak Adisty berjalan-jalan sampai ke arah taman yang terletak di komplek perumahannya. Di taman tersebut banyak orang yang membawa hewan peliharaannya juga untuk jalan-jalan, terlebih, pengelola taman menyediakan tempat khusus untuk melepaskan hewan peliharaan, yang dikelilingi dengan pagar yang cukup aman untuk hewan-hewan tersebut.

“Sering ke sini ya?” tanya Adisty ketika Windira mengajaknya duduk di kursi panjang dekat tempat dia melepaskan Zero yang sibuk berlarian bersama teman barunya di dalam sana.

“Lumayan. Nyenengin tempatnya, ga panas.”

Adisty mengangguk, beberapa kali memandangi tangannya.

“Lo ada yang mau diomongin ke gue?” tanya Windira, ”Something happened, last night?”

“Eh, enggak kok,” Adisty menggeleng dengan cepat, “Kemarin sama Maudy dan Yovanka, seru kok. Mungkin lain kali kita bisa ke sana.”

“Iya, enak-enak makanan dan minumannya?”

“Lumayan, mungkin lo bakal suka.”

Windira tersenyum dan membiarkan Adisty bercerita lagi, sembari menjawab pertanyaannya soal taman dan anjing yang ada di sana. Walaupun Windira tidak mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, rasanya tidak masalah asalkan Adisty tidak lagi terlihat murung.

Adisty melihat Windira sedang merokok di luar. Sepertinya sedang asyik mengobrol dengan ketujuh temannya. Begitu mata mereka bertemu, Adisty reflek tersenyum.

Entah

Rasanya selalu ingin tersenyum jika melihat sosok yang sebulan belakangan ini hampir selalu bersamanya.

Windira balas tersenyum, senyumnya bahkan mencapai matanya.

“Senyum-senyum mulu,” Yemima menyenggol lengan Adisty yang sedang mengunyah ayam gepreknya.

“Windira cakep ya,” kata Adisty, terlihat seperti melamun, tanpa menyadari ucapannya

“Bagus lah,” Yemima terkekeh, “Lo emang udah waktunya ngelepasin Kak Linda.”

“Tapi gue masih bisa kan, berteman sama dia?”

“Ya itu balik lagi ke elo, Dis. Lo bisa ga, nganggepnya cuma temen aja, ga lebih.”

“Gue usahain.”

****

Malam tiba, Windira mengajak Adisty makan di tempat makan bertemakan Jepang langganan dia dan teman-temannya. Bukan restoran mewah, hanya restoran sederhana namun masakannya cukup enak.

“Enak nih ramennya,” Adisty mengacungkan kedua jempolnya, “Apalagi hujan-hujan gini ya.”

“Untung kita nyampenya pas hujannya dateng,” Windira menanggapi, “Ni di sini langganan gue sama temen-temen gue.”

“Selera lo sama temen-temen lo gapernah salah sih.”

Windira kembali tersenyum, ah Adisty ketika tersenyum memang secantik itu.

“Mau dessert?” Windira menawarkan kepada Adisty yang barusan mengelap mulutnya dengan tisu, “Puding karamel mereka enak lho.”

“Boleh, kayaknya menarik.”

“Jadi, mau cerita?” Windira bertanya dengan pelan, “Soal kemarin.”

Adisty tersenyum, dia tahu cepat atau lambat, siapapun yang dekat dengannya pasti akan tahu siapa itu Linda.

“Mantan gue,” Adisty memulai ceritanya, “Kakak kelas waktu kuliah, dua tingkat di atas gue. Tapi faktanya, dia tahu gue sejak gue pindah SD. Gue pernah nyaris kecelakaan, keserempet motor gitu, dan ternyata dia nyelametin gue. Eh ketemu lagi waktu kuliah.”

Windira mengangguk pelan, berusaha mencatat dalam pikirannya mana yang penting.

“Gue sama dia kenal ketika sama-sama di bawah? Dia ada masalah keluarga, ibunya meninggal, ayahnya anggota dewan yang ternyata punya istri kedua. Dia selalu bingung sama arah hidupnya. Tapi gue selalu ngertiin, karena gue juga dingertiin sama dia.”

Windira memainkan sendoknya, Adisty tahu wanita di depannya tengah ragu

“Bukan berarti gue mau balikan sama dia ya,” Adisty menekankan, dia paham jika Windira mungkin berpikir ken arah sana.

“Ah,” Windira sedikit tersentak, “Tapi gue masih ada kesempatan kan?”

“Win...” Adisty memegang punggung tangan Windira, “Kita sepakat buat jalanin dulu kan?”

Windira tersenyum kecil, tentu dia tidak ingin menyerah begitu saja.

Windira sudah menunggu waktu ini, waktu ketika dia bisa menemui cinta masa kecilnya.

“Maaf ya,” kata Windira setelah membalas chat Jeremy

“Ih lo uda minta maaf berapa kalo coba? Sekali lagi gue ngambek nih,” Adisty melipat tangannya di depan dada, “Lagian yang bikin hujan kan bukan elo.”

“Kalo gue bisa, pengendali air dong.”

“Avatar kali,” Adisty terkekeh mendengar gurauan dari Windira. Keduanya sedang berteduh pada kanopi sebuah toko yang sudah tutup. Ada kursi yang dibangun dari bata dan disemen, sehingga mereka bisa duduk sambil menunggu hujan.

Windira mengedarkan pandangan, tidak jauh dari mereka ada warkop, sepertinya menarik jika mereka menjual sesuatu yang hangat untuk menemani keduanya menunggu hujan agak reda ini.

“Lo pengen sesuatu yang anget-anget ga?” Windira menawari, “Tuh ada warkop”

“Lo kesananya gimanaa coba?” Adisty membulatkan matanya, tidak setuju

“Ini melipir nih kan bisaa,” Windira menunjuk pinggiran bangunan yang terpasang kanopi.

“Yaudaa, gue mau milo anget deh. Sama gorengan kali ya,” kata Adisty sambil merogoh tasnya untuk mengambil dompet, baru saja dia menemukan dompetnya, Windira sudab berlari menyusuri pinggiran bangunan sampai ke warkop.

“Lucu banget sih, Windira,” kata Adisty pada dirinya.

Tidak perlu waktu lama, Windira sudab berjalan kembali. Bedanya sekarang dia tidak sendiri, salah satu pegawai warkop menemaninya sambil membawa piring yang ditutupi kertas, sepertinya gorengan, sambil memayungi mereka berdua. Di sisi lain, Windira membawa dua gelas kaca di kedua tangannya.

“Makasi ya, Bang!” kata Windira setelah piring diletakkan di tempat duduk mereka.

“Nanti kalo ga deres balikin ya, Neng. Kalo masih deres gapapa ditinggal aja,” pesan abangnya sebelum kembali ke warkop.

“Wih gorengannya masih anget,” kata Adisty setelah membuka tutupannya.

“Iya nih, pisang gorengnya baru aja diangkat,” Windira menyeruput susu jahe yang dia pesan.

Keduanya mengobrol sembari mengunyah gorengan yang dibeli tadi, sesekali mengomentari orang yang sedang lewat. Adisty merasa cukup senang, terlebih memang Windira bukan tipe yang sulit mencari topik obrolan. Keduanya masih asyik berbicara ketika ada mobil yang berhenti di dekat mereka. Awalnya Windira mengira itu Jeremy, ternyata bukan mobil Jeremy. Pengemudinya menurunkan jendela di kursi penumpang dan Windira tidak merasa mengenalnya, namun berbeda dengan Adisty.

“Disty, ngapain di situ? Yuk pulang, hujan nih,” kata pengemudi mobil tersebut.

“Aku lagi sama temenku,” Adisty melirik pada Windira yang sedang bingung.

“Ngapain? Kan bawa motor, nanti sakit loh,” pengemudi itu masih memaksa

“Enggak,” Adisty menggelengkan kepala, “Kak Linda pulang aja duluan.”

Wanita yang dipanggil Linda itu hanya mengendikkan bahunya dan menjalankan mobilnya dengan cepat.

Adisty hanya diam, dan Windira merasakan bahwa wanita di sampingnya tidak mau membahas kejadian barusan.

Windira berharap Jeremy segera datang membawa jas hujan yang dia minta tadi.

Adisty memerhatikan gawainya sambil menghela nafas, sudah satu jam dan Windira tidak membalas pesannya.

“Kenapa mukanya ditekuk gitu, Adis?” tanya Yuri yang sedang memainkan gawainya sambil menonton pertandingan tinju di Minggu pagi ini.

“Gapapa, Umma,” Adisty membalasnya dengan senyuman kecil, “Umma kok di rumah? Tadi Mama bukannya keluar ya? kirain sama Umma.”

“Enggaak, Mamamu uda nemu komunitas poundfit tuh, uda cocok kayaknya.”

“Lah Umma? Biasanya uda nemu aja, itu Tante Tere emang gasuka tenis kaya Umma?”

“Tere mah mager, beda sama anaknya,” Yuri tergelak, “Eh kamu kemarin bukannya main sama anaknya? Gimana?”

“Seneng sih, Umma.”

“Oke deh berarti bisa nih aku sama Tere jadi besan.”

“Ih, Ummaaa belum kali masih tahap perkenalan juga.”

“Windira anaknya baik lo kayaknya.”

“Iya kok, aku juga ngerasa demikian.”

Obrolan keduanya terhenti karena suara bel berbunyi. Sepertinya tidak ada yang menunggu tamu. Woody dari aeah dapur membuka pintu, dan mempersilakan tamu itu masuk.

Adisty sangat terkejut, karena yang ada di depannya adalah Linda, wanita yang beberapa tahun terakhir hampir selalu di sekitarnya. Wanita yang dibenci oleh sahabatnya, tapi dia sering mengabaikan itu.

Linda membawakan kue, Adisty tahu itu. Woody mungkin juga sudah hafal. Biasanya bolu, brownies atau chiffon cake, favorit Adisty. Kali ini Linda membawa brownies. Adisty dengan cepat menerimanya dan membawa ke dapur, setelah bertanya mau minum apa kepada tamunya.

“Yang biasa aja,” jawab Linda sambil cengengesan

“Aku gatau biasanya apa. Tergantung pengennya Kakak juga kan?” balas Adisty sambil terkekeh. Linda meminta teh, begitu juga dengan Yuri.

Linda Kurniawan, wanita yang berusia dua tahun lebih tua dari Adisty merupakan kakak tingkatnya saat kuliah. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Adisty, mungkin setinggi Windira. Namun badannya cukup berisi, wanita itu memiliki hobi kickboxing untuk mengisi waktu luangnya.

Ada banyak hal yang tidak disukai sebenarnya dari Linda, namun Adisty selalu memaafkan, karena menurut Adisty, Linda adalah wanita yang sangat mengerti dirinya.

Windira akhirnya menjemput Adisty menggunakan mobil; toh memang ada dua mobil yang dipakai bergantian oleh dua orang tuanya.

“Pagi, Tante,” Windira menyapa Tiffany yang barusan membuka pintu karena Windira memencet bel.

“Eh anak cantik udah dateng, masuk Win,” Tiffany membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Windira masuk

“Eh, ini ada teh dari Bunda sama Mami. Tante Tiffany masih seneng ngeteh kan? Gitu kata Mami tadi,” Windira mengangsurkan kantong kertas yang memang dia bawa daritadi.

“Haduhh, kok ngerepotin,” Tiffany menepuk pundak Windira, yang ditepuk hanya bisa meringis, “Nanti tante bales ya, awas gaboleh nolak.”

“Iya tantee, aman deh.”

“Lho udah dateng?” Adisty berjalan dari lantai dua sembari menenteng tasnya, sedikit terkejut karena ternyata Windira sudah ada di rumahnya.

“Iya ini ngasihin oleh-oleh dulu,” Tiffany menunjukkan kantong kertas yang diberikan sebelumnya.

“Wah, makasi Windira,” Adisty tersenyum, “Yuk kita berangkat, pasti macet nanti di jalan.”

“Yuk,” Windira mengangguk dan pamit kepada Mama dari Adisty, sebelum ikut menyusul Adisty yang sudah berjalan di depannya.

****

“Ini mobilnya emang dipake harian yah? Keliatan terawat gitu,” tanya Adisty ketika Windira sudah melajukan mobilnya

“Sopir keluarga gue makenya emang gantian,” jawab Windira, “Biar sama-sama kepake semuanya.”

“Oh, kedua ortu lo dianter sopir yang sama?”

Windira terkekeh, Adisty yang sangat suka bertanya selalu menjadi hal yang menyenangkan baginya. Karena dia tidak perlu lagi mencari topik ketika sedang berdua.

“Iyaa, jadi Bunda gue pernah kecelakaan mobil gitu. Ga parah sih tapi mobilnya sampe kebalik dua kali.”

“Kebalik dua kali kok ga parah sih, Win?” Adisty mengerutkan dahi dan mengembungkan pipi, jujur Windira ingin berhenti dan mencubit pipi gemas itu.

“Dengerin duluu,” Windira sedikit tergelak sebelum berhenti di lampu merah, “Jadi Bundaku tu lembur sampai malam trus nyetir pulang posisi ngantuk sama capek banget. Nah sebelum perumahan gue tu kan ada jalan turunan gitu kan, Bunda gue entah kenapa tetep tancep gas jadinya tu mobil melayang dong, nabrak pohon bagian pinggirnya trus berguling dua kali sampe posisi tegak lagi. Bunda gue ga masalah, dia masih di tempat duduknya pake seatbelt, cuma kaca di kursi penumpang bener-bener rusak. Semenjak itu, Mami gue ga ngebolehin lagi Bunda nyetir sendiri, kemana-mana harus sama sopir ato ga gue, kakak atau kakak ipar gue yang nyetirin.”

“Astaga serem banget sih. Kalo disopirin selain keluarga, boleh?”

“Boleh kok, sama temennya kadang kalo keluar gitu. Cuma Bunda pernah boongin Mami sekali, ketauan gitu kan, dimarahin bener dah. Sejak itu ga berani lagi hehe.”

“Bener itu, buat keselamatan Bundamu juga.”

“Jadi anak rumahan beliau juga sekarang,” kata Windira sambil melajukan mobilnya

“Beda sama lo ya?”

“Haha beda banget emang, gue lebih suka main emang. Ini nanti kita kemana dulu?”

“Ke mall aja, nyari beberapa hal. Lo bilang mau cari buku juga?”

“Iya soal desain. Ntar aja gampang kalo waktunya makan kita makan dulu.”

“Okee, bebas gue mah.”

Windira menggeser kursi plastik untuk Adisty duduki dan satu lagi untuk menaruh minuman mereka. Adisty menunggu sekitar 15 menit sebelum akhirnya Windira muncul dengan raut bersalahnya tadi; ada sedikit diskusi terkait desain yang dia buat. Malam ini, Adisty mengatakan ingin makan sate taichan, sehingga Windira mengarahkan ke Senayan, dimana banyak pilihan sate taichan yang bisa dipilih.

Sejatinya Windira tidak terlalu suka taichan, maksudnya, bukankah yang namanya sate itu harusnya bergelimang bumbu? Tapi karena Gavin dan Prima sangat suka hidangan ini, serta Yovanka dan Melvin pecinta pedas, mereka cukup sering makan malam bersama di sini. Makanya Windira tahu mana tempat yang parkirnya lebih mudah, tentu dengan menggunakan motor.

“Gue sering loh pake delivery soalnya bingung parkirnya,” kata Adisty setelah abang penjualnya menyajikan minuman pesanan mereka berdua, “Sama macet juga.”

Windira mengangguk, “Gue tau mana yang enak parkirnya karena lumayan sering ke sini.”

“Loh, lo suka makan ini juga?”

“Bukan sukanya sih, cuma sering,” Windira tertawa, “Yang demen Gavin sama Yovanka, makanya mayan sering ke sini “

“Lah, Yovan suka? Padahal Maudy ga suka pedes.”

“Oh ya? Wah gawat tuh,” Windira terkekeh, “Gue juga ga terlalu kuat makan pedes.”

“Eh, kenapa lo ga bilang sih,” Adisty menunjukkan wajah bersalahnya, “Kan gue bisa minta makan yang lain.”

“Santai aja,” Windira mengibaskan tangannya, “Kan sambelnya ga dicampur.”

“Ya tapi kan...” omelan Adisty terhenti karena pesanan mereka datang. Begitu abangnya pergi, Adisty meminta Windira untuk memberikan sambal ke piringnya

“Ini kan enggak dicampur, Adis.”

“Lama kelamaan tuh minyaknya bakalan ke satenya. Udah deh nurut ajaa. Gue suka pedes kok, biasanya nambah sambel ke abangnya kalo kurang.”

Windira hanya bisa pasrah, walaupun dalam hatinya dia merasa gemas sekali. Adisty jika sedang mengomel seperti itu, menurutnya sangat lucu.

“Sini, Dir!” Prima mengangkat tangannya ketika melihat Windira masuk ke kawasan kantin. Gedung kantor bersama ini memiliki setidaknya tiga tempat makan, dua kantin yang terletak di atas dan bawah, serta satu cafe di lobi gedung.

Windira berjalan ke arah meja tempat Prima berada, sedikit terkejut ketika melihat Maudy dan teman-temannya sudah di sana. Selain Prima dan Yovanka, Windira hanya melihat Melvin di situ.

“Jeremy sama Gavin uda duluan tadi, Mahendra gamau gue ajak,” kata Melvin seolah paham apa yang ingin ditanyakan oleh Windira.

“Yang lain mana?” tanya Windira, ditujukan kepada Maudy, “Oh, temen-temen gue? Grace lagi keluar sama Nadia, Yemima juga sama pacarnya tadi kayaknya ngafe di bawah. Kalo Disty,” Maudy melirik ke arah Windira yang masih diam, “Gue gatau sih soalnya ga respons di grup anaknya.”

“Oh,” Windira mengangguk, “Biasanya gitu?”

Maudy menelan siomaynya, “Sering sih, kalo lagi numpuk tuh. Dia mending nunda makan siangnya daripada kepotong kerjaannya.”

Windira kembali mengangguk

“Udah nih wawancara cewek gue?” tegur Yovanka sambil memutar matanya, membuat semua orang di meja termasuk Windira tertawa.

“Gasuka nih yee perhatiannya diambil,” goda Melvin

“Uuu maunya diperhatiin terus,” Prima ikut menggoda sahabatnya itu. Yovanka hanya bisa melotot karena Maudy menepuk tangannya, menandakan untuk segera meneruskan makan siangnya.

Mereka berlima saling bergurau sambil makan, walaupun Windira masih memikirkan Adisty yang tak kunjung membalas chatnya.

Windira menahan nafasnya ketika Adisty masuk bersama kedua orang tuanya. Jika Bundanya tidak menyentil lengannya, mungkin Windira masih melongo di tempat duduknya.

Adisty memakai baju santai, kemeja dan celana jeans, hampir sama dengan Windira yang menggunakan baju senada. Makan malam dan obrolan kedua keluarga cukup santai, terlebih memang keempatnya saling mengenal, meninggalkan kecanggungan bagi Windira dan Adisty. Windira mengecek jam tangannya, sepertinya jika tidak sekarang mengajak Adisty berbicara, waktu akan semakin malam.

“Bunda, Mami, Tante, saya izin ngajak Adis ngobrol di luar ya?” Windira berdiri sambil membawa gelas lemon tea-nya

“Oh iya, bagus. Sana-sana ngobrol,” Tiffany memberikan eye-smilenya, begitu juga dengan Yuri di sampingnya.

“Jangan ngerokok,” Windira mendengar Maminya berbisik pelan, mengingatkan kebiasaan buruk anak bungsunya itu.

Adisty duduk di kursi tinggi. Balkon yang mereka tuju menyediakan kursi tinggi yang berhadapan dengan meja yang menempel di balkonnya, sehingga mereka duduk bersebelahan.

Sejujurnya Adisty masih heran, kenapa wanita di depannya itu memanggilnya dengan “Adis,” karena seingat dia, hanya orang-orang di sekitar keluarganya yang memanggil Adis, karena biasanya dia lebih dikenal dengan Disty.

Begitu juga dengan segala gestur yang dilakukan oleh Windira. Menurut Adisty, dia sangat hati-hati jika berhadapan dengannya. Mungkin memang benar kata Maudy, Windira ini sangat gentle

“Lucu sebenarnya kalo ngomongin hubungan kita,” Adisty membuka suaranya, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti keduanya.

“Kita sebenarnya saling tahu, tapi ga sempet ketemu atau saling kenalan,” lanjut Adisty, “Gue Katharina Adisty Waskita, biasa dipanggil Adisty, Disty, atau Adis.”

Windira menyambut uluran tangan Adisty, “Windira Handoyo, bisa dipanggil Dira atau...” Windira menggantung kalimatnya, “Windi.”

Adisty mengangguk, mengingatkan dirinya pada kebingungan karena wanita di depannya memanggil nama yang jarang digunakan.

“Lo kenapa manggil gue Adis? Seinget gue jarang banget yang ngenali gue pake Adis.”

“Oh,” Windira sedikit terkejut, “Kalo lo ga nyaman gapapa kok, gue bisa panggil nama sesuai yang lo nyaman.”

“Eh gapapa,” Adisty mengibaskan tangannya, “Gue cuma kaget aja soalnya uda jarang banget yang manggil gue gitu kecuali kedua orang tua gue. Soalnya itu kan jaman gue SD dan gue pengen banget ngelupainnya, gue kan rada dibully waktu itu.”

“Oh...” Windira terdengar sedikit kecewa, “Gue taunya soalnya dari SD.”

“Maaf ya, gue kayaknya beneran pengen lupain dan rada susah buat ngingetnya.”

“Santai aja,” Windira tersenyum, “Kalo gue boleh tahu, lo ada sesuatu yang dipengen ga ketika ngeiyain buat kenalan sama gue?”

Adisty mengetuk gelasnya, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, “Gue kalo boleh jujur, gue pengen lupain mantan gue. Gamon ceritanya,” Adisty terkekeh pelan, “Cuma gue mau bilang kalo lo ini bukan pelampiasan, gue cuma mau semuanya berjalan natural aja.”

“Sepertinya kita sama,” Windira kembali tersenyum, “Mungkin gue ga naruh harapan yang tinggi ke dalam proses ini, tapi anggep aja gue lagi PDKT ke lo.”

Adisty mengangguk, sebuah tawaran yang menguntungkan.

“Besok gue jemput ya ke kantornya?” tanya Windira

“Eh, gapapa?”

“Gapapa orang sejalan. Lo suka naik motor apa mobil?”

“Motor boleh, kayaknya lebih cepet.”

Windira mengacungkan jempolnya senang, “Oke, sampai jumpa besok ya.”