Jangan lagi, ya?
Kurang lebih 10 menit lamanya, kedua kembar itu saling berpelukan. Sampai akhirnya Radey melepaskan pelukannya dari Deva.
“Udah Dev, lepasss. Engapp gue,” ucap Radeya sembari melepaskan pelukannya dari Deva.
“Yallah ka, baru 10 menit gue meluk lo. Gitu amat,” balas Radev dengan raut wajah yang tampak kesal.
“Radiv aja meluk gue cuma 5 menit doang.”
“Ya lo bayangin aja ka, wajar kali gue meluk lo lama, secara kita udah gak ketemu belasan taun.”
“Ya iya sih bener, maafin gue..”
“Tapi ka, maaf banget. Gue gak inget apapun tentang lo, karena dulu gue sempet kecelakaan. Dan kayanya gue lupa ingatan semenjak itu.”
“Kapan? Waktu lo ilang itu?”
“Iya, dulu Tante Joanna sempet bahas soal kecelakaan sama Papa Daido.”
“Jangan sebut nama Joanna di depan gue Dev. Gue benci dia...”
“Hmmm maaf, ka.”
“Hmm yaudahlah, lupain aja. Meskipun lo gak inget apapun, yang penting lo inget, kalo lo adalah bagian dari keluarga Chandra.”
“Kaaaaaa.” Ucap Radeva menatap Radey dengan mata yang berkaca-kaca.
“Apa?” tanya Radey singkat.
“Gue terharu. Gue gak nyangka bisa ketemu lo sekarang.”
“Ya sama, gue juga Dev. Dev, gue mau minta tolong,” ucap Radey lembut pada adiknya.
“Minta tolong apa?” tanya Deva bingung.
“Arahin gue ke Radiv...”
“Ohh, oke ka. Lo duduk di sini ya,” ucap Deva sembari memegang kedua pundak radeya, membantunya duduk di kursi samping ranjang Radiva.
“Radiv masih belum bangun ya?” tanya Radey dengan tatapan kosong yang mengarah ke depan.
“Iya belum. Dari kemaren dia belum sadar juga. Kata dokter sih sebentar lagi bangun, tapi ini udah 24 jam, gue takut ka,” jelas Radeva khawatir.
“Engga Dev, Radiv gapapa. Dia cuma kecapean aja. Dia cuma mau istirahat. Lo gak boleh mikir aneh-aneh. Dua kembaran gue kuat, lo, Radiva juga.”
Kedua tangan Radey mengarah ke depan, meraba sekitaran ranjang di hadapannya, mencoba mencari keberadaan telapak tangan Radiv, “Dev, bantuin. Ini tangan Radiv sebelah mana?” tanya Radey. kebingungan.
“Ini kaaaaaa.” Ucap Deva langsung mengalihkan telapak tangan Radeya ke atas punggung tangan Radiva.
“Ini Diva, bener?”
“Iya ka, siapa lagi? Buat apa gue di sini kalo bukan nungguin Radiv.”
“Heem, oke.”
Kedua tangan Radeya menggenggam telapak tangan kanan Radiv, mencoba memberikan kehangatan pada adik kembar kesayangannya itu.
“Div, halo.. Ini gue, Radey. Kaka lo, kembaran lo, orang yang suka kesel setiap liat kelakuan lo. Apa kabar Div? Hmm gue tau, kalo lo bangun pasti lo bakal bilang, kabar Radiv gak baik ka, Radiv cape, Radiv cape gaada kaka. Itu kan yang lo bakal omongin ke gue?”
Radey semakin menggenggam erat telapak tangan Radiv, menempelkan genggaman tangan tersebut pada pipinya. “Div, maafin gue... Maafin gue karena udah ninggalin lo selama ini, maaf, gue jahat banget sama lo Div... Bangun yu, liat, ada gue di sini Div. Ada Radev juga, bangun Div. Gue janji, gue gak bakal ninggalin lo lagi. Tapi lo bangun dulu, gue mohon Div,” tutur Radeya dengan air mata yang sudah tampak mengalir pada pipinya.
Di samping itu, Deva yang berada di samping Radey pun ikut merasakan apa yang tengah dirasakan kakanya.
“Div, gue mohon. Bangun, kita jalan-jalan lagi kaya dulu. Sekarang, kita bisa jalan-jalan bertiga. Lo bisa nyetir sepuasnya, sesuka hati lo. Bangun Div, lo gak kangen sama gue? Dua tahun loh? Masa momen gue balik ke sini lo malah baring di ranjang Rumah sakit kaya gini?”
“Ka, udahh. Nanti lo cape ngobrol mulu,” jelas Deva sembari mengelus pundak kakanya.
“Gue yakin Dev, sebentar lagi Radiv bangun. Gue yakin itu, dia anak kuat, dia bukan anak yang lemah. Jadi, dia pasti bangun sebentar lagi.
Tidak lama setelah Radeya melontarkan ucapannya pada Deva, jari telunjuk tangan kiri Radiva bergerak tiba-tiba.
“Kaaaaa, Ka Radey, itu jari Radiv gerak kaaaa,” jelas Deva antusias.
“Kannn, apa gue bilang. Anak ini pasti bangun...”
Radiv tampaknya merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya, kedua kelopak matanya terbuka secara perlahan, tangan kirinya terangkat ke atas dada, tampak selang infusan menempel di punggung tangan kiri Radiva. Radiva yang merasakan ada seseorang yang menggenggam erat tangan kanannya, langsung menoleh ke samping kanan, entah mimpi atau bukan, dengan penglihatan yang masih samar-samar, ia melihat 2 anak laki-laki dengan wajah persis dirinya berada di samping kanan ranjang tidurnya.
“Pusinggg bangettt kepala Radiv...Devaa? Kamu gak kenapa-kenapa kann? Kamu gak luka kan??”
Radiv yang baru sadar itu, tiba-tiba langsung menanyakan keadaan adiknya, khawatir atas dorongan yang cukup keras kemarin ia lakukan pada Deva. “Div, akhirnya lo sadarrr. Gue gapapa ko. Gue gak luka sama sekali. Lo harusnya khawatirin diri lo, bukan gue.”
“Diva gapapa Dev, Diva juga baik-baik aja. Syukurlah kalo kamu gak kenapa-kenapa,” jelas Radiv dengan suara yang sangat pelan.
“Tapi Dev, ini kenapa pandangan Radiv jadi dua gini? Ko kamu jadi ada dua? Yang satu berdiri, yang satu duduk sambil pegang tangan Radiv. Ini kenapa ya? tanya Radiv kebingungan sembari menatap ke arah Radeya di sampingnya.
“Divv, penglihatan lo gapapa ko. Yang lo liat emang bener ada dua. Tapi bukan 2 Radeva. Gue Radeva yang berdiri, dan yang duduk di samping lo itu, Ka Radeya, Div,” jelas Deva spontan pada Radiva.
“Deva, jangan ngarang kamu. Mana ada Ka Radeya. Ah ini Radiv pasti halusinasi,” ucap Radiv sembari mencoba melepaskan genggaman tangannya dari Radeya.
“Ihhh? Koo?? Ko ini gabisa lepassss? Deva tolongin ini kenapa sihhh? Ini siapaa??? Kooo? Ko bayangannya jadi beneran mirip kaka?”
Radeya yang sejak tadi terdiam, akhirnya membuka suaranya. “Radiv, ini gue, Radeya, Kaka lo.”
“Astagfirullah Diva, kamu sadarr, jangan sampe kamu mikir kalo ini beneran kaka, Divaa,” gumam Radiva dengan mata yang terus ia pejamkan berulang kali.
“Radiva, liat ke gue. Liat dengan bener, lo sekarang sadar. Dan lo pasti bisa bedain, mana cuma halusinasi dan mana yang emang beneran.”
Radiv akhirnya menatap Radeya dalam, memperhatikan detail wajah kakanya dengan serius.
DEGGG
Kala itu juga, Radiva menyadari bahwa orang yang ada di sampingnya itu adalah benar-benar kakanya, Radeya.
“Ka Radey?” sapa Radiva lembut dengan wajah yang tampak sangat kebingungan.
“Iya Div, ini gue, Radey.”
“Kaaa, iii iiinii beneran kaka? Ra rraa Radiv gak mimpi kan???” tanya Radiv dengan suara yang mulai bergetar.
“Iya Div, lo gak mimpi. Orang yang di samping lo ini, masih hidup, Radiva.”
Entah ekspresi apa yang harus Radiva perlihatkan kala itu, kesadarannya benar-benar tengah dipermainkan.
“Deva.....” lirih Radiv pada adiknya.
“Kenapa Div?”
“Radiv mimpi ya?”
“Engga Div, engga mimpi sama sekali.”
“Tapi...”
“Coba lo bangun, sini gue bantuin, peluk Ka Radeya. Kalo lo bisa peluk, artinya lo gak lagi mimpi, Div.”
Atas saran yang Deva berikan pada Radiva, Radiv pun bangun dengan perlahan dibantu Deva, sampai ia mendapatkan posisi duduk yang nyaman di ranjang. Setelah itu, Radeva membantu Radey untuk berdiri, “Div, nih, coba peluk.”
Tanpa pikir panjang, Radiv langsung memeluk erat Radey yang sudah berdiri di sampingnya, Radey pun tanpa ragu membalas pelukan adiknya itu.
DEGGG
Radiva benar-benar merasakan balasan peluk dari Radeya kakanya.
“Kakaa....”
“Radiv, ini gue Div, gue, Radeya.”
“Kakaaaaaaaaaaaaa, ini beneran kakaaaaaaaaa? Kaka? Jadi selama iniiiiii? Selama iniii kaka masih hidup? Kaka kemana aja ka? Radiv takut... Radiv hancur ka... Dunia Radiv, dunia Radiv hampir aja runtuh karena kepergian kaka... Kaka kemana aja selama ini?? Kaa, Radiv sedih... Hari hari Radiv hampa banget karena gaada kaka...” jelas Radiv terang-terangan dibarengi isakan tangis yang mulai terdengar jelas.
“Div, maafin gue. Gue gaada di samping lo selama 2 tahun terakhir. Maafin gue Div, gue udah buat hidup lo menderita selama ini. Tapi, semuanya kuasa tuhan, gue juga gak tau kenapa gue bisa dikasih kesempatan buat lanjutin hidup. Semuanya mendadak Div, nanti gue bakal ceritain semuanya sampai lo ngerti. Maafin gue ya, gue sayang banget sama lo.”
Tangis Radiv semakin pecah setelah dirinya mendengar kalimat yang selama ini sangat sulit terucapkan langsung dari mulut kaka kembarnya itu, gue sayang sama lo. “Kaaaaaa, maafin Radiv, maafin Radiv karena dulu malah ninggalin kaka. Maafin Radiv kaa, coba Radiv ada di sana. Kaka pasti gak akan kecelakaan, kaka pasti gaakan pergi ninggalin Radiv.”
“Takdir Div, tuhan sengaja ngebuat lo gak ada di sekitar gue karena tuhan gak mau lo ngeliat kecelakaan tragis yang gue alamin.”
“Kaaa, tapii....”
“Udah ya, jangan dibahas lagi. Cukup, lupain semua kejadian yang lalu,” tutur Radey sembari mengelus punggung Radiva.
“Radiv, tapi sebenernya gue mau ngomong sesuatu...”
“Kenapa ka?”
“Gue gak bisa liat Div, udah hampir 2 tahun, gue buta. Maafin gue kalo kehadiran gue sekarang malah bakal nyusahin lo sama Deva,” jelas Radey mengakui tentang keadaan dirinya.
Radiva melemas, kedua tangannya juga ikut melemas, pelukan erat yang dilakukan sejak tadi tiba-tiba terlepas begitu saja. Radiv menunduk kepalanya, tidak lama setelah itu, ia memukul kepalanya dengan keras. “RADIV BODOHHH, RADIV BODOHHH NGEBIARIN KAKANYA KECELAKAAN!!! RADIV BODOHH, LIAT SEKARANG APA YANG TERJADI DIV, KA RADEY GAK BISA LIATTT, DAN ITU SEMUA GARA-GARA KAMU DIVV!!!” teriak histeris Radiva memukul ke bagian kepala dengan bekas jahitan kemarin.
“Ahhh, sakittttt. Sakitt bangettt,” lirih Radiv merasakan sakit pada area bekas jahitan di kepalanya.
“Bodohhhh, Radiva bodohhh. Lo ngapain mukul mukul kepala gue tanya? Apa dengan mukul kepala, lo bisa buat Ka Radey ngeliat? Engga Div!!! Yang ada lo malah buat Ka Radey sedih!!! Lo mau buat Ka Radey sedih hahhhh???!!” jelas Deva kesal dengan apa yang baru saja Radiv lakukan.
Tanpa fikir panjang, tiba-tiba Radiva mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak terfikirkan oleh kedua kembarannya, “Ambil aja mata Radiv ka. Mau ya?”
Deva tampak geram mendengar perkataan yang baru saja Radiva lontarkan, ia langsung menghampiri Radiva, “LO KALO NGOMONG PIKIR DULU DIVAA!!!! GAK SEMUDAH ITUU DONOR DONOR MATAA!!! LO NGASIHIN MATA KAYA MAU KASIH SUMBANGAN ANJIR!!”
“Deva, tapi... Tapi Radiv gak bisa kalo liat kaka kaya gini. Jadi biarin aja Radiv yang gak bisa liat. Dev, pasti kaka juga pengen banget liat wajah kamu...”
Raut wajah Radey langsung berubah dratis, tampaknya ia sangat kesal dengan ucapan yang dilontarkan Radiv padanya. Radeya menghela nafas panjang, “ENGGA. GUE GAK MAU PAKE MATA LO! MATA LO JELEK ASAL LO TAU. DEMI APAPUN, KALOPUN CUMA MATA LO SATU SATUNYA YANG ADA DI DUNIA INI, GUE GAK BAKAL MAU NERIMA.”
“Kaa, tapi...”
“Cukup yaa!!! Gue gak mau denger lo ngomong kaya gitu lagi! Papa juga lagi usaha buat cari donor. Lo bantuin doa aja, biar secepatnya ada donor mata yang bagus buat gue.”
“Kaaa, maafin Radiv...”
“Sekali lagi lo minta maaf, gue bakal pergi lagi. Mau?”
“Jangan...”
Kurang lebih setengah jam, Radeya menceritakan semua kejadian tentang dirinya selama 2 tahun terakhir pada kedua adiknya. Hingga sampai pada satu ucapan yang Radiv lontarkan, sembari meminta Radeva dan Radeya untuk mendekat kepadanya, ketiganya saling memeluk erat satu sama lain, tidak tampak celah kosong untuk orang lain masuk ke dalam lingkaran pelukan ketiga kembar itu, “Ka Radeya, makasih udah bertahan. Deva, makasih juga udah bertahan selama ini. Sekarang, saling jaga ya, Radiv harap kita bisa terus sama-sama sampai nanti. Radiv harap, gaada lagi di antara kita yang tiba-tiba pergi. Radiv sayang kalian...”
“Tuhan, Radiv mohon. Jangan lagi, ya?” batin Radiva, tanpa sadar langsung meneteskan air matanya.
nd