wxyzndaa

Gak boleh deket sama dia

Deva menghampiri Radeya yang tengah berada di kamar, sembari membawa roti dengan selai cokelat kesukaan kaka kembarnya itu.

“KAAA, GUE MASUK YA. INI GUE JUGA BAWA ROTIII. LO BELUM MAKAN SIANG KAA,” teriak Deva dari depan pintu kamar Deya.

“Iyaa, masuk aja.” Jawabnya singkat.

Deva memasuki kamar kamar Radey, duduk di samping kakanya. “Nih ka rotinya, nanti kalo mau minum bilang aja. Gue lupa gak ambil hehe.”

“Iya, makasih dev.”

“Ohhiya ka. Barusan gue abis bales dm kembarannya bunda,” jelas Deva pada Radeya tiba-tiba.

Radeya yang mendengar hal tersebut langsung menoleh ke arah samping di mana Radeva berada. “KEMBARAN BUNDA? MAKSUD LO TANTE XENAN DEV????” tanya Radey dengan nada bicara yang cukup keras.

“Lahhh ko lo kaya kaget gitu?! Iya Tante Xenan. Ehh tapi ko lo panggil tante? Kata Radiv dari kecil kita manggilnya Mami?”

“Ga kaget sih, biasa aja. Iya emang Mami, tapi gue ngomongnya kalo di depan dia aja.”

“Serius ka?” tanya Radeva penasaran.

“Dev, pesen gue cuma satu. Lo jangan terlalu deket sama dia.” Jelas Radeya tanpa alasan.

“Kenapa ka? Kenapa gak boleh?”

“Gak kenapa-kenapa. Ya maksud gue kan Tante Xenan baru hari ini bisa komunikasi lagi sama lo. Ya lo jangan terlalu deket, ya pokonya jangan.”

“Ka, ada yang lo sembunyiin?”

“Gaada. Apa yang mau gue sembunyiin dari kembaran sendiri?”

“Yaa lagian lo buat penasaran sihh kaa.”

Radeya tampak ingin mengalihkan pembicaraannya mengenai Tante Xenan. Ia pura-pura tersedak roti dan menyuruh adiknya untuk mengambilkan minum ke lantai bawah.

“Devv devvv tolong minummmm. Keselekkk gueee. Cepetannnnnn!!!”

“Hahh? Lo kenapa anjir masa tiba-tiba keselekkkkkk?????” tanya Radeva heran.

“Cepetan anjir Devaaa. Lo telat 1 menit aja, sore ini bisa ada bendera kuning depan rumah kitaaaaa.”

“Anjing kaaaa jangannnn. Yaudahh tunggu bentar, ini gue lariii.”

Radeva keluar dari kamar Radey, berlari menuruni tangga untuk mengambilkan air minum untuk kakanya. Radeya menghela nafas panjang setelah aktingnya berhasil ia lakukan.

Perasaan gue gak enak soal Tante Xenan....” batin Radeya, menghela nafas.

wxyzndaa

Xenanda

Sejak dirinya dinyatakan tidak dapat memiliki anak, kembaran Wenda itu benar-benar terpukul. Beberapa bulan setelahnya, Xenan mendapat kabar bahwa Wenda tengah hamil anak kembar. Beberapa bulan kemudian, Wenda melahirkan. Benar-benar di luar dugaan, Wenda melahirkan 3 anak kembar, padahal setiap ia melakukan USG, bayi yang berada di dalam kandungannya jelas hanya dan selalu terlihat dua kembar. Sampai pada pikiran dangkal Xenan, bahwa bayi kembar ketiga milik Wenda itu adalah anaknya. Di mana tuhan mengetahui bahwa dirinya tidak dapat hamil, sehingga menitipkan satu buah hati pada kaka kembarnya, Wenda. Sejak saat itu, Xenan selalu mengganggap bahwa Radeva adalah anaknya, hingga pada usia mereka 6 tahun, Xenan tanpa ragu meminta Radeva pada Wenda dan Chandra. Wenda selalu menolak keinginan adik kembarnya itu, namun Xenan, ia tetap berusaha dan terus memohon pada kakanya.

Harapan Xenan lenyap ketika mengetahui Radeva meninggal waktu itu. Xenan harus mengubur harapan untuk menjadikan Radeva sebagai anaknya. Ia mundur, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi dan tinggal bersama suaminya di luar negeri, sembari meneruskan karir sebagai seorang desainer di sana. Xenan yang 1 tahun lebih dulu melaksanakan pernikahan sebelum kakanya, Wenda. Sampai saat ini, sampai Wenda memiliki 3 anak bujang 21 tahun, Xenan masih saja belum memiliki anak.

Sampai akhirnya, ketika Xenan diberikan kabar oleh Ibunya mengenai Radeva. Ia benar-benar merasa bahagia, berharap dirinya bisa kembali meneruskan impiannya yang sempat terkubur belasan tahun lalu. Radeva, satu-satunya anak kembar Wenda yang sangat Xenan sayangi. Satu-satunya anak yang dapat membuat Xenan menjadi pribadi yang sangat keibuan, banyak memberikan perhatian pada Radeva, layaknya seorang Ibu pada anaknya.

Di sisi lain secara bersamaan, Xenan mendapatkan kabar yang membuat dirinya marah, benar-benar marah. Sabira, sahabat Xenan menceritakan segala hal tentang Radeva, tentang siapa yang mengambil Radeva. Bagi Xenan, orang itu adalah penyebab yang membuat dirinya kehilangan impian untuk menjadikan Radeva sebagai anaknya. Kini, Joanna. Satu-satunya orang yang akan menjadi musuh besar Xenanda.

“Kamu udah buat hidup Radeva menderita, kamu udah buat aku kehilangan kesempatan untuk buat Radeva jadi anakku. Tunggu pembalasanku, Joanna.”

wxyzndaa

GAADA JUDULNYA

Hilmar berlari hingga sampai tepat di depan pintu rumah kembar. Dengan nafas yang berantakan, ia berteriak memanggil nama kembar secara bergantian, “RADIVVVVV RADEVVVV DEYAAAA, TANTEEEE WENNN INI HILMARRR!!!!!”

“IYAAA MARRR MASUKK AJAAA.” Teriak Radiva dari dalam rumah.

“IZIN MASUK YAAA, SIEUN KEBURU MUNCUL LAGI ANJINGNAAAA.”

“IYA MASUK AJAAA.”

Deva yang melihat ekspresi Hilmar yang tampak ketakutan, langsung tertawa senang. Berbeda dengan Radiv, ia mengambilkan Hilmar satu gelas air putih dari dapur.

“Duduk dulu Mar, nihh minum dulu,” ucap Radiv sembari menyodorkan satu gelas air pada Hilmar.

“Hahhhh, makasih Div. Emang cuma lo satu-satunya kembar yang paling gue cintaaaa. 4 orang lagi kagaaaa, soalnya mereka kaga pernah peduli sama guee,” jelas Hilmar yang secara langsung memberikan sindiran pada 2 kembaran Radiva lainnya.

“Idihhhh lo nyindir guee Marr???” tanya Deva menoleh.

Radeya yang tengah berbaring di sofa pun tiba-tiba ikut bersuara, “Lo nyindir gue? tanya Radey singkat.

“Yaaa lo ngerasa engga Dev? Ehhh ada Deyaaaa, sejak kapan maneh di situ Dey???” tanya Hilmar mengalihkan pembicaraan.

“Sejak lo teriak-teriak di depan rumah gue.”

“Dey ah lo mukanya biasa aja dong. Lo kalo ngambek serem,” jelas Hilmar mengerutkan dahinya.

“Ya lo tinggal bales lagi pake muka serem.”

“Ogahhh, dulu maneh kalo urang bales kaya gitu marahh.”

“Yaa kan sekarang gue gak bisa liat. Santai aja kali, jadi suka suka lo mau ngejek pake muka modelan apa juga,” ucap Radeya polos.

“Deyyyy, ahhh lu gak boleh ngomong kaya gitu ahhhh gamau gue,” jelas Hilmar tidak enak hati.

“Iya ka, lo gak boleh ngomong kaya gitu terus tauuuu pamalii,” sambung Deva kesal.

Radiva seketika murung ketika kembali mendengar Radeya mengatakan tentang keadaan matanya. Sehingga ia memilih pergi dan kembali ke dapur untuk membantu bunda.

Pasti gara-gara ucapan ka Radey...” batin Deva menyadari perubahan ekspresi pada Radiv sebelum akhirnya pergi.

Kaka kenapa sih? Kenapa dia selalu bilang gak bisa liat, gak bisa liat terus? Jadikan kesannya dia ngeklaim kalo dirinya bakal gabisa liat terus, padahal kan hmmm...” batin Radiv heran.

Tidak lama kemudian, terdengar suara bel dari luar, dibarengi suara teriakan Juna memanggil nama Radey, Radiv dan Radev secara bergantian. Radeva yang mendengarnya, langsung berjalan ke depan dan membuka pintu. Tampak Juna, Jendela, Cavin dan Naka datang secara bersamaan.

“Tumbennn lo yang bukain Dev? Biasanya kan seksi bukain pintu si Radiv,” jelas Juna pada Radeva.

“Radiv di dapur tuh bantuin bunda. Udah ayo masuk, di luar dingin,” ajak Deva langsung membuka lebar pintu rumahnya.


Ke delapan anak laki-laki itu berkumpul di meja makan keluarga Jayachandra, tidak hanya mereka, Wenda dan Chandra juga ada di sana.

“Udah ayo makan, gak usah malu malu. Biasanya juga malu maluin,” ucap Chandra sembari membalikkan piring di hadapannya.

“Hilmarr sih omm. Saya sih engga,” Cavin tiba-tiba bersuara.

“Ko urangg????????” tanya Hilmar tidak terima.

“Yaa emang loo, siapa lagii????” tanya Juna.

“Udahhh udah ko malah ribut sihh, ayo makan.” Jelas Wenda menghentikan kerusuhan anak-anak di meja makan.

“Iyaa tanteee. Makasihh yaaaaaa.” Ucap ke lima sahabat dari 3 kembarnya itu secara bersamaan.


Semua berkumpul di ruang keluarga, kecuali Radiva yang masih berada di dapur membantu bunda. Radeva tampak asik bermain play station barunya bersama Juna dan Hilmar. Cavin dan Naka tengah bermain game online di sofa. Dan Jendra, lebih memilih duduk di samping Radeya.

“Deyy, lo kenapa deh? Diem mulu dari tadi,” tanya Jendra kebingungan.

“Yaa terus gue harus ngapain Jen?” jawab Radey dengan raut wajah datar.

“Ya ngomong Dey. Apa aja ayo, cerita cerita apaan ke waktu lo si Singapore.”

“Apaa Jen? Apa yang perlu gue ceritain coba? Di sana gue cuma lakuin pengobatan. Terus apalagi? Suasana di sana? Gatau gue, gue kan gak bisa liat. Jadi apa yang perlu gue ceritaiinnn?????” jelas Radey dengan nada tinggi pada Jendra.

“Deyyy, ko lo sewot sih?? Gue kan cuma nanya, dan gue cuma gak mau lo diem diem terus kaya gini Dey,” ucap Jendra menatap tajam ke arah Radeya.

Radeva yang tampak sibuk dengan PS nya pun sontak menoleh ke arah Radeya, beranjak dari hadapan TV dan memilih menghampiri kakanya.

“Kak? Jendra cuma mau ajak lo ngobrol, ko lo jadi sensitif gini sihhh???” tanya Deva heran.

“Gue sensitif lo bilang?? YA MENURUT LO AJA DEV, APA YANG MAU DIOBROLIN SAMA ORANG YANG GAK BISA LIAT KAYA GUEE????? APAAA??? GUE GAK BISA LAKUIN APA-APA, SAMPE GUE GAK TAU APA YANG HARUS GUE CERITAIN SAMA LO SEMUA!!”

“KAKKK? KO JADI GINIII??”

Sontak fokus Hilmar, Juna, Cavin dan Naka pun teralihkan karena ucapan Radeya pada adiknya. Termasuk Radiv, ia mendengar jelas perkataan kakanya dari kejauhan, karena Radeya berbicara dengan nada yang cukup tinggi.

Kak...” batin Radiva.

Keempat anak laki-laki itu hanya bisa terdiam ketika melihat seorang Radey berbicara dengan nada tinggi. Tidak ada satu pun yang berani untuk menyela ucapannya.

“Deyyy? Ko lo malah sewot juga ke Radev sih???” tanya Jendra heran.

“Jen, udah gapapa. Biarin aja dulu,” pinta Deva pada Jendra.

Radiv muncul dari arah dapur menghampiri Radeva, “Dev? Kenapa lagi kaka?”

“Biasa Div.”

Radiva menghela nafas panjang, langsung menghampiri Radeya. Ia duduk bersimpuh tepat di depan Radey yang masih duduk di sofa. “Kak, ke kamar aja yuk. Tenangin dirinya dulu. Jangan tiba-tiba luapin emosi kaya gini, ini bukan Ka Radey yang Radiv kenal. Radiv mohon ya, ayo.” Pinta Radiva memohon, sembari mengelus kedua punggung tangan kakanya.

Radeya yang selalu luluh dengan ucapan Radiva, langsung berdiri tanpa aba-aba, “Bangun, Radiva, berdiri.”

“Untuk?” tanya Radiv bingung.

“Ayo anter gue ke kamar.”

“Ooooo iyaa ka, ayo.” Radiva berdiri, langsung menuntun kakanya menuju kamar di lantai dua.

Ka Radey lebih luluh sama Radiv daripada gue. Ya jelas sih, secara Radiv lebih lama bareng-bareng sama dia daripada sama gue, sadar diri aja sih lo Dev,” batin Radeva, menghela nafas panjang.

Karena ruang keluarga berada tepat di depan kamar, Chandra mendengar semua pembicaraan anak-anak sejak awal. Setelah mengetahui Radeya pergi ke kamarnya, ia langsung membuka ponsel dan menghubungi teman-temannya. Di lain tempat, ada Wenda yang berada di ruang makan, merasa sedih ketika melihat Radeya yang selalu bersikap seperti itu.

nda🐅

Siomay, cilok dan otak-otak

#SCOteam

Hari libur di kediaman Jayachandra, tampak Radiva yang tengah sibuk membantu bunda di dapur, papa yang baru keluar dari ruang kerja dengan masih menggunakan baju tidurnya, Radeva yang tengah membersihkan sekitaran ruang keluarga dengan penyedot debu andalan bunda, dan Radeya yang hanya duduk melamun di sofa yang biasanya menjadi tempat duduk ternyaman ketika ia bermain ps.

Gue berasa gak berguna banget anjir di rumah ini,” batinnya kesal.

Radeya beranjak dari sofa, berniat untuk pergi ke luar rumah. “Gue keluar dulu.”

“Kak? Mau kemana lo?” tanya Deva yang tampak masih membersihkan sekitaran ruang tengah.

“Ke depan Dev. Gue di dalem diem mulu jadi berasa gak berguna,” jelas Radey langsung kembali berjalan dibantu tongkat khusus miliknya.

“Yaudah, gue bantuu ayooo,” ajak Deva antusias.

“Gak usah, lo lanjut aja beberesnya. Gue di depan doang ko, gak akan kemana-mana.”

“Ahhh lo bohong, kemaren kemaren bilang di depan doang, tau tau udah di depan rumah tetangga.”

“Hahaha itu gue lupa arah anjir kemaren, makanya gue bengong di situ sambil nunggu dicariin,” jelas Radeya dengan sedikit senyumnya.

“Yaa makanya mending ama gue keluarnya ayo. Sekalian jalan pagi, kali aja ada tukang otak-otak di jalan,” pinta Deva mencoba meluluhkan hati kakanya.

“Mana ada anjir otak-otak masih pagi begini. Tukang siomay aja baru lewat ntar jam 10an.”

“Hahahaa ka. Gue inget 2 hari lalu itu kang siomay hampir pingsan gegara liat lo lagi. Masa lo malah di kata arwahhh anjirrr sama mang Wahyu,” jelas Radeva tampak tertawa senang.

“Yaiyalah secara tiba-tiba gue muncul lagi, hmm ya pasti kaget lah. Dih ini apaan sih jadi ngomongin tukang dagang, udahlah awas gue mau keluar Dev.”

“Ka, sama gue ya plis inimah lo kaga boleh nolak permintaan gue,” pinta Radeva dengan ekspresi yang tampak memohon.

“Lo kayanya lagi masang muka muka melas nih di depan gue ya? buat apa? Gue ngga bisa liat muka sedih lo anjir.”

“Ya kan prinsip gue, segala cara perlu dilakukan, selagi masih dalam batas wajar.”

“Yaa tapi lo gak wajar melas melas ke orang yang gak bisa liat Dev,” jelas Radey sembari melangkah pergi keluar.

“Kak, lo sekali lagi nyebut diri sendiri pake sebutan orang gak bisa liat, awas aja lo. Gue jual itu ps nya. Mayan kan buat dp nyewa ruko.”

Radeya yang mendengar ucapan Deva itu pun langsung menoleh ke belakang, mengingat Deva yang tampaknya masih ada di belakangnya, “Ngapain nyewa ruko? Lo mau jualan gas?”

“Bukan. Gue mau jualan otak-otak ka. Lumayan kan tar laku. Kita bisa kaya anjirrr.”

“Sadar Dev. Lo udah kaya asal lo tau.”

“Lah iya? Gue kaya ya? Astagaaa gue kadang lupa kaa,” ucap Deva langsung menepuk dahinya.

“Yaudahh pokonya lo gak boleh begitu lagi. Kalo masih ngomong kaya gitu, gue beneran jual itu ps. Lumayan buat jajan otak-otak sebulan,” tutur Deva langsung menggandeng tangan Radey berjalan ke luar.

“Anjirrr Dev. PS gue gak murah loh itu. Bisa bisanya lo setarain ama jajan otak otakkkk sebulan.”

“Heheheee kan gue bercanda aja ka. Yaudah ah ayo jalannn. Siapa tau ada tukang bubur di depan.”

“Hahaha makan bubur tu gue suka jadi inget Ahza,” tutur Radey tanpa sadar.

“Lah? Ahza? Adeknya Dokter Jefan? Kak? Lo jangan-jangan suka ama dia ya????” tanya Deva dengan wajah yang tampak meledek.

“Eh kaga anjir. Gue gak suka ama dia. Udah ayo, kalo gamau yaudah gue jalan sendiri aja.”

“Lah mengalihkan pembicaraan. Yaudahlah iyaaa ayoo.”

Baru beberapa langkah kedua kembar itu berjalan ke arah pintu depan, tampak Radiva muncul dari arah dapur. “KAKAAAAAAAAA, DEVAAAAA, KEMANAAAA???????” teriak Radiva dari kejauhan.

“ASTAGAAA DRAGONNN RADIVAA JOVIN ANAKNYA BAPA CHANDRAAA, LO BISA GA NGGA USAH TERIAK TERIAK DI DALEM RUMAHHHH, ??????” balas Deva yang tampak kaget dengan teriakan kakanya itu.

“Hehehehee, yaudah maaf. Kalian mau kemanaaaa?” tanya Radiv sembari berjalan menghampiri Radey dan Deva.

“Ke depan Div. Gue tadinya cuma mau duduk di depan, tapi adek lo ini mau ngikut ngikut terus. Udahh ya, lo juga jangan mau ikut, ntar orang liatnya aneh,” jelas Radeya pada adiknya, Radiv.

“Ga ga ga gaaaa. Radiv ikut. RAAA DIVVV, III KUTTT. TITIK, GADA KOMANYA. OKE AYO GASSS,” ajak Radiva langsung menepis lengan Deva yang tengah menggandeng Radeya. Kemudian dirinya masuk sebagai penengah dan menggandeng kedua kembarannya.

“Divvv, plis anjir ini gandengan bertiga udah kaya bocil sd balik sekolah,” jelas Deva kesal pada Radiv.

“Ya gapapa tau. Lagian lucu jadi mirip Teletubbies bergandengan,” balas Radiv dibarengi senyuman andalannya.

“Teletubbies berpelukannn yaaaa Radivaaaaa, bukan bergandengannnnnnn,” ungkap Deva kesal.

“Ohh, salah ya?” tanya Radiv dengan wajah polosnya.

“Ahhh gatau Div gue puyeng ama lo. Ka Radey, nih adik lo kayanya balik lagi kaya semula kelakuannya.”

Radeya menghela nafas panjang, “Hahhhhhh cape banget. Boleh ganti kembaran ga ya? Gue tertekan lama-lama punya kembaran dua modelannya gini. Ini baru semingguan gue di rumah lohh. Dulu satu aja gue suka ngeluh, apalagi sekarang dua,” gumam Radeya, langsung menundukkan kepalanya.

nd





Makasih banyak ya kalian masih suka ngikutin ceritanya nak kembar gak jelas ini. Pokonya makasih banyak buat kalian yang suka like, rt, qrt. Berteori di cc/sc, kasih apresiasi dan semangat ke aku baik lewat sc/cc/dm. Apalagi yang sampe pada panjang panjang ngetiknya huhuuu. Sayang kalian banyak banyak💗

Tuhan, terima kasih.

Wenda, Chandra, disusul Jefan dan Ahza di belakangnya, berjalan menuju kamar Radiva. Tampak delapan anak laki-laki tengah berkumpul dan berbincang di sana.

“Divaaa???? Kamu udah bangun nakk? Syukurlah, bunda khawatir sama kamu,” jelas bunda menghampiri Radiva, langsung memeluknya.

“Radiv gapapa bunda. Maafin Radiv ya udah buat bunda khawatir.”

“Maaf bunda, ini semua gara-gara Deva. Maafin Deva,” ucap Radev yang tengah duduk di ranjang tempat tidur Radiv itu tiba-tiba ikut berbicara.

“Udah udah ya, semua kejadian yang kalian alamin, bukan kesalahan kalian. Ini semua salah papa, maafin papa,” jelas papa merasa bersalah.

Wenda mengalihkan pandangannya ke arah Radeya yang tengah duduk di sofa ditemani Juna dan Jendra di sisinya.

“Radeya....” panggil bunda lembut pada anak kembar pertamanya itu.

“Iiiiyaa, bunda. Kenapa?” sahut Radey mencoba mencari dari sebelah mana asal suara bundanya.

“Juna, tante minta tolong bantu Radey buat duduk di kursi ini, bisa???” pinta Wenda pada Juna yang berada di samping Radeya.

“Ohh iya tantee. Ayo Dey...”

Radeya duduk tepat di kursi samping kanan ranjang tempat tidur Radiva. Bunda menghampiri Radeya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia bersimpuh tepat di depan Radeya. Radeya merasakan kedua tangan bunda berada di kedua lututnya. “Bundaa?? Bunda duduk di bawah?? Berdiri bunda, sini bunda duduk di kursi, biar Radey yang berdiri.”

“Engga, udah gapapa. Bunda sengaja, biar bunda gampang peluk kamu.”

“Bunda nangis???”

“Eeee..engga ko, bunda gak nangis. Bunda gapapa. Bunda cuma masih gak nyangka kalo kamu masih ada Dey, bunda berasa mimpi....”

“Bunda, jangan nangis. Maafin Radey ya.”

Wenda menggenggam erat kedua tangan Radeya, menatap wajah anaknya dengan penuh rasa khawatir. Wenda benar-benar mencoba untuk menahan air matanya, namun karena rasa bersalah yang amat besar, membuat tangisannya pecah di hadapan Radeya. “Raaa Radeyaa.... Maafin bunda, bunda jahat sama kamu. Bunda jahat sama adik-adik kamu. Dari dulu, bunda bener-bener kurang kasih perhatian sama kalian. Maafin bunda. Bunda terlalu sibuk sama dunia bunda. Bunda salah, andai bunda di rumah 14 tahun yang lalu, Radeva gak bakal hilang, dia gak bakal tersiksa selama itu. Andai bunda gak terlalu sibuk kerja, pasti Radiva gak akan sakit, dan bunda juga pasti bakal tau tentang penyakit kamu Deya. Maafin bunda, maafin bundaaa....”

Tangis Radiva pecah setelah mendengar permintaan maaf bunda, bukan hanya Radiva, Radeva pun ikut meneteskan air mata. Dan Radeya, ia hanya bisa meneteskan air mata di hadapan bundanya. “Bunda, semua ini, semua ini juga bukan salah bunda. Bunda gak boleh nyalahin diri, Radeva pergi, itu karena salah Tante Joanna. Radiv sakit, itu karena kecerobohannya sendiri, dan Radey? Radey punya penyakit, itu mungkin salah satu takdir Radeya, bunda.”

“Bunda bersyukur punya anak-anak seperti kalian. Terima kasih sudah bertahan ya anak-anak bunda. Sini Radey bunda bantu berdiri, bunda mau peluk kalian bertiga.”

Radeva yang tengah duduk si ranjang tempat tidur Radiva pun turun dan berjalan ke samping Radeya. Dan Radiva, sedikit bergeser ke sisi agar ia bisa leluasa memeluk bunda juga kembarannya. Sampai akhirnya, bunda dengan ketiga anak kembar keluarga Jayachandra saling berpelukan.

Semua orang yang berada di sana pun ikut terbawa suasana, para sahabat kembar ikut meneteskan air mata. Begitu juga Jefan dan Ahza.

Tuhan, terima kasih...” batin Chandra.

Saya senang melihat wanita yang dulu pernah saya cintai, bahagia bersama keluarganya,” batin Jefan ikut bahagia.

Yaya, selamat berkumpul kembali...” batin Ahza, langsung tersenyum manis.

“Gue pengen nangis kenceng, tapi maluuuu,” bisik Naka pada keempat sahabatnya.

“Bunda janji, mulai hari ini bunda bakal lebih banyakin waktu bunda di rumah buat kalian. Bunda janji itu. Sehat-sehat anak bunda, tetap jadi anak laki-laki yang baik ya. Kalo ada apa-apa harus saling cerita, gak boleh ada yang disembuyiin, bunda gak mau kehilangan kalian untuk kedua kalinya, bunda gak mau itu terjadi. Sekali lagi, terima kasih sudah bertahan sampai saat ini.”



1 jam kemudian

“Sepertinya saya harus pamit sekarang semuanya,” ucap Jefan tiba-tiba pada semua orang yang berada di dalam ruangan Radiva.

“Om dokter? Gaakan nginep dulu di rumah Radiv??? Om pasti cape,” tanya Radiva merasa khawatir.

“Iyaa Om, nginep aja dulu. Kesian juga Ahza pasti kecapean,” sambung Radeva pada Jefan.

“Engga apa-apa ko. Nanti kita kalo cape bisa istirahat di jalan,” jelas Jefan pada kedua kembar.

Jefan melangkah menghampiri Radeya, “Radey, om pulang ya.”

“Om, beneran mau pulang sekarang?” tanya Radey penasaran.

“Iya Dey, besok om ada jadwal operasi pagi. Jadi gak bisa ditinggal.”

Radeya menghela nafas panjang, ia beranjak dari kursinya, “Om, makasih banyak ya. Om udah nyelametin nyawa Radey. Makasih banyak buat semua kebaikan om ke Radey, makasih karena om udah dengan tulus rawat Radey. Radey janji, suatu saat, Radey bakal bales semua kebaikan om.”

“Radey, sama-sama yaa. Sehat-sehat kamu, dari sana om juga bakal tetep bantu cari donor mata buat kamu ya. Jangan lupa, kapan-kapan main ke rumah om, ajak juga adik-adik kamu ini.”

“Iya om, Radey janji itu. Sekali lagi makasih banyak.”

“Iya sama-sama.”

“Ahza mana om?” tanya Radey tiba-tiba.

Ahza yang tengah bersandar di pintu masuk kamar Radiv pun langsung menoleh setelah mendengar namanya di sebut oleh Radeya.

“Kenapa Yayaaaa??” tanya Ahza langsung menghampiri Radeya.

Lucu banget Yayaaaa” bisik Naka pada Cavin di sampingnya.

“Kenapa? Ada apa panggil Ahza??” tanya Ahza penasaran.

“Sini hadepan sama gue. Suara lo kayanya masih jauh dari gue. Gue mau peluk lo.”

“Ehhh anjirrr ni anak dua tahun ngilang udah maen peluk pelukk,” ucap Juna heran.

“Mereka beneran pacaran?” tanya Cavin.

“Mana gue tauuuu,” jawab Jendra juga tampak bingung.

Wajah Ahza langsung memerah setelah mendengar ucapan Radeya itu. Ia pun memutuskan menambah langkahnya, hingga dirinya tepat 20 cm berada di hadapan Radeya. Radeya yang merasakan kehadiran Ahza, langsung memeluk erat wanita di hadapannya.

Astagaaa, ajaran siapa inii???” batin Chandra heran.

“Tutuppp mataaa tutup mataaa, jomblo gak boleh liattttt,” sindir Naka pada keempat sahabatnya.

Radiva yang melihat itu langsung tersenyum tipis dibarengi dengan raut wajah gemasnya, “Ihh kaka pelukk pelukk perempuan....” Gumamnya sembari menatap ke arah Radeva yang duduk di sampingnya.

“Lahhh apa lo liatin gueee?????” tanya Deva heran.

“Ahhh engga, lucu ajaaa itu. Kamu kapan Dev???” tanya Radiva dengan nada yang agak sedikit menyindir.

“Anjirrr, sadar diri ya, lo juga bisa gue tanyaaa, lo kapan kaya gituuu Divv???”

“Ya nanti kalo hilal jodoh Radiv udah keliatan hehehe.”

“Halahh jodoh jodohhh, kebiasaan lo aja masih suka nangisin kucing yang nyangkut di pohon. So soan pake acara bahas jodoh.”


Ahza membalas pelukan Radeya dengan erat, “Tumben, kenapa Yaya mau peluk Ahza?” tanya Ahza penasaran.

“Gue mau bilang makasih sama lo Za. Makasih karena lo udah mau ngurus gue selama ini, makasih karena lo udah selalu jaga dan rawat gue, lo selalu bantu disaat gue kesulitan. Makasih banyak ya, 2 tahun terakhir ini, lo jadi salah seorang yang berperan penting di hidup gue. Gue sayang sama lo Za. Maaf karena gue gak bisa bales perasaan lo, gue cuma bisa anggep lo sebagai seorang adik, gak lebih. Sekali lagi makasih banyak Za, sehat sehat di sana ya. Kapan-kapan gue bakal main ke sana ya!”

“Ahhhhhh Yaya, kenapaa bilang bilanggggggg. Kan maluuuuu,” gerutu Ahza langsung melepaskan pelukannya.

“sebenernya sengaja, siapa tau ni sahabat gue ada yang kepincut sama lo kann.”

Ahhh ternyata cuma dianggap adek ama Deya,” batin Hilmar, langsung tersenyum tipis.

“Tauu ah Yaya nyebelin, bye Ahza mau pulanggg, sehatt sehat yaa Yaya,” ucap Ahza, tiba-tiba mengambil kesempatan emas, berjinjit tepat di hadapan Radeya, dan mencium pipi kanan laki-laki di hadapannya, setelah itu Ahza langsung berlari keluar.

“Ehhh anjir Zaaaaa, kokkk??” ucap Radeya kaget dengan mata yang membulat.

“Ehhh ehh anjir diciumm,” ucap Juna dengan tawanya.

“Mengkagettttt ga sih loo pada????” tanya Cavin pada keempat sahabatnya.

Katanya sodaraan, tapi dicium,” batin Hilmar.

“Radivvvvv tutup mataaaaaa aaaaaaaaaaa.” Jelas Radiva dengan kedua tangan yang benar-benar menutup matanya.

“Anjir kaka gueee,” ucap Deva tidak percaya.

Wenda dan Chandra hanya bisa tersenyum melihat apa yang dilakukan adik dari Dokter Jefan itu pada anak kembar pertamanya, Radeya.

nd

Jefan, Wenda, dan masa lalu

Di tempat lain, ada Wenda yang tengah duduk di ranjang rumah sakit, dirinya sudah sadar sejak 30 menit yang lalu.

“Dokter Jefan? Apa anda benar-benar tidak ingin menceritakan semuanya pada saya?” tanya Wenda menatap tajam ke arah Jefan.

Jefan menarik nafas dalam-dalam, “Bu Wenda, hmm maaf sebelumnya. Apa anda benar-benar tidak mengingat saya sama sekali?” tanya jefan penasaran.

“Maksud anda?”

“Saya Jefan Jordan Mahesta, ingat dengan nama ini?” tanya Jefan menatap ke arah menatap Wenda.

Chandra yang sudah paham maksud Jefan itu memilih untuk keluar dari ruangan, dan membiarkan Wenda dan Jefan berbicara menyelesaikan semuanya.

Wenda terdiam, memikirkan maksud dari ucapan Jefan yang menyebutkan nama lengkap pada dirinya. Sembari ia memperhatikan wajah Jefan mencoba memahami apa yang laki-laki itu maksudkan. “Jee Jefffan? Kamuu? Kamu Jefan?” tanya Wenda gugup.

“Iya saya Jefan, Wenda Alliya.”

“Jee Jeefaan.... Jangan bilang, jangan bilang kalo kamu ngelakuin ini semua, karena aku?”

Jefan yang mendengar pertanyaan Wenda pun hanya bisa tersenyum tipis sembari melangkah mendekati Wenda.

“Saya hanya ingin membantu Radeya, Wen. Saya tidak bermaksud untuk menghubungkan hal ini dengan masa lalu saya dengan kamu. Wenda, setidaknya izinkan saya untuk membantu kamu sekali ini saja. Maaf jika saya lancang membawa Radeya tanpa sepengetahuan kamu. Saya pun benar-benar tidak percaya kala itu jika jantung Radeya kembali berdetak. Maaf jika selama Radeya tidak ada, malah membuat keadaan keluarga kamu kacau. Maafkan saya. Saya akan ceritakan semuanya sekarang juga. Setelah ini saya akan pergi, dan silahkan benci saya. Karena saya memang pantas mendapatkan itu,” jelas Jefan panjang lebar menjelaskan semua pada Wenda.


Jefan menceritakan semua kejadian selama dua tahun ke belakang


Setelah Jefan menceritakan semua, mata Wenda memerah, tidak lama setelah itu air mata keluar membasahi pipinya. Chandra yang mendengar isakan tangis istrinya itu, dengan cepat langsung masuk menghampiri Wenda yang masih bersama Jefan di dalam.

“Wenda. Kenapa kamu????” tanya Chandra khawatir.

“Engga pa. Aku cuma merasa bersalah sama Radey, Radiv, Radeva juga. Aku ngerasa kalo aku gak bisa jadi ibu yang baik buat mereka. Mereka semua menderita gara-gara aku pa. Maafin aku,” jelas Wenda merasa bersalah.

Chandra mendekat dan mengelus pundak istrinya. “Kamu gak salah Wen, aku yang salah. Gara-gara aku, gara-gara masa lalu aku. Anak-anak kita jadi korbannya.”

“Permisi, pak, Wenda. Saya izin keluar sebentar,” izin Jefan tiba-tiba.

“Jee Jefann, tunggu.” Ucap Wenda menghentikan langkah Jefan.

Wenda dengan mata yang berkaca-kaca menatap ke arah Jefan, “Jefan... Makasih banyak untuk semuanya...”

Jefan yang mendengar ucapan itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Wenda menoleh ke arah Chandra di sampingnya, “Pa, aku boleh peluk Jefan? Sebentar aja? Dia udah nolongin Radeya, mulai hari ini dia udah ku anggap seperti saudara sendiri,” pinta Wenda dengan wajah memohon.

Saudara...” batin Jefan.

Chandra yang sebenarnya tidak nyaman dengan keinginan Wenda itu, terpaksa mengiyakan karena tampaknya ia merasa tidak enak hati jika menolak, “ Iya, silahkan.”

“Jefann....”

Jefan yang paham maksud Wenda, melangkah mendekat ke arahnya. Wenda atas izin Chandra, langsung memeluk Jefan erat. “Jefan, maafin aku. Dan makasih, kamu udah berjasa buat aku. Makasih udah jaga Radeya, makasih udah bantu banyak kebutuhan Radeya. Maaf atas semuanya, semoga secepatnya kamu bisa mendapatkan pendamping hidup yang baik. Dia pasti beruntung bisa dapetin laki-laki sebaik kamu.”

“Sama-sama Wenda, saya juga berterima kasih karena kamu ternyata tidak membenci saya.”

nd

Berdelapan


cw // harsh words


Juna, Jendra disusul Hilmar berlarian ke arah kamar Radiva. Tampak Cavin dan Naka berada di luar kamar Radiv, bersama satu anak perempuan yang berada di samping Cavin, tampak asing bagi mereka bertiga.

Perempuan itu? Dia kan yang tadi bareng Dokter Jefan....” batin Jendra penasaran.

“Anjinggg Cavinnnn, ada apaann sihh?? Si Jendra sampe ngebut bawa mobil serem, syukur-syukur kalo nyawa gue ada 10,” jelas Juna kesal dengan nafas yang tidak teratur.

“Inii lo berdua ngapain ada di luar coba? Bukannya temenin Radiv di dalem???” tanya Jendra heran.

“Anjir cape pisann. Urang lari-larian dari gedung ke parkiran. Langsung gas ke sini gusti. Ngomong-ngomong ini siapa Nak? Maneh bawa pacar baru ke sini?” tanya Hilmar sembari menatap ke arah Ahza di depannya.

“Enakk ajaaa pacar baruu. Pacar gue masih tetep yang kemaren,” ujar Naka kesal.

“Kita di luar karena di dalem sana lagi ada pertemuan langka. Makanya gue suruh lo bertiga ke Rumah sakit itu yaa buat liat pertemuan ini,” jelas Cavin kepada tiga sahabatnya itu.

“Maksudnya?” tanya Jendra bingung.

“Ini perempuan siapa sebenarnya? Ko ngeliatin gue mulu?? Beneran bukan pacar lo Nak?” tanya Juna dengan tatapan tajam menatap Ahza.

“Bukan nying, bukan pacar gue!!!”

Ahza yang tampak tidak enak hati karena dikira kekasih dari salah satu teman Radeya pun, tiba-tiba melangkahkan kakinya ke arah Juna, hingga mereka saling berhadapan. Ahza mengulurkan telapak tangan kanannya, “Halo, Ahza Aeleasha Mahatma, adik kandung Dokter Jefan, dokter yang dua tahun lalu menangani Kak Radeya.”

“Hahhhhh??? Adeknya Dokter Jefannn???” ucap Naka dan Cavin bersamaaan.

Nah kann, firasat gue bakal bener kayanya,” batin Jendra kembali.

“Dokter Jefan? Nanganin? Radeya? Ahhhhh gue tauu, iya gue tau Dokter Jefan, tapi terlepas dari lo adeknya Dokter Jefan, lo ngapain di sini? Secara kan Dokter Jefan gak kerja di Rumah sakit ini??” tanya Juna penasaran.

Geulis anjirr....” batin Hilmar, langsung tersenyum tipis.

“Akuu? Aku di sini nganter Yaya.”

“Hah? Yaya? Yaya siapa?” tanya Juna penasaran.

“Radeya, Kak Radeya.”

“Hah?? Maksud lo apa? Lo nganter Radeya? Maksudnya? Dih ini cewe kenapa coba? Masa nganter Radeya? Jelas-jelas Radeya udah ga-”

“Udah meninggal maksud kamu?” tanya Ahza memotong pembicaraan Juna.

“Yaa, iya. Radeya udah meninggal 2 tahun yang lalu. Ya walaupun sebenernya gue juga masih gak percaya sampe sekarang. Jadi gue pikir kayanya lo sakit deh ngomong kaya gitu.”

“Kak Radeya belum meninggal Kak. Selama ini dia tinggal sama aku, sama Kak Jefan,” jelas Ahza tanpa ragu.

“Plis, gausah ngarang heh tadi siapa nama lo? Ahza? Gausah ngarang Za,” ucap Juna tidak mempercayai ucapan Ahza.

“Nahkan, jangan-jangan yang gue liat tadi itu beneran Radeya?” ucap Jendra tiba-tiba.

“Maksud lo?” tanya Juna heran.

“Sebenernya pas tadi kita mau pergi, gue ngeliat Dokter Jefan, dan di sebelahnya ada Ahza, lagi ngegandeng anak cowo, dan gue ngira kalo anak cowo itu Radeya, tapi ya mustahil juga kata gue. Tapi ini barusan? Ahza bilang??”

“Ko lo gak ngomong ama gue???” tanya Juna kesal pada kaka kembarnya.

“Ya ngapain ngomong?”

“Ahh udahlahh, pokoknya Ahza engga bohong. Kak Radeya masih hidup! Kalo gak percaya tanya aja sama dua laki-laki ini,” ucap Ahza sembari menoleh lalu menunjuk ke arah Cavin dan Naka.

“Udah, Ahza pamit dulu. Mau susul Kak Jefan. Permisi.” Pamit Ahza langsung meninggalkan kelima anak laki-laki yang mengerumuninya.

“Jadi? Maksudnya apa ini??” tanya Juna kebingungan.

“Radeya masih hidup, Jun, Jen, Mar. Radeya masih hidup. Lo bertiga noleh aja ke kamar Radiv. Liat ada 3 orang dengan muka yang sama di sana,” jelas Cavin pada ketiga sahabatnya.

Ketiga anak laki-laki itu pun, langsung menoleh ke arah pintu dengan kaca transparan di hadapannya. Benar aja, tampak 3 orang anak laki-laki tengah berpelukan hangat.

“Demi allah? Radeya? temen aing??? Masih hiduppp? Hahh??” ucap Hilmar dengan berbagai pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

“Gue gatau mau sedih apa seneng.... Gue gak tau ini mimpi apa bukan.... Tapi..... RAADEYAAAAAAAA ANJINGGGGG GUE KANGEN BANGETTT SAMA LOOOO SATTTT!!!!!!!!!!” teriak Juna langsung berlari memasuki kamar Radiva, teriakannya membuat 3 kembar yang tengah berpelukan itu pun langsung bsaling melepaskan pelukannya.

“Juna???” ucap Radeya menoleh ke asal suara dengan tatapan kosongnya.

Juna melangkah dan langsung memeluk erat Radeya sahabatnya “DEYAAAAAAAA GOBLOKKKK!!! KANNNN APAAA GUE BILANGG, FEELING GUE KUATTTTT, KALO BUKANNN LO YANG ADA DI DALEM SANAAAAA. GUE TERLALU YAKIN KALO LO MASIH HIDUPP!! GUE SAMPE SEKARANG GAK PERNAH NGERASA KALO LO UDAH GAADA DEY. DAN SEKARANG, SEKARANG BENER KANN, LO MASIH HIDUPP!! DEYAAA LO KEMANA AJA GUE TANYA? LO JAHAT BANGET SAMA GUE! LO JAHAT NINGGALIN KITA, GUE UDAH KAYA ORANG GILA WAKTU LO DINYATAIN MENINGGAL SATTT!!!!!” ungkap Juna panjang lebar dengan air mata yang mengalir pada pipinya.

“Radey? Demi tuhan?? Ini beneran lo? Gue gak mimpi kan Dey?” tanya Jendra tampak tidak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya.

“Radeya demi allah ini beneran maneh? Urang kangenn banget anjir Deya. Lo ngeprank meninggal apa gimanaaa goblokk sekarang tiba-tiba muncul kaya giniii????????” jelas Hilmar dengan nada bicara yang tidak jelas karena dibarengi dirinya yang tengah menangis.

“Iya, ini gue. Gue Radeya, gue masih idup. Tuhan masih baik sama gue, gue masih dikasih kesempatan buat ketemu kalian lagi hahaaa.”

“Jangan ketawa lo anjing! Gue sedih ini, bisa-bisanya lo haha haha!” ucap Juna kesal, dengan dirinya yang tampak masih memeluk Radeya dengan erat.

“Yaudah, maaf ya. Sekarang juga, gue ceritain semua kejadiannya sama lo pada. Junaaaa, udah dulu ini lepasin gue engap yaallah dari tadi pada seneng banget meluk gue.”

“Ya seneng lah, secara lo tiba-tiba muncul setelah dua tahun dikira meninggal,” ucap Juna langsung melepaskan pelukannya dari Radeya.

“Tapi gue mau jujur tentang sesuatu dulu sama kalian...”

“Apaa??”

“Kenapa Dey??”

“Naon dey? Aya naon??”

“Gue gak bisa liat, Jun, Jen, Mar. Gue buta,” jelas Radeya memberitahu tentang keadaan dirinya.

Radiv yang kembali mendengar ucapan kakanya mengenai kondisi penglihatannya, kembali meneteskan air mata, dan Deva yang peka dengan kesedihan kakanya, langsung memeluk memenangkan Radiva.

“Anjing? Maksud lo? Kenapa? Ko bisaa?” tanya Juna penasaran.

“Dey? Serius?” tanya Jendra juga ikut penasaran.

“Naha bisa Dey? Maneh selama ini gak bisa ngeliat? Atuh gimana??”

“Oke, bantu gue duduk dulu di sofa. Gue ceritain semuanya. Lo berlima harus dengerin baik-baik ya. Gue gaakan ngulang dua kali, cape.”

30 menit Radeya menceritakan semua kejadian selama 2 tahun ke belakang

“Yatuhannnn Deyy, lo pasti kesulitan bangett. Maafin kita ya, kita gak ada di samping lo selama ini,” jelas Juna merasa bersalah.

“Iya Dey, lo pasti kesiksa banget kaya gini. Lo kuat banget Dey,” ucap Cavin sembari mengelus sebelah pundak Radeya.

“Kalo gue jadi lo, gatau deh.. Hmm tapi gue bersyukur lo balik Dey, makasih karena lo udah mau bertahan sampe saat ini,” jelas Naka yang tengah asik memainkan vas bunga di meja kamar Radiva.

“Radey, kita janji, kita bakal bantuin lo buat dapet donor mata secepatnya. Pokonya lo gak boleh sungkan sama kita, jangan pernah lo mikir kalo keadaan lo sekarang itu cuma nyusahin kita, itu engga sama sekali. Kita bakal selalu ada buat lo Dey, sampai kapan pun. Pokonya semoga secepatnya lo bisa ngeliat lagi Dey, dan nanti pasti bakal jadi suatu kebahagiaan juga pas lo udah bisa liat, karena lo bisa liat Radeva untuk pertama kalinya,” jelas Cavin panjang lebar pada Radeya sahabatnya.

“Gue gak bisa bilang apa-apa sama lo semua. Gue cuma mau bilang makasih, makasih karena lo semua udah selalu ada buat gue. Dan makasih karena lo semua udah bisa gantiin posisi gue buat Radiv selama gue gaada di samping dial,” jelas Radeya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Sama-sama Dey. Inget, kita bukan temen yang cuma ada buat sesaat, bukan temen yang ada cuma pas lo seneng, dan ninggalin pas lo susah. Kita sahabatan udah sejak lama, bahkan sekarang kita udah bisa disebut keluarga. Gue harap, sampe kita tua, kita masih bisa terus barengan, sampe lo semua punya cucu pun, kita harus bisa kumpul kumpul seenggaknya cuma buat ceritain gimana suka dukanya masa muda kita. Gue harap, kita tetep berdelapan, tetep berdelapan, gak boleh ada yang pergi lagi. Gue, Naka, Hilmar, 2 kembar Nareswara dan 3 kembar Jayachandra,” jelas Jendra panjang lebar, langsung menunduk meneteskan air matanya.



wxyzndaa

Eh btw w mau daftar jadi istrinya Jefan bye

Jangan lagi, ya?

Kurang lebih 10 menit lamanya, kedua kembar itu saling berpelukan. Sampai akhirnya Radey melepaskan pelukannya dari Deva.

“Udah Dev, lepasss. Engapp gue,” ucap Radeya sembari melepaskan pelukannya dari Deva.

“Yallah ka, baru 10 menit gue meluk lo. Gitu amat,” balas Radev dengan raut wajah yang tampak kesal.

“Radiv aja meluk gue cuma 5 menit doang.”

“Ya lo bayangin aja ka, wajar kali gue meluk lo lama, secara kita udah gak ketemu belasan taun.”

“Ya iya sih bener, maafin gue..”

“Tapi ka, maaf banget. Gue gak inget apapun tentang lo, karena dulu gue sempet kecelakaan. Dan kayanya gue lupa ingatan semenjak itu.”

“Kapan? Waktu lo ilang itu?”

“Iya, dulu Tante Joanna sempet bahas soal kecelakaan sama Papa Daido.”

“Jangan sebut nama Joanna di depan gue Dev. Gue benci dia...”

“Hmmm maaf, ka.”

“Hmm yaudahlah, lupain aja. Meskipun lo gak inget apapun, yang penting lo inget, kalo lo adalah bagian dari keluarga Chandra.”

“Kaaaaaa.” Ucap Radeva menatap Radey dengan mata yang berkaca-kaca.

“Apa?” tanya Radey singkat.

“Gue terharu. Gue gak nyangka bisa ketemu lo sekarang.”

“Ya sama, gue juga Dev. Dev, gue mau minta tolong,” ucap Radey lembut pada adiknya.

“Minta tolong apa?” tanya Deva bingung.

“Arahin gue ke Radiv...”

“Ohh, oke ka. Lo duduk di sini ya,” ucap Deva sembari memegang kedua pundak radeya, membantunya duduk di kursi samping ranjang Radiva.

“Radiv masih belum bangun ya?” tanya Radey dengan tatapan kosong yang mengarah ke depan.

“Iya belum. Dari kemaren dia belum sadar juga. Kata dokter sih sebentar lagi bangun, tapi ini udah 24 jam, gue takut ka,” jelas Radeva khawatir.

“Engga Dev, Radiv gapapa. Dia cuma kecapean aja. Dia cuma mau istirahat. Lo gak boleh mikir aneh-aneh. Dua kembaran gue kuat, lo, Radiva juga.”

Kedua tangan Radey mengarah ke depan, meraba sekitaran ranjang di hadapannya, mencoba mencari keberadaan telapak tangan Radiv, “Dev, bantuin. Ini tangan Radiv sebelah mana?” tanya Radey. kebingungan.

“Ini kaaaaaa.” Ucap Deva langsung mengalihkan telapak tangan Radeya ke atas punggung tangan Radiva.

“Ini Diva, bener?”

“Iya ka, siapa lagi? Buat apa gue di sini kalo bukan nungguin Radiv.”

“Heem, oke.”

Kedua tangan Radeya menggenggam telapak tangan kanan Radiv, mencoba memberikan kehangatan pada adik kembar kesayangannya itu.

“Div, halo.. Ini gue, Radey. Kaka lo, kembaran lo, orang yang suka kesel setiap liat kelakuan lo. Apa kabar Div? Hmm gue tau, kalo lo bangun pasti lo bakal bilang, kabar Radiv gak baik ka, Radiv cape, Radiv cape gaada kaka. Itu kan yang lo bakal omongin ke gue?”

Radey semakin menggenggam erat telapak tangan Radiv, menempelkan genggaman tangan tersebut pada pipinya. “Div, maafin gue... Maafin gue karena udah ninggalin lo selama ini, maaf, gue jahat banget sama lo Div... Bangun yu, liat, ada gue di sini Div. Ada Radev juga, bangun Div. Gue janji, gue gak bakal ninggalin lo lagi. Tapi lo bangun dulu, gue mohon Div,” tutur Radeya dengan air mata yang sudah tampak mengalir pada pipinya. Di samping itu, Deva yang berada di samping Radey pun ikut merasakan apa yang tengah dirasakan kakanya.

“Div, gue mohon. Bangun, kita jalan-jalan lagi kaya dulu. Sekarang, kita bisa jalan-jalan bertiga. Lo bisa nyetir sepuasnya, sesuka hati lo. Bangun Div, lo gak kangen sama gue? Dua tahun loh? Masa momen gue balik ke sini lo malah baring di ranjang Rumah sakit kaya gini?”

“Ka, udahh. Nanti lo cape ngobrol mulu,” jelas Deva sembari mengelus pundak kakanya.

“Gue yakin Dev, sebentar lagi Radiv bangun. Gue yakin itu, dia anak kuat, dia bukan anak yang lemah. Jadi, dia pasti bangun sebentar lagi.

Tidak lama setelah Radeya melontarkan ucapannya pada Deva, jari telunjuk tangan kiri Radiva bergerak tiba-tiba.

“Kaaaaa, Ka Radey, itu jari Radiv gerak kaaaa,” jelas Deva antusias.

“Kannn, apa gue bilang. Anak ini pasti bangun...”

Radiv tampaknya merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya, kedua kelopak matanya terbuka secara perlahan, tangan kirinya terangkat ke atas dada, tampak selang infusan menempel di punggung tangan kiri Radiva. Radiva yang merasakan ada seseorang yang menggenggam erat tangan kanannya, langsung menoleh ke samping kanan, entah mimpi atau bukan, dengan penglihatan yang masih samar-samar, ia melihat 2 anak laki-laki dengan wajah persis dirinya berada di samping kanan ranjang tidurnya.

“Pusinggg bangettt kepala Radiv...Devaa? Kamu gak kenapa-kenapa kann? Kamu gak luka kan??”

Radiv yang baru sadar itu, tiba-tiba langsung menanyakan keadaan adiknya, khawatir atas dorongan yang cukup keras kemarin ia lakukan pada Deva. “Div, akhirnya lo sadarrr. Gue gapapa ko. Gue gak luka sama sekali. Lo harusnya khawatirin diri lo, bukan gue.”

“Diva gapapa Dev, Diva juga baik-baik aja. Syukurlah kalo kamu gak kenapa-kenapa,” jelas Radiv dengan suara yang sangat pelan.

“Tapi Dev, ini kenapa pandangan Radiv jadi dua gini? Ko kamu jadi ada dua? Yang satu berdiri, yang satu duduk sambil pegang tangan Radiv. Ini kenapa ya? tanya Radiv kebingungan sembari menatap ke arah Radeya di sampingnya.

“Divv, penglihatan lo gapapa ko. Yang lo liat emang bener ada dua. Tapi bukan 2 Radeva. Gue Radeva yang berdiri, dan yang duduk di samping lo itu, Ka Radeya, Div,” jelas Deva spontan pada Radiva.

“Deva, jangan ngarang kamu. Mana ada Ka Radeya. Ah ini Radiv pasti halusinasi,” ucap Radiv sembari mencoba melepaskan genggaman tangannya dari Radeya.

“Ihhh? Koo?? Ko ini gabisa lepassss? Deva tolongin ini kenapa sihhh? Ini siapaa??? Kooo? Ko bayangannya jadi beneran mirip kaka?”

Radeya yang sejak tadi terdiam, akhirnya membuka suaranya. “Radiv, ini gue, Radeya, Kaka lo.”

“Astagfirullah Diva, kamu sadarr, jangan sampe kamu mikir kalo ini beneran kaka, Divaa,” gumam Radiva dengan mata yang terus ia pejamkan berulang kali.

“Radiva, liat ke gue. Liat dengan bener, lo sekarang sadar. Dan lo pasti bisa bedain, mana cuma halusinasi dan mana yang emang beneran.”

Radiv akhirnya menatap Radeya dalam, memperhatikan detail wajah kakanya dengan serius.

DEGGG Kala itu juga, Radiva menyadari bahwa orang yang ada di sampingnya itu adalah benar-benar kakanya, Radeya.

“Ka Radey?” sapa Radiva lembut dengan wajah yang tampak sangat kebingungan.

“Iya Div, ini gue, Radey.”

“Kaaa, iii iiinii beneran kaka? Ra rraa Radiv gak mimpi kan???” tanya Radiv dengan suara yang mulai bergetar.

“Iya Div, lo gak mimpi. Orang yang di samping lo ini, masih hidup, Radiva.”

Entah ekspresi apa yang harus Radiva perlihatkan kala itu, kesadarannya benar-benar tengah dipermainkan.

“Deva.....” lirih Radiv pada adiknya.

“Kenapa Div?”

“Radiv mimpi ya?”

“Engga Div, engga mimpi sama sekali.”

“Tapi...”

“Coba lo bangun, sini gue bantuin, peluk Ka Radeya. Kalo lo bisa peluk, artinya lo gak lagi mimpi, Div.”

Atas saran yang Deva berikan pada Radiva, Radiv pun bangun dengan perlahan dibantu Deva, sampai ia mendapatkan posisi duduk yang nyaman di ranjang. Setelah itu, Radeva membantu Radey untuk berdiri, “Div, nih, coba peluk.”

Tanpa pikir panjang, Radiv langsung memeluk erat Radey yang sudah berdiri di sampingnya, Radey pun tanpa ragu membalas pelukan adiknya itu.

DEGGG

Radiva benar-benar merasakan balasan peluk dari Radeya kakanya. “Kakaa....”

“Radiv, ini gue Div, gue, Radeya.”

“Kakaaaaaaaaaaaaa, ini beneran kakaaaaaaaaa? Kaka? Jadi selama iniiiiii? Selama iniii kaka masih hidup? Kaka kemana aja ka? Radiv takut... Radiv hancur ka... Dunia Radiv, dunia Radiv hampir aja runtuh karena kepergian kaka... Kaka kemana aja selama ini?? Kaa, Radiv sedih... Hari hari Radiv hampa banget karena gaada kaka...” jelas Radiv terang-terangan dibarengi isakan tangis yang mulai terdengar jelas.

“Div, maafin gue. Gue gaada di samping lo selama 2 tahun terakhir. Maafin gue Div, gue udah buat hidup lo menderita selama ini. Tapi, semuanya kuasa tuhan, gue juga gak tau kenapa gue bisa dikasih kesempatan buat lanjutin hidup. Semuanya mendadak Div, nanti gue bakal ceritain semuanya sampai lo ngerti. Maafin gue ya, gue sayang banget sama lo.”

Tangis Radiv semakin pecah setelah dirinya mendengar kalimat yang selama ini sangat sulit terucapkan langsung dari mulut kaka kembarnya itu, gue sayang sama lo. “Kaaaaaa, maafin Radiv, maafin Radiv karena dulu malah ninggalin kaka. Maafin Radiv kaa, coba Radiv ada di sana. Kaka pasti gak akan kecelakaan, kaka pasti gaakan pergi ninggalin Radiv.”

“Takdir Div, tuhan sengaja ngebuat lo gak ada di sekitar gue karena tuhan gak mau lo ngeliat kecelakaan tragis yang gue alamin.”

“Kaaa, tapii....”

“Udah ya, jangan dibahas lagi. Cukup, lupain semua kejadian yang lalu,” tutur Radey sembari mengelus punggung Radiva.

“Radiv, tapi sebenernya gue mau ngomong sesuatu...”

“Kenapa ka?”

“Gue gak bisa liat Div, udah hampir 2 tahun, gue buta. Maafin gue kalo kehadiran gue sekarang malah bakal nyusahin lo sama Deva,” jelas Radey mengakui tentang keadaan dirinya.

Radiva melemas, kedua tangannya juga ikut melemas, pelukan erat yang dilakukan sejak tadi tiba-tiba terlepas begitu saja. Radiv menunduk kepalanya, tidak lama setelah itu, ia memukul kepalanya dengan keras. “RADIV BODOHHH, RADIV BODOHHH NGEBIARIN KAKANYA KECELAKAAN!!! RADIV BODOHH, LIAT SEKARANG APA YANG TERJADI DIV, KA RADEY GAK BISA LIATTT, DAN ITU SEMUA GARA-GARA KAMU DIVV!!!” teriak histeris Radiva memukul ke bagian kepala dengan bekas jahitan kemarin.

“Ahhh, sakittttt. Sakitt bangettt,” lirih Radiv merasakan sakit pada area bekas jahitan di kepalanya.

“Bodohhhh, Radiva bodohhh. Lo ngapain mukul mukul kepala gue tanya? Apa dengan mukul kepala, lo bisa buat Ka Radey ngeliat? Engga Div!!! Yang ada lo malah buat Ka Radey sedih!!! Lo mau buat Ka Radey sedih hahhhh???!!” jelas Deva kesal dengan apa yang baru saja Radiv lakukan.

Tanpa fikir panjang, tiba-tiba Radiva mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak terfikirkan oleh kedua kembarannya, “Ambil aja mata Radiv ka. Mau ya?”

Deva tampak geram mendengar perkataan yang baru saja Radiva lontarkan, ia langsung menghampiri Radiva, “LO KALO NGOMONG PIKIR DULU DIVAA!!!! GAK SEMUDAH ITUU DONOR DONOR MATAA!!! LO NGASIHIN MATA KAYA MAU KASIH SUMBANGAN ANJIR!!”

“Deva, tapi... Tapi Radiv gak bisa kalo liat kaka kaya gini. Jadi biarin aja Radiv yang gak bisa liat. Dev, pasti kaka juga pengen banget liat wajah kamu...”

Raut wajah Radey langsung berubah dratis, tampaknya ia sangat kesal dengan ucapan yang dilontarkan Radiv padanya. Radeya menghela nafas panjang, “ENGGA. GUE GAK MAU PAKE MATA LO! MATA LO JELEK ASAL LO TAU. DEMI APAPUN, KALOPUN CUMA MATA LO SATU SATUNYA YANG ADA DI DUNIA INI, GUE GAK BAKAL MAU NERIMA.”

“Kaa, tapi...”

“Cukup yaa!!! Gue gak mau denger lo ngomong kaya gitu lagi! Papa juga lagi usaha buat cari donor. Lo bantuin doa aja, biar secepatnya ada donor mata yang bagus buat gue.”

“Kaaa, maafin Radiv...”

“Sekali lagi lo minta maaf, gue bakal pergi lagi. Mau?”

“Jangan...”


Kurang lebih setengah jam, Radeya menceritakan semua kejadian tentang dirinya selama 2 tahun terakhir pada kedua adiknya. Hingga sampai pada satu ucapan yang Radiv lontarkan, sembari meminta Radeva dan Radeya untuk mendekat kepadanya, ketiganya saling memeluk erat satu sama lain, tidak tampak celah kosong untuk orang lain masuk ke dalam lingkaran pelukan ketiga kembar itu, “Ka Radeya, makasih udah bertahan. Deva, makasih juga udah bertahan selama ini. Sekarang, saling jaga ya, Radiv harap kita bisa terus sama-sama sampai nanti. Radiv harap, gaada lagi di antara kita yang tiba-tiba pergi. Radiv sayang kalian...”

Tuhan, Radiv mohon. Jangan lagi, ya?” batin Radiva, tanpa sadar langsung meneteskan air matanya.

nd

Gue kaka lo

Ahza menggandeng Radeya hingga sampai tepat di depan pintu kamar adiknya Radiv.

“Yaya, yakin mau masuk?” tanya Ahza khawatir.

Radey menghela nafas dalam dalam, “Radey, lo bisa. Lo gak boleh jadi pengecut cuma gara-gara lo gak bisa liat. Adik lo sakit, lo harus masuk ke dalem,” batin Radey mencoba menguatkan dirinya.

“Iya Za, ayo masuk.”

“Okedehh, Ahza buka ya pintunya.”

Ahza membuka pintu kamar Radiva dengan perlahan, tampak ada 3 orang anak laki-laki yang langsung menatapnya.

“Cari siapa ya?” tanya Cavin pada Ahza.

“Maaf, ini bener kan kamarnya Kak Radiva?”

“Iya, ini kamar Radiv. Kamu siapa?” tanya Cavin kembali.

“Ada yang mau ketemu Kak Radiv.”

“Siapa sih?” tanya Naka bingung.

Radeva yang mendengar perkataan Ahza yang menyebutkan ada yang ingin bertemu dengan Radiva, langsung menoleh ke arah pintu. Ahza yang melihat wajah Radeva, langsung terkejut tidak percaya, “Ini kali ya Kak Radeva? Mirip banget sama Yaya. Kalo Kak Radiv, keliatannya lebih manis,” batin Ahza, langsung tersenyum.

“Halo, siapa yang mau ketemu kaka gue?” tanya Radeva langsung.

“Ohh iya maaf, aku lupa. Inii orangnya,” ucap Ahza sembari menuntun seorang anak laki-laki dari balik pintu untuk masuk ke dalam.

“Siapa itu?” tanya Naka.

Radeya masih menundukkan kepalanya, dengan kupluk hoodie yang kembali ia gunakan untuk sedikit menutupi bagian wajahnya, juga kacamata hitam yang juga kembali ia pakai.

“Lo siapa? Temennya Radiv kah? Satu Fakultas? Atau satu jurusan?” tanya Cavin penasaran.

Radeya menghela nafas panjang, ia memberanikan diri untuk memperlihatkan siapa dirinya. Deya langsung menegakkan kepalanya, menyingkirkan kupluk hoodie yang menutupi kepala, dan melepas kacamatanya.

DEG

Seketika pandangan ketiga anak laki-laki itu tidak lepas menatap wajah seorang anak laki-laki yang baru saja datang berniat untuk menemui Radiva.

“ANJING? KO? LO? KO MIRIP RADEYA? LO? LO SIAPA? tanya Naka gugup, benar-benar kebingungan.

“Radeya? Ini lo Radey? Apa gue yang salah liat? Apa mata gue rusak? Apa gimana inii? Anjir? Kenapa lo mirip banget temen gue?????” tanya Cavin heran.

Radeva benar-benar terdiam mematung, terus menatap seorang anak laki-laki di hadapannya yang memiliki wajah persis dengan dirinya.

Dengan suara gugup, Radeva memberanikan diri untuk bertanya, “Lo? Lo siapa? Kee keenapaa? Keeenapa lo mirip Radeya kaka gue? Kenapa bisa?? Lo siapaa??” tanya Radeva dengan nada bicara yang gugup, dengan dirinya yang tiba-tiba merasa lemas.

“Radeva?” tanya Radeya tiba-tiba.

“Anjing? Dia sampe tau nama Deva Vinnnn,” bisik Naka pada Cavin di sampingnya.

“Iii iya. Gue Radeva, lo siapa sebenernya?” tanya Radeva penasaran.

“Gue Radeya, kaka lo, Dev.”

Deva benar-benar semakin terdiam setelah mendengar ucapan yang dilontarkan oleh anak laki-laki itu. Ia langsung terduduk lemas di kursi samping ranjang milik Radiva.

“Cavin, Naka. Lo percaya kan kalo ini gue?” tanya Radeya tiba-tiba pada kedua sahabatnya.

“Cavinnnnn, dia tau nama kitaa anjirrrr. Gimanaaaaa?” tanya Naka panik sembari terus menatap ke arah Radeya.

“Radey? Ini beneran lo? Ini beneran lo kan? Ini beneran lo? Beneran?” tanya Cavin, sampai tidak sadar ia terus mengulang pertanyaan yang sama pada Radeya.

“Iya, ini gue Radeya Vin, Nak. Gue, Radeya Jovan. Anaknya papa Chandra, yang selalu kalah ps dari lo berdua,” jelas Radeya langsung pada kedua sahabatnya.

“RADEYAAAAA????? JADI INI BENERANNN LOOO???? GUE GAK MIMPIII??? INI BENERAN LOOO ANJIR?? DEYAAAAA GUE KANGEN BANGET SAMA LOO!!!!!” jelas Naka langsung menghampiri Radey dan memeluknya erat.

“RADEYAA, DEMI TUHANNN. KENAPA BISAAA?? TERUS YANG DULU DI KUBUR SIAPAAA??? DEYAA? SUMPAHHH?? GUE KANGEN SAMA LOO!!!” jelas Cavin juga langsung memeluk Radeya erat.

“Nanti gue ceritain sekaligus ya. Biar gue gak ngulang ngulang cerita yang sama.”

“Deyaaa, demi tuhan. Lo dua tahun ngilang kemanaaaa?????” tanya Naka sembari masih memeluk erat Radey.

“Gak kemana-kemana ko, gue ada. Makasih ya, lo berdua masih inget sama gue sampe sekarang.”

“Sialan Radeya! Mana bisa gue lupain lo anjirrrrrrr!!!!! Gue nangis gak karuan tiap inget lo. Gue kadang selalu gak percaya kalo lo udah gaada,” jelas Naka kesal.

“Tapi, maaf ya,” ucap Radeya tiba-tiba.

“Napa dey?” tanya Naka dan Cavin berbarengan.

”Gue gak bisa liat,” ucap Radeya tiba-tiba.

“Hah? Maksud lo gimana?”

“Ya, gue buta Vin, Nak. Selama 2 tahun ini, gue gak bisa liat.”

“Yatuhann, Radeya. Kenapa lo bisa jadi begini....”

“Gapapa ko. Udah dulu anjir ini peluknya, engap gue. Lagian lo lebay banget pada peluk-peluk.”

“BUKAN LEBAY YA ANJING! GUE KANGEN SAMA LO!! GUE GAK NYANGKAAA KALO LO MASIH HIDUPP RADEYAAAA!!!!” jelas Naka dengan air mata yang sudah mengalir pada pipinya.

“Yaudah, gue mau ketemu Radeva. Ahza, gue minta tolong, maaf.”

“Iya Yaya, sini..”

“Hah? Yaya? Dia siapa? Pacarnya Radey?” bisik Naka pada Cavin.

“Diem lo, gak penting banget.”

Radeya menghampiri Radeva yang tengah terduduk di kursi samping ranjang Radiva. “Deva? Lo di sini? Di mana sih? Coba pegang tangan gue,” pinta Radey pada adiknya.

“Lo? Lo beneran Radeya? Kaka gue? Ko lo tau kalo gue masih hidup?” tanya Radeva tampak bingung.

“Tau, gue tau semuanya. Gue juga tau cerita lo.”

“Jadi beneran? Lo? Radeya? Kaka gue?”

“Iya Dev. Gue Radeya, kembaran lo. Kaka lo juga.

“Ka Radeya.” Ucap Radeva sembari beranjak dari kursi, berdiri langsung memegang tangan Radeya.

Kaka....” batin Radeya.

“Iya gue. Kenapa?”

“Maafin gue ka. Gue yang udah buat lo kecelakaan. Gara-gara gue, lo kecelakaan. Dulu, gue ada di tempat lo celaka. Dan gue nyaksiin gimana lo...”

“Udah, cukup. Gue udah tau, Dev. Dan itu bukan salah lo.”

“Kaa, tapi... Tapi tetep aja, sekarang, sekarang lo gak bisa ngeliat, itu juga gara-gara gue. Gue pantes disalahin ka, dan gue kayanya gak pantes lo maafin...”

“Udah gapapa. Udah terjadi juga. Gue yang harusnya minta maaf. Andai dulu waktu kecil, gue gak terlalu sibuk main, lo pasti gak bakal ninggalin rumah selama belasan tahun Dev. Maafin gue ya.”

“Ka, gue mau peluk lo. Boleh?”

“Ko lo jadi kaya Radiv si minta peluk?”

“Ya kan gue adeknya.”

“Ya bener si. Yaudahlah, pertama kalinya juga lo meluk gue. Sini, gue gak bisa liat lo.”

“Wih anak dua ini ributnya lebih asik vin, tapi kita liat kalo yang satu lagi bangun,” bisik Naka pada Cavin.

“Hahha sutt, udah kita keluar aja ayo. Jangan ganggu mereka. Sekalian juga ajak itu pacarnya atau siapalah buat keluar juga.” Tidak ingin menganggu waktu berharga Radeya dan Radeva. Cavin, Naka diikuti Ahza memutuskan keluar dari kamar Radiv.

Hanya satu langkah saja, Radeva langsung memeluk erat kakanya, Radeya. Keduanya tampak menangis bahagia. Karena semesta, kembali mempertemukan mereka, dua kembar yang sempat sama-sama dianggap sudah tiada.

“Ka, makasih udah mau bertahan. Maafin gue ya, gue gagal jagain Radiv.”

“Gapapa Dev. Yang penting Radiv gapapa. Karena pasti selalu ada masanya, lo ngerasa gagal jadi saudara yang baik. Maafin gue juga ya, makasih karena lo juga udah mau bertahan selama ini. Lo kuat banget tinggal sama mereka. Gue harap, setelah lo kembali, lo bisa selalu bahagia, bareng gue, bareng Radiv.”

nd

Bunda, Ini Radey..

Hanya beberapa langkah lagi, Jefan, Radeya dan Ahza sampai tepat di depan kamar Radiv. Tampak Chandra dan Wenda tengah duduk di kursi tunggu. Karena di dalam kamar sudah ada Radev, Cavin dan Naka yang menemani Radiva.

“Radey, itu papa sama bunda kamu,” ucap Jefan dengan suara pelan.

“Iya om..Makasih udah kasih tau.”

“Pak Chandra.” Sapa Jefan sembari berjalan ke hadapan Chandra.

“Dokterrr Jefann. Alhamdulillah, kalian sampai dengan selamatt,” jelas Chandra pada Jefan.

“Pa, siapa?” tanya Wenda bingung.

Bundaa....” batin Radeya.

“Ini Dokter Jefan Wen. Dokter yang nanganin Radeya dulu,” jawab Chandra mencoba menjelaskan.

“Ahhhh iya aku inget, Dokter Jefan?”

“Iya Bu Wenda, saya Jefan.”

Tiba-tiba pandangan Wenda yang tengah berbincang dengan Jefan pun teralihkan kepada satu orang anak laki-laki yang berdiri digandeng oleh satu anak perempuan yang berada di samping Jefan.

“Dokter udah punya anak? Lucu banget sepasang gini,” tanya Wenda penasaran.

“Ohh bukan bu. Yang perempuan ini adik kandung saya.”

“Ohh anaknya yang laki-laki berarti ya?”

“Euuuu kalo yang laki-laki ini.....”

“Bundaa.....” ucap tiba-tiba anak laki-laki itu dengan suara yang lembut.

DEGGG

Suara yang tampak tidak asing di telinga Wenda, membuat dirinya terdiam sejenak. Memikirkan siapa anak dibalik kupluk hoodie dan kacamata hitam ini yang tiba-tiba saja memanggil dirinya dengan sebutan bunda..

Chandra yang sudah mengetahuinya hanya bisa terdiam, memperhatikan apa yang akan dilakukan Wenda setelah mengetahui wajah anak laki-laki di depannya.

“Ini Radeya, bunda..”

“Hah? Maaf dek, maksud kamu apa? Kenapa tiba-tiba sebut nama anak saya? tanya Wenda bingung.

“Wenda, ini memang benar Radeya. Radeya anak kamu,” jelas Chandra tiba-tiba, sembari mengelus lembut rambut Wenda.

“Paaa.. Udah cukup.. Papa jangan buat bunda kepikiran lagi paa..”

Radeya menghela nafas panjang, menyingkirkan kupluk hoodie dari kepalanya, lalu melepas kacamatanya.

“Bunda, Ini Radeya....”

Wenda yang tengah berbincang dengan Chandra, langsung menoleh setelah anak laki-laki di samping Jefan itu kembali menyebut dirinya sebagai Radeya. Dan..

“RADEYAAA? HAH? KAMU? KAMU SIAPA? KENAPA WAJAH KAMU MIRIP ANAK SAYA? SUARA KAMU? SUARA KAMU JUGAAA???? KAMU SIAPA?????” cecar Wenda yang tampak kaget dengan wajah anak laki-laki yang ada dihadapannya.

“Bu Wenda, ini Radeya, anak Ibu. Sebenarnya, Radeya tidak meninggal. Kala itu, tidak lama setelah Radeya dinyatakan meninggal, detak jantung dia kembali. Tuhan masih memberikan kesempatan hidup untuk Radeya. Sehingga tanpa sepengetahuan kalian, saya yang mengurusnya,” jelas Jefan pada Wenda.

“Maksud kamuuu apaaaa??? Maksud kamu apa bilang kalo anak saya sebenernya belum meninggal?????? Gak mungkin! Anak saya sudah meninggal 2 tahun yang lalu, kamu sendiri yang bilang kalo anak saya meninggal!!!”

“Wenda, tenang sayang. Coba tenang, liat wajah Radeya baik-baik. Kamu ibunya, kamu pasti tau, dia Radeya, atau bukan?” tutur Chandra mencoba menenangkan istrinya.

“Tante, tenang dulu ya. Coba liat dulu ke Ka Radeya,” ucap Ahza dengan senyumnya.

Wenda menatap Radey dengan tatapan tajam. Dengan sangat detail, ia memperhatikan Radeya dari atas kepala hingga ujung kakinya. Setelah itu, Wenda benar-benar terdiam. Hingga pada akhirnya, “Radeya? Deya? Anak bunda? Kamu anak bunda? Radeya Jovann??? Ini kamu? Kamu masih hidup? Bunda engga mimpi kan nak?” ucap Wenda dengan berbagai pertanyaan pada anaknya.

“Bunda, ini Radeya. Maaf, maaf karena Radey baru berani muncul sekarang. Maaf karena Radey, bunda sakit. Maaf karena Radey, bunda jadi sempet jahat sama Radiv. Maafin Radey bunda, karena ternyata kepergian Radey itu malah buat keluarga kita berantakan.”

“Radeyaaa, bundaa... Bundaa minta maaf nak. Bunda, bunda dari dulu gak sanggup buat kehilangan kamu sayang, maafin bunda. Radeya? Anak bunda, ini bener-bener kamu kan sayang?” tanya Wenda dengan air mata yang sudah mengalir deras, sembari memegang pipi Radey dengan kedua tangannya.

“Iya bunda, ini Radeya. Radeya Jovan Jayachandra, anaknya Bunda Wenda sama Papa Chandra,” jelas tegas Radeya pada bunda.

“Bunda, Radey boleh peluk?” tanya Radey dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Boleh sayang, sini.”

“Bunda, bunda di sebelah mana?” tanya Radey bingung.

“Maksud kamu? Bunda di depan kamu kan sayang...”

Chandra menghela nafas panjang, tidak tega untuk memberitahu kebenaran bahwa anaknya kini sedang mengalami masalah pada penglihatannya.

“Bu Wenda, maaf.. Tapi, Radeya....”

“Radeya gak bisa liat, Bunda.” Ucap spontan Radeya pada bunda.

Setelah mendengar ucapan yang Radeya lontarkan padanya, membuat Wenda hanya bisa terdiam mematung. Tanpa disadari, tidak lama setelah itu, tubuhnya melemas. Wenda pingsan, badannya langsung ditahan Chandra dari belakang.

“Wendaaa, heii, kenapa kamu???” tanya Chandra kebingungan.

“Bu Wendaaa, astagaaa. Pak Chandra, tunggu sebentar, saya panggil suster,” jelas Jefan langsung berlari mencari keberadaan perawat rumah sakit.

“Bundaa, bunda kenapa, bundaaa????” panggil Radey sembari kedua tangannya mengarah ke depan, tampak mencari keberadaan bundanya.

“Ahzaa, bunda kenapa Za???”

“Bunda kamu pingsan, Yaya.”

“Bundaaa, maafin Radey....”

“Udah Dey, gapapa. Bunda kamu cuma kaget aja, mending sekarang kamu temuin Radiva. Radiva belum bangun sampe sekarang,” pinta papa yang masih merangkul bunda, mencoba untuk memangkunya.

“Tapi paaa, bunda..”

“Udah gapapa. Ahza, tolong anter Radey ke kamar Radiv,” pinta lembut Chandra pada Ahza.

“Iya om.”

“Ayo Yaya, Ahza anter.”



nd

maaf ya, gjls emg