wxyzndaa

Radey ya harus siap

Tepat pukul setengah 12 siang, Radeya, Jefan dan Ahza, sampai di Rumah sakit tempat Radiva di Rawat. Jefan memutuskan untuk langsung datang ke Rumah sakit karena Chandra mengabari bahwa semua anggota keluarganya ada di sini. Jefan keluar dari dalam mobil, disusul Ahza, langsung membuka pintu untuk Radeya. Ahza membantu Radeya turun dari dalam mobil, lalu menuntunnya masuk ke dalam Rumah sakit.

“Tadi tuh kamar berapa?” tanya Jefan.

“Kaka yang dikabarin, kaka yang lupa, gimana sih,” jawab Ahza kesal.

“VIP 3A om,” ucap Radeya tiba-tiba.

“Ahh iyaa, ingatan kamu kuat dey.”

“Iya, Radey masih muda kan.”

“Dey? Siap ga? Kalo belum siap tunggu dulu aja. Orang tua sama adik-adik kamu ada di sana loh,” jelas Jefan khawatir pada Radeya.

Radeya sedikit terdiam setelah mendengar ucapan Jefan, “Terkadang gue lupa, kalo gue buta,” batin Radey, langsung menghela nafas.

“Siap om. Mau gimana lagi. Kayanya siap gak siap, Radey ya harus siap. Radey pengen liat keadaan Radiv, Radey pengen liat Radev. Meskipun untuk saat ini, keduanya itu mustahil buat Radey,” jelas Radey, langsung menundukkan kepalanya.

“Yaya, gak boleh gitu ya. Secepatnya Yaya bisa liat adik-adik Yaya ko,” tutur Ahza sembari mengusap punggung Radeya.

“Yasudah kalo begitu, ayo jalan lagi,” ajak Jefan pada kedua anak di sampingnya.

Jefan sudah membayangkan bagaimana suasana yang akan terjadi sebentar lagi. Karena Radeya, akan bertemu dengan keluarganya lagi. “Radiv, kaka kamu pulang. Radev, selamat, hari ini pertama kalinya kamu ketemu Radeya lagi. Pak Chandra, terima kasih sudah memahami semuanya. Dan Wenda, maaf karena saya merawat Radeya tanpa sepengetahuan kamu, semoga kamu bisa mengerti. Hmm mungkin sebentar lagi, semua itu akan bener bener saya ucapkan pada mereka,” batin Jefan.

nd

Tante bakal bantu kamu buat pergi dari sini

Satu jam perjalanan, Jefan mengarahkan mobil ke arah SPBU, berniat untuk mengisi bahan bakar mobilnya. Setelah mengantri kurang lebih 10 menit, Jefan kembali melajukan mobil dan memarkirkannnya tepat di depan mushala SPBU.

“Dey, subuh dulu ayo. Udah setengah lima,” ajak Jefan pada Radeya.

“Iiiya om. Ayo.”

“Yaudah bentar, om turun duluan, tungguin. Ohh iya Ahzaa, ayo bangun, subuhh dulu.”

“Om, Ahza lagi libur,” ucap Radeya tiba-tiba.

“Lah iya? Ahh iyaa, om lupa. Bisa-bisanya kamu lebih tau daripada om kakanya sendiri.”

Jefan keluar dari mobilnya, berniat membantu Radeya turun. “Om maaf, tongkat Radey mana ya?” tanya Radey bingung.

“Udah Dey, kamu pegang tangan om aja.”

15 menit kemudian

Jefan keluar dari Mushala, diikuti Radey dengan tangannya memegang pundak Jefan.

Radey kembali menutup kepalanya dengan kupluk hoodie, tidak lupa dengan kacamata hitam untuk menutupi matanya.

Dari kejauhan, tampak 1 mobil berwarna putih memasuki area SPBU, karena SPBU yang sudah mulai ramai, pengemudi itu memutuskan mengarahkan mobilnya ke arah mushala SPBU.

“Aku kira jam segini SPBU masih kosong. Ternyata udah penuh aja. Mending cuci tangan dulu lah.”

Pengemudi mobil itu adalah Joanna, wanita yang sedang menjadi incaran orang-orang suruhan keluarga Jayachandra. Joanna hendak membuka pintu mobilnya, namun tiba-tiba terhenti karena melihat seorang laki-laki dewasa yang tampak tidak asing baginya tengah berdiri di depan mushala. “Sebentar, Dokter Jefan? Ko dia di sini pagi pagi gini? Kota ini luas, kenapa aku bisa ketemu Dokter Jefan lagi? Dannn, itu di sampingnya? Kayanya orang yang sama waktu aku ketemu di Mall? Jangan-jangan Dokter Jefan beneran udah punya anak? Ah gak bisa liat, dia hoodiean mulu sama kacamata.”

“Tau ah, bodoamat juga aku. Mau anaknya ke, sepupunya, bukan urusan aku,” sambung Joanna kembali berbicara pada dirinya sendiri.

Jefan hendak menuntun Radeya ke arah mobil, namun tiba-tiba saja ada 2 anak kecil berlarian tidak karuan, mendekat dan tidak sengaja menabrak Radeya, hingga akhirnya, BRUKK.. Radeya terjatuh, membuat kupluk hoodie yang belum sempat ia serut kan terbuka, dan kacamata yang ia gunakan juga ikut terlepas.

“Anjirrr, bocahhh. Ngapain lari-lari sih,” gumam Radey kesal.

“Astagaa itu anak-anak ngapain lari lari di sini???? Gapapa kamu nak? Ada yang sakit ga?” tanya Jefan khawatir, sembari membantu Radeya kembali berdiri. “Gapapa om, gak sakit juga. Makasih udah bantuin.”

Joanna yang hendak membuka pintu mobilnya kembali terhenti karena ia tiba-tiba melihat dengan jelas siapa anak laki-laki yang bersama Dokter Jefan itu. “Hahhhh??? Ituuuu?? Diaa? Ko mirip Radey? Hahhh??” tanya Joanna kebingungan.

“Radey, ayo. Sini tangannya,” ajak Jevan pada Radeya.

Joanna benar-benar terkejut tidak karuan, tidak percaya dengan apa yang ia lihat, apalagi setelah mendengar nama ”Radey” yang Jefan tujukan pada anak laki-laki di sampingnya.

“Diaa? Radey? Maksudnya? Maksudnya apa? Radeya? Dia masih hidup? Jadi selama ini? Dia tinggal sama Jefan? Ko bisa? Padahal aku udah jelas-jelas liat kalo dia mati! Aku juga liat waktu dia di kubur! Dan ternyata? Dia masih hidup? Sialannnnnnn. Jangan-jangan alesan Dokter Jefan tiba-tiba mengundurkan diri dari Rumah sakit 2 tahun yang lalu itu adalah karena Radeya? Ahhhh siallll, ini gak bisa dibiarin, Chandra gak boleh kumpul lagi sama anak-anaknya, gak boleh!!! Sampai kapanpun, aku gak bakal pernah biarin kamu bahagia, Chandra!” ungkap Joanna panjang lebar, sampai ia tidak menyadari bahwa Jefan dan Radeya sudah tidak ada di area sekitar SPBU.

“Mereka kemana? Ko cepet banget perginyaa. Sebentar, tapi dari yang aku liat tadi, kayanya Radeya buta ya? Waktu di Mall, Dokter Jefan ngasih tongkat ke Radey, dan tadi, dia mau tuntun Radey? Hmmm kesian sekali kamu Radeya, tampaknya kamu hidup pun tidak ada gunanya. Jadi, kenapa kamu malah milih bertahan hidup? Padahal hidup kamu gak berguna? Joanna, kayanya kamu harus ubah rencana.”

“Oke Joanna, udah waktunya, kamu gak boleh sembunyi-sembunyi lagi kaya gini. Abis ini, aku bakal cari tempat tinggal Dokter Jefan. Dan Radey, Tante bakal bantu kamu buat pergi dari sini. Karena tante tau, kamu paling gak suka kan jadi orang yang gak berguna?” jelas Joanna dengan sedikit senyum liciknya.

Radeya – Ahza

Tepat pukul 3 dini hari, Radeya sudah bersiap-siap dibantu Jefan.

“Dey? Beneran mau pulang ini?” tanya Jefan sedikit tersenyum.

“Iya om. Radey pulang aja. Radey khawatir Radiv kenapa-kenapa. Radey gamau kehilangan dia.”

“Radey, kamu bener-bener kakak yang baik. Sehat-sehat ya kalian nanti.”

“Iya om. Aamiin.”

Tidak lama setelah itu, tiba-tiba Ahza keluar dari kamarnya dengan setelan rapi. “Katanya tadi gak mau ikut?” tanya Jefan heran.

“Gajadi. Ahza ikut, Ahza mau tau rumah Yaya. Biar nanti, Ahza bisa datengin yaya.”

“Za, lo gapapa? Lo marah sama gue? Kenapa?” tanya Radey bingung.

“Gapapa,” jawab Ahza singkat.

“Dari kemaren sore, setelah gue bilang mau pulang, lo gak ngobrol lagi sama gue. Bahkan, tadi malem gue minta anter ke dapur, lo gak keluar dari kamar,” jelas Radey tampak bingung.

Ahza menarik nafas panjang, melangkah mendekati Radeya yang sejak tadi berdiri dengan tongkat khusus miliknya. “Yaya?”

“Apa?”

“Bisa gak, gak usah pergi?” tanya Ahza tiba-tiba.

“AHZAAAA,” teriak Jefan dari arah kamar Radeya.

“Maksud lo? gue gak boleh pergi? Kenapa?”

“Ya karena gak boleh pergi aja.”

“Za, yang jelas.”

“Ahza gamau Yaya pergi. Ahza gamau Yaya jauh dari Ahza. Yaya di sini aja ya, jangan pergi. Ahza mohon,” pinta Ahza menatap Radey dengan mata yang berkaca-kaca.

Radey mengangkat tangan kanannya, mencoba mencari keberadaan Ahza, “Za, lo di depan gue kan? Coba tempelin tangan gue ke kepala lo.”

“Mau apa?”

“Tempelin aja.”

Ahza meraih tangan Radey dan mendekatkan pada kepalanya. “Nih, udah.”

“Ahza, gue gak akan ninggalin lo. Lo bisa kapan pun ketemu gue kalo lo mau. Kalo lo ada waktu, lo bisa dateng ke rumah gue nanti. Begitu pun sebaliknya, gue juga bakal sering sering main ke sini, bawa 2 kembaran gue sekalian. Dan lo bisa liat 3 Yaya sekaligus. Lo udah gue anggep kaya adik sendiri, lo udah nemenin gue selama 2 tahun ini. Lo udah banyak bantu gue. Jadi, lo jangan sampe berfikiran kalo gue bakal ninggalin lo Za,” jelas Radeya panjang lebar, sembari mengusap lembut rambut Ahza.

Ahza yang mendengar ucapan Radeya, tiba-tiba meneteskan air matanya. “Ka Radeya.”

“Za? Tiba-tiba? Panggil nama gue?” tanya Radey heran.

“Ahza sayang sama kamu, Ka.”

“Iya Za, gue tau. Karena lo juga pasti udah anggep gue kaya kaka lo sendiri kan?”

“Engga juga.”

“Terus?”

“Ahza sayang kaka lebih dari itu. Ahza sayang kaka bukan sebagai saudara, tapi sebagai laki-laki yang selalu ada buat Ahza. Ka, Ahza suka sama Kaka.”

Radeya yang mendengar pengakuan Ahza itu hanya bisa terdiam mematung. Mencerna semua ucapan Ahza yang dilontarkan padanya. Tidak jauh berbeda, Jefan pun ikut terdiam ketika mendengar pengakuan adiknya yang tampak menyukai Radeya.

“Za, maaf. Tapi gue cuma anggep lo sebagai adik, gak lebih, Ahza.”

“Gapapa Ka, Ahza tau. Dan Ahza sadar juga, Kaka gak mungkin suka sama Ahza.”

“Ahza, maaf.”

“Ahza boleh peluk? Buat terakhir kalinya, mungkin?”

“Boleh.”

Hanya membutuhkan satu langkah saja, Ahza menghampiri Radeya, dan memeluknya dengan sangat erat. Tanpa disadari, Radey melepaskan tongkat yang ia genggam di tangan kirinya, kedua tangannya terangkat dan membalas pelukan Ahza.

Jefan yang melihatnya, hanya tersenyum kecil melihat interaksi sepasang anak muda di hadapannya.

“Ahza, maafin gue ya.”

“Gapapa, ka. Harusnya Ahza yang minta maaf. Ahza terlalu berharap lebih lebih sama Kaka. Harusnya Ahza sadar diri, Ahza gak pantes buat orang sebaik kaka.”

“Lo baik Za. Gue yakin, suatu saat lo bisa dapetin orang yang lebih baik dari gue.”

“Gaada ka. Gaada lagi orang sebaik kaka di hidup Ahza.”

“Ehemmmmm, udahan pelukannya ayoooo, udah tigaa dua puluhh iniii,” ucap Jefan tiba-tiba dengan sedikit tawanya.

“IH KAKA GANGGUU.”

Keduanya pun saling melepaskan pelukan. “Yaudah ayo masuk mobil ka.”

Ahza menggandeng tangan Radey, berjalan ke luar menuju mobil Jefan. Tepat pukul 03.30, Radey, Jefan, juga Ahza berangkat ke Jakarta.

nd

Pa, Radey pulang

Ahza memberikan ponselnya pada Radeya yang tampak masih dalam keadaan setengah sadar.

“Yaya nih, Papa kamu,” ucap Ahza sembari menyimpan ponselnya ke genggaman Radey.

“Makasih Za. Gue pinjem dulu hpnya ya.”

“Iya Yaya. Yaudah, Ahza ke dapur dulu ya. Kalo ada apa-apa panggil Ahza.”

“Iya, Za.”


Panggilan telepon (Papa-Radey)

“Halo, Deya. Ini papa.”

“Iya pa, ini Radey. Kenapa telepon?”

“Dey, maaf kalo papa telepon tiba-tiba, tapi..”

“Tapi, tapi apa paaa?”

“Radiva Dey...”

“Radivvv kenapaaa pa??”

“Radiv kecelakaan Dey.”

“Pa, jangan bercanda. Radey gasuka sama orang yang suka bercanda.”

“Radey, papa serius. Buat apa papa bohong tentang anak papa sendiri.”

“Bisa aja papa bilang kaya gitu, biar Radey mau pulang kan?”

“Demi tuhan Radeya. Papa gak bohong. Radiva kecelakaan, dia ditabrak orang.”

“Paaaa. Siapa yang tabrak Radivaaaa????”

“Yazdan.”

“Yazdan siapa?”

“Yazdan anaknya Joanna. Adiknya Radeva dulu.”

“Gimana keadaan Radiv sekarang pa??”

“Radiv masih di IGD Dey.”

Radey menghela nafas panjang, menyembunyikan ponselnya ke arah bantal sofa, memejamkan kedua matanya, hingga pada akhirnya, ia kembali mendekatkan ponsel ke arah telinga,

“Halo pa, Radey pulang.”

“Radeyyy???? Serius?? Kamu gak bercanda??

“Engga pa. Radey serius. Radey pulang. Besok Radey pulang. Papa jaga Radiv ya pa. Jangan sampe kenapa-kenapa.”

“Radey. Makasih banyak nak, akhirnya kamu mau pulang. Radiva pasti seneng kalo nanti bangun bisa liat kamu.”

“Iya pa. Semoga Om Jefan mau nganter Radey besok.”

“Nanti papa yang kabarin Jefan nak. Kamu siap-siap aja. Minta bantuan Ahza kalo bisa.”

“Iya pa”

“Yasudah ya. Besok papa kabarin lagi.”

“Iya pa.”

Panggilan berakhir


Anjing! Gaada yang boleh nyentuh adik gue, gaada. Lo Yazdan, siapapun lo, gue gak bakal biarin lo ganggu kehidupan keluarga gue lagi. Sampai kapanpun, gak boleh ada yang berani ganggu kehidupan keluarga gue, apalagi nyentuh Radiv sama Radev,” batin Radeya geram.

Radeya menghela nafas panjang, membayangkan bagaimana keadaan adik kesayangannya itu, “Radiv, maafin gue. Gue salah besar ninggalin lo terlalu lama. Gue cuma takut Div, kalo kehadiran gue cuma buat lo susah nantinya. Div, lo pasti kesakitan ya sekarang? Tunggu gue ya, gue pulang Div. Dan semoga, lo bisa nerima keadaan gue nanti,” batin Radeya kembali.

Ahza kembali dari dapur, menghampiri Radeya yang masih menggenggam ponsel milik Ahza. “Yaya? Udah teleponnya?” tanya Ahza pada Radeya.

“Udah Za. Ini ponselnya, makasih ya,” ucap Radey sembari menyodorkan ponsel ke arah depan.

“Sama-sama Yaya. Om Chandra pasti kangen ya sama Yaya, keliatannya sering banget telepon Yaya.”

“Ahza, kayanya gue mau pulang,” ucap Radey tiba-tiba.

“Pulang? Maksudnya Yaya pulang? Pulang ke rumah? Yaya mau pulang ke rumah??” tanya Ahza penasaran.

“Iya, Za. Radiv kecelakaan. Dan gue harus pulang,” ucap Radey, menjawab pertanyaan Ahza.

“Yaya, Ahza ke kamar dulu ya. Mau beresin buku buat besok,” pamit Ahza tiba-tiba.

“Za? Lo kenapa? Tiba-tiba beresin buku? Tumben?”

“Gapapa ko. Ahza ke kamar dulu.”

Aneh banget,” batin Radeya heran.

nd

Kesempatan

Chandra datang dengan tergesa, menghampiri anak-anak yang berkumpul di depan ruang IGD.

“Radiva? Sekarang gimana dia? Jendra?” tanya Chandra dengan nafas yang tidak teratur.

“Om tenang dulu, duduk dulu,” ucap Jendra mencoba menenangkan Chandra.

“Joanna, belum selesai urusan kamu dengan saya, sekarang anak kamu berulah mencelakai anak saya,” batin Chandra kesal.

Chandra baru menyadari, di sebrang kursi tunggu IGD, ada Radeva yang sedang bersandar pada dinding sembari memukul mukul keras kepala dengan kedua tangannya. Cavin dan Naka sudah berusaha untuk membuat Deva berhenti memukul kepalanya, namun tampaknya Radeva sangat menyesali kejadian yang terjadi pada Radiva, merasa bahwa itu adalah murni kesalahannya. Chandra yang melihatnya, langsung beranjak dari kursi tunggu, berjalan menghampiri Radeva.

“Deva, cukup nak. Ini bukan salah kamu, Jendra udah ceritain semuanya tadi lewat telepon pas papa di Jalan. Udah ya, nanti kepala kamu sakit. Radiva gapapa, Radiva pasti bangun. Doain kaka kamu. Udah ya, simpen tangannya,” tutur papa mencoba menenangkan Radeva.

Radeva menyimpan kedua tangannya di paha, kepala yang asalnya menunduk, kini kembali tegak menatap ke arah Chandra. “Pa, tapi, tapi ini salah Deva. Gara-gara Deva, Ka Radiv celaka. Coba Tadi Deva jalannya di Trotoar, pasti gak akan kejadian kaya gini.”

“Deva, anak papa. Udah, jangan salahin diri kamu. Yang salah itu Yazdan, anak Joanna, dia yang salah, bukan kamu.”

Tidak lama setelah itu, Dokter yang menangani Radiva keluar dari ruang IGD. Dokter itu tampak tidak asing bagi Chandra, benar saja, ia adalah dokter Jordan, dokter yang menangani Radiva kala ia menjalani pengobatan beberapa tahun yang lalu. Chandra dan Radeva pun langsung menghampiri Dokter Jordan.

“Pak Chandra?” sapa ramah Dokter Jordan.

“Saya sempat kaget ketika ada pasien masuk bernama Radiva, teringat pada Radiva, pasien saya beberapa tahun yang lalu, dan ternyata benar, ini Radiva pasien saya dulu,” jelas Jordan pada Chandra.

“Jadi gimana keadaan anak saya Dokter?” tanya Chandra penasaran.

“Alhamdulillah, Radiva tidak apa-apa pak. Namun memang benturan di kepalanya cukup keras, dan dia juga kehabisan banyak darah. Untungnya stok darah untuk golongan darah Radiva masih ada, jadi bapak tidak perlu khawatir. Saya juga sudah memberikan beberapa jahitan di kepalanya.”

“Alhamdulillah, Divaa. Anak papa. Syukurlah kamu gak kenapa-kenapa,” ucap syukur papa.

Pandangan Dokter Jordan tertuju pada anak laki-laki di sebelah Chandra. “Radeya ya? Apa kabar kamu?” tanya Dokter Jordan tiba-tiba.

Radeva yang menundukkan kepalanya, langsung menatap ke arah Jordan dengan tatapan kosong. Tidak lama, Chandra menjawab pertanyaan Jordan yang dilontarkan pada Deva. “Bukan Dok, dia Radeva, adiknya Radiva.”

Jordan yang mendengarnya tampak kebingungan. “Hah? Radeva? Bukannya dulu kata Radiv, Radeva sudah tidak ada Pak?” tanya Jordan bingung.

“Alhamdulillahnya, ternyata anak saya ini masih hidup Dok.”

“Yatuhann, syukurlah. Saya ikut senang mendengarnya Pak. Pantas saja saya melihatnya agak berbeda dengan Radeya. Lalu, di mana Radeya? Saya masih ingat setiap dia datang menemani Radiva untuk cuci darah, dia selalu berkata, dok cucinya yang bersih ya, sekalian aja pakein sabun, biar darah adik saya bersih bening tanpa noda,” jelas Jordan pada Chandra.

“Radeya? Radeya ada dok,” jawab Chandra tidak jelas.

“Paa? Kooo?” tanya Deva bingung.

Setelah melirik ke arah papa, pandangan Deva tertuju pada pin nama Dokter Jordan yang terhalang jas

Stanta

Radeva yang penasaran, langsung bertanya pada Dokter Jordan. “Dokter, maaf. Mau liat namanya, boleh?” pinta sopan Deva pada Jordan.

“Ahhh, nama? Boleh,” ucap Jordan, langsung memperlihatkan pin namanya pada Deva.

Jordan Jarvis Hastanta

“Ohhh, makasih Dok.”

“Sama-sama, Deva. Yasudah pak, Deva, saya pamit dulu. Oh iya, Radiv belum bisa dijenguk ya, karena dia juga belum sadar untuk saat ini.”

Hastanta? Nama panjangnya sama kaya nama panjang Tante Joanna,” batin Deva heran.

Berbeda dengan Deva yang tengah memikirkan kenapa nama panjang Dokter Jordan sama dengan Tante Joanna. Chandra malah sedang memikirkan bahwa situasi ini tampaknya bisa ia gunakan untuk mengajak Radeya pulang.

“Deva, papa ke toilet dulu ya, sebentar.”

“Iiyaa pa.”

“Anak-anak, titip Devaaa ya,” pinta Chandra pada ke lima anak laki-laki di sana.


“Saya harus kabari Radeya tentang Radiva. Karena kelemahan Radeya adalah ketika mengetahui kembarannya terluka, apalagi Radiv,” jelas Chandra pada dirinya.

Chandra mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Jefan. Tanpa basa-basi, Chandra langsung menghubungi jefan untuk memberi kabar mengenai Radiv pada Radey.

nd

Dan, lagi?

cw // harsh words, blood

Deva dan Radiv berjalan menuju arah kantin terdekat. Hingga pertengkaran Deva dan Yazdan berakhir, kelima sahabat mereka yang tadi berniat menyusul sampai sekarang belum terlihat sama sekali kehadirannya.

Di sisi lain, Yazdan memasuki mobilnya, kesal karena perkataan Deva yang sangat menyakiti hatinya.

“Rayden sialan! Gue gak bakal biarin lo. Gue benci sama lo!” ucap Yazdan sembari menutup keras pintu mobilnya, dengan suasana hati yang masih sangat panas, Yazdan mengemudikan mobilnya, dengan kecepatan sedikit tinggi di sekitaran area kampus. Tampak jauh di depan, Yazdan melihat Deva dan Radiv yang tengah berjalan, Radiv yang berjalan di trotoar, dan Deva yang berjalan seperti orang kebingungan di pinggiran jalanan kampus.

Hingga niat jahat pun terlintas di pikiran Yazdan, “Kesempatan,” gumam Yazdan sembari mengangkat satu alisnya.

“Sedikit aja gapapa kali ya?” tanya Yazdan pada dirinya sendiri.

Tanpa pikir panjang, Yazdan menambah kecepatan laju mobilnya, berniat ingin memberikan sedikit tanda luka pada Radeva, kaka pada masanya.

Radeva yang tetap berjalan di pinggiran jalan kampus, tanpa sadar ia pun juga sedikit melangkah hampir ke tengah jalan. Radiv yang sadar mendengar suara mobil melaju kencang dari arah belakang, langsung teralihkan pandangannya mengingat adiknya tidak berjalan bersamanya di trotoar. Mata Radiv benar-benar terbuka lebar, ketika hampir 4 meter lagi mobil itu tampak akan menyerempet Radeva.

Tidak tinggal diam, Radiv berteriak keras “DEVAAA AWASSS MOBILL, MINGGIRR!!!!!!” teriak Radiv sembari melangkah ke arah Deva. Namun bukannya menarik adiknya ke pinggir, Radiv malah mendorong Deva ke sisi jalan sebelahnya, hingga akhirnya....

“Awww, Div.. Kenapa lo doro...”

DUGG

Radiv lah yang tertabrak mobil itu, ia sedikit terpental ke arah Deva di sisi kanan bahu jalan. Kepalanya sedikit membentur trotoar, menyebabkan darah keluar dari sisi kanan kepala Radiv, hingga akhirnya Radiv pun langsung tidak sadarkan diri.

“RADIVAAAAAAAAAAAA!!!!” teriak Deva keras.

B 4597 YDN

Mata Deva tidak sengaja tertuju pada plat mobil yang menabrak kakanya itu, “Yazdan? Itu mobil Yazdan! YAZDAN ANJING!!!! LIAT PEMBALASAN GUE!!!!!!!”

“RADIVVV BANGUNN DIVVVV, RADIVAAA KEPALA LO BERDARAHH, RADIVAA BANGUNNNN!! MAAFIN GUEE, HARUSNYA GUE JALAN DI TROTOAR TADI. RADIVAA BANGUNNNNN!!!!!”

Teriakan Deva, sampai kepada ke lima anak yang berjalan hendak menghampiri Deva dan Radiv di Taman Fptk.

“Suara Radev ga sih?” Cavin bertanya-tanya.

“Hah mana?” tanya Juna.

“Barusan, gue denger dia teriak sebut nama Radiva,” jawab Cavin pada Juna.

“ANJING? JANGAN JANGAN?”

“Aish,” ucap singkat Janaka.

Kelima anak itu melihat ke sekitar area kampus, sampai pada pandangan Jendra yang tertuju ke arah orang-orang yang berkerumun tepat di depan gedung dekat lapangan.

“ITU RADEVAAA GOBLOKK!!!” teriak keras Jendra pada anak-anak.

“ITU, ITU RADIVV?? RADIV KENAPA????” tanya Naka.

“UDAH SAMPERIN DULU AYOO!!!” ajak Juna khawatir.

Kelima anak laki-laki itu berlarian ke arah Radeva dan Radiv yang sudah dikerumuni banyak orang di sana.

“RADEVAAAAA!!!” teriak Juna.

“JUNAAA, TOLONGGG. TOLONGIN GUEEE. RADIVV, YAZDANNNN,” ucap Deva tidak karuan.

“Divaaaa, yatuhan darahhhhh,” ucap Naka.

“Gue telepon ambulans poli dulu biar cepet,” ucap Jendra.

“Radiv bangun Div, ini Hilmarrr, bangun yu,” pinta hilmar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Deva, lo tenang. Tenang dulu, coba tadi Yazdan, kenapa Yazdan?” tanya Cavin sembari menempuk pundak Radeva.

Deva masih histeris karena melihat kondisi Radiv dengan bagian kanan kepalanya yang terus mengeluarkan darah. Kepala Radiv, Deva angkat dan disandarkan pada pahanya, sembari Deva mencoba menghentikan darah yang terus mengalir dari kepala kakanya itu.

“Vinn, Yazdann, Yazdan kayanya mau nyelakain gue, tapi Radiv malah dorong gue. Dan akhirnya, akhirnya dia yang ketabrak,” jelas Deva tidak karuan.

“SIALAAN YAZDAN!” ucap Juna dan Cavin bersamaaan.

Ambulans poli datang, dengan cepat Radiva langsung diangkat dan dimasukkan ke dalam ambulans. Hendak di bawa ke Rumah sakit untuk dilakukan penanganan.

Di sisi lain, Yazdan menghentikan mobilnya di tepi jalan jauh dari area kampus. “YAZDANNN BODOH, NIAT LO CUMA MAU NYEREMPET RAYDEN. KENAPA JADI NABRAK RADIV,” jelas Yazdan sembari memukul keras kepalanya.

“Mampus lo Dan, Rayden pasti nanti bilang sama Papa. Abis gue aihhh. Sekarang gue harus ke mana ini?”

nd

Deva-Yazdan. cw// harsh words

Sekitar 15 menit Radiv dan Deva berjalan menuju taman dekat parkiran fptk. Kedua anak laki-laki itu sampai tepat di depan tangga menuju Taman, namun tidak terlihat ada Yazdan di sana. 5 menit kemudian, Yadzan muncul dari arah parkiran.

“Maaf gue telat,” ucap Yazdan pada kedua kembar di hadapannya.

“Jadi apa? Apa yang lo mau omongin ke kita?” tanya Deva langsung.

“Aneh banget ka lo ngomong kaya gini ke gue,” jelas Yazdan pada Deva.

“Gue gak akan ngomong kaya gini, kalo lo gak mulai Dan.”

“Udahh Deva udah. Yazdan, ada apa? Mau ngobrolin apa?” tanya Radiva Penasaran.

“Sebenernya gue cuma butuh ngobrol sama lo Div. Bisa ga lo suruh adik lo ini buat agak jauhan dikit?” pinta Yazdan pada Radiva.

“Kenapa? Bukannya kamu yang mohon mohon biar kita mau temuin kamu?” tanya Radiv heran.

“Ya gimana ya. Tapi gue cuma mau ngomong sama lo aja, Div.”

“Lo apaan sih anjir? Kenapa sekarang tiba-tiba mau ngomong sama Radiva aja? Lo mau ngapain Dannn???” tanya Deva kesal.

“Ka, mending lo pergi. Gue mau ngomong sama Radiv!” sentak Yazdan pada Deva.

“Deva, agak jauhan dikit, bisa?” pinta Radiv pada adiknya.

“ENGGA, GUE GAK AKAN NGEJAUH MESKIPUN CUMA SETENGAH METER DARI LO!” jelas Deva menatap Radiv tajam.

“Deva, Radiv mohon.”

“ENGGA. GUE BAKAL TETEP DI SINI DIV.”

“Ahhhh udahlah, lama! Apaan sih lo ka, Radiv cuma minta lo jauhan dikit aja gamau, lebay banget.”

“Suka-suka gue.”

Radiv menghela nafas panjang, kembali menatap Yazdan yang berada di hadapannya. “Jadi apa? Mau ngomongin apa?” tanya Radiv serius.

Tanpa ragu, Yazdan langsung berbicara, “Div, bisa gak keluarga lo stop buat cari tau keberadaan Mama gue? Bisa gak keluarga lo berhenti buat perpanjangan masalah ini?”

“MAKSUD LO APAA ANJIR? JADI INI TUJUAN LO MINTA GUE BUAT JAUH DARI RADIV? LO MAU HASUT RADIV?” jelas Deva kesal.

“Diem lo ka.”

“Yazdan, maksud kamu apa? Padahal kamu tau sendiri apa yang udah mama kamu lakuin ke keluarga Radiv.”

“Div, gue mohon. Cuma lo satu-satunya orang yang bisa bantuin gue. Gue mohon div, kasian mama gue, dia mau dicerai papa, masa abis itu dia harus dipenjara?”

“Yazdan, tapi bukannya Mama kamu emang pantes buat nerima itu?”

“Iya gue tau, mama gue salah banget di sini. Tapi gue mohon Div, biarin mama gue ya? Bisa kan?” pinta Yazdan memohon.

“RADIV, JANGAN,” ucap Deva sembari menatap tajam ke arah Yazdan.

Radiv menarik nafas panjang, “Yazdan, maaf. Tapi Radiv gak bisa, mama kamu udah keterlaluan. Mama kamu udah bener-bener buat keluarga Radiv hancur Dan. Mama kamu udah pisahin Deva dari keluarga Radiv, 14 tahun mama kamu perlakuin Deva layaknya pembantu, layanknya orang yang numpang hidup di rumah kamu. Dan yang paling Radiv benci, mama kamu yang buat ka Radeya kecelakaan. Maaf, tapi Radiv gaakan pernah mau buat maafin mama kamu. Tante Joanna harus ditemuin, dan dihukum sesuai dengan apa yang udah dia lakuin ke keluarga Radiv, Yazdan.”

Yazdan menghela nafas panjang, “Hahahha sama aja ternyata. Lo sama Ka Rayden gak ada bedanya. Nyesel gue buang buang waktu buat ngobrol sama lo.”

Radiv yang hendak membalas ucapan Yazdan, terhenti begitu saja karena Deva lebih dulu berbicara pada Yazdan. “Bukan gaada bedanya Dan, lo pikir aja. Kalo lo ada di posisi kita berdua. Lo juga bakal mikir sama kaya gue dan Radiv. Gue yakin, lo juga bakal lakuin hal yang sama ke orang yang udah buat keluarga lo hancur!”

“Padahal apa susahnya sih lupain masalah ini? Sesusah itu ya? Padahal dengan lo berdua masukin mama ke penjara pun, gak bakal buat Radeya hidup lagi. Toh dia udah mati juga,” jelas Yazdan kembali melontarkan ucapan itu secara langsung pada Radiva dan Radeva.

Radeva kesal dengan ucapan yang kembali Yazdan lontarkan, tanpa pikir panjang, Deva langsung melayangkan satu hantaman keras tangannya pada pipi Yazdan.

“Anjing! Lo ko nonjok gue ka?”

“IYA RADEYA UDAH MATI, DAN MAMA LO PEMBUNUHNYA. MAMA LO YANG UDAH BUNUH KAKA GUE, YAZDAN!” jelas Deva dengan suara yang lantang, membuat banyak mahasiswa di sekitar taman teralihkan pada ucapannya barusan.

Radiv tampak harus menahan kekesalannya karena ucapan Yazdan mengenai kaka kembarnya, Radeya. Dan memilih untuk menenangkan Deva adiknya, “Dev, tenang. Udah biarin aja udah.”

Wajah Yazdan tampak memerah kesal, ia tidak terima dengan apa yang diucapkan Deva mengenai mamanya. “ANJING LO KA! MAMA GUE BUKAN PEMBUNUH, JANGAN LUPA KA, MAMA GUE, MAMA LO JUGA. DIA YANG BERPERAN JADI MAMA LO SELAMA LO TINGGAL SAMA GUE!”

“DAN LO JUGA TAU KAN YAZDAN, GUE GAK PERNAH SAMA SEKALI MINTA BUAT KELUARGA LO NGURUS GUE, KENAPA? KARENA GUE JUGA PUNYA KELUARGA. TAPI APA? DENGAN GAK JELASNYA, MAMA LO BAWA GUE, PISAHIN GUE DARI KELUARGA. JADI JANGAN HARAP, GUE MASIH ANGGAP TANTE JOANNA ITU MAMA GUE, GA SAMA SEKALI. BAGI GUE, TANTE JOANNA CUMA SEORANG PEMBUAT MASALAH, YANG HOBINYA NGERUSAK KEBAHAGIAAN ORANG LAIN!”

“LO BENER BENER GAK TAU TERIMA KASIH! KETERLALUAN!”

“KETERLALUAN MANA SAMA ORANG YANG SAMPE NYELAKAIN ANAK SI LAKI-LAKI DI MASA LALUNYA, CUMA GARA-GARA DIA GAK TERIMA MASA LALUNYA ITU NIKAH SAMA ORANG LAIN?”

“RAYDEN!! GUE BENCI SAMA LO!! ANJING!” ucap Yazdan kesal.

“GUE LEBIH BENCI SAMA LO, YAZDAN!” Balas Deva pada Yazdan.

“JANGAN HARAP HIDUP LO BAKAL TENANG, RAYDEN!” ucap Yazdan sembari pergi melangkah jauh meninggalkan Deva dan Radiv.

Radiva terus mengelus pundak adiknya, berusaha menenangkan Deva yang sejak tadi terus bertengkar dengan yazdan. “Udah Dev, ayo ke kantin aja dulu yu. Tenangin diri kamu dulu.”

nd

Radey belum siap

Sore menjelang malam, Chandra tiba tepat di kediaman Jefan. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan anak pertamanya, Radeya. Setelah 2 tahun, Chandra dan semua orang terdekat Radeya mengira bahwa Radey sudah tiada. Chandra berjalan ke arah pintu utama rumah Jefan, hendak memencet bel, namun tampak pintu rumah tiba-tiba terbuka begitu saja. Tampak seorang anak perempuan cantik muncul dari balik pintu dengan memberikan senyuman manis pada Chandra.

“Kamu? Kamu siapa?” tanya Chandra pada anak perempuan tersebut.

“Ahh, saya Ahza om. Adiknya Ka Jefan. Barusan Ka Jefan suruh saya bukain pintu, katanya ada tamu penting. Ka Jefan nya masih di dapur soalnya,” jelas Ahza pada Chandra.

“Ohh iya saya baru ingat. Kamu berteman dengan anak saya?” tanya Chandra.

“Anak om? Siapa?” tanya Ahza bingung.

“Radeya, Radeya anak saya. Kamu dekat dengan dia?”

“Ahhhhhh Yaya anak om??? Pantesan aja Ahza liat-liat om kaya mirip seseorang gituu, ternyata mirip Yaya hehe.”

“Yaya?”

“Iya om, Ahza panggil Ka Radeya itu Yaya, soalnya Ka Radeya lucu hehe.”

”Yaya? Lucu sekali namanya. Kamu masih sekolah?” tanya Chandra penasaran.

“Ah iya, Ahza baru mau lulus SMA om, hehe. Oh iya kata Kak Jefan, kalo Yaya gak sakit, pasti sekarang udah kuliah ya om?”

“Wah om kira kamu seumuran Radeya. Iya dia harusnya sudah semester 4 sekarang. Sama seperti 2 kembarannya.”

“Ahza sampe lupa kalo Yaya punya kembaran, tapi ko 2 om? Bukannya kata Ka Jefan, kembaran Yaya satu lagi euu maaf, udah gaada om?” tanya Ahza penasaran.

“Sebenarnya....”

Belum sempat Chandra menjawab pertanyaan Ahza, Jefan muncul dari dalam rumah. “Ahzaaa, kaka udah bilangin, kalo ada tamu itu ya di suruh masuk dulu. Jangan diajak ngobrol di depan pintu,” ucap Jefan pada Ahza.

“Iiiyaa kaa, maaf.”

“Pak Chandra, silahkan masuk. Maafkan adik saya, memang anaknya suka begitu.”

“Iya tidak apa-apa, adik kamu mudah sekali akrab dengan orang ya tampaknya.”

“Tidak juga, sebenarnya dia sangat sulit sekali bersosialisasi. Dia sekolahnya saja dia lebih banyak diam, padahal banyak orang yang ingin berteman dengannya.”

“Tapi tampaknya dia sangat akrab dengan Radeya? Sampai-sampai memiliki panggilan khusus.”

“Iya pak, dia sangat dekat dengan Radeya. Dan semenjak ada Radeya, dia mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan orang lain. Entah apa yang Radeya katakan pada Ahza, sampai Ahza bisa perlahan berubah.”

Saking banyaknya hal yang dibicarakan Chandra dan Jefan, Chandra sampai tidak menyadari bahwa ia sudah berada di ruang keluarga milik Jefan, tampak Radeya pun ada di sana, tengah duduk di sofa dengan pandangan kosong menatap ke arah layar TV di hadapannya.

“Pak Chandra?”

“Kenapa Dok?” jawab Chandra sembari melihat sekeliling isi rumah Jefan.

“Itu Radeya.”

DEGGG

“Astaga, Chandra bodoh. Radeya? Mana Radeya?” tanya Chandra khawatir.

“Itu pak,” ucap Jefan sembari menunjuk ke arah anak laki-laki yang membelakangi mereka berdua. Chandra menoleh, tampak Radeya ada di sana, membelakanginya. Chandra menarik nafas panjang, antara percaya dan tidak percaya bahwa anak laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah Radeya.

“Radeya?” sapa lembut Chandra dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Tidak ada respon sama sekali dari Radeya, Ahza yang tampak bingung kenapa temannya itu tidak menoleh padahal papanya memanggil, langsung berjalan menghampiri Radeya. Tampak Ahza melihat air mata mengalir dari kedua mata Radeya.

“Yaya? Kenapa nangis? Yaya jangan nangis, itu papa Yaya dateng loh,” ucap Ahza sembari mengelus pundak Radeya lembut.

Radeya tetap terdiam tidak memberi jawaban pada Ahza. Mata Chandra semakin berkaca-kaca ketika mendengar bahwa Radeya menangis. Ia memberanikan diri menghampiri Radeya, Ahza yang melihat Chandra menghampiri Yaya pun langsung mundur menjauh untuk memberikan privasi pada ayah dan anak itu.

Chandra duduk bersimpuh di hadapan Radeya. Rasanya seperti mimpi, ketika anak yang sudah dikira tiada itu kini berada tepat di hadapannya.

“Radeya, ini Papa nak.”

Radeya tetap terdiam dengan kepala menunduk, mata yang terpejam, dengan air mata yang terus mengalir. “Radeya, gapapa. Coba angkat kepalanya, papa mau liat anak papa.”

Nafas Radeya semakin tidak teratur ketika mendengar ucapan yang papa lontarkan padanya. Hingga akhirnya, Radeya memberikan diri mengangkat kepala, membuka matanya lebar-lebar.

“Papa...” panggil Radeya gugup.

Radeya mengarahkan kedua tangannya ke depan, tampak ia mencoba mencari keberadaan jelas papanya.

“Pa, di depan Radey kan? Di mana?” tanya Radey bingung dengan tatapan kosongnya.

Tangis papa pecah ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Radeya padanya. Papa langsung menggenggam erat kedua tangan Radeya, “Papa di sini Dey, iya papa di depan kamu. Maafin papa nak, semuaa ini, semua ini gara-gara papa. Maafin papa.” Papa setengah berdiri, bertumpu dengan kedua lututnya, langsung memeluk Radeya erat. “Maafin papa, papa bodoh. Maafin papa Dey.”

“Pa, Radey gapapa. Radey cuma gak bisa liat pa. Jadi gak perlu minta maaf.”

“Engga Dey, ini semua salah papa. Maaf Deya, maafin papa.”

“Gapapa pa. Radey yang minta maaf. Radey lemah ya pa, Radey lemah karena nyembunyiin ini dari papa. Radey minta maaf.”

“Ngga nak, kamu gak lemah. Kamu hebat, kamu bisa bertahan sama keadaan kamu sekarang. Radeya, anak papa. Makasih banyak karena kamu udah mau kembali dan bertahan. Maaf karena selama kamu ngalamin ini semua, papa, bunda dan adik-adik kamu, gak ada di samping kamu.”

“Pa, selama Radeya gaada. Semuanya baik-baik aja kan?”

Papa menghela nafas panjang, “Engga Dey, engga sama sekali. Papa bakal ceritain semuanya tentang Radiva, Bunda sampai Radeva, selama kamu gak ada.”

Hampir 1 jam lebih papa menceritakan semua kejadian selama 2 tahun ke belakang, tentang Radiva yang selalu disalahkan bunda, tentang bagaimana Chandra dan Radiva bertemu Deva, tentang bunda yang masuk Rumah sakit jiwa, dan tentang Joanna, dalang dari semua kejadian yang terjadi di keluarga Chandra.

“Paa...Maaf...”

“Engga Dey, kamu engga salah. Semua ini salah Joanna. Andai Joanna gak ngelakuin hal hal itu, kamu gak bakal ngalamin ini semua. Termasuk Radiv, bunda, dan Radev.

“Pa, Bunda apa kabar? Radiv? Radev? Radey mau liat Radev kaya gimana, tapi hmmm..”

“Bunda baik Dey, Adik-adik kembar kamu juga baik. Kamu mau liat Radev? Secepatnya, secepatnyaaaa kamu bakal bisa liat Radeva Dey. Papa bakal lakuin apapun demi kesembuhan mata kamu, demi kamu bisa ngeliat lagi Dey, papa janji.”

“Maka dari itu, pulang ayo Dey,” sambung papa tiba-tiba mengajak Radeya pulang.

Ahza yang memperhatikan pembicaraan Radeya dan papa nya tampak kaget karena mendengar bahwa Om Chandra mengajak Radeya untuk pergi dari rumahnya.

“Ini, ini yang belum mau Radey denger dari papa. Ini alesan Radey sebenernya gamau ketemu papa. Radey belum siap pa, Radey belum siap buat pulang. Radey gak mau keliatan menyedihkan di depan Radiva pa, apalagi sekarang ada Radeva. Pa, Radey belum siap buat Radiv sama Radev tau kalo ternyata kakanya buta.”

“Radey, cepat atau lambat, mereka pasti tau. Kamu gak bisa terus-terusan nyembunyiin ini dari mereka Dey.”

“Pa, kasih Radey waktu ya. Radey janji, secepatnya Radey bakal kabarin papa buat minta jemput pulang. Tapi engga sekarang ya pa, Radey belum siap. Radey minta tolong pa, sekali ini aja.”

Papa kembali menghela nafas panjang, “ Yasudah, kalo itu mau kamu. Papa hargain keputusan kamu Dey. Inget ya, bagi Radiv, Radev, mau gimana pun keadaan kamu, kamu tetep kaka mereka Dey. Jangan lama-lama ya, Radev pengen banget ketemu kamu, apalagi Radiv. Hampir di setiap pembicaraan mereka selalu aja terselip nama kamu Dey. Kamu mau tau apa salah satunya? Tetep Ka Radeya yang paling ganteng,” jelas papa dengan sedikit senyumnya.

Radey terharu ketika mendengar ucapan terakhir yang papa lontarkan mengenai pembicaraan kedua kembarannya tentang dirinya.

“Tapi emang iya pa, Radey emang ganteng,” ucap Radey polos pada papa.

“Dey...”


Mau kaya gimanapun keadaan lo, jangan lupa buat tetap percaya diri.” – Radeya Jovan


nd

Meskipun kayanya bakal tetep kurang karena gaada Ka Radeya

Radiv berjalan keluar menghampiri Papa dan Deva yang sudah menunggu di luar.

“Ahh, lo telat ka. Kasian uang jajannya dipotong,” ejek Deva pada kakanya.

Radiv yang hendak menjawab ucapan Deva, terhenti karena papa tiba-tiba berbicara. “Kamu juga papa potong, Radiv juga telat ke bawah gara-gara kamu loh, lain kali kalo ambil barang orang lain. Bilang dulu ya Deva,” ucap papa pada Deva.

Radiv yang mendengarnya sedikit tertawa senang, namun ia juga tidak tega karena adiknya juga harus menerima hukuman dari papa. “Paaa, jangann dong. Kesian Deva, masa baru balik lagi ke rumah, uang jajannya udah dipotong. Lagian gapapa juga pa, barang Radiv kan juga barang Deva. Tapi ya emang sih harusnya bilang dulu, tapi yaudah pa, Deva juga baru salah sekali ini aja,” jelas Radiv pada Papa.

“Jadi?” tanya papa singkat.

“Jadi ya jangan potong uang jajannya Deva. Udah Radiv aja, yang telat kan Radiv, bukan Deva.”

“Yaudahh iya gaakan. Lagian papa cuma bercanda, biar kalian cepet turun. Dan kamu Deva, liat ini Radiv belain kamu lohh. Apa gaakan bilang makasih sama dia?” tanya papa tampak serius.

Deva hanya menunduk, merasa bersalah. “Yaudah Div, ehh ka. Maafin gue ya, besok besok gue bilang dulu, tadi rusuh aja jadi langsung gue bawa,” tutur Deva meminta maaf.

“Iyaa udahh gapapa. Ayo mending berangkat aja, Bunda pasti udah nunggu,” ajak Radiv kepada Deva dan papa.

“Kalian mau bawa mobil sendiri? Apa ikut papa?” tanya papa.

“Ikut papa lahhhh, biar Deva ngerasain suasana satu mobil sama Papa, bunda, Ka Radiv hehe,” jelas Deva antusias.

“Meskipun kayanya bakal tetep kurang karena gaada Ka Radeya,” sambung Deva langsung menundukkan kepalanya. Radiva yang mendengar ucapan Deva, langsung menepuk pundak adiknya. “Kapan-kapan kalo ada waktu luang, kita ke ketemu kaka ya Dev,” ucap Radiv lembut. “Heem, iya.”

Radiva, Radeva. Kaka kalian masih hidup. Maaf papa belum bisa cerita, Radeya belum mau kalian tau soal ini,” batin Papa merasa bersalah.

“Udahh udahh ayo berangkat ayo.” Ajak papa pada kedua anaknya.

“Paa biar Radiv yang nyetirrrrrr,” pinta Radiv sembari meminta kunci mobil milik papa.

“Engga, enggaaaa. Gue yang nyetirrrrrr guee. Paa, Deva yang nyetirr yaa,” pinta Deva pada papa.

“Terserah kalian ajalah, nih kuncinya,” ucap papa sembari melemparkan kunci dan mendarat tepat di tangan Deva.

“Yess, kunci aja berpihak sama gue.”

Deva mengemudikan mobilnya, papa duduk di samping Deva, dan Radiv duduk di belakang. Mereka hendak pergi menjemput bunda di rumah sakit. Karena kemarin, pihak rumah sakit sudah mengabari bahwa Bunda sudah bisa pulang ke rumah.

nd

Tidak sempat || Jefan-Wenda

Chandra terduduk lemas setelah mendengar cerita dari Jefan. Ia terduduk di lantai kamarnya sendirian. Membayangkan betapa tersiksanya Radeya, ketika Jefan mengabari bahwa Radeya anaknya dinyatakan mengalami kebutaan setelah melakukan operasi karena kecelakaan itu. Chandra juga akhirnya menyadari apa yang terjadi di pemakaman 2 tahun lalu. Dia tidak tahu jika jenazah yang ia kuburkan bukanlah Radeya anaknya, penyebabnya karena tidak ada satupun keluarga yang turun ke liang lahat. Jefan juga menceritakan alasan dia tidak memberitahu keluarga Chandra. Namun Jefan menceritakannya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Di mana Jefan hanya bercerita bahwa alasan ia tidak memberitahu Chandra adalah karena tidak sempat, bukan karena ingin menyelamatkan anak dari wanita yang pernah ia cintai di masa lalu, yaitu Wenda. Ia rela sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dokter di Rumah sakit, demi menyelamatkan Radeya, karena Jefan melakukan operasi tanpa sepengetahuan keluarga pasien.

Pada saat panggilan berlangsung tadi, Chandra pun sempat bertanya, jika memang karena tidak sempat mengabari, mengapa Jefan malah berinisiatif memberikan jenazah orang lain pada Chandra? Jefan hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan Chandra. Ia langsung mengalihkan pembicaraannya mengenai donor mata Radeya.


Setelah operasi, memang Jefan berniat untuk mencari kontak dan menghubungi keluarga Radeya. Namun Radeya melarangnya, karena ia tidak ingin Chandra, terutama Radiva mengetahui keadaannya.

Akhirnya Jefan memutuskan membawa Radeya ke Singapore untuk melakukan pengobatan kanker selama kurang lebih 1,5 tahun lamanya, sembari ia mencari donor mata untuk Radeya. Sekarang, hanya menunggu waktu untuk Radeya sembuh dari kankernya, setelah ia menjalani berbagai pengobatan di sana, ditemani Jefan juga adik kandungnya, Ahza. Hingga saat kembali ke Indonesia, sembari mencari donor mata untuk Radeya, ia memutuskan untuk tinggal di rumah besarnya di Semarang. Beberapa minggu yang lalu pun, Jefan sempat mencari sosial media orang terdekat Radeya, berniat ingin mengabari bahwa Radeya masih hidup melalui DM Twitter. Namun selalu terhenti ketika Jefan teringat dengan wajah memohon Radeya yang tidak ingin orang lain tahu mengenai kondisinya.



Jefan – Wenda

Wenda adalah wanita pertama yang membuat Jefan jatuh cinta pada masa SMA. Pada saat itu, Wenda duduk di kelas 11. Dan Jefan adalah siswa baru kelas 10. Ia mengenal Wenda karena kebetulan mendaftar OSIS di sekolah, dan Wenda adalah bendahara OSIS pada saat itu. Jefan termasuk sosok laki-laki pemalu yang tidak berani menyatakan perasaan pada wanita. Sampai dua tahun memendam perasaan, mengirim surat, hingga makanan secara diam-diam. Jefan berani untuk mengungkapkan perasaannya pada Wenda. Sayang, cinta bertepuk sebelah tangan, Jefan ditolak begitu saja. Karena pada saat akhir kelas 12, ternyata Wenda sudah memiliki kekasih. Dan tidak berselang lama Wenda memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Jefan rasanya ingin kembali mencoba, namun hatinya sudah terlanjur sakit atas penolakan pertama yang Wenda berikan padanya. Hingga pada akhirnya, Jefan memilih mundur, dan memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Wenda.

Hingga takdir mempertemukan mereka kembali Mereka dipertemukan di Rumah sakit sebagai dokter dan Ibu pasien pada saat Radeya mengalami kecelakaan. Jefan sangat-sangat terkejut ketika mengetahui bahwa ibu dari anak yang sering datang berkunjung untuk membahas kanker adalah anak dari Wenda. Dan pada saat itu, anak itu juga mengalami kecelakaan yang mengerikan. Jefan melihat Wenda benar-benar terpukul kala itu. Beruntung Wenda tidak mengenali dokter yang menangani anaknya. Sehingga Jefan bisa leluasa berbicara tanpa teringat kejadian di masa lalu. Sampai pada dimana ia mengetahui bahwa anak Wenda kembali, Jefan berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan yang terbaik pada Radeya. Setidaknya ia bisa memberikan kebahagiaan untuk Wenda, meskipun hanya sesaat. Karena kini, Wenda hanya sebagai masa lalu, kenangan, dan penolakan.