Radey belum siap
Sore menjelang malam, Chandra tiba tepat di kediaman Jefan. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan anak pertamanya, Radeya. Setelah 2 tahun, Chandra dan semua orang terdekat Radeya mengira bahwa Radey sudah tiada. Chandra berjalan ke arah pintu utama rumah Jefan, hendak memencet bel, namun tampak pintu rumah tiba-tiba terbuka begitu saja. Tampak seorang anak perempuan cantik muncul dari balik pintu dengan memberikan senyuman manis pada Chandra.
“Kamu? Kamu siapa?” tanya Chandra pada anak perempuan tersebut.
“Ahh, saya Ahza om. Adiknya Ka Jefan. Barusan Ka Jefan suruh saya bukain pintu, katanya ada tamu penting. Ka Jefan nya masih di dapur soalnya,” jelas Ahza pada Chandra.
“Ohh iya saya baru ingat. Kamu berteman dengan anak saya?” tanya Chandra.
“Anak om? Siapa?” tanya Ahza bingung.
“Radeya, Radeya anak saya. Kamu dekat dengan dia?”
“Ahhhhhh Yaya anak om??? Pantesan aja Ahza liat-liat om kaya mirip seseorang gituu, ternyata mirip Yaya hehe.”
“Yaya?”
“Iya om, Ahza panggil Ka Radeya itu Yaya, soalnya Ka Radeya lucu hehe.”
”Yaya? Lucu sekali namanya. Kamu masih sekolah?” tanya Chandra penasaran.
“Ah iya, Ahza baru mau lulus SMA om, hehe. Oh iya kata Kak Jefan, kalo Yaya gak sakit, pasti sekarang udah kuliah ya om?”
“Wah om kira kamu seumuran Radeya. Iya dia harusnya sudah semester 4 sekarang. Sama seperti 2 kembarannya.”
“Ahza sampe lupa kalo Yaya punya kembaran, tapi ko 2 om? Bukannya kata Ka Jefan, kembaran Yaya satu lagi euu maaf, udah gaada om?” tanya Ahza penasaran.
“Sebenarnya....”
Belum sempat Chandra menjawab pertanyaan Ahza, Jefan muncul dari dalam rumah. “Ahzaaa, kaka udah bilangin, kalo ada tamu itu ya di suruh masuk dulu. Jangan diajak ngobrol di depan pintu,” ucap Jefan pada Ahza.
“Iiiyaa kaa, maaf.”
“Pak Chandra, silahkan masuk. Maafkan adik saya, memang anaknya suka begitu.”
“Iya tidak apa-apa, adik kamu mudah sekali akrab dengan orang ya tampaknya.”
“Tidak juga, sebenarnya dia sangat sulit sekali bersosialisasi. Dia sekolahnya saja dia lebih banyak diam, padahal banyak orang yang ingin berteman dengannya.”
“Tapi tampaknya dia sangat akrab dengan Radeya? Sampai-sampai memiliki panggilan khusus.”
“Iya pak, dia sangat dekat dengan Radeya. Dan semenjak ada Radeya, dia mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan orang lain. Entah apa yang Radeya katakan pada Ahza, sampai Ahza bisa perlahan berubah.”
Saking banyaknya hal yang dibicarakan Chandra dan Jefan, Chandra sampai tidak menyadari bahwa ia sudah berada di ruang keluarga milik Jefan, tampak Radeya pun ada di sana, tengah duduk di sofa dengan pandangan kosong menatap ke arah layar TV di hadapannya.
“Pak Chandra?”
“Kenapa Dok?” jawab Chandra sembari melihat sekeliling isi rumah Jefan.
“Itu Radeya.”
DEGGG
“Astaga, Chandra bodoh. Radeya? Mana Radeya?” tanya Chandra khawatir.
“Itu pak,” ucap Jefan sembari menunjuk ke arah anak laki-laki yang membelakangi mereka berdua. Chandra menoleh, tampak Radeya ada di sana, membelakanginya. Chandra menarik nafas panjang, antara percaya dan tidak percaya bahwa anak laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah Radeya.
“Radeya?” sapa lembut Chandra dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Tidak ada respon sama sekali dari Radeya, Ahza yang tampak bingung kenapa temannya itu tidak menoleh padahal papanya memanggil, langsung berjalan menghampiri Radeya. Tampak Ahza melihat air mata mengalir dari kedua mata Radeya.
“Yaya? Kenapa nangis? Yaya jangan nangis, itu papa Yaya dateng loh,” ucap Ahza sembari mengelus pundak Radeya lembut.
Radeya tetap terdiam tidak memberi jawaban pada Ahza. Mata Chandra semakin berkaca-kaca ketika mendengar bahwa Radeya menangis. Ia memberanikan diri menghampiri Radeya, Ahza yang melihat Chandra menghampiri Yaya pun langsung mundur menjauh untuk memberikan privasi pada ayah dan anak itu.
Chandra duduk bersimpuh di hadapan Radeya. Rasanya seperti mimpi, ketika anak yang sudah dikira tiada itu kini berada tepat di hadapannya.
“Radeya, ini Papa nak.”
Radeya tetap terdiam dengan kepala menunduk, mata yang terpejam, dengan air mata yang terus mengalir.
“Radeya, gapapa. Coba angkat kepalanya, papa mau liat anak papa.”
Nafas Radeya semakin tidak teratur ketika mendengar ucapan yang papa lontarkan padanya. Hingga akhirnya, Radeya memberikan diri mengangkat kepala, membuka matanya lebar-lebar.
“Papa...” panggil Radeya gugup.
Radeya mengarahkan kedua tangannya ke depan, tampak ia mencoba mencari keberadaan jelas papanya.
“Pa, di depan Radey kan? Di mana?” tanya Radey bingung dengan tatapan kosongnya.
Tangis papa pecah ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Radeya padanya. Papa langsung menggenggam erat kedua tangan Radeya, “Papa di sini Dey, iya papa di depan kamu. Maafin papa nak, semuaa ini, semua ini gara-gara papa. Maafin papa.”
Papa setengah berdiri, bertumpu dengan kedua lututnya, langsung memeluk Radeya erat. “Maafin papa, papa bodoh. Maafin papa Dey.”
“Pa, Radey gapapa. Radey cuma gak bisa liat pa. Jadi gak perlu minta maaf.”
“Engga Dey, ini semua salah papa. Maaf Deya, maafin papa.”
“Gapapa pa. Radey yang minta maaf. Radey lemah ya pa, Radey lemah karena nyembunyiin ini dari papa. Radey minta maaf.”
“Ngga nak, kamu gak lemah. Kamu hebat, kamu bisa bertahan sama keadaan kamu sekarang. Radeya, anak papa. Makasih banyak karena kamu udah mau kembali dan bertahan. Maaf karena selama kamu ngalamin ini semua, papa, bunda dan adik-adik kamu, gak ada di samping kamu.”
“Pa, selama Radeya gaada. Semuanya baik-baik aja kan?”
Papa menghela nafas panjang, “Engga Dey, engga sama sekali. Papa bakal ceritain semuanya tentang Radiva, Bunda sampai Radeva, selama kamu gak ada.”
Hampir 1 jam lebih papa menceritakan semua kejadian selama 2 tahun ke belakang, tentang Radiva yang selalu disalahkan bunda, tentang bagaimana Chandra dan Radiva bertemu Deva, tentang bunda yang masuk Rumah sakit jiwa, dan tentang Joanna, dalang dari semua kejadian yang terjadi di keluarga Chandra.
“Paa...Maaf...”
“Engga Dey, kamu engga salah. Semua ini salah Joanna. Andai Joanna gak ngelakuin hal hal itu, kamu gak bakal ngalamin ini semua. Termasuk Radiv, bunda, dan Radev.
“Pa, Bunda apa kabar? Radiv? Radev? Radey mau liat Radev kaya gimana, tapi hmmm..”
“Bunda baik Dey, Adik-adik kembar kamu juga baik. Kamu mau liat Radev? Secepatnya, secepatnyaaaa kamu bakal bisa liat Radeva Dey. Papa bakal lakuin apapun demi kesembuhan mata kamu, demi kamu bisa ngeliat lagi Dey, papa janji.”
“Maka dari itu, pulang ayo Dey,” sambung papa tiba-tiba mengajak Radeya pulang.
Ahza yang memperhatikan pembicaraan Radeya dan papa nya tampak kaget karena mendengar bahwa Om Chandra mengajak Radeya untuk pergi dari rumahnya.
“Ini, ini yang belum mau Radey denger dari papa. Ini alesan Radey sebenernya gamau ketemu papa. Radey belum siap pa, Radey belum siap buat pulang. Radey gak mau keliatan menyedihkan di depan Radiva pa, apalagi sekarang ada Radeva. Pa, Radey belum siap buat Radiv sama Radev tau kalo ternyata kakanya buta.”
“Radey, cepat atau lambat, mereka pasti tau. Kamu gak bisa terus-terusan nyembunyiin ini dari mereka Dey.”
“Pa, kasih Radey waktu ya. Radey janji, secepatnya Radey bakal kabarin papa buat minta jemput pulang. Tapi engga sekarang ya pa, Radey belum siap. Radey minta tolong pa, sekali ini aja.”
Papa kembali menghela nafas panjang, “ Yasudah, kalo itu mau kamu. Papa hargain keputusan kamu Dey. Inget ya, bagi Radiv, Radev, mau gimana pun keadaan kamu, kamu tetep kaka mereka Dey. Jangan lama-lama ya, Radev pengen banget ketemu kamu, apalagi Radiv. Hampir di setiap pembicaraan mereka selalu aja terselip nama kamu Dey. Kamu mau tau apa salah satunya? Tetep Ka Radeya yang paling ganteng,” jelas papa dengan sedikit senyumnya.
Radey terharu ketika mendengar ucapan terakhir yang papa lontarkan mengenai pembicaraan kedua kembarannya tentang dirinya.
“Tapi emang iya pa, Radey emang ganteng,” ucap Radey polos pada papa.
“Dey...”
“Mau kaya gimanapun keadaan lo, jangan lupa buat tetap percaya diri.” – Radeya Jovan
nd