wxyzndaa

Aira

tw // mention sexual harassment , sexual violence

“Anak siapa, Aira?” Mama spontan bertanya pada Aira yang baru saja sampai dan duduk di kursi ruang tamu.

Aira menghela napasnya panjang, “Ma, maaf.... Aira gagal jadi anak yang baik, Aira gagal buat semuanya. Aira gagal jadi Ibu yang baik buat Aletta, Aira gagal jadi anak Mama dan sekarang, Aira gagal ngejaga diri Aira sendiri. Maaf....,” tutur Aira, menunduk, dengan isakan tangisnya yang mulai terdengar.

“Aira, sejujurnya Mama kecewa, bener-bener kecewa. Anak Mama, anak kesayangan Mama.....” Mama, tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya.

“Maaf, maaf karena Aira udah ngecewain Mama, maaf karena Aira nggak bisa pegang janji Aira,” ucap Aira sembari menggenggam tangan sang Mama.

Mama menegakkan kepalanya, menatap Aira dalam. “Boleh Mama tau kenapa ini bisa terjadi sama kamu? Boleh Mama tau siapa yang udah buat anak Mama ini harus tiba-tiba nanggung ini semua? Dan boleh Mama tau, siapa orang yang seharusnya Mama salahkan atas semua ini? Boleh Mama tau semuanya? Anak Mama, anak baik, anak Mama enggak mungkin dengan sengaja ngelakuin hal kaya gini, kan?” ungkap Mama pada Aira.

Aira mencoba menenangkan dirinya beberapa saat, setelah itu ia memberanikan diri untuk bercerita. “Mama inget? Terakhir kali Aira pulang pagi? Satu minggu sebelum Aira masuk ke perusahaan? Aira seharian ada di rumah Leon.”

“Jadi, ini anak Leon?”

“Iya. Ma, Aira seharian mohon-mohon ke Leon biar dia kembaliin Aletta ke Aira. Mama tau? Seharian itu juga Leon main tangan ke Aira, Leon terus bahas soal hutang Papa, sambil terus jelek-jelekin Papa. Aira sampe udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi, Aira duduk sambil terus mohon dan minta maaf ke Leon. Leon bawa Aira ngejauh dari kamar Aletta, dan dari situ Leon ngancem Aira, sampe Aira ada di tempat yang gelap, bener-bener gelap. Dan di sana Leon paksa Aira, Aira berontak, tapi Leon main kasar lagi ke Aira, Aira takut, Ma, bener-bener takut. Aira nggak tau apa yang harus Aira lakuin lagi saat itu, sampai..... Aira gatau, Aira nggak mau tau, Aira pulang, Aira coba lupain semuanya, dari sana, Aira kotor, Aira rusak, Aira benci diri Aira sendiri. Aira sama sekali nggak kepikiran kalo Aira bakal hamil, tapi seiring waktu berlalu, setelah Aira punya hubungan sama Pak Radeya, Aira inget lagi, Aira inget semuanya, dan Aira takut, Ma.” Aira dengan panjang lebarnya menjelaskan semua kejadian yang terjadi padanya.

Mama benar-benar sama sekali tidak merespon semua perkataan Aira, Mama hanya mendekat dan memeluk anak perempuannya erat. “Maafin, Mama. Maafin Mama karena Mama nggak bisa jaga anak Mama, maafin Mama karena selalu nuntut banyak hal sama kamu, sampai-sampai Mama gatau gimana usahanya anak Mama untuk bawa pulang Aletta ke rumah ini. Maafin Mama, Aira. Mama bener-bener minta maaf,” tutur Mama semakin mempererat pelukannya.

“Ma, jangan benci Aira, ya? Aira nggak punya siapa-siapa lagi selain Mama dan Aletta.”

“Kamu anak Mama, kamu nggak salah, kamu korban, kamu nggak perlu minta maaf, Mama bakal selalu lindungin kamu.”

“Ma, Aira harus jauhin Pak Radeya, ya?” tanya Aira tiba-tiba.

Mama melepaskan pelukannya, kembali menatap Aira.

“Lepasin Pak Radeya, Aira. Lupain dia,” usul Mama singkat.

“Sejak awal, Aira nggak pernah nyangka bakal punya hubungan sama Pak Radeya. Karena sejak awal, Aira sadar, Aira nggak pantes buat Pak Radeya, untuk semua hal. Untuk terima Pak Radeya pun, rasanya Aira ragu, Aira inget, kalo Aira cuma orang biasa, dan Aira inget, kalo Aira udah nggak virgin lagi. Aira coba untuk ngejalanin tanpa mikirin semua itu, karena Aira yakin, hubungan Aira sama Pak Radeya nggak bertahan lama. Tapi seiring berjalannya waktu, Aira ngerasa kalo Pak Radeya beneran serius ke Aira, dari sana Aira takut. Pak Radeya udah tau soal Aletta, udah tau soal kesulitan Aira tentang hutang Papa, tapi anehnya, Pak Radeya tetep terima Aira. Ketakutan Aira bertambah saat itu juga, pikiran Aira tertuju ke kejadian itu, Aira mikir, gimana kalo Pak Radeya tau tentang itu? Sebesar apa kecewanya Pak Radeya sama Aira? segimana bencinya Pak Radeya nanti ke Aira? Aira kira, dengan Pak Radeya tau soal Aletta dan Papa, Pak Radeya bakal tinggalin Aira, tapi ternyata enggak. Aira nggak tau gimana cara ngelepasin Pak Radeya, Aira bener-bener nggak pernah kepikiran kalo Pak Radeya bakal seserius ini sama Aira. Sekarang yang ada di pikiran Aira cuma satu, gimana cara Aira pergi dari Pak Radeya tanpa ngasih luka dan kecewa ke Pak Radeya? Pak Radeya terlalu baik dan nggak pantes untuk dapet itu semua, Aira harus cepet pergi dari hidupnya biar Pak Radeya bisa lebih cepat dapet pengganti Aira, perempuan yang jujur, dan nggak pernah bohong soal setiap kejadian di hidupnya.”

wxyzndaa

rahasia

Radeya berjalan berdampingan dengan Aira. Layaknya atasan dan sekretaris, keduanya berbincang sembari berjalan menuju ke arah lift. Benar-benar berdekatan, sampai sang kembaran pun, Radeva, yang berada di belakang keduanya merasa ada yang tidak beres dari mereka. Spam chat yang Radeva kirimkan pun sama sekali tidak Radeya tanggapi padahal sejak tadi sang Kakak menggenggam ponselnya.

“Pakk, agak jauhan, banyak orang liat,” pinta Aira mencoba menjaga jarak dengan Radeya.

“Tenang aja, mereka nggak bakal tau Aira. Kamu sekretaris saya, wajar aja kalo kita sebelahan kaya gini,” jelas Radeya dengan suara pelan.

“Ya tapi enggak sedekat ini, Pak,” ucap Aira kesal.

“Yaudah iya, jaga jarak nih satu meter,” kesal Radeya. Kini dirinya berada 1 meter di depan Aira.

“Jadi ada apa?” tanya Radey sembari berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang.

“Sebelumnya maaf jika saya lancang, jika saya kurang sopan. Tapi saya ingin sekali menanyakan ini.”

“Ya, apa?”

“Bapak punya anak?” celetuk Aira spontan.

Radeya dengan cepat menoleh dengan matanya yang membulat, “Hahhh? Maksud kamu apaa?????” Tanya Radey heran.

“Aira ayo ikut saya ke ruangan sekarang!!” Radeya tiba-tiba menarik lengan Aira sedikit kasar.

Banyak karyawan yang memperlihatkan gelagat CEO Adhitama group itu dan sang sekretarisnya. Namun tidak ada yang menyadari sampai sejauh itu, mereka hanya mengira jika Radeya hendak memarahi Aira karena kinerja sang sekretaris yang mungkin kurang baik.

Radeyaaa, lo kenapa sihh???” ucap Radeva yang sejak tadi memperhatikan keduanya dari belakang.


Kini Aira berada di ruangan milik Radeya, Aira terdiam sejenak setelah tadi ia cukup terkejut karena Radeya menarik lengannya. “Maaf, Pak. Nggak seharusnya saya tanyakan hal pribadi seperti itu,” tutur Aira menunduk.

Radeya menghela napasnya dalam, “Aira, maaf sayang. Tangannya sakit?” tanya Radeya mengusap lengan kanan kekasih sekaligus sekretarisnya.

“Saya gapapa, Pak.”

“Maaf, saya refleks karena kamu bertanya seperti itu. Dan kebetulan banyak orang yang memperhatikan kita, maaf,” Radeya merasa bersalah.

“Gapapa, Pak. Saya paham. Bapak tidak perlu menjawab pertanyaan saya yang tadi kok.”

“Aira, saya akan jawab dan saya akan jelaskan semuanya. Sekarang kamu liat saya, liat, saya nggak marah kan? Saya cuma kaget karena tiba-tiba kamu nanya kaya gitu,” jelas Radeya sembari terus mengusap lengan Aira yang sedikit memerah karenanya.

“Oke, boleh saya tanya dulu, kenapa kamu tiba-tiba tanyain itu?” Radeya bertanya lembut.

“Tadi malam, waktu bapak di kamar mandi, saya nggak sengaja liat lock screen hp bapak pas tiba-tiba ada notif pesan masuk, dan fotonya anak perempuan, cantik, mirip bapak. Lalu saya ingat, waktu bapak mau mengantar saya pulang, bapak meminjamkan selimut di dalam mobil dan itu juga selimut anak perempuan. Makanya saya berpikir jika bapak sudah menikah dan memiliki anak, dan saya pikir juga, maaf, bapak sudah bercerai dengan istri, karena di apart, saya sama sekali nggak liat foto pernikahan kalian. Sampai saya penasaran, anak bapak kemana? Apa ikut mamanya? Saya merasa jadi perempuan yang tidak tahu diri jika sebenernya kalian berdua belum bercerai, karena saya ada di antara kalian. Makanya saya berani bertanya soal ini, selagi hubungan saya dengan bapak masihh hmmm, saya hanya ingin memastikan,” Aira dengan panjang lebar menjelaskan asal mula kenapa ia bisa mempertanyakan hal itu.

Sejak tadi Radeya hanya tersenyum sembari memperhatikan Aira yang tengah menjelaskan alasan dari pertanyaannya. Wajah kekhawatiran Aira sangat terlihat jelas, membuat Radeya yang melihatnya cukup gemas dengan ekspresi wajah kekasihnya itu.

“Bapak kok senyum? Saya serius tau,” gerutu Aira, mengerutkan bibirnya.

Kepala Radeya mendekat ke arah wajah Aira, memberikan kecupan kecil pada bibir merah Aira. “Lucu,” ucap Radey singkat.

“Bapakkkk,” gerutu Aira kesal.

“Khawatir kamu lucu, Aira. Kamu takut jadi perebut suami orang apa gimana?” Ledek Radeya sembari mengusak rambut kekasihnya.

“Perempuan mana yang nggak bakal ketakutan setelah dapet bukti jelas kaya gitu,” ujar Aira menatap tajam Radeya.

“Kamu berani sama saya?” tanya Radeya balik menatap Aira.

“Maaf....”

“Nah kan lucu,” ujar Radey.

“Liat saya, dengerin ya,” pinta Radey dengan kedua tangannya yang berada di pundak Aira.

“Saya belum menikah, maka dari itu saya enggak mungkin punya anak. Anak yang kamu maksud itu, dia keponakan saya, namanya Elle. Dia anaknya Radeva, kembaran saya. Saya udah anggep Elle seperti anak saya sendiri, Aira. Dan kebetulan memang Elle lebih dekat dengan saya daripada papanya sendiri, selimut itu pun karena dia sangat sering mengajak saya jalan jalan berdua,” Radeya dengan panjang lebar mencoba mengakhiri kesalahanpahaman Aira.

Aira menghela napasnya lega. “Udah? Seneng?” tanya Radeya manis.

Aira hanya menggaguk tersenyum. “Udah berarti ya?” Radeya memastikan.

“Makasih, Pak. Maaf karena saya sudah berpikir seperti itu,” ucap Aira merasa bersalah.

“Gapapa, wajar. Saya kalo jadi kamu pun pasti akan bertanya soal itu.”

Radeya kembali mendekat menghampiri Aira, merengkuh pinggang Aira dan memeluknya erat, kini Aira kembali berada dalam dekapan Radeya. Bukan pelukan sepihak, Aira juga membalas pelukan Radeya, erat. “Kamu nggak perlu khawatir, tanyakan saja apa yang kamu mau tau tentang saya, karena saya tidak akan pernah menyembunyikan rahasia sekecil apapun dari pasangan saya,” jelas Radeya sembari mengusap lembut rambut Aira.

Gue bakal nunggu lo cerita, Aira. Gue nunggu lo cerita, tentang siapa itu Alleta,” batin Radeya.

Apa aku bisa jujur soal kehidupan aku yang sebenernya ke Pak Radeya? Apa Pak Radeya bakal tetep terima aku setelah tau semuanya?” batin Aira khawatir.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan apa yang keduanya lakukan di dalam ruangan, Radeva, sejak tadi ia berada di dekat pintu, berniat ingin memastikan kecurigaannya, hendak masuk, namun pemandangan dari sang kakak cukup membuat ia menghentikan langkahnya. Setelah melihat semuanya, tanpa bertanya, kini Radeva mendapatkan jawabannya.


Radeya berani berterus terang pada Aira atas apapun hal yang terjadi dalam hidupnya, lalu bagaimana dengan Aira? Rahasia seperti apa yang ia sembunyikan dari Radeya? Apa yang membuatnya tidak berani berterus terang pada sang kekasih yang juga merupakan seorang CEO Adhitama group tempat ia bekerja itu?

wxyzndaa

official?

cw // kiss🔞



Radeya keluar dari lift diikuti Aira di belakanganya, berjalan menuju ke arah pintu apartemennya. Radeya membawa dua kantong kresek belanjaan berisikan bahan-bahan masakan yang ia beli untuk ia masak bersama Aira. Berbeda dengan Radeya, Aira justru hanya membawa tas miliknya, ditambah jas hitam milik Radeya.

“Masuk,” pinta Radeya membuka lebar lebar pintu apartemennya, mempersilahkan Aira untuk masuk terletak dahulu.

“Terima kasih, Pak,” ucap Aira melewati Radeya.


Aira selesai mengalungkan celemek pada lehernya, sekarang ia hendak mengikat tali dari celemek yang ia kenakan ke belakang, namun tampak dirinya kesulitan.

“Bisa?” tanya Radeya yang sejak tadi memperhatikan Aira.

“Bisa, Pak,” jawabnya sembari terus mencoba mengikat tali ke belakang.

“Kalo enggak bisa, bilang aja. Jangan sungkan,” ledek Radeya sembari menghampiri Aira.

“Maaf, Pak,” ucap Aira singkat.

Radeya mengikat tali celemek yang dikenakan Aira dengan baik. “Udahh,” ucap Radey, tepat di belakang telinga Aira.

Aira menoleh dengan kepala yang sedikit mendongak karena Radeya yang jauh lebih tinggi darinya. “Makasih, Pak.” Singkat Aira manis.

Radeya menatap sang sekretaris dalam, refleks ia menelan ludahnya sampai jakun sang laki-laki itu terlihat bergerak sangat jelas oleh Aira.

“Pak?” ucap Aira membulatkan matanya.

Selalu cantik,” gumam Radeya.

Tangan Radeya yang sejak tadi masih memegang tali celemek, kini menjalar ke arah pinggang Aira, Radeya membalikkan badan Aira mulus, kini keduanya kembali berhadapan dan saling menatap, sama seperti terakhir kali terjadi di kamar milik Radeya.

Radeya memperhatikan tatapan sayu sang sekretaris, “Kan, selalu cantik,” ucapnya kembali. Ia merengkuh pinggang Aira, sampai benar-benar perempuan itu berada di dekapannya.

Radeya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan apa yang sebenernya sangat ia ingin lakukan pada satu bibir merah di hadapannya. Ia memejamkan matanya sesaat, tidak bisa dihindari, Radeya kembali membuka mata dan tanpa ragu, ia memiringkan kepalanya mencoba mendekat ke arah wajah Aira, Aira memejamkan matanya takut, sembari menutup bibirnya rapat.

Radeya kembali menatap Aira, mengecup bibir merah milik sang sekretaris, dengan sadar, Aira membuka matanya bersamaan dengan ia perlahan membuka bibirnya. Radeya tersenyum manis, ia kembali mendekatkan bibirnya pada bibir Aira, perempuan itu kembali menutup matanya. Radeya mengulum bibir bawah sang sekretaris, tanpa ada balasan sedikitpun dari Aira.

Radeya memindahkan satu tangannya yang sejak tadi berada di pinggang perempuan itu menuju ke belakang kepala, mencoba menekan kepala Aira agar tautan bibirnya tidak terlepas dengan mudah karena tidak ada balasan sedikit pun dari Aira. Tidak lama setelah itu, Aira membuka matanya, tampaknya secara sadar Aira mulai menikmati apa yang dilakukan Radeya padanya, kini ia mencoba membalas sang laki-laki yang sejak tadi terus mengulum bibir bawahnya, kedua tangan Aira yang sejak tadi berada tegap di samping, kini ia kalungkan pada leher Radeya.

Keduanya benar-benar menikmati kegiatan tersebut malam itu, entah sampai kapan sang pimpinan Adhitama group dengan sekretaris barunya itu akan terus bertukar saliva.

Sampai mereka merasakan napas yang berantakan, baik Radeya maupun Aira, keduanya melepaskan tautan bibir masing-masing. Aira menggigit bibir bawahnya, tampak darah sedikit keluar dari bibirnya, kali ini Radeya bermain kasar. “Sakit,” ucap Aira.

“Maaf,” balas Radeya.

Radeya menatap dalam Aira, memandangi satu persatu bagian wajah Aira sembari mengusap lembut rambut dan kembali merengkuh Aira ke dekapannya. “Saya mencintai kamu, Aira.” Ucap Radeya sadar, memberikan kecupan terakhirnya pada kening Aira.

Aira terkejut dengan apa yang dilontarkan sang atasan padanya, matanya membulat. “Pak?”

“Saya serius, Aira.”

“Saya cuma sekretaris, Pak. Nggak sebanding dengan posisi bapak, seorang pemilik perusahaan tempat saya bekerja,” tutur Aira.

“Apa ada aturannya? Apakah untuk saling mencintai harus menyesuaikan dengan derajat sosial?” Radeya bertanya serius.

“Pak?”

“Saya tidak main-main, Aira.”

“Pak, selain keadaan sosial saya yang sangat berbanding jauh dengan bapak, saya juga bukan perempuan baik-baik. Saya tidak seperti apa yang bapak lihat setiap hari,” Aira mencoba menyadarkan sang pimpinan yang tiba-tiba saja mengungkapkan perasaan padanya.

“Mungkin kamu tidak baik untuk orang lain, tapi kamu baik untuk saya. Selebihnya, kita bisa bicarakan nanti. Atau bahkan, kita bisa saling menceritakan kekurangan kita masing-masing? Apapun masa lalu kamu nanti, saya akan coba menerimanya,” jelas Radeya panjang lebar.

“Jadi? Gimana?” Radeya memastikan.

“Sebenarnya saya juga..... Tapi saya takut, dan saya sadar diri,” ujar Aira pada Radeya.

Radeya tersenyum lebar, “Sekarang kamu nggak perlu takut, karena saya lebih dulu menyukai kamu,” Radeya kembali mengusap lembut belakang kepala Aira.

Mata Aira berkaca-kaca, “Jangan nangis,” ucap Radeya.

“Enggak,” balas Aira.

“Itu matanya merah,” sanggah Radeya.

hiksss hiksss

“Saya bilang jangan nangis, Aira.”

Aira semakin terisak setelah Radeya kembali memeluknya erat.

Saya takut, Pak. Sejujurnya saya takut mengecewakan bapak,” batin Aira khawatir

wxyzndaa


Amatir banget ketikan gue astaga, sowwy y jan hujat y lu pada, w anak soptie.


Radeya & kebimbangannya

Ketiga anak laki-laki kembar itu kini berkumpul di kediaman Jayachandra. Bunda meminta ketiga anaknya untuk datang ke rumah, bersamaan dengan istri dan anak-anak mereka. Berbeda dengan Radiv dan Deva yang membawa keluarga kecilnya, Radeya masuk ke dalam dengan hanya membawa parsel buah-buahan untuk Bunda Wenda.

“Bawa buah-buahan terus, kapan bawa istrinya,” ledek Papa yang baru saja keluar dari kamarnya.

Radeya menatap tajam Papa, “Apaan banget,” ucapnya.

“Papa mulai deh, anaknya baru dateng malah diledek. Nanti kalo pundung dia nggak mau dateng lagi ke sini,” ujar Bunda pada suaminya.

“Biarin aja, kaya enggak butuh kita aja,” ucap Papa.

“Bentar lagi juga Bunda dapet menantu baru kok,” celetuk Kayyara tiba-tiba.

Radeya menoleh menatap istri sang kembaran pertamanya, “Kayyara,” ucap Radeya sinis.

“Maksudnya gimana Kay?” tanya Bunda.

“Kak Radeya udah punya calon, Bunda,” Alana menambahkan.

Radeya menarik napasnya dalam, “Punya ipar, nggak ada yang bener satu pun,” gumamnya kesal.

“Dev, Div. Bisa ikut gue dulu nggak sebentar,” Radeya bertanya kepada kedua kembarannya.

“Kemana?” tanya Radeva yang sejak tadi masih memangku Rayden.

“Ke belakang, sebentar,” jawab Radey.

“Ayo,” ucap Radiva beranjak dari sofa.

“Pada mau kemanaaa?? Bunda mau tanya sesuatu ke Radey, kok malah mau pergi,” tanya Bunda.

“Sebentar Bunda,” Radey menarik lengan Radiva, diikuti Deva dengan Rayden dipangkuannya.

“Papaaaa Deyaa mau kemanaaa?? Elle ikutt,” tanya Elle pada Papa kesayangannya.

“Ke belakang sayang, sebentar ya, kamu main dulu sama Oma,” usul Radey pada keponakan sekaligus anak kesayangannya.

“Papa sampe bingung, Elle itu sebenernya anak Deva apa Radey?” monolog Papa heran.

“Anak Devaaa lahhhhh,” Deva menoleh setelah mendengar ucapan yang dilontarkan Papa.

“Baperrrr baperrr, anak udah tiga masih baperannnn,” ledek Papa pada kembar bungsunya.

“Ya lagian Papaaaa,” Radeva merajuk.

“Udahh ayoo,” ajak Radey.



“Ada apa?” tanya Radiv.

“Bentar deh, Aira? Aira udah lo anterin balik belum?” Radeva tiba-tiba bertanya.

“Dia balik sendiri, soalnya pas mau gue anterin, Bunda telepon,” jawab Radey.

“Aira? Si sekretaris?” tanya Radiv penasaran.

“Iya Div, Aira semalem tidur di apartemennya Radey,” jawab Radeva.

“HAH?” Radiv cukup terkejut dengan apa yang baru saja Radeva katakan.

“SEKRETARISNYA DEYA TIDUR DI APARTEMEN DEYA RADIVA,” Deva meninggikan suaranya.

“MAKSUD RADIV, KENAPA DIA BISA TIDUR DI APART KAKAK????” Radiva bertanya kesal.

Mampus marah,” batin Radeya, menghela napasnya.

“Radiv, biarr gue jelasinnn, lo diem dulu, bisa?” Radeya mencoba meluruskan kesalahpahaman adiknya.

“Apaa??? Kamu mau alesan apaa???” Radiv bertanya sinis.

“Kemaren gue mau anterin dia pulang, tapi dia ketiduran di mobil gue, gue udah bangunin, tapi dia gak bangun bangun. Gue bingung harus apa, gue mau nitip Aira di apart Deva, tapi Rayden lagi rewel. Mau titip ke apart lo, nanti bini lo rame. Yaudah gue bawa dia ke apart gue, gue tidur di kamar satu lagi kok, dia tidur di kamar gue,” jelas Radeya panjang lebar.

“Tapi, tadi guu, euu—gueeee,” Radeya menambahkan, gugup.

“Gue apaa???!!!” tanya Radiva menatap tajam sang kakak.

“Dey???” Kini Radeva ikut memperhatikan gelagat Radeya.

“Tadi gue masak buat Airaaa tapi keasinannnnnn, gue maluuu,” dalih Radeya menjawab kecurigaan kedua adik kembarnya.

Radiva masih menatap sinis Radeya, “Kak? Bohong?”

“Enghh— enggak, Div. Ngapain gue bohong. Pas Aira tidur, gue masak buat dia, terus gue ke kamarnya bangunin dia buat makan, gue makan sama dia, ternyata keasinan hahhaa,” tutur Radeya meyakinkan Radiva.

Radeva masih terus memperhatikan gelagat sang kakak, karena sebelumnya, belum pernah Radeya menjawab pertanyaan Radiva segugup ini.

“Kak, lo suka sama sekretaris lo itu?” Radeva kembali bertanya, kali ini benar-benar di luar dugaan Radeya.

“Gue? Gue gatau, Dev,” jawab Radeya bimbang.

“Kok gatau?”

“Gue gatau gimana rasanya suka sama seseorang.”

“Apa yang lo rasain waktu suka ke Alana, sama nggak sama apa yang lagi lo rasain sekarang?” Radeva kembali bertanya.

“Rasa-rasanya, lebih dari itu,” jawab Radeya singkat.

“Ya artinya lo suka sama diaa,” Radeva gemas dengan gelagat kebimbangan Radeya.

“Jangan bodoh, lo bukan anak muda lagi. Kalo lo suka sama dia, seriusin dari sekarang. Teguhin hati lo, lo beneran mau sama dia? Apa gimana?” sambung Radeva mencoba meyakinkan Radeya.

“Gue, gatau, Dev.” Balas Radeya, lantas pergi meninggalkan dua kembarannya.

“Radiv bakal kecewa kalo kakak bohong ke Radivvv!!” jelas Radiv dengan suara lantang pada Radeya yang sudah pergi jauh darinya dan Deva.

wxyzndaa

senyum manis

Sebenernya ini nggak ada apa-apa. Semua sy kembalikan kepada isi pikiran kalian

Aira membuka matanya perlahan, memperhatikan seisi ruangan tempat ia tertidur nyenyak malam tadi. “Hah? Ini di mana? Aku di mana?” Aira bertanya heran menyadari jika ia terbangun bukan berada di kamarnya, melainkan di ruangan asing yang ukurannya tiga kali lipat dari kamar Aira.

Aira mencoba berpikir apa yang telah ia lakukan tadi malam sampai sampai ia terbangun dan berada di tempat asing pada saat ia membuka matanya. Aira menunduk, “Hahhhh?????” ucapnya setelah melihat baju formal yang sebelumnya ia kenakan berubah menjadi baju kaos polos kebesaran dengan celana kulot berwarna cream. “Airaaaa?? Kamu ngapain??? Kenapa kamu enggak inget apa-apa?? Aira inget Airaaa!!!!” ujar Aira sembari beberapa kali memukul kepalanya berharap ada satu kejadian yang ia ingat.

Aira membulatkan matanya, setelah mengingat satu hal yang ia lakukan tadi malam, ya, memasuki mobil pimpinannya dan tertidur.

“Aira bodoh.”

Aira beranjak dari tempat tidur, bertepatan dengan Radeya yang membuka kamarnya. “Udah bangun?” Radeya dengan polosnya bertanya pada Aira yang masih mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi tadi malam pada dirinya.

“Pakk????” Aira menatap dalam Radeya.

“Kenapa? Kaget??” Tanya Radeya.

“Pak.... Maaf.... Maaf jika saya tidak sopan.... Taa—taapiii,” tuturnya terpotong oleh sang atasan, karena Radeya langsung paham maksud sang sekretaris yang berbicara sembari meremas bagian bawah baju yang kebesaran itu.

“Ahhhhh ituu??? Bajuu?? Jangan mikir yang aneh-aneh, Aira. Saya enggak apa-apain kamu. Kemarin kamu tidur di mobil saya, waktu saya nyoba bangunin kamu, kamu masih tetep tidur. Saya bingung, jadi jalan satu satunya saya adalah bawa kamu ke sini. Terus kemarin baju kamu basah, kalo kamu tidur pake baju basah, kamu bisa masuk angin. Makanya saya inisiatif minta tolong tetangga apartemen saya yang perempuan buat gantiin baju kamu, sekalian pinjem celana ke dia. Saya nggak tidur di sini kok, saya tidur di sebelah, bahkan saya baru masuk sekarang karena mau bangunin kamu,” Radeya mencoba menjelaskan apa yang terjadi agar Aira tidak berpikiran yang tidak-tidak tentangnya.

Aira menghela napasnya lega, mengetahui jika tidak ada yang perlu ia khawatirkan hanya karena baju yang ia kenakan tiba-tiba berubah. “Pak, maaf....” ucap Aira merasa bersalah.

“Atas?” Radeya bertanya.

“Karena tadi malam saya benar-benar merepotkan bapak, nggak seharusnya saya tidur di dalam mobil. Sampai-sampai bapak harus membawa saya ke sini karena saya sulit dibangunkan,” ungkap Aira menunduk.

“Gapapa, bukan masalah besar. Kamu juga keliatan cape. Oh ya, semalam Mama kamu telepon, dan maaf, saya buka ponsel kamu, saya takut Mama kamu khawatir karena anaknya belum pulang.”

Mata Aira berkaca-kaca setelah mendengar beberapa jawaban dan pernyataan yang dilontarkan Radeya padanya. Karena sebelumnya, ia belum pernah bertemu laki-laki sebaik Radeya. “Pak, maaf....” ucap Aira untuk kedua kalinya.

“Gapapa, Aira.”

Aira semakin terbawa suasana ketika Radeya tiba-tiba mengusap rambutnya. “Gapapa, kamu nggak ngerepotin saya, saya senang bisa bantuin kamu,” tutur Radeya menatap dalam sekretarisnya.

Bukannya merasa tenang, Aira justru semakin terisak, ia menangis tanpa alasan yang jelas. “Bapak, maaf....” ucapnya kembali, untuk ketiga kalinya.

“Aira, saya hanya membawa kamu untuk istirahat di sini, kenapa harus sampai terus menerus mengucapkan terima kasih pada saya? Dan sekarang, kamu menangis?” Radeya yang juga ikut terbawa suasana, spontan merengkuh pinggang Aira ke dekapannya.

Aira cukup terkejut karena sang atasan tiba-tiba menarik dirinya mendekat sampai dimana tidak ada jarak lagi di antara mereka. Aira menghentikan tangisannya, ia mendongakkan kepalanya menatap Radeya, “Pakk???” ucapnya.

“Sekali ini saja, Aira,” ucap Radeya singkat.

Aira hanya bisa terdiam ketika Radeya semakin mempererat dekapan pada dirinya. Aira kembali mendongakkan kepalanya, “Terima kasih banyak, Pak,” gumamnya.

“Atas?”

“Terima kasih karena telah memperlakukan saya sebaik ini,” ucapnya, menatap dalam sang atasan.

Radeya melebarkan senyumannya, “Saya akan terus memperlakukan kamu seperti ini jika kamu mau,” balas Radeya.

Radeya melonggarkan rangkulannya pada Aira, setelah itu ia sedikit menekuk bagian lututnya, mencoba menyeimbangkan wajahnya dengan wajah Aira agar keduanya bisa saling berhadapan dan menatap satu sama lain, Radeya mem—

cut



wxyzndaa

Apartemen

Lima menit perjalanan, Radeya menoleh ke arah samping, berniat untuk menanyakan alamat rumah sang sekretaris. Namun, baru saja Radeya hendak bertanya, ia melihat Aira yang sudah tertidur lelap di sampingnya.

“Lahh udah tidur duluann,” gumam Radeya, kembali fokus mengemudikan mobilnya.

“Bangunin dulu kali ya? Kalo nggak gue bangunin ya gue nggak bakal tau rumahnya, masa muter-muter di sini,” sambung Radeya bingung.

“Aii?? Airaa?? Ai?? Bangun dulu....” Radeya dengan suara yang benar-benar lembut.

Tidak ada respon sama sekali dari Aira, “Nggak bangun bangunn.... Dia beneran kecapean sampe gue panggil beberapa kali aja tetep tidur,” ujar Radeya.

“Terus ini gimana?” Radeya kebingungan.

“Gue enggak enak kalo harus terus bangunin dia, kasian,” gumamnya, sembari mencoba menepikan mobilnya terlebih dahulu.


“Aii? Airaa? Bangun dulu yuk, alamatnya di mana? Saya nggak bisa anter kamu kalo kamu nggak kasih tau alamatnya,” tutur Radeya berbicara sendirian, karena sejak tadi Aira masih belum merespon.

“Radeya anjir ini gimana??” gerutu Radeya menepuk jidatnya.

“Kalo gue bawa ke rumah Bunda, Bunda pasti udah tidur. Apa gue tanya Radiv aja kali ya? Biar Aira tidur di apartemen dia, terus Radiv tidur sama gue? Ahh jangan deh, nanti Aira kaget kalo ketemu si Kay. Deva? Ok, gue bawa Aira ke apartemen Deva aja, biar Deva ikut gue nanti,” jelas Radeya dengan berbagai idenya.

“Ini gue kalo buka ponselnya Aira kan nggak sopan ya, jadi maaf ya Ai, lo gue bawa ke apartemen orang dulu,” ujar Radeya, menatap Aira dalam.

Hendak Radeya kembali mengemudikan mobilnya, tiba-tiba Aira sedikit bersuara.

Aletta....” gumam Aira dengan mata yang masih terpejam.

“Airaa???” ucap Radeya.

Aletta, maafin m—”

“Aletta? Maaf?” gumam Radeya penasaran.

wxyzndaa

hujan

Radeya berada di sebrang tepat di depan halte tempat Aira berada. Ia hendak menyebrang dengan mobilnya, namun tampaknya akan membutuhkan waktu lama karena hujan yang cukup deras.

Sekitar dua menit Radey mencari payung yang biasanya ia simpan di kursi belakang. Namun ia teringat jika payung miliknya masih ada di rumah Radiva, bekas mengantarkan dua keponakannya seminggu yang lalu.

Radeya lantas melepaskan jas hitamnya, ia keluar dari mobil dengan hanya menggunakan kemeja putih dengan jas yang ia alih fungsinya sebagai payung guna menutupi kepalanya agar sedikit terhindar dari air hujan. Dengan hati-hati ia menyebrang menghampiri Aira.

Radeya mempercepat langkahnya, melihat ada satu mobil yang cukup kencang, yang bisa membuat bajunya basah kuyup jika terkena cipratan dari mobil yang melintas di dekatnya.

“Pakk, hujannn,” ujar Aira khawatir.

“Saya tauu, ini hujan, bukan panas,” sahut Radeya.

Radeya menurunkan jas dari kepalanya, sembari mengusap wajahnya yang terkena air hujan. “Perihh” ujarnya.

Aira yang mendengar itu langsung mengeluarkan tisu dari dalam tasnya, “Bapakkk sih, udah tau hujann, malah nyebrang, mana nggak pake payung lagi,” ujar Aira sembari perlahan mengelap wajah Radeya yang basah karena hujan.

Radeya memperhatikan Aira yang masih terlihat mengelap wajahnya dengan tisu. “Makasih,” ucap Radey tanpa berkedip.

Aira sadar, ia menggelengkan kepalanya. “Bapakk, maaf.....” tuturnya merasa tidak sopan.

“Gapapa, saya suka,” celetuk Radeya.

“Hahh? Gimana Pak?” Tanya Aira bingung.

“Ahh enggak, maksud saya, saya suka hujan, jadi gapapa,” dalihnya pada Aira.

“Ohh begitu,” balas Aira.

“Ayo pulang,” ajak Radeya.

“Masih ada bus kok pak jam segini, saya bisa pulang sendiri,” jelas Aira pada sang pimpinan perusahaan.

“Wajah kamu pucet, saya nggak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu pulang malem kan karena ngurusin berkas saya, saya merasa berhutang sama kamu,” tutur Radeya pada Aira.

“Itu sudah menjadi pekerjaan saya,Pak.” Singkatnya, secara tidak langsung menolak ajakan sang pimpinan.

“Sekali ini saja, Aira. Sekarang hujan, saya takut kamu sakit. Agenda besok banyak sekali, kalo kamu sakit, saya nggak bisa atur jadwal saya tanpa bantuan kamu,” tutur Radeya beralasan.

“Tiida—k ap—aaap,” ucapan Aira tiba-tiba terpotong, pening rasanya, Aira memegangi bagian samping kepalanya. Lelah, itu yang ia rasakan sekarang.

“Airaa??? Heii? Gapapa????” tanya Radeya khawatir.

“Ahh, Pak. Saya hanya kelelahann saja,” jawabnya.

“Nah kan, ayo saya anter pulangg, hujannya juga udah agak reda. Kepala kamu sakit? Mau ke rumah sakit aja?”

“Nggak perlu, Pak. Saya gapapa,” jelas Aira.

“Yasudah, langsung pulang ya. Kamu bisa kasih tau saya, arah jalan rumah kamu. Setelah itu kamu bisa tidur di mobil saya,” tutur Radeya, menutup kepala Aira dengan jas miliknya, dan langsung merangkul sang sekretaris yang baru bekerja dua bulan dengannya itu untuk berjalan berdampingan menyebrang ke arah mobil.


Radeya membuka pintu mobilnya, meminta Aira masuk ke dalam, tangan kanannya berada di ujung atas pintu mobil, sebagai antisipasi jika kepala Aira membentur ujung, dengan tangan kirinya yang masih berada di pinggang Aira.

“Makasih, Pak.”

“Sama-sama. Di kursi belakang ada selimut, pake aja,” ungkap Radeya sembari menutup pintu mobil.

Selimut anak-anak?” batin Aira.

wxyzndaa

Mbak pacar???

Setelah pertemuan dengan klien selesai, Radeya memilih untuk mengunjungi salah satu restoran favoritnya.

“Makan dulu,” ucapnya pada Aira.

“Gapapa, Pak. Ini udah sore banget, bentar lagi malem,” Aira menolak.

“Tadi waktunya istirahat kedua, kamu malah pergi sama saya, jadi, makan dulu,” tutur Radeya, melangkah meninggalkan Aira.

“Hmm, ditolak enggak enak, kalo ikut, nggak enak juga,” gumam Aira bingung.

Radeya menoleh, melihat sekretarisnya masih saja berdiri di tempat yang sama. “Ayo, Aira. Denger saya nggak?” ucap Radeya dari kejauhan.

“Ehhh iiiyaa, Pak. Denger kok, bapak duluan aja, saya mau angkat telepon dulu,” ungkap Aira beralasan.

“Yasudah, nanti tanyakan saja dimana meja Radeya.”

“Baik, Pak.”


Setelah Aira mengakhiri pembicaraannya dengan sang Mama melalui telepon, Aira berniat masuk ke dalam restoran. Namun, notif pesan masuk muncul bertepatan dengan Aira yang hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, “Siapa lagi?” gumamnya.

Aira membuka kembali ponselnya, raut wajah gelisah terlihat dengan jelas setelah Aira membaca pesan masuk pada ponselnya.

Aira? Kapan? Lama sekali.

Napas Aira mendadak tidak beraturan, ia meremas dadanya, sesak, itu yang dirasakannya sekarang.


Sudah lima belas menit berlalu, Aira tidak kunjung datang menghampirinya. “Dia pulang? Nggak mungkin kan? Nggak sopan juga dia pulang tanpa izin dari gue,” gumam Radeya sembari membuka ponselnya.

Radeya memutuskan untuk kembali keluar menghampiri Aira, tampak Aira tengah berjongkok di tepi trotoar.

“Aira?” ucap Radey mengampiri sang sekretaris.

Aira menegakkan kepalanya, “Bapak????” Aira berdiri sembari mengusap air matanya.

“Ada masalah?” tanya Radeya.

“Ahhh nggak ada, Pak. Saya cuma sedih, tadi Mama saya bilang kalo beliau sayang sama saya,” dalihnya.

“Beneran? Nggak sakit? Gapapa?” Radeya kembali memastikan.

“Gapapa, Pak. Aman.”

“Yasudah, ayo masuk, setelah itu kamu pulang,” tutur Radeya, tanpa sadar menarik lengan Aira.

Beberapa detik setelah itu, Radeya menoleh, dan melepaskan genggaman tangannya dari lengan sekretarisnya, “Eh, maaf,” ujarnya.


“Mas Radeya, sudah lama tidak ke sini,” ucap salah satu pelayan yang menghampirinya.

“Ahh iya, saya sibuk. Belum sempat lagi datang ke sini. Sore ini juga kebetulan karena dekat dengan lokasi saya bertemu klien tadi,” jelas Radeya pada pelayan tersebut.

“Ahh seperti itu, baiklah, Mas. Pesanan seperti biasa? Atau ada tambahan?” tanya pelayan.

“Saya seperti biasa aja. Tambahannya, coba tanya dia,” ucap Radeya menunjuk Aira.

“Baik, Mas. Mbak pacar mau pesan apa?” tanya pelayan polos.

Radeya yang tengah meneguk air putih yang sejak tadi sudah disediakan untuknya tiba-tiba tersedak setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan pelayan pada sekretarisnya.

“Bapakkk astagaa, gapapa? Pakk????” ucap Aira, beranjak dari kursinya, dan menghampiri Radeya.

“Pak?? Gapapa??” tanya Aira memastikan, sembari mengelus punggung Radeya, dengan tisu di tangan kanannya.

Pelayan hanya berdiri sembari mencoba menahan senyumnya, Aira menoleh ke arah pelayan, “Pesanan saya samain aja, Mbak,” pinta Aira.

“Ahhh, baik Mbak. Ditunggu ya.”

“Paaaa?? Masih enggak enak tenggorokan???” Aira kembali bertanya karena batuk Radeya yang tak kunjung berakhir.

“Hmmmm ehemmmm, udah, saya gapapa. Udah kamu duduk aja, saya gapapa,” ujar Radeya, mengambil tisu di tangan Aira.

“Baik, Pak.”

Itu pelayan ngomong apaan si, gue sampe keselekk,” gerutu Radeya dalam hatinya.

Airaaa, kenapa kamu refleks nyamperin Pak Radeyaaa?” batin Aira merasa malu.

wxyzndaa

pertama, tatapan Radeya

Aira keluar dari lift dengan beberapa tumpukan kardus yang ia peluk dengan tangan kirinya mencoba tetap menggenggam minuman milik Radeya. Ia berjalan dengan sesekali melirik ke kanan dan ke kiri memastikan ia tidak salah masuk ruangan.

Aira hendak mendorong pintu ruangan pimpinannya itu dengan sikunya, belum sempat siku mengenai pintu, dari dalam ruangan, Radeya hendak keluar dan menarik pintu.

Aira kehilangan keseimbangannya karena pintu yang tiba-tiba terbuka, begitu pun Radeya, ia cukup kaget dengan apa yang ada di hadapannya.

Radeya mundur karena melihat beberapa kardus tampak akan menimpa dirinya, namun setelah ia menyadari siapa yang berada di balik tumpukan kardus itu, ia tidak jadi melangkah mundur.

“Bapakkkkkk awasssss!!!!” Aira berteriak dengan kardus yang ia lempar ke sembarang arah, dengan tangan kiri yang masih setia menggenggam minuman milik Radeya.

Mata Radeya membulat ketika Aira berteriak dengan tubuh yang tampak akan menimpanya

BRUKKK

Aira menabrak Radeya, sampai tubuh sang sekretaris itu berada di atas seorang pimpinan Adhitama group. Minuman yang sejak tadi Aira genggam tumpah tepat di tengah-tengah dada bidang Radeya.

Aira menutup matanya takut, setelah beberapa detik ia membuka matanya, dan dengan sangat jelas ia benar-benar terjatuh dan menimpa tubuh sang pimpinan.

Bukan segera beranjak dari posisinya masing-masing, baik Radeya maupun Aira justru malah terdiam, keduanya saling menatap dalam.

Ini apaan jantung gue kok degdegan,” batin Radeya dengan pandangan yang masih memperhatikan wajah mungil sang sekretaris.

Aira mengedipkan matanya, setelah beberapa detik fokus menatap Radeya, ia bangkit dengan menggelengkan kepalanya. “Bapakkk ya tuhannn, saya minta maaf, saya benar-benar minta maaff, saya enggak tau bapak ada di balik pintuu, harusnya tadi saya ketuk dulu baru dorong pintunya. Maafkan saya, Pakkkk,” tutur Aira merasa bersalah.

Radeya berdiri sembari tangan kanannya mengelus-elus punggung, “sakitt anj—” gumamnya.

Aira tersadar, kemeja milik pimpinannya basah, “Astagaaaa, minumannya tumpahhhh, bapak, saya minta maaf, sebentarrr, saya ambil tisu dulu sebentarrrr,” jelas Aira cukup panik, ia keluar menuju meja kerja untuk mengambil tisu miliknya.

“Hahaha, takut banget kayanya, dikira gue bakal marahin dia,” gumam Radeya, tanpa sadar ia tersenyum lebar setelah terakhir kali ia memperlihatkan senyumannya hanya pada Elle, keponakannya.

Aira kembali dengan satu pack tisu miliknya, karena terlalu khawatir, bukan memberikannya pada Radeya, Aira justru membersihkan kemeja Radeya dengan tangannya sendiri. “Bapak, maafin saya, saya nggak akan lagi lagi teledor kaya gini, jangan pecat saya ya pak, karena pekerjaan ini satu-satunya keinginan saya sekarang,” tutur Aira memohon, sembari terus mengelap bekas tumpahan minuman pada kemeja pimpinannya itu.

“Pak, ini kayanya bekas tumpahannya nempel, bapak ganti aja ya kemejanya, biar saya ambilkan yang baru, kemejanya di mana pak?? Biar saya ambil?” tanya Aira.

Tidak ada jawaban dari Radeya, Aira bingung mengapa pimpinannya itu tidak menjawab pertanyaannya. Setelah beberapa saat, Aira menyadari jika tidak ada jarak di antara dirinya dengan sang penerus perusahaan tempat ia bekerja. Matanya, tepat sekali berhadapan dengan dada bidang Radeya, yang sejak tadi ia bersihkan dengan polosnya.

Tinggi Aira, setara dengan dada Radeya, sampai-sampai Radeya bingung, bagaimana cara ia menanggapi sang sekretaris yang wajahnya saja tidak bisa ia lihat karena terlalu pendek.

Aira menjauh mundur setelah menyadari kesalahannya, ia berdiri tanpa ada jarak dengan sang pimpinan, begitu juga dengan dirinya yang tanpa sadar membersihkan bekas tumpahan minuman pada kemeja tanpa ada izin.

Aira kembali menggelengkan kepalanya, “Bapak, maaf. Saya nggak sadar, saya terlalu panik sampai-sampai seenaknya lap kemeja bapak, saya minta maaf pakkkk,” Aira terus terang.

Radeya yang sejak tadi tersenyum ketika Aira berada di dekatnya, kini kembali dengan wajah datar setelah Aira mundur dari hadapannya.

“Gapapa, udah, kamu kembali kerja aja. Saya ke parkiran dulu bawa baju di mobil. Oh ya, ini kardusnya simpen aja di samping meja saya, dan maaf, saya enggak tau kalo titipan saya bakal dateng langsung sebanyak ini, satu lagi, minta ob bersihkan ini,” jelas Radeya pada sekretarisnya.

“Euuu— baa baiikk, Pak. Sekali lagi saya meminta maaf sebesar-besarnya,” ucap Aira gugup.

“Gapapa, salah saya juga main buka pintu.”

Radeya berjalan keluar dari ruangannya, sesekali menoleh pada Aira yang terlihat menunduk, matanya fokus pada kemeja Aira yang kotor karena terkena tumpahan minuman pesanannya juga. “Baju dia juga kotor,” ujarnya, sembari menutup pintu.



Radeya sadar atas apa yang ia lakukan, ketika Aira berteriak untuk memintanya menghindar, Radeya memilih untuk tetap berada di sana, karena mengetahui jika dirinya mundur, sang sekretaris akan terjatuh langsung ke lantai. “Gue nggak tau kenapa gue lakuin itu.

wxyzndaa

salam perkenalan

Aira dengan setelan rapinya berjalan menuju ruangan CEO Adhitama group. Dengan suasana hati yang sangat baik, Aira mengetuk pintu ruangan beberapa kali, setelah itu ia memberanikan diri untuk masuk dan menghampiri sang pimpinan perusahaan.

Tampak seorang laki-laki yang membelakangi dirinya tengah berdiri di ujung ruangan sembari mengamati suasana di luar perusahaan.

“Permisi, Pak.” Singkat Aira pada seseorang yang sampai saat itu masih sibuk melihat keadaan langit di pagi hari.

Siapa? Kok ada suara cewek?” ujar si penerus adhitama dalam hati.

Ia menoleh ke arah sumber suara, dengan wajah datarnya, Radeya Jovan Jayachandra, sang pimpinan perusahaan mengalihkan pandangannya pada Aira.

“Siapa ya?” Tanya Radeya singkat, dengan kedua telapak tangannya yang masih berada di belakang punggung.

Aira menatap Radeya cukup lama, dengan mata yang membulat dan mulut yang sedikit menganga.

Wahhh.”

“Heiii? Ngelamun???” ucap Radey memastikan.

“Ehhh, astaga, Pak. Mohon maaf,” tutur Aira malu.

“Maaf, Pak. Sebelumnya, selamat pagi. Saya Aira Rakhshandira Dalisha, sektretaris baru bapak. Sebelumnya saya ingin berterima kasih juga, karena bapak telah memberikan kesempatan pada saya untuk bekerja di perusahaan bapak. Mulai hari ini, saya akan bekerja sebaik mungkin, apapun yang bapak butuhkan, bisa langsung bapak sampaikan pada saya. Saya telah mempelajari apa saja yang harus saya lakukan sebagai seorang sekretaris pimpinan sejak 2 tahun yang lalu, bapak juga mungkin sudah sempat melihat CV saya. Semoga saya selalu senantiasa menjadi sekretaris yang dapat diandalkan dan tidak mengecewakan bapak, cukup sekian, terima kasih,” jelas Aira panjang lebar, setelah pembicaraan panjangnya itu, napasnya sedikit tidak teratur.

Radeya hanya terdiam setelah mendengar kalimat pengantar sang sekretaris baru itu. “Ini kalo kata Hilmar, ciri-ciri anak rusuh soalnya ngomongnya cepet gak pake rem,” batin Radeya dengan kepala yang mengangguk angguk sembari memperhatikan Aira dari atas sampai bawah.

“Hmm, oke. Selamat bergabung di Adhitama group. Saya harap kamu bisa bekerja sama sebaik mungkin dengan saya,” jelas Radey, menyodorkan tangan kanannya pada Aira.

Keduanya saling berjabat tangan, dan mulai hari ini, Aira resmi bekerja sebagai seorang sekretaris baru sang pimpinan Adhitama, Radeya Jovan. Dan untuk Radeya, mulai hari ini, untuk pertama kalinya, ia harus bekerja bersamaan dengan seorang perempuan, padahal sudah dari pertama ia berada di perusahaannya, Radeya sangat menolak untuk memiliki sekretaris seorang perempuan.

“Saya Radeya Jovan Jayachandra, kamu bisa panggil saya Radeya. Ahhh maksud saya, Pak Radeya, atau Pak Jovan,” ucap Radey sedikit gugup.

Mazennn anjirrrr kenapa lo harus pensiun jadi sekretaris gueeee,” batin Radeya, rasa-rasanya ia ingin berteriak tentang itu.

“Baik, Pak Radeya. Kalau begitu, saya permisi dulu,” ucap Aira pamit menuju meja kerja sekretaris yang berada di depan ruangan Radeya.

“Ya, silahkan. Oh ya, di meja kerja kamu, ada nomor ponsel saya, tolong segera simpan dan coba chat saya. Agar saya lebih mudah menghubungi kamu jika saya sedang berada di luar, dan membutuhkan bantuan,” usul Radeya pada sekretaris barunya.

“Baik, Pak.”



Gue nggak mau punya sekretaris seorang perempuan, karena gue nggak tega nyuruh- nyuruhnya. Meskipun emang udah resiko dari kerjaan dia sebagai seorang sekretaris.

wxyzndaa